You are on page 1of 1

10

KAMIS KLIWON, 26 APRIL 2012

Sorot Redaksi
Wakil
KHOLIL ROKHMAN
Redaktur Bahasa SatelitPost LAGOJE Vidinic berputar-putar di bangku cadangan. Raut mukanya berkerut memikirkan bagaimana dia memertanggungjawabkan kinerjanya di hadapan rakyat Zaire. Pria Macedonia itu didapuk membawa kumpulan anak Zaire bertarung di Piala Dunia, Jerman Barat pada 1974. Dia mewakili nama Zaire, negeri yang belakangan mengubah sebutan menjadi Republik Demokratik Kongo. Vidinic pusing bukan kepalang karena dia adalah entrenador anak-anak negeri di Afrika bagian tengah itu. Partai pertama gelaran hajatan sepakbola terakbar, Zaire dipukul Skotlandia dua gol tanpa balas. Di partai kedua Grup B Piala Dunia 1974, anak asuhnya dipermak 9-0 oleh negara leluhurnya sendiri, Yugoslavia. Di partai ketiga, giliran kumpulan tim samba menggasak 3-0. Vidinic berpikir, sebagai duta Zaire, dia malu. Malu karena timnya dijadikan lumbung gol. Lebih malu lagi karena di gelaran sepakbola empat tahunan itu, masih ada anak asuhnya yang tak tahu aturan standar bermain sepakbola. Vidinic malu dan enggan pulang ke Zaire. Vidinic sudah sangat serius. Memasang taktik, merotasi pemain, hingga minimal minta anak buahnya memertahankan gawang dari kebobolan. Vidinic, mencurahkan pengalamannya saat menjadi pesepakbola. Tapi tetap saja, dia gagal. Keseriusan yang tidak membuahkan hasil. Seorang wakil negara yang malu sekalipun segenap keringat, otak, hingga batin diserahkan bagi keharuman nama Zaire di Piala Dunia 1974. Wakil yang tahu diri. Malu karena tidak bisa memberikan yang terbaik sekalipun sudah sangat berusaha. Kadang, dan bahkan sering kita memikirkan hal besar dari arena permainan seperti sepakbola. Dari mulai ideologi yang dipertentangkan, rasa memiliki, hingga niat baik sebagai wakil negara. Kita, dengan segudang permasalahan, rasanya ingin memunyai wakil yang minimal seperti Vidinic. Tanggung jawab yang besar dan rasa malu yang masih ada. Tapi, kita sering membuat dahi sendiri bergaris, memikirkan wakil kita. Mekanisme demokrasi keterwakilan membuat kita punya wakil yang bernama DPR. Namun, berbongkah-bongkah masalah muncul. Tidak terhitung berapa yang terseret kasus korupsi. Mereka tak bertanggung jawab dan punya rasa malu yang tak sampai sekulit ari. Tak hanya korupsi, kita juga punya wakil yang terseret kasus asusila. Tak hanya satu wakil, beberapa anggota DPR ditelanjangi kecanggihan teknologi soal kasus asusila. Ada yang membantah, tapi belakangan mengaku. Ada yang mengaku tapi tak tegas mengakui. Terbaru, ketika video tak senonoh kembali muncul dan diduga dilakukan wakil kita. Belum pasti memang, tapi publik punya logika sendiri. Bagi kita yang diwakili, kecanggihan teknologi seperti sudah mengonfirmasi dugaan menjadi kepastian. Menyesakkan memang. Tak ada kekecewaan kecuali terbayarkan saat mekanisme pemilihan terjadi lima tahun sekali. Saat itu, kita bisa memilih wakil yang sesuai dengan apa yang kita inginkan. Untuk kebaikan Indonesia, pamflet-pamflet muncul menyosialisasikan agar kita tak memilih politisi busuk. Busuk perangainya dan busuk akhlaknya. Tiap saat, menjelang pemilu, imbauan mampir di media cetak dan nangkring di layar kaca. Imbauan agar kita memilih wakil yang tepat. Tapi, sebagus apapun imbauan, Tempat Pemungutan Suara (TPS), saat ini punya logika sendiri. Seperti apapun imbauan, uang kadang mengalahkan segalanya. Tidak sedikit kita yang bisa dibeli, memertaruhkan masa depan dengan memilih wakil yang tak layak. Setiap orang yang bisa dibeli juga punya nalar sendiri. Bagi mereka, uang sangat dibutuhkan di tengah ketidakmampuan pemerintah memberi penghidupan yang layak. Semua punya logika sendiri dan berputar tak berujung. Hingga kemudian, episode tentang kenakalan, korupsi, asusila wakil kita terus berulang. Terjadi dan terjadi lagi. Membangun keterwakilan tidak hanya dengan teori dan imbauan semata. Pemberian kesejahteraan, pemahaman, rasa memiliki bangsa, dan ketidakrakusan harus dirangkum. Dipikirkan lebih detil oleh yang punya kewenangan. Sebetulnya tidak sulit, tapi kadang memang tidak mudah. (kholil_rokhman@yahoo.com)

Redaksi SatelitPost menerima kiriman opini dari pembaca. Panjang opini berisi dua halaman spasi 1,5 . Naskah dikirim via email dan hendaknya dilengkapi dengan foto terbaru berikut nomor telepon yang dapat dihubungi. SatelitPost tidak mengembalikan opini yang diterima. Kolom ini juga terbuka untuk guru. email: opinipembaca_satelitpost@yahoo.co.id

PublicService
MANUNGGAL K. WARDAYA

KARTINI DAN DEMOKRASI


DALAM banyak buku sejarah yang diajarkan di sekolah-sekolah maupun dalam berbagai seremoni memeringati kelahirannya, gelar Raden Ajeng kerap disebut-sebutkan di depan nama Kartini. Penyebutan itu tentu tak salah karena Kartini memang berasal dari keluarga aristokrat. Dia dibesarkan dalam lingkungan kabupaten, sebuah masyarakat kecil yang tersusun atas lapisan-lapisan sesuai dengan struktur sosial feodal. Namun, penyebutan gelar kebangsawanan tersebut tidak akan membuat Kartini gembira. Sekiranya ia masih hidup dan hadir dalam perayaan yang ditujukan untuk menghargai jasanya terhadap bangsa ini. Dikatakan demikian, karena Kartini memang tak mau dipanggil dengan panggilan Raden Ajeng. Ia berkeyakinan, semua manusia pada hakikatnya sama, dan berbagai gelaran yang artifisial sifatnya itulah yang justru menimbulkan banyak ketidakadilan sosial. Tulisan ini secara singkat menyoroti signifikansi dan relevansi pemikiran Kartini dalam dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Sosok Kartini yang begitu kritis terhadap kondisi sosial politik memang tidak banyak didapat dalam buku Habis Gelap Terbitlah Terang (Door Duisternicht tot Licht) yang hingga kini menjadi rujukan utama untuk memerkenalkan keberadaannya. Sosoknya yang lain, seorang feminis Jawa yang mencabar kebenaran sosial politik pada jamannya ditemukan dalam buku Panggil Aku Kartini saja yang disusun berdasar surat-surat Kartini. Dalam buku yang ditulis oleh Pramoedya Ananta Toer itu terungkap pandanganpandangan non konformis puteri Bupati Jepara ini terutama yang berkaitan dengan hal ikhwal sosial dan politik, filsafat, bahkan agama. Satu di antara yang paling menohok adalah permintaan Kartini sendiri agar dipanggil tanpa gelaran apapun, suatu penolakan tegas terhadap feodalisme. Bahwa Kartini menolak panggilan Raden Ajeng tentu adalah suatu keluarbiasaan. Diletakkan dalam konteks masanya ketika paham ketidaksamaan derajat di antara manusia masih begitu kuat di tanah Jawa. Apa yang menjadi pandangan perempuan yang pandai melukis ini adalah suatu lompatan sejarah, suatu dobrakan dari dalam jantung feodalisme itu sendiri. Ia memuja kesetaraan, persamaan antar manusia, dan demokrasi. Walau ia adalah puteri bangsawan, hidup dalam pingitan, hati sanubarinya begitu dekat dengan rakyat dan mencurahkan segala perhatiannya demi kemakmuran rakyat. Diyakininya, gelar kebangsawanan justru membuat beban dan menyebabkan ketidakadilan sosial karena dengannya orang tak akan sekali-kali berkesamaan derajat sebagai manusia. Ia menulis pedas betapa para bangsawan memertahankan kebangsawanan dan kebodohan di antara para pribumi guna terus berkuasa terhadapnya. Tentangan atas usahanya untuk mendirikan sekolah bagi kaum pribumi diyakininya lebih disebabkan karena ketakutan para bangsawan akan runtuhnya eksistensi mereka di panggung kuasa manakala masyarakat telah lebih melek dengan pendidikan. Tak saja terhadap para bangsawan

Para pejabat penyelenggara mestilah menempatkan diri sebagai abdi masyarakat. Bukan sebaliknya, mengreasi feodalisme jaman modern yang menuntut upeti dan imbalan dari majikan sejatinya: manusia warga negara.
Dosen Fakultas Hukum Unsoed, PhD Researcher pada Radboud Universiteit Nijmegen, Belanda pribumi, perempuan yang namanya diabadikan sebagai nama jalan di Negeri Belanda itu juga keras mengkritik pejabat Belanda. Mereka juga mengukuhi anggapan, bangsa penjajah, Eropa, lebih mulia d a r i kaum priadalah manifestasi paham demokrasi di mana rakyat adalah pemegang kuasa, yang berdaulat. Penolakannya atas penghormatan berlebihan terhadap manusia karena mitos genetis kebangsawanan dan implikasinya di lapangan publik adalah gugatan yang dapat disetarakan dengan pemikiran Jotruksi sosial yang menghalangi kesamaan itu musti diruntuhkan. Kadar seseorang haruslah ditakar dari peran dan kontribusinya dalam masyarakat, dan bukannya klaim-klaim yang menyandarkan pada bangunan mitologi akan adanya hak istimewa dari Tuhan. Pemikiran dan perjuangan Kartini sudah barang tentu tetap relevan untuk diimplementasikan dalam perikehidupan kekinia. Tak saja dalam pemahamannya yang domestik-konvensional (yang melulu berkisar pemberdayaan kaum Ibu dan perempuan seperti selama ini dicoba-kesankan). Namun lebih dari itu, sebagai inspirasi bagi siapapun pejabat negara dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya. Sikap politik Kartini yang tak ingin dihormati sekadar karena kebangsawanannya sudah semestinya menjadi teladan para penyelenggara negara terutama dalam konteks negara berpaham kedaulatan rakyat sebagaimana ditegaskan Pasal 1 ayat (2) UUD 1945. Prinsip kesetaraan dan non-diskriminasi sebagaimana diperjuangkan Kartini sepatutnya tak dilupakan guna terwujudnya keadilan dan kemakmuran rakyat yang sebesar-besarnya. Para pejabat penyelenggara mestilah menempatkan diri sebagai abdi masyarakat. Bukan sebaliknya, mengreasi feodalisme jaman modern yang menuntut upeti dan imbalan dari majikan sejatinya: manusia warga negara. (*)

bumi terjajah. Bahwa Belanda lebih agung dan mulia daripada orang Jawa. Karenanya Bahasa Belanda dan ilmu pengetahuan tak seharusnya ada dalam benak kepala orang Jawa. Kendati dekat dengan banyak orang Belanda dan peradaban Barat/ Eropa yang ia pandang mencerahkan, namun ia tetap kritis terhadap perilaku aparat kolonial yang memerlakukan manusia tak sebagaimana harusnya manusia diperlakukan. Ia haus untuk mengecap kultur Eropa yang diyakininya membebaskan dari adat kuno feodalisme yang tak terhindarkan. Sembari meyakini pula, peradaban Eropa tak sama dengan penjajahan Barat di Hindia Belanda. Sesungguhnyalah, kritik Kartini akan feodalisme di mana orang mendapat penghormatan. Dikarenakan status darah yang mengalir dan jabatan amatlah paralel dengan prinsip kesetaraan (equality) yang dikenal dan diakui dalam berbagai instrumen hukum HAM. Baik dalam levelnya yang internasional maupun domestik. Perjuangannya untuk mendirikan sekolah bagi kaum pribumi adalah manifestasi atas keyakinannya yang teguh. Siapapun manusia tanpa membedakan status sosialnya memiliki hak atas pendidikan, sebuah prinsip nondiskriminasi dalam penikmatan HAM. Sementara itu pandangannya, para bangsawan seharusnya memiliki kepedulian sosial, menyingsingkan lengan baju guna kemakmuran rakyat

BOODIE SIPON/SATELITPOST

hn Locke (1632-1704). Ia juga mencabar kekuasaan absolut raja yang mendasarkan kuasa mereka dengan klaim takdir ketuhanan. Baik Kartini maupun Locke meyakini, setiap manusia adalah sama, oleh karenanya kons-

EMBACA setia SatelitPost, silakan sampaikan keluhan, saran, kritik, dan pertanyaan Anda terhadap public service atau masalah pembangunan di sekitar kita, secara singkat, cerdas, dan santun melalui fanpage Harian Pagi SatelitPost atau melalui sms ke nomor 081 327 751 303. Kami dengan senang hati akan menyampaikan keluhan atau pertanyaan Anda pada pihak yang bersangkutan sehingga bisa langsung dijawab. Jalan Rusak Cilacap 1 Kabupaten Cilacap paling kaya. Ada PLTU, Pertamina, pelabuhan, Holcim, dan gudang aspal. Tapi kenapa, jalannya pada rusak. Pada dibawa kemana aspalnya? NN, 081 326 869 XXX Jalan Rusak Cilacap 2 Assalamualaikum. Bapak kepala Bina Marga Cilacap yang saya hormati dan bapak/ibu pemerintah pula yang saya hargai. Kapan mau diperbaiki sepanjang Jalan Tentara Pelajar. Jalannya berlubang, rusak parah banget. Tolong secepatnya jalannya diperbaiki. Soalnya jalan itu sebagai akses truk, bis, dan truk Holcim. Terimakasih. AINI, Cilacap 085 647 805 XXX Tanggapan: Terimakasih untuk masukannya pembaca SatelitPost. Cilacap memang memunyai banyak pabrik, satu di antaranya pabrik aspal. Namun, aspal itu kan milik negara. Bupati tidak memiliki kewenangan untuk mengambil atau meminta aspal. Kalau pun meminta, tidak semudah itu prosedurnya. Berkaitan dengan banyaknya jalan rusak, ini sebagai dampak kemajuan kota industri Cilacap. Namun, APBD kita untuk memerbaiki jalan cukup terbatas. Namun, kami akan berusaha memerhatikan sekaligus memerbaiki jalan rusak itu satu per satu. Terutama jalan rusak yang masuk ke ranah kabupaten. Sedangkan jalan nasional dan provinsi, tetap harus ada koordinasi dengan pemerintah pusat dan BPT Bina Marga Provinsi. GUNAWAN ST Kepala Bidang Jalan, Dinas Sumber Daya Air dan Bina Marga (SDABM) Cilacap Bikin SIM Jangan Dipersulit Pak polisi Cilacap-Banyumas. Gawe SIM aja dipersulit. Nek nilang sregep. Giliran gawene angel banget. KARTIKA, 085 726 393 XXX Tanggapan: Terimakasih untuk pertanyaannya Ibu Kartika. Bukannya kita ingin memersulit, tetapi memang prosedurnya seperti itu. Karena SIM berkaitan dengan kompetensi berkendara. Harap maklum. AKP Chalid Mawardi Kasat Lantas Polres Banyumas

BERITA DUKA CITA EKA PRALAYA Yayasan PenolongKematian


LANI AGUSTINA (Tan Lan Ing) Usia 63 Tahun. Alamat: Puri Indah C-36, Purwokerto

Pemimpin Umum: Seno Subardi Pemimpin Redaksi: Yon Daryono Redaktur Pelaksana: Zunianto Subekti Koordinator Liputan: Angga Saputra Redaktur: Maula Asadilah, Sri Juliati, Bayu Nur Sasongko, Redaktur Foto: Nurul Iman, Redaktur Bahasa: Kholil Rokhman, Reporter Banyumas: Fatimah Arsalan N, Agus Setiyanto, Dedy Afrengki, Renny Tania, Fitri Nurhayati, Hanie Maria, Ade Yulia N, Purbalingga: Yuspita Anjar Palupi, Banjarnegara: Rudal Afghani, Cilacap: Agung Lindu Nagara, Fotografer: Idhad Zakaria, Sekretaris Redaksi: Riyanti Widyastuti, Desain Gras: Budi Haryanto, Satrio Hapsoro, Desain Iklan: Almumin, Kobahoro, Layouter: Anhar Guruh S, Jack Rastam, Anas Masruri, Iyus Saputra,Rizqi Ramdani IT: Galih Yoga Priyambodo, Aris Riyanto Wartawan SatelitPost selalu dibekali tanda pengenal dan dilarang menerima, meminta, baik uang atau barang yang dapat mempengaruhi isi pemberitaan

Direktur Utama: Seno Subardi Direktur: Jessica Noviani Pemimpin Perusahaan: Jessica Noviani Koordinator Iklan: Angga Saputra Koordinator Sirkulasi: Sindu Dwi Hartanto Iklan Penglaris (Baris): Harga Rp 3.500 per baris (per baris 39 karakter) maksimal 6 baris Baris Spektakuler: Cukup Rp 5.000 per hari (datang langsung ke kantor) Iklan Foto Sepeda Motor: Ukuran 40 x 37 mm. Harga Rp. 15.000 per terbit

Kantor Redaksi: Jl. Dr. Angka No. 79 Purwokerto, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, Telepon: 0281 623099, Faximile: 0281 623388 Penerbit: PT. Satria Media Graka Email: satelit@windowslive.com www.satelitnews.co Facebook: Harian Pagi SatelitPost

You might also like