You are on page 1of 16

ANGGOTA KELOMPOK

1. Haniati Nur .F 2. Budiman 3. Fedi Sudrajat 4. Dwi Nur M.J 5. Istingadah

A11100715 A11100716 A11100717 A11100718 A11100719

BAB I PENDAHULUAN
1. Latar Belakang Filariasis atau Elephantiasis atau disebut juga penyakit kaki gajah adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi cacing filaria yang penularannya melalui gigitan berbagai jenis nyamuk. Diperkirakan penyakit ini telah menginfeksi sekitar 120 juta penduduk di 80 negara, terutama di daerah tropis dan beberapa daerah subtropis. Penyakit filariasis bersifat menahun (kronis) dan bila tidak mendapat pengobatan dapat menimbulkan cacat menetap berupa pembengkakan kaki, lengan, payudara, dan alat kelamin baik pada wanita maupun pria. Meskipun filariasis tidak menyebabkan kematian, tetapi merupakan salah satu penyebab timbulnya kecacatan, kemiskinan dan masalah-masalah sosial lainnya. Filaria limfatik yang terdiri dari Wuchereria bancrofti, Brugia malayi, Brugia timori merupakan spesies cacing filaria yang ditemukan di dunia. Penyebarannya tergantung dari spesiesnya. Wuchereria bancrofti tersebar luas di berbagai negara tropis dan subtropis, menyebar mulai dari Spanyol sampai di Brisbane, Afrika dan Asia (Jepang, Taiwan, India, Cina, Filippina, Indonesia) dan negara-negara di Pasifik Barat. Filariasis di Indonesia pertama kali dilaporkan oleh Haga dan van Eecke pada tahun 1889 di Jakarta yaitu dengan ditemukannya penderita filariasis skrotum. Pada saat itu pula Jakarta diketahui endemik filariasis limfatik yang disebabkan oleh Brugia malayi.

2. Rumusan Masalah 1. Apa yang dimaksud dengan penyakit Filariasis? 2. Bagaimana hubungan antara Agent, Host, dan Environment (epidemiologi)? 3. Bagaimana upaya pemecahan masalah kesehatan Filariasis? 3. Tujuan 1. Sebagai salah satu syarat dalam mencapai ketuntasan nilai dalam mata kuliah Mikrobiologi. 2. Kita dapat mengetahui pengertian dari penyakit filariasis. 3. Kita dapat mengetahui Agent, Host, serta Environment yang berhubungan dengan penyakit Filariasis.

BAB II PEMBAHASAN 1. Pengertian


Di Indonesia, filariasis dikenal umum sebagai penyakit kaki gajah. Menurut Liliana Kurniawan, seorang peneliti penyakit menular dari Departemen Kesehatan RI, filariasis merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh infeksi cacing mikrofilaria, Wuchereria bancrofti, Brugia malayi, dan Brugia timori. Filariasis ditularkan melalui vektor nyamuk anopheles, culex, mansonia, aedes, dan anmigeres. Karena penyakit ini disebarkan oleh nyamuk, maka penyebaran penyakit ini pun menjadi sangat cepat. Menurut Hoedojo, seorang pakar parasitologi dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, dampak dari penyakit ini tidak dapat dideteksi secara langsung karena gejala yang ditimbulkan bertahap dan menahun. Proses penyebarannya yang sangat cepat dan lamanya proses penyembuhan, membuat penyakit ini tergolong penyakit berbahaya. Filariasis ditemukan di daerah tropis Asia, Afrika, Amerika tengah dan selatan, dengan 120 juta manusia terjangkit. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Departemen Kesehatan Republik Indonesia, filariasis ditemukan di berbagai daerah dataran rendah yang berawa dengan hutan-hutan belukar yang umumnya didapat di pedesaan di luar Jawa-Bali. Selain di pedesaan, filariasis juga ditemukan di perkotaan. Filariasis yang menyerang daerah perkotaan yaitu filariasis brancofti dan ditularkan melalui vektor nyamuk Culex quinquefasciatus sedangkan di daerah pedesaan filariasis ditularkan oleh Anopheles spp., Aedes spp., dan Mansonia spp. Berdasarkan teori dari beberapa pakar dapat disimpulkan bahwa filariasis merupakan penyakit yang berbahaya karena penyebaran penyakit ini sangat cepat dan gejala-gejala yang ditimbulkan sulit dideteksi. Penyakit ini dapat menyerang semua lapisan masyarakat, baik masyarakat perkotaan maupun pedesaan.

2. Sejarah ditemukannya filariasis


Sebuah pernyatan menarik tentang asal dan penyebaran filariasis yang disebabkan oleh W.bancrofti telah diajukan oleh Laurence pada tahum 1989. Pendapatnya itu berdasarkan pada fakta bahwa filariasis telah ditemukan dan telah meluas di utara dan selatan Polynesia, sebuah area yang pertama kali dieksplorasi pada abad 17 dan 18. Orang-orang dari Polynesia ini dipercayai telah berada di Tonga-Samoa pada 2 milenium sebelum masehi, kemudian mereka menyebar dari Tahiti dan Kepulauan Pasifik Timur. Mereka adalah pelaut yang tangguh, diperkirakan mereka telah bermigrasi ke Pasifik dari Asia Tenggara dengan membawa W.bancrofti dan W.kalimantani yang ditemukan pada kera daun. Migrasi lain yang berasal dari area yang sama sebelum 500 masehi, kemungkinan besar telah mendarat di Madagaskar dan benua Afrika dengan membawa W.bancrofti. Ada beberapa bukti juga yang telah ditemukan yang membuktikan bahwa orang-orang dari Polynesia ini menyebar dari Afrika tengah ke Semenanjung Arab pada abad 14 dan 15. Mereka juga diketahui telah menyebar ke dunia baru (Benua Amerika) pada abad 17 dan 18 serta ke timur laut Australia pada abad 19. Sementara itu, filariasis yang disebabkan oleh cacing parasit lain telah ditemukan sejak tahun 1770. Pada saat itu, seseorang bernama Mongin menemukan Loa loa dari seorang wanita Negro di Santo Domingo, Hindia Barat.

3. Jenis Filariasis
Menurut Felix Partono dan Agnes Kurniawan, berdasarkan tempat pembiakan cacing dewasanya, filariasis dapat dibagi menjadi 2 jenis,yaitu filariasis limfatik dan filariasis alimfatik. Filariasis limfatik adalah filariasis di mana cacing dewasa penyebab penyakit itu berkembang biak di sistem limfatik. Agen filariasis limfatik adalah Wucheria bancrofti, Brugia malayi, dan Brugia timori . Sedangkan menurut Markell,Voge dan John filariasis non limfatik adalah filariasis di mana cacing dewasa penyebab penyakit itu berkembang biak tidak pada sistem limfatik melainkan pada saluran darah, di bawah kulit atau bahkan di bola mata. Agen filariasis alimfatik adalah Loa-loa, Mansonella ozzardi, Mansonella streptocerca,dan Mansonella perstans. Dari penjelasan di atas,dapat disimpulkan bahwa filariasis dapat digolongkan menjadi 2 jenis, yaitu filariasis limfatik dan filariasis non limfatik.

4. Penyebaran Wabah Filariasis


1. Vektor Penyebaran Menurut Zuhasril, seorang dokter dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, berdasarkan tempat pembiakan cacing dewasanya, vektor vilariasis dapat digolongkan menjadi 2 jenis,yaitu:

1.

Vektor Filariasis Limfatik

Filariasis limfatik dapat menyebar melaui nyamuk yang termasuk dalam jenis Aedes, Anopheles, Culex, Mansonia, Coquiletiddia, dan Armigeres. Beberapa spesies dari Anopheles, Culex dan Aedes telah dilaporkan menjadi vektor filariasis bancrofti di perkotaan atau di pedesaan. Vektor utama filariasis di daerah perkotaan adalah Culex quinguefasciatus, sedangkan di pedesaan filariasis bancrofti dapat ditularkan melalui Anopheles aconitus, Anophles bancrofti dan Anopheles farauti. Vektor utama dari Filariasis malayi ialah Mansonia uniformis, Coquilettidia crassipes, Anopheles barbirostris, dan Anopheles nigerrimus. Sedangkan vektor utama filariasis timoris adalah Anopheles barbirostris. 2. Vektor Filariasis Nonlimfatik

Vektor filariasis Alimfatik adalah lalat yang termasuk dalam ordo Diptera dari kelas Insekta, yaitu genus Simulium dan Chrysops. Dari genus Simulium terdapat lalat yang bernama Simulium damnosum, lalat ini menyebabkan Onchocerca volvulus di Afrika. Sedangkan lalat dari jenis Chrysops, seperti Chrysops centurionis, Chrysops longicornis dan Chrysops distinctipennis dapat menyebarkan mikrofilaria Loa loa. Jadi,vektor penyebaran penyakit filariasis itu terdiri dari 2 jenis, yaitu vektor filariasis limfatik dan filariasis non limfatik. Keduanya memiliki vektor yang berbeda.

2. Agen Filariasis Seperti yang telah disebutkan di atas, terdapat beberapa jenis cacing filariae yang dapat menyebabakan filariasis. Cacing-cacing itu antara lain : a. Wucheria bancrofti Menurut Felix Partono, cacing ini tersebar luas di daerah yang beriklim tropis di seluruh dunia termasuk di Indonesia. Mempunyai ukuran bervariasi, yang betina berukuran 65-100 mm 0,1 mm dan yang jantan 40 mm 0.1 mm. Cacing betina dapat mengeluarkan mikrofilaria yang bersarung dengan ukuran 250 300 mikron 7-8 mikron. Bentuknya halus seperti benang dan berwarna putih susu. Pada umumnya, microfilaria W.brancrofti bersifat periodisitas nokturna, artinya mikrofilaria hanya terdapat di dalam aliran darah tepi pada waktu malam. Pada siang hari microfilaria hanya terdapat di kapiler alat dalam. Cacing ini mengalami 5 stadium pertumbuhan untuk menjadi dewasa. Mula-mula mikrofilaria yang terisap oleh nyamuk, melepaskan sarungnya di dalam lambung, kemudian bersarang di otot toraks. Pada stadium I, larva cacing ini memendek. Dalam waktu kurang dari seminggu, larva ini kemudian berganti kulit,tumbuh menjadi lebih gemuk dan panjang disebut larva stadium II. Larva berganti kulit sekali lagi pada hari kesepuluh menjadi larva stadium III. Kemudian, jika larva ini pindah ke tubuh manusia, larva ini dapat mengalami dua kali pergantian kulit, tumbuh menjadi larva stadium IV dan menjadi dewasa atau stadium V. Umur cacing dewasa mencapai 5-10 tahun.

b.

Brugia malayi Menurut Tomio Yamaguchi, Brugia malayi adalah jenis cacing filariae yang dapat ditemukan dari Asia Tenggara sampai Pasifik Barat Daya. Juga pernah ditemukan di Korea Selatan. Cacing dewasa B.malayi lebih kecil daripada W.brancofti. Yang jantan panjangnya 22 23 mm dan lebarnya 0,88 mikron, dan yang betina mempunyai panjang 550,16 mm. Berbeda dengan W.bancrofti yang ekornya tak memiliki nuclei (titik inti) di ekornya, sementara B.malayi memiliki nuklei di ekornya. Daur hidup dari B.malayi hampir sama dengan W.bancrofti, kecuali di daerah tertentu, di mana vektornya berbeda dari W.bancrofti. Yang termasuk vektor B.malayi adalah Mansonnia, Anopheles, dan Aedes. c. Brugia timori Menurut Markell,Voge dan John, mikrofilaria dari jenis ini pertama kali ditemukan pada tahun 1964 di kepulauan Timor. Kemudian, penyakit ini menyebar ke pulaupulau di Dangkalan Sunda. Mikrofilaria B.timori dapat dengan jelas dibedakan dari mikrofilaria B.malayi. Mikrofilaria dari B.timori lebih panjang dari B.malayi, dengan rata-rata 310 mikron. Jarak cephalic (bagian dari mikrofilaria anterior ke nuclei tubuh) mempunyai perbandingan panjang dan lebar 2:1 di B.malayi, sedangkan di B.timori 3:1. Sarung B.malayi mengandung Giemsa stain, sedangkan hal itu tidak ditemui pada B.timori. d. Cacing dari genus Mansonella Filaria ini adalah satu-satunya filaria yang ditemukan di benua Amerika. Mansonella ozzardi tidak memiliki nuklei di ujung ekornya sementara Mansonella streptocerca memilki nuklei yang memanjang sampai ke ujung ekor. Mikrofilaria dari jenis ini dapat ditemukan dengan biopsi kulit.

e. Loa loa Parasit ini hanya ditemukan pada manusia. Penyakitnya disebut loiasis atau Calabar Swelling. Loiasis terutama terdapat di daerah Afrika Barat,Afrika tengah dan Sudan. Parasit ini juga terdapat pada daerah khatulistiwa yang mempunyai hutan hujan. Cacing dewasa hidup dalam jaringan subkutan,yang betina berukuran 50-70 mm 0,35-0,43 mm. Cacing betina mengeluarkan mikrofilarianya yang beredar dalam darah pada siang hari (diurnal). Pada malam hari, mikrofilaria berada dalam pembulah darah paru-paru. Mikrofilaria mempunyai sarung berukuran 250 300 mikron 6-8,5 mikron. Dapat ditemukan dalam urin, dahak dan kadang-kadang dapat ditemukan pada cairan sumsum tulang belakang. Cacing dewasa dapat tumbuh 1 samapi 4 tahun kemudian berkopulasi dan cacing betina mengeluarkan mikrofilaria.

5. Gejala-gejala yang Ditimbulkan


A. Gejala Awal Berdasarka penelitian yang dilakukan oleh Departemen Kesehatan Republik Indonesia, gejala penyakit kaki gajah (filariasis) yang biasanya muncul adalah demam berulang-ulang selama 3-5 hari. Terjadi pembengkakan kelenjar getah bening tanpa luka di daerah lipatan paha, ketiak, dan tampak kemerahan. Kelenjar getah bening dapat pecah dan mengeluarkan nanah serta darah. Sasaran penyakit ini juga dapat terjadi pada pembebasaran tungkai, lengan, buah dada, kantong buah zakar. Gejala penyakit ini cukup sulit untuk dideteksi karena perjalanan penyakit yang tidak jelas dari satu stadium ke stadium berikutnya. Tetapi, Liliana Kurniawan,seorang peneliti penyakit menular dari Departemen Kesehatan RI, menjelaskan gejala penyakit kaki gajah dapat dibagi menjadi empat fase apabila diurut dari masa inkubasi. Masa inkubasi tersebut yaitu:

10

1. Masa prepaten Masa prepaten, masa antara masuknya larva infektif sampai terjadinya mikrofilaremia berkisar antara 3-7 bulan. Pada masa ini gejala-gejala klinis yang ditimbulkan belum terdeteksi. 2. Masa inkubasi Masa inkubasi, masa antara masuknya larva infektif sampai terjadinya gejala klinis berkisar antara 8-16 bulan. B. Gejala klinik akut Gejala klinik akut merupakan limfadenitis dan limfangitis (peradangan kelenjar getah bening) disertai panas dan malaise. Kelanjar yang terkena biasanya unilateral. 1. Filariasis brancofti

Pembuluh limfe alat kelamin laki-laki sering terkena disusul funikulitis, epididimitis, dan orchitis. Umumnya sembuh dalam 3-15 hari dan serangan terjadi beberapa kali dalam setahun. 2 . Filariasis brugia Pembuluh limfa menjadi keras dan nyeri dan sering terjadi limfedema pada pergelangan kaki dan kaki. Serangan dapat terjadi 1-2 kali per tahun sampai beberapa kali per bulan. Kelenjar limfa yang terkena dapat menjadi abses, memecah, membentuk ulkus dan meninggalkan parut yang khas, setelah 3 minggu-3 bulan.

11

C. Gejala menahun Gejala menahun terjadi 10-15 tahun setelah serangan akut pertama. Gejala yang ditimbulkan biasanya elephantiasis (penebalan kulit dan jaringan-jaringan di bawahnya). Elephantiasis biasanya menyerang bagian bawah tubuh, namun hal ini juga tergantung pada species filaria. W. bancrofti dapat menyerang kaki, tangan, vulva, dada, sedangkan Brugia timori jarang menyerang bagian kelamin. Infeksi oleh Onchocerca volvulus dan migrasi microfilariae lewat kornea adalah salah satu penyebab kebutaan (Onchocerciasis). Gejala menahun ini dapat menyebabkan terjadinya cacat yang mengganggu aktivitas penderita serta membebani keluarganya. Menurut Rita Marleta, seorang peneliti penyakit menular dari Badan Litbang Kesehatan, seseorang dinyatakan menderita kaki gajah jika dalam darah ditemukan mikrofilaria. Mengingat gejala yang ditimbulkan cukup sulit dideteksi dan mikrofilaria kaki gajah terdapat dalam darah, maka deteksi penyakit ini harus dilakukan di laboratorium melalui pemeriksaan darah. Pemeriksaan darah dilakukan pada malam hari sebab sifat filariasis pergerakan dalam tubuh hanya pada malam hari. Berdasarkan dari teori-teori beberapa pakar, gejala yang ditimbulkan oleh filariasis bertahap dan menahun. Gejala yang ditimbulkan disesuaikan dengan masa inkubasi mikrofilaria. Untuk mengetahui seseorang menderita penyakit filiriasis atau tidak, dapat dilakukan pemeriksaan darah. Jika pemeriksaan darah menunjukkan terdapat mikrofilaria di dalam darah maka penderita dapat dipastikan menderita penyakit kaki gajah.

12

6. Pemeriksaan Diagnostik Penyakit Kaki Gajah


Penyakit kaki gajah ini umumnya terdeteksi melalui pemeriksaan mikroskopis darah, Sampai saat ini hal tersebut masih dirasakan sulit dilakukan karena microfilaria hanya muncul dan menampilkan diri dalam darah pada waktu malam hari selama beberapa jam saja (nocturnal periodicity). Selain itu, berbagai metode pemeriksaan juga dilakukan untuk mendiagnosa penyakit kaki gajah. Diantaranya ialah dengan sistem yang dikenal sebagai penjaringan membran, metode konsentrasi Knott dan teknik pengendapan. Metode pemeriksaan yang lebih mendekati kearah diagnosa dan diakui oleh pihak WHO adalah dengan jalan pemeriksaan sistem "Tes kartu". Hal ini sangatlah sederhana dan peka untuk mendeteksi penyebaran parasit (larva). Yaitu dengan cara mengambil sampel darah sistem tusukan jari droplets diwaktu kapanpun, tidak harus dimalam hari.

7. Pencegahan Penyakit Kaki Gajah


Bagi penderita penyakit kaki gajah diharapkan kesadarannya untuk memeriksakan kedokter dan mendapatkan penanganan obat-obatan sehingga tidak menyebarkan penularan kepada masyarakat lainnya. Untuk itulah perlu adanya pendidikan dan pengenalan penyakit kepada penderita dan warga sekitarnya. Pemberantasan nyamuk di wilayah masing-masing sangatlah penting untuk memutus mata rantai penularan penyakit ini. Menjaga kebersihan lingkungan merupakan hal terpenting untuk mencegah terjadinya perkembangan nyamuk di wilayah tersebut.

8. Penanganan dan Pengobatan Penyakit Kaki Gajah


Tujuan utama dalam penanganan dini terhadap penderita penyakit kaki gajah adalah membasmi parasit atau larva yang berkembang dalam tubuh penderita, sehingga tingkat penularan dapat ditekan dan dikurangi. Dietilkarbamasin {diethylcarbamazine (DEC)} adalah satu-satunya obat filariasis yang ampuh baik untuk filariasis bancrofti maupun malayi, bersifat makrofilarisidal dan mikrofilarisidal. Obat ini tergolong murah, aman dan tidak ada resistensi obat. Penderita yang mendapatkan terapi obat ini mungkin akan memberikan reaksi samping sistemik dan lokal yang bersifat sementara dan mudah diatasi dengan obat simtomatik.

13

BAB III KESIMPULAN DAN SARAN

1. Kesimpulan
Filariasis atau Elephantiasis atau disebut juga penyakit kaki gajah adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi cacing filaria yang penularannya melalui gigitan berbagai jenis nyamuk. Diperkirakan penyakit ini telah menginfeksi sekitar 120 juta penduduk di 80 negara, terutama di daerah tropis dan beberapa daerah subtropis. Penyakit filariasis bersifat menahun (kronis) dan bila tidak mendapat pengobatan dapat menimbulkan cacat menetap berupa pembengkakan kaki, lengan, payudara, dan alat kelamin baik pada wanita maupun pria. Meskipun filariasis tidak menyebabkan kematian, tetapi merupakan salah satu penyebab timbulnya kecacatan, kemiskinan dan masalah-masalah sosial lainnya.

2. Saran
Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mendalami faktor-faktor yang berhubungan dengan perilaku minum obat filariasis pada masyarakat dan klarifikasi beberapa aspek yang seharusnya berhubungan dengan menggunakan besar sampel yang lebih besar dan desain penelitian yang lebih baik. Penelitian yang dapat dilakukan antara lain: 1. Penelitian kualitatif untuk mendalami bagaimana pengaruh Tenaga Pelaksana Eliminasi (TPE) filariasis dan sosialisasi pengobatan massal filariasis pada perilaku minum obat filariasis di masyarakat. 2. Penelitian epidemiologi untuk mengetahui aspek lain yang belum diteliti yang kemungkinan berhubungan dengan perilaku minum obat filariasis pada masyarakat dan penelitian lebih lanjut tentang efek samping obat filariasis.

14

DAFTAR PUSTAKA
Chaerudin P. Lubis, Syahril Pasaribu. Filariasis dalam Buku Ajar Penyakit Anak. Infeksi dan Penyakit Tropis. Edisi Pertama. 2002. Jakarta. Bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUI. 435-441 Herdiman T. Pohan. Filariasis dalam Buku Ajar Penyakit Dalam. Jilid I. Edisi III. 2004. Jakarta. Balai Penerbit FKUI. 525-529 T.H. Rampengan, I.R. Laurents. Penyakit Infeksi Tropik pada Anak. 1997. Jakarta. Penerbit Buku Kedokteran EGC. 233-243 Nelson. Texbook of Pediatric edisi 17, hal 1161-1162

15

TUGAS MIKROBIOLOGI KAKI GAJAH ( Filariasis )

Disusun oleh: Kelompok 11

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN MUHAMMADIYAH GOMBONG

2012

16

You might also like