You are on page 1of 15

BAB I PENDAHULUAN 1.

1 LATAR BELAKANG MASALAH Di Indonesia, munculnya dilema ekonomi informal adalah sebagai dampak dari makin kuatnya proses modesnisasi yang bergerak bias, menuju sifat-sifat yang dualistis. Bias pembangunan secara makro akan menghasilkan sistem ekonomi lain yaitu sektor informal, yang sebagian besar terjadi di negara-negara sedang berkembang. Di negara sedang berkembang, masalah sektor informal sebenarnya menjadi semakin penting. Keberadaannya yang sangat penting apalagi setelah ekonomi Indonesia dirundung krisis, di mana permintaan angkatan kerjadi sektor informal ini semakin besar seiring dengan siklus usaha sektor formal yang tidak berjalan normal. Kondisi perkonomian sekarang ini mengakibatkan sektor formal kikir dalam menerima pasokan tenaga kerja. Bahkan berpeluang besar dalam mem-PHK tenaga kerjanya, sehingga sektor informallah yang menjadi tumpuan dab harapan bagi mereka dimasa datang. Fenomena kegiatan ekonomi informal di Indonesia akan lebih menonjol di beberapa kota besar di Pulau Jawa, di mana tekanan penduduk sudah sedemikian kritis. Membengkaknya sektor informal di kota-kota besarjuga sebagai akibat dari derasnya arus urbanisasi penduduk dari desa ke kota-kota besar.

Perpundahanpenduduk daridesa ke kota banyak disebabkan oleh perbedaan penghasilan yang diharapkan, meskipun harapan tersebut sering meleset dari kenyataan. Akibatnya, para migran yang tidak dapat masuk ke sektor formal di kota terlempar keluar, kemudian migran tersebut berusaha masuk ke sektor informal yang memberikan kesempatan kepada siapa saja untuk masuk ke

dalamnya. Karena itu, sektor informal dikenal juga sebagai katup pengaman dalam mengatasi masalah ketenagakerjaan. Di pihak lain, keberadaan Universitas di beberapa kota besar juga menjadi penyebab munculnya sektor informal di sekitar universitas tersebut. Jumlah mahasiswa baru yang ditampung oleh suatu Universitas tentu tidak akan sama
1

dengan jumlah mahasiswa yang lulus (wisuda) pada tahun yang sama. Dengan kenyataan ini, otomatis jumlah mahasiswa di kota besar semakin bertambah tiap tahunnya, dikarenakan ketidakseimbangan antara mahasiswa yang masuk dan yang keluar. Hal ini tentunya membuka peluang usaha bagi masyarakat yang tinggal di sekitar kampus, dan bahkan masyarakat yang tidak berada di sekitar kampus. Mahasiswa yang menempuh pendidikan di Universitas ternama di suatu kota besar banyak yang berasal dari kota lain. Tentunya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dia tidak dapat memenuhi sendiri. Kebutuhan pokok yang dibutuhkan oleh mahasiswa yang berasal dari kota lain antara lain tempat tinggal, dan makan. Sektor informal Pedagang Kaki Lima dapat memenuhi kebutuhan pangan bagi mahasiswa. Dengan harga yang sangat terjangkau dan tempat yang dekat dengan kampus dan kost, sebagian besar mahasiswa akan memilih Pedagang Kaki Lima sebagai pilihan untuk makan. Di Kabupaten Jember, terdapat tiga Universitas besar yang sebagian besar mahasiswanya berasal dari luar Jember. Dan sebagian besar dari mereka memilih untuk makan di Pedagang Kaki Lima yang berada di sekitar kampus mereka. Penulis membahas tentang keberadaan sektor informal Pedagang Kaki Lima yang berada di Jalan Jawa. Sedikit penjelasan tentang Jalan Jawa., Jalan Jawa merupakan jalan yang paling ramai di daerah di KecamatanTegal Boto. Dan juga merupakan akses bagi mahasiswa yang berkuliah di Universitas Jember dan juga Universitas Muhammadiyah Jember. Oleh karena itu, Jalan Jawa merupakan jalan dengan jumlah Pedagang Kaki Lima terbanyak, dan jalan yang paling diincar oleh pedagang kaki lima untuk menjual dagangannya. 1.2 RUMUSAN MASALAH 1. Apakah mahasiswa merupakan faktor menjamurnya PKL di Jalan Jawa? 2. Apakah sektor informal PKL di Jalan Jawa memiliki pendapatan minimal sebesar UMR?

3. Bagaimana sistem yang berlaku di kalangang PKL di Jalan Jawa terkait tentang cara memulai berjualan di Jalan Jawa serta cara penetapan harga? 1.3 TUJUAN 1. Mengetahui faktor menjamurnya PKL di Jalan Jawa; 2. Mengetahui pendapatan sektor informal PKL yang berada di Jalan Jawa; 3. Mengetahui prospek Sektor informal PKL di Jalan Jawa; 4. Menyelesaikan tugas akhir matakuliah Ekonomi SDM I.

1.4 MANFAAT 1. Sebagai rujukan agar pembaca dapat menjadikan sektor informal dibidang perdagangan, khususnya Pedagang Kaki Lima; 2. Sebagai referensi bagi pemerintah untuk lebih memperhatikan Pedagang Kaki Lima agar pendapatannya lebih meningkat.

BAB II LANDASAN TEORI DAN LANDASAN HUKUM 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Pengertian Sektor Informal Sektor informal pada hakikatnya merupakan konsep ekonomi, oleh karena itu kegiatannya dapat dikelompokan menurut klasifikasi lapangan usaha. Pengertian sektor informal itu sendiri diantara para ahli belum ada kebulatan pendapat, kesulitan merumuskan pada umumnya berkisar pada penentuan kriteria, baik kriteria konsepsional maupun operasional. International Labor Organization (ILO) menentukan kriteria sektor informal berdasarkan besarnya bantuan ekonomi. Jadi besar kecilnya ekonomi menentukan apakah kegiatan tersebut dikategorikan sebagai sektor formal ataukah sektor informal. Dalam hal ini bantuan ekonomi yang besar biasanya diterima oleh sektor formal, sebaliknya sektor informal hanya menerima bantuan ekonomi dalam jumlah yang sedikit. Sethuraman (1981, dalam hidayat, 1988 : 9) mendefinisikan sektor informal sebagai sektor yang terdiri dari unit-unit usaha berskala kecil yang menghasilkan dan mendistribusikan barang dan jasa dengan tujuan pokok menciptakan kesempatan kerja dan pendapatan bagi diri sendiri dan dalam usahanya sangat dihadap berbagai kendala seperti faktor modal fisik, faktor pengetahuan, dan faktor keterampilan. Dilihat dari kepentingan perumusan kebijakan,. Disatu pihak, secara de facto pemerintah telah menyediakan fasilitas bantuan terhadap sektor informal. Tetapi dilain pihak, dari berbagai penelitian yang bersifat mikro, sering terungkap bahwa banyak kelompok sasaran yang belum dapat menikmati bantuan tersebut. Hidayat (1988 : 9) melihat bahwa permasalahannya bukan pada ada atau tidaknya bantuan tersebut, tetapi yang lebih relevan (dilihat dari kepentingan

kebijaksanaan) adalah faktor accessibility terhadap bantuan yang telah disediakan oleh pemerintah.

Hidayat (1988) juga menambahkan bahwa definisi sektor informal didasarkan atas kriteria aceessibility bagi sektor informal terhadap penggunaan bantuan yang disediakan dan kualitas bantuan itu sendiri, bukan semata-mata pada ada tidaknya bantuan. Selain difinisi dari Sethuraman, ada tiga butir tambahan berikut :

1. Sektor informal ialah sektor yang tidak menerima bantuan atau proteksi ekonomi dari pemerintah; 2. Sektor informal yang belum dapat menggunakan (karena tidak memiliki akses) bantuan meskipun pemerintah telah menyediakan; 3. Sektor yang telah menerima bantuan, tetapi bantuan itu belum sanggup membuat sektor ini berdikari. Biro pusat statistik dalam menemukan jumlah pekerja sektor informal menggunakan dua pendekatan, sebagai berikut : pendekatan status pekerja dan pendekatan berdasarkan kerapian definisi angkatan kerja. Selanjutnya BPS dalam menentukan seseorang menjadi pekerja formal dan informal tidak dibedakan disetiap lapangan usaha. Hal ini, dikarenakan : 1. Ciri-ciri yang dinyatakan beberapa pakar (diantaranya oleh Hidayat) berlaku umum dalam melihat dualisme formal-informal di dalam perekonomian antar Negara; 2. Berdasarkan hasil penelitian Jan Breman, menyatakan bahwa terjadi dikotomi formal-informal di semua sektor perekonomian. Dengan kata lain, bahwa ciri sektor informal tidak berbeda antar sektor perekonomian (lapangan usaha), baik di pedesaan maupun di daerah perkotaan.

2.1.2 Ciri Sektor Informal Hidayat (1988 :12) menentukan paling sedikit 11 ciri sektor informal, yakni : 1. Kegiatan usaha tidak terorganisasi secara baik karena timbulnya unit usaha yang tidak mempergunakan fasilitas atau kelembagan yang tersedia di sektor informal; 2. Pada umumnya unit usaha tidak memiliki ijin usaha. 3. Pola kegiatan usaha tidak teratur baik dalam arti lokasi maupun jam kerja; 4. Pada umumnya kebijaksanaan pemerintah untuk membantu golongan ekonomi lemah tidak sampai ke sektor ini; 5. Unit usaha sudah keluar dan masuk dari sub-sektor ke sub-sektor lainnya; 6. Teknologi yang digunakan tidak modern; 7. Modal dan perputaran usaha relative kecil, sehingga skala usaha juga relative kecil; 8. Pendidikan yang diperlukan untuk menjalankan usaha tidak memerlukan pendidikan formal, karena pendidikan yang diperlukan diperoleh dari pengalaman sambil bekerja; 9. Pada umumnya unit usaha termasuk golongan one man enterprise dan kalau mempekerjakan buruh berasal dari keluarga; 10. Sumber dana modal usaha pada umumnya berasal dari tabungan sendiri atau dana lembaga keuangan yang tidak resmi; 11. Hasil produksi atau jasa terutama dikonsumsikan oleh golongan masyarakat kota atau desa yang berpenghasilan rendah dan kadang-kadang juga yang berpenghasilan menengah.

Untuk memperjelas ciri-ciri sektor informal tersebut, maka perlu diketahui perbedaannya dengan sektor formal, sebagai berikut (Hidayat, 1988 :4) : No 1 2 3 Karakteristik Modal Teknologi Organisasi Sektor Formal Relatif mudah diperoleh Padat modal Birokrasi Sektor Informal Sukar diperoleh Padat karya Menyerupai organisasi keluarga 4 Kredit Dari lembaga keuangan resmi 5 6 Serikat pekerja Bantuan pemerintah Sangat berperan Penting untuk kelangsungan usaha one way traffic 7 Sifat wiraswasta (berdikari) Sangat tergantung dari perlindungan pemerintah atau impor 8 Persediaan barang Jumlah besar dan kualitas baik 9 Hubungan kerja (majikan-Pekerja) Berdasarkan kontrak kerja Jumlah kecil dan kualitas berubah-ubah Berdasarkan atas saling percaya. Berdikari Dari lembaga keuangan tidak resmi Tidak berperan Tidak ada

2.1.3 Macam Kegiatan Sektor Informal Berdasarkan uraian di atas, perlu disadari bahwa kegiatan yang termasuk sektor informal bersifat heterogen. Di daerah perkotaan dapat dibedakan lima sub sektor, yaitu : perdagangan (menetap dan keliling), jasa (perorangan, masyarakat dan bisnis), angkutan, bangunan dan industri kecil. Untuk tiap kegiatan diperlukan instrument kebijaksanaan yang berbeda (hidayat, 1988 :25) Molo (1988 : 5) menyatakan bahwa dari 63,5 % anggota rumah tangga berada pada sektor pertanian. Mereka yang bekerja pada sektor formal sangat
7

rendah hanya 4,7%. Pekerja sektor informal dapat digolongkan atas : perdagangan sebanyak 55,5%, bangunan dan konstruksi sebesar 18,8%, industri sebesar 10,0%, jasa kemasyarakatan (pembantu rumah tangga) sebesar 11,1% dan lain-lain sebesar 4,6%. Berbeda dengan pendapat Molo dan Hidayat di atas, BPS menentukan pekerja sektor informal berdasarkan pada status pekerjaan penduduk yang bekerja, yakni : pengusaha mandiri; pengusaha yang hanya dibantu oleh anggota rumah tangga; pekerja keluarga dan buruh/karyawan di sektor pertanian. Pendidikan yang rendah merupakan ciri umum pekerja dengan status pekerjaan tersebut. Hal ini beralasan karena umumnya angkatan kerja berpendidikan rendah lebih banyak terserap di sektor-sektor tradisional, di mana tenaga kerja tersedia melimpah. 2.2 Landasan Hukum Keberadaa sektor informal khususnya pedagang kaki lima telah diatur oleh Pemerintah Kabupaten Jember dalam Peraturan Daerah Kabupaten Jember No. 06 Tahun 2008 tentang Pedagang Kaki Lima. Peraturan daerah kabupaten Jember ini merupakan perbaikan dari peraturan daerah sebelumnya No 6 Tahun 1988 tentang Pedagang Kaki Lima yang sudah tidak sesuai dengan perkembangan tata ruang dan wilayah kabupaten Jember. Menurut pasal 2 No 1, Pedagang Kaki Lima dapat melakukan kegiatan usahanya (hanya) pada lokasi tertentu yang ditetapkan oleh bupati. Dan menurut pasal 6 No. 1, setiap Pedagang Kaki Lima yang melakukan kegiatan usaha wajib memiliki izin lokasi PKL, serta No 2, setiap Pedagang Kaki Lima hanya memiliki satu izin dan tidak dapat dipindahtangankan kepada siapapun dan dalam bentuk apapun.

BAB III PENJELASAN 3.1 MAHASISWA ADALAH FAKTOR UTAMA Salah satu sektor informal yang tumbuh dan berkembang pesat adalah perdagangan. Sektor ini dapat kita jumpai hampir di setiap ruas jalan kabupaten Jember. Dan wilayah yang memiliki pertumbuhan sektor informal paling pesat adalah wilayah di sekitar Kampus, termasuk juga Kampus Universitas Jember. Dan jalan yang memiliki jumlah Pedagang Kaki Lima terbanyak adalah Jalan Jawa, yang terletak tepat di selatan Universitas Jember. Menurut seorang warga yang (bekerja membantu pedagang menaikkan tenda dan menurunkan tenda) bernama Hadi, pada siang hari terdapat 28 Pedagang Kaki Lima yang berjualan di Jalan Jawa. Sistem regulasinya terbagi menjadi dua waktu yaitu pada pagi sampai sore hari, dan pada sore hari sampai malam. Pada pagi hari, rata-rata pedagang mulai berjualan pada pukul 08.00 WIB s/d 16.00 dan kemudian diganti oleh pedagang lain di tempat yang sama mulai pukul 16.00 s/d tengah malam. Pada waktu malam hari pedagang yang berjualan di Jalan Jawa bertambah, tidak dibatasi jam berapa harus menutup dagangannya. Di sini mahasiswa sangat berperan dalam pertumbuhan Pedagang Kaki Lima, dikarenakan mahasiswa yang berasal dari luar kota sebagian besar akan lebih memilih untuk membeli makanan dari PKL daripada memasak sendiri di tempat kost, dan juga memang ada yang di tempat kostnya tidak disediakan dapur umum untuk memasak. Selain itu peran mahasiswa dalam pertumbuhan PKL semakin terasa pada saat terjadi libur panjang kuliah. Pendapatan Pedagang Kaki Lima turun drastis daripada hari-hari biasa. Hal ini juga dikarenakan karena konsumen terbesar pedagang kaki lima adalah mahasiswa. Jadi rumusan masalah pertama yaitu mahasiswa adalah faktor utama menjamurnya pedagang kaki lima di Jalan Jawa adalah benar.

3.2 PENDAPATAN LEBIH DARI UMR JEMBER Menempatkan mahasiswa sebagai sasaran penjualan, mengakibatkan setiap pedagang kaki lima memiliki laba super normal, kendati jumlah pesaing sangat banyak. Namun inovasi tetap sangat diperlukan dikarenakan menurut analisa penulis, dari hasil pengamatan pasar yang terbentuk adalah pasar persaingan monopolistik, sehingga Pedagang yang tidak berinovasi akan kehilangan pelanggan. Ayu Tyas (Seorang pedagang kaki lima) memaparkan bahwa setiap harinya dia mengeluarkan rata-rata Rp 400.000,00 untuk variable cost, pengeluaran ini adalah pengeluaran rata-rata pada hari biasa, dan pengeluaran ini akan meningkat pada saat bulan puasa dan akan menurun pada saat libur panjang. Sedangkan pendapatan bruto hariannya sekitar Rp 700.000,00 sehingga rata-rata pendapatan hariannya mencapai Rp 300.000,00 pada hari-hari biasa, dan bisa mencapai Rp 1.000.000,00 pada bulan puasa dan menurun drastis pada saat libur panjang yang terjadi setelah ujian semester genap. Jika dibandingkan dengan UMR Kabupaten Jember pada tahun 2010 yaitu sebesar Rp 830.000,00 per bulan tentu pendapatan pedagang kaki lima yang berada di Jalan Jawa berada jauh di atas UMR Jember. Jika diasumsikan satu bulan terdapat 30 hari, maka pendapatan pedagang kaki lima sebesar Rp 9.000.000,00 pada hari-hari biasa. Namun jika dilihat dari segi fisik, sebagian besar lapak Pedagang Kaki Lima tidak menunjukan adanya kemakmuran yang mereka dapatkan dari berjualan di Jalan Jawa. Hal ini terbukti dari lapak yang tidak terawat, ketidak higienisan dalam penyajian makanan, serta banyaknya lalat yang beterbangan di lapak. Dimungkinkan pedagang sengaja tidak memperlihatkan kemakmurannya dengan suatu alasan, atau karena ketidaktahuan mereka untuk mengelola pendapatan yang besar itu untuk kemajuan usahanya.

10

Terlepas dari penampilan fisik Pedangan Kaki Lima, sektor informal ini telah menunjukan kemandiriannya tanpa menggantungkan diri dari bantuan pemerintah. Dan pemerintah memang tidak memberikan bantuan kepada mereka. Para Pedagang Kaki Lima di Jalan Jawa juga berpendapatan jauh di atas UMR Kabupaten Jember, sehingga kesejahteraan hidup mereka terjamin. 3.3 SISTEM PEDAGANG KAKI LIMA 3.3.1 MEMULAI USAHA Para Pedagang Kaki Lima yang berjualan di Jalan Jawa tidak memiliki izin tertulis untuk mendirikan lapak mereka, hal ini terungkap setelah penulis mewawancari salah seorang pedagang, dan hal ini ternyata dibenarkan oleh pedagang lain. Jelas hal ini bertentangan dengan Peraturan Daerah Kabupaten Jember No 6 Tahun 2008, Pasal 06 No. 01 mengenai perizinan PKL, dan dikatakan dalam Perda bahwa setiap Pedagang Kaki Lima harus memiliki izin tertulis yang sah untuk menjalankan usahanya. Seorang Pedagang Kaki Lima yang ingin berjualan di Jalan Jawa tidak dapat begitu saja berjualan di sana. Hal ini dikarenakan adanya proteksi dari para pedangang yang telah berjualan di sana. Namun ada cara yang sangat efektif untuk dapat berjualan di Jalan Jawa, yaitu dengan membeli tempat dagangan dari penjual yang ingin memjual tempatnya. Aneh memang jika ada kata menjual tempat dagangan, padahal yang mereka tempati adalah trotoar milik publik, dan mereka sebenarnya

menyalahgunakan fasilitas publik. Namun pada kenyataannya terdapat praktek jual beli lahan untuk berjualan, dan itu selalu terjadi pada saat ada seorang pedagang yang tertarik untuk berjualan di sana. Hal ini tentunya melanggar Peraturan Daerah Kabupaten Jember No. 6 Tahun 2008 Pasal 6 dan No. 2 tentang tidak dapatnya lapak Pedagang Kaki Lima untuk dipindahtangankan. Harga sepetak lahan pun tidak murah. Menurut informasi yang penulis terima dari Andi (salah seorang pedagang kaki lima), satu tahun yang lalu ada

11

pedagang baru yang membeli lapak di sebelah lapaknya seharga Rp 12.000.000,00. Lapaknya pun hanya berukuran 4 X 4 meter. Namun hanya dengan berdagang beberapa bulan saja modal itu akan kembali dan malah keuntungan besar akan didapat. Tidak jelas darimana awal mula sistem jual beli lahan untuk berjualan di Jalan Jawa. Dan beberapa pedagang pun tak dapat menjelaskan asal-usul transaksi lahan berjualan di Jalan Jawa. Seseorang yang bernama H. Fatahillah sepertinya sangat berperan penting dalam kesejahteraan Pedangan Kaki Lima. Menurut beberapa pedagang, dulu H. Fatahillah adalah pemilik tanah tempat Universitas Jember. Dan dia juga yang telah memperjuangkan Pedangang Kaki Lima sehingga sampai saat ini para Pedagang Kaki Lima yang berjualan di Jalan Jawa tidak digusur oleh Pol PP. 3.3.2 PENENTUAN HARGA Dengan jumlah Pedagang Kaki Lima yang banyak, ternyata tidak ada asosiasi yang mengorganisir para Pedagang Kaki Lima tersebut. Sehingga penentuan harga tidak dilakukan dengan cara musyawarah resmi melainkan dengan informasi dari mulut ke mulut, dan musyawarah yang tidak resmi. (Musyawarah resmi yang dimaksud di sini adalah seluruh pedagang kaki lima berkumpul dan mendiskusikan tentang penetapan harga, dll). Selain dapat dikategorikan sebagai pasar persaingan monopolistik, pedagang kaki lima di Jalan Jawa juga dapat dikategorikan sebagai pasar ologopoli karena adanya kesepakatan harga makanan antar produsen. Tetapi tentang jumlah porsi dan variasi masakan, masing-masing pedagang memiliki perbedaan. Dan hal ini pula yang mempengaruhi pendapatan masing-masing pedagang. Secara kasat mata, keadaan fisik dari lapak-lapak penjualan yang dimiliki oleh PKL ternyata berbeda dengan pendapatan yang diterima oleh PKL setian bulannya. Jika Dinas Pariwisata dan Dinas Perpajakan dapat mengkoordinir

12

keberadaan PKL di Jalan Jawa, maka PKL dapat menyumbang dan menambah pendapatan Kabupaten Jember, serta dapat juga dijadikan obyek wisata. Manajemen yang baik dari Pemerintah setempat dan juga penyuluhan yang teratur kepada PKL akan sangat membantu dalam pengkoordinasian setiap PKL. Sehingga PKL pun dapat dijadikan obyek kunjungan wisata baik oleh turis lokal, maupun turis asing.

13

KESIMPULAN Pada kasus PKL yang berada di Jalan Jawa, mahasiswa merupakan faktor utama menjamurnya Pedagang Kaki Lima. Hal ini dibuktikan dati pendapatan PKL yang dapat menurun drastis pada saat mahasiswa sedang libur panjang, dan pendapatan itu juga dapat meningkat drastis pada saat bulan puasa. Seluruh PKL yang berada di Jalan Jawa tidak memiliki izin tertulis dari dinas terkait, dengan begitu para PKL telah menyalahi Peraturan Daerah No. 6 Kabupaten Jember Tahun 2008. Selain itu, terdapat praktek jual beli lapak dagangan antar pedagang sehingga hal ini juga telah menyalahi Peraturan Daerah No 6 Kabupaten Jember Tahun 2008. Sektor informal Pedagang Kaki Lima di Jalan Jawa telah membuktikan bahwa mereka berdikari dan dengan menjadi Pedagang Kaki Lima dapat menaikkan pendapatan per bulannya dan melampaui Upah Minimum Regional Kabupaten Jember. SARAN Diharapkan Pemerintah Daerah Kabupaten Jember dapat mengkoordinir keberadaan Pedagang Kaki Lima sehingga dapat menambah pendapatan dari Pedagang Kaki Lima itu sendiri. Selain itu, para Pedagang Kaki Lima sebaiknya membuat suatu pagunyuban atau perkumpulan Pedagang Kaki Lima yang berada di Jalan Jawa sehingga kartel harga dapat dilakukan dengan baikdan persaingan yang terjadi antar pedagang tidak menimbulkan kerugian yang berarti pada pedangang lain. Jika memungkinkan, Pedagang Kaki Lima harus memiliki pekerjaan lainnya agar saat pendapatan menurun drastis pada liburan panjang dapat ditutupi dengan pekerjaan lain tersebut. Selain itu pekerjaan lain tersebut dapat dijadikan alternatif jika sewaktu-waktu tempat yang mereka gunakan untuk bejualan digusur atau dipindah oleh Dinas yang bersangkutan.

14

DAFTAR PUSTAKA Biro Pusat Statistik, 1986, Pekerja Sektor Informal di Indonesia, Jakarta. Chapman, Barbara Anne, 1984, Makanan Jadi Indonesia: Peranan Pedagang Kecil Dalam Suplai Makanan Masyarakat Kota, EEquity Policy Center, Washington D. C. Hidayat, 1988, Posisi dan Peranan Srategis Sektor Informal Dalam

Perekonomian Indonesia, Pusat Penelitian Sumber Daya Manusia dan Lingkungan UNPAD, Bandung. Molo, Marcelinus, 1988, Sektor Informal di Dalam Spektrum Kesempatan Kerja dan Ekonomi Rumah Tangga Pedesaan, Pusat Penelitian Kependudukan UGM, Yogyakarta.
http://regionalinvestment.bkpm.go.id/newsipid/id/ekonomiumrd.php?ia=3509&is=45 http://allows.wordpress.com/2009/01/12/informasi-upah-minimum-regional-umr/ www.djpp.depkumham.go.id/files/ld/

15

You might also like