You are on page 1of 68

1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan sesuatu yang sangat penting bagi manusia. Sehingga di Indonesia, pendidikan diatur dalam Undang-Undang tersendiri mengenai sistem pendidikan Nasional yang berbunyi: Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan dalam kehidupan bangsa yang bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, yang berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.1 Masalah pokok pendidikan di Indonesia saat ini masih berkisar pada soal pemerataan kesempatan, relevansi, kualitas efisiensi dan efektifitas pendidikan sesuai dengan masalah pokok tersebut serta memperhatikan isu dan tantangan masa kini dan kecenderungan di masa depan , maka dalam rangka meningkatkan kualitas sumber daya manusia (SDM) untuk mengatasi persoalan dan menghadapi tantangan itu, perlu diciptakan pendidikan yang unggul yaitu pendidikan yang dapat mengembangkan potensi dan kapasitas siswa secara optimal. Berkenaan

UU RI No. 20 Tahun 2003, Tentang Sistem Pendidikan Nasional (Bandung: Citra Umbara,

2003), 7.

dengan hal itu , pemerintah telah menetapkan tiga strategi pokok pembangunan pada sektor pendidikan, yaitu: (1) pemerataan kesempatan pendidikan, (2) peningkatan relevansi dan kualitas pendidikan, dan (3) peningkatan kualitas manajemen pendidikan. 2 Salah satu indikasi peningkatan kualitas pendidikan dapat dilihat dari

adanya peningkatan potensi akademik atau hasil belajar siswa secara keseluruhan yang meliputi tiga aspek, yaitu: kognitif, berupa pengembangan pendidikan termasuk didalamnya fungsi ingatan dan kecerdasan, Afektif, berupa pembentukan sikap termasuk didalamnya fungsi perasaan dan sikap, psikomotorik, berupa keterampilan termasuk didalamnya fungsi kehendak, kemauan, dan tingkah laku. Maka dalam rangka upaya meningkatkan prestasi belajar siswa dan tercapainya tujuan pendidikan nasional, ketiga aspek tersebut harus diperhatikan sehingga proses belajar mengajar tidak hanya menekankan pada pemahaman siswa tetapi juga menerapkan atau mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari- hari, karena pada dasarnya pendidikan bukanlah sekedar proses transformasi pengetahuan. Dewasa ini berdasarkan pengamatan Arief Rahman, MPd, salah seorang pengamat dunia pendidikan yang juga menjabat sebagai Executive National Commision untuk lembaga PBB UNESCO menyatakan bahwa masih dirasakan bahwa model atau pendekatan pembelajaran yang dikembangkan oleh guru- guru di sekolah lebih didasarkan pada kebutuhan formal dari pada kebutuhan riil siswa.

Uhar Saputra, Investasi Pendidikan (Mei 1, 2007) .http://uharsputra.wordpress.com/2007/05/01/investasi-pendidikan/.

Akibatnya proses pembelajaran yang dilaksanakan oleh guru- guru tersebut terkesan lebih merupakan pekerjaan administratif, dan belum berperan dalam mengembangkan potensi siswa secara optimal. 3 Kondisi pembelajaran seperti ini agaknya tidak dapat dilepaskan dari adanya kenyataan bahwa tugas yang diemban guru sebagai kurikulum dan pengajaran sangatlah kompleks dan sulit, karena ia berhadapan dengan dua hal yang berada diluar kontrolnya, yaitu pedoman pelaksanaan kurikulum, dimana sistem kurikulum Indonesia masih belum bisa menyesuaikan dengan apa yang mau dihasilkan dari sistem pendidikan itu sendiri yaitu as a workforce dan pengajaran yang sudah ditentukan terlebih dahulu dari atas, dan siswa yang membawa beragam kemampuan, entry behaviour dan karakteristik lainya ke dalam situasi pembelajaran. Brenda Watson dalam bukunya Education and Belief menyebutkan beberapa kesalahan pengajaran agama di sekolah. Pertama, sering terjadi bahwa guru mengubah proses pendidikan (education-process) menjadi proses indoktrinasi (indoctrination process). Kedua, sering terjadi kesalahan dalam memberikan pelajaran agama yang lebih menekankan pada pelajaran yang bersifat normatifinformatif dan sedikit menekankan pada religious education. Ketiga, ini berkaitan dengan sesuatu yang cukup rumit untuk dielakkan, yaitu biasanya seorang guru

Amril dan Lili, Menyoal Problematika Pendidikan di Indonesia (Mei 6, 2006). http://bz.blogfam.com/2006/05/menyoal_problematika _pendidikan.html.

susah untuk melepaskan ideologi atau komitmen agama yang dianutnya ketika mengajarkan pendidikan agama. 4 Hal ini tidak dapat dilepaskan dari kualitas kinerja guru, terutama dalam melaksanakan proses belajar mengajar di kelas. Hal ini dibenarkan oleh Nana Syaodih Sukmadinata yang menyatakan bahwa Masalah tinggal kelas dan putus sekolah dapat dipandang sebagai salah satu kegagalan sekolah khsususnya guru dalam menciptakan proses belajar mengajar yang memungkinkan siswa mengusai pelajaran secara optimal. 5 Di sisi lain , model pembelajaran yang diimplementasikan di sekolahsekolah saat ini pada umumnya masih bersifat konvensional. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Astuti, mahasiswa S2 jurusan Teknologi Pendidikan yang meneliti tentang Perbedaan Prestasi Belajar dengan Menggunakan Model Pembelajaran Induktif dan Model Pembelajaran Konvensional Siswa SMP Negeri Bandar Lampung menyatakan, bahwa model pembelajaran konvensional belum mampu menjadikan semua siswa di kelas bisa menguasai kompetensi minimal yang telah ditetapkan, terutama siswa yang berkemampuan rendah .6 Di samping itu, siswa yang memiliki kemampuan belajar tinggi, juga belum memperoleh layanan pembelajaran yang optimal dalam pembelajaran konvensional. Bermunculannya

Alinur, Pendidikan Agama dan Nilai-nilai Toleransi (Januari 29, 2003). http://alinur.wordpress.com/2008/02/03/pendidikan-agama -dan-nilai-nilai-toleransi/. 5 Nana Syaodih Sukmadinata, Pengembangan Kurikulum Teori dan Praktek (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 1997), 213. 6 Astuti, Perbedaan Motivasi Berprestasi dan Hasil Belajar dengan Menggunakan Pembelajaran Konvensional Siswa SMPN 24 Bandar Lampung (Juli 31, 2007). http://Digilib.Unila.ac.id/go.php? Id=laptunilapp-gdl-s2-2007-astuti-622.

sekolah-sekolah unggul di beberapa kota besar, merupakan sebuah bukti yang menunjukkan bahwa model pembelajaran yang diterapkan saat ini belum memberikan perhatian yang cukup besar terhadap siswa yang memiliki kemampuan rendah (lambat) dan juga siswa yang berkemampuan tinggi (cepat) . Menurut beberapa pakar pendidikan model pembelajaran dikembangkan dewasa ini kelihatan masih belum peduli dan bahkan belum mampu

mengapresiasi serta mengakomodasi perbedaan-perbedaan individual siswa, berarti di dalam melaksanakan proses belajar mengajar guru memberikan layanan pembelajaran yang sama untuk semua siswa, baik yang memiliki kemampuan tinggi, sedang ataupun rendah. Dengan perlakuan demikian, siswa yang berbeda kecepatan belajarnya belum mendapatkan layanan pembelajaran yang sesuai

dengan kemampuan masing- masing. Siswa yang lambat tetap saja tertinggal dari kelompok sedang. Sementara sis wa yang cepat belum mendapatkan layanan yang optimal dalam pembelajaran. Proses pembelajaran yang berlangsung di kelas cenderung belum bisa mendorong mereka maju dan berkembang sesuai dengan kemampuan masing- masing. Salah satu prinsip atau asas mengajar m enekankan pentingya Individualitas , yaitu menyesuaikan pembelajaran dengan perbedaan individual siswa.
7

Di sisi lain, hasil penelitian Dwi Nugroho Hidayanto menemukan Fenomena rendahnya mutu pembelajaran disebabkan oleh sikap spekulatif dan

Syafruddin Nurdin, Model Pembelajaran yang Memperhatikan Keragaman Individu Siswa dalam Kurikulum Berbasis Kompetensi (Ciputat: Quantum Teaching, 2005), 5.

intuitif guru dalam memilih metode dan strategi pembelajaran . Karena itu ia menyatakan bahwa peningkatan kualitas pendidikan dapat dilakukan dengan memperbaiki kualitas pembelajaran, dan peningkatan kualitas pembelajaran dapat ditempuh dengan meningkatkan pengetahuan tentang merancang metode- metode pembelajaran yang lebih efektif, efisien, dan memiliki daya tarik. Hal ini menunjukkan, bahwa usaha untuk meningkatkan kualitas pendidikan bukanlah permasalahan yang sederhana, tapi merupakan permasalahan yang kompleks dan saling berkaitan dengan kualitas pembelajaran serta mutu guru. 8 Fenomena yang digambarkan diatas, baik yang menyangkut rendahnya kualitas prestasi akademik atau hasil belajar siswa maupun layanan pembelajaran yang belum dapat mengapresiasi dan mengakomodasi perbedaan individual

(aptitude) siswa merupakan suatu tantangan yang harus dihadapi oleh guru. Maka dari permasalahan di atas penulis tertarik untuk melakukan penelitian tentang sejauhmana tingkat efektifitas model pembelajaran Aptitude Treatment Interaction (ATI) dalam meningkatkan prestasi belajar siswa. B. Identifikasi Variabel dan Rumusan Masalah 1. Identifikasi Variabel Dalam penelitian, harus ada dua variabel: a. Variabel Independen Variabel independen adalah variabel yang keberadaannya tidak terikat dengan variabel yang lain. Variabel ini juga disebut variabel bebas
8

Ibid., 8.

dan diberi simbol X. Dalam penelitian ini yang menjadi variabel X adalah model pembelajaran Aptitude Treatment Interaction (ATI). b. Variabel Dependen Variabel dependen dengan variabel adalah variabel yang keberadaannya terikat

yang lain. Variabel ini diberi simbol Y. Dalam

penelitian ini yang menjadi variabel Y adalah prestasi belajar siswa. 2. Rumusan Masalah Bertolak dari pemikiran di atas, maka permasalahan yang akan diungkapkan dalam penelitian ini adalah: a. Bagaimana implementasi model pembelajaran Aptitude Treatment Interaction (ATI) di SMP Negeri 13 Surabaya? b. Bagaimana prestasi belajar siswa setelah mengikuti model pembelajaran Aptitude Treatment Interaction (ATI) di SMP Negeri 13 Surabaya? c. Sejauh mana tingkat efektifitas model pembelajaran Aptitude Treatment Interaction (ATI) dalam meningkatkan prestasi belajar siswa di SMP Negeri 13 Surabaya ? C. Definisi Operasional Agar diperoleh gambaran yang jelas tentang judul tersebut, dan untuk menghindari salah pengertian dalam memahami judul skripsi tersebut, maka penulis akan memberi pengertian yang jelas atas beberapa istilah yang terkandung dalam judul tersebut, antara lain:

1. Efektifitas adalah pengaruh yang ditimbulkan oleh sebab atau perbuatan; akibat; dampak. 9 Dalam skripsi ini yang dimaksud efektifitas adalah pengaruh model pembelajaran Aptitude Treatment Interaction (ATI) dalam meningkatkan prestasi belajar siswa di SMP Negeri 13 Surabaya. 2. Model pembelajaran Aptitude Treatment Interaction (ATI) adalah suatu

konsep atau pendekatan yang memiliki sejumlah strategi pembelajaran (treatment) yang efektif digunakan untuk individu tertentu sesuai dengan kemampuan masing- masing. 10 3. Prestasi belajar siswa adalah penguasaan dan perubahan tingkah laku setelah dilaksanakannya proses pembelajaran yang diwujudkan dalam bentuk nilai atau angka. Dalam hal ini hasil belajar siswa dilihat dari hasil nilai post test (tes akhir) yang dilakukan setelah proses pembelajaran Aptitude Treatment Interaction (ATI). 11 Dari rangkaian istilah yang ada pada judul di atas dapatlah dimengerti maksud penulis adalah sejauh mana tingkat efektifitas model pembelajaran Aptitude Treatment Interaction (ATI) dalam meningkatkan prestasi belajar siswa di SMP Negeri 13 Surabaya.

Pius A Partanto dan M. Dahlan Al Barry, Kamus Ilmiah Populer (Surabaya: Arkola, 1994), Syafruddin Nurdin, Model Pembelajaran yang Memperhatikan, 37. Syaiful Bahri Djamarah, Prestasi Belajar dan Kompetensi Guru (Jakarta: Rineka Cipta,

128.
10 11

2002), 22.

D . Alasan Pemilihan Judul Tingkat keberhasilan pelaksanaan suatu proses belajar mengajar dipengaruhi oleh banyak faktor. Diantaranya perbedaan kemampuan (aptitude) siswa, proses pembelajaran dan prestasi belajar siswa sendiri. Sebagaimana diketahui bahwa setiap siswa mempunyai kemampuan yang berbeda-beda. Ada yang memiliki kemampuan tinggi dan ada yang berkemampuan rendah atau pun sedang. Oleh karena itu, untuk mengakomodasi dan mengapresiasi perbedaan individual siswa dalam pembelajaran dalam rangka mengoptimalkan prestasi belajar dibutuhkan cara atau pendekatan yang dapat diterapkan untuk menyesuaikan pembelajaran dengan perbedaan kemampuan siswa, yaitu melalui pembelajaran Aptitude Treatment Interaction (ATI). Maka penulis berinisiatif untuk mengadakan penelitian untuk mengetahui sejauh mana tingkat keberhasilan (efektifitas) model pembelajaran ATI dalam meningkatkan prestasi belajar siswa serta kemudian merumuskan judul permasalahan itu sebagai berikut: Efektifitas model pembelajaran Aptitude Treatment Interaction (ATI) dalam meningkatkan prestasi belajar siswa di SMPN 13 Surabaya. E. Tujuan dan Signifikansi penelitian 1. Tujuan penelitian Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka penulis dalam penelitian ini bertujuan:

10

a. Untuk mengetahui bagaimana implementasi model pembelajaran Aptitude Treatment Interaction (ATI) di SMP Negeri 13 Surabaya. b. Untuk mengetahui bagaimana prestasi belajar siswa setelah mengikuti model pembelajaran Aptitude Treatment Interaction (ATI) di SMP Negeri 13 Surabaya. c. Untuk mengetahui sejauh mana tingkat efektifitas model pembelajaran Aptitude Treatment Interaction (ATI) belajar siswa di SMP Negeri 13 Surabaya. 2. Signifikansi Penelitian Penelitian ini diharapkan berguna sebagai: a. Menemukan pemikiran tentang implementasi model pembelajaran Aptitude Treatment Interaction (ATI) wawasan dalam bidang penggunaan Treatment Interaction (ATI) b. Sebagai bahan informasi dan masukan bagi sekolah dalam menentukan langkah meningkatkan prestasi belajar siswa khususnya mata pelajaran Pendidikan Agama Islam dan sebagai bahan masukan bagi guru terutama guru Pendidikan Agama Islam SMP Negeri 13 Surabaya. c. Sebagai bahan masukan pengetahuan khususnya dalam meningkatkan kualitas Pendidikan Agama Islam yang ideal melalui pendekatan pembelajaran Aptitude Treatment Interaction (ATI). sekaligus untuk memperkaya model pembelajaran Aptitude dalam meningkatkan prestasi

11

F. Hipotesis Hipotesis adalah suatu jawaban yang bersifat sementara terhadap permasalahan penelitian sampai terbukti melalui data yang terkumpul. 12 Menurut Suharsimi, ada dua jenis hipotesis yang digunakan dalam penelitian: 1. Hipotesis Kerja atau yang disebut dengan hipotesis alternatif, disingkat Ha. Hipotesis ini menyatakan adanya hubunga n antara variabel x dan variabel y atau adanya perbedaan antar kelompok. 2. Hipotesis Nol, disingkat Ho. Hipotesis ini menyatakan tidak adanya perbedaan antara dua variabel atau tidak adanya pengaruh variabel x terhadap variabel y. 13 Berdasarkan uraian diatas, maka dapat dikemukakan hipotesis sebagai berikut: a. Hipotesis Kerja (Ha) yang berbunyi; Model pembelajaran Aptitude Treatment Interaction (ATI) efektif dalam meningkatkan prestasi belajar siswa Surabaya. b. Hipotesis nol (Ho) yang berbunyi : Model pembelajaran Aptitude Treatment Interaction (ATI) tidak efektif dalam meningkatkan prestasi belajar siswa di SMPN 13 Surabaya.
12

di SMPN 13

Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek (Jakarta: Rineka Cipta, Ibid., 65.

1993), 62.
13

12

G. Metode Penelitian 1. Pendekatan Penelitian Penelitian dengan menggunakan pendekatan eksperimen adalah suatu penelitian yang berusaha mencari pengaruh variabel tertentu terhadap variabel yang lain dalam kondisi yang terkontrol secara ketat. 14 Pada penelitian ini menggunakan pendekatan eksperimen atau eksperimen murni dan sering kali disebut dengan istilah true experiment. Penelitian eksperimen merupakan penelitian yang dilakukan untuk meneliti kemungkinan adanya hubungan sebab akibat diantara variabel- variabel dengan cara menghadapkan kelompok eksperimen pada beberapa macam kondisi perlakuan dan membandingkan akibat (hasilnya) dengan satu atau lebih kelompok kontrol yang tidak dikenai perlakuan. 15 2. Lokasi Penelitian SMPN 13 Surabaya adalah merupakan tempat dimana penulis mengadakan penelitian. SMPN 13 Surabaya terletak di Jl. Jemursari 11 tepatnya berada di perumahan elit Wonocolo. Lokasi SMPN 13 Surabaya berada di sebelah timur SMAN 10 Surabaya dan berada dekat dengan kantor Departemen Pendidikan Kec. Wonocolo. SMPN 13 Surabaya sebagai lokasi penelitiannya dengan alasan yakni letaknya sangat strategis terutama bagi siswa yang berada di perumahan maupun siswa yang berkendaraan bagi

14 15

Riduwan, Belajar Mudah Penelitian (Bandung: Alfabeta, 2005), 9. Ibid., 50.

13

siswa yang rumahnya jauh. SMPN 13 Surabaya berdiri di atas lahan seluas 5435 m. 3. Populasi dan Sampel a. Populasi Untuk memperoleh data yang valid maka diperlukan adanya populasi terhadap obyek yang diteliti, sebab tanpa adanya populasi penelitian akan mengalami kesulitan dalam mengolah data. 16 Menurut Sugiono, populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri dari obyek atau subyek yang menjadi kuantitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya. 17 Sedangkan Riduwan, mengatakan bahwa

populasi adalah keseluruhan dari karakteristik atau unit hasil pengukuran yang menjadi obyek penelitian. 18 Dari beberapa pendapat di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa: Populasi merupakan obyek atau subyek yang berada pada suatu wilayah dan memenuhi syarat-syarat tertentu berkaitan dengan masalah penelitian.

Ine I Amiran Y dan Zainal Arifin, Penelitian dan Statistik Pendidikan (Jakarata: Bumi aksara, 1993), 134. 17 Sugiyono, Metode Penelitian Administrasi (Bandung: Alfabeta, 2002), 57. 18 Riduwan, Belajar Mudah , 3.

16

14

Penelitian ini dilakukan di SMPN 13 Surabaya, tahun ajaran 20082009. populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa-siswi kelas VII SMPN 13 Surabaya yang berjumlah 273 siswa terdiri dari 7 kelas paralel. b. Sampel Suharsimi Arikunto, mengatakan bahwa sampel adalah bagian dari populasi (sebagian atau wakil populasi yang diteliti). Sampel penelitian adalah bagian dari populasi yang diambil sebagai sumber data dan dapat mewakili seluruh populasi. 19 Sugiyono, memberikan pengertian sampel adalah sebagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh populasi. 20 Untuk sekedar ancer-ancer, maka apabila subyeknya kurang dari 100,lebih baik diambil semua sehingga penelitiannya merupakan penelitian populasi. Selanjutnya jika jumlah subyeknya besar dapat diambil antara 10%-15%, atau 20%-25% atau lebih. 21 Dari beberapa pendapat di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa sampel merupakan bagian dari populasi yang mempunyai ciri-ciri atau keadaan tertentu yang akan diteliti. Adapun dalam penelitian ini penulis melakukan teknik pengambilan sampel dengan cara sampel acak (random sampling), merupakan teknik pengambilan sampel dengan cara mencampur subyek-subyek dalam populasi sehingga semua subyek dalam populasi dianggap sama. Dengan
19 20

Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian , 117. Sugiyono, Metode Penelitian , 57. 21 Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian ., 120.

15

demikian setiap subyek memperoleh kesempatan yang sama untuk dipilih menjadi sampel. 22 Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa-siswi kelas VII SMPN 13 Surabaya yang berjumlah 273 siswa yang terdiri dari 7 kelas paralel. Sedangkan sampel dalam penelitian ini dipilih 2 kelas dari 7 kelas yang ada, 1 kelas sebagai kelas eksperimen dan 1 kelas sebagai kelas kontrol. Adapun data penelitian ini penulis menggunakan cara undian, yaitu dengan cara membuat daftar seluruh kelas VII. Mulai dari kelas VII A, VII B, VII C, VII D, VII E, VII F, DAN VII G. Setelah itu membuat lembar kertas kecilkecil kemudian digulung baik-baik. Setelah itu gulungan kertas tersebut dimasukkan ke dalam kaleng atau kotak, lalu dikocok. Dengan tanpa prasangka diambil dua gulungan. Dari kedua kelas tersebut, yang terpilih sebagai kelas eksperimen adalah kelas VII E sebanyak 36 siswa yang mendapat pembelajaran Aptitude Treatment Interaction (ATI). Sedangkan kelas kontrol adalah kelas VII C sebanyak 35 siswa yang tidak mendapatkan pembelajaran ATI. 4. Rancangan Penelitian Berdasarkan pendekatan penelitian di atas, maka rancangan penelitian ini adalah pre test control group design dengan satu macam perlakuan. Dalam model ini sebelum mulai perlakuan, kedua kelompok diberi tes awal (pre-test) untuk mengukur kondisi awal siswa (01 ). Selanjutnya pada
22

Ibid., 120.

16

kelompok eksperimen diberi perlakuan (x), yaitu perlakuan pembelajaran ATI dan pada kelompok kontrol tidak diberi perlakuan. Sesudah selesai perlakuan, kedua kelompok diberi tes lagi (post-test) sebagai tes akhir (02 ). Adapun model rancangan penelitian tersebut adalah: Tabel 1.1 Skema Rancangan Penelitian Kelompok E P Pre test O1 O1 Perlakuan x Post test O2 O2

Ket : E : Kelas eksperimen P : Kelas pembanding O1 : Pre test kepada kelas eksperimen dan pembanding O2 : Post test pada kelas eksperimen dan pembanding x : Perlakuan, yaitu penerapan pembelajaran Aptitude Treatment Interaction (ATI) pada Pendidikan Agama Islam

17

5. Sumber Dan Jenis Data a. Sumber Data Dalam penelitian yang dimaksud sumber data adalah subyek darimana data-data diperoleh. 23 Dalam penulisan skripsi ini, untuk mencari jenis data tentang: 1). Gambaran umum obyek : Sumber data dari Tata Usaha. 2). Penggunaan model pembelajaran: Sumber data dari guru khususnya guru Pendidikan Agama Islam SMPN 13 Surabaya. 3). Prestasi belajar Pendidikan Agama Islam: Sumber data dari guru Pendidikan Agama Islam. b. Jenis Data Data-data yang ditemukan dalam penelitian ini dapat digolongkan menjadi dua jenis yaitu data kualitatif dan data kuantitatif. 1).Data kualitatif Data kualitatif adalah data yang hanya dapat diukur secara tidak langsung. 24 Adapun data kualitatif dalam penelitian ini adalah: a) Gambaran tentang situasi dan kondisi SMPN 13 Surabaya. b) Struktur organisasi SMPN 13 Surabaya.

23 24

Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian , 114. Sutrisno Hadi, Metodologi Research (Yogyakarta: Andi Offset, 2000), jil.1, 82.

18

c) Model pembelajaran yang digunakan dalam mengajar mata pelajaran Pendidikan Agama Islam. d) Respon siswa terhadap model pembelajaran guru. e) Pelaksanaan pengajaran mata pelajaran Pendidikan Agama Islam 2.) Data kuantitatif Data kuantitatif adalah data yang dapat diukur secara langsung. 25 Adapun data kuantitatif dalam penelitian ini adalah: a). Jumlah guru dan murid. b). Sarana dan prasarana. c). Nilai mata pelajaran Pendidikan Agama Islam (raport). 6. Metode Pengumpulan Data Pengumpulan data merupakan langkah yang sangat penting dalam penelitian. Data yang terkumpul akan digunakan sebagai bahan analisis dan pengujian hipotesa yang telah dirumuskan. Oleh karena itu, pengumpulan data harus dilakukan dengan sistematis, terarah dan sesuai dengan masalah penelitian. Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pengumpulan data yang dilakukan, yaitu: a. Jenis data yang diperoleh b. Sumber data
25

Ibid., 66.

19

c. Cara pengumpulan data dan jumlah data yang diperlukan26 Agar dalam penelitian ini diperoleh data yang benar dan dapat dipertanggungjawabkan, maka ada beberapa metode yang penulis gunakan dalam mengumpulkan data, antara lain: a. Observasi Observasi adalah memperhatikan sesuatu dengan mata dan telinga secara sengaja yang berarti mengamati. Data diperoleh melalui pengamatan terhadap siswa selama proses pembelajaran berlangsung. b. Wawancara (interview) Interview merupakan sebuah dialog yang dilakukan untuk memperoleh informasi dari sumber terwawancara. Hasil wawancara merupakan informasi dari kepala sekolah mengenai gambaran umum obyek penelitian. c. Dokumentasi Data diperoleh melalui penyelidikan terhadap benda-benda tertulis seperti buku-buku, jurnal, majalah pendidikan, serta dokumen tentang arsip nilai siswa. 27 Dokumentasi penulis gunakan untuk mengetahui tentang gambaran umum obyek penelitian.

26 27

Hermawan Warsito, Pengantar Metodologi Penelitian (Jakarta: Gramedia, 1995), 69. Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian,117.

20

d. Tes Data tes adalah serentetan latihan yang digunakan untuk mengukur keterampilan, pengetahuan, sikap, intelegensi, kemampuan atau bakat yang dimiliki oleh individual atau kelompok. 28 Dalam hal ini data tes digunakan untuk mengukur prestasi belajar siswa sebelum pemberlakuan dan sesudah diterapkannya pembelajaran Aptitude Treatment Interaction (ATI). 7. Teknik Analisis Data Untuk menjawab rumusan masalah dan untuk menguji hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini, maka data yang dikumpulkan dalam penelitian ini dianalisis dengan menggunakan teknik analisis data deskriptif dan statistik. Teknik analisis data tersebut dapat diuraikan sebagai berikut : a. Untuk mengetahui bagaimana implementasi model pembelajaran Aptitude Treatment Interaction (ATI), penulis menggunakan analisis data deskriptif sebagai berikut : 1) Pengelompokan Kelas Berdasarkan Kemampuan Pengelompokan siswa didasarkan pada hasil aptitude testing. Siswa di dalam kelas diklasifikasi menjadi tiga kelompok yang terdiri dari siswa yang berkemampuan tinggi, sedang, dan rendah. 2) Macam- macam Perlakuan terhadap Perbedaan Tingkat Kemampuan Siswa.
28

Yatim Riyanto, Metodologi penelitian Pendidikan (Surabaya: SIC, 2001), 104.

21

Bagi kelompok siswa yang memiliki kemampuan tinggi, perlakuan yang diberikan yaitu belajar mandiri (self learning) dengan menggunakan modul plus. Kelompok siswa berkemampuan sedang diberikan pembelajaran reguler atau konvensional. Sedangkan bagi kelompok siswa yang mempunyai kemampuan yang rendah diberikan special treatment, yaitu berupa pembelajaran dalam bentuk reteaching dan tutorial. b. Untuk mengetahui bagaimana prestasi belajar siswa setelah mengikuti model pembelajaran ATI, penulis menggunakan analisis data tes yang diperoleh dari tes akhir (post test). c. Untuk mengetahui sejauh mana efektifitas model pembelajaran Aptitude Treatment Interaction (ATI) dalam meningkatkan prestasi belajar siswa, penulis menggunakan analisis data statistik yang meliputi uji normalitas, uji homogenitas dua variansi dan uji- T, sehingga terlihat signifikansi perbedaan antara nilai tes awal (pre test) dengan nilai tes akhir (post test). Adapun langkah- langkah yang digunakan adalah sebagai berikut :29 1). Uji Normalitas a). Menentukan hipotesis Ho = Sampel distribusi normal. Ha = Sampel tidak distribusi no rmal. b). Menentukan taraf signifikansi = 0,01
29

Endi Nurgana, Statistika untuk Penelitian (Bandung: CV. Permadi, 1985), 22-26.

22

c). Menghitung mean ( ) dan standar deviasi (S) d). Membuat daftar frekuensi observasi dan frekuensi ekspektasi Langkah-Langkah yang digunakan: (1). Menentukan banyaknya kelas (Bk) k = 1 + 3,3 log n (2). Menentukan panjang kelas ( )

R Bk

R = rentang = data terbesar data terkecil (3). Menentukan batas bawah dan batas atas pada tiap-tiap kelas interval (4). Menentukan besarnya bilangan baku (Z) tiap-tiap kelas interval Z=
bk G n1

(5). Menentukan luas setiap interval ( L) dengan menggunakan daftar z (6). Menghitung frekuens i ekspektasi ( Ei ) Ei = n x L , hasilnya 1 desimal e). Menghitung nilai Chi kuadrat ( 2 ) 2 = (Oi Ei) 2 Ei

23

f). Menentukan derajat kebebasan ( db) db = k 3 g). Mene ntukan nilai 2 dari daftar h). Penentuan normalitas Ho : diterima jika 2 hitung < 2 0, 99 tabel Ho : ditolak jika 2 hitung 2 0, 99 tabel i). Menarik kesimpulan 2). Uji homogenitas dua variansi a). Menentukan Hipotesis Ho : 81 =8 2 Ha : 81 8 2 (kedua variansi homogen) (kedua variansi tidak homogen)

b). Menentukan taraf signifikansi = 0,01 c). Mencari nilai F F=


Vb Vk

Keterangan: Vb = Variansi besar Vk = Variansi kecil d). Menentukan derajat kebebasan

db1 = n1 1

db2 = n 2 1

24

Keterangan:

db1 = Derajat kebebasan pembilang db2 = Derajat kebebasan penyebut n1 = Ukuran sampel yang bervariansi besar n 2 = Ukuran sampel yang bervariansi kecil
e). Menentukan nilai F dari daftar f). Penentuan homogenitas Ho diterima jika F hitung < F 0, 01 tabel Ho ditolak jika F hitung F 0, 01 tabel g). Menarik kesimpulan 3). Uji - T a). Menentukan hipotesis Ho : 1 = 2 (kedua pendekatan mengajar tidak ada yang lebih baik) Ha : 1 2 (kedua pendekatan mengajar ada yang lebih baik) b). Menentukan taraf signifikansi = 0,01 c). Menghitung deviasi standar gabungan dsg =

(n1 1)V1 + (n2 1)V2


n1 + n2 2

25

d). Mencari nilai t t=

1 2 1 1 dsg + n1 n2

e). Menentukan derajat kebebasan db = n1 + n2 2 f) Mencari nilai t dari daftar g) Pengujian hipotesis Ho diterima jika t 0,995 < t hitung < t 0,995 tabel Ho ditolak jika t hitung t 0,995 atau t hitung 0,995 tabel h) Menarik kesimpulan

H. Sistematika Pembahasan Bab I :Membahas tentang pendahuluan yang berisi latar belakang masalah, rumusan masalah, definisi operasional, alasan pemilihan judul, tujuan dan signifikansi penelitian, hipotesis, metode penelitian, dan sistematika pembahasan. Bab II :Membahas tentang kajian teori yang berisi hakikat pembelajaran Aptitude Treatment Interaction (ATI) yang meliputi definisi pembelajaran Aptitude Treatment Interaction (ATI), pengelompokan kelas berdasarkan kemampuan, dan macam- macam perlakuan terhadap perbedaan tingkat kemampuan siswa. Tinjauan prestasi belajar yang

26

meliputi pengertian prestasi belajar, jenis-jenis prestasi belajar, fungsi utama prestasi belajar, faktor-faktor yang mempengaruhi prestasi belajar, efektifitas model pembelajaran Aptitude Treatment Interaction (ATI) dalam meningkatkan prestasi belajar. Bab III :Membahas tentang laporan hasil penelitian yang berisi gambaran umum obyek penelitian , yang meliputi sejarah berdirinya SMPN 13 Surabaya, letak geografis SMPN 13 Surabaya, struktur organisasi SMPN 13 Surabaya, keadaan guru dan karyawan. Analisis deskriptif hasil penelitian, yang meliputi analisis data pengelompokan kelas berdasarkan kemampuan, analisis data macam- macam perlakuan terhadap perbedaan tingkat kemampuan siswa, dan analisis data prestasi belajar siswa. Analisis data statistika yang meliputi (Uji normalitas, uji homogenitas dua variansi dan uji-T). Bab IV : Membahas penutup yang meliputi kesimpulan, kritik dan saran.

27

BAB II KAJIAN TEORI

A. Tinjauan Tentang Model Pembelajaran Aptitude Treatment Interaction (ATI) 1. Hakikat dan Pengertian Model Pembelajaran ATI a. Hakikat Individu Sudah menjadi keyakinan semua orang bahwa masing- masing individu memiliki karakteristik kemampuan yang berbeda-beda. Ada yang berkemampuan cepat, sedang, dan ada yang berkemampuan rendah. Dalam dunia pend idikan juga berlaku pernyataan seperti ungkapan di atas, sebab menurut tinjauan psikologis setiap anak memiliki perbedaan dengan lainnya. Tak ada dua orang di dunia ini yang benar-benar sama dalam segala hal, sekalipun mereka kembar. 30 Tidak heran bila seseorang yang menyatakan bahwa anak kembar itu serupa tapi tak sama. Artinya, dalam hal- hal tertentu anak kembar memiliki kesamaan dan perbedaan. 31 Individu disini, mempunyai pengertian yaitu suatu kesatuan yang masing- masing memiliki ciri khasnya , dan karena itu tidak ada dua individu

.Syafruddin Nurdin, Model Pembelajaran, 61. Syaiful Bahri Djamarah, Guru dan Anak Didik Dalam Interaksi Edukatif (Jakarta: Rineka Cipta, 2000), 55.
31

30

27

28

sama, satu dengan yang lainnya berbeda.32 Individu sebagai manusia, merupakan orang-orang yang memiliki pribadi atau jiwa sendiri. 33 Perbedaan individu dapat dilihat dari dua segi, yakni:34 segi horizontal dan segi vertikal. Dari segi horizontal, setiap individu berbeda dengan individu lainnya dalam aspek mental, seperti: tingkat kecerdasan,

kemampua n, minat, ingatan, emosi, kemauan dan sebagainya. Dari segi vertikal, tidak ada dua individu yang sama dalam aspek jasmani seperti bentuk ukuran, kekuatan, dan daya tahan tubuh. Perbedaan itu masing- masing mempunyai keuntungan dan kelemahan. Ada dua faktor yang menyebabkan terjadinya perbedaan individu, yaitu:35 1). Faktor warisan keturunan Keturunan merupakan faktor pertama yang mempengaruhi perkembangan individu. Dalam hal ini keturunan diartikan sebagai Totalitas karakteristik individu yang diwariskan orang tua kepada anak, atau segala potensi, baik fisik maupun psikis yang dimiliki sejak masa konsepsi (masa pembuahan ovum oleh sperma) sebagai pewarisan dari pihak orang tua melalui gen-gen. E. Z Muttaqin, mengatakan bahwa anak harus diberikan pendidikan sedini mungkin, bahkan sejak kedua orang tuanya memasuki
Oemar Hamalik, Proses Belajar Mengajar (Jakarta: Bumi Aksara, 2004), 180. Ahmad Rohani HM, Pengelolaan Pengajaran (Jakarta: Rineka Cipta, 2004), 15. 34 Syamsu Yusuf, dkk, Landasan Bimbingan Dan Konseling (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2005), 173-193. 35 Syaiful Bahri Djamarah, Guru dan Anak Didik, 54-55.
33 32

29

jenjang perkawinan, harus sudah mengkalkulasikan bagaimana anak-anak yang akan mereka lahirkan nanti. Ketika suami istri bergaul sudah diawali dengan doa agar dengan doa itu setan tidak ikut campur (ovum atau sperma) yang disimpan dalam rahim istri bukan terdiri dari bahan bahan jasmaniah semata, tetapi juga terkandung benih watak dan tabiat calon anak. Makanan ibu yang mengand ung vitamin untuk anak. Demikian juga kelakuan ibu dan bapak akan menjadi vitamin juga untuk calon anak.36 2) Faktor pengaruh lingkungan Lingkungan adalah segala hal yang mempengaruhi individu, Sehingga individu itu ikut terlibat atau terpengaruh karenanya. Semenjak masa konsepsi dan masa- masa selanjutnya, perkembangan individu dipengaruhi oleh mutu makanan yang diterimanya, temperatur udara sekitarnya, suasana dalam lingkungan, sikap-sikap orang sekitar, hubungan dengan sekitarnya, suasana pendidikannya (info rmal, formal dan informal). Dengan kata lain, individu akan menerima pengaruh dari lingkungan, memberi contoh kepada lingkungan, mencontoh atau belajar tentang berbagai hal dari lingkungan. Lingkungan terbagi menjadi tiga bagian, meliputi: a) Lingkungan keluarga Keluarga memiliki peranan yang sangat penting dalam mengembangkan pribadi anak. Perawatan orang tua yang penuh
36

Ibid., 57.

30

kasih sayang, dan pendidikan tentang nilai- nilai kehidupan, baik agama maupun sosial budaya yang diberikan merupakan faktor yang kondusif untuk mempersiapkan anak menjadi pribadi dan anggota masyarakat yang sehat. b) . Lingkungan sekolah Sekolah merupakan lembaga pendidikan formal yang secara sistematik melaksanakan program bimbingan, pengajaran, dan pelatihan dalam membantu siswa agar mampu mengembangkan potensinya, baik yang menyangkut aspek moral, spiritual,

intelektual, emosional ataupun sosial. Mengenai peranan sekolah dalam mengembangkan kepribadian anak, Elizabeth B. Hurlock mengemukakan bahwa sekolah merupakan faktor penentu bagi perkembangan kepribadian (anak) siswa, baik dalam cara berfikir, bersikap maupun berperilaku. Sekolah berperan sebagai subtitusi keluarga, dengan subtitusi orang tua. Ada beberapa alasan, mengapa sekolah memainkan peranan yang yaitu: berarti bagi perkembangan kepribadian anak,

(1) Para siswa harus hadir di sekolah. (2) Sekolah

memberikan pengaruh kepada anak secara dini, seiring dengan masa perkembangan konsep dirinya. (3)Anak-anak banyak

menghabiskan waktunya di sekolah daripada di tempat lain diluar rumah. (4) Sekolah memberikan kesempatan pada siswa untuk

31

meraih sukses. (5) Sekolah memberikan kesempatan pertama kepada anak untuk menilai dirinya, dan kemampuannya secara realistik. c). Lingkungan masyarakat Lingkungan masyarakat merupakan lingkungan sosial remaja, karena pada umumnya anak bersosialisasi dengan teman sebayanya. Dan lingkungan ini mempunyai peranan yang cukup penting bagi perkembangan kepribadiannya. Faktor utama yang menentukan daya tarik interpersonal antara remaja adalah kesamaan dalam minat, nilai- nilai, pendapat, dan sifatsifat kepribadian. Sedangkan di sekolah meliputi: harapan atau aspirasi pendidikan, nilai (prestasi belajar), tugas dan sebagainya. Salah satu perbedaan yang menonjol dalam kaitannya dengan dunia pendidikan adalah kemampuan (intelegensi). Hal ini dikarenakan intelegensi adalah unsur yang ikut mempengaruhi keberhasilan belajar anak didik. 1). Menurut ahli Psikologi yakni William Sterns Intelegensi adalah daya untuk menyesuaikan diri secara mudah dengan menggunakan bahan-bahan fikiran yang ada menurut tujuannya.37

37

Dimyati, dkk, Belajar dan Pembelajaran (Jakarta: Rineka Cipta, 1999), 245.

32

2) Menurut David Weschler Intelegensi adalah suatu kecakapan global atau rangkuman
kecakapan untuk dapat bertindak secara terarah, berfikir secara baik, dan bergaul dengan lingkungan secara efisien. 38 3) Menurut E. Mulyasa dalam bukunya Menjadi Guru Profesional Intelegensi adalah suatu kemampuan mental yang bersifat umum untuk membuat atau mengadakan analisa, memecahkan masalah, menyesuaikan diri, dan menarik generalisasi, serta merupakan

kesanggupan berfikir seseorang. 39 Jadi, dapat dipahami bahwa intelegensi adalah kemampuan untuk memahami dan beradaptasi dengan situasi yang baru dengan cepat dan efektif, kemampuan untuk menggunakan konsep yang abstrak secara efektif, dan kemampuan untuk memahami hubungan dan mempelajarinya dengan tepat. Dalam rangka mengetahui tinggi rendahnya intelegensi seseorang, dikembangkan instrumen yang dikenal dengan istilah Tes Intelegensi dan gambaran mengenai hasil pengetesan kemudian dikenal dengan Intelligence Quotient, disingkat dengan IQ. Berdasarkan hasil tes intelegensi, maka diketahui kriteria pengklasifikasian intelegensi. 40

E. Mulyasa, Menjadi Guru Profesional, Menciptakan Pembelajaran Kreatif dan Menyenangkan (Bandung: Remaja Rosdakarya,2005), 122. 39 Ibid., 123. 40 E. Mulyasa, Menjadi Guru Profesional, 123.

38

33

b. Pengertian Model Pembelajaran Aptitude Treatment Interaction (ATI). Secara substantif dan teoritik Aptitude Treatment Interaction (ATI) dapat diartikan sebagai suatu konsep atau pendekatan yang memiliki sejumlah strategi pembelajaran (treatment) yang efektif digunakan untuk individu tertentu sesuai dengan kemampuannya masing- masing. 41 Senada dengan pendapat di atas, Cronbach berpendapat sebagaimana yang dikutip oleh Syafruddin Nurdin bahwa ATI merupakan sebuah

pendekatan yang berusaha mencari dan menemukan perlakuan-perlakuan yang cocok dengan perbedaan kemampuan (Aptitude) siswa. Berdasarkan pengertian-pengertian yang dikemukakan di atas, dapat diperoleh makna esensial dari model pembelajaran ATI, sebagai berikut: 1) Model pembelajaran ATI merupakan suatu konsep atau model yang berisikan sejumlah strategi pembelajaran yang efektif digunakan untuk siswa tertentu sesuai dengan perbedaan kemampuannya. 2) Sebagai sebuah kerangka teoritik model pembelajaran ATI berasumsi bahwa optimalisasi prestasi akademik atau hasil belajar akan tercipta bilamana perlakuan-perlakuan dalam pembelajaran disesuaikan

sedemikian rupa dengan perbedaan kemampuan siswa. 3) Terdapat hubungan timbal balik antara prestasi belajar yang dicapai siswa dengan pengaturan kondisi pembelajaran di kelas atau dengan kata lain,

41

Syafruddin Nurdin, Model Pembelajaran, 37-39.

34

prestasi belajar yang diperoleh siswa (achievement) tergantung kepada bagaimana kondisi pembelajaran yang dikembangkan guru di kelas. Jadi, model pembelajaran ATI adalah suatu konsep atau model yang berisikan sejumlah strategi pembelajaran dengan mengembangkan kondisi pembelajaran yang efektif terhadap siswa yang mempunyai tingkat kemampuan yang berbeda. Dari rumusan pengertian dan makna esensial yang telah dikemukakan di atas, terlihat bahwa model pembelajaran ATI bertujuan untuk menciptakan dan mengembangkan suatu model pembelajaran yang betul-betul peduli dan memperhatikan antara kemampuan seseorang dengan pengalaman belajar atau khas dengan metode pembelajaran. 2. Pengelompokan Siswa Berdasarkan Kemampuan Pengelompokan siswa didasarkan pada hasil aptitude testing. Siswa di dalam kelas diklasifikasi menjadi tiga kelompok yang terdiri dari siswa yang berkemampuan tinggi, sedang, dan rendah. Diantara kelas-kelas yang berdasarkan kemampuan yaitu: 1) Kelompok yang berkemampuan tinggi (pandai) Siswa yang berkemampuan tinggi mempunyai ciri-ciri sebagai berikut: a) Belajar berjalan dan bicara lebih awal dan cepat menguasai kosa kata dalam jumlah yang banyak. b) Pertumbuhan jasmani lebih baik, otot-otot kuat, motoriknya gesit (lincah), dan energik. c) Haus akan ilmu pengetahuan, dan menyukai serta sering mengikuti berbagai perubahan

35

dan perkembangan ilmu pengetahuan. d) Mampu secara tepat menarik suatu generalisasi, dapat mengenal hubungan antara fakta yang satu dengan yang lain, cakrawala berfikirnya logis, kritis dan suka berdebat. e) Memiliki rasa ingin tahu (natural curiosity) yang tinggi sehingga nampak suka membongkar-bongkar Cepat dalam menerima, mainan dan membangunnya mengolah, memahami, dan kembali. f) menguasai

pembelajaran, prestasinya baik sekali dalam seluruh bidang studi. g) Tepat mengerjakan tugas dengan hasil baik. h) Kurang sabar mengikuti hal- hal yang rutin dan monoton. i) Cenderung tidak memiliki gangguan nervous (mudah bingung). j) Daya imajinasinya tinggi, dan mampu

berfikir abstrak. k) Cepat dalam bekerja, dan melakukan tugas sehingga banyak memiliki waktu luang. 42 2) Kelompok yang berkemampuan sedang Siswa yang mempunyai kemampuan sedang memiliki ciri-ciri sebagai berikut: a) Mempunyai energi yang cukup besar, b) Dorongan ingin tahunnya cukup besar, c) Sikap sosialnya lebih baik, d) Aktif, e) Lebih mampu melakukan abstraksi, f) Cukup cepat dan lebih jelas menghayati hubungan-hubungan, g) Bekerja atas dasar rencana dan inisiatif sendiri, h) Suka menyelidiki yang baru dan lebih luas, i) Lebih mantap dengan tugas-tugas rutin yang sederhana, j) Lebih cepat

mempelajari proses-proses mekanik, k) Tidak menyukai tugas-tugas yang


42

E. Mulyasa, Menjadi Guru Profesional, 127-128.

36

tidak dimengerti, l) Tidak suka menggunakan cara hafalan dengan ingatan, m) Percaya kepada kemampuan sendiri, dan n) Cepat malas kalau diberi hal- hal yang tidak menarik minatnya. 43 3) Kelompok yang berkemampuan rendah (lambat) Siswa yang berkemampuan kurang pandai dalam artian lambat, mempunyai ciri-ciri sebagai berikut: a) Lamban dalam menerima dan mengelola pembelajaran, lamban dalam bekerja, dalam memahami isi bacaan, menganalisis dan memecahkan masalah. b) Kurang mampu berkonsentrasi, berkomunikasi dengan orang lain, mengemuk akan

pendapat, kurang kreatif, dan mudah lupa (susah ingat mudah lupa). c) Tidak berprestasi dalam akademiknya rendah dan hasil kerjanya tidak memuaskan. d) Motoriknya lamban dalam belajar berjalan, berbicara, gerakan otot-ototnya kendor dan tidak lincah. e) Sering berperilaku yang kurang baik, kebiasaan jelek dan tidak produktif. 44 3. Macam-macam Perlakuan Terhadap Perbedaan Tingkat Kemampuan Siswa Masing- masing kelompok diberikan perlakuan yang dipandang cocok atau sesuai dengan karakteristiknya. Bagi kelompok siswa yang memiliki kemampuan (aptitude) tinggi, perlakuan (treatment) yang diberikan yaitu belajar mandiri (self learning) dengan menggunakan modul plus yaitu

43 44

Oemar Hamalik, Proses Belajar, 123-124. E. Mulyasa, Menjadi Guru Profesional, 123-124.

37

belajar secara mandiri melalui modul dan buku-buku teks agama yang relevan. Pemilihan belajar mandiri melalui modul didasari anggapan bahwa siswa akan lebih baik belajar dengan cara mereka sendiri yang terfokus langsung pada penguasaan tujuan khusus atau seluruh tujuan. Modul bisa berisi berbagai macam kegiatan belajar, dan dapat menggunakan berbagai media untuk lebih mengefektifkan proses belajar mengajar. Modul merupakan suatu program belajar mengajar terkecil, yang dipelajari oleh siswa sendiri secara perseorangan atau diajarkan oleh siswa

kepada dirinya sendiri (self instructional), setelah siswa menyelesaikan satuan yang satu, dia melangkah maju dan mempelajari satuan berikutnya. Modul sebagaimana pengertian di atas merupakan salah satu media cetak yang berbeda dari media cetak lainnya. Bedanya dapat dilihat dari ciri-ciri yang dimiliki oleh modul itu sendiri. Sebagaimana penjelasan James D. Russel yang dikutip oleh Syafruddin Nurdin bahwa ciri-ciri modul adalah sebagai berikut: (1) Berbentuk pengajaran individual (invidualized), (2) Dalam pelaksanaan pembelajaran ada kebebasan (freedom), (3) Terdapat keluwesan (flexible), dan (4) Partisipasi aktif (active participation). Individualized atau pengajaran individual yang menjadi salah satu ciri pengajaran modul, memberi peluang kepada siswa untuk mengikuti dan menempuh pelajarannya sesuai dengan tingkat kemampuan. Pendapat tersebut mengakui adanya perbedaan individual di kalangan siswa dalam

38

kelas. Sebagai konsekuensinya, maka kepada siswa yang berbeda kemampuan perlu diberikan perlakuan pembelajaran yang relevan. Ada

kemungkinan masing- masing siswa akan tidak sama waktunya untuk suatu materi pelajaran. Freedom, merupakan ciri modul yang memberikan kebebasan dan kelonggaran yang cukup luas bagi siswa untuk belajar mandiri. Aktivitas siswa dalam pembelajaran modul lebih tinggi bila dibandingkan dengan aktivitas guru. Karena guru sifatnya lebih banyak memberikan motivasi ata dorongan kepada siswa dalam belajar. Flexible, memberikan keluwesan bagi siswa dan guru dalam proses belajar mengajar. Siswa bisa belajar sesuai dengan kesanggupan atau kemampuan dan seirama dengan gaya belajar mereka masing- masing. Sementara itu, guru juga diberikan keluwesan dalam memilih dan menentukan metode yang tepat. Active participation, dalam modul ini memberi peluang kepada siswa untuk berpartisipasi aktif melalui learning by doing, sehingga dengan demikian siswa betul-betul terlibat dalam proses pembelajaran melalui dorongan yang diberikan oleh guru. Curtis R. Finch dan John R. Crunkilton berpendapat sebagaimana yang dikutip oleh Syafruddin Nurdin bahwa komponen-komponen yang ada dalam modul meliputi: (1) Pendahuluan, (2) Tujuan, (3) Pre-assesment, (4) Pengalaman belajar, (5) Sumber materi, dan (6) Pos- assessment. Secara

39

rinci, modul pembelajaran terdiri dari petunjuk belajar siswa, tujuan instruksional umum dan khusus, isi dan materi pelajaran, latihan, rangkuman, tes formatif, dan umpan balik atau tindak lanjut. Sedangkan bagi kelompok siswa berkemampuan sedang diberikan pembelajaran reguler atau konvensional sebagaimana biasanya. Terakhir, bagi kelompok siswa ya ng mempunyai kemampuan yang rendah diberikan special treatment, yaitu berupa pembelajaran dalam bentuk re-teaching dan tutorial. Perlakuan diberikan setelah mereka bersama-sama kelompok sedang mengikuti pembelajaran secara reguler ( egular teaching). Hal i i r n dimaksudkan agar secara psikologis siswa berkemampuan rendah tidak merasa diperlakukan sebagai siswa nomer dua di kelas. Re- teaching dan tutorial dipillih sebagai perlakuan khusus untuk kelompok ini, didasarkan pada pertimbangan bahwa mereka lambat dan sulit memahami serta menguasai bahan pelajaran. Oleh karena itu, kelompok ini harus mendapat apresiasi khusus dari guru berupa bimbingan dan bantuan belajar dalam bentuk pengulangan pelajaran kembali melalui tambahan jam belajar dan tutorial, sehingga dengan cara demikian mereka bisa menguasai pelajaran yang diajarkan. Karena seperti diketahui bahwa salah satu tujuan pengajaran atau program tutorial adalah untuk memberikan bantuan dalam pembelajaran kepada siswa yang lambat, sulit dan gagal dalam belajar, agar dapat mencapai prestasi belajar secara optimal. Perlakuan khusus ini diselenggarakan dalam bentuk pertemuan antara guru dan siswa pada

40

kelompok kecil, yang diliputi oleh suasana tanya-jawab, diskusi dan pengulangan pelajaran kepada siswa satu-persatu (individual).45

B. Tinjauan Tentang Prestasi Belajar 1. Pengertian Prestasi Belajar Prestasi belajar merupakan sasaran dari kegiatan pengajaran dan pendidikan. Oleh karena itu antara pengajaran atau pendidikan dan prestasi belajar tidak dapat dipisahkan karena keduanya merupakan bagian yang integral. Prestasi belajar berguna untuk mengetahui berhasil tidaknya pengajaran atau pendidikan yang telah terlaksana dan juga kedudukan siswa dalam suatu kelas. Kata prestasi berasal dari bahasa Belanda yaitu prestatie kemudian diadopsi ke dalam bahasa Indonesia menjadi prestasi yang berarti hasil usaha. Kata prestasi banyak digunakan dalam berbagai bidang dan kegiatan, antara lain dalam kesenian, olahraga dan pendidikan khususnya pengajaran. Misalnya si Ahmad mendapat juara I dalam bidang seni suara, kemudian si Galih mendapat juara umum dalam lomba lari 1000 m. Dari contoh ini dapat kita lihat bahwa prestasi yang dimaksud tidak lain adalah kemampuan,

45

Syafruddin Nurdin, Model Pembelajaran, 51-55.

41

keterampilan, dan sikap seseorang dalam menyelesaikan suatu hal. Dalam tulisan ini hanya dibatasi dalam bidang pendidikan, khususnya pengajaran. 46 Banyak orang yang beranggapan bahwa yang dimaksud dengan

belajar adalah mencari ilmu atau menuntut ilmu. Adalagi yang bicara lebih khusus mengartikan belajar adalah menyerap pengetahuan. Ini berarti, bahwa orang mesti mengumpulkan fakta- fakta sebanyak-banyaknya untuk

memperoleh pengertian yang obyektif tentang belajar terutama belajar di sekolah, perlu dirumuskan secara jelas pengertian belajar. Pengertian belajar sudah banyak ditemukan oleh para ahli psikologi, termasuk oleh ahli psikologi pendidikan. Menurut pengetian secara psikologis, belajar

merupakan suatu proses yaitu perubahan tingkah sebagai hasil dari interaksi dengan lingkungannya dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Perubahanperubahan tersebut akan nyata dalam seluruh aspek tingkah laku. Belajar dapat didefinisikan sebagai suatu proses usaha yang dilakukan seseorang untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan, sebagai hasil pengalamannya sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya.47 Menurut James O.Wittaker dalam buku psikologi belajar, belajar dapat didefinisikan sebagaimana proses dimana tingkah laku ditimbulkan atau

Zainal Arifin, Evaluasi Instruksional Prinsip- Teknik Prosedur (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1991), 2-3. 47 Slameto, Belajar dan Faktor-faktor Yang Mempengaruhinya (Jakarta: Rineka Cipta, 1995),2.

46

42

diubah melalui latihan atau pengalaman ( earning may be defined as the L process by which behaviour originates or is altered throught training or experience). Dengan demikian, perubahan-perubahan tingkat laku akibat pertumbuhan fisik atau kematangan, kelelahan, penyakit atau pengaruh obatobatan adalah tidak termasuk sebagai belajar.48 Menurut Cronbach dalam buku psikologi pendidikan menyatakan Learning is shown by change in behaviour as a result of experience. Dengan demikian, belajar yang efektif adalah melalui pengalaman. Dalam proses belajar mengajar, seseorang berinteraksi langsung dengan obyek belajar dengan menggunakan semua alat inderanya.49 Sedangkan menurut H.C Whiterington dalam bukunya educational psychology mengemukakan bahwa belajar adalah suatu perubahan di dalam kepribadian yang menyatakan diri sebagai suatu pola baru daripada reaksi yang berupa kecakapan, sikap, kebiasaan, kepandaian atau suatu pengertian. 50 Keempat definisi tersebut menunjukkan bahwa belajar adalah suatu proses perubahan tingkah laku atau kecakapan manusia. Perubahan tingkah laku ini bukan disebabkan oleh proses pertumbuhan yang bersifat fisiologis atau proses kematangan. Perubahan yang terjadi karena belajar dapat berupa perubahan- perubahan dalam kebiasaan (habit), kecakapan- kecakapan

Abu Ahmadi, Psikologi Belajar (Jakarta: Rineka Cipta, 1991), 119. Wasty Soemanto, Psikologi Pendidikan (Jakarta: Rineka Cipta, 1998), 104. 50 Moh. Uzer Usman dan Lilis Setiawati, Upaya Optimalisasi Kegiatan Belajar Mengajar (Bandung: Rosdakarya, 1993), 5.
49

48

43

(skills), atau dalam ketiga aspek yakni pengetahuan (kognitif), sikap (afektif), dan keterampilan (Psikomotor). Kegiatan belajar merupakan kegiatan yang paling pokok dalam keseluruhan proses pendidikan. Hal ini mengandung arti bahwa berhasil tidaknya pencapaian tujuan pendidikan banyak bergantung kepada bagaimana proses belajar yang dialami oleh peserta didik atau siswa. Dalam setiap perbuatan manusia untuk mencapai tujuan, selalu diikuti dengan pengukuran dan penilaian demikian pula halnya dalam proses belajar. Dengan mengetahui prestasi belajar anak, kita dapat mengetahui kedudukan anak di dalam kelas apakah anak termasuk kelompok anak pandai, sedang atau kurang. Prestasi belajar ini dinyatakan dalam bentuk angka, huruf maupun simbol dari tiap-tiap periode tertentu. Menurut Sutratinah Tirtonegoro, bahwa prestasi belajar adalah penilaian hasil usaha kegiatan belajar yang dinyatakan dalam bentuk simbol, angka, huruf maupun kalimat yang dapat mencerminkan hasil yang sudah dicapai oleh tiap siswa dalam waktu atau periode tertentu. 51 Prestasi belajar merupakan suatu masalah yang bersifat parerial dalam sejarah kehidupan manusia karena sepanjang rentang kehidupannya manusia selalu mengejar prestasi menurut bidang dan kemampuan masingmasing. Bila demikian halnya, kehadiran prestasi dalam kehidupan manusia

Sutratinah Tirtonegoro, Anak Supernormal dan Program Pendidikannya (Jakarta: Bina Aksara, 1984), 43.

51

44

pada tingkat dan jenis tertentu dapat memberikan kepuasan tertentu pula pada manusia, khususnya manusia yang berada pada bangku sekolah. Dengan demikian penulis dapat menarik kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan prestasi belajar adalah penguasaan tingkah laku dan perubahan tingkah laku dalam diri individu sebagai hasil dari aktivitas belajar dan penilaiannya diwujudkan dalam bentuk nilai atau angka. 2. Jenis Prestasi Belajar Setiap lembaga pendidikan baik di sekolah maupun luar sekolah tentu mempunyai keinginan agar siswa yang dididik mempunyai prestasi yang tinggi, termasuk di dalamnya adalah Pendidikan Agama Islam. Untuk mengetahui bahwa siswa telah mencapai prestasi belajar seperti apa yang diharapakan pendidik jika dilihat dari adanya perubahan tingkah laku atau sikap dari anak didik. Bloom juga menyatakan bahwa ada tiga bentuk prestasi yaitu: kognitif, afektif, dan psikomotorik.52 Untuk lebih jelasnya akan penulis uraikan tentang maksud dan apa yang akan dicapai di dalamnya: a. Prestasi belajar aspek kognitif Prestasi belajar siswa pada aspek kognitif ini hanya menitik beratkan pada masalah atau bidang intelektual, sehingga kemampuan akal

52

Nana Sudjana, Penilaian Hasil Proses Belajar Mengajar (Bandung: Remaja Rosdakarya,

1989), 22.

45

akan selalu mendapatkan perhatian yaitu kerja otak untuk dapat menguasai berbagai pengetahuan yang diterimanya. Prestasi belajar pada aspek kognitif ini berkenaan dengan hasil belajar intelektual. Bloom mengklasifikasikan tujuan kognitif menjadi enam tingkatan, yang terdiri dari aspek pengetahuan dan ingatan, pemahaman, aplikasi, analisis, sintesis dan evaluasi.53 Keenam aspek pendukung tersbut kesemuanya menitikberatkan pada kemampuan akal semata. Untuk lebih jelasnya akan akan penulis uraikan sebagai berikut: 1) Pengetahuaan Aspek ini mengacu pada kemampuan mengenal atau

mengingat meteri yang sudah dipelajari dari yang sederhana sampai kepada hal-hal yang sukar. Yang penting disini adalah kemampuan mengingat keterangan yang benar.54 Jadi, hasil belajar pengetahuan ini penting sebagai persyaratan untuk menguasai dan mempelajari hasil belajar yang lain. 2) Pemahaman Aspek ini mengacu pada kemampuan memahami makna materi yang dipelajari. Pada umumnya unsur pemahaman ini menyangkut

53 54

Moh. Uzer Usman dan Lilis Setiawati, Upaya Optimalisasi, 111. R. Ibrahim dan Nana Syaodih, Perencanaan Pengajaran (Jakarta: Rineka Cipta, 1996), 72.

46

kemampuan menangkap makna suatu konsep dengan kata-kata sendiri.55 Dalam memahami sesuatu diperlukan adanya hubungan atau keterpautan antara konsep dengan makna yang ada dalam konsep tersebut. Pemahaman di sini tingkatnya lebih tinggi satu tingkat dari pengetahuan. 3) Aplikasi Aplikasi didefinisikan sebagai kemampuan untuk

menggunakan apa yang telah dipelajari dalam situasi konkrit yang baru. 56 Jadi, yang dimaksud dengan aplikasi adalah siswa mampu menerapkan pengetahuan yang dimiliki pada situasi baru. Aplikasi yang lebih tinggi tingkatnya dari pemahaman. 4) Analisis Analisis adalah kesanggupan memisah, mengurai sesuatu integritas (kesatuan yang utuh) menjadi unsur-unsur atau bagianbagian yang mempunyai tingkatan atau hirarki. 57

Ibid., 72. Moh. Uzer Usman dan Lilis Setiawati, Upaya Optimalisasi, 113. 57 Nana Sudjana, Dasar-dasar Proses Belajar Mengajar (Bandung: Sinar Baru Algesindo, 1996), 51.
56

55

47

Analisis sangat diperlukan oleh siswa sebagai bukti bahwa ia telah menguasai pengetahuan, pemahaman dan mempu

mengaplikasikan analisis ini di tingkat lebih tinggi dari aplikasi. 5) Sintesis Aspek ini mengacu pada kemampuan memadukan berbagai konsep atau komponen, sehingga membentuk suatu pola struktur atau bentuk baru. 58 Jadi dalam sintesis lebih ditekankan pada kesanggupan menyatakan unsur atau sebagian sebagai suatu integritas. Sintesis ini tingkatannya lebih tinggi dari pada analisis. 6) Evaluasi Evaluasi adalah kesanggupan memberikan keputusan tentang nilai sesuatu berdasarkan pertimbangan yang telah dimilikinya dan kriteria yang dipakai. 59 Prestasi belajar ini merupakan prestasi belajar yang lebih tinggi karena mencakup semua aspek kognitif. b. Prestasi belajar aspek afektif Prestasi belajar aspek afektif ini lebih banyak menitikberatkan pada bidang sikap dan tingkah laku. Aspek ini bersangkut paut dengan sikap mental, perasaan dan kesadaran siswa. Prestasi belajar ini

58 59

R. Ibrahim dan Nana Syaodih, Perencanaan, 72. Nana Sudjana, Dasar-dasar Proses, 76.

48

diperoleh melalui proses internalisasi, yaitu suatu proses ke arah pertumbuhan batiniah atau rohaniah siswa.60 Aspek afektif ini sudah tentu mempunyai nilai yang lebih tinggi karena di dalamnya menyangkut kepribadian siswa. Prestasi belajar aspek afektif ini dapat dikatakan berhasil apabila siswa benar-benar mampu bersikap dan bertingkah laku sesuai dengan tujuan pendidikan dan apa diharapkan oleh guru. Bloom berpendapat sebagaimana yang dikutip Ibrahim dan Nana Syaodih bahwa dominan afektif terdiri dari: 61 1) Penerimaan Penerimaan adalah kemampuan dan kesukarelaan

memperhatikan dalam memberikan respon terhadap stimulasi yang tepat. Prestasi belajar ini merupakan tingkat paling rendah pada dominan afektif. 2) Pemberian Respon Dimaksudkan sebagai kemampuan untuk dapat

memberikan respon secara aktif, menjadi peserta yang tertarik. Prestasi belajar ini satu tingkat lebih tinggi daripada penerimaan.

60 61

Ibid., 52. R. Ibrahim dan Nana Syaodih, Perencanaan, 76.

49

3) Penilaian Penilaian yakni kemampuan untuk dapat memberikan penilaian atau pertimbangan dan pentingnya keterikatan pada suatu objek atau kejadian tertentu dengan reaksi seperti menerima, menolak, tidak menghiraukan , acuh tak acuh. Perilaku tersebut dapat diklasifikasikan menjadi sikap apresiasi. 62 4) Pengorganisasian Pengorganisasian disini adalah pengembangan nilai ke dalam suatu sistem organisasi termasuk menentukan hubungan satu nilai dengan nilai lain dan kemantapan, dan prioritas nilai yang telah dimilikinya. Jadi untuk memiliki suatu nilai atau sikap diri yang tegas terhadap suatu yang harus melalui proses pilihan terhadap berbagai nilai- nilai yang sama relevan. 5) Karakterisasi Karakterisasi yakni keterpaduan dari semua sistem nilai dari semua yang telah dimiliki seseorang yang telah

mempengaruhi pola kepribadian dan tingkah lakunya. Disini termasuk keseluruhan nilai dan karakteristiknya.63

62 63

Moh. Uzer Usman dan Lilis Setiawati, Upaya Optimalisasi, 116. Zakiyah Darajat, Metodik Khusus Pengajaran Agama Islam (Jakarta: Bu mi Aksara, 1995),

203.

50

c. Prestasi belajar aspek psikomotorik Prestasi belajar aspek psikomotorik adalah kemampuan di dalam masalah skill atau keterampilan dan kemampuan bertindak. Prestasi belajar aspek psikomotor ini merupakan tingkah laku nyata dan dapat diamati. 64 Adapun tingkatan aspek ini antara lain: 1) Persepsi Persepsi berhubungan dengan penggunaan untuk memperoleh petunjuk yang membimbing kegiatan motorik. 2) Kesiapan Berkenaan dengan sesuatu kesiapsediaan yang meliputi kesiapan ment al, fisik dan emosi untuk melakukan suatu kegiatan keterampilan sebagai langkah lanjut setelah adanya persepsi. Dengan demikian siswa dipandang siap menerima dan mengikuti pengarahan penampilan melalui latihan. 3) Respon terpimpin Respon terpimpin merupakan langkah permulaan dalam mempelajari keterampilan yang komplek. Respon terpimpin merupakan kecermatan dan kepastian yang lebih tinggi dalam penampilan.

64

Ibid., 203.

51

4) Mekanisme Mekanisme adalah suatu penampilan keterampilan yang sudah terbiasa atau bersifat mekanis (menjadi kebiasaan tetapi tidak seperti mesin) dan gerakan-gerakan yang dilakukan dengan penuh keyakinan, mantap, tertib, santun, khidmat dan sempurna. Dapat dipahami bahwa mekanisme ini menitikberatkan pada suatu rangkaian gerakan dengan membuat urutan yang sesuai untuk mencapai harapan yang diinginkan. 5) Respon yang komplek Berkenaan dengan penampilan keterampilan yang sangat mahir, dengan kemampuan tinggi, diperlukan tingkatan prestasi belajar sebelumnya. Dari aspek ini mengacu kepada penampilan gerakan dengan mengeluarkan energi fisik maupun psikis.65 Ketiga jenis prestasi belajar tersebut tentu akan lebih sempurna jika ketiganya dimiliki oleh setiap siswa, dimana aspek afektif merupakan

aspek yang harus ada dalam pendidikan Agama Islam. Karena tanpa memiliki sikap dan tingkah laku yang terpuji tentu saja kecerdasan yang ada pada diri siswa tidak akan banyak berarti.

65

Zakiyah Darajat, Metodik Khusus, 206.

52

3. Fungsi Utama Prestasi Belajar Prestasi belajar semakin terasa penting untuk dipermasalahka, karena mempunyai beberapa fungsi utama, antara lain: a. Prestasi belajar sebagai indikator kualitas dan kuantitas pengetahuan yang telah dikuasai anak didik . b. Prestasi belajar sebagai lambang pemuasan hasrat ingin tahu. Hal ini didasarkan atas asumsi bahwa para ahli psikologi biasanya menyebut hal ini sebaga i tendensi keingintahuan (Couriosity) dan merupakan kebutuhan umum pada manusia, termasuk kegiatan anak didik dalam suatu program pendidikan. c. Prestasi belajar sebagai bahan informasi dalam inovasi pendidikan. Asumsinya adalah bahwa prestasi belajar dapat dijadikan pendorog bagi anak didik dalam meningkatkan ilmu pengetahuan dan teknologi, dan berperan sebagai umpan balik (feed back) dalam meningkatkan mutu pendidikan. d. Prestasi belajar Sebagai Indikator Intern dan Ekstern dari suatu institusi pendidikan. Ind ikator intern dalam arti bahwa prestasi belajar dapat dijadikan indikator tingkat produktifitas suatu institusi pendidikan. Asumsinya adalah bahwa kurikulum yang digunakan relevan dengan kebutuhan masyarakat dan anak didik. Indikator ekstern dalam arti bahwa tinggi rendahnya prestasi belajar dapat dijadikan indikator tingkat kecerdasan anak didik di masyarakat. Asumsinya adalah bahwa kurikulum

53

yang

digunakan

relevan

pula

dengan

kebutuhan

pembangunan

masyarakat. e. Prestasi belajar dapat dijadikan indikator terhadap daya serap (kecerdasan) anak didik. Dalam proses belajar mengajar anak didik merupakan masalah yang utama dan pertama, karena anak didiklah yang diharapkan dapat menyerap seluruh materi pelajaran yang telah diprogramkan dalam kurikulum. Jika dilihat dari beberapa fungsi prestasi belajar di atas, maka betapa pentingnya kita mengetahui prestasi belajar anak didik, baik secara perseorangan maupun secara kelompok. Sebab fungsi prestasi belajar tidak hanya sebagai indikator keberhasilan dalam bidang studi tertentu, tetapi juga sebagai indikator kualitas Institusi pendidikan. Di samping itu, prestasi belajar juga berguna sebagai umpan balik bagi guru dalam melaksanakan proses belajar mengajar sehingga dapat menentukan apakah perlu

mengadakan diagnosis, bimbingan atau penempatan anak didik. Sebagaimana yang telah dikemukakan oleh Cronbach, kegunaan prestasi belajar banyak ragamnya, bergantung kepada ahli dan versinya masing- masing. Namun diantaranya adalah sebagai umpan balik bagi pendidik dalam mengajar, untuk keperluan diagnostik, untuk keperluan bimbingan dan penyuluhan, untuk

54

keperluan seleksi, untuk keperluan penempatan atau penjurusan, untuk menentukan isi kurikulum, dan untuk menentukan kebijaksanaan sekolah. 66 4. Faktor Faktor yang Mempengaruhi Prestasi Belajar Prestasi belajar yang dicapai seorang individu merupakan hasil interaksi antara berbagai faktor yang mempengaruhinya baik dari dalam diri (faktor internal) maupun dari luar (faktor eksternal) individu. Pengenalan terhadap faktor- faktor yang mempengaruhi prestasi belajar penting sekali artinya dalam rangka membantu murid dalam mencapai prestasi belajar yang sebaik-baiknya a. Faktor Internal Faktor internal dibagi menjadi tiga faktor, yaitu: faktor jasmaniah, faktor psikologis dan faktor kematangan fisik maupun psikis.

Sebagaimana dikemukakan oleh Moh . Uzer Usman dan Lilis Setyawati berikut ini: Adapun faktor yang berasal dari diri sendiri (Internal) meliputi faktor jasmaniah (fisiologi) baik yang bersifat bawaan maupun yang diperole h seperti penglihatan, pendengaran , sturuktur tubuh dan

sebagainya dan juga faktor psikologis baik yang bersifat bawaan maupun yang diperoleh yang terdiri dari faktor intelektif yang meliputi faktor potensial seperti kecerdasan, bakat serta faktor kecakapan nyata (prestasi yang dimiliki) dan faktor
66

faktor

non intelektif yaitu unsur-unsur

Zainal Arifin, Evaluasi Instruksional, 3-4.

55

kepribadian

tertentu seperti

sikap, kebiasaan , minat, kebutuhan,

motivasi, emosi dan penyesuaian diri serta faktor kematangan fisik & psikis.67 Untuk lebih jelasnya akan penulis uraikan sebagai berikut : 1) Faktor Jasmaniah (fisiologis) a) Faktor Kesehatan Agar seseorang dapat belajar dengan baik haruslah mengusahakan kesehatan badannya tetap terjamin dengan cara selalu mengindahkan ketentuan-ketentuan tentang bekerja,

belajar, istirahat, tidur, makan, olahraga, rekreasi dan ibadah b) Cacat Tubuh Keadaan cacat tubuh juga mempengaruhi belajar siswa yang cacat belajarnya juga terganggu. Jika hal ini terjadi, hendaknya ia belajar pada lembaga pendidikan khusus atau diusahakan alat bantu agar dapat menghindari atau mengurangi pengaruh kecacatannya itu. 2) Faktor psikologis, yang terdiri atas: a) Faktor Intelektif yang meliputi: (1) Faktor potensial yaitu kecerdasan dan bakat (2) Faktor kecakapan nyata yaitu prestasi yang telah dimiliki

67

Moh. Uzer Usman dan Lilis Setiawati, Upaya Optimalisasi, 10.

56

b) Faktor Non Intelektif, yaitu unsur -unsur kepribadian tertentu seperti:68 (1) Perhatian Untuk dapat menjamin prestasi belajar siswa yang baik, siswa harus mempunyai perhatian terhadap bahan yang dipelajarinya. Jika bahan pelajaran tidak menjadi perhatian siswa, maka timbullah kebosanan, sehingga ia tidak suka lagi belajar. Dan yang terjadi prestasi belajar siswa menurun karena bahan pelajaran yang disajikan kurang menarik perhatian siswa. 69 (2) Minat Minat yang besar terhadap sesuatu merupakan modal yang besar artinya untuk mencapai atau memperoleh benda atau tujuan yang diminati tersebut. Timbulnya minat belajar disebabkan berbagai hal antara lain karena keinginan yang kuat untuk menaikkan martabat atau memperolah pekerjaan yang baik serta ingin hidup senang dan bahagia. Minat belajar yang besar cenderung menghasilkan prestasi yang tinggi, sebaliknya

68 69

Abu Ahmadi, Psikologi, 130. Slameto, Belajar dan Faktor-faktor, 56.

57

minat belajar yang kurang akan menghasilkan prestasi yang rendah. 70 (3) Bakat Bakat adalah kemampuan untuk belajar. Kemampuan itu baru akan terealisasi me njadi kecakapan yang nyata sesudah belajar atau berlatih. Jika bahan pelajaran yang dipelajari siswa sesuai dengan bakatnya, maka hasil belajarnya lebih, karena ia senang belajar dan pastilah selanjutnya ia lebih giat lagi dalam belajarnya. Dan adalah pent ing untuk mengetahui bakat siswa dan menempatkan siswa belajar disekolah yang sesuai dengan bakatnya. 71 (4) Motivasi Dalam kegiatan belajar, berlangsungnya proses

pembelajaran dan keberhasilannya bukan hanya ditentukan oleh faktor intelektual, tetapi juga faktor- faktor yang non intelektual, termasuk motivasi. Menurut Winkel, motivasi belajar dapat diartikan sebagai keseluruhan daya penggerak psikis di dalam diri siswa yang menimbulkan kegiatan belajar,

70 71

Dalyono, Psikologi Pendidikan (Jakarta: Rineka Cipta,1997), 56-57. Slameto, Belajar dan Faktor-faktor, 57-58.

58

menjamin kelangsungan kegiatan belajar dan memberikan arah pada kegiatan belajar itu demi mencapai suatu tujuan. 72 Kuat lemahnya motivasi belajar seseorang turut mempengaruhi keberhasilannya dalam prestasi belajar. Karena itu motivasi belajar perlu diusahakan terutama yang berasal dari dalam diri dengan cara senantiasa memikirkan masa depan yang penuh tantangan dan harus dihadapi untuk mencapai citacita. (5) Kebutuhan Seorang anak akan terdorong untuk melakukan sesuatu bila ia merasa membutuhkan atau merasakan adanya

kebutuhan. Kebutuhan ini menimbulkan keadaan yang tidak seimbang, rasa ketegangan yang meminta pemuasan agar kembali kepada keadaan yang seimbang. 73 (6) Sikap Sikap merupakan sesuatu yang dipelajari, dan sikap menentukan bagaimana individu bereaksi terhadap situasi serta menentukan apa yang dicari individu dalam kehidupan. Sikap mengandung tiga komponen, yaitu komponen kognitif, afektif, dan psikomotor. Aspek afektif pada diri siswa besar

72 73

Rahman Abror, Psikologi Pendidikan (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1993), 114-115. S. Nasution, Didaktik Asas-asas Mengajar (Jakarta: Bumi Aksara, 1995), 74.

59

peranannya dalam pendidikan. Pengukuran terhadap aspek ini sangat berguna dan lebih dari guru harus mengetahui karakteristik afektif siswa untuk mencapai tujuan pengajaran.
74

3) Faktor kematangan fisik maupun psikis Kematangan adalah suatu tingkat dalam pertumbuhan

seseorang dimana alat-alat tubuhnya sudah siap untuk melaksanakan kecakapan baru. Misalnya anak dengan kakinya sudah siap untuk berjalan, dengan otaknya sudah siap untuk berfikir abstrak dan lainlain. Kematangan belum berarti anak dapat melaksanakan kegiatan secara terus- menerus, untuk itu diperlukan latihan-latihan dan pengajaran. 75 b. Faktor Eksternal Faktor Eksternal dapat dikelompokkan menjadi tiga faktor yaitu: faktor keluarga , faktor sekolah dan faktor masyarakat. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Moh. Uzer Usman dan lilis Setiawati berikut ini.:

74 75

Slameto, Belajar dan Faktor-faktor, 188-190. Ibid., 54-56.

60

Faktor yang berasal dari luar diri (eksternal) meliputi faktor sosial yang terdiri dari lingkungan keluarga, lingkungan sekolah dan lingkungan masyarakat.76 1) Faktor Keluarga b) Cara orang tua mendidik Cara orang tua mendidik anaknya besar pengaruhnya terhadap belajar anaknya. Hal ini jelas dan dipertegas oleh Sutjipto Wirowidjojo dengan pernyataannya yang menyatakan bahwa:

keluarga adalah lembaga pendidikan yang pertama

dan utama,

keluarga yang sehat besar artinya untuk pendidikan dalam ukuran kecil, tetapi besifat menentukan untuk pend idikan dalam ukuran besar yaitu pendidikan bangsa, negara dan dunia. 77 b) Pengertian Orang Tua Anak belajar perlu dorongan dan pengertian orang tua. Bila anak sedang belajar jangan digangu dengan tugas -tugas dirumah. Kadang -kadang anak mengalami lemah semangat,

orang tua wajib memberi pengertian dan mendorongnya, membantu sedapat mungkin kesulitan yang dialami anak di

76 77

Moh. Uzer Usman dan Lilis Setiawati, Upaya Optimalisasi, 10. Slameto, Belajar dan Faktor-faktor, 60.

61

sekolah. Kalau perlu menghubungi mengetahui perkembanganya.78 2) Faktor Sekolah a) Metode mengajar

guru

anaknya, untuk

Metode mengajar adalah suatu cara yang harus dilalui di dalam mengajar. Mengajar itu sendiri menurut Ign. S. Ulih Bukit Karo-karo adalah menyajikan bahan pelajaran oleh orang kepada orang lain agar orang lain itu menerima , menguasai dan

mengembangkannya. Di dalam lembaga pendidikan, orang lain yang disebut di atas disebut sebagai murid dan mahasiswa. Yang dalam proses belajar dapat menerima , menguasai dan lebih- lebih mengembangakan bahan pelajaran itu, maka cara-cara mengajar serta cara belajar haruslah setepat-tepatnya dan seefisien serta seefektif mungkin b) Kurikulum Kurikulum diartikan sebagai sejumlah kegiatan yang

diberikan kepada siswa. Kegiatan itu sebagai itu sebagian besar adalah menyajikan bahan pelajaran agar siswa menerima,

menguasai dan mengemb angkan bahan pelajaran itu. Jelaslah

78

Ibid., 64.

62

bahan pelajaran itu mempengaruhi belajar siswa. Kurikulum yang kurang baik berperngaruh tidak baik terhadap belajar.79 c) Keadaan Gedung Dengan jumlah siswa yang banyak serta variasi

karekteristik mereka masing- masing menuntut keadaan gedung dewasa ini harus memadai di dalam setiap kelas.80 3) Faktor Masyarakat a) Kegiatan siswa dalam masyarakat Kegiatan siswa dalam masyarakat dapat menguntungkan terhadap perkembangan pribadinya. Tetapi jika siswa ambil bagian dalam kegiatan masyarakat yang telalu banyak, misalnya

berorganisasi, kegiatan-kegiatan sosial, keagamaan dan lain- lain, belajarnya akan terganggu lebih- lebih jika tidak bijaksana dalam mengatur waktunya. b) Bentuk kehidupan masyarakat Kehidupan masyarakat di sekitar siswa juga berpengaruh

terhadap belajar siswa. Masyarakat yang terdiri dari orang-orang yang tidak terpelajar, penjudi, suka mencuri, dan mempunyai kebiasaan

79 80

Slameto, Belajar dan Faktor-faktor, 65. Ibid., 69.

63

yang tidak baik, akan berpengaruh jelek kepada siswa yang berada di situ. 81 c) Lingkunga n sekitar Keadaan lingkungan tempat tinggal juga sangat penting dalam menpengaruhi prestasi belajar. Keadaan lingkungan, bangunan rumah, suasana sekitar, keadaan lalu lintas, iklim dan sebagainya. Misalnya, bila bangunan rumah penduduk sangat rapat, akan mengganggu belajar. Keadaan lalu lintas yang membisingkan, suara hiruk-pikuk di sekitar, suara pabrik, polusi udara, iklim terlalu panas, semuanya ini akan mempengaruhi kegairahan belajar. Sebalinknya tempat yang sepi dengan iklim yang sejuk ini akan menunjang proses belajar.82 Faktor-faktor tersebut saling berinteraksi secara langsung ataupun tidak langsung dalam mencapai prestasi belajar.83

C. Efektifitas Model Pembelajaran Aptitude Treatment Interaction (ATI) dalam Meningkatkan Prestasi Belajar Siswa Dalam proses pendidikan islam, pendekatan mempunyai kedudukan

yang sangat penting dalam upaya pencapaian tujuan, karena dengan pendekatan yang tepat maka seorang pendidik akan tepat dalam menentukan metode yang disesuaikan dengan anak didik.
81 82

Slameto, Belajar dan Faktor-faktor, 70. Dalyono, Psikologi Pendidikan, 59-60. 83 Abu Ahmadi, Psikologi, 131.

64

Tanpa pendekatan suatu materi pelajaran tidak akan dapat berproses secara efisien dan efektif dalam kegiatan belajar mengajar untuk mencapai tujuan pendidikan yang diharapkan. Kegiatan pembelajaran diselenggarakan untuk membuat watak, peradaban dan meningkatkan mutu kehidupan peserta didik. Kegiatan pembelajaran perlu memberdayakan semua potensi peserta didik untuk menguasai kompetensi dan perilaku khusus supaya setiap individu mampu menjadi pembelajar sepanjang hayat dan mewujudkan masyarakat belajar. Kegiatan pembelajaran

mengembangkan kemampuan untuk mengetahui, memahami, melakukan sesuatu, hidup dalam kebersamaan, dan mengaktualisisakan diri. Dengan demikian, kegiatan pembelajaran perlu berpusat pada peserta didik, mengembangkan kreativitas peserta didik, menciptakan kondisi menyenangkan dan menantang, bermuatan nilai, etika, estetika, logika, kinestetika, dan menyediakan pengalaman belajar dan beragam. Pelaksanaan kegiatan pembelajaran menerapkan berbagai strategi, pendekatan dan metode pembelajaran yang menyenangkan, kontekstual, efektif, efisien, dan bermakna. Dalam hal ini kegiatan pembelajaran mampu mengembangkan dan meningkatkan kompetensi, kreativitas, kemandirian, kerjasama, solidaritas, kepemimpinan, empati, toleransi, dan kecakapan hidup

65

peserta didik guna membentuk watak serta meningkatkan peradaban dan martabat bangsa yang ditunjang dengan prestasi gemilang. 84 Model pembelajaran Aptitude Treatment Interaction (ATI) merupakan suatu pendekatan pembelajaran yang berpijak pada keinginan untuk

mengapresiasi serta mengakomodasi perbedaan-perbedaan individual siswa, yaitu dengan memberikan perlakuan-perlakuan (treatment) yang berbeda sesuai dengan kemampuan siswa untuk mencapai kompetensi yang diinginkan. Dan

pembelajaran Aptitude Treatment Interaction (ATI) mampu menawarkan sebuah konsep yang dapat mengapresiasi dan mengakomodasi perbedaan-perbedaan individual siswa khususnya dalam perbedaan kemampuan siswa. Oleh karena itu seorang guru yang baik adalah guru yang memahami dan menghormati murid, menghormati bahan pelajaran yang diberikannya,

mengaktifkan murid dalam belajar, mempunyai tujuan tertentu dengan tiap pelajaran yang diberikannya, dan yang tidak kalah pentingnya adalah seorang guru harus mampu menyesuaikan pendekatan mengajar dengan bahan pelajaran. 85 Dalam menggunakan pendekatan seorang guru dituntut untuk mampu memahami dan menerapkan sesuai dengan kemampuan siswa. Tinggi rendahnya mutu pelajaran atau baik buruknya nilai pelajaran siswa dapat ditentukan oleh pendekatan pembelajaran yang digunakan oleh guru.
Nurhadi, dkk, Pembelajaran Kontekstual (Contextual Teaching and Learning) dan Penerapannya dalam KBK, 108-109. 85 S. Nasution, Didaktik Asas-asas, 8.
84

66

Apabila seorang guru menyampaikan materi pelajaran menggunakan pendekatan yang tepat dalam arti sesuai dengan tujuan dan materi pelajaran, maka akan memperoleh hasil yang memuaskan dan sebaliknya seorang guru dalam menyampaikan bahan pelajaran dengan pendekatan yang kurang tepat, hasilnya akan kurang memuaskan, rendahnya mutu pelajaran dan prestasi belajar siswa yang kurang baik. Salah satu hal yang menentukan keberhasilan pelaksanaan pendidikan agama di sekolah adalah pemahaman prinsip-prinsip dasar ketepatan dalam memilih dan menggunakan pendekatan pendidikan. Sehingga sekolah dan guru agama mampu mengemban tugas pendidikan nasional. Penentuan dan pemilihan pendekatan dalam mengajar harus disesuaikan dengan kemampuan siswa, artinya harus mengacu pada tujuan pendidikan dan pengajaran yang pada akhirnya akan terwujud prestasi belajar pada siswa. Keterampilan guru dalam menentukan pendekatan pembelajaran akan sangat membantu siswa dalam proses belajar mengajar, yaitu dengan pemilihan dan penggunaan pendekatan yang tepat, maka dapat dipastikan mutu pendidikan dan pengajaran akan bertambah baik, dan hal ini akan menambah nilai belajar siswa sehingga siswa dapat meningkatkan prestasi belajarnya. Akhirnya dalam uraian ini, penulis menegaskan bahwa setiap pengajaran khususnya pengajaran Pendidikan Agama Islam, apabila digunakan pendekatan yang tepat dan sesuai maka pendekatan tersebut akan efektif dalam meningkatkan

67

prestasi belajar siswa, sebaliknya apabila guru menggunakan pendekatan yang kurang tepat dan tidak sesuai, maka pendekatan tersebut tidak akan efektif dalam meningkatkan prestasi belajar siswa.

68

You might also like