You are on page 1of 5

AKAL DAN WAHYU 1.

Pengertian akal Kata akal berasal dari kata Arab al-Aql yang dalam bentuk kata benda tidak terdapat dalam al-Quran hanya membawa bentuk kata kerjanya aqaluh dalam 1 ayat, taqilun 24 ayat, naqil 1 ayat, yaqiluha 1 ayat dan yaqilun 22 ayat. Kata-kata itu dalam arti paham dan mengerti.[1] Sebagai contoh dapat disebutkan ayat-ayat berikut yang artinya : Apakah kamu masih mengharapkan mereka akan percaya kepadamu, padahal segolongan dari mereka mendengar firman Allah, lalu mereka mengubahnya setelah mereka memahaminya, sedang mereka mengetahui. (Q.S. Al-Baqarah : 75). 2. Pengertian Wahyu Ayat al-Quran yang menjelaskan cara terjadinya komunikasi antara Tuhan dengan Nabinabi di antaranya. Yang artinya sebagai berikut : Tidak terjadi bahwa Allah berbicara kepada manusia kecuali dengan wahyu, atau dari belakang tabir, atau dengan mengirim seorang utusan, untuk mewahyukan apa yang ia kehendaki dengan seizing-Nya. Sungguh ia maha Tinggi lagi maha Bijaksana. (Q.S. AsySyuura; 51) Ayat di atas menjelaskan adanya komunikasi antara Tuhan dengan manusia, baik cara penyampaian wahyu itu di belakang tabir maupun dengan mengutus malaikat. Wahyu yang dalam Islam bukanlah hanya isi tetapi juga teks Arab dari ayat-ayat sebagai terkadang dalam al-Quran dalam teks Arabnya dari Tuhan adalah bersifat absolute. Wahyu menurut ilmu bahasa adalah isyarat yang cepat dengan tangan dan sesuatu isyarat yang dilakukan bukan dengan tangan. Juga bermakna surat, tulisan dan juga bermakna segala sesuatu yang kita sebuat kepada orang lain untuk diketahui.[2] Dari pengertian akal dan wahyu yang telah diungkapkan di atas, penulis akan membahas bagaimana peranan akal dan wahyu dalam system teologi Mutazilah, Asyaariyah dan Maturidiyah pada kajian selanjutnya. A. Akal dan Wahyu menurut Mutazilah, Asyariyah, dan Maturidiyah 1. Mutazilah Mutazilah adalah aliran teologi yang bersifat tradisional dan liberal, dan dikenal juga dengan nama Kaum Rasionalisme Islam.[3] Bagi Mutazilah akal maupun mengetahui keempat persoalan pokok di atas, berterima kasih kepada Tuhan sebelum turunnya wahyu wajib, mengerjakan yang baik dan menjahui yang jahat adalah wajib. Tokoh Mutazilah yang lain seperti al-Nazaam juga mengatakan sedemikian sebelum wahyu datang akal wajib mengetahui Allah, mengetahui yang baik dan yang jahat. Golongan al-Murdar yang dipelopori oleh Isa ibn Sabih lebih jauh lagi menurut mereka akal wajib mengetahui Allah, mengetahui hukum-hukum dan sifat Tuhan, walaupun wahyu belum dating orang yang tidak berterima kasih kepada Tuhan mendapat hukuman kekal dalam neraka.

1) http://kulimijit.blogspot.com/2009/07/perbandingan-antara-aliran-kekuasaan.html 2) M. Hasbi-Asy-shidiqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Quran/Tafsir, Bulan Bintang, Jakarta, 1954 hlm 12 3) Harun Nasution, Teologi Islam, UI Press, Jakarta, 1986, hlm. 38.

Dengan demikian, bagi kaum Mutazilah daya akal kuat tetapi fungsi wahyu penting yaitu memperkuat apa yang telah diketahui oleh akal. Memang akal dapat mengetahui yang baik dan yang jahat. Tetapi tidak semua yang baik itu baik dan yang jahat itu jahat seperti apa yang diketahui oleh akal. Jadi hanya sebagian saja yang diketahui oleh akal. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bagi kaum Mutazilah akal cukup mampu mengetahui keempat persoalan pokok tersebut, akan tetapi persoalan baik dan jahat yang dapat diketahui akal secara garis besarnya saja. Sedangkan secara terperinci ditetapkan oleh wahyu. Oleh sebab itu, bagi kaum Mutazilah fungsi wahyu lebih banyak bersifat konfirmasi daripada informasi. 2. Asyariyah Asyariyah system teologinya bersifat tradisional, kaum ini memberikan daya terkecil kepada akal dan fungsi terbesar kepada wahyu. Bagi mereka akal manusia hanya dapat mengetahui adanya Tuhan saja, sedangkan mengetahui baik dan jahat dan kewajibankewajiban manusia dapat diketahui melalui wahyu. Dengan demikian, jika sekiranya wahyu tidak ada manusia tidak akan tahu kewajiban-kewajibannya. Sekiranya syariat tidak ada, kata al-Ghazali, manusia tidak akan berkewajiban mengetahui Tuhan dan tidak akan berkewajiban berterima kasih kepada-Nya atas nikmat yang diturunkan-Nya kepada manusia.[4] Pendapat al-Baqhdadi tentang upah ini bertentangan dengan konsep kaum Mutazilah, bagi Mutazilah, Allah wajib memberi pahala atas perbuatan yang dianggap jahat oleh akal karena pada perbuatan itu sendiri terdapat sifat kebaikan dan kejahatan. Tidak ada kewajiban sebelum datangnya syariat dan akal tidak dapat menentukan kewajiban sebelum datangnya syariat.[5] Dengan demikian persoalan baik dan buruk tidak dapat diketahui oleh akal. Dari pendapat-pendapat yang dikemukakan oleh tokoh Asyariyah satu pendapat tentang kemampuan akal manusia, bagi mereka akal hanya dapat mengetahui wujud Tuhan, dalam tiga pokok lainnya dapat diketahui manusia dengan adanya wahyu. Oleh sebab itu, wahyu lebih banyak bersifat informasi daripada konfirmasi, karena akal manusia menurut system teologi Asyariyah lemah. Tetapi pengiriman rasul bagi aliran ini jaiz.[6] Sesuai dengan konsep Kehendak Mutlak Tuhan tidak ada kewajiban bagi Tuhan untuk mengutus rasul. 3. Maturidiyah Maturidiyah dan Asyariyah disebut juga dengan golongan Ahli Sunnah wal Jamaah, tetapi dalam system teologinya terdapat perbedaan pendapat dalam menempatkan kedudukan akal dan wahyu.. sementara itu Maturidiyah terpecah pula menjadi dua golongan, masingmasingnya mempunyai persepsi yang berbeda dalam menempatkan kedudukan wahyu dan akal untuk menjawab keempat persoalan terdahulu. Maturidiyah samarkand dengan tokohnya Abu Mansur al-Maturidi dan Maturidiyah Bukhara dengan tokohnya al-Bazdawi. Maturidiyah Samarkand berpendapat hanya satu yang tidak dapat diketahui akal yaitu butir empat. Untuk itu, diperlukan wahyu. Ketiga butir lainnya dapat diketahui akal.

4) Harun Nasution, Teologi Islam, UI Press, Jakarta, 1986, hlm. 100. 5) Al-Juwaini, al-Syamil fi ushul al-Din, Al-Maarif. Iskandariyah, 1969, hlm. 115. 6) http://kulimijit.blogspot.com/2009/07/perbandingan-antara-aliran-kekuasaan.html

Dalam hal yang demikian Maturidiyah Samarkand sependapat dengan Mutazilah yang mengatakan akal manusia mampu mengetahui Tuhan, kewajiban mengetahui Tuhan dan mengetahui yang baik dan yang jahat. Namun, kewajiban mengerjakan yang baik dan menjauhi yang jahat bagi Mutazilah dapat diketahui akal tetapi bagi Maturidiyah Samarkand diketahui dengan wahyu. Sebagaimana penjelasan al-Bazdawi, Percaya kepada Tuhan dan berterimakasih kepada-Nya sebelum adanya wahyu adalah wajib dalam paham Mutazilah Al-Syaikh Abu Mansur al-Maturidi dalam hal ini sepaham dengan Mutazilah. Demikian jugalah umumnya Ulama Samarkand dan sebahagian dari alim ulama Irak.[7] Menyangkut masalah pengetahuan tentang keburukan menurut Maturidiyah Samarkand ini ialah : bagi seluruh (al-Asyya) itu terhadap keburukan yang sebenarnya (zati). Sementara itu akal mampu mengetahui sebahagian dari keburukan perbuatan itu. Maturidi membagi sesuatu (al-assya) itu kepada tiga bagian. Pertama : Sesuatu yang dapat diketahui kebaikannya dengan akal Kedua : Sesuatu yang tidak jelas kebaikan dan keburukannya untuk diketahui oleh akal. Bagian terakhir ini tidak dapat diketahui kecuali melalui petunjuk syariat.[8] Argument al-Maturidi tentang akal ini adalah akal mengetahui bahwa bersikap adil dan lurus adalah baik dan bahwa bersikap tak lurus adalah buruk. Oleh karena itu, akal memang mulia terhadap orang yang adil serta lurus, dan memandang rendah terhadap orang yang bersikap tak adil dan tak lurus. Akal selanjutnya memerintah manusia mengerjakan perbuatan-perbuatan yang akan mempertinggi kemuliaan dan melarang manusia mengerjakan perbuatan-perbuatan yang akan mempertinggi kemuliaan dan melarang manusia mengerjakan perbuatan-perbuatan yang membawa kepada kerendahan. Perintah dan larangan itu dengan demikian menjadi wajib dengan kemestian akal (fa yajib al-amr wa al-nahy bi marifah alaql). Fungsi Wahyu Wahyu berfungsi memberi informasi bagi manusia. Bagi alran kalam tradisional, akal manusia sudah mengetahui empat hal, maka wahyu ini berfungsi memberi konfirmasi tentang apa yang telah dijelaskan oleh akal manusia sebelumnya. Tetapi baik dari aliran Mutazilah maupun dari aliran Samarkand tidak berhenti sampai di situ pendapat mereka, mereka menjelaskan bahwa betul akal sampai pada pengetahuan tentang kewajiban berterima kasih kepada tuhan serta mengerjakan kewajiban yang baik dan menghindarkan dari perbuatan yang buruk, namun tidaklah wahyu dalam pandangan mereka tidak perlu. Menurut Mutazilah dan Maturidiyah Samarkand wahyu tetaplah perlu. Wahyu diperlukan untuk memberi tahu manusia, bagaimana cara berterima kasih kepada tuhan, menyempurnakan akal tentang mana yang baik dan yang buruk, serta menjelaskan perincian upah dan hukuman yang akan di terima manusia di akhirat. Sementara itu, bagi bagi aliran kalam tradisional karena memberikan daya yang lemah pada akal fungsi wahyu pada aliran ini adalah sangat besar. Tanpa diberi tahu oleh wahyu manusia tidak mengetahui mana yang baik dan yang buruk, dan tidak mengetahui apa saja yang menjadi kewajibannya.

7) Al-Bazdawi, Ushul al-Din, Dar al-Ihyaal-Kutub al-Arabiah, Kairo, 1963, hal 207 8) Harun Nasution, Teologi Islam, UI Press, 1986, hlm. 77.

Selanjutnya wahyu kaum mutazilah mempunyai fungsi memberi penjelasan tentang perincian hukuman dan upah yang akan diterima manusia di akhirat. Abu Jabbar berkata akal tak dapat mengetahui bahwa upah untuk suatu perbuatan baik lebih besar dari pada upah yang ditentukan untuk suatu perbuatan baik lain, demikian pula akal tak mengetahui bahwa hkuman untuk suatu perbuatan buruk lebih besar dari hukuman untuk suatu perbuatan buruk yang lain. Semua itu hanya dapat diketahui dengan perantaraan wahyu. Al-Jubbai berkata wahyulah yang menjelaskan perincian hukuman dan upah yang akan diperoleh manusia di akhirat. Dari uraian di atas dapatlah kiranya disimpulkan bahwa wahyu bagi Mutazilah mempunyai fungsi untuk informasi dan konfirmasi, memperkuat apa-apa yang telah diketahui akal dan menerangkan apa-apa yang belum diketahui akal. Dan demikian menyempurnakan pengtahuan yang telah diperoleh akal. Bagi kaum Asyariyah akal hanya dapat mengetahui adanya tuhan saja, wahyu mempunyai kedudukan yang sangat penting. Manusia mengetahui yang baik dan yang buruk, dan mengetahui kewajiban-kewajibannya hanya turunnya wahyu. Dengan demikian sekiranya wahyu tidak ada, manusia tidak akan tahu kewajiban-kewajibannya kepada tuhan, sekiranya syariatnya tidak ada Al-Ghozali berkata manusia tidak aka ada kewajiban mengenal tuhan dan tidak akan berkewajiban berterima kasih kepadanya atas nikmat-nikmat yang diturunkannya. Demikian juga masalah baik dan buruk kewajiban berbuat baik dan mnghindari perbuatan buruk, diketahui dari perintah dan larangan-larangan tuhan. AlBaghdadi berkata semuanya itu hanya bisa diketahui menurut wahyu, sekiranya tidak ada wahyu tak ada kewajiban dan larangan terhadap manusia. Jelas bahwa dalam aliran Asyariyah wahyu mempunyai fungsi yang banyak sekali, wahyu yang menentukan segala hal, sekiranya wahyu tak ada manusia akan bebas berbuat apa saja, yang dikehendakinya, dan sebagai akibatnya manusia akan berada dalam kekacauan. Wahyu perlu untuk mengatur masyarakat, dan demikianlah pendapat kaum Asyariyah. AlDawwani berkata salah satu fungsi wahyu adalah memberi tuntunan kepada manusia untuk mengatur hidupnya di dunia. Oleh karena itu pengiriman para rosul-rosul dalam teologi Asyariyah seharusnya suatu keharusan dan bukan hanya hal yang boleh terjadi sebagaimana hal dijelaskan olh Imam Al-Ghozali di dalam al-syahrastani. Adapun aliran Maturidiyah bagi cabang Samarkand mempunyai fungsi yang kurang wahyu tersebut, tetapi pada aliran Maturidiyah Bukhara adalah penting, bagi Maturidiyah Samarkand perlu hanya untuk mengetahui kewajiban tentang baik dan buruk, sedangkan bagi Maturidiyah Bukhara wahyu perlu untuk mengetahui kwajiban-kewajiban manusia.[9] Oleh Karena itu di dalam system teologi yang memberikan daya terbesar adalah akal dan fungsi terkecil kepada wahyu, manusia dipandang mempunyai kekuasaan dan kemerdekaan.tetapi di dalam system teologi lain yang memberikan daya terkecil pada akal dan fungsi terbesar pada wahyu. Manusia dipandang lemah dan tak merdeka. Tegasnya manusia dalam pandangan aliran Mutazilah adalah berkuasa dan merdeka sedangkan dalam aliran Asyariyah manusia lemah dan jauh dari merdeka. Di dalam aliran maturidiyah manusia mempunyai kedudukan menengah di antara manusia dalam pandangan aliran Mutazilah, juga dalam pandangan Asyariyah. Dan dalam pandangan cabang Samarkand manusia lebih berkuasa dan merdeka dari pada manusia dalam pandangan cabang Bukhara. Dalam teologi Maturidiyah Samarkand, yang juga memberikan kedudukan yang tinggi pada akal, tetapi tidak begitu tinggi dibandingkan pendapat Mutazilah, wahyu juga mempunyai fungsi relatif banyak tetapi tidak sebanyak pada teologi Asyariyah dan maturidiyah Bukhara.
9) Harun Nasution, Teologi Islam Aliran-aliran Analisa Perbandingan, hlm. 101.

TUGAS AKIDAH Bab 10. Analisa dan Perbandingan antar Teologi Islam: Akal dan Wahyu, Fungsi Wahyu

Nama: Lutfi Arie Ramdhan NIM: 1111081000066 Kelas Manajemen 1 B

You might also like