You are on page 1of 5

ARTIKEL Pendidikan Di Indonesia dan Berbagai Pemasalahannya

Bicara masalah pendidikan memang tak akan pernah ada habisnya. Bahkan, masalah yang sampai saat ini masih mengganggu pikiran pemerintah dan masyarakat adalah masalah rendahnya mutu pendidikan di Indonesia. Jika dihitung jumlah instansi pendidikan, baik formal maupun nonformal, jumlahnya dapat dikatakan cukup memadai. Hanya saja, yang masih memprihatinkan adalah mutu pendidikannya masih banyak yang berada di bawah standar. Rendahnya mutu pendidikan, dapat disinyalir dari rendahnya jumlah masyarakat yang mengenyam pendidikan, terutama pendidikan wajib belajar. Upaya pemerintah dengan menggratiskan biaya pendidikan jenjang sekolah dasar dan SMP tampaknya masih belum efektif benar dalam meningkatkan jumlah masyarakat terdidik di tanah air kita ini. Meskipun biaya sekolah gratis, namun biaya buku-buku dan sebagainya masih harus ditanggung oleh orang tua murid. Mengingat masih banyaknya jumlah masyarakat miskin di Negara kita ini, maka masih banyak pula masyarakat yang belum mampu mengenyam pendidkan tersebut. Selain itu, hal yang paling mencolok yang menandai rendahnya mutu pendidikan dapat dilihat dari potret dunia pendidikan di Indonesia. Dunia pendidikan saat ini sering dikritik oleh masyarakat disebabkan karena adanya sejumlah pelajar dan lulusan pendidikan tersebut yang menunjukkan sikap kurang terpuji. Banyak pelajar terlibat tawuran, melakukan tindakan

kriminal, pencurian, penodongan, penyimpangan seksual, menyalah-gunakan obat-obatan terlarang dan sebagainya. Perbuatan tidak terpuji yang dilakukan para pelajar tersebut benarbenar telah meresahkan masyarakat dan merepotkan pihak aparat keamanan. Hal tersebut masih ditambah lagi dengan adanya peningkatan jumlah pengangguran yang pada umumnya adalah tamatan pendidikan.

Keadaan ini menjadikan potret pendidikan kita makin tak menarik dan tak sedap dipandang. Makin menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap wibawa dunia pendidikan kita. Jika keadaan yang demikian tidak segera dicari solusinya, maka akan sulit mencari alternatif

yang lain yang paling efektif untuk membina moralitas masyarakat.Berbagai solusi untuk memperbaiki dunia pendidikan dan mencari sebab-sebabnya merupakan hal yang tidak dapat ditunda lagi. Untuk mendapatkan solusi, tentu saja kita harus mengetahui akar permasalahannya. Lalu dalam pembahasan ini kita akan membahas apa saja hal-hal yang menyebabkan rendahnya mutu pendidikan di Indonesia. Dilihat dari kondisi yang terjadi saat ini, beberapa hal tersebut adalah: 1. Kurangnya Mutu dan Kompetensi Para Pendidik Sistem pendidikan di Indonesia sebenarnya sudah cukup baik, namun pelaksanaannya kurang optimal. Hal ini disebabkan sulitnya menyediakan guru-guru yang berkompetensi untuk mengajar, terutama di daerah-daerah. Jika bicara masalah kurikulum, kurikulum pendidikan di Indonesia tidak kalah dari kurikulum yang diterapkan di Negara maju. Terutama setelah diterapkannya Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) yang menggantikan Kurikulum 1994 sejak Tahun Ajaran 2000-2001. Namun nyatanya, pelaksanaan kurikulum ini pun belum menampakkan hasil yang diharapkan. Kurangnya mutu dan kompetensi para pendidik adalah salah satu hal yang menyebabkannya. Para guru nampaknya kurang dapat mengapresiasikan muatan kurikulum tersebut dalam mendidik dan mengajar para siswa. Dapat dikatakan, kebanyakan dari para pendidik belum bisa mengajar dan mendidik dengan benar. Ada banyak sekali kegiatan yang dilakukan oleh depdiknas untuk meningkatkan mutu dan kompetensi guru, seperti kegiatan penataran secara periodik dan sosialisasi. Tapi tampaknya tindak lanjutnya kurang membuahkan hasil. Jadi terkesan bahwa kegiatan tersebut yang penting terlaksana, tanpa memprhatikan manfaat yang dapat diperoleh. Sehingga tampak bahwa mutu dan kompetensi para pendidik tidak mengalami kemajuan, hanya begitu-begitu saja.

2. Penerapan Sistem Pendidikan yang Bersifat Sekuler-Materialistik Sistem pendidikan yang diterapkan di Indonesia pada saat ini adalah system pendidikan yang sekular-materialistik. System Pendidikan semacam ini terbukti telah gagal melahirkan manusi shaleh yang sekaligus mampu menjawab tantangan perkembangan melalui penguasaan sains dan teknologi. Secara kelembagaan, sekularisasi pendidikan menghasilkan

pemisahan pendidikan yang sudah berjalan puluhan tahun, yakni antara pendidikan agama di satu sisi dengan pendidikan umum di sisi lain. Pendidikan agama yang dilaksanakan melalui madrasah, institut agama, dan pesantren, dikelola oleh Departemen Agama. Kurikulumnya tentu saja berbasis agama yang dapat membentuk generasi yang sholeh. Sementara itu pendidikan umum dilakssanakan melalui sekolah dasar, sekolah menengah dan kejuruan, serta perguruan tinggi umum, dikelola oleh Departemen pendidikan nasional. Kurikulumnya, seperti yang kita lihat, hanya memberikan pelajaran agama sekali seminggu, selama 2 jam pelajaran, atau sekitar 90 menit. Begitu sedikit bobot agama yang diberikan pada pendidikan umum ini. Yang tentu saja, tidak dapt menjamin perbaikan pemahaman siswa tentang agama. Apalagi pemberian materinya kebanyakan adalah ceramah, yang sering kali membuat para siswa bosan dan mengantuk. Parahnya lagi, di Negara kita tercinta ini, lembaga pendidikan umum seperti itu lebih banyak daripada lembaga pendidikan agama. Pemisahan antara pendidikan agama dan pendidikan umum ini bukanlah hal yang tepat. Seharusnya antara pendidikan umum tentang pengenalan sains dan teknologi serta pendidikan agama tentang pendidikan moral harus diberikan kepada para siswa secara seimbang, tidak seharusnya terjadi pemisahan seperti itu. Karena dengan pemisahan itu, kompetensi Para pelajar menjadi tidak seimbang. Mereka menjadi banyak tahu, namun tidak disertai dengan moralitas yang memadai.

3. Biaya pendidikan yang Melambung Pendidikan bermutu itu mahal. Kalimat itu sering muncul untuk menjustifikasi mahalnya biaya yang harus dikeluarkan masyarakat untuk mengenyam bangku pendidikan. Mahalnya biaya pendidikan dari Taman kanak-Kanak (TK) hingga Perguruan Tinggi (PT) membuat masyarakat miskin tidak memiliki pilihan lain kecuali tidak bersekolah. Ini sama saja dengan mengeluarkan pernyataan, meski tidak secara langsung, bahwa orang miskin tidak boleh sekolah. Kondisi ideal dalam bidang pendidikan di Indonesia adalah tiap anak bisa sekolah minimal hingga tingkat SMA tanpa membedakan status karena itulah hak mereka. Namun hal tersebut sangat sulit untuk direalisasikan pada saat ini. Oleh karena itu, setidaknya setiap orang memiliki kesempatan yang sama untuk mengenyam dunia pendidikan. Jika mencermati permasalahan di atas, terjadi sebuah ketidakadilan antara si kaya dan si miskin.

Seolah sekolah hanya milik orang kaya saja sehingga orang yang kekurangan merasa minder untuk bersekolah dan bergaul dengan mereka. Ditambah lagi publikasi dari sekolah mengenai beasiswa sangatlah minim. Meskipun sekarang ini pemerintah menggratiskan biaya SPP, namun tetap saja pendidikan ini masih mahal biayanya. Karena untuk bersekolah, para siswa juga membutuhkan buku-buku pelajaran, harus membayar iuran ini-itu, belum lagi untuk biaya transportasi ke sekolah jika rumah siswa dari sekolah jaraknya jauh. Untuk memenuhi semua itu, dibutuhkan uang yang tidak sedikit. Dan secara otomatis, orang-orang miskin tidak akan mampu memenuhi semua itu. Sayangnya, jumlah masyarakat miskin di Indonesia mencapai lebih dari setengah jumlah penduduk. Lau apa jadinya? Sedangkan mereka yang bersekolah saja, mutu dan kompetensi serta moralitasnya rata-rata masih kurang dari harapan, apalagi masyarakat miskin yang terpaksa tidak dapat mengakses pendidikan ini. Jumlah mereka pun tidak sedikit. Tidak heran jika para generasi kita memiliki mutu SDM dan moralitas yang buruk.

4. Melemahnya Peran dan Tanggung Jawab Pemerintah Tehadap Masalah Pendidikan Melemahnya peran dan tanggung jawab pemerintah terhadap masalah pendidikan, salah satunya dapat dilihat dari semakin berkurangnya anggaran pendidikan dari APBN. Hal ini tak lepas dari tekanan utang dan kebijakan untuk memastikan penbayaran utang. Utang luar negri Indonesia memakan biaya sebesar 35-40 persen dari APBN setiap tahunnya. Akibatnya, sector yang menyerap pendanaan bessar seperti pendidikan menjadi korban. Dana pendidikan pun harus dipotong. Hal ini berbuntut panjang. Lembaga pendidikan diharuskan untuk mencari pembiayaan sendiri. Ini mengarah pada privatisasi pendidikan, dimana pemerintah melempar tanggung jawab mengenai masalah pendidikan ini dari tangannya kepada masyarakat itu sendiri. Tidak heran jika biaya pendidikan semakin melambung saja. Terutama biaya pendidikan Perguruan Tinggi. Akibatnya, akses rakyat yang kurang mampu untuk menikmati pendidikan berkualitas menjadi terbatas. Betapa menyedihkan. Ha ini sungguh menjadi momok bagi masyarakat. Jika alasannya pendidikan bermutu itu harus mahal, maka argumen ini hanya berlaku di Indonesia hanya berlaku di Indonesia. Di Jerman, Prancis, Belanda, dan beeberapa Negara berkembang lainnya, banyak perguruan

tinggi yang bermutu namun biaya pendidikannya rendah. Bahkan beberapa Negara ada yang menggratiskan biaya pendidikan. Pendidikan berkualitas memang tidak mungkin murah, atau tepatnya, tidak harus murah atau gratis. Tetapi persoalannya siapa yang seharusnya membayarnya? Pemerintahlah sebenarnya yang berkewajiban untuk menjamin setiap warganya memperoleh pendidikan dan menjamin akses masyarakat bawah untuk mendapatkan pendidikan bermutu. Akan tetapi, kenyataannya Pemerintah justru ingin berkilah dari tanggung jawab. Padahal keterbatasan dana tidak dapat dijadikan alasan bagi Pemerintah untuk cuci tangan.

You might also like