You are on page 1of 13

ANARKISME PAUL KARL FEYERABEND

Oleh: H. Benny Fitra, B.Ed

A.

Pengertian Anarkisme Secara etimologi, anarkisme berasal dari kata Yunani an archos = tanpa

pemerintahan. Ia merupakan sebuah aliran dalam filsafat sosial yang menghendaki dihapuskannya negara atau pemerintahan serta kontrol politik dalam masyarakat. Aliran ini didasarkan pada ajaran bahwa masyarakat yang ideal itu dapat mengatur urusannya sendiri tanpa mempergunakan kekuasaan yang berlawanan dengan paham sosialisme dan komunisme. Tokoh-tokohnya: Gerrard Winstanley (1609-1660), William Goldwin (1756-1836), Mikhail Bakunin (1814-1876) dan Peter Kropotkin (1842-1921).1 Anarkisme (bhs. Yunani, awalan a, tidak, kebutuhan akan, ketiadaan, kekurangan + anarchos, seorang pengatur, pengarah, ketua, orang yang berwenang, komandan. Dalam bahasa Yunani istilah anarchos atau anarchia berarti tidak memiliki pemerintahankeadaan tanpa penguasa). Konotasi positif: Anarkisme adalah ideologi sosial yang menolak pemerintahan yang otoriter. Aliran ini berpandangan bahwa individu-individu harus mengatur diri mereka sendiri dengan cara yang disenangi demi pemenuhan kebutuhan dan ideal-ideal mereka. Dalam pengertian ini anarkisme tidak bisa disamakan dengan Nihilisme, tetapi lebih serupa dengan libertarianisme politik dan antinomianisme2. Konotasi negatif: Anarkisme adalah kepercayaan yang menyangkal untuk menghormati hukum atau peraturan apapun dan secara aktif melibatkan diri dalam promosi kekacauan melalui perusakan masyarakat. Aliran ini mengajarkan penggunaan
1

Ali Mudhofir, Kamus Teori dan Aliran dalam Filsafat dan Teologi (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1996), hlm. 9-10. 2 Antinomian (bhs. Yunani, anti, melawan, nomos, hukum) 1. seseorang yang menginginkan kebebasan dari aneka peraturan dan hukum dalam masyarakat. Seseorang yang ingin hidup di luar masyarakat dalam keadaan alami atau hidup dalam masyarakat dengan ikatan seminimal mungkin oleh norma-norma sosial. (Penganut antinomi, sebgai lawan dari kaum aktivis atau anarkis, umumnya tidak langsung terlibat dalam usaha penghapusan hukum-hukum dan struktur politik suatu masyarakat. 2. dalam teologi, (a) seseorang yang percaya bahwa hanya keimanan, bukan hukum moral, yang diperlukan bagi keselamatan. (b) dalam pengertian teologis yang lebih ekstrem, seseorang yang memandang rendah hukum dan batasan-batasan sosial serta meletakkan di atas segalanya soal keimanan dan pengetahuan tertentu yang menjanjikan keselamatan. Lihat dalam Tim Penulis Rosda, Kamus Filsafat (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1995), hlm. 17.

terorisme individual sebagai sebuah alat untuk meningkatkan terjadinya disorganisasi sosial dan politik.3 Kamus Ilmiah Populer dengan gamblang mendefinisikan anarkisme sebagai sebuah paham kebebasan bertindak tanpa mau diikat oleh undang-undang; hal kesewenang-wenangan bertindak (melenyapkan undang-undang).4 Sementara Dictionary of Philosophy secara terperinci memberikan pengertian anarkisme sebagai berikut: Anarchism: This doctrine advocates the abolition of political control within society: The State, it contends, is mans greatest enemy eliminate it and the evils of human life will disappear. Positively, anarchism envisages a homely life devoted to unsophisticated activity and filled with simple pleasure. Thus it belong in the primitive tradition of Western culture and springs from the philosophical concept the inherent and radical goodness of human nature. Modern anarchism probably owes not a little, in an indirect way, to the influence of the primitivistic strain in the thought of Jean Jacques Rousseau. In an popular sense the word anarchy is often used to denote a state of social chaos, but it is obvious that the word can be used in this sense only by one who denies the validity of anarchism.5 Jadi yang dimaksud dengan istilah anarkisme adalah: ajaran yang menganjurkan dihapuskannya penguasaan politik dalam masyarakat. Sebab negara menurut pendapat mereka adalah musuh terbesar manusia yang jika disingkirkan akan dapat menghilangkan kejahatan-kejahatan yang ada dalam kehidupan manusia. Jelasnya, anarkisme mengimpikan kehidupan yang bersahaja dengan menekuni kegiatan yang sederhana dan mengisinya dengan kesenangan yang wajar. Jadi ia termasuk kebiasaan kuno dari budaya Barat yang bersumber dari konsep filosofis yang telah melekat dan mengakar secara baik dalam sifat
3 4

Ibid., hlm. 13. Pius A. Partanto dan M. Dahlan Al-Barry, Kamus Ilmiah Populer (Surabaya: Arkola, 1994), hlm. 30. Dagobert D. Runes (ed.), Dictionary of Philosophy (Littlefield Adams & Co., Totowa: New Jersey, 1971), hlm. 11-12.

dasar manusia. Anarkisme modern kelihatannya juga tidak jarang, walaupun dengan cara yang berlainan, berusaha untuk mempengaruhi pandanganpandangan kuno yang terdapat dalam pemikiran Jean Jacques Rousseau. Dalam pengertian populer, kata anarki seringkali digunakan untuk menunjukkan adanya kekacauan sosial dalam suatu negara, bahkan kata ini juga dipakai oleh seseorang yang menyangkal terhadap keabsahan anarkisme itu sendiri. Dalam bidang ilmu pengetahuan, anarkisme diartikan sebagai anarchy epistemological (kesewenang-wenangan epistemologis) yang digunakan dan dipopulerkan oleh Paul Karl Feyerabend. Menurutnya, tidak ada ukuran-ukuran yang tetap untuk memisahkan atau membedakan antara sampah dengan teori yang dapat diamati.6 Disamping itu juga terdapat beberapa pandangan filsuf tentang definisi anarkisme, diantaranya: 1. Sebagai doktrin politis dan filosofis, istilah ini baru beredar pada abad ke-19. Pertama kali digunakan oleh Proudhon dan kemudian diangkat kembali oleh Bakunin untuk menyatakan adanya aneka ragam doktrin yang berkisar seputar keyakinan bahwa negara yang teratur harus dilenyapkan, sebab ia merupakan biang keladi ketidakadilan dalam kehidupan masyarakat. Sedangkan mengenai cara penghapusannya berbeda-beda menurut pandangan para penganutnya: evolusioner; revolusioner; garis keras (ekstrem), garis lunak (moderat). 2. William Goldwin, penulis politik Inggris, mengharapkan munculnya anarkisme melalui perkembangan moral manusia secara bertahap. 3. Max Stirner, filsuf Jerman, berkeyakinan bahwa keberadaan anarkisme adalah pasti dalam wujud pemberontakanbukan revolusi perseorangan seiring dengan adanya penumpukan dan pengembangan sikap individualisme. 4. Joseph Proudhon, filsuf Perancis, mendukung pertumbuhan dan perkembangan secara bertahap hubungan timbal balik atau kegotong6

Ali Mudhofir, Kamus Istilah Filsafat (Yogyakarta: Liberty, 1992), hlm. 9.

royongan; suatu rasa sosial yang semakin meningkat di tengah masyarakat. Dan penyebarluasan kerjasama sukarela semacam ini akan menggantikan negara. 5. 6. Mikhail Bakunin, penulis dan aktivis politik Rusia, menganut doktrin revolusioner yang bermuara pada penghancuran negara. Leo Tolstoy, filsuf sosial dan novelis Rusia, menganjurkan revolusi moral tanpa kekerasan yang mengarah pada penghapusan negara. Dalam hal ini ia lebih cenderung mewakili pandangan anarkisme religius. 7. Peter Kropotkin, filsuf sosial dan pengarang Rusia, mengutarakan bahwa teori Darwin terlalu melebih-lebihkan kompetisi dalam evolusi; padahal konsep gotong royong tidak kalah pentingnya. Dan anarkisme itu sendiri merupakan gerakan kembali kepada masyarakat alamiah.7 Sedangkan dalam analisa Feyerabend sendiri, term anarkisme itu tidak lain adalah anarkisme epistemologis yang dipertentangkan dengan anarkisme politis atau religius. Dikatakannya, apabila anarkisme politis anti terhadap kemapanan (kekuasaan, negara, institusi-institusi dan ideologi-ideologi yang menopangnya), maka anarkisme epistemologis justru tidak selalu memiliki loyalitas ataupun perlawanan yang jelas terhadap semua sistem dan struktur elit tersebut. Di akhir renungannya tentang anarkisme, Feyerabend sendiri secara pribadi menyatakan keinginannya untuk menjadi seorang dadais yang dilukiskannya sebagai berikut: A Dadais is convinced that a worthile life will arise only when we start taking things lightly and when we remove from our speech the profound but already putrid meanings it has accumulated over the centuries...I hope that having read the pamphlet the reader will remember me as flippant Dadais and not as a serious anarchist.8

Lorens Bagus, Kamus Filsafat (Jakarta: Gramedia, 1996), hlm. 48-49. W.H. Newton-Smith, The Rationality of Science (Boston: Routledge & Keagan Paul Ltd., 1981), hlm. 146-147.

(Seorang Dadais percaya bahwa hidup yang berguna itu hanya dapat dibangun apabila kita mulai melakukan sesuatu yang gampang dan berhenti dari omong besar kecuali jika kita ingin pengertian-pengertian itu menjadi busuk karena ditumpuk-ditumpuk selama berabad-abad...Saya berharap bahwa setelah membaca selebaran ini pembaca mengenangku sebagai seorang Dadais yang sembrono, dan bukan sebagai anarkis yang sesungguhnya). Seorang anarkisme epistemologis menurut Feyerabend ibarat seorang dadais9 seperti yang dijelaskan oleh Hans Richter dalam bukunya Dada: Art and Anti-Art. Feyerabend mengutip pandangan Richter sebagai berikut: Dada, not only had no programme, it was against all programmes. This does not exclude the skillful defence of programmes to show the chimerical character of any defence, however rational.10 Maksud Feyerabend adalah bahwa dalam epistemologi terdapat bentuk anarkisme yang berupaya mempertahankan sekaligus menentang kemapanan. Ia bukan hanya tidak punya program, tetapi anti-program. Ia pembela status quo, tetapi juga anti status quo. Hal itu ditempuh untuk memberikan kebebasan bagi perkembangan metode-metode alternatif. Anarkisme Feyerabend yang demikian itu terkadang diartikan orang sebagai kesewenang-wenangan epistemologi, karena tidak adanya ukuran atau aturan yang tetap dan pasti untuk menentukan antara yang ilmiah dan yang non-ilmiah. Dalam posisi seperti itu, anarkisme juga tidak bisa disebut skeptisisme. Jika skeptisisme berpendapat bahwa suatu pandangan bisa benar dan bisa salah atau bahkan bisa juga tidak ada penilaian berarti baginya, maka tidak demikian halnya dengan anarkisme epistemologis. Seorang anarkis di bidang ini tidak segan bahkan tidak malu untuk mempertahankan pandangan yang dianggap sudah basi dan konyol sekalipun.
9

Istilah dadais muncul dari dunia seni di Perancis dan Jerman setelah Perang Dunia I sekitar tahun 1916-1922. Dadaisme

berarti suatu gerakan protes dari dunia seni yang ditujukan bukan hanya terhadap seni yang sudah mapan, melainkan akhirnya juga menjadi gerakan protes terhadap segala bentuk kemapanan.
10

Paul Karl Feyerabend, Against Method: Outline of an Anarchistic Theory of Knowledge (London: New Left Books,

1975), hlm. 23.

Lantas mengapa diksi yang ditawarkan oleh Feyerabend adalah anarkisme? Karena anarkisme epistemologis merupakan anarkisme teoretis. Menurut hemat Feyerabend anarkisme teoretis itu lebih manusiawi daripada alternatif hukum. Dari perspektif ini, ilmu pengetahuan secara hakiki merupakan usaha yang anarkistik mutlak. Feyerabend memberikan argumentasi historis, bahwa sejarah ilmu pengetahuan tidak hanya berisi fakta-fakta dan kesimpulan-kesimpulan yang ditarik dari fakta-fakta tersebut. Ia juga berisi ide-ide, interpretasi terhadap fakta-fakta, masalah-masalah yang timbul dari kesalahan interpretasi, interpretasi yang bertentangan, dan sebagainya. Feyerabend melihat bahwa para ilmuwan hanya meninjau fakta ilmu pengetahuan dari dimensi ide belaka, sehingga tidak heran andaikata sejarah dan ide-ide ilmu pengetahuan yang berkembang itu kemudian menjadi pelik, rancu dan penuh dengan kesalahan seperti pemikiran dari para penemunya.11 Situasi semacam itulah yang dilukiskan Feyerabend sebagai sakit epistemologis, dan obat paling mujarab untuk mengembalikan eksistensinya pada koridor semula adalah dengan prinsip anarkisme. Dengan demikian, anarkisme, sebagaimana pengakuan Feyerabend bisa membantu kita untuk mencapai kemajuan dengan memilih salah satu pemikiran yang kita minati secara lebih rasional, jelas dan bebas. Pungkasan ide anarkisme Feyerabend yang secara esensial perlu kita gali maknanya dalam realitas keseharian kita adalah pernyataannya berikut ini: And my thesis is that anarchism helps to achieve progress in any one of the senses one cares to choose.12 B. Anarkisme Sebagai Kritik atas Ilmu Pengetahuan Secara garis besar, seluruh pemikiran individualisme ekstrem Feyerabend tentang anarkisme di atas sebenarnya adalah suatu kritik terhadap perjalanan dan perkembangan ilmu pengetahuan yang telah didominasi oleh sains

11

Prasetya T.W., "Anarkisme Pengetahuan dalam Ilmu Pengetahuan Paul Karl Feyerabend", dalam Tim Redaksi Driyarkara

(penyunting), Hakikat Pengetahuan dan Cara Kerja Ilmu-ilmu (Jakarta: Gramedia, 1993), hlm. 54.
12

Paul Karl Feyerabend, op.cit., hlm. 18.

positivistik. Atas nama kebebasan individu, Feyerabend mengkritik ilmu dari dua sisi yang kaitan antar keduanya tidak bisa dipisahkan satu dengan yang lainnya. Kritik pertama disebutnya sebagai anti-metode (Against Method) yang berusaha (mendekonstruksi) format metode ilmu pengetahuan yang telah dibuat dan dipahami oleh para kaum positivis dengan melakukan penyingkapan dan pembongkaran terhadap asumsi-asumsi beserta kesalahan dari teori-teori baku yang selama ini telah dikembangkannya. Dan kritik yang kedua dinamakannya dengan anti-ilmu pengetahuan (Against Science) yang secara lebih mendalam lagi mencoba mengoreksi tentang praktek ilmiah, fungsi dan kedudukan ilmu pengetahuan dalam kehidupan masyarakat yang dianggap memiliki standar universal yang melampaui batas-batas partikularitas dan relativitasnya. 1) Anti-Metode (Against Method)

Dengan semboyan ini, Feyerabend ingin melawan ilmu pengetahuan yang oleh para ilmuwan dianggap mempunyai satu metode yang baku dan universal, memiliki resistensi terhadap kritik yang tahan sepanjang masa serta dapat pula membawahi fakta dan penelitian. Menurut Feyerabend, klaim itu tidak realistis dan jahat. Tidak realistis, karena kenyataannya ilmu pengetahuan hanya diambil dari pandangan sederhana atas dasar kemampuan seseorang dari lingkungan tertentu. Jahat, karena ilmu pengetahuan berusaha memaksakan hukum-hukum yang menghalangi berkembangnya kausalitas-kausalitas profesional kita dengan mempertaruhkan sifat kemanusiaan kita. Lagi pula, gagasan itu merusak ilmu pengetahuan dan menghambat laju perkembangannya karena mengabaikan adanya kompleksitas situasi fisik dan historis yang memungkinkan perubahan ilmu pengetahuan.13 Dengan menunjukkan bukti bahwa sejarah ilmu pengetahuan itu selalu dipenuhi dengan pertentangan teori, Feyerabend juga menyangkal pandangan saintisme yang menganggap ilmu berada di atas segala aspek budaya lain sehingga menyebabkan ilmu pengetahuan modern menghalangi kebebasan berpikir para ilmuwan itu sendiri.
13

Prasetya T.W., op.cit., hlm. 55.

Dan langkah pertama yang dilakukan Feyerabend untuk menindaklanjuti kritiknya tersebut adalah dengan mengajukan suatu prosedur yang diberi nama kontra-induksi (counterinduction). Prosedur ini dimaksudkan sebagai standar kritik dari luar yang sangat diperlukan demi kemajuan ilmu pengetahuan, karena sulitnya otokritik yang berasal dari dalam tubuh ilmu pengetahuan itu sendiri. Maksud Feyerabend bukanlah mengganti seperangkat aturan-aturan dengan peraturan yang lain, tetapi tujuannya adalah untuk membuktikan bahwa semua metode yang sudah jelas sekalipun mempunyai keterbatasan. Dan cara terbaik untuk menjelaskan ini adalah dengan menunjukkan batas-batas, irasionalitas dari beberapa aturan yang mungkin dianggap sebagai hal yang paling mendasar. Hal tersebut diungkapkan Feyerabend sebagai berikut: My intention is not to replace one set of general ruler by another such set: my intention is, rather, to convince the reader that all methodolgies, even the most obvious ones, have their limits. The best way to show this is to demonstrate the limits and even the irrationality of some rules which she, or he, is likely to regard as basic.14 Hal ini jelas berbeda dengan paradigma positivisme yang menganggap induksi sebagai satu-satunya metode yang dianggap valid ataupun juga dengan kaum induktivisme naif yang berpendapat bahwa batang tubuh ilmu pengetahuan ilmiah dibangun di atas prinsip induksi yang dasarnya cukup kuat. Ketika ditemukan sejumlah fakta observasi dan eksperimen yang sesuai dengan teori, maka teori atau hukum diperkuat atau dikorborasi. Prinsip induksi berupaya mencari fakta yang mendukung dan menghindari fakta yang tidak sesuai dengan teori. Kontra-induksi yang ditawarkan Feyerabend itu adalah juga untuk mengatasi masalah kekurangan prinsip verifikasi atau falsifikasi yang sama-sama tidak menghendaki adanya fakta yang konsisten dengan teori. Melalui kontrainduksi, Feyerabend mengusulkan counterrule, yaitu memberikan hipotesis yang tidak konsisten dengan teori yang mapan atau dengan fakta yang bahkan tidak
14

Paul Karl Feyerabend, op.cit., hlm. 23.

sesuai atau tidak terukur sekalipun. Jadi, kontra-induksi yang dikemukakan oleh Feyerabend itu sesungguhnya berperan penting untuk menjembatani permasalahan teori dan fakta. Walaupun begitu, menurut Feyerabend, masalah ini tidak memerlukan pembelaan khusus, karena tidak ada satu pun teori yang menarik dan sesuai dengan semua fakta yang selalu dapat diketahui dalam bidang domainnya secara pasti dan meyakinkan. Oleh karena itu, pertanyaan pokoknya bukan apakah teori-teori yang kontra-induktif ini harus diakui dalam ilmu pengetahuan atau tidak, tetapi apakah kesenjangan yang ada antara teori dengan fakta harus diperbesar atau diperkecil? Atau apa yang harus kita lakukan dalam menjawab persoalan ini? Maka untuk bisa menyadari dan melakukan kritik terhadap asumsi-asumsi ilmu pengetahuan diperlukan standar eksternal guna memeriksa karakteristik dari dunia nyata yang diamati. Dan untuk itu semua, Feyerabend kemudian merancang pertanyaan mendasar tentang apa yang seharusnya dilakukan? Pertama, melakukan kritik terhadap fakta untuk memutuskan rantai dan konsep yang sudah mapan. Kedua, mengacaukan prinsip-prinsip teoretis yang paling masuk akal, dan Ketiga, memperkenalkan persepsi yang bukan merupakan bagian dari dunia persepsi yang ada. Semua itu merupakan langkah yang disebut oleh Feyerabend sebagai kontra-induksi. Itu sebabnya kontra-induksi selalu masuk akal dan selalu mempunyai kemungkinan untuk berhasil (counterinduction is, therefore, always reasonable and it has always a chance of success).15 Sebagai ganti atas anti-metode, Feyerabend memasukkan beberapa prinsip (bukan metode), yaitu prinsip pengembangbiakan (proliferation) dan prinsip apa saja boleh (anything goes) yang telah penulis terangkan dalam bab sebelumnya. Jadi dalam dalam kaitan ini kami hanya akan membahas tentang prinsip pengembangbiakan yang secara harfiah berarti membiarkan semua berkembang sendiri. Maksudnya kita tidak bekerja dengan sistem pemikiran, bentuk-bentuk kehidupan dan kerangka institusional yang tunggal. Ini berarti

15

Ibid., hlm. 23.

bahwa prinsip pengembangbiakan juga menafikan adanya sikap otoritarianisme terhadap produk pemikiran manusia yang paling absurd sekalipun. Prinsip pengembangbiakan ini merupakan realisasi kritik dari alternatif pemikiran Feyerabend yang pada prinsipnya bertujuan untuk mencapai tiga hal utama: (1) memberikan (2) model abstrak tentang itu kritik ilmu terhadap dan ilmu (3) pengetahuan; mengembangkan konsekuensi-konsekuensinya; dengan

membandingkan

konsekuensi-konsekuensi

pengetahuan.

Berdasarkan hal yang ketiga, Feyerabend mengharapkan bahwa perbandingan antara fenomena-fenomena sejarah dan pandangan epistemologis mampu memberikan kriteria penilaian yang holistik terhadap struktur aktual ilmu pengetahuan, sehingga nantinya terbentuk suatu basis bagi kritisisme dan reformasi ilmu pengetahuan.16 Siasat Feyerabend ini, menurut W.H. Newton-Smith, adalah untuk memperlemah kesetian kita terhadap kemantapan suasana dengan menciptakan hal yang bertentangan dengan keadaan yang melarang kita untuk mengembangkan berbagai teori, terutama teori yang bertentangan dengan satu teori yang telah diterima oleh umum pada zaman sekarang ini. Smith mengatakan, Feyerabends strategy is to weaken our allegiance to the consistency condition by developing a case an incompatible counterrule which in this case enjoins us to proliferate theories, especially theories incompatible with currently accepted ones.17 Prinsip pengembangbiakan berusaha menemukan dan mengembangkan teori-teori yang tidak cocok dengan pandangan yang sudah lazim diterima. Dengan demikian, prinsip ini tidak hanya memungkinkan adanya penemuanpenemuan alternatif baru, tetapi juga membuka peluang bagi tampilnya kembali teori lama yang sudah tidak diakui lagi keberadaannya. Berdasarkan uraian di atas, jelas bahwa prinsip pengembangbiakan ini bukan aturan metodologis, sebab ternyata ia juga menegaskan bahwa kemajuan ilmu pengetahuan itu tidak dapat diperoleh dengan hanya mengikuti teori
16 17

Prasetya T.W., op.cit., hlm. 56. W.H. Newton-Smith, op.cit., hlm. 131.

10

tunggal, aturan atau metode apapun, melainkan dengan membiarkan teori-teori yang beraneka ragam dan berbeda satu sama lain berkembang secara bebas. 2) Anti-Ilmu Pengetahuan (Against Science)

Anti-ilmu pengetahuan Feyerabend ini tidak berarti ia anti terhadap ilmu pengetahuan itu sendiri, melainkan anti terhadap kekuasaan ilmu pengetahuan yang seringkali mengaburkan maksud dan tujuan utamanya. Dengan sikap ini, Feyerabend ingin melawan ilmu pengetahuan yang oleh para ilmuwan dianggap lebih unggul daripada bidang-bidang atau bentuk-bentuk pengetahuan lain, seperti sihir, voodoo, magi, mitos, dan lain sebagainya. Ditegaskannya, ilmu pengetahuan menjadi pemikiran tunggal-mutlak karena adanya propaganda dari para ilmuwan dan institusi terkait yang diberi wewenang untuk selalu mempengaruhi kesadaran kolektif masyarakat tentang hakikat dan ilmu pengetahuan itu sendiri. Sehingga ilmu pengetahuan yang dianggap paling benar itu telah menguasai sistem kebenaran dunia ilmiah, dan pada gilirannya menjadi semacam ideologi yang menindas kebudayaan alternatif. Semboyan extra ecclesiam nulla salus (di luar Gereja tidak ada keselamatan) yang lebih dari satu abad lalu ada dalam tradisi gereja, diadopsi oleh para ilmuwan dengan mengatakan extra scientiam nulla salus (di luar ilmu pengetahuan tidak ada kebenaran).18 Walaupun dewasa ini tidak ada lagi orang yang dihukum mati dengan dakwaan subversif atau sesat terhadap rumusrumus formal ilmu pengetahuan, tetapi mereka secara hukum konvensional mendapat sanksi sosial yang justru lebih berat daripada batas-batas toleransi yang ada dalam suatu masyarakat sekalipun. Dari semua bentuk pengingkaran yang sangat radikal tersebut, Feyerabend sejatinya ingin menyatakan bahwa ilmu pengetahuan hanya merupakan salah satu gagasan terbuka dan plural dari sekian banyak pilihan ideologi yang ada dalam masyarakat. Dengan begitu, Feyerabend ingin mengatakan bahwa ilmu pengetahuan itu bukanlah ideologi yang berisi omong kosong belaka. Maka tidak wajar mendewa-dewakan ilmu pengetahuan sebagai satu-satunya pengetahuan
18

Prasetya T.W., op.cit., hlm. 58.

11

yang paling unggul dan bahkan paling menentukan kehidupan masyarakat. Karena masalahnya terletak pada muatan ideologis dari komunitas para ilmuwan dan pihak-pihak yang selalu berusaha menciderai kemurnian citra ilmu pengetahuan dengan kepentingan-kepentingan subyektif-individual yang menyebabkan proses idealisasi ilmu pengetahuan yang sebenarnya mengalami stagnasi. Mungkin situasi inilah yang dikatakan oleh Richard Rorty bahwa epistemology is dead, atau dalam konstruksi filsafat Feyerabend disebut sebagai anti-ilmu pengetahuan (Against Science) itu. Relevansi pemikiran yang dapat kita pertautkan makna aktualitasnya dari dasar-dasar epistemologi Feyerabend di atas dengan fenomena budaya akademik kita saat ini adalah bahwa kita perlu mengembangkan pola pikirdalam bahasa filsuf John Henry Newmanillative sense, yaitu bagian intelektual manusia yang dapat mengandaikan adanya kompleksitas suatu obyek, dan kemungkinan manusia mengambil sikap terhadap obyek tersebut. Mungkin illative sense ini mirip dengan konsep phronesis dari Aristoteles, yakni semacam kebijaksanaan untuk mengakui segala keterbatasan pengetahuan kita, tanpa kehilangan kepastian bahwa kita dapat bicara mengenai kebenaran. Adanya pengakuan terhadap kompleksitas berbagai persoalan kemanusiaan dan keterbatasan kemampuan manusia menguasainya yang pada akhirnya mengandaikan keterbukaan terhadap beragam persepsi, penafsiran dan perbedaan pendapat itu tidak lantas membuat kita harus kehilangan sandaran pencarian perennial tentang adanya kemungkinan bahwa kita dapat mencapaibetapapun mencapai disini mesti ditafsirkan sebagai (makin) mendekatihakikat kebenaran yang kita maksud.

12

DAFTAR PUSTAKA
Ali Mudhofir, Kamus Teori dan Aliran dalam Filsafat dan Teologi (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1996). ______ Kamus Istilah Filsafat (Yogyakarta: Liberty, 1992). Dagobert D. Runes (ed.), Dictionary of Philosophy (Littlefield Adams & Co., Totowa: New Jersey, 1971). Lihat dalam Tim Penulis Rosda, Kamus Filsafat (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1995). Lorens Bagus, Kamus Filsafat (Jakarta: Gramedia, 1996). Paul Karl Feyerabend, Against Method: Outline of an Anarchistic Theory of Knowledge (London: New Left Books, 1975). Pius A. Partanto dan M. Dahlan Al-Barry, Kamus Ilmiah Populer (Surabaya: Arkola, 1994). Prasetya T.W., "Anarkisme Pengetahuan dalam Ilmu Pengetahuan Paul Karl Feyerabend", dalam Tim Redaksi Driyarkara (penyunting), Hakikat Pengetahuan dan Cara Kerja Ilmu-ilmu (Jakarta: Gramedia, 1993). W.H. Newton-Smith, The Rationality of Science (Boston: Routledge & Keagan Paul Ltd., 1981).

13

You might also like