You are on page 1of 3

Ini Dia Proses Cuaca Hasil Analisa BPPT Saat Kecelakaan Sukhoi Terjadi

Andri Haryanto - detikNews Jumat, 25/05/2012 04:40 WIB Browser anda tidak mendukung iFrame Jakarta Saat kecelakaan Sukhoi Superjet 100 berbagai spekulasi dan analisis mengenai sebab musabab bermunculan, terutama mengenai faktor cuaca yang diduga menjadi penyebab kecelakaan yang menyebabkan 45 orang tewas. Lembaga Antariksa dan Penerbangan Nasional (LAPAN) merilis hasil analisis cuaca menggunakan data sitra satelit MTSAT yang menyatakan bahwa pada saat terbang di sekitar Gunung Salak, awan tampak sangat rapat dengan liputan awan lebih dari 70% dan terdapat awan Cumulonimbus (Cb) sangat tebal dengan ketinggian sampai 37 ribu kaki. Sementara Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menyatakan bahwa saat kejadian tidak ada faktor cuaca yang cukup menonjol karena cuaca tergolong normal. Kemudian LAPAN bersama BMKG mengklarifikasi informasi tersebut dengan mengatakan, awan yang mengepung Gunung Salak bukanlah awan Cb melainkan awan tinggi biasa. Dr. Tri Handoko Seto, peneliti Meteorologi Tropis dan praktisi Teknologi Modifikasi Cuaca di Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), menjelaskan untuk melakukan analisis kecelakaan pesawat diperlukan informasi bukan hanya kondisi cuaca tapi juga proses cuaca yang terjadi. "Kondisi cuaca mungkin saja hanya nampak gelap ketika terdapat awan dengan volume yang besar. Tetapi proses cuaca bisa memberikan informasi tentang dinamika awan yang bisa lebih menggambarkan tingkat bahaya," kata Tri Handoko dalam keterangan tertulis yang diterima detikcom, Jumat (24/5/2012). Tri menambahkan, kondisi atmosfer regional dan profil vertikal juga diperlukan untuk mendukung analisis agar diperoleh gambaran yang lebbih akurat tentang situasi yang terjadi. "Apalagi jika hendak melakukan analisis kotak hitam yang hanya berupa CVR (cockpit voice recorder) tanpa adanya FDR (flight data recorder), maka diperlukan informasi tambahan yang lebih akurat agar bisa menguji akurasi makna percakapan yang tercatat di cockpit pesawat," terangnya. Berikut analisis komprehensif proses cuaca saat kecelakaan Sukhoi Superjet 100 terjadi 9 Mei 2012 lalu. 1. Data historis Berdasarkan data historis bulanan curah hujan di sekitar Gunung Salak, maka dapat diketahui

bahwa pada bulan Mei curah hujan yang terjadi tidak terlalu besar. Dibandingkan curah hujan tertinggi pada bulan Januari sebesar 521,4 mm dan curah hujan terendah pada bulan Juli 100,5 mm maka curah hujan bulan Mei sebesar 211,5 mm termasuk cukup kecil untuk ukuran curah hujan di daerah tersebut. 2. Data angin regional Data angin regional memperlihatkan bahwa massa udara yang masuk ke area Gunung Salak dan sekitarnya berasal dari tenggara. Angin ini membawa massa udara yang cukup kering. 3. Data suhu muka laut Data rata-rata suhu muka laut tanggal 7-13 Mei di sebelah selatan Pulau Jawa memperlihatkan adanya anomali negatif yang mengindikasikan kurangnya aktifitas pembentukan awan di sekitar wilayah Pulau Jawa. 4. Data Radiosonde Data radiosonde adalah data hasil pengukuran profil vertikal udara untuk mengetahui potensi pembentukan awan. Data radiosonde yang digunakan pada analisis ini adalah data radiosonde yang diluncurkan di Cengkareng tanggal 9 Mei jam 00 UTC (jam 7 pagi) dan jam 12 UTC (jam 12 malam). Hanya data ini yang secara temporal dan spasial mendekati waktu dan lokasi kecelakaan pesawat. Data radiosonde menunjukkan bahwa pada hari tersebut tidak terdapat peluang yang besar untuk terbentuknya awan Cumulonimbus (Cb). 5. Data tutupan awan Data tutupan awan di daerah Gunung Salak dan sekitarnya pada tanggal 9 Mei 2012 ketika terjadi kecelakaan pesawat memang memperlihatkan tutupan awan yang sangat rapat. Ketinggian puncak awan juga di atas 30 ribu kaki. Awan-awan tersebut bergerak dari arah timur ke arah barat melewati area Gunung Salak dan sekitarnya pada jam 14-16 WIB. Namun, yang perlu diingat adalah bahwa data tersebut menginformasikan puncak awan saja. Memang benar bahwa kondisi cuaca waktu itu terdapat awan dengan tinggi puncaknya sangat tinggi lebih dari 30 ribu kaki dengan covegare yang sangat luas. Namun demikian tidak serta merta bisa diartikan sebagai awan Cb, awan dengan dinamika yang sangat kuat yang sangat berbahaya bagi penerbangan. Struktur sebaran dari data tersebut secara kualitatif memperlihatkan bahwa awan yang menutupi Gunung Salak dan sekitarnya bukanlah awan Cb. Selain itu, data radiosonde sebagaimana diulas di atas juga tidak mendukung terbentuknya awan Cb. Namun demikian masih perlu dilakukan analisis lebih lanjut sebagaimana pada poin-poin di bawah ini. 6. Data radar Data radar milik BPPT yang dioperasikan di Serpong san mampu menjangkau area Gunung Salak dan sekitarnya memperlihatkan bahwa awan-awan yang terdapat di Gunung Salak dan

sekitarnya adalah awan-awan yang tidak terbentuk secara masif melainkan tumbuh dan hilang bergantian dalam waktu yang relatif singkat. Tinggi puncak awan juga tidak ada yang mencapai 30 ribu kaki. Awan yang cukup aktif muncul pada jam 14:00 WIB dengan tinggi puncak awan mencapai hampir 7 km. Awan-awan di sekitar Gunung Salak kemudian semakin meluruh sehingga pada jam 14:30 WIB ketinggian puncak awan tinggal sekitar 3 km. 7. Data curah hujan Pantauan satelit TRMM (Tropical Rainfall Measuring Mission) menunjukkan bahwa di daerah sekitar Gunung Salak tidak terjadi hujan pada tanggal 9 Mei sejak pagi hari hingga tengah malam. Namun demikian hujan ringan pada malam hari di sebelah barat Pulau Jawa memperlihatkan bahwa awan-awan yang bergerak dari timur ke barat melintasi area Gunung Salak turun menjadi hujan ringan (sekitar 2 mm per 3 jam) di sebelah barat. Berdasarkan data analisis tersebut Tri berkesimpulanm bahwa Suplai uap air di area Gunung Salak dan sekitarnya tidak begitu kuat sehingga tidak memungkinkan terbentuknya awan-awan Cumulonimbus (Cb). "Awan-awan yang bergerak dari timur ke barat melintasi area Gunung Salak adalah awan-awan tinggi dengan puncak awan yang juga tinggi melebihi 10 km. Namun awan-awan tersebut juga mempunyai dasar awan yang tinggi dan tidak aktif sehingga tidak memiliki turbulensi yang kuat," terangnya. Tri menjelaskan, dari hasil analisa proses cuaca pihaknya disebutkan bahwa awan-awan tersebut yang tumbuh di area pegunungan Salak berbahaya bagi pesawat yang terbang rendah. "Proses cuaca yang disebutkan di atas menghasilkan awan-awan moderat yang jika berada di area yang tidak berundulasi sebenarnya tidak cukup berbahaya bagi penerbangan pesawat sekelas Superjet 100. Akan tetapi karena awan-awan tersebut tumbuh di area pegunungan seperti Gunung Salak maka bisa cukup berbahaya bagi pesawat yang terbang rendah," jelas Tri yang biasa bekerja memasuki awan ini. (ahy/mei)

You might also like