You are on page 1of 22

Chapter 14 Section B ORGANIZATIONAL GROWTH Penambahan Jumlah Anak: Pengembangan Keluarga dan Kesepakatannya (Acquisition of Children: Organizational Expansion

and Contraction ) Review Buku The Family Robert O. Blood, Jr New York: The Free Press Nama NIM Mata Kuliah Dosen Pengampu : Nindita Farah Sasmaya : 117120100111002 : Sosiologi Keluarga : Dr. Ir. Yayuk Yuliati, MS.

Abstraksi Dengan melakukan pemilihan pasangan, maka suatu pernikahan dapat terlaksana. Akan tetapi, pernikahan tersebut belum dikatakan lengkap jika belum hadirnya anak-anak dalam pernikahan tersebut. Seiring dengan perkembangan dunia, maka anak-anak yang dihadirkan dalam suatu keluarga bervariasi jumlahnya dan ada juga pasangan yang sebelumnya melakukan perencanaan dan kesepakatan bersama sebelum menghadirkan anak-anak ke dalam keluarga mereka. Konsekuensi yang harus dihadapi pasangan yang dikaruniai anak pun menjadi beragam pada beberapa keluarga gabungan yang menghendaki tinggal bersama, maka terdapat beberapa peraturan yang kemudian harus dilaksanakan oleh pasangan yang mempunyai anak yang berlawanan jenis dengan saudara sepupunya, misalnya dengan tidak tinggal bersama dalam satu atap. Secara garis besar, maka proses penambahan jumlah anak dalam suatu keluarga merupakan suatu hal yang alamiah. Keluarga sama halnya dengan organisasi sosial yang lainnya, mempunyai peraturan serta kesepakatan bersama, di mana anak-anak yang lahir pada nantinya akan diinternalisasikan dengan peraturan tersebut. Pendahuluan Pada beberapa keluarga, kehadiran seorang anak telah direncanakan sebelumnya serta dalam pelaksanaannya, anak-anak yang dilahirkan dalam keluarga mempunyai jumlah yang dikontrol. Dalam beberapa kehidupan keluarga, ada anak-anak yang datang karena murni anugerah, meskipun kehadiran anak-anak tersebut tidak direncanakan, namun mereka datang dengan sendirinya, serta merubah tatanan keluarga tersebut. Semakin banyak jumlah anak yang terdapat dalam suatu keluarga, maka semakin besar perubahan dan konflik yang harus dialami oleh keluarga tersebut. Pembahasan dalam bagian ini akan mengetengahkan konsekuensi dari penambahan jumlah keluarga, tipe anak-anak beserta variasinya yang akan mempengaruhi kehidupan keluarga tersebut. Darimana Anak Berasal Semua anak dilahirkan oleh seseorang, akan tetapi tidak semua anak dibesarkan oleh orangtua kandungnya. Dari sudut pandang kehidupan keluarga, maka mengadopsi anak merupakan suatu alternatif untuk menambah jumlah anak dalam suatu keluarga, di mana adopsi ini bisa dilakukan oleh pasangan yang belum dikaruniai anak, maupun pasangan yang telah dikaruniai anak sebelumnya, namun mereka mengadopsi anak dengan tujuan sosial. Reproduksi Sebelum memutuskan untuk mempunyai seorang anak kandung, terdapat beberapa sisi positif maupun negatif yang bisa dipertimbangkan. Salah satu sisi positif adalah, ketika dalam suatu keluarga pasangan suami isteri memutuskan mempunyai anak kandung dari sel reproduksi yang mereka punyai sendiri, maka gen yang ada pada dalam diri mereka bisa diwarisi

oleh anak yang mereka punyai. Hal ini berarti kemiripan wajah anak bisa sama dengan orangtua mereka atau saudara mereka, serta kemudahan untuk mengenali anak tersebut berdasarkan kemiripan wajah yang ia punyai. Kedua, ada perasaan psikologis orangtua bahwa anak yang mereka lahirkan merupakan anak kandungnya, sehingga terjadi koneksi yang kuat antara anak dengan orangtuanya. Hal ini disebabkan karena ibunya telah mengandung selama sembilan bulan, melahirkan anak tersebut, serta menyusuinya. Salah satu sisi negatifnya adalah jumlah kelahiran anak kandung merupakan suatu hal yang sulit dikontrol. Whelpton (1966) yang pernah melakukan penelitian di Amerika Serikat pada tahun 1960 menyatakan bahwa hanya warga Amerika berpendidikan tinggi yang mampu menjarangkan kelahiran anak-anak mereka. Survei yang dilaksanakan pada tahun tersebut, juga mencatat bahwa terjadi peningkatan jumlah perempuan yang mengalami kegagalan dalam penggunaan alat kontrasepsi sehingga terjadi kehamilan yangg tidak diinginkan. Insiden baby booming tercatat terjadi pada awal tahun 1960 sampai 10 tahun kemudian. Freedman (1959) mencatat bahwa sebagian besar kegagalan kontrasepsi disebabkan karena keengganan warga dalam memakai alat kontrasepsi mekanis, serta memakai metode kalender. Metode kalender sering mengalami kegagalan karena ketidak disiplinan dalam pelaksanaan, sehingga kerapkali pasangan berhubungan seksual pada masa subur yang menyebabkan kehamilan terjadi. Kesulitan dalam menghadapi kehamilan yang tidak direncanakan diteliti oleh Dyers pada tahun 1963 yang menyatakan bahwa hanya 26 persen dari pasangan yang merencakan kehamilan. Para pasangan yang merencanakan kehamilan terlebih dahulu diteliti beberapa tahun kemudian, dan dapat disimpulkan bahwa pasangan yang merencanakan kehamilan mereka lebih siap secara mental maupun finansial dalam menghidupi anak-anak mereka di kemudian hari. Sedangkan dari penelitian tersebut, di dapat 92 persen pasangan yang tidak merencanakan kehamilan mereka. Whelpton mencatat bahwa banyak ibu di Amerika menyatakan bahwa mereka mempunyai anak lebih banyak dari yang mereka inginkan sebelumnya. Hal ini menimbulkan permasalahan baru, yakni bagaimana metode untuk menangani kehamilan yang tidak direncanakan tersebut. Warga negara Amerika yang mayoritas berkulit putih yang menjadi responden dalam penelitian tersebut menyatakan bahwa aborsi merupakan jalan terakhir untuk menangani kehamilan yang tidak mereka rencanakan. Aborsi merupakan alternatif terakhir jika mereka telah menggunakan alat kontrasepsi namun terjadi kehamilan. Aborsi yang merupakan suatu metode penggagalan kehamilan yang menyakitkan serta membuat mental pelakunya tertekan hanya bisa diterapkan dalam kasus khusus serta dengan pengawasan dokter secara ketat. Di beberapa negara, maka metode penggunaan kontrasepsi justru merupakan suatu hal yang kurang efektif. Justru di beberapa negara-negara tertentu, aborsi menjadi suatu hal yang lazim dilaksanakan jika terjadi kehamilan yang tidak direncanakan. Sebagai contoh di Jepang, aborsi secara legal dilakukan oleh pasangan yang tercatat dalam suatu pernikahan dan hal ini terjadi dalam jumlah yang signifikan. Pada beberapa negara maju maupun negara berkembang, maka metode penjarangan kelahiran dilakukan dalam dua metode, yakni dengan metode kontrasepsi, namun aborsi juga merupakan alternatif yang boleh ditempuh secara legal jika telah terlanjur terjadi pembuahan. Blake (1961) melakukan penelitian di Jamaika. Ia menemukan bahwa perempuan dalam strata kelas menengah ke bawah di Jamaika cenderung tidak mengerti tentang hubungan seks maupun kehamilan sebelum mereka mengalaminya sendiri. Para perempuan ini cenderung tidak peduli bahwa hubungan seksual yang mereka lakukan akan berpotensi mengakibatkan kehamilan sehingga mereka seringkali melakukan seks secara tidak aman. Vincent (1961) yang meneliti mengenai perempuan di Amerika Serikat menemukan data yang dianggap mengejut-

kan pada waktu itu, yakni perempuan Amerika pun juga banyak yang tidak memperdulikan hubungan seks yang beresiko, baik dalam mengakibatkan kehamilan maupun mengakibatkan penyebaran penyakit seksual. Kasus yang terjadi di Puerto Rico mengenai kehamilan telah diteliti oleh Hill, Stycos, dan Back. Mereka menemukan bahwa pasangan menikah di Puerto Rico terbiasa menunda kehamilan dengan menggunakan alat kontrasepsi. Selain itu, sterilisasi juga menjadi hal yang lazim, di mana juga dilaksanakan sebagai sarana untuk menjarangkan kehamilan. Hal yang berbeda terjadi di Puerto Rico, di mana aborsi dianggap sebagai sarana penjarangan kelahiran yang tidak lazim atau dianggap sebagai hal yang berdosa menurut keyakinan sebagian besar warga Puerto rico yang beragama Katolik. Hal lain yang sering terjadi adalah suatu keluarga tidak dikaruniai keturunan. Mereka mempunyai jumlah anggota keluarga yang kecil, misalnya hanya sepasang suami isteri saja. Bayak dari beberapan pasangan yang berusaha untuk mewujudkan keinginan mereka untuk mempunyai anak, namun ada juga yang menerima takdir untuk tidak memilik keturunan. Sebagian pasangan yang lain, ada juga yang sengaja untuk tidak mempunyai keturunan. Alasan yang dipilih sangat beragam, misalnya tidak mau terbebani secara finansial, tidak mau repot dalam mengurus dan mendidik anak mereka, serta alasan pekerjaan yang membuat mereka sering berpisah dalam tempo yang lama. Pasangan yang belum dikaruniai keturunan pada umumnya akan berusaha maksimal, misalnya menjalani pengobatan kesuburan, atau menggunakan teknologi kedokteran dalam mewujudkan impiannya. Kecenderungan terjadi pada pasangan usia muda yang belum dikaruniai keturunan, maka mereka cenderung enggan untuk mengadopsi anak, dan memilih untuk mendapatkan anak dari rahim mereka sendiri. Adopsi Pada beberapa pasangan yang mendambakan anak dengan jenis kelamin tertentu, akan tetapi mereka sangat susah mendapatkannya, maka adopsi merupakan alternatif yang bisa dipilih. Kadangkala, adopsi merupakan jalan bagi pasangan yang tidak ingin menambah anak, namun dikaruniai anak. Mereka bisa menyerahkan anak tersebut untuk dirawat oleh pasangan yang justru menginginkan anak. Adopsi seringkali ditempuh oleh pasangan dengan kasus sebagai berikut: Pasangan Tanpa Anak Pasangan yang belum dikaruniai anak bisa mendapatkan anak melalui proses adopsi ini. Anak yang diadopsi bisa berasal dari anak yang tidak diinginkan oleh orangtuanya, terutama anak yang dilahirkan dari pasangan yang tidak terikat tali pernikahan. Anak untuk diadopsi bisa berasal juga dari anak-anak yang berasal dari keluarga yang dikaruniai anak yang melimpah, di mana kemudian orangtua anak ini kesulitan untuk merawat anak-anak tersebut. Terkadang, tak jarang pasangan yang belum dikaruniai anak bisa mengadopsi anak dari kerabat atau keluarga besar mereka yang dikaruniai anak banyak. Hal ini merupakan suatu fenomena yang sering ditemukan, bahkan tak jarang anak-anak saudara diadopsi oleh bibi mereka yang belum menikah si usia matang (spinster). Fenomena ini seringkali terjadi di Jepang, di mana keluarga yang dikaruniai lebih dari satu anaka akan kesulitan dalam pembiayaan hidup anak-anak yang lain, maka tak ajarang anak yang lain dititipkan kepada saudaranya yang tidak menikah karena suatu hal atau pilihan hidupnya (misalnya professor yang mendedikasikan hidupnya untuk mengajar dan mengembangkan ilmu pengetahuan). Nydegger meneliti di Filiphina, di mana seringkali anak-anak dirawat oleh kakek dan nenek mereka, karena kakek dan nenek anak-anak tersebut merasa kesepian di usia lanjut. Dalam kasus ini, maka adopsi akan terjadi ketika anak-anak tersebut sudah bisa mempertimbangkan Akan ikut kemanakah saya? apakah mengikuti orangtuanya atau tinggal bersama

kakek dan neneknya. Suatu saat jika anak tersebut telah dewasa, maka seringkali pertimbangan dalam memperoleh pasangan lebih berdasar atas pendapat dengan siapakah ia seringkali tinggal (misalnya, apakah ia lebih condong meminta pendapat kakek dan neneknya atau pendapat orangtuanya sendiri). Nyddeger memberikan pernyataan dalam bukunya bahwa orangtua pada umumnya tidak mengijinkan anaknya diadopsi, terutama jika anak tersebut adalah anak pertama, dan sesuai jenis kelaminnya dengan jenis kelamin yang dininginkan oleh orangtua kandungnya. Selanjutnya, ketika kelahiran anak kedua, ketiga, dan seterusnya, maka orangtua kandung anak tersebut mulai kerepotan, sehingga ia mulai meminta bantuan kakek dan nenek dari anak tersebut. Kakek dan nenek akan cenderung memanjakan anak tersebut sehingga pada akhirnya anak tersebut betah tinggal bersama kakek dan neneknya Hubungan antara orangtua dan anak secara natural berbeda dengan hubungan antara anak dan orangtua adopsi. Sosiolog Jepang mengistilahkan hubungan antara orangtua adopsi dengan anak adopsinya dengan istilah hubungan keluarga semu (Pseudo-family relation). Studi yang dilakukan di Amerika oleh Work (1968) mendapatkan hasil bahwa anak-anak adopsi merupakan anak-anak yang seringkali membutuhkan perawatan psikologi yang disebabkan karena perilaku mereka yang tak terkontrol di sekolah. Hal ini ternyata dilatarbelakangi suatu kesimpulan bahwa anak-anak yang diadopsi seringkali dilimpahi kasih saying secara berlebihan dibandingkan dengan anak-anak yang diasuh oleh orangtua kandung. Akibatnya adalah, perilaku anak-anak adopsi cenderung di luar batas, karena mereka tidak menerima ketegasan dari orangtua adopsi mereka. Penyebab kedua yang sebenarnya merupakan suatu hal yang berlawanan dengan penyebab pertama adalah tekanan yang diterima oleh anak-anak adopsi untuk menyamakan perilaku dengan orangtua adopsinya. Orangtua adopsi seolah-olah menekan anak adopsi tersebut Jadilah seperti kami, karena kamu sekarang bagian dari keluarga ini! seringkali tekanan ini diiringi dengan pendisiplinan anak adopsi secara berlebihan. Dengan demikian, bila dibandingkan dengan anak kandung, maka anak kandung jauh lebih memiliki peluang untuk menyuarakan kehendak, perilaku dan pendapatnya sendiri sebagai manusia yang bebas, bila dibandingkan dengan anak adopsi. Penyebab ketiga, Work menemukan bahwa anak-anak adopsi tidak diperlakukan secara tepat oleh orangtuanya, mengenai masalah-masalah yang berkaitan dengan hubungan orangtua dan anak. Orangtua adopsi cenderung memberi nasihat dan perlakuan secara professional terhadap anak-anak adopsinya, bukan perlakukan selayaknya orangtua dan anak kandung. Pasangan Tanpa Anak Laki-Laki Dalam suatu system keluarga patriarki, maka suatu keluarga tidak cukup hanya mempunyai anak. Keluarga patriarki membutuhkan anak laki-laki untuk meneruskan garis keluarga. Untuk pasangan yang hanya dikaruniai keturunan perempuan, maka mengangkat anak laki-laki merupakan suatu hal penting dengan tujuan untuk meneruskan garis keturunan. Anak laki-laki mungkin diangkat dalam kondisi normal dan dibesarkan sebagai salah satu bagian dari anggota keluarga, dipersiapkan untuk mengambil alih asset keluarga setelah pasangan pernikahan yang cocok didapatkan oleh anak laki-laki tersebut. Fenomena di Jepang menyebutkan bahwa satu anak dipertahankan dalam satu keluarga, dan suami dari anak perempuan tersebut diangkat dalam keluarga Jepang itu dan menyandang nama keluarga perempuan serta harus menanggalkan nama keluarga asal laki-laki tersebut. Untuk kehilangan nama keluarga asal dan meninggalkan suatu keluarga asal dalam keluarga patriarki merupakan suatu pengorbanan yang besar. Anak laki-laki yang meninggalkan keluarganya, menikah dengan isterinya, serta harus tinggal dengan keluarga besar isterinya merupakan suatu hal yang harus mengorbankan egonya sebagai laki-laki. Akibatnya, tidak semua laki-laki muda Jepang mau melakukan hal tersebut,

kecuali kondisi ini memberikan keuntungan untuknya. Banyak pria muda Jepang dengan status menengah ke bawah mau melakukan adopsi paksa ini dengan tujuan untuk menaikkan derajatnya serta mendapatkan kesejahteraan dari keluarga isterinya meskipun harus mengorbankan harga dirinya sebagai seorang suami. Untuk keluarga isteri, maka hal ini merupakan suatu keuntungan, yakni harta warisan tidak akan jatuh ke tangan siapapun, namun jatuh ke tangan anaknya sendiri dengan meminjam suami dari anak perempuan tersebut. Oleh karena itu, maka harta warisan akan jatuh ke tangan suami anak perempuan, namun pengawasan dan penggunaan harta diawasi dan dikuasai secara penuh oleh anak perempuan. Keluarga dengan Anak berlebih Anak adopsi, terkadang menyajikan masalah baru, terutama yang berkaitan dengan integrasi keluarga meskipun, anak adopsi ini direkrut untuk menyelesaikan masalah inti dari orangtua adopsinya. Anak adopsi yang diangkat dari keluarga yang tidak menginginkan anak karena keluarga ini telah mempunyai anak yang berlebih misalnya, sebenarnya sama hakekatnya dengan pasangan yang mempunyai anak di luar pernikahan yang sah. Anak-anak adopsi ini merupakan anak-anak yang tidak mempunyai pilihan. Untuk tinggal dengan orangtua kandung mereka mereka tidak diinginkan, namun ia juga harus menghadapi tekanan yang dihasilkan akibat dari proses adaptasi yang ia lakukan dengan orangtua yang mengadopsinya. Vogel (1963) mengadakan penelitian di Tokyo mengenai keluarga dengan jumlah anak yang berlebih yang kemudian diadopsi oleh pasangan yang menginginkan keturunan. Vogel melihat bahwa anak-anak adopsi ini seringkali mendapatkan perlakuan penolakan, diabaikan, atau diskriminasi yang dilakukan anggota keluarga lain di luar orangtua adopsinya. Vogel kemudian menarik kesimpulan bahwa tidak ada suatu hal yang lebih diinginkan oleh anak-anak yang tidak diinginkan selain diasuh dan dibesarkan oleh orangtua kandungnya. Efek buruk yang ditimbulkan oleh suatu keluarga dengan anak-anak adopsi adalah, anak-anak adopsi cenderung mencari penyaluran kasih sayang di luar keluarga adopsinya. Studi yang dilakukan Blake terhadap anak-anak perempuan adopsi di Jamaika menemukan bahwa 15 persen dari anak-anak perempuan adopsi tersebut ,elakukan hubungan seksual secara dini. Kombinasi sikap dari kebencian anak-anak adopsi bahwa mereka ditolak atau tidak diinginkan oleh keluarga kandungnya, serta keengganan untuk mengakui kekuasaan keluarga adopsinya sebagai orangtuanya sekarang membuat mereka rentan dengan godaan sekelilingnya yang menawarkan kasih saying semu berupa seksualitas dari teman-teman prianya. Anak-anak perempuan adopsi ini merasa bahwa kasih saying berupa hubungan seks merupakan manifestasi pelarian dari rasa tertolaknya dirinya dari keluarga kandungnya dan pelariannya dari perubahan lingkungan keluarga, dari keluarga kandung ke keluarga adopsi. Pada level yang lebih rendah, maka problem serupa mengenai kasus adopsi juga ditemukan pada suatu keluarga dengan anak yang orangtuanya bercerai atau meninggal dunia, serta digantikan oleh orangtua tiri. Adopsi, merupakan suatu hal yang lebih berat daripada orangtua tiri namun keduanya merupakan kasus yang mirip, di mana keduanya merupakan suatu kondisi yang mengharuskan anak tinggal tidak dengan orangtua kandungnya. Dengan demikian, penyesuaian sangat bergantung pada kondisi psikologis anak tersebut, apakah ia mampu menyesuaikan diri dengan kondisi yang sulit, atau ia mencari kasih sayang yang lain di luar orang tua adopsinya. Perkembangan Keluarga Menambah anak-anak sangat mempengaruhi hidup dari pasangan maupun keluarga besar dari pasangan tersebut. Seberapa besar perubahan tersebut akan berpengaruh sangat bergantung pada seberapa banyak anak-anak yang bertambah dalam keluarga tersebut. Suatu

perubahan penting terhadap pasangan tersebut akan terjadi, meskipun kelahiran anak pertama sekalipun. Kelahiran Anak Pertama: Krisis Pencapaian Sebelum anak pertama lahir, suatu keluarga terdiri atas pasangan suami isteri yang saling member perhatian sepenuhnya satu sama lain. Kemudian setelah anak pertama lahir, maka pemberian kasih saying antara pasangan ini sedikit terganggu. Untuk selanjutnya, setiap pasangan dewasa harus bersaing dengan anaknya untuk mendapatkan kasih sayang dari pasangannya. Pemenangnya tentu saja adalah anak dari pasangan itu. Semakin kecil seorang anak, maka semakin besar perhatian yang ia butuhkan dari orangtuanya, karena tanpa perhatian anak tersebut bisa mati. Sedangkan pasangan merupakan seorang dewasa yang bisa mengurusi dirinya sendiri. Pasangan dengan usia yang matang seringkali tidak mempermasalahkan hal ini, atau telah mempersiapkan hal ini sebelumnya, namun pasangan muda yang seringkali masih labil secara emosi menganggap bahwa kehadiran anak merupakan suatu hal yang mengganggu hubungannya dengan pasangannya. Dyers (1963) menemukan bahwa 62 persen ayah yang baru saja dikaruniai seorang anak merasa bahwa dirinya diabaikan oleh isterinya. Sedangkan hanya 12 persen ibu yang baru dikaruniai seorang anak, merasa bahwa dirinya diabaikan oleh suaminya akibat dari kehadiran anak tersebut. Pasangan yang telah dikaruniai oleh kehadiran anak tersebut menghadapi suatu kondisi yang benar-benar baru. Jumlah anggota keluarga tidak hanya berpengaruh pada kuantitas, namun juga masalah kualitas dari keluarga tersebut. Keluarga itu sebelumnya hanya terdiri dari dua orang yang telah dewasa, namun sekarang kehadiran anak kecil meramaikan keluarga tersebut. Bayi baru itu menghasilkan permasalahan bar, misalnya apa yang diderita oleh bayi tersebut ketika ia menangis, apakah bayi itu membutuhkan suatu hal? Apakah bayi tersebut perlu dibawa ke dokter? Hal ini terjadi karena bayi tersebut hanya bisa menangis dan tidak bisa mengkomunikasikan apa yang ia derita kepada orangtuanya. Tak jarang, tangisan bayi mempunyai makna serius, yang membawa bayi tersebut kepada penyakit yang mematikan. Orangtua baru ini harus menghadapi masalah ini dengan teliti, sehingga seringkali mereka mengorbankan waktu tidurnya untuk membesarkan anak yang baru lahir tersebut. Secara tiba-tiba, orangtua baru harus menghadapi masalah mendasar yang terjadi pada keluarga mereka, serta masalah lainnya yang lebih rumit. Berhadapan dengan situasi seperti ini sekitar 83 persen pasangan Amerika yang diwawancarai oleh Le Masters tahun 1957 merasa bahwa pengasuhan anak baru seringkali menghadapi krisis kasih saying pada pasangan. Krisis secara natural akan terjadi pada masa transisi ini yang disimbolisasikan dengan pembagian pekerjaan rumah yang harus dikerjakan oleh pasangan yang tidak mengasuh anak secara tiba-tiba (pada umumnya suami) yang menimpa pasangan yang baru saja dikaruniai keturunan. Pada kasus tertentu, kesemrawutan dalam rumah tangga akan berwujud seperti grafik yang menurun, di mana level tertinggi akan terjadi ketika anak-anak tersebut masih kecil, dan level terendah akan terjadi ketika anak-anak dalam keluarga tersebut telah dewsa dan memutuskan untuk hidup terpisah dengan keluarga intinya. Untuk mendapatkan waktu ekstra guna memenuhi semua kesibukan dalam rumah tangga, maka seorang ibu biasanya akan keluar dari pekerjaannya di sector formal, serta berkomitmen untuk murni mengurusi keluarganya. Blood dan Wolfe (1960) menyatakan bahwa efek yang dihasilkan dari keputusan ibu ini untuk keluar dari pekerjaannya akan menghasilkan ketergantungan ekonomi sepenuhnya berada di tangan suaminya. Efeks psikologis bagi ibu rumah tangga adalah kejenuhan, karena setiap hari mereka tetap berada di rumah untuk mengasuh anak-anaknya dan mengerjakan pekerjaan rumah tangga dalam kesehariannya.

Permasalahan lainnya yang terjadi akibat dari berkurangnya pendapatan yang disebabkan oleh para isteri yang menjadi ibu rumah tangga murni telah diteliti oleh Dyers (1963) yang menemukan bahwa tekanan luar biasa seringkali menimpa ibu rumah tangga murni yang tidak bekerja. Tekanan ini disebabkan karena kurangnya waktu tidur akibat mengurus bayi terutama ketika bayi berusia satu sampai enam bulan, ketakutan ibu rumah tangga tersebut bahwa suami mereka merasa diabaikan dan suami mereka berselingkuh dengan perempuan lain. Suami merupakan anggota keluarga yang mendapat tekanan juga. Pertama, tekanan untuk mendapatkan penghasilan akibat adanya anggota keluarga baru, serta tekanan psikologis dan seksual akibat sang isteri lebih mengurusi anak mereka yang baru lahir. Penghasilan untuk Membesarkan Anak-Anak Intensitas ketangguhan suatu keluarga dalam menghadapi krisis sangat bergantung pada pendapatan keluarga. Dyer menemukan bahwa suatu pasangan yang tidak berasal dari lulusan perguruan tinggi cenderung kurang siap bila dibandingkan dengan pasangan yang berasal dari pendidikan yang lebih tinggi. Asumsi yang dimunculkan adalah, pasangan dengan level pendidikan tinggi akan lebih menemukan cara serta akses baru untuk menambah pendapatan. Dalam tatanan masyarakat Amerika, maka pasngan kulit hitam rata-rata menduduki lapisan social bawah dengan disertai pendidikan yang tidak tinggi pula. Hal ini diperparah dengan kehidupan mereka yang kurang teratur, sehingga anak-anak yang lahir seringkali tidak diimbangi dengan perencanaan yang matang. Semakin lemah kekuatan hubungan pasangan (missalnya tidak dilakukan pernikahan secara sah) maka semakin besar masalah yang akan dihadapi oleh anak-anak tersebut yang merupakan manifestasi dari kekacauan financial orangtuanya (misalnya anak-anak ini sering menerima kekerasan baik psikologis, mental, maupun fisik. Sebagai contoh anak-anak sering menyaksikan orangtuanya bertengkar, saling mencederai satu sama lain, melakukan kekerasan, atau justru anak-anak yang masih kecil ini yang mendapat kekerasan dari orangtuanya akibat kekesalan bertumpuk dari isteri terhadap suami, atau sebaliknya). Masalah akan semakin bertambah rumit ketika anak-anak ini beranjak dewasa, di mana pemenuhan kebutuhan hidup mereka semakin besar. Anak-anak, yang seharusnya telah dikenakan identifikasi sebagai individu yang berdiri sendiri seringkali merupakan isu utama dalam hubungan antara laki-laki dan perempuan. Sebagai contoh, anak-anak yang berasal dari keluarga yang kurang mampu seringkali tinggal bersama dengan orangtuanya dalam satu kamar. Dengan demikian, anak tersebut bisa menyaksikan apa yang dilaukukan oleh orangtuanya sehari-hari, mulai dari makan, minum, berpakaian, mengasuh anak, sampai hubungan seks yang tanpa sengaja disaksikan oleh anak mereka yang masih kecil, kesemuanya menjadikan landasan perilaku anak ketika ia dewasa kelak. Sebagai contoh kasus, Tonk yang merupakan dudai cerai berkencan dengan Earlene, pacar barunya. Ketika Tonk berciuman dengan Earlene di mobil, anak Tonk yang bernama Nancy berteriak kepada Clarence bahwa Clarence bukanlah ibunya. Ketika suatu hari Clarence dan Nancy bertemu, kebencian Nancy memuncak sehingga menyebabkan Nancy memukul Clarence dengan tongkat bisbol (Liebow, 1967: 92-94). Liebow mendapat kesimpulan bahwa semakin sempit kedekatan orangtua dengan anak kandungnya, maka reaksi emosional yang diberikan oleh anak kepada orang-orang yang mencoba menggantikan posisi orangtuanya semakin keras, di mana reaksi ini bisa sangat merusak. Orangtua dengan pendapatan minimum, maka semakin bertambahnya anak-anak akan mengakibatkan krisis terhadap anak-anak tersebut. Morris yang melakukan penelitian di penjara menemukan bahwa laki-laki Inggris yang dipenjara di kalangan ayah baru atau calon ayah yang isterinya sedang hamil, mempunyai jumlah yang signifikan. Morris menyimpulkan bahwa tekanan tanggung jawab yang diberikan kepada calon ayah maupun ayah baru mengenai pendapatan financial seringkali membuat ayah-ayah ini berpikir pendek, misalnya dengan mencuri,

merampok, dan melakukan tindakan criminal lainnya. Morris juga menemukan perilaku yang aneh namun nyata, bahwa ternyata ada kesengajaan alasan untuk masuk penjara untuk ayah baru dan calon ayah, yakni karena keributan yang mereka alami di rumah akibat kelahiran bayi mengakibatkan tekanan psikologis sehingga mereka memilih untuk tinggal di penjara. Dalam suatu keluarga yang masih tinggal dengan keluarga luas (keluarga gabungan), maka kehadiran anak pertama dirasakan lebih berat bila dibandingkan anak-anak lain dalam keluarga gabungan tersebut yang bisa lahir sesudahnya. Keluarga gabungan merupakan suatu keluarga dengan jumlah anggota keluarga yang banyak. Hal ini menyebabkan pasangan suami isteri yang rata-rata masih muda tersebut kehilangan privasi, serta pengasuhan anak mereka akan merubah system yang ada dalam keluarga gabungan tersebut. Sumber financial dalam keluarga gabungan yang masih ditanggung oleh satu orang kepala keluarga, yakni kakek misalnya, (karena ayah si bayi masih sekolah dan belum bekerja) menyebabkan kedatangan bayi menjadi suatu beban financial baru yang harus ditanggung oleh kakek dalam keluarga gabungan tersebut. Adakalanya, hal ini diperparah dengan ibu si bayi (isteri anak laki-laki) yang tidak bekerja, dan mempunyai tugas membersihkan dan memasak, misalnya. Maka ketika bayi ini lahir, ibu si bayi tidak bisa melakukan tugasnya dengan baik. Ibu si bayi hanya merawat bayi, namun ia tidak mengerjakan pekerjaan rumah tangga apapun, dan biaya kehidupannya sehari-hari ditanggung oleh ayah mertuanya. Permasalahan mengenai kehadiran anak dalam keluarga gabungan merupakan suatu permasalahan yang bisa dikatakan kompleks. Segi negatifnya berhubungan dengan pembiayaan financial yang harus ditanggung oleh kakek (ayah mertua), sedang segi positifnya adalah keluarga gabungan memungkinkan seorang ibu mendapat bantuan dari perempuan-perempuan lainnya dalam keluarga gabungan tersebut yang sudah berpengalaman sebelumnya dalam hal pengasuhan anak. Minturn serta Hitchcock meneliti mengenai fenomena kehadirannya suatu anak dalam suatu keluarga gabungan di India pada tahun 1963, dan mereka menyimpulkan bahwa keluarga gabungan yang terjadi di India memungkinkan seorang ibu baru mendapatkan banyak bantuan dari anggota perempuan dalam keluarga gabungan berkaitan dengan pengasuhan anak. Anak yang dibesarkan dalam keluarga gabungan cenderung lebih mudah menyesuaikan dirinya serta mempunyai kekebalan penyakit yang lebih tinggi (jarang sakit) karena penanganan dini terhadapnya bersifat segera. Ibu baru yang menjadi anggota keluarga gabungan pun mempunyai rasa kekhawatiran yang rendah, karena ibu ini mempunyai banyak teman dan ilmu yang bisa diandalkan terkait dengan pengasuhan anaknya. Anak yang dibesarkan dalam keluarga gabungan cenderung lebih mudah beradaptasi, serta mereka akan mewarisi nilai-nilai yang diturunkan dari keluarga gabungan tersebut. Selain itu, kemampuan bersosialisasi anak-anak yang dibesarkan dalam keluarga gabungan juga lebih baik daripada kemampuan sosialisasi anak-anak yang dibesarkan dalam suatu keluarga inti. Waktu yang tepat untuk Memiliki Anak: Tahap Penambahan Anak Ketika suatu keluarga memperoleh anak pertama kalinya, maka pertambahan anak cenderung akan mengalami tahapan perulangan. Meskipun dalam kasus perkecualian terhadap penambahan jumlah keluarga terjadi dalam jumlah banyak sekalipun (misalnya anak kembar) maka perencaan terhadap penambahan jumlah keluarga merupakan suatu hal yang harus dirundingkan serta direncanakan sebelumnya. Hal ini disebabkan karena semakin banyak jumlah pertambahan anggota keluarga baru, maka semakin besar krisis yang ditimbulkan, baik krisis emosional, krisis mental, maupun krisis finansial akibat dari penambahan jumlah anggota keluarga baru tersebut. Dalam bagian ini, maka akan diterangkan beberapa contoh kasus penambahan jumlah anak tanpa perencanaan terlebih dahulu.

Anak hasil Hubungan Tanpa Pernikahan Dalam budaya keluarga Karibia, maka pasangan yang mempunyai anak tidak diwajibkan untuk melakukan pernikahan terlebih dahulu. Anak-anak yang dilahirkan dari pasangan ini adakalanya merupakan anak-anak yang tidak diinginkan. Hal ini tidak dianggap sebagai suatu hal yang tabu disana, sehingga tidak berakibat apapun terhadap tatanan masyarakat. Liebow melihat bahwa laki-laki kulit hitam yang tidak terikat pernikahan di Washington secara lazimnya melakukan suatu ikatan keluarga semu dengan perempuan yang dihamilinya serta anak yang dihasilkannya. Keputusan mempunyai anak ini merupakan kesepakatan mereka berdua sebelumnya, di mana ketika mereka memutuskan untuk memiliki anak, maka mereka akan berhenti memakai alat kontrasepsi. Keputusan ini juga berkaitan dengan kesepakatan antara pasangan tersebut bahwa apapun yang terjadi, maka mereka akan terikat satu sama lain. Hal ini menyebabkan penggunaan kontrasepsi menjadi suatu hal yang longgar (seringkali pemakaian alat kontrasepsi tidak dipakai sama sekali). Meskipun pasangan ini sebenarnya hanya menginginkan hubungan tanpa pernikahan dengan tujuan kepuasan seks, namun kehadiran anak sebenarnya bukan tujuan dari pasangan seks bebas ini. Anak yang dilahirkan dalam ikatan keluarga semu dimana ayah anak tersebut belum bisa memastikan apakah tetap akan bersama dengan ibunya atau tidak, tak bisa disebut sebagai anak haram. Ketika seorang perempuan mempunyai keputusan untuk masuk dalam suatu hubungan yang memperbolehkan aktivitas seksual tanpa ikatan pernikahan, maka pada saat itulah seorang perempuan harus memikirkan kemungkinan bahwa sewaktu-waktu ia bisa mengandung hasil dari aktivitas seksualnya tersebut. Ketika seorang laki-laki yang terlibat dalam aktivitas seksual tersebut tidak mau bertanggung jawab, maka pada saat itulah seorang perempuan harus bersiap menjadi orangtua tunggal bagi anak-anaknya. Untuk menghindari kemungkinan tersebut, maka seorang perempuan yang tidak menikah dan memutuskan untuk masuk dalam hubungan seksual tanpa pernikahan harus menetapkan secara jelas dengan pasangannya, bagaimana jika seorang anak lahir, siapakah orang yang bisa dimintai tolong, dan apa yang harus dilakukan oleh perempuan tersebut ketika ia mengandung. Dalam suatu tatanan masyarakat yang mengakui adanya keberadaan perempuan yang mempunyai anak tanpa adanya ikatan pernikahan secara sah, maka keberadaan ayah diperlukan bukanlah sebagai pendukung financial saja, namun hanya sebagai symbol bahwa perempuan yang melahirkan anak tersebut bukanlah seorang perempuan yang tak terhormat. Seorang perempuan yang bisa membangun suatu hubungan dengan laki-laki yang mau bertanggung jawab untuk mengurus anak yang kelak akan dilahirkannya adalah perempuan yang beruntung. Meskipun keluarga semu (seorang ibu dan anak saja) tetap ada dari masa ke masa dan menunjukkan kecenderungan untuk mengalami peningkatan akibat banyakanya perempuan yang mandiri dan dapat berjalan tanpa bantuan dari seorang laki-laki sekalipun, namun struktur dalam keluarga tersebut tidak bisa dikatakan sebagai suatu keluarga yang utuh. Ketidak adaan seorang ayah dalam keluarga tersebut menghilangkan esensi dari keluarga itu sendiri di mana pada akhirnya hal ini akan berpengaruh terhadap kepribadian anak yang dibesarkan dalam situasi keluarga semu tersebut. Pembuahan Sebelum Ikatan Perkawinan Terlaksana Seperti yang kita lihat pada contoh-contoh sebelumnya, maka pasangan yang tidak terikat pernikahan di Amerika yang hamil sebelum menikah akan melakukan pernikahan untuk mengatasi masalah tersebut. Terlepas dari menikah atau tidaknya pasangan tersebut, maka selalu ada dua jenis penyebab kehamilan, yakni kehamilan yang diinginkan dan kehamilan yang tidak diinginkan. Kehamilan akan membawa kepada kondisi krisis, ketika ada seorang perem-

puan yang ingin mempertahankan kehamilannya yang mempunyai pasangan yang tidak mau mempunyai anak. Pembedaan yang bisa didapatkan dari perkawinan yang dilakukan ketika mempelai perempuan dalam keadaan hamil adalah, apakah pernikahan tersebut dilaksanakan ketika perempuan hamil di awal kehamilan (perut masih belum nampak buncit; sekitar 1-4 bulan) atau pernikahan yang dilakukan ketika kehamilan mulai memasuki usia lanjut (antara 5-9 bulan, di mana kondisi kehamilan mulai nampak secara fisik). Alasan untuk melakukan penundaan perkawinan juga beragam, mulai dari ketidak mampuan secara ekonomi, tekanan social, serta keputusasaan pasangan ketika aborsi mengalami kegagalan. Penelitian yang dilakukan oleh Christensen (1960) yang berlokasi di Kopenhagen yang meneliti mengenai pasangan Denmark yang tidak menikah, menyimpulkan bahwa pernikahan yang dilandasi oleh kehamilan yang tidak diinginkan sangat rawan terjadi perceraian. Hal ini bisa jadi karena tekanan yang melandasi terjadinya pernikahan tersebut yakni perkawinan atas paksaan salah satu pihak. Christensen menyimpulkan bahwa dalam pasangan yang melakukan perkawinan secara normal (bukan karena kehamilan perempuan) maka mereka mempunyai waktu yang lama untuk memperkuat pernikahan tersebut sebelum memutuskan untuk mempunyai anak. Hal yang berbeda terjadi pada pasangan yang menikah karena perempuan telah hamil, maka antara pasangan tersebut hanya mempunyai sedikit waktu untuk mengenal satu sama lain, dan kelahiran bayi justru akan merenggangkan ikatan pasangan tersebut. Dengan demikian, apapun keputusan yang diambil, apakah mau menikah atau tidak kehadiran dan kesepakatan merupakan suatu hal yang harus didiskusikan terlebih dahulu oleh pasangan tersebut. Pembuahan yang terjadi segera setelah perkawinan terlaksana Pembuahan ketika perkawinan terlaksana merupakan suatu hal yang jauh berbeda dengan perkawinan yang dilakukan ketika perempuan dalam kondisi hamil pada trimester awal kehamilan misalnya. Jika berbicara moralitas, maka jenis perkawinan inilah yang diakui secara social maupun secara moral. Christensen dan Meissner (1953) menyimpulkan bahwa pasangan yang mempunyai anak di mana anak yang dilahirkan tersebut dibuat ketika perkawinan telah selesai dilaksanakan, maka kesempatan untuk mempertahankan ikatan perkawinan juga semakin besar. Hal ini disebabkan berdasarkan penelitiannya di Indiana menyatakan bahwa jumlah pasangan bercerai setelah terjadinya pembuahan pada hari ke 266-391 setelah pernikahan adalah sebanyak 9,1 persen, sebanyak 7,1 persen pasangan bercerai mulai hamil pada hari ke-267391 setelah pernikahan, serta hanya 5,8 persen pasangan bercerai yang mulai hamil setelah ke531 hari pernikahan. Hasil yang sama juga ditunjukkan oleh Dyer (1963). Dyer menyatakan bahwa pasangan yang dikaruniai anak pertama kurang dari tiga tahun usia pernikahan akan mengalami krisis pengasuhan anak sebanyak 32 persen. Jika diteliti pada kekuatan ikatan perkawinan, maka Dyers mendapat hasil bahwa hanya 20 persen pasangan dikatakan mempunyai ikatan perkawinan yang kuat, di mana sebelumnya mereka telah mengalami penyesuaian satu sama lain lebih lama sebelum memutuskan untuk mempunyai anak. Sebaliknya, 82 persen ikatan perkawinan pada suatu pasangan dikatakan lemah oleh Dyers. Menurutnya, hal ini disebabkan karena kurangnya fase penyesuaian pada pasangan tersebut sebelum keduanya memutuskan untuk mempunyai anak. Pada akhirnya, Dyers menyimpulkan bahwa semakin lama waktu penyesuaian yang dilakukan oleh kedua pasangan untuk mengenal satu sama lainnya sebelum mereka memutuskan mempunyai anak, maka semakin besar kemungkinan perkawinan mereka kuat dan bertahan lama. Perkawinan yang kuat dan bertahan lama ini mempunyai efek positif, yaitu semakin rendah krisis pengasuhan yang akan menimpa anak. Penundaan untuk memiliki keturunan tidak hanya memperkuat hubungan antara suami dan isteri, namun juga memperkuta hubungan antara orangtua dan anaknya. Morgan (1962)

10

meneliti bahwa semakin muda pasangan tersebut menikah, maka semakin rendah pendidikan yang akan diperoleh anaknya kelak. Sebaliknya, semakin matang pasangan menikah, maka semakin tinggi pendidikan yang akan diperoleh anak-anaknya. Hal ini didasari oleh alasan, yakni pasangan yang melakukan pernikahan di usia yang telah matang pada umumnya telah mempunyai kestabilan emosi maupun financial, dan menggunakan logika dalam pengambilan keputusan. Pendidikan yang tidak komplit akan dialami oleh anak-anak yang mempunyai ayah yang belum sampai pada usia 21 tahun, sehingga ketika anak tersebut lahir, maka orangtua dan anak, keduanya sama-sama menderita. Jarak kelahiran antara anak yang satu dengan anak lainnya Semua argument yang muncul mengenai jarak yang pas antara kelahiran anak yang satu dengan yang lainnya belum bisa disimpulkan secara akurat, namun para ahli mengatakan bahwa jarak kelahiran tersebut tidak boleh terlalu dekat intervalnya, namun juga tidak boleh terlalu jauh. Penelitian menunjukkan bahwa semakin jauh jarak kelahiran antara anak yang satu dengan yang lainnya, maka seorang ibu merasa jauh lebih siap. Ibu ini seringkali tidak memerlukan bantuan berarti (pengasuhan sendiri) karena anak sebelumnya mampu dilepas seorang diri. Studi yang sama menunjukkan nahwa semakin jauh jarak kelahiran antara anak yang satu dengan anak yang lain, maka semakin hangat kasih saying yang diberikan oleh ibu kepada anak yang baru lahir tersebut. Hal ini disebabkan karena anak sebelumnya telah mengerti bahwa ia mempunyai seorang adik, sehingga anak ini tidak cemburu berlebihan terhadap adik barunya tersebut. Townsend (1957) menyatakan bahwa keluarga yang memberi jarak panjang antara kelahiran anak yang satu dengan anak yang lainnya, maka semakin singkat waktu yang digunakan oleh orangtua membesarkan anak tersebut. Anak-anak yang lahir berdekatan dengan usia orangtuanya pension, misalnya, maka anak-anak tersebut akan cenderung menjadi anakanak yang mandiri serta tidak terlalu bergantung pada orangtuanya dari segi financial ketika mereka dewasa kelak. Kematian Anak: Perkembangan keluarga yang tertunda Ada semacam asumsi mendasar yang menyatakan bahwa anak merupakan salah satu fondasi suatu keluarga dapat disebut dengan nama keluarga. Suatu keluarga yang hanya terdiri dari sepasang suami isteri saja belum bisa disebut dengan keluarga, hanya bisa disebut sebagai pasangan. Anak-anak merupakan suatu hal yang sangat berharga, sehingga hal-hal kecil yang menyangkut keselamatan anak sangat diperhatikan oleh orangtuanya. Kematian anak, baik di usia dini atau usia yang lebih besar akan sangat menggoncangkan emosi orangtuanya. Pada bagian ini, akan dijelaskan mengenai masalah kematian anak dan bagaimana dampaknya terhadap keluarga yang ditinggalkannya. Upaya untuk menanggulangi kematian bayi Dalam suatu negara yang berkembang, maka pertumbuhan penduduk yang menanjak merupakan suatu masalah tersendiri. Pasangan di negara berkembang, menginginkan anakanak yang banyak, karena pada nantinya anak-anak ini akan menjadi angkatan tenaga kerja baru. Penggunaan alat kontrasepsi di negara berkembang juga merupakan suatu hal yang sering kali tidak dipatuhi sceara sungguh-sungguh. Biasanya, seorang perempuan di negara berkembang menginginkan anak dalam jumlah tertentu yang tak terlalu besar, namun karena ketidak disiplinan serta pola pikir mereka yang masih tradisional, maka jumlah anak ini hanya menjadi sebatas wacana, tanpa adanya pengambilan keputusan yan jelas dari pihak perempuan itu sendiri. Stycos dan Black yang mengadaakan riset di Jamaika mengatakan bahwa terdapat konsep perbedaan yang teramat besar mengenai keluarga besar di Jamaika dengan keluarga besar di Amerika. Keluarga besar di Amerika menganggap bahwa keluarga besar merupakan suatu

11

keluarga yang terdiri atas dua atau tiga anak, sedangkan konsep keluarga besar di Jamaika adalah ketika keluarga tersebut memiliki lebih atau antara delapan sampai sembilan anak. Jika anak dalam keluarga kurang dari delapan, maka keluarga tersebut tidak bisa dikatakan sebagai keluarga besar. Fenomena perempuan di negara-negara berkembang yang memiliki banyak anak, sering disebabkan karena ketakutan mereka jika anak-anak yang mereka punyai tidak mampu bertahan hidup untuk waktu yang lama. Sehingga, mereka cenderung mempunyai anak banyak sebagai cadangan, jika sewaktu-waktu salah satu atau beberapa anak yang dimiliki oleh keluarga tersebut meninggal, maka keluarga tersebut masih memiliki anak-anak yang lain. Mekanisme bertahan dari kekurangan anak ini disebabkan karena banyaknya perempuan dari negaranegara berkembang yang mengalami trauma atau pemikiran yang negatif, yakni bagaimana jika sewaktu-waktu anak mereka meninggal. Pemikiran ini kemudian diikuti oleh para perempuan yang lain, sehingga penambahan anak dalam jumlah besar merupakan suatu hal yang lazim ditemui di negara-negara berkembang, di mana angka kematian bayi masih relatif tinggi. Ketidak yakinan terhadap hidup anak Dalam negara berkembang yang angka kematian bayinya sedemikian besar, maka orang tua mempunyai keyakinan untuk memiliki anak dalam jumlah yang banyak. Hal ini didasari karena keyakinan mereka, bahwa bisa jadi anak yang ia punyai suatu saat akan meninggal karena suatu penyakit tertentu. Manifestasi dari keyakinan seperti ini menimbulkan dua konsekuensi, yakni mereka menambah anak setiap tahunnya, karena jika salah satu anak meninggal, maka mereka mempunyai anak yang lain dan tidak perlu membesarkan anak tersebut sejak awal. Selain itu, orangtua yang mempunyai keyakinan demikian namun ditakdirkan untuk mempunyai anak yang sedikit (misalnya hanya dua atau tiga anak) pada umumnya akan bersikap terlalu berhati-hati atau terlalu melindungi (overprotective) terhadap anaknya. Ketidak yakinan terhadap hidup anak juga menunjukkan adanya kecemasan terhadap kondisi kesehatan ibu dan anak pada zamannya. Hal ini dikemukakan oleh Aries (1962) yang mengutip percakapan ibu yang baru melahirkan dan orang yang membantu melahirkan (bidan). Ibu tersebut menyatakan bahwa ia telah mempunyai lima orang anak, sang bidan kemudian menambahkan, semoga mereka bisa tumbuh besar sehingga mereka bisa menolongmu. Namun bisa jadi kamu akan kehilangan separuh dari mereka atau bahkan semua dari mereka. Di distrik Rajput India, yang mempunyai angka kematian bayi yang sangat tinggi pada zamannya, selalu terlihat bahwa mereka sedemikian besarnya memanjakan anak-anaknya ketika kecil. Mereka memakaikan kalung emas pada anak, supaya anak tersebut senang serta terlihat cantik, dan tak lupa memakaikan kalung dan gelang doa dari tetua adat supaya anak tersebut tidak dihinggapi suatu penyakit apapun. Ketika berdiskusi dengan seorang ibu, maka ibu India ini selalu cemas bila suatu saat nanti anaknya akan diambil dewa darinya. Seorang ibu lain yang telah kehilangan dua anak perempuan, selalu memakaikan baju yang bagus dan cantik kepada anak perempuannya yang lain yang masih hidup. Ibu ini berkeyakinan jika ia menunjukkan kasih sayang sedemikian besar terhadap anaknya, maka sang dewata tidak akan mengambil anak tersebut. (Minturn dan Hitchcock 1963: 285) Ukuran keluarga: Batas maksimum anggota keluarga Pada umumnya keluarga akan mencapai batas maksimal anggota keluarga yang bisa mereka tangani. Seperti contohnya, ada suatu keluarga yang memilih untuk tidak memiliki anak karena merasa tidak sanggup untk memiliki anak, namun ada keluarga lain yang menyatakan bahwa mempunyai dua belas anak adalah suatu hal yang biasa. Pendekatan sosiologi digunakan untuk mempelajari bagaimana suatu ukuran keluarga dapat mempengaruhi struktur keluarga

12

dan perilaku keluarga tersebut. Dari beberapa studi, maka sosiolog berusaha meneliti dari berbagai macam keluarga yang bervariasi, serta dari berbagai macam jumlah anggota keluarga yang bervariasi pula. Desentralisasi Pada keluarga yang besar, maka ada kecenderungan dalam keluarga tersebut untuk terbagi ke dalam grup-grup yang lebih kecil. Grup ini tidak bersifat permanen, namun seringkali berkelompok atas dasar tujuan dan fungsi tertentu. Penelitian yang dilakukan oleh Bossard dan Boll pada tahun 1956 menunjukkan bahwa dalam satu keluarga besar (yang terdiri atas enam anggota keluarga atau lebih), maka ada anggota keluarga dalam keluarga tersebut membentuk grup-grup kecil yang terdiri atas dua sampai tiga orang. Hal ini menunjukkan bahwa sebenarnya secara natural manusia merupakan mahluk yang egois, di mana semakin banyak anggota keluarga, maka semakin sulit mewujudkan ego tersebut. Dengan demikian, untuk bisa mengelola ego mereka, maka anggota keluarga mempunyai kecenderungan untuk berkelompok. Dalam kejadian sosial yang bisa kita amati sehari-hari, maka selalu ada kecenderungan manusia untuk berkelompok. Dengan berkelompok dengan orang yang mereka sukai, maka suatu hal yang rumit bisa diatasi bersama karena mempunyai perspektif yang sama. Misalnya, suami isteri akan lebih mudah mengurus anak-anak mereka dalam suatu keluarga inti, dalam suatu manajemen perusahaan, maka perusahaan tersebut akan membagi pengelolaan keuangan mereka pada orang-orang yang berkompeten untuk itu, dan contoh lainnya dalam suatu pesta, maka orang-orang yang menghadiri pesta tersebut akan mengelompok sendiri-sendiri sesuai dengan kecocokan mereka satu sama lain. Desentralisasi juga terjadi pada suatu keluarga. Keluarga yang mempunyai anak-anak yang banyak (misalnya lebih dari tiga anak atau lebih), akan membentuk persekutuan kecil atas dasar kecocokan anak-anak tersebut satu sama lain. Suami dan isteri merupakan poros dari keluarga tersebut, dan anak-anak yang berkelompok tersebut seolah-olah merupakan bagian dari keluarga tersendiri yang ditambahkan ke keluarga tersebut. Fakta bahwa anak-anak yang dilahirkan dalam suatu keluarga tidak lahir secara serentak, serta ada diferensiasi jenis kelamin menjadikan anak-anak yang lahir dalam keluarga tersebut cenderung untuk berkelompok ke dalam grup yang memiliki kesamaan dengannya (misalnya grup anak-anak yang telah dewasa, grup anak-anak perempuan, grup anak-anak yang masih kecil, dan sebagainya). Bossard dan Boll (1956) melakukan penelitian ini terhadap keluarga yang memiliki lima anak atau lebih, di mana mereka menemukan bahwa anak-anak ini berkelompok sesuai dengan kesamaan jenis kelamin serta kesamaan umur. Penelitian ini juga menunjukkan semakin banyak jumlah anggota keluarga, maka semakin banyak pula grup-grup kecil yang terbentuk. Akan tetapi, dalam penelitian ini juga mengemukakan bahwa grup kecil yang stabil pembentukannya jarang terjadi. Alasan-alasan utama misalnya jenis kelamin yang sama, rata-rata umur yang sebaya, tidak bisa menjadi alasan mutlak bahwa grup kecil ini selalu tetap. Salah satu bukti kuat mengenai kesulitan untuk pengelolaan keluarga besar adalah studi yang dilakukan Blake di Jamaika (1961). Blake melihat bahwa separuh dari perempuan Jamaika berhutang kepada kerabat atau teman-temannya ketika anak-anaknya mulai beranjak dewasa yang tentunya membutuhkan banyak makanan dan pakaian. Blake menyatakan bahwa bisa jadi ketika anak-anak terdahulu mulai remaja, adik-adik mereka yang masih kecil dan baru lahir membutuhkan biaya yang tidak sedikit pula. Stycos dan Back (1964) mengemukakan bahwa semakin miskin suatu keluarga dan semakin banyak anggota keluarga, maka semakin rendah peluang orangtua dalam keluarga tersebut untuk membesarkan anak-anak mereka di rumah. Semakin buruk ikatan suami isteri, maka kemungkinan besar anak-anak tersebut akan dititipkan di rumah kerabat atau tidak

13

terlalu diperhatikan perawatannya. Dengan demikian, kemampuan keluarga untuk memiliki anak dalam jumlah tertentu sangat bergantung pada kekuatan pernikahan serta dukungan finansial yang memadai. Seorang ibu yang mempunyai jumlah anak yang banyak, seringkali tidak bisa secara optimal memberikan perhatian yang sama kepada anak-anaknya. Anak-anak yang menonjol, baik menonjol karena kelebihan maupun kekurangan dan anak-anak yang beranjak dewasa seringkali mendapatkan perhatian yang lebih dari ibu mereka dibandingkan dengan anak-anak yang lain. Seringkali anak-anak yang mempunyai kepribadian yang introvert justru menutup diri dari ibu mereka. Townsend memperoleh hasil penelitian, bahwa semakin banyak anak, maka semakin sedikit kontak atau perhatian yang diberikan oleh orang tua mereka. Seringkali tanpa disadari, minimnya kontak membuat anak-anak memutuskan untuk pergi dari rumah, menikah di usia dini, atau hal-hal lain yang bertujuan untuk mencukupi kebutuhan kasih sayang tersebut. Anak-anak yang keluar dari rumah serta bergabung dengan suatu masyarakat akan kembali dekat dengan orang tuanya ketika mereka telah menjadi sosok yang dewasa serta merupakan salah satu bagian dari anggota masyarakat secara keseluruhan. Budaya seringkali menyumbang faktor, mengapa seorang anak lebih diistimewakan daripada anak-anak yang lain. Budaya patriarki yang menempatkan anak laki-laki dalam posisi sebagai penerus garis keturunan keluarga, maka kedudukan anak laki-laki jauh lebih tinggi daripada anak perempuan. Rosenberg (1958) yang meneliti suatu desa Arab di Palestina mengemukakan bahwa anak laki-laki baik yang sudah menikah atau belum menikah selalu hidup bersama dengan orang tuanya. Hal ini menunjukkan bahwa suatu masyarakat yang berasal dari budaya patrilineal akan cenderung untuk mengikat anak laki-laki supaya tinggal bersama dengan orang tuanya selamanya. Ikatan kekeluargaan pada keluarga yang kecil jauh lebih kuat daripada ikatan kekeluargaan dalam suatu keluarga besar. Douvan dan Adelson (1966) menyatakan bahwa remaja yang berasal dari keluarga kecil cenderung lebih dekat dengan orang tuanya dibandingkan dengan remaja yang berasal dari keluarga besar. Remaja yang berasal dari keluarga besar keluarga dengan jumlah anak lebih dari tiga anak) akan cenderung untuk menghabiskan usia remaja mereka dengan teman-teman sebaya mereka daripada bersama orang tua mereka. Penelitian lainnya yang berusaha menunjukkan bahwa anak-anak yang berasal dari keluarga dengan jumlah anggota keluarga yang terbatas (tidak lebih dari tiga orang) menunjukkan motivasi belajar yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan anak-anak yang berasal dari keluarga besar (Rosen, 1961), dan anak-anak yang berasal dari keluarga kecil juga mempunyai intelegensia yang lebih tinggi dibanding dengan anak-anak yang berasal dari keluarga besar (Lipset dan Bendix, 1962), serta angka putus sekolah anak-anak yang berasal dari keluarga kecil jauh lebih rendah daripada anak-anak yang berasal dari keluarga besar (Morgan, 1962). Penelitian perbandingan mengenai anak-anak dari jumlah keluarga yang berbeda juga dikemukakan oleh Blau dan Duncan (1967), mereka mengemukakan bahwa anak-anak yang berasal dari keluarga kecil lebih mudah mendapatkan pekerjaan bila dibandingkan dengan anak-anak yang berasal dari keluarga besar. Dengan demikian, maka bisa ditarik kesimpulan bahwa semakin banyak jumlah anggota keluarga, maka semakin besar pula kesulitan yang akan dihadapi oleh keluarga tersebut. Meskipun dalam prakteknya mereka tinggal bersama, maka anak-anak akan lebih cenderung untuk berkelompok, sehingga orang tua tidak bisa menjalin kedekatan intensif dengan mereka. Mitos orang-orang zaman dahulu yang menyatakan bahwa banyak anak banyak rejeki merupakan suatu mitos yang hanya digunakan untuk menutupi kondisi sesungguhnya.

14

Pembedaan Berdasar pada proposisi sebelumnya, maka suatu keluarga yang mempunyai keluarga besar, cenderung untuk berkelompok menjadi grup-grup kecil berdasarkan kepentingan dan motif tertentu. Pertanyaan berikutnya adalah, apakah orang tua memperlakukan anak-anak yang tergabung dalam grup-grup kecil ini secara adil dan berimbang? Jika suatu keluarga berkembang secara cepat, maka ada beberapa kemungkinan bahwa keluarga ini akan memperlakukan anak-anak mereka secara seimbang. Akan tetapi, fakta yang ada terkadang sulit mewujudkan hal ini. Jarak umur antara anak terbesar dan anak terkecil sering kali terlalu berjauhan. Bahkan sering ditemui, anak terbesar telah menikah dan mempunyai keluarga sendiri, dan anak terkecil baru lahir kemudian. Anak-anak yang berada di posisi sebagai anak-anak tengah merupakan pihak yang akan dipaparkan dalam bagian ini. Anak tengah merupakan penghuni keluarga yang paling merasakan dampak dari bertambahnya adik-adik baru dan perlakuan yang seringkali tidak sama antara dirinya dengan anak-anak yang lain. Pembedaan antara anak pertama dengan anak terakhir seringkali sangat signifikan. Cob dan French (1966) meneliti tentang mahasiswa kedokteran di University of Michigan, dan mereka menemukan bahwa anak-anak bungsu mempunyai kemampuan akademik yang kurang dibandingkan dengan anak-anak pertama. Hasil penelitian menunjukkan, sebanyak 33 persen dari anak bungsu yang berasal dari keluarga dengan dua anak mempunyai kekurangan dalam kemampuan akademik, 68 persen anak bungsu dari tiga bersaudara memiliki kekurangan akademik, dan 95 persen anak bungsu dari keluarga yang mempunyai epat anak atau lebih mempunyai kekurangan dalam hal akademik. Cobb dan French mencoba menganalisis mengapa hal ini bisa terjadi pada anak bungsu, dan mereka menemukan bahwa hal ini berkaitan dengan kebiasaan yang diterapkan oleh orang tua terhadap anak pertama bila dibandingkan dengan anak bungsu. Anak pertama dibiasakan untuk mandiri serta hidup menderita. Humphreys (1966) yang meneliti di Irlandia serta Bossard dan Boll (1956) yang meneliti di pedesaan Amerika mengemukakan bahwa anak pertama seringkali mendapat tugas untuk membantu orang tua. Anak laki-laki harus bersekolah tinggi serta bekerja dan mencari uang untuk membiayai adikadiknya, sedangkan anak perempuan dibiasakan untuk membantu ibunya dalam mengasuh adik adiknya yang masih kecil. Rosser dan Harris yang meneliti di Wales, Inggris menyatakan bahwa anak perempuan terbesar harus bertanggung jawab untuk mengurusi adik-adiknya yang masih kecil, merawat dan mengasuh mereka seperti yang dilakukan oleh ibunya, sementara ibu dari anak-anak tersebut harus menghadapi kehamilan secara terus menerus. Dalam enam masyarakat yang berbeda, Minturn dan Lambert mengemukakan bahwa semakin banyak anak dalam suatu keluarga, maka semakin besar tanggung jawab yang harus diterima oleh anak pertama dalam keluarga tersebut. Ketika kondisi finansial keluarga dalam keadaan yang cukup, maka anak pertama terutama perempuan, hanya diberikan tugas untuk mengurusi urusan rumah tangga. Akan tetapi, ketika kondisi finansial keluarga dalam kondisi yang buruk, anak pertama tersebut diberikan tanggung jawab oleh orang tuanya untuk mencari nafkah. Lambiri (1965) menemukan bahwa anak-anak perempuan pertama seringkali disuruh orangtua mereka untuk menjadi buruh di pabrik tekstil. Hal ini dilakukan selain untuk menghidupi keluarganya, juga untuk membayar sendiri mas kawin mereka, terutama jika mereka berasal dari budaya yang mewajibkan anak-anak perempuan membayar mas kawin (misalnya seperti di India). Blau dan Duncan (1967) menemukan bahwa anak-anak pertama seringkali kurang mendapat pendidikan yang bagus, serta tidak mendapat pekerjaan yang bagus pula, jika dibandingkan dengan adik-adik mereka (anak yang lahir kemudian). Pembedaan seperti ini merupakan pengorbanan tersendiri yang harus diterima oleh anak pertama dalam berbagai

15

tatanan masyarakat karena masyarakat menghendaki anak pertama harus mengemban tugas seperti itu. Semakin banyak anggota dalam suatu keluarga, maka semakin banyak pula pembedaan peran antara suami dan isteri dalam keluarga tersebut. Ketika suami isteri tersebut hanya memiliki kurang dari tiga anak, maka tanggung jawab mereka masih jelas dapat dilihat. Suami bekerja mencari nafkah, sedangkan isteri mengurus anak-anak. Akan tetapi, ketika jumlah ini bertambah, maka pembedaan tugas tidak lagi akan jelas terlihat. Suami bisa saja mempunyai tanggung jawab untuk mengurus anak-anak yang lebih besar, sedangkan isteri harus mengurus anak-anak yang baru saja dilahirkannya, dan anak-anak yang lebih kecil lainnya. Kecenderungan pembagian tugas yang disebabkan karena bertambahnya jumlah anggota keluarga telah ditemukan oleh Mott (1965). Ia menemukan bahwa seorang ayah yang mempunyai anak lebih dari dua orang akan mencari penghasilan lain di luar pekerjaan tetapnya. Dengan demikian, seorang ayah yang mempunyai keluarga besar mempunyai profesi tiga macam, yakni pekerja, pekerja paruh waktu, dan membantu isterinya mengasuh anak-anak. Hubungan keluarga yang merenggang Suatu keluarga besar tidak hanya mendapat masalah berupa anak-anak yang berkelompok, pembedaan kasih sayang anak-anak, namun juga keluarga ini terancam dengan hubungan antar anggota keluarga yang merenggang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tekanan yang dialami oleh suatu keluarga akan bertambah seiring dengan pertambahan jumlah anggota keluarga tersebut. Hubungan keluarga yang merenggang ini diakibatkan oleh kurangnya kepuasan pasangan dan kondisi finansial keluarga yang menipis karena banyaknya anak-anak yang harus dihidupi. Penelitian di Tokyo oleh Blood (1967) menunjukkan bahwa tingkat kepuasan isteri di Tokyo semakin menurun seiring ddengan bertambahnya jumlah anak. Hal ini semakin terlihat secara signifikan ketika kondisi finansial keluarga tersebut juga dalam posisi rendah. Studi di Amerika menunjukkan tingkat kepuasan isteri tidak terlalu berpengaruh dengan jumlah anak. Hal ini kemungkinan karena isteri di Amerika kebanyakan ikut bekerja sehingga kejenuhan dan kesempitan ekonomi dapat teratasi. Mengapa tingkat kepuasan pernikahan berkaitan dengan anak sangat bergantung pada faktor sempit atau tidaknya kondisi ekonomi suatu keluarga? Hal ini bisa terjadi karena dengan kondisi ekonomi yang lebih leluasa, maka seorang isteri bisa menangani dan mengurusi anakanaknya dengan baik. Dengan mempunyai uang, maka seorang isteri bisa mempekerjakan pembantu rumah tangga, mempekerjakan pengasuh anak, mengajak anak-anak mereka berlibur, dan lain sebagainya. Sedangkan jika kondisi ekonomi keluarga sangat lemah, maka tugas isteri hanya berkutat pada rumah dan anak, sehingga tingkat kepuasan pernikahannya juga lemah. Kondisi sosial di Jepang menunjukkan bahwa pengasuh anak tidak hanya merupakan suatu hal yang langka dan juga mahal, namun pengasuhan anak oleh orang lain dianggap sebagai suatu hal yang secara sosial ditabukan. Seorang isteri Jepang dituntut untuk mengurusi anak-anaknya seorang diri, dan dilakukan secara serius, sehingga kedekatannya dengan suami seringkali menjadi renggang semenjak anak pertama lahir. Perempuan dalam suatu keluarga seringkali tidak hanya beroeran sebagai pengasuh anak-anak dalam keluarga intinya saja, namun juga cucu-cucunya. Era sebelum tahun 50-an, maka seringkali terjadi pernikahan dini dan baby booming. Seorang perempuan seringkali selain bertugas untuk merawat anak-anak yang baru dilahirkannya, ia juga harus merawat cucu-cucu yang dilahirkan oleh anak-anaknya yang telah menikah. Dengan kondisi demikian, seringkali pengasuhan yang dilakukan oleh seorang perempuan tidak bersifat intens dan optimal. Mereka seringkali hanya sekedar mengasuh anak namun efeksi yang terjalin antara keduanya bisa jadi sangat renggang. Minturn dan Lambert (1964) mengemukakan bahwa semakin banyak anggota

16

keluarga, maka semakin dingin perlakukan ibu terhadap anak-anaknya. 61 persen ibu yang mempunyai anak diatas tiga orang cenderung dingin terhadap anak-anaknya dan jarang memuji anak-anaknya, 68 persen menghukum anak-anak mereka, serta 58 persen membedabedakan perlakukan kasih sayang terhadap anak-anak mereka. Keluarga besar tidak hanya berpengaruh pada kerenggangan hubungan antara ibu dan anak, namun juga tugas tambahan yang harus diemban oleh seorang ayah. Landy yang meneliti di Puerto Rico mengemukakan bahwa seorang ayah di Puerto Rico marah dan kecewa jika bayi baru lahir dalam keluarga mereka, terutama setelah dua kali kelahiran anak. Seringkali para ayah ini kemudian berlaku seenaknya, misalnya dengan mengabaikan isteri serta anak-anaknya tersebut. Kasus di Puerto Rico misalnya, seorang ayah mengabaikan isteri dan anak keempatnya yang baru lahir dengan cara meninggalkannya ke kota. Isteri yang tidak bekerja serta anak yang masih kecil-kecil menyebabkan isteri yang masih lemah setelah melahirkan tersebut tidak mampu membayar biaya rumah sakit, tidak mampu memberi makan anak-anaknya, serta akibat minimnya asupan nutrisi yang ia butuhkan untuk menyusui anaknya, air susunya tidak keluar. Akibatnya, bayi yang baru lahir tersebut kekurangan nutrisi dan meninggal dalam usia kurang dari sebulan setelah kelahirannya. Keluarga besar juga membawa dampak terhadap anak-anak yang hidup dalam keluarga tersebut. Anak-anak yang besar seringkali harus membantu orang tuanya mengasuh dan mencari nafkah. Bossard dan Boll mengemukakan bahwa tak jarang, tanggung jawab pencarian nafkah yang dibebankan kepada anak pertama ini menghilangkan peluang anak-anak pertama untuk menikah. Anak-anak perempuan yang beranjak dewasa, yang seharusnya bergaul dengan teman-teman laki-lakinya akan mudah untuk mengenal satu sama lain dan kemudian memutuskan untuk menikah. Sedangkan dalam kasus anak perempuan dalam keluarga besar, maka mereka yang dibebani dengan tugas mengasuh adik-adiknya serta mencari nafkah, seringkali tidak mempunyai waktu luang untuk bersosialisasi dengan teman-teman sebayanya. Akibatnya, ketika anak perempuan tersebut berusia matang, hanya dirinya sendiri yang belum menikah sementara teman-temannya yang lain telah menikah dan mempunyai anak. Kondisi seperti ini diperparah dengan suatu tekanan yang diberikan oleh keluarga, bahwa anak perempuan itu merupakan harapan satu-satunya dalam keluarganya, di mana ia harus berkorban supaya orang tua dan adik-adiknya bisa hidup layak dan sejahtera. Anak perempuan yang dibebani dengan persepsi seperti ini seringkali harus tunduk pada realitas bahwa dirinya merupakan harapan keluarga serta harus mengesampingkan egonya untuk menikah dan membentuk suatu keluarga. Koordinasi dalam keluarga Dalam suatu keluarga besar, maka semakin sulit untuk membagi tugas antara anggota keluarga tersebut secara adil. Pembagian tugas terhadap anggota keluarga yang dirasakan tidak adil akan memicu konflik, namun jika tidak dilakukan pembagian tugas, maka konflik juga akan muncul. Dalam suatu kelompok apapun, maka konflik akan muncul ketika suatu pihak dapat menguasai salah satu sumber daya yang dibutuhkan oleh pihak lain. Konflik juga muncul jika keuangan keluarga dalam kondisi terbatas. Solusi yang sering terjadi adalah, kedua orang tua akan keluar rumah untuk bekerja seharian untuk mencukupi kebutuhan hidup keluarga dengan anak-anak yang banyak tersebut, sedangkan tugas-tugas di rumah tangga akan didelegasikan kepada anak-anak mereka sesuai dengan kemampuan dan usia mereka. Kekacauan akibat kurangnya koordinasi keluarga tidak hanya menimpa keluarga besar, namun juga sebenarnya bisa menimpa keluarga kecil. Akan tetapi, konflik yang terjadi dalam keluarga kecil akan lebih mudah diatasi karena anggota keluarga yang sedikit memungkinkan orang tua mereka untuk menasehati dan menyelesaikan masalah yang terjadi antara anakanaknya dengan baik. Dalam keluarga besar, koordinasi dalam pemberian tugas-tugas rumah

17

tangga terhadap anak-anaknya tersebut seringkali bersifat dominan, otoriter, dan merupakan suatu hal yang dipaksakan kepada anak-anak. Elder (1962) mengemukakan bahwa orangtua yang memiliki anak lebih dari tiga orang seringkali bersikap otoriter terhadap anak-anak mereka, di mana keputusan yang diambil sepenuhnya berasal dari kemauan orang tua. Penelitian otoritas orang tua pada keluarga besar juga dikemukakan oleh Bales, Hare, dan Borgatta (1957). Orang tua yang mempunyai anak-anak dalam jumlah yang banyak sering kali menggunakan metode mekanis atau menggunakan hukuman fisik dalam penanganan terhadap konflik di antara anak-anaknya. Orang tua dalam keluarga yang besar cenderung mengabaikan pengarahan yang sifatnya informatif. Hal ini bisa jadi dilatar belakangi oleh kondisi badan yang lelah akibat seharian bekerja mencari nafkah. Douvan dan Adelson juga mengemukakan bahwa orang tua yang mempunyai anak dalam jumlah yang banyak (lebih dari tiga orang) pada umumnya lebih sering menjatuhkan hukuman terhadap anak-anak mereka bila dibandingkan dengan orang tua yang hanya mempunyai sedikit anak. Tatanan dan pola pikir tradisional pada orang tua juga ikut menjadi penyebab mengapa anak-anak yang berada dalam keluarga besar sering mendapat hukuman baik secara fisik maupun secara verbal. Hal yang berlawanan terjadi, bahwa sebenarnya remaja yang terlalu sering mendapat hukuman cenderung menjadi anak-anak yang suka memberontak. Elder dan Bowerman (1963) menemukan bahwa keluarga dengan jumlah anggota keluarga yang banyak seringkali gagal dalam mendisiplinkan anak. Anak-anak yang besar dan menginjak remaja mempunyai keleluasaan dalam bertindak, karena orang tua mereka sibuk mengawasi adik-adik mereka. Hal lain yang berkaitan dengan hukuman yang diterima oleh anak adalah peraturan yang harus ditaati oleh anak-anak. Pada keluarga yang mempunyai banyak anak, maka peraturan menjadi suatu hal yang bersifat paksaan. Tidak ada komunikasi yang intens mengapa suatu peraturan dibuat, karena komunikasi antara orang tua dan anak seringkali sangat jarang. Peraturan yang dibentuk berwujud peraturan yang rigid misalnya peraturan jam berapa harus mengerjakan pekerjaan sekolah, jam berapa boleh menonton televisi, serta tugas rumah tangga yang harus dikerjakan oleh anak-anak tersebut. Akibatnya suasana rumah menjadi suasana yang birokratis, di mana sistem kekeluargaan yang seharusnya longgar tidak mudah diterapkan. Akan tetapi, keluarga besar tidak hanya selalu negatif. Bila keluarga besar mempunyai manajer atau pengatur yang bagus, maka konflik dalam keluarga besar bisa diatasi. Bossard dan Boll (1956) memberikan contoh ibu rumah tangga dalam keluarga besar yang berhasil dan dapat dijadikan teladan adalah seperti Lillian Gilberth yang menjadi tokoh seorang ibu dalam film Cheaper than Dozen. Cara pengelolaan anak-anak yang banyak dalam suatu keluarga besar, seringkali menekankan sistem militer, di mana ada peraturan yang ketat, otoritas dari orang tua secara mutlak, hukuman secara fisik, dan kurangnya demokrasi antara anak terhadap orang tua. Namun dibalik itu, terdapat nilai-nilai yang mulai menghilang pada saat ini, terutama jika anak-anak dibesarkan dalam keluarga kecil. Orang tua saat ini yang mempunyai anak-anak yang sedikit, akan merasakan minimnya rasa hormat anak terhadap orang tua, ketidak takutan anak terhadap orang tua, serta anak-anak yang sulit diatur. Hal ini merupakan suatu hal yang jarang ditemui pada pendidikan orang tua pada zaman dahulu, sehingga sering kali orang tua pada saat ini merindukan sistem pendidikan yang diterapkan oleh orang tuanya pada masa itu. Kesibukan dalam keluarga Semakin banyak jumlah anggota dalam suatu keluarga, maka semakin sering keluarga tersebut mempunyai kesibukan dalam keluarga tersebut yang membuat anggota keluarga tidak mempunyai peluang untuk bertemu dengan orang-orang baru di luar keluarga tersebut. Hal ini bisa mengurangi kemampuan keluarga besar tersebut untuk mencari pertolongan atas kondisi finansialnya, misalnya, dengan cara meminjam pada kerabatnya yang lain. Banyak kemungkinan

18

yang sebenarnya bisa terjadi jika salah satu anggota keluarga dalam keluarga besar ini berkunjung ke rumah kerabat mereka. Rekomendasi untuk memberikan pertolongan bisa diberikan oleh kerabat, misalnya menjadi orang tua asuh bagi anak-anak dalam keluarga besar tersebut, memberikan makan, atau bantuan-bantuan material lainnya. Suatu keluarga besar yang kurang dalam hal finansial, pada umumnya menginginkan tempat yang lapang. Penelitian yang dilakukan terhadap perempuan Jamaika yang mempunyai anak lebih dari tiga orang, menyelidiki apa yang sebenarnya bantuan yang diinginkan oleh para perempuan Jamaika tersebut. Hasilnya adalah bantuan dalam mewujudkan rumah yang lebih lapang, bantuan secara finansial, serta bantuan untuk ikut mengasuh anak-anak mereka, terutama jika yang mengangkat anak-anak mereka berasal dari keluarga yang telah mampu secara ekonomi maupun keluarga yang tidak memiliki anak. Humphreys (1966) juga mengemukakan bahwa pola komunikasi yang dibangun pada keluarga yang memiliki banyak anak dengan kedekatan mereka dengan kerabat mereka sangat minim. Pada keluarga yang memiliki banyak anak, maka setelah anak-anak beranjak besar dan meninggalkan rumah lalu menikah, maka orang tua kembali akan disibukkan oleh kehadiran cucu mereka yang lahir kemudian, selain tentunya merawat anak mereka sendiri yang masih butuh perawatan. Kesibukan karena merawat anak ini juga tentunya akan mengurangi kiprah yang sekiranya bisa dilakukan oleh anggota keluarga dalam suatu tatanan masyarakat, misalnya ayah bisa berkiprah dalam kegiatan politik, atau ibu mengikuti kegiatan sosial, sedangkan anak-anak yang besar mengikuti kegiatan pramuka. Kiprah anggota keluarga dalam masyarakat jarang bisa ditemui dalam keluarga besar, karena kesibukan masing-masing dalam mengurusi anak-anak dalam keluarga tersebut. Anak yang menyimpang: Tanggung jawab tambahan Setiap anak yang normal dibebankan kepada keluarga mereka masing-masing, yang terdiri atas pengawasan orang tua serta anak-anak lainnya yang telah dewasa. Jika keadaan anak mengalami penyimpangan, serta orang tua dan kakaknya tidak mampu merubah penyimpangan anak tersebut, maka anak kemudian akan dibebankan pada masyarakat yang akan berusaha untuk merubah penyimpangan anak tersebut. Pada bagian ini akan dijelaskan mengenai anak-anak yang menyimpang dan latar belakang yang mendasari perilaku anak yang menyimpang tersebut. Institusi untuk menangani anak-anak menyimpang Banyak yang mengatakan bahwa kesulitan yang dihadapi keluarga besar dengan anakanak yang mengalami penyimpangan akan bertambah dua kali lipat. Keluarga akan menjadi renggang, koordinasi yang dilakukan menjadi terhambat, serta adanya kesibukan luar biasa untuk merubah perilaku anak yang menyimpang tersebut. Farber (1960) menyatakan bahwa jika terdapat salah satu anak yang mempunyai kelakuan menyimpang dalam suatu keluarga, maka dapat menyebabkan hubungan pernikahan terganggu. Konsep mengenai anak menyimpang merupakan anak yang sebenarnya normal, namun mempunyai kelakuan yang melebihi perilaku anak normal lainnya. Negara juga mempunyai hak untuk mengelola anak-anak menyimpang ini, terutama jika orang tua tidak mampu lagi mengatur anak berkelakukan menyimpang tersebut. Pada umumnya, keluarga dengan kondisi ekonomi yang terbatas akan memilih untuk menempatkan anak mereka yang menyimpang ke dalam institusi negara yang ditujukan untuk menangani anak-anak menyimpang tersebut (misalnya sekolah luar biasa). Hal ini dilakukan daripada harus menghancurkan hubungan yang terjalin antar anggota keluarga terutama yang memiliki anak-anak dalam jumlah yang banyak.

19

Dari keputusan orang tua untuk menempatkan anak menyimpang mereka ke dalam institusi sosial yang disediakan oleh negara, maka kemungkinan besar anak akan dipisahkan dan diasingkan dari keluarganya dalam waktu yang lama. Anak-anak yang mengalami mental terbelakang, maka mereka mungkin akan menjalani perawatan ini seumur hidup mereka sehingga mereka tidak bisa hidup bersama dengan orang tua mereka. Kasus lain misalnya pada anak-anak yang mengidap polio, maka anak-anak ini akan diasingkan sementara selama polio tersebut bisa ditangani. Pasien akan dikarantina, dan diberi menu diet ketat yang tidak mengijinkan pengidap polio makan makanan yang manis. Anak yang mengidap polio yang dirawat oleh orang tuanya sendiri sering kali tidak mematuhi anjuran ini dan tetap memberi anak-anak mereka makanan manis, sehingga bisa membahayakan kondisi anak itu sendiri. Penanganan lainnya terhadap anak-anak yang mengalami penyimpangan juga dicatat oleh Farber. Ia menemukan bahwa tidak selamanya orang tua memilih untuk memasukkan anak-anak mereka yang menyimpang ke dalam institusi sosial yang disediakan oleh negara, namun orang tua tersebut mempekerjakan seorang pengasuh untuk menangani anaknya yang mengalami keterbelakangan mental. Pada kasus keluarga lain, maka anak yang mengalami penyimpangan tersebut diasuh oleh neneknya sendiri, karena ibu sang anak tersebut bekerja di luar rumah untuk mencukupi kebutuhan keluarganya. Perlakuan berbeda Perbedaan lainnya terhadap keluarga dengan jumlah anak yang banyak serta memiliki anak yang menyimpang adalah perlakuan berbeda yang harus diterima oleh anak menyimpang tersebut bila dibandingkan dengan saudara-saudaranya yang normal. Anak yang menyimpang membutuhkan perlakuan yang lebih ketat, di mana peraturan ini merupakan konsekuensi yang harus diterima oleh anak menyimpang karena keterbatasannya dalam mengambil keputusan sendiri. Peraturan ini berkaitan dengan kehidupan mereka sehari-hari, misalnya kapan mereka harus mandi, kapan mereka harus makan, bagaimana ketika menghadapi orang, dan sebagainya. Pada anak-anak yang mengidap cacat secara fisik, misalnya penderita polio maka menghadapi mereka membutuhkan kesabaran ekstra, karena gerakan mereka lebih lamban, serta respon mereka sangat berbeda bila dibandingkan dengan anak-anak yang normal. Pola pengasuhan yang berbeda ini juga harus dikomunikasikan dengan anak-anak lain dalam keluarga tersebut. Semakin dekat anak yang menyimpang dengan anak-anak yang lain, maka semakin normal perlakukan yang diterima oleh anak menyimpang tersebut dari saudarasaudaranya. Farber (1963) meneliti bahwa anak yang mempunyai saudara yang menyimpang dan menjalin kedekatan yang intens dengan saudaranya yang menyimpang tersebut, akan tumbuh menjadi pemimpin dalam komunitasnya ketika mereka dewasa. Hal ini karena anak yang menyimpang merupakan latihan alami bagaimana cara melatih kesabaran itu sendiri. Pada akhirnya, dapat ditarik kesimpulan bahwa adanya anak yang menyimpang dalam keluarga sangat bergantung pada kesiapan mental orang tuanya serta pengambilan keputusan untuk menangani anak yang menyimpang tersebut, di mana pengambilan keputusan yang diambil akan menghasilkan konsekuensi tersendiri. Ikatan Keluarga Dalam suatu keluarga, maka adakalanya seorang anak akan tumbuh menjadi anak yang telah dewasa, serta memutuskan untuk hidup terpisah dengan orang tuanya. Pola keluarga lain, di mana anak yang telah menikah tinggal dengan keluarganya, maka kehilangan salah satu anggota keluarga karena kematian (misalnya kematian ayah, atau kematian ibu) kemungkinan selalu akan terjadi. Hal ini merupakan suatu hal yang alami, karena keluarga pertama kalinya

20

terdiri atas dua orang, yakni suami dan isteri dan berkembang, sampai pada akhirnya anak-anak telah dewasa dan meninggalkan orang tua mereka. Keberangkatan anak untuk meraih cita-citanya Anak pertama yang memutuskan meninggalkan rumah untuk meraih cita-citanya merupakan suatu hal yang harus dihadapi oleh orang tua. Keberangkatan anak pertama ini seringkali sangat menyedihkan, karena melepas anak ke dunia luar merupakan suatu hal yang memberi tekanan emosional pada orang tua. Bagi orang tua yang telah terbiasa melepas anak-anak yang mereka punyai, maka keberangkatan anak terkecil untuk hidup terpisah membuat orang tua seolah-olah merayakan bulan madu kedua, karena pada saat ditinggalkan anak hanya tinggal mereka berdua yang menghuni rumah tersebut. Deutscher (1959) mengemukakan bahwa keberangkatan anak bisa dinilai secara positif maupun negatif oleh orangtua. Jika keberangkatan anak merupakan suatu hal yang dinilai positif, maka orang tua berpikir bahwa dengan keberangkatan anak tersebut mereka bebas untuk bepergian, bebas dari beban finansial, serta bebas untuk berlibur ke tempat yang mereka sukai tanpa anak-anak. Kepergian anak-anak sesudah anak pertama merupakan suatu hal yang telah dibiasakan, karena hal ini berlangsung secara bertahap. Orang tua dengan anak-anak yang aktif pada umumnya telah mempersiapkan diri bila suatu saat anak-anak tersebut pergi dari rumah untuk membentuk rumah tangga baru. Kegiatan yang diikuti anak, misalnya kemah, pesantren, atau sekolah sehari merupakan sarana untuk melatih anak disiplin sekaligus mempersiapkan orang tua dalam melepas anak-anak mereka. Orang tua yang memiliki anak-anak perempuan dalam usia yang matang untuk menikah, pada umumnya mempunyai persiapan mental bahwa suatu saat anak-anak tersebut akan berpisah dengannya suatu saat. Melepas anak juga tidak berpengaruh besar terhadap hubungan antara suami isteri, karena tidak melibatkan tugas tambahan. Anak-anak yang hidup terpisah tersebut juga masih bisa dikontak melalui telepon, email, atau fasilitas komunikasi lainnya. Dengan demikian, anak yang berangkat meninggalkan rumah untuk mengejar cita-citanya merupakan salah satu fase yang harus dihadapi oleh keluarga manapun, baik keluarga yang memiliki anak banyak maupun sedikit. Kesulitan dalam mengikat anak-anak Salah satu perkecualian di mana keberangkatan anak menjadi suatu hal yang sangat menyedihkan bagi orang tua, terutama ibu adalah ketika hubungan perkawinan antara ibu dan ayah merenggang. Kehadiran anak yang menjadi pemersatu keduanya, namun sekarang anak tersebut berpisah dengan orang tuanya untuk membentuk suatu rumah tangga baru menjadi suatu hal yang menyedihkan bagi ibu, namun mau tak mau hal tersebut merupakan suatu hal yang harus dihadapi dengan lapang dada. Kematian pasangan (suami atau isteri) Kematian pasangan merupakan suatu tragedi besar dalam keluarga, demikian pendapat orang-orang jaman dahulu. Para ahli menyatakan bahwa kematian pasangan seringkali bermakna positif, khususnya bagi perempuan dengan suami yang temperamental, atau hubungan suami isteri begitu buruk, dan sebagainya. Kematian suami justru membuka kebebasan bagi perempuan untuk menikmati hidup sebagai janda. Cumming dan Henry (1961) meneliti bahwa perempuan-perempuan berusia lanjut, di mana anak-anak telah dewasa, serta berkecukupan secara finansial, maka perempuan ini tidak terlalu mempermasalahkan kematian suaminya. Perempuan ini hanya bersedih dalam jangka waktu tertentu, namun setelah itu ia bergabung dengan teman-teman lainnya yang merupakan janda-janda cerai mati dari suami masing-masing. Tak jarang, janda-janda ini bergembira dan menikmati kebebasan masing-masing tanpa pernah berpikir untuk menikah kembali (bagi yang berusia muda). Hal ini disebabkan karena mereka

21

sangat menikmati kebebasan mereka sebagai perempuan dan tidak mau memulai hubungan perkawinan dari awal dengan suami yang seringkali tidak sesuai harapan. Pada sisi yang lain, maka kematian isteri menjadi suatu hal yang sangat memukul suami. Selain karena hanya sedikit laki-laki yang mengerti tentang pekerjaan rumah tangga secara terperinci, suami yang ditinggal mati isteri sebagian besar memiliki kebutuhan seks yang terpendam. Posisi duda mati yang telah berusia lanjut sering kali sedemikian sulit. Hal ini dikarenakan mereka sangat membutuhkan isteri sebagai teman untuk melanjutkan hidup mereka. Seorang pembantu rumah tangga memang bisa membantu duda ini untuk mengurusi urusan rumah tangga, namun untuk urusan pendamping hidup, para duda ini sering kali mengalami kesulitan, karena perempuan yang menjadi janda mati sering kali tidak memilih untuk menikah kembali. Solusi yang sering terjadi adalah, anak-anak perempuan dari ayah yang ditinggal mati oleh isterinya tersebut tinggal bersama dengan ayah mereka dalam periode waktu tertentu secara bergantian, atau salah satu mengajak ayah mereka untuk tinggal bersama mereka. Kematian pasangan merupakan suatu hal yang sangat berat dirasakan pasangan yang ditinggalkan, terlebih jika sumber penghasilan terletak pada pasangan yang telah meninggal tersebut.

22

You might also like