You are on page 1of 6

IMPLEMENTASI UU NO.

14 BAGI GURU DAN DOSEN


IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NO. 14 BAGI GURU DAN DOSEN DALAM RANGKA PROFESIONALISME DAN DAMPAKNYA Pendahuluan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen menyebutkan bahwa yang dimaksud guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah. Kedudukan guru sebagai tenaga profesional berfungsi untuk meningkatkan martabat serta dituntut mampu melaksanakan sistem pendidikan nasional dan mewujudkan tujuan pendidikan nasional, yaitu berkem bangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif. Tujuan sertifikasi adalah untuk meningkatkan kualitas guru yang pada akhirnya diharapkan berdampak pada peningkatan mutu pendidikan. Guru dalam jabatan yang telah memenuhi syarat dapat mengikuti proses sertifikasi untuk mendapat sertifikat pendidik. Dalam APBNP tahun 2006, Depdiknas menargetkan untuk dapat melakukan uji sertifikasi terhadap 20.000 guru. Prioritas uji sertifikasi tahap awal ini adalah guru-guru yang mengajar di jenjang pendidikan dasar (SD dan SMP) yang telah memenuhi persyaratan. Peningkatan kualifikasi guru disamping untuk meningkatkan kompetensinya, sehingga layak untuk menjadi guru yang profesional, juga dimaksudkan agar guru yang bersangkutan dapat mengikuti uji sertifikasi setelah memperoleh ijasah S1/D4 serta mengikuti pendidikan profesi. Pemberian bantuan biaya pendidikan untuk meningkatkan kualifikasi bagi guru-guru SD dan SMP dengan menggunakan dana APBNP tahun 2006 merupakan salah satu wujud implementasi UUGD. Berkaitan dengan maslahat tambahan, UU No. 14 Tahun 2005 mengamanatkan bahwa, maslahat tambahan merupakan tambahan kesejahteraan yang diperoleh dalam bentuk tunjangan pendidikan, asuransi pendidikan, beasiswa, dan penghargaan bagi guru, serta kemudahan untuk memperoleh pendidikan bagi putra dan putri guru, pelayanan kesehatan, atau bentuk kesejahteraan lain. Salah satu bentuk maslahat tambahan yang diprogramkan adalah pemberian penghargaan akhir masa bakti bagi guru dan pemberian beasiswa pendidikan bagi putra-putri guru berprestasi/ berdedikasi. Bangsa yang besar Dibangun oleh guru. Moto tersebut selalu saya baca saat memasuki ruang koridor sekolah setiap pagi pada waktu akan mengajar. Berkaitan dengan tulisan di atas, saya terkesan juga dengan pernyataan Presiden Vietnam Ho Chi Minh yang menyatakan No Teacher, no Education atau tanpa guru tidak ada pendidikan. Moto tersebut dijadikan landasan pemerintahnya dalam membangun Vietnam yang berlandaskan pendidikan dengan guru sebagai intinya. Hasilnya, Vietnam menjadi negara maju yang berkembang mengungguli negara kita yang semakin terpuruk dengan berbagai masalah ekonomi, bencana, korupsi, teror dan demonstrasi. Hal tersebut di atas mengisyaratkan bahwa unsur inti yang paling esensial dalam pendidikan adalah guru dan siswa, yang harus selalu berjalan selaras dan berinteraksi untuk mencapai tujuan yang diharapkan. Tapi kenyataannya, di negara kita hak guru dan siswa masih terabaikan. Sampai sekarang ini, untuk memperoleh haknya sebagai tenaga profesional yang dihargai, seorang guru harus menunggu lama dan berkepanjangan. Apalagi hidup di zaman sekarang, kita masih bisa makan saja sudah alhamdulillah. Kesejahteraan kita begitu-begitu saja dibandingkan dengan harga beras yang sudah di atas Rp 5.000-an, menyaingi harga BBM.

Semua ini cerminan dari rendahnya penghargaan pemerintah terhadap guru. Perjalanan dan penantian panjang kaum guru dan PGRI akhirnya mungkin akan sampai pada ujungnya. Dengan harapan yang optimis, kita menyambut UU Guru dan Dosen, yang katanya untuk menyejahterakan kehidupan kaum guru berdasarkan profesionalisme dan kualitas, dengan kesejahteraan yang berbeda bergantung sertifikasi yang guru miliki. Di dalam UU Guru tersebut dijelaskan bahwa guru wajib memiliki kualifikasi akademik, kompetensi profesi keguruan, serta sertifikasi profesi. Kualifikasi akademik dipenuhi dengan ijazah S-1 dan D-4, sedangkan kompetensi profesi diperoleh lewat pendidikan profesi minimal 40 SKS. Kualifikasi, Kompetensi, dan Sertifikasi Menurut Undang-Undang Guru dan Dosen, kualifikasi, kompetensi dan sertifikasi adalah pertama, guru wajib memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, sertifikat pendidik, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Kedua, kualifikasi akademik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 diperoleh melalui pendidikan tinggi program sarjana atau program diploma empat. Ketiga, kompetensi guru sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 meliputi kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional yang diperoleh melalui pendidikan profesi. Keempat, ketentuan lebih lanjut mengenai kompetensi guru sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah. Kelima, sertifikat pendidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 diberikan kepada guru yang telah memenuhi persyaratan. Keenam, sertifikasi pendidik diselenggarakan oleh perguruan tinggi yang memiliki program pengadaan tenaga kependidikan yang terakreditasi dan ditetapkan oleh Pemerintah. Selanjutnya ketujuh, sertifikasi pendidik dilaksanakan secara objektif, transparan, dan akuntabel. Kedelapan, ketentuan lebih lanjut mengenai sertifikasi pendidik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah. Kesembilan, setiap orang yang telah memperoleh sertifikat pendidik memiliki kesempatan yang sama untuk diangkat menjadi guru pada satuan pendidikan tertentu. Kesepuluh, pemerintah dan pemerintah daerah wajib menyediakan anggaran untuk peningkatan kualifikasi akademik dan sertifikasi pendidik bagi guru dalam jabatan yang diangkat oleh satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat. Kesebelas, ketentuan lebih lanjut mengenai anggaran untuk peningkatan kualifikasi akademik dan sertifikasi pendidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah. UU Guru dan Dosen Lemah Implementasi Mencermati setelah dua tahun (30 Desember 2005) disahkan Presiden RI, UU No 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen (UU GD) kelihatan kelemahan dalam implementasinya. Hal itu diungkapkan Direktur Centre for Education Studies (CES) Jateng Hery Nugroho (15/10). Ia merujuk pada pasal 35 ayat 2 yang berbunyi beban kerja guru sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah sekurang-kurangnya 24 jam tatap muka dan sebanyak-banyaknya 40 jam tatap muka dalam 1 minggu. Dalam pasal tersebut, menurut dia, tidak menunjukkan guru sebagai profesi, tetapi menempatkan guru sebagai buruh. Hal ini jelas menyalahi sendiri tujuan awal pembuatan UU GD. Pasal tersebut menyebutkan beban kerja guru mencakup kegiatan pokok yaitu merencanakan pembelajaran, melaksanakan pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, membimbing dan melatih peserta didik, serta melaksanakan tugas tambahan. Kalau hal ini dibiarkan terus, akibatnya guru hanya disibukkan dengan mengajar. Padahal selain

mengajar, tandasnya, guru profesional harus dituntut mengembangkan profesinya dengan penelitian (research). Belum lagi dalam UUGD Pasal 10 ayat 1, guru dituntut mempunyai kompetensi pedagogik, kepribadian, sosial, dan profesional. Bagaimana guru mau mengembangkan profesi dan kompetensinya, jikalau masih sibuk mengajar saja. Dalam mengajarkannya pun belum tentu baik, karena masih harus berhadapan dengan seabreknya tuntutan administrasi pembelajaran. Selain itu juga kalau pasal ini dipaksakan, maka akan mengalami kendala dilapangan. Contoh konkrit adalah pelaksanaan sertifikasi guru. Mulai dari seleksi administrasi sampai lulus sertifikasi mengharuskan guru tersebut mempunyai jam mengajar minimal 24 jam. Penerapan pelaksanaan dari pasal ini sangat merepotkan dan menjadi kendala guru yang mengajar di sekolah. Tidak semua guru mempunyai jam mengajar 24 jam. Kalau ada pun bisa dihitung dengan jari. Menurut pengamatan CES kalau pasal ini tidak diubah, maka akan menjadi masalah baru bagi kalangan guru. Sebenarnya banyak guru yang mengeluhkan permasahan ini, akan tetapi hanya sebatas grundelan dengan sesama guru dan tidak berani untuk mengungkapkan ke publik. Sebenarnya sebelum UU GD di sahkan, imbuhnya, CES dan Persatuan Guru Karyawan Swasta Indonesia (PGKSI) keberatan dengan pasal ini karena menghambat guru untuk menjadi guru profesional. Keberatan itu sudah disampaikan pada public hearing dengan Wakil DPR RI dan pejabat Depdiknas, tetapi tidak direspon. Saat pembuatan UU GD banyak di dominasi dosen. Bandingkan dengan beban mengajar dosen hanya 12 SKS dan sebanyak-banyaknya 16 SKS. Memang diakui beban dosen lebih berat, tetapi kalau seperti sekarang selisihnya sangat jauh sekali. Padahal melihat kewajiban guru dalam UU GD tidak jauh berbeda dengan dosen. Ya tidak sama persis dengan dosen, tapi jangan ada jarak yang sangat jauh. Karenanya, melihat kenyataan tersebut, CES mengusulkan pemerintah untuk merevisi UUGD, khususnya pada pasal 35 ayat 2 menjadi beban kerja guru sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah sekurang-kurangnya 16 jam tatap muka dan sebanyak-banyaknya 20 jam tatap muka dalam 1 minggu. Dengan adanya perubahan pasal ini (tentang beban kerja), harapannya guru bisa mengembangkan profesi seperti yang diamanatkan UU GD dengan maksimal. Masih Banyak Guru-Dosen tak Tahu Esensi UU No 14 2005 Pernyataan bahwa guru dan dosen bisa disebut layaknya makhluk perahan jika tidak segera mengetahui esensi Undang-Undang 14 Tahun 2005 sebagaimana disampaikan Pst Freds Tawaluyan Pr, Selasa (13/02), nampaknya ada benarnya. Buktinya sejumlah guru-dosen yang ditemui Komentar mengaku tak tahu esensi UU tersebut. Untuk itu mereka mendukung dan mendesak agar pemerintah lewat instansi terkait segera mensosialisasikan esensi UU 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen tersebut. Kami tak tahu esensi dari UU itu, pasalnya informasi untuk hal itu sangat tertutup. Jadi kami meminta agar hal itu disosialisasikan secara kontinyu, akui mereka. Padahal jika ditelisik dalam UU itu, pemerintah menjanjikan akan menaikkan gaji guru dan dosen hingga 300 persen, dengan berbagai persyaratan harus memenuhi kompetensi dan sertifikasi yang akan ditetapkan lewat kepmen dan PP. Tetapi di sisi lain sejumlah guru juga mendukung pernyataan Tawaluyan. Memang betul apa yang dikatakan Tawaluyan, sebab jika guru-guru tidak segera meng-upgrade diri sesuai UU ini akan tergilas dan menjadi makhluk perahan. Saya dan jajaran sudah menjajaki dan melakukan kualifikasi menuju sertifikasi sesuai petunjuk UU 14 ini. Positifnya kualitas guru akan meningkat

diiringi dengan peningkatan kualitas hidup dalam hal ini tunjangan dan gaji sesuai janji yang tertuang dalam UU 14. Nah, apakah pemerintah mampu membayar gaji guru dan dosen yang sudah tersertifikasi seluruh Indonesia yang naik sekitar 300 persen? Saya yakin ini tidak akan mungkin terjadi, ujar Dra Marlyn J Taroreh, Kepsek SMAN 1 Manado, Rabu (14/02). Taroreh menambahkan, PP 14 sampai hari ini (14/02) belum ditandatangani oleh Mendiknas, jadi masih ada kemungkinan kajian-kajian lebih lanjut. Unima, PTN (Perguruan Tinggi Negeri) yang ditunjuk sebagai penyelenggara program pendidikan tenaga kependidikan telah menjalankan amanat UU 14 tersebut. Senin (12/02) lalu, Unima telah menggelar kuliah perdana kualifikasi guru. Berikut petikan Humas Unima, Hanny Massie SPt, 600 guru dari total 17.000 guru di Sulut yang ikut kualifikasi. Kualifikasi ini dilakukan untuk menjemput sertifikasi sesuai UU 14, akan butuh 10 tahun dengan lulusan setiap tahun sejumlah 1700 guru. Sesungguhnya, guru-guru yang sudah tersertifikasi akan memperoleh tunjangan sekitar 4 juta perbulan diluar gaji pokok, jadi saya setuju jika disebut akan ada kenaikkan sekitar 300 persen, ujarnya. Sementara itu, Toar Palilingan SH, pengamat pendidikan Sulut mengkritisi persoalan ini dengan bijak. Menurutnya, mampu atau tidak mampu pemerintah membayar gaji guru dan dosen nanti adalah tantangan bagi kita semua. Dalam amanat agung UUD 45 menyebutkan pemerintah harus menyisihkan 1/5 anggaran pembangunan untuk pendidikan. Dalam APBN dan APBD kita lihat sudah ada pos pendidikan sebesar 20 persen, implementasinya memang belum seperti yang kita harapkan. Tetapi euforia reformasi lalu sering mengkambinghitamkan pendidikan sebagai penyumbang keterpurukan bangsa ini. Makanya saya optimis, usaha pemerintah dalam human investment kali ini dengan UU 14, akan menjadi manifestasi dari pembenahan Indonesia seutuhnya, terang Palilingan. Seperti diketahui, di dalam UU 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen tersebut, diamanatkan bahwa guru mempunyai fungsi, peran, dan kedudukan yang strategis dalam pembangunan nasional dibidang pendidikan dan karenanya perlu dikembangkan sebagai profesi yang bermartabat. Menjawab hal ini, Depdiknas telah merencanakan program kegiatan dengan menggunakan dana APBNP Tahun 2006-2007 untuk mengimplementasikan UU tersebut. Program tersebut antara lain pelaksanaan sertifikasi guru, peningkatan kualifikasi, peningkatan kompetensi guru, pendidikan di daerah terpencil, dan maslahat tambahan (penghargaan akhir masa bakti bagi guru dan beasiswa bagi putra-putri guru berprestasi/berdedikasi, red). Tujuan sertifikasi adalah untuk meningkatkan kualitas guru yang pada akhirnya diharapkan berdampak pada peningkatan mutu pendidikan. Guru dalam jabatan yang telah memenuhi syarat dapat mengikuti proses sertifikasi untuk mendapat sertifikat pendidik. Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Guru , belum sepenuhnya berpihak pada nasib guru. RPP guru tersebut, sebaiknya disempurnakan kembali, karena ada sebagian substansinya yang justru mempersulit guru memperoleh hak-haknya sesuai amanat Undang-undang (UU) No 14/2005 tentang Guru dan Dosen. Kami telah mempelajari dengan cermat RPP Guru dan menilai rancangan itu belum sepenuhnya memihak pada guru atau tidak sessuai amanat UU No 14/2005 tentang Guru dan Dosen. Padahal, UU tersebut, khususnya Pasal 80 menggariskan agar guru segera memperoleh kesejahteraan, tegas Wakil Ketua Komisi X DPR Anwar Arifin. Namun, kata Anwar, banyak aturan yang menghambat implementasi program peningkatan kesejahteraan guru sebagaimana yang diamanatkan UU No.14/2005 itu, seperti tunjangan fungsional yang seharusnya sudah harus direalisasikan karena sudah dianggarkan dalam APBN 2006 dan 2007. Anwar melanjutkan, ada sejumlah aturan dalam pasal-pasal RPP yang justru

mempersulit guru untuk memperoleh haknya. Misalnya, tunjangan profesi, tunjangan fungsional dan maslahat tambahan karena diperketatnya berbagai persyaratan yang sulit dipenuhi. Banyak aturan yang menyebabkan sebagian guru tidak memperoleh haknya karena aturan tersebut hanya mengatur guru-guru dalam jabatan struktural, katanya. Diskriminatif Dia mengemukakan, banyak pula aturan yang bersifat diskriminatif yang memungkinkan sebagian guru tidak memperoleh haknya karena aturan di luar kriteria profesi, seperti rasio jumlah murid dan sebagainya, seperti tercantum dalam Pasal 14 Ayat (1). Adanya aturan yang membatasi guru memperoleh hak sesuai dengan profesinya, seperti pembatasan usia guru yang dapat memperoleh tunjangan profesi, katanya. Di sisi lain, adanya aturan dalam RPP tersebut yang memungkinkan pemerintah lepas tanggung jawab untuk membayar maslahat tambahan dan membebankan hal tersebut kepada satuan pendidikan. Dia mengemukakan, UU No 14/2005 tentang guru dan dosen adalah titik masuk untuk memastikan kesungguhan dalam menghargai profesi guru sebagai ujung tombak transformasi sosial melalui pendidikan. UU itu secara subtansial telah mengaitkan antara profesionalisme guru dan perbaikan kesejahteraan. Khusus tunjangan fungsional tidak diberikan perintah untuk diatur dengan peraturan pemerintah. Dengan demikian, seharusnya sejak tahun 2006 guru dan dosen sudah dapat menikmati peningkatan kesejahteraan, seperti yang diamanatkan dalam UU, karena DPR telah mengalokasikan anggarannya dalam APBN. Disinggung bahwa RPP Guru itu tinggal menunggu pengesahan saja, Anwar mengatakan, RPP bisa saja disempurnakan kembali dan tidak memakan waktu lama. Sambil menunggu pengesahan, pasal-pasal yang belum sempurna bisa dikaji. Ini lebih baik, katanya. Pandangan serupa disampaikan ketua Federasi Guru Independen Indonesia (FGII) Suparman. Dia mengatakan, sebaiknya pemerintah mengkaji kembali RPP Guru. Penyusunan peraturan pemerintah atas UU Guru dan Dosen harus memprioritaskan jaminan ketersediaan biaya peningkatan kualifikasi akademik dan sertifikasi bagi guru. Pepesan Kosong Selain itu, RPP Guru ini dinilai masih kental dengan nuansa diskriminatif dan membuka peluang terjadinya kesenjangan antarguru, khususnya guru swasta dan negeri, ujarnya. Kalau tidak kata dia, upaya meningkatkan harkat dan kesejahteraan guru seperti yang dijanjikan UU hanya pepesan kosong. Belum lagi nuansa diskriminatifnya masih kental. Ini bisa mengarah kepada terbukanya peluang kesenjangan antarguru, ujarnya. Suparman mengatakan, peningkatan kualifikasi akademik dan sertifikasi pendidik bagi guru sangat penting untuk kehidupan sebagian besar dari sekitar 2,05 juta guru di Indonesia. Lantaran hanya dengan ijazah sarjana ditambah sertifikat pendidiklah guru bisa menerima tunjangan profesi. Kalau tidak, di luar gaji, guru bersangkutan hanya akan menerima paling tinggi tunjangan fungsional, katanya. Suparman mengemukakan, pada jenjang SD saja ada sekitar 80-90 persen guru belum berijazah S1 atau D-4. Padahal, ijazah tersebut merupakan persyaratan untuk menempuh pendidikan profesi dan kemudian meraih sertifikat pendidik. Masalahnya, tidak semua guru mampu membiayai dirinya sendiri untuk kuliah meraih ijazah S-1 atau D-4, katanya. Karena itu, kata Suparman, RPP yang menjabarkan Pasal 13 UU Guru dan Dosen harus

diprioritaskan. Pasal tersebut menyebutkan, pemerintah dan pemerintah daerah wajib menyediakan anggaran untuk peningkatan kualifikasi akademik dan sertifikasi pendidik bagi guru dalam jabatan yang diangkat oleh satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat. Kepala Pusat Informasi dan Hubungan Masyarakat Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) Bambang Wasito Adi mengatakan bahwa RPP Guru tinggal menunggu pengesahannya saja. Dikatakan, RPP Guru kini sudah tidak lagi di Depdiknas, namun sudah di Depkumham. Lagi pula, proses untuk pengajuan RPP Guru sudah melalui prosedur yang ketat. Artinya, sudah melalui kajian-kajian yang melibatkan banyak DPR, katanya. Simpulan Sebagai tenaga profesional guru dituntut mampu melaksanakan sistem pendidikan nasional dan mewujudkan tujuan pendidikan nasional, yaitu berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif. Peningkatan kualifikasi guru disamping untuk meningkatkan kompetensinya, sehingga layak untuk menjadi guru yang profesional. Menurut Undang-Undang Guru dan Dosen, kualifikasi, kompetensi dan sertifikasi oleh karena itu guru jangan hanya disibukkan dengan mengajar saja agar profesional harus dituntut mengembangkan profesinya dengan penelitian (research). Saran 1. Pemerintah mensosialisasikan tentang UNDANG-UNDANG NO. 14 BAGI GURU DAN DOSEN keseluruh daerah agar pelaksanaannya dapat berjalan dengan baik. Sehingga dapat diminimalisilir beberapa kekurangan yang telah dipaparkan di atas, diantaranya adalah UU Guru dan Dosen lemah implementasiannya, masih banyak Guru-Dosen tak tahu esensi UU No 14 2005, terjadinya diskriminatif, banyak aturan yang menyebabkan sebagian guru tidak memperoleh haknya karena aturan tersebut hanya mengatur guru-guru dalam jabatan struktural dan UU No 14 2005 hanya sebagai pepesan kosong belaka. 2. Khusus tunjangan fungsional segera diberikan perintah untuk diatur dengan peraturan pemerintah. Dengan demikian, seharusnya sejak tahun 2006 guru dan dosen sudah dapat menikmati peningkatan kesejahteraan, seperti yang diamanatkan dalam UU, karena DPR telah mengalokasikan anggarannya dalam APBN. Bahan bacaan: 1. Undang-Undang Republik Indonesia No. 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas. 1. Undang-Undang No. 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. 2. Pembaruan, Jakarta, Jumat (19/1/06).

You might also like