You are on page 1of 18

BAB I PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG MASALAH Di era modern ini, kebutuhan utama manusia tidak hanya meliputi sandang, pangan dan papan, tetapi juga kesehatan dan pendidikan. Kesehatan manusia terkait dengan makanan dan obat yang dikonsumsi. Berbeda dengan makanan, obat memerlukan aturan dan tata cara konsumsi yang lebih rumit yang terkait dengan nyawa manusia. Pentingnya hal ini, menjadikan obat sebagai salah satu jenis produk dengan pengawasan dan regulasi yang sangat ketat (over-regulated). Oleh karena itu, dalam rantai pasoknya (supply chain) mulai dari proses produksi di pabrik, proses distribusi hingga penggunaannya harus terjamin mutu dan keamanannya. Satu-satunya profesi yang mempunyai kompetensi dalam penjaminan mutu dan keamanan dari obat adalah apoteker. Oleh karena itu, di setiap unit rantai pasok obat, diperlukan seorang apoteker sebagai penanggung jawabnya. Dalam dunia kefarmasian di Indonesia, obat harus didistribusikan melalui Pedagang Besar Farmasi (PBF). Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1148/MENKES/PER/VI/2011 tentang Pedagang Besar Farmasi, pada pasal 4 dinyatakan dengan jelas bahwa untuk memperoleh izin PBF, pemohon harus memenuhi beberapa persyaratan yang salah satunya adalah memiliki secara tetap apoteker Warga Negara Indonesia sebagai penanggung jawab. Kondisi bisnis farmasi di Indonesia terkini menunjukkan bahwa PBF menjamur dimana-mana. Ini tidak lepas dari penyebab dimana pendirian PBF relatif lebih mudah dibandingkan pendirian industri farmasi. Perusahaan yang tidak berbasis industri farmasi juga diperbolehkan mendirikan PBF asalkan memenuhi persyaratan-persyaratan yang telah ditetapkan. Menurut data terakhir dari Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur, jumlah industri farmasi di Jawa Timur hanya 45 buah, sedangkan jumlah PBF-nya mencapai 500 buah. Dari sekian

banyak PBF tersebut, yang memiliki penanggung jawab apoteker tidak sampai separuh. Oleh karena itu, dalam makalah ini akan mengkaji lebih dalam tentang bagaimana ketertarikan apoteker untuk melaksanakan pekerjaan kefarmasiannya di PBF serta alasan-alasan apa saja yang menjadi dasar pertimbangan para apoteker untuk bekerja sebagai penanggung jawab PBF.

1.2 RUMUSAN MASALAH Berdasarkan latar belakang masalah di atas, dapat diperoleh rumusan masalah sebagai berikut: 1. Secara keseluruhan, berapa persentase apoteker yang bersedia dan tidak bersedia bekerja di PBF? 2. Apa alasan utama apoteker tidak bersedia bekerja di PBF?

1.3 TUJUAN PENELITIAN Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Untuk mengetahui secara keseluruhan berapa persentase apoteker yang bersedia dan tidak bersedia bekerja di PBF. 2. Untuk mengetahui alasan utama apoteker tidak bersedia bekerja di PBF.

1.4 MANFAAT PENELITIAN Hasil penelitian yang disampaikan ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai dasar pertimbangan dalam merumuskan kebijakan terkait dengan pekerjaan kefarmasian, khususnya dalam bidang distribusi di PBF.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA


2.1 TINJAUAN PBF Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1148/MENKES/PER/VI/2011 tentang Pedagang Besar Farmasi, definisi dari Pedagang Besar Farmasi (PBF) adalah perusahaan berbentuk badan hukum yang memiliki izin untuk pengadaan, penyimpanan, penyaluran obat dan/atau bahan obat dalam jumlah besar sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Obat adalah bahan atau paduan bahan, termasuk produk biologi yang digunakan untuk mempengaruhi atau menyelidiki sistem fisiologi atau keadaan patologi dalam rangka penetapan diagnosis, pencegahan, penyembuhan, pemulihan, peningkatan kesehatan dan kontrasepsi untuk manusia. Bahan Obat adalah bahan baik yang berkhasiat maupun tidak berkhasiat yang digunakan dalam pengolahan obat dengan standar dan mutu sebagai bahan baku farmasi termasuk baku pembanding. Dalam menjalankan peranannya sebagai distributor, PBF harus mengacu pada pedoman Cara Distribusi Obat yang Baik (CDOB) yang dikeluarkan oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Republik Indonesia. CDOB adalah cara distribusi/penyaluran obat dan/atau bahan obat yang bertujuan untuk memastikan mutu sepanjang jalur distribusi/penyaluran sesuai persyaratan dan tujuan penggunaannya. Syarat-syarat yang diperlukan untuk mendirikan dan memperoleh izin PBF adalah sebagai berikut: 1. Berbadan hukum berupa perseroan terbatas atau koperasi. 2. Memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). 3. Memiliki secara tetap apoteker Warga Negara Indonesia sebagai penanggung jawab. 4. Komisaris/dewan pengawas dan direksi/pengurus tidak pernah terlibat, baik langsung atau tidak langsung dalam pelanggaran peraturan perundangundangan di bidang farmasi. 3

5. Menguasai bangunan dan sarana yang memadai untuk dapat melaksanakan pengadaan, penyimpanan dan penyaluran obat serta dapat menjamin kelancaran pelaksanaan tugas dan fungsi PBF. 6. Menguasai gudang sebagai tempat penyimpanan dengan perlengkapan yang dapat menjamin mutu serta keamanan obat yang disimpan. 7. Memiliki ruang penyimpanan obat yang terpisah dari ruangan lain sesuai Cara Distribusi Obat yang Baik (CDOB). Selain memenuhi persyaratan di atas, khusus PBF yang akan menyalurkan bahan obat juga harus memenuhi persyaratan: 1. Memiliki laboratorium yang mempunyai kemampuan untuk pengujian bahan obat yang disalurkan sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan Direktur Jenderal. 2. Memiliki gudang khusus tempat penyimpanan bahan obat yang terpisah dari ruangan lain. Ketentuan tentang apoteker penanggung jawab di PBF tertuang dalam pasal 14 yang berisi beberapa hal, yaitu: 1. Setiap PBF dan PBF Cabang harus memiliki apoteker penanggung jawab yang bertanggung jawab terhadap pelaksanaan ketentuan pengadaan, penyimpanan dan penyaluran obat dan/atau bahan obat. 2. Apoteker penanggung jawab harus memiliki izin sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. 3. Apoteker penanggung jawab dilarang merangkap jabatan sebagai

direksi/pengurus PBF atau PBF Cabang. 4. Setiap pergantian apoteker penanggung jawab, direksi/pengurus PBF atau PBF Cabang wajib melaporkan kepada Direktur Jenderal atau Kepala Dinas Kesehatan Provinsi selambat-lambatnya dalam jangka waktu 6 (enam) hari kerja.

2.2 PEKERJAAN KEFARMASIAN Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 51 Tahun 2009 Tentang Pekerjaan Kefarmasian, definisi dari Pekerjaan Kefarmasian adalah

pembuatan

termasuk

pengendalian

mutu

sediaan

farmasi,

pengamanan,

pengadaan, penyimpanan dan pendistribusi atau penyaluran obat, pengelolaan obat, pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan informasi obat, serta pengembangan obat, bahan obat dan obat tradisional. Tenaga Kefarmasian adalah tenaga yang melakukan Pekerjaan Kefarmasian, yang terdiri atas Apoteker dan Tenaga Teknis Kefarmasian. Apoteker adalah sarjana farmasi yang telah lulus sebagai Apoteker dan telah mengucapkan sumpah jabatan Apoteker. Tenaga Teknis Kefarmasian adalah tenaga yang membantu Apoteker dalam menjalani Pekerjaan Kefarmasian, yang terdiri atas Sarjana Farmasi, Ahli Madya Farmasi, Analis Farmasi, dan Tenaga Menengah Farmasi/Asisten Apoteker. Sarana yang digunakan untuk melaksanakan pekerjaan kefarmasian disebut dengan fasilitas kefarmasian, yang secara umum dapat dibagi menjadi tiga kelompok besar, yaitu: 1. Fasilitas Produksi Sediaan Farmasi, yaitu sarana yang digunakan untuk memproduksi obat, bahan baku obat, obat tradisional, dan kosmetika. 2. Fasilitas Distribusi atau Penyaluran Sediaan Farmasi, yaitu sarana yang digunakan untuk mendistribusikan atau menyalurkan Sediaan Farmasi, yaitu Pedagang Besar Farmasi dan Instalasi Sediaan Farmasi. 3. Fasilitas Pelayanan Kefarmasian, yaitu sarana yang digunakan untuk menyelenggarakan pelayanan kefarmasian, yaitu apotek, instalasi farmasi rumah sakit, puskesmas, klinik, toko obat, atau praktek bersama.

BAB III METODE PENELITIAN


Penyusunan laporan penelitian ini menggunakan metode wawancara yang dilakukan terhadap 100 responden yang seluruhnya adalah lulusan dari Program Profesi Apoteker Fakultas Farmasi Universitas Surabaya, Surabaya, mulai angkatan XXX hingga angkatan XLI. Metode wawancara yang dilakukan baik melalui tatap muka langsung, pesan singkat (short message service/SMS) maupun melalui Blackberry Messenger (BBM). Pertanyaan yang diberikan adalah: Apakah Anda bersedia atau tidak jika ditawari menjadi apoteker penanggung jawab di PBF?. Jika responden menjawab bersedia, maka tidak akan diberikan pertanyaan lebih lanjut. Akan tetapi jika responden menjawab tidak bersedia, maka dilakukan penelusuran alasan lebih lanjut mengapa mereka tidak mau menjadi apoteker penanggung jawab di PBF.

BAB IV HASIL PENELITIAN


Dari hasil wawancara yang dilakukan terhadap 100 responden yang seluruhnya adalah lulusan dari Program Profesi Apoteker Fakultas Farmasi Universitas Surabaya, Surabaya, mulai angkatan XXX hingga angkatan XLI, didapatkan data sebagai berikut:

Bersedia Tidak Bersedia TOTAL

Frekuensi 47 53 100

Survey

Tidak Bersedia 53%

Bersedia 47%

Dari responden yang menjawab bersedia, ternyata ada beberapa responden memberikan alasan tertentu, di antaranya: Alasan Bersedia Tanpa alasan Daripada tidak bekerja Asal gaji, job description dan tempat kerja cocok Kredibilitas PBF Lain-lain TOTAL Frekuensi 26 5 9 2 5 47

Alasan Bersedia
Kredibilitas PBF 4% Lain-lain 11%

Asal gaji, job desc dan tempat kerja cocok 19%

Tanpa alasan 55%

Daripada tidak bekerja 11%

Sedangkan responden yang menjawab tidak bersedia memberikan beberapa alasan tertentu, di antaranya:

Alasan Tidak Bersedia Tanpa alasan Jenjang karir kurang menjanjikan Gaji kurang memadai dan tanggung jawab besar Tidak paham job description-nya Kurang sesuai dengan minat pekerjaan Pekerjaan banyak, monoton, dan administrasi rumit Ingin membuka usaha sendiri Lain-lain TOTAL

Frekuensi 10 4 11 2 5 6 6 9 53

Alasan Tidak Bersedia


Lain-lain 17% Ingin membuka usaha sendiri 11% Tanpa alasan 19% Jenjang karir kurang menjanjikan 8%

Pekerjaan banyak, monoton, dan administrasi rumit 11%

Kurang sesuai dengan minat pekerjaan 9%

Tidak paham job desc-nya 4%

Gaji kurang memadai dan tanggung jawab besar 21%

BAB V PEMBAHASAN
Berdasarkan hasil survey menunjukkan bahwa persentase apoteker yang tidak bersedia bekerja di PBF lebih besar dibandingkan persentase apoteker yang bersedia bekerja di PBF. Akan tetapi, perbedaan yang ditunjukkan tidak terlalu signifikan (53% berbanding 47%). Dari apoteker yang tidak bersedia, alasan yang paling dominan (21%) adalah gaji yang kurang memadai dan di sisi lain tanggung jawab yang diemban cukup besar. Jadi, apoteker akan lebih mencari pekerjaan kefarmasian lain dimana ia dapat memperoleh gaji yang sesuai dengan tanggung jawab yang diemban. Setelah itu, ada alasan bahwa bekerja di PBF monoton dan administrasi yang rumit. Hal ini tidak dapat dihindari karena pekerjaan di PBF tidak akan lepas dari rutinitas yang berhubungan dengan administrasi. Selain itu, beberapa dari mereka ingin membuka usaha sendiri (11%). Membuka usaha di bidang kefarmasian yang paling mudah dan paling disukai oleh apoteker adalah membuka apotek. Ini disebabkan modal yang dibutuhkan relatif lebih kecil dibandingkan jika mereka mendirikan PBF. Mereka mempunyai paradigma lebih baik menjadi raja di kerajaan kecil dibandingkan menjadi pion di kerajaan besar. Alasan berikutnya adalah pekerjaan yang kurang sesuai dengan minat (9%). Sebenarnya alasan ini adalah alasan yang subyektif dan sangat bergantung pada preferensi masing-masing individu. Apoteker yang senang bekerja sebagai peneliti tentunya akan cenderung bekerja di bagian Quality Control (QC) atau Research and Development (R&D) di industri farmasi. Apoteker yang senang bekerja untuk melakukan pelayanan kefarmasian (pharmaceutical care) akan cenderung memilih bekerja di apotek atau rumah sakit. Sedangkan apoteker yang senang bekerja di bagian administrasi sangat cocok jika ia bekerja di PBF. Akan tetapi, pada kenyataannya minat apoteker terhadap pekerjaan administrasi sangat kecil jika dibandingkan dengan jenis pekerjaan lainnya.

10

Kemudian 8% dari responden menyatakan alasan jenjang karir yang kurang menjanjikan. Hal ini disebabkan oleh peraturan yang membatasi jenjang karir apoteker penanggung jawab tersebut. Pada Permenkes Nomor 1148 Tahun 2008 pasal 14 ayat 3 tertulis jelas bahwa Apoteker penanggung jawab dilarang merangkap jabatan sebagai direksi/pengurus PBF atau PBF Cabang. Dengan demikian apoteker tersebut hanya tetap menjadi apoteker penanggung jawab dan tidak dapat naik jabatan kecuali jika ia melepaskan predikatnya sebagai apoteker penanggung jawab PBF. Lalu alasan yang paling ironis adalah tidak paham mengenai job description apoteker penanggung jawab di PBF. Hal ini disebabkan bahwa di antara 3 jenis pekerjaan kefarmasian (produksi, distribusi dan pelayanan), ilmu yang didapatkan di bangku kuliah mengenai distribusi obat sangat kurang. Sebagai perbandingan, apoteker yang bekerja di fasilitas produksi (industri farmasi) telah mendapat ilmu formulasi dan analisis yang tentunya sangat berkaitan job description di QC dan R&D. Sedangkan apoteker yang bekerja di fasilitas pelayanan (apotek dan rumah sakit) telah mendapat ilmu tentang farmasi klinis dan komunitas sehingga tidak akan mengalami kesulitan dalam memahami job description. Selain itu, rata-rata Program Profesi Apoteker di Indonesia hanya mengadakan program Praktek Kerja Profesi (PKP) di apotek, industri dan rumah sakit. Berdasarkan pengalaman penulis, penjelasan tentang pekerjaan apoteker di PBF hanya sebatas sosialisasi saja ketika menjalani PKP Pemerintahan di Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur. Pekerjaan kefarmasian apoteker di PBF hampir tak tersentuh dan kurang mendapatkan perhatian dari pembuat kurikulum, sehingga inilah yang menjadi penyebab utama kekurangpahaman job description apoteker penanggung jawab di PBF. Sebagian responden juga mengemukakan alasan lain-lain yang membuat mereka tidak bersedia bekerja di PBF. Alasan-alasan ini di antaranya malas mengurus di Dinas Kesehatan, tidak bisa menerapkan ilmu farmasi klinis dan buang-buang waktu. Alasan ini mencakup 17% dari responden yang menyatakan tidak bersedia.

11

Dari apoteker yang bersedia, ternyata hampir separuh memberikan alasan tertentu. Alasan yang dominan adalah masalah kesesuaian gaji, job description dan tempat kerja. Mereka mengemukakan bahwa pada dasarnya mereka bersedia untuk bekerja di PBF asalkan mereka mendapatkan tempat kerja yang cocok (misalnya jarak dari tempat tinggal, kedekatan dengan keluarga dan lain-lain) serta pada saat wawancara terjadi kesepakatan dan kejelasan antara kedua belah pihak mengenai gaji yang sesuai dengan job description (tugas dan tanggung jawab). Selain itu, hasil survey juga menunujukkan bahwa ternyata 11% dari responden memberikan alasan daripada tidak bekerja. Ini berarti bahwa pekerjaan di PBF menjadi pilihan terakhir apabila mereka tidak diterima bekerja di bidang kefarmasian yang lainnya. Sebagian kecil (4%) dari responden yang menjawab bersedia memberikan alasan mengenai kredibilitas PBF. Hal ini disebabkan oleh asumsi bahwa semakin besar PBF maka job description akan semakin jelas dan struktur organisasi juga semakin teratur. Selain alasan-alasan tersebut, ada 11% alasan lain-lain yang dikemukakan oleh responden yang menyatakan bersedia antara lain asal pemilik tidak anehaneh dan mendapatkan pengalaman baru mengenai pekerjaan administrasi Dari alasan yang dikemukakan terlihat bahwa ada alasan yang serupa, misalnya ada dua orang responden yang masing-masing menjawab, bersedia, asalkan gaji sesuai dengan tanggung jawab dan tidak bersedia, karena gaji kecil tetapi tanggung jawabnya besar. Mungkin sekilas kedua jawaban tersebut terlihat sama. Padahal kenyataannya terdapat kontroversi akibat perbedaan paradigma antara kedua responden tersebut. Responden pertama memiliki paradigma bahwa ia sebenarnya siap untuk memikul tugas dan tanggung jawab sebagai apoteker penanggung jawab, tetapi sebagai kompensasinya ia meminta gaji yang sebanding dengan tanggung jawabnya. Sedangkan responden kedua memiliki paradigma bahwa pekerjaan di PBF memiliki tanggung jawab yang besar dan gajinya pasti kecil.

12

BAB VI KESIMPULAN
Hal-hal yang dapat disimpulkan dari penelitian ini adalah: 1. Apoteker yang bersedia bekerja di PBF sebesar 47% sementara yang tidak bersedia bekerja di PBF sebesar 53%. 2. Alasan utama apoteker tidak bersedia bekerja di PBF adalah gaji terlalu kecil dibandingkan dengan tanggung jawab yang besar (21% dari responden yang menjawab tidak bersedia).

13

BAB VII SARAN


Dari hasil penelitian, maka hal-hal yang dapat disarankan antara lain: 1. Harus ada job description yang jelas bagaimana peran Apoteker Penanggung Jawab di PBF. 2. Ditetapkan gaji minimal untuk apoteker yang bekerja di PBF. 3. Adanya reward untuk apoteker untuk memotivasi agar pekerjaan bukan hanya sebagai rutinitas belaka, serta mengadakan acara gathering untuk menjalin keakraban antar karyawan. 4. Menetapkan regulasi yang tidak membatasi jenjang karir (career path) dari apoteker. 5. Mengadakan program training yang diberikan oleh apoteker kepada para salesman mengenai informasi obat sehingga ilmu yang didapatkan dari kuliah juga dapat diterapkan pada saat bekerja di PBF. 6. Dinas Kesehatan berkomunikasi kepada Asosiasi Pendidikan Tinggi Farmasi Indonesia (APTFI) agar ilmu tentang administrasi dan distribusi dapat dimasukkan ke dalam kurikulum perguruan tinggi farmasi. 7. Program Profesi Apoteker di universitas memberikan Praktek Kerja Profesi (PKP) di PBF.

14

DAFTAR PUSTAKA
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia 1148/MENKES/PER/VI/2011 tentang Pedagang Besar Farmasi. Nomor

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 51 Tahun 2009 Tentang Pekerjaan Kefarmasian.

15

LAMPIRAN
Data Mentah Hasil Survey

Responden Bersedia 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31

Tidak Bersedia

Alasan

Daripada tidak bekerja Gaji tidak mencukupi Tidak paham job description-nya Tidak sesuai dengan minat pekerjaan Pekerjaannya banyak dan monoton Asalkan job description dan tempat kerjanya cocok

Gaji tidak memadai Membuka usaha sendiri lebih enak Pertimbangan job description dan kredibilitas PBF Gaji tidak sesuai dengan tanggung jawabnya Resiko pekerjaannya tinggi Tidak berminat menjadi APJ PBF Kredibilitas PBF diutamakan karena kita yang menjadi APJ

Tergantung tempat kerja dan lingkungan kerjanya cocok Buang-buang waktu Jika merupakan pilihan terakhir, daripada tidak bekerja Males mengurus administrasinya di Dinas Kesehatan Pekerjaan terlalu banyak dan dituntut untuk tepat waktu Pekerjaan monoton dan membosankan

16

32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64 65 66 67 68 69 70 71

Karir tidak akan berkembang Mending bekerja sendiri Tidak bisa menerapkan ilmu farmasi klinis Penerapan ilmu saat di kuliah sangat kurang Jenjang karir tidak menjanjikan Asalkan gaji dan job description-nya sesuai

Resiko pekerjaan sangat tinggi

Tidak mau bekerja untuk orang lain Gajinya kurang Kurang berminat Pekerjaan membosankan dan administrasinya rumit Ingin membuka usaha sendiri Asalkan gaji, job description dan tempat kerjanya cocok Gaji tidak memadai

Daripada tidak bekerja Resiko pekerjaannya tinggi Daripada tidak bekerja Tidak berminat sama sekali Asalkan pemilik tidak aneh-aneh atau asal perintah Gajinya terlalu kecil Gaji kurang memadai dan tanggung jawab besar Kurang sesuai dengan minat pekerjaannya Pekerjaan monoton, jadi cepat bosan dan jenuh Kalau gajinya cocok 17

72 73 74 75 76 77 78 79 80 81 82 83 84 85 86 87 88 89 90 91 92 93 94 95 96 97 98 99 100

Urusan administrasi rumit jika ingin resign Asalkan gaji sudah sesuai dengan kebutuhan Gaji kecil tidak sepadan dengan tanggung jawabnya Ingin membuka usaha sendiri Jenjang karirnya kurang menjanjikan Pertimbangan gaji, jarak dan tempat kerja Pekerjaan terkait administrasi yang rumit dan monoton Kurang mengerti tentang job description-nya Hanya sekedar cari pengalaman, karena kontrak kerja pendek Tapi cuma buat cari pengalaman saja Daripada tidak bekerja Gaji tidak mencukupi Asal gaji, job description dan tempat kerja cocok Gaji kurang memadai Ingin cari pengalaman baru di bidang administrasi PBF Tergantung lingkungan kerjanya Membuka apotek sendiri Tidak ada jenjang karir, tidak menjanjikan untuk kedepannya Bisa sambil kerja yang lain, seperti sorenya buka toko Tidak ada penerapan ilmu farmasi klinisnya Gaji kecil, tanggung jawab besar

18

You might also like