You are on page 1of 15

Mencari Jalan Tengah Antara Modernitas dan Tradisi Muslim Apakah prinsip-prinsip agama yang bersifat transendental dan

konstan cocok dengan kehidupan manusia yang terus berubah? Pertanyaan itu telah menjadi pusat perdebatan tentang hubungan agama dengan modernitas, dan khususnya hubungan antara Islam dan modernitas. Kebanyakan Jawaban yang diberikan oleh para pemikir modernis banyak yang bersifat negatif. Dalam teori mereka tentang modernisasi dan sekularisasi, munsul tesa bahwa agama adalah fenomena tradisional yang pada akhirnya akan layu (Inkeles dan Smith 1976, 27-28). Dalam teori ini kemudian dimunculkan dikotomi antara modernitas dan tradisi Muslim (Stark dan Finke 2000, 1-82). Bagi mereka umat Islam harus memilih antara Mekah atau Mekanisasi (Lerner 1958, 405). Tetap larut dalam tradisi atau mengikuti arus perubahan zaman yang sedang berlangsung. Meskipun demikian, pada saat ini muncul fenomena sosial yang menegasikan teori modernisasi. Muncul beberapa komunitas atau individu-individu yang menggabungkan antara gaya hidup Islam dengan modern. Fenomena itu secara empiris telah memunculkan agama sebagai isu publik yang penting di banyak negara modern (Casanova 1994; Kepel 1991). Satu hal yang sebelumnya jarang terjadi. Di sisi lain secara teoritis, sekelompok ilmuwan sosial memunculkan perdebatan tentang modernitas ganda, yang menolak klaim-klaim modernisme (Heffner 1998, 83-104; Heffner 2000, 22). Salah satu tokoh yang menginpirasi untuk munculnya modernitas ganda adalah Fethullah Gulen. Gulen merupakan salah satu contoh pemikir Islam Turki yang mencoba mencari jalan tengah antara modernitas dan tradisi Muslim. Dia berusaha mendamaikan nilai-nilai tradisional Islam dengan kehidupan modern dan Ilmu pengetahuan. Glen mencoba mengkombinasikan antara agama dan sains, tradisional dan modernitas, spiritualitas dan intelektual, rasio dan wahyu, akal dan hati.[1]

Gagasan utama gerakan Glen adalah berusaha untuk tidak mengusung kembali masa lalu atau mengagungkan romantisme masa awal Islam, tetapi menyegarkan modernitas dengan nilai-nilai tradisional. Bagi Glen, melayani manusia berarti melayani Tuhan.[2] Dia mendorong pengikutnya untuk membuka sekolah modern dan universitas, dengan fokus pada sains dan bahasa. Tentang Fethullah Glen Fethullah Gulen dikenal sebagai seorang pegiat dialog antar agama untuk mengenalkan Islam yang dipahaminya. Pesan itu tidak saja didesiminasikan melalui dialog melalui forum formal ataupun non formal tetapi juga melalui buku yang ditulisnya. Glen adalah seorang penulis yang produktif. Dia telah menulis buku tidak kurang 60 judul, rekaman video dan tape yang berisi ceramahnya,[3]. Karya-karyanya itu telah menjadi inspirasi bagi jutaan orang pengagumnya di lebih dari 100 negara di dunia. Begitu kuatnya pengaruh ide atau gagasan yang disampaikannya, para pengagum itu ikut serta mendirikan ratusan institusi pendidikan yang dipelopori oleh Gulen. Sebagian pemikri menyebut aktivitas yang dilakukan oleh Gulen sebagai sebuah gerakan mengingat masifnya aktivitas yang dilakukan oleh Gulen. Mereka menyebutnya dengan the Fethullah Glen Movement (Gerakan Fethullah Glen). Kelompok kiri menamai gerakan ini dengan Fethullahcilar (Pengikut Fethullah) sedangkan kelompok tradisionalis dan konservatif menyebutnya dengan Nurcu (gerakan Penerangan). Glen sendiri tidak setuju menggunakan nama dirinya dalam gerakan itu. Sementara itu, para pegiat gerakan itu sendiri menyebutnya sebagai hizmet. Dalam kosa kata Turki berasal dari kata khidmah yang berarti pelayanan. Gerakan itu dapat dikatakan sebagai gerakan sosial baru yang diinspirasi oleh keyakinan agama. Menjadi gerakan sosial baru karena aktivitas yang dilakukan

tidak lagi berbeasiskan persoalan domestik. Dengan jumlah pengikut dan jutaan simpatisan, menjadikan gerakan ini sebagai gerakan sipil terbesar.[4] Glen tidak saja menjelma sebagai seorang pemimpin spiritual dan$ ahli agama, tetapi telah menjadi intelektual, aktivis perdamaian, penulis, sastrawan, dan seorang mentor yang menghabiskan hidupnya mencari penyelesaian tentang kebutuhan spiritual masyarakat.[5] Secara umun ide Glen dipengaruhi oleh Said Nursi (1876-1960), terutama dari buku Risale-I Nur Kulliyati atau Risalah tentang Cahaya Alam. Pemikri lain yang ikut mempengaruhi pemikiran Glen adalah Alvarli Muhammad Lutfi, seorang tokoh sufi, Mehmet Akif, seorang penyair Turki, Necip Fazil, tokoh intelektual Turki dan sekaligus penyair, dan Muhammed Hamdi Yazir (1878-1942), seorang mufassir al-Quran.[6] zdalga mengungkapkan bahwa aliran Islam sunni, terutama tradisi sufi Naqshabandi, dan Nurculuk (Gerakan Nur) telah membentuk pemikiran Fethullah Glen.[7] Semasa kecil Glen belajar agama di bawah bimbingan Muhammad Lutfi. Sementara itu, Glen juga belajar bahasa Arab dari Sadi Efendi, dan belajar alQuran dari al-Qari Haci Sidqi Efendi. Pada umur 7 tahun ia menjadi seorang penghafal al-Quran. Selama 1950-an ia mempelajari teori-teori sosial modern dan sains fisika. Glen belajar hadis dengan mempelajari kutubussittah (Bukhari, Muslim, Nasai, Ibn Majah, Tirmidhi, dan Abu Dawud). Selain itu, ia juga mempelajari khitobah, filsafat, sejarah Islam, teologi, dan fiqh.[8] Ia juga mempelajari karya-karya filosof klasik dan modern seperti Aristoteles, Marcus, Descartes, Kant, Camus, dan Sartre.[9] Titik balik kehidupan Gulen terjadi ketika dia bertemu dengan salah seorang murid Said Nursi (1877-1960) yang mengantarkannya membaca Risail-I Nur. Glen sangat terinspirasi oleh kehidupan spiritual Nursi dan semangatnya melayani umat. Di kemudian hari, dia menerapkan ajaran Nursi itu dalam prinsip hizmet. Keberhasilan dan kesuksesan terbesar Glen adalah mendidik generasi muda dalam ilmu-ilmu sains dan agama sehingga mampu mengentaskan mereka dari kebodohan dan membentengi mereka dari penyakit-penyakit spiritual.

Ketika mengajar, Glen lebih memusatkan pada cinta, iman, dan sunnah Nabi. Selain itu dia juga menjelaskan tentang penyucian diri, kriteria dan prinsip dasar hizmet, melayani masyarakat, konsep kunci tasawuf seperti taqwa, taubat, zuhd, ikhlas, muraqaba, istiqamah, tawakkal, tawadu, syukur, ihsan, sabar, dan marifah. Pada saat kudeta militer di bulan Maret 1972, Glen ditangkap dan ditahan selama empat bulan. Di kemudian hari diketahui bahwa pihak militer memenjarakan beberapa tokoh agama bersama-sama dengan aktivis komunis dan kiri untuk memperlihatkan kepada publik bahwa pemimpin militer tidak saja menentang komunis tapi juga kelompok lain. Setelah Glen dilepaskan, dia terus berdakwah hingga terjadi kudeta militer kedua pada tahun 1980. Meskipun ada paksaan dari ibunya dan dorongan teman-teman dekatnya, Glen memilih untuk tidak menikah. Ketika ditanya tentang pilihan tentang istri, dia menjawab sebagaimana jawaban Said Nursi (1878-1960), Penderitaan yang dialami oleh masyarakat Muslim lebih dari cukup. Sampai-sampai saya tidak menemukan waktu untuk memikirkan diri saya sendiri.[10] Kendati begitu, Glen adalah seorang muslim yang taat yang tidak lepas dari dzikir dan wirid. Tipologi Gerakan Glen Glen mencoba melakukan harmonisasi antara ilmu pengetahuan modern dan spiritual serta semangat melayani dan peduli pada manusia. Glen menentang dan mengutuk keras bentuk kekerasan dan terorisme. Menurutnya, Seorang Muslim tidaklah seorang terroris, dan seorang terroris tidak dapat menjadi seorang Muslim yang sejati karena Islam melarang membunuh warga sipil, anak-anak, orang-orang tua, wanita dan tokoh-tokoh agama, meskipun tujuan anda memiliki dasar.[11] Sikap terbuka pada semua keyakinan dan tradisi agama melalui jalan dialog merupakan karakteristik lain yang membedakannya dari pemimpin agama lainnya. Aktivitas ini memunculkan kritik dari pemimpin agama, politik dan media. Meskipun demikian Glen tetap teguh pada metode berupa partisipasi dan

gagasan dialog antar agama dengan pemimpin Yahudi, Gereja ortodoks Timur. Dia juga mendorong para pengikutnya untuk melakukan hal yang sama sejak tahun 1991. Ketika di Turki masih berkembang anggapan bahwa dialog terbuka dengan berbagai kelompok agama lain merupakan hal tabu, Gulen telah melakukan dialog antar iman itu dengan bertemu Paus John Paul II di Vatikan pada tahun 1998. Untuk lebih mudah dalam menjembatani dialog antar agama ini, pengikut Glen mendirikan organisasi-organisasi interfaith dan interkultural di seluruh dunia. Organiasi tersebut di AS saja tidak kurang dari 42 buah. Tidak seperti kebanyakan pemimpin Muslim lainnya, Glen tidak menentang masuknya Turki dalam Uni Eropa. Dia bahkan yakin bahwa keanggotaan Turki dalam UE bisa berkontribusi dalam menciptakan perdamaian dunia dan membantu menangkal clash of civilizations. Pandangan Glen dalam keanggotaan UE ini mempengaruhi pola pikir kelompok Muslim utama Turki. Menurut survey oleh Hurriyet (11 Juli 2007), lebih dari 54% Turki mendukung keanggotaan UE. Dia beranggapan bahwa Barat sebagai rival dalam kompetisi bukan sebagai musuh yang harus dilawan. Justru sebaliknya dia berpendapat bahwa Turki perlu meningkatkan kekuatan ekonomi dengan menyerap sistem ekonomi dan politik Barat.[12] Glen merupakan salah tokoh penting dalam menentukan arah dunia Islam berhadapan dengan dunia terkini. Dia merupakan seorang pemikir agama, filosop, penyair, dan tokoh agama. Pemikirannya banyak menarik politisi, intelektual dan agamawan lainnya di Turki (Ozkok). Meskipun dia tidak begitu dikenal di Barat, komunitasnya merupakan gerakan yang sangat berpengaruh di Turki Modern.[13] Pengaruhnya tidak terbatas pada agama, namun hingga pendidikan, media, bisnis dan sector financial. Dengan mendirikan bangunan moral, pendidikan, institusi kemanusiaan dan sekuler di Turki dan tempat lainnya di dunia, Glen menjadi contoh bagaimana

Islam dan modernitas dapat hidup bersama. Institusi ini tidak saja menarik kalangan Muslim, namun juga Non-Muslim hingga kelompok sekuler dan liberal. Karakteristik utama pengikut Glen adalah tidak berusaha mengobrak-abrik negara sekuler modern; bahkan ia mendorong masyarakat Muslim untuk menggunakan kesempatan yang tersedia dalam institusi Turki modern ini.[14] Glen melihat bahwa sains dan iman tidak saja bisa bersanding, tetapi juga saling melengkapi. Karena itu, dia mendorong riset ilmiah dan kemajuan teknologi untuk kebaikan umat manusia.[15] Gerakan spiritualnya merupakan kombinasi antara modernitas dan nilai tradisional yang memiliki kontribusi dalam pendefinisian ulang modernitas dalam termaterma islami. Pemikiran dan aktivitas Glen memperlihatkan kemungkinan seseorang bisa menjadi Modern dan seorang Muslim yang utuh dalam waktu yang sama.[16] John Voll mengatakan bahwa gerakan intelektual Glen ini tidak masuk dalam kategori fundamentalis dan tidak juga dalam sekuleris, karena kelompok ini memasukkan sekulerisme dan agama dalam satu wadah, seperti sebuah mata uang.[17] Bertambahnya integrasi sekuler dan agama didunia ini, parallel dengan proses glocalization (globalisasi dan localization) menciptakan kerangka penting yang berguna untuk memotret Fethullah Glen dalam arena agama dan hidup pada abad 21.[18] Menurut Glen, modernitas dan sirat al-mustaqim (jalan lurus yang diyakini oleh Muslim arus utama) tidaklah saling berlawanan, tetapi merupakan jalan tengah dalam menafsirkan Islam, memberikan imbangan antara materialism dan spiritualitas. Menurut Nulifer Goleh, seorang antropolog, Glen merontokkan persepsi dikhotomi antara modernitas dan Islam. Dia berusaha mengakhiri monopoli modernitas oleh Barat, dan berupaya memasukkan nilai-nilai Islam dalam modernitas itu. Gole mengaskan bahwa karya Glen adalah menjinakan rasionalisme yang liar dengan sufisme dan cinta, dan mendamaikan individualism dengan kerendahan hati.[19]

Glen muncul sebagai seorang yang bersuara lantang dan keras dalam menyeru adanya dialog sebagai satu langkah menuju perdamaian. Sebagaimana dikutip dari Pratt, Glen menawarkan sebuah jalan penyemaian nilai-nilai Islam di tengah tuntutan komplek masyarakat modern dan menegakkan dialog dan kerjasama dengan pengikut agama lain. Glen menandaskan bahwa dialog dengan pengikut agama lain merupakan bagian integral dari etika Islam yang telah lama dilupakan.[20] Glen percaya bahwa dialog merupakan salah satu kewajiban seorang Muslim dalam rangka menciptakan kehidupan yang damai.[21] Michel menegaskan bahwa Glen mempromosikan kerjasama peradaban melalui dialog, saling memahami, dan berpijak pada nilai-nilai yang sama.[22] Jawaban Glen pada tesis perbenturan peradaban (clash of civilization) dirumuskan dalam tiga kata: toleransi, dialog antar agama, dan saling mencintai (Penaskovic). Meskipun demikian Glen berjalan bukan tanpa kritik. Para pengkritik Glen berasal dari kelompok politik agama radikal, beberapa kelompok sekuler, dan ultra nasionalis (ulusalcilar). Begitu juga kelompok liberal dan sosial democrat, meskipun dalam skala kecil, juga ikut mengkritik. Kelompok agama radikal mengkritik, bahwa Glen mencampurkan agama. Sekuleris menuduh Glen bermaksud menguasai negara Turki dengan diam-diam. Kelompok nasionalis menuduhnya sebagai seorang yang tidak patriot, namun sebagai pak turut negara-negara superpower. Konsep dan Pendekatan Bagi Gulen (2000) agama Islam itu seperti biji tumbuhan. Tumbuh dan berkembang sesuai dengan konteks lingkungan yang melingkupinya. Dia bisa menjadi tanaman yang kerdil, tumbuh dengan daun yang lebat atau bahkan tidak tumbuh sama sekali tergantung kondisi geografis tanah tempat biji itu tumbuh. Dengan demikian menafsirkan karya Gulen akan tersaji beragam tafsir dengan konteks yang menaungi pemikirannya. Konteks kultural menempatkan masyarakat Islam sebagai konsumen nilai-nilai baru akibat dari kemajuan ilmu

pengetahuan modern Barat, sedangkan konteks sosial-ekonomi adalah bagaimana mengentaskan kebodohan dan kemiskinan umat, dan konteks keagamaan adalah bagaimana meningkatkan wawasan pengetahuan agama serta mendorong umat untuk bisa memahami ajaran agama secara mandiri. Bagi Gulen (2000, 219:224) jika kita ingin menganalisis hubungan antara agama dengan demokrasi, sebaiknya lebih di fokuskan pada perikemanusiaan dan kehidupan dunia. Al Quran bukanlah semata-mata ayat-ayat qauliyah sebagaimana yang tertuang dalam teks (scripture) kitabnya. Al Quran adalah ayatayat alam semesta. Bagi kaum ilmuwan sains alam (natuur wizkunde), anasir alam semesta adalah Al Quran. Bagi kaum ilmuwan sosial, realitas masyarakat dan kebudayaan adalah Al Quran yang harus senantiasa dibaca dan sikapi dengan bijak melalui dialog dan tidak secara monolog. Al Quran sebagai suatu bentuk imanen dalam kehidupan berbudaya kita. Al Quran rasanya harus selalu terpisah dari kehidupan duniawi yang hiruk pikuk dan banal. Padahal Al Quran tidak mengambang di angkasa. Dia ada dalam hiruk pikuk kehidupan kita yang pahit dan cadas. Dia ada dalam setiap sudut semesta. Bahkan, ada dalam kegelapan. Di situlah akan terlihat bahwa ayat qauliyah, ayat qauniyah, dan realitas kultur manusia secara ontologi merupakan suatu kesatuan siklikal yang saling melengkapi satu sama lain. Memang diantara ketiganya terdapat paradoks yang kelam. Namun, justru di situlah tugas manusia sebagai khalifatullah untuk selalu bergerak mengharmoniskan ketiganya. Seperti tercatat dalam sejarah, Al Quran telah menjadi teks yang memetakan persoalan sosial umat muslim Arab secara objektif, sekaligus memberikan solusi serta nilai idealitas yang perlu dicapai masyarakat ke depan. Al Quran menjadi das sollen bagi kebudayaan masyarakat saat itu. Namun yang didapati oleh Gulen, umat Islam cenderung berhadapan dengan Al Quran secara monolog dan bukan dialog. Akibatnya mayoritas umat Islam merasa

cukup qurani dengan cara melafalkan dan menghafalkan Al Quran saja. Dalam mengapliksikan ajaran Al Quran umat Islam cenderung tekstualis dan skriptualis semata. Monologisme itulah yang mempersempit pemaknaan Al Quran. Sebab keterpakuan pengalaman akan metateks atau miskin pemahaman makna transenden di balik teks. Kontekstualisasi penafsiran Al Quran menjadi hal terpenting yang perlu terus dilakukan dan diperbarui tanpa henti sejalan dengan gerak realitas kultur yang juga rentan dengan perubahan. Gulen (2000, 59) mengatakan the Quran insists that everyone should use his or her mental faculties (eg., thinking, reasoning, reflecting, pondering, criticizing, evaluating, etc.). Dengan demikian harus ada tradisi Hermeneutika Al Quran yang dinamis, kreatif dan membebaskan karena Al Quran adalah bagian dari kebudayaan manusia. Gulen (2000) berpendapat bahwa agama adalah akal, dan tidak ada agama bagi yang tidak berakal. Manusia dalam fitrahnya merupakan makhluk yang berakal. Akal berarti kesadaran intelegensia manusia yang teramanifestasikan dalam bentuk kognisi dan mental. Dalam membaca Al Quran, mental dan kognisi bergerak aktif. Maka, tentunya tepat bila setiap tindak pembacaan teks dimaknai sebagai penafsiran. Membaca adalah menulis ulang dalam bahasa mental dan kognisi sang pembaca. Karena itu, salah satu fitrah manusia adalah the interpreter being, makhluk penafsir. Yang menjadi probelematika tradisi tafsir dalam umat Islam adalah tugas penafsiran sering dihegemoni oleh kelas elit semata. Mufasir merupakan kelas elite yang sering juga bersifat eksklusif. Padahal, pada konteks sejarah kelas mufasir terbentuk karena kebutuhan sosial pada saat itu yang menuntut demikian. Jumlah masyarakat yang awam akan Al Quran dan ilmu pengetahuan sangatlah banyak sehingga menuntut adanya pengorgnisasian terhadap kelompok mujtahid mufasir. Dengan begitu mereka mudah mendistribusikan kepada umat.

Namun, di zaman yang sudah canggih dalam segi tekhnologi, informasi serta ilmu pengetahuan ini, masyarakatnya juga cerdas. Karena itu, setiap orang harus diberi kebebasan dan hak untuk menafsirkn personalnya atas Al Quran. Sebab, setiap orang adalah mujtahid bagi dirinya sendiri. Gulen menggambarkan kondisi itu dengan mengatakan rhater than imitating others, they will rely on their dynamics, rooted in depths history, and try to equip their faculties of judgement with authentic values that are their own. They will think, investigate, believe and overflow with spiritual pleasure (2000, 103) Penutup Dialog dalam masyarakat dunia yang kompleks adalah sebuah keniscayaan. Perubahan dunia yang begitu cepat telah berdampak pada perubahan relasi sosial dan munculnya ide-ide baru yang berpotensi dan telah mengancam keharmonisan hidup. Karena pada saat ini perbedaan kultur individu, kelompok dan bangsa menjadi semakin menonjol. Kekerasan dan intoleransi menjadi pemandangan lazim setiap hari. Dalam kondisi seperti in dialog antar kelompok menjadi batu pijakan dalam membangun tatanan komunitas global. Sebuah komunitas yang telah menjadi borderless society. Sebuah komunitas yang sedang mendefiniskan ulang identitasnya dengan tidak terpaku pada sekat geografis, agama, ras, kelompok dll. Apresiasi Glen pada dialog antar budaya sebagai pijakan dalam menata dunia yang plural merupakan perspektif baru akan adanya penghargaan Islam pada toleransi dengan rekonsiliasi pemikiran-pemikiran agama dengan aturan kehidupan modern. Semangat pluralisme yang dia anut dalam menautkan berbagai penganut agama yang berbeda dalam dialog antar iman menjadikan sebuah gerakan intelektual yang menyemaikan perdamian dan stabilitas pada dunia saat mereka saling curiga-mencurigai. Repproachment adalah hal wajib dalam hidup bersama kelompok lain.

Upaya yang dilakukan oleh Gulen tentu tidak lepas dari upayanya dalam menafsirkan ulang ajaran Islam. Menjadi lebih inklusif dan penuh dengan warna kasih sayang dan penghargaan terhadap others. Daftar Pustaka Aslandogan.Present and Potential Impact of the Spiritual Tradition of Islam on Contemporary Muslims: From Ghazali to Glen., h. 672) Abdullah, Amin. M: Muslim-Christian Relations: Reinventing the Common Ground to Sustain a Peaceful Coexistence in the Global Era. Draft paper yang disampaikan di the International Seminar on The Vision of Fethullah Glen and Muslim Christian Relations, St. Patricks Campus, Australian Catholic University, Melbourne, Australia, l5-l6 Juli 2009. Casanova, Jose. 1994. Public Religion in the Modern World. Chicago: University of Chicago Press. Glen, Fethullah.Fasiladan Fasila. Translated by the author. Izmir: Nil Yayinlari, h. 140. Glen, Fethullah. Essays, Perspectives, Opinions. Rutherford: The Fountain. 2002, h.95 Glen, Hosgoru ve Diyalog Iklimi. Edited by Selcuk Camci and Kudret Unal. Diterjemahkan oleh Penulis buku tsb. Izmir: Merkur Yayinlari. 1998, h.17 Glen, Towards a Global Civilization of Love and Tolerance. Clifton: Light Publications. (2004) Glen, Prophet Muhammed: The Infinite Light. London: Truestar, h. 160 Heffner, Robert W. 2000. Civil Islam: Muslims and Democratization in Indonesia. Princeton: Princeton University Press.

Hefner, Robert W. 1998. Multiple Modernities: Christianity, Islam and Hinduism in a Globalizing Age. Annual Review of Anthropology 27: 83-104. Inkeles, Alex, and David Horton Smith. 1976. Becoming Modern: Individual Change in Six Developing Countries. Cambridge: Harvard University Press. Kepel, Gilles. 1991. La revanche de Dieu : Chrtiens, juifs et musulmans la reconqute du monde. Paris: Editions du Seuil. Kraus, Civility in Islamic Activism: Toward a Better Understanding of Shared Values for Civil Society Development., h. 165 Kuru, Fethullah Glens Search for a Middle Way: Between Modernity and Muslim Tradition. Pp. 115-30 in Turkish Islam and the Secular State: the Glen Movement. Edited by M. H. Yavuz and J. L. Esposito. Syracuse: Syracuse University Press, h. 117 zdalga, M Elizabeth.Worldly Asceticism in Islamic Casting: Fethullah Glens Inspired Piety and Activism. Critique 17: 85 Oxford Analytica, Glen Inspires Muslims Worldwide. Forbes Magazine (January 21). Dapat diakses pada http://www.forbes.com/2008/01/18/turkeyislam-Glen-cx_0121oxford.html. zdalga, M. Elizabeth 2000 Worldly Asceticism in Islamic Casting: Fethullah Glens Inspired Piety and Activism., h. 91 Unal and Williams, Advocate of Dialogue: Fethullah Glen. 2000, Fairfax: The Fountain, h. 16. Voll, John Obert. 1999. 1999. Renewal and Reformation in the Mid-Twentieth Century: Bediuzzaman Said Nursi and Religion in the 1950s. The Muslim World, 99: 245-60.

Yavuz, The Glen Movement: The Turkish Puritans, h. 19-47 in Turkish Islam and the Secular State: the Glen Movement. Edited by M. H. Yavuz and J. L. Esposito Syracuse: Syracuse University Press. Yavuz and Esposito. Turkish Islam and the Secular State: the Glen Movement. Syracuse: Syracuse University Press.h. xxxii Yavuz, Being Modern in the Nurcu Way. ISIM Newsletter, International Institute for the Study of Islam in the Modern World 6 (October): 7, 14.

[1] Yavuz, The Glen Movement: The Turkish Puritans, h. 19-47 in Turkish Islam and the Secular State: the Glen Movement. Edited by M. H. Yavuz and J. L. Esposito Syracuse: Syracuse University Press. [2] AslandoganPresent and Potential Impact of the Spiritual Tradition of Islam on Contemporary Muslims: From Ghazali to Glen., h. 672) [3] M. Amin Abdullah: Muslim-Christian Relations: Reinventing the Common Ground to Sustain a Peaceful Coexistence in the Global Era. Draft paper yang disampaikan di the International Seminar on The Vision of Fethullah Glen and Muslim Christian Relations, St. Patricks Campus, Australian Catholic University, Melbourne, Australia, l5-l6 Juli 2009. [4] Yavuz and Esposito: xiii; Yilmaz: 394 [5] Yilmaz, dikutip dalam Kraus: 165 [6] Kraus, Civility in Islamic Activism: Toward a Better Understanding of Shared Values for Civil Society Development., h. 165 [7] zdalga, M. Elizabeth 2000 Worldly Asceticism in Islamic Casting: Fethullah Glens Inspired Piety and Activism., h. 91

[8] Erdogan: 14 [9] Unal and Williams, Advocate of Dialogue: Fethullah Glen. 2000, Fairfax: The Fountain, h. 16. [10] Glen, Fasiladan Fasila. Translated by the author. Izmir: Nil Yayinlari, h. 140. [11] Glen, Essays, Perspectives, Opinions. Rutherford: The Fountain. 2002, h.95 [12] Yavuz and Esposito. Turkish Islam and the Secular State: the Glen Movement. Syracuse: Syracuse University Press.h. xxxii [13] zdalga, Worldly Asceticism in Islamic Casting: Fethullah Glens Inspired Piety and Activism. Critique 17: 85 [14] Oxford Analytica, Glen Inspires Muslims Worldwide. Forbes Magazine (January 21). Dapat diakses pada http://www.forbes.com/2008/01/18/turkeyislam-Glen-cx_0121oxford.html. [15] Glen, Prophet Muhammed: The Infinite Light. London: Truestar, h. 160 [16] Yavuz, Being Modern in the Nurcu Way. ISIM Newsletter, International Institute for the Study of Islam in the Modern World 6 (October): 7, 14. [17] Ibid [18] Ibid [19] dikutip dalam Kuru, Fethullah Glens Search for a Middle Way: Between Modernity and Muslim Tradition. Pp. 115-30 in Turkish Islam and the Secular State: the Glen Movement. Edited by M. H. Yavuz and J. L. Esposito. Syracuse: Syracuse University Press, h. 117 [20] The Necessity of Interfaith Dialogue: a Muslim Approach. (2001)

[21] Glen, Hosgoru ve Diyalog Iklimi. Edited by Selcuk Camci and Kudret Unal. Diterjemahkan oleh Penulis buku tsb. Izmir: Merkur Yayinlari. 1998, h.17 [22] Glen, Towards a Global Civilization of Love and Tolerance. Clifton: Light Publications. Gundem,Mehmet (2004

You might also like