You are on page 1of 25

Perjalanan Demokrasi Pada Massa Pemerintahan BJ Habibie Sampei Massa Pemerintahan SBY

A.BJ Habibie : Bapak Teknologi dan Demokrasi Indonesia Prof. DR (HC). Ing. Dr. Sc. Mult. Bacharuddin Jusuf Habibie atau dikenal sebagai BJ Habibie (73 tahun) merupakan pria Pare-Pare (Sulawesi Selatan) kelahiran 25 Juni 1936. Habibie menjadi Presiden ke-3 Indonesia selama 1.4 tahun dan 2 bulan menjadi Wakil Presiden RI ke-7. Habibie merupakan blaster antara orang Jawa [ibunya] dengan orang Makasar/Pare-Pare [ayahnya].Dimasa kecil, Habibie telah menunjukkan kecerdasan dan semangat tinggi pada ilmu pengetahuan dan teknologi khususnya Fisika. Selama enam bulan, ia kuliah di Teknik Mesin Institut Teknologi Bandung (ITB), dan dilanjutkan ke Rhenisch Wesfalische Tehnische Hochscule Jerman pada 1955. Dengan dibiayai oleh ibunya, R.A. Tuti Marini Puspowardoyo, Habibie muda menghabiskan 10 tahun untuk menyelesaikan studi S-1 hingga S-3 di Aachen-Jerman. Karir di Industri Selama menjadi mahasiswa tingkat doktoral, BJ Habibie sudah mulai bekerja untuk menghidupi keluarganya dan biaya studinya. Setelah lulus, BJ Habibie bekerja di Messerschmitt-Blkow-Blohm atau MBB Hamburg (1965-1969 sebagai Kepala Penelitian dan Pengembangan pada Analisis Struktrur Pesawat Terbang, dan kemudian menjabat Kepala Divisi Metode dan Teknologi pada industri pesawat terbang komersial dan militer di MBB (1969-1973). Atas kinerja dan kebriliannya, 4 tahun kemudian, ia dipercaya sebagai Vice President sekaligus Direktur Teknologi di MBB periode 1973-1978 serta menjadi Penasihast Senior bidang teknologi untuk Dewan Direktur MBB (1978 ). Dialah menjadi satu-satunya orang Asia yang berhasil menduduki jabatan nomor dua di perusahaan pesawat terbang Jerman ini. Sebelum memasuki usia 40 tahun, karir Habibie sudah sangat cemerlang, terutama dalam desain dan konstruksi pesawat terbang. Habibie menjadi permata di negeri Jerman dan iapun mendapat kedudukan terhormat, baik secara materi maupun intelektualitas oleh orang Jerman. Selama bekerja di MBB Jerman, Habibie menyumbang berbagai hasil penelitian dan sejumlah teori untuk ilmu pengetahuan dan teknologi dibidang Thermodinamika, Konstruksi dan Aerodinamika. Beberapa rumusan teorinya dikenal dalam dunia pesawat terbang seperti Habibie Factor, Habibie Theorem dan Habibie Method. Habibie menjadi RI-1 Secara materi, Habibie sudah sangat mapan ketika ia bekerja di perusahaan MBB Jerman. Selain mapan, Habibie memiliki jabatan yang sangat strategis yakni Vice President sekaligus Senior Advicer di perusahaan high-tech Jerman. Sehingga Habibie terjun ke pemerintahan bukan karena mencari uang ataupun kekuasaan semata, tapi lebih pada perasaan terima kasih kepada negara dan bangsa Indonesia dan juga kepada kedua orang tuanya. Sikap

serupa pun ditunjukkan oleh Kwik Kian Gie, yakni setelah menjadi orang kaya dan makmur dahulu, lalu Kwik pensiun dari bisnisnya dan baru terjun ke dunia politik. Bukan sebaliknya, yang banyak dilakukan oleh para politisi saat ini yang menjadi politisi demi mencari kekayaan/popularitas sehingga tidak heran praktik korupsi menjamur.Tiga tahun setelah kepulangan ke Indonesia, Habibie (usia 41 tahun) mendapat gelar Profesor Teknik dari ITB. Selama 20 tahun menjadi Menristek, akhirnya pada tanggal 11 Maret 1998, Habibie terpilih sebagai Wakil Presiden RI ke-7 melalui Sidang Umum MPR. Di masa itulah krisis ekonomi (krismon) melanda kawasan Asia termasuk Indonesia. Nilai tukar rupiah terjun bebas dari Rp 2.000 per dolar AS menjadi Rp 12.000-an per dolar. Utang luar negeri jatuh tempo sehinga membengkak akibat depresiasi rupiah. Hal ini diperbarah oleh perbankan swasta yang mengalami kesulitan likuiditas. Inflasi meroket diatas 50%, dan pengangguran mulai terjadi dimana-mana. Dipicu penembakan 4 orang mahasiswa (Tragedi Trisakti) pada 12 Mei 1998, meletuslah kemarahan masyarakat terutama kalangan aktivis dan mahasiswa pada pemerintah Orba. Pergerakan mahasiswa, aktivis, dan segenap masyarakat pada 12-14 Mei 1998 menjadi momentum pergantian rezim Orde Baru pimpinan Pak Hato. Dan pada 21 Mei 1998, Presiden Soeharto terpaksa mundur dari jabatan Presiden yang dipegangnya selama lebih kurang 32 tahun. Selama 32 tahun itulah, pemerintahan otoriter dan sarat KKN tumbuh sumbur. Selama 32 tahun itu pula, banyak kebenaran yang dibungkam. Mulai dari pergantian Pemerintah Soekarno (dan pengasingan Pres Soekarno), G30S-PKI, Supersemar, hingga dugaan konspirasi Soeharto dengan pihak Amerika dan sekutunya yang mengeruk sumber kekayaan alam oleh kaum-kaum kapitalis dibawah bendera korpotokrasi (termasuk CIA, Bank Duni, IMF dan konglomerasi). Habibie : Bapak Teknologi Indonesia Pemikiran-pemikiran Habibie yang high-tech mendapat hati pak Harto. Bisa dikatakan bahwa Soeharto mengagumi pemikiran Habibie, sehingga pemikirannya dengan mudah disetujui pak Harto. Pak Harto pun setuju menganggarkan dana ekstra untuk mengembangkan ide Habibie. Kemudahan akses serta kedekatan Soeharto-Habibie dianggap oleh berbagai pihak sebagai bentuk kolusi Habibie-Soeharto. Apalagi, beberapa pihak tidak setuju dengan pola pikir Habibie mengingat pemerintah Soeharto mau menghabiskan dana yang besar untuk pengembangan industri-industri teknologi tinggi seperti saran Habibie. Sejak pendirian industri-industri statregis negara, tiap tahun pemerintah Soeharto menganggarkan dana APBN yang relatif besar untuk mengembangkan industri teknologi tinggi. Dan anggaran dengan angka yang sangat besar dikeluarkan sejak 1989 dimana Habibie memimpin industri-industri strategis. Namun, Habibie memiliki alasan logis yakni untuk memulai industri berteknologi tinggi, tentu membutuhkan investasi yang besar dengan jangka waktu yang lama. Hasilnya tidak mungkin dirasakan langsung. Tanam pohon durian saja butuh 10 tahun untuk memanen, apalagi industri teknologi tinggi. Oleh karena itu, selama bertahun-tahun industri strategis ala Habibie masih belum menunjukan hasil dan akibatnya negara terus membiayai biaya operasi industri-industri strategis yang cukup besar.

Industri-industri strategis ala Habibie (IPTN, Pindad, PAL) pada akhirnya memberikan hasil seperti pesawat terbang, helikopter, senjata, kemampuan pelatihan dan jasa pemeliharaan (maintenance service) untuk mesin-mesin pesawat, amunisi, kapal, tank, panser, senapan kaliber, water canon, kendaraan RPP-M, kendaraan combat dan masih banyak lagi baik untuk keperluan sipil maupun militer. PERKEMBANGAN POLITIK SETELAH 21 MEI 1998 1. Pengangkatan Habibie Menjadi Presiden Republik Indonesia Setelah B.J. Habibie dilantik menjadi Presiden Republik Indonesia pada tanggal 21 Mei 1998. Tugas Habibie menjadi Presiden menggantikan Presiden Soeharto sangatlah berat yaitu berusaha untuk mengatasi krisis ekonomi yang melanda Indonesia sejak pertengahan tahun 1997. Habibie yang manjabat sebagai presiden menghadapi keberadaan Indonesia yang serba parah, baik dari segi ekonomi, politik, sosial, dan budaya. Langkah-langkah yang dilakukan oleh Habibie adalah berusaha untuk dapat mengatasi krisis ekonomi dan politik. Untuk menjalankan pemerintahan, Presiden Habibie tidak mungkin dapat melaksanakannya sendiri tanpa dibantu oleh menteri-menteri dari kabinetnya. Pada tanggal 22 Mei 1998, Presiden Republik Indonesia yang ketiga B.J. Habibie membentuk kabinet baru yang dinamakan Kabinet Reformasi Pembangunan. Kabinet itu terdiri atas 16 orang menteri, dan para menteri itu diambil dari unsur-unsur militer (ABRI), Golkar, PPP, dan PDI. Dalam bidang ekonomi, pemerintahan Habibie berusaha keras untuk melakukan perbaikan. Ada beberapa hal yang dilakukan oleh pemerintahan Habibie untuk meperbaiki perekonomian Indonesia antaranya :

Merekapitulasi perbankan Merekonstruksi perekonomian Indonesia. Melikuidasi beberapa bank bermasalah. Manaikan nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat hingga di bawah Rp.10.000,Mengimplementasikan reformasi ekonomi yang diisyaratkan oleh IMF.

Presiden Habibie sebagai pembuka sejarah perjalanan bangsa pada era reformasi mangupayakan pelaksanaan politik Indonesia dalam kondisi yang transparan serta merencanakan pelaksanaan pemilihan umum yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil. Pemilihan umum yang akan diselenggarakan di bawah pemerintahan Presiden Habibie merupakan pemilihan umum yang telah bersifat demokratis. Habibie juga membebaskan beberapa narapidana politik yang ditahan pada zaman pemerintahan Soeharto. Kemudian, Presiden Habibie juga mencabut larangan berdirinya serikat-serikat buruh independent.

2. Kebebasan Menyampaikan Pendapat Pada masa pemerintahan Habibie, orang bebas mengemukakan pendapatnya di muka umum. Presiden Habibie memberikan ruang bagi siapa saja yang ingin menyampaikan pendapat, baik dalam bentuk rapat-rapat umum maupun unjuk rasa atau demontrasi. Namun khusus demontrasi, setiap organisasi atau lembaga yang ingin melakukan demontrasi hendaknya mendapatkan izin dari pihak kepolisian dan menentukan tempat untuk melakukan demontrasi tersebut. Hal ini dilakukan karena pihak kepolisian mengacu kepada UU No.28 tahun 1997 tentang Kepolisian Republik Indonesia. Namun, ketika menghadapi para pengunjuk rasa, pihak kepolisian sering menggunakan pasal yang berbeda-beda. Pelaku unjuk rasa yang di tindak dengan pasal yang berbeda-beda dapat dimaklumi karena untuk menangani penunjuk rasa belum ada aturan hukum jelas.Untuk menjamin kepastian hukum bagi para pengunjuk rasa, pemerintahan bersama (DPR) berhasil merampungkan perundang-undangan yang mengatur tentang unjuk rasa atau demonstrasi. adalah UU No. 9 tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum. 3. Masalah Dwifungsi ABRI Menanggapi munculnya gugatan terhadap peran dwifungsi ABRI menyusul turunnya Soeharto dari kursi kepresidenan, ABRI melakukan langkah-langkah pembaharuan dalam perannya di bidang sosial-politik. Setelah reformasi dilaksanakan, peran ABRI di Perwakilan Rakyat DPR mulai dikurangi secara bertahap yaitu dari 75 orang menjadi 38 orang. Langkah lain yang di tempuh adalah ABRI semula terdiri dari empat angkatan yaitu Angkatan Darat, Laut, dan Udara serta Kepolisian RI, namun mulai tanggal 5 Mei 1999 Polri memisahkan diri dari ABRI dan kemudian berganti nama menjadi Kepolisian Negara. Istilah ABRI pun berubah menjadi TNI yang terdiri dari Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara. 4. Reformasi Bidang Hukum Pada masa Pemerintahan Presiden B.J. Habibie dilakukan reformasi di bidang hukum Reformasi hukum itu disesuaikan dengan aspirasi yang berkembang dimasyarakat. Tindakan yang dilakukan oleh Presiden Habibie untuk mereformasi hukum mendapatkan sambutan baik dari berbagai kalangan masyarakat, karena reformasi hukum yang dilakukannya mengarah kepada tatanan hukum yang ditambakan oleh masyarakat. Ketika dilakukan pembongkaran terhadapat berbagai produksi hukum atau undangundang yang dibuat pada masa Orde Baru, maka tampak dengan jelas adanya karakter hukum yang mengebiri hak-hak.

Selama pemerintahan Orde Baru, karakter hukum cenderung bersifat konservatif, ortodoks maupun elitis. Sedangkan hukum ortodoks lebih tertutup terhadap kelompokkelompok sosial maupun individu didalam masyarakat. Pada hukum yang berkarakter tersebut, maka porsi rakyat sangatlah kecil, bahkan bias dikatakan tidak ada sama sekali. Oleh karena itu, produk hukum dari masa pemerintahan Orde Baru sangat tidak mungkin untuk dapat menjamin atau memberikan perlindungan terhadap Hak-hak Asasi Manusia (HAM), berkembangnya demokrasi serta munculnya kreativitas masyarakat. 5. Sidang Istimewa MPR Dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia, telah dua kali lembaga tertinggi Negara melaksanakan Sidang Istimewa, yaitu pada tahun 1967 digelar Sidang Istimewa MPRS yang kemudian memberhentikan Presiden Soekarno dan mengangkat Soeharto menjadi Presiden Rebuplik Indonesia. Kemudian Sidang Istimewa yang dilaksanakan antara tanggal 10 13 Nopember 1998 diharapkan MPR benar-benar menyurahkan aspirasi masyarakat dengan perdebatan yang lebih segar, lebih terbuka dan dapat menampung, aspirasi dari berbagai kalangan masyarakat. Hasil dari Sidang Istimewa MPR itu memutuskan 12 Ketetapan. 6. Pemilihan Umum Tahun 1999 Pemilihan Umum yang dilaksanakan tahun 1999 menjadi sangat penting, karena pemilihan umum tersebut diharapkan dapat memulihkan keadaan Indonesia yang sedang dilanda multikrisis. Pemilihan umum tahun 1999 juga merupakan ajang pesta rakyat Indonesia dalam menunjukkan kehidupan berdemokrasi. Maka sifat dari pemilihan umum itu adalah langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Presiden Habibie kemudian menetapkan tanggal 7 Juni 1999 sebagai waktu pelaksanaan pemiliahan umum tersebut. Selanjutnya lima paket undang-undang tentang politik dicabut. Sebagai gantinya DPR berhasil menetapkan tiga undang-undang politik baru. Ketiga udang-undang itu disahkan pada tanggal 1 Februari 1999 dan ditandatangani oleh Presiden Habibie. Ketiga udang-udang itu antara lain undang-undang partai politik, pemilihan umum, susunan serta kedudukan MPR, DPR dan DPRD. Masa Kepresidenan Habibie mewarisi kondisi kacau balau pasca pengunduran diri Soeharto akibat salah urus di masa orde baru, sehingga menimbulkan maraknya kerusuhan dan disintegerasi hampir seluruh wilayah Indonesia. Segera setelah memperoleh kekuasaan Presiden Habibie segera membentuk sebuah kabinet. Salah satu tugas pentingnya adalah kembali mendapatkan dukungan dari Dana Moneter Internasional dan komunitas negara-negara donor untuk program pemulihan ekonomi. Dia juga membebaskan para tahanan politik dan mengurangi kontrol pada kebebasan berpendapat dan kegiatan organisasi.

Pada era pemerintahannya yang singkat ia berhasil memberikan landasan kokoh bagi Indonesia, pada eranya dilahirkan UU Anti Monopoli atau UU Persaingan Sehat, perubahan UU Partai Politik dan yang paling penting adalah UU otonomi daerah. Melalui penerapan UU otonomi daerah inilah gejolak disintergrasi yang diwarisi sejak era Orde Baru berhasil diredam dan akhirnya dituntaskan di era presiden Susilo Bambang Yudhoyono, tanpa adanya UU otonomi daerah bisa dipastikan Indonesia akan mengalami nasib sama seperti Uni SovietYugoslavia. dan Di bidang ekonomi, ia berhasil memotong nilai tukar rupiah terhadap dollar masih berkisar antara Rp 10.000 Rp 15.000. Namun pada akhir pemerintahannya, terutama setelah pertanggungjawabannya ditolak MPR, nilai tukar rupiah meroket naik pada level Rp 6500 per dolar AS nilai yang tidak akan pernah dicapai lagi di era pemerintahan selanjutnya. Selain itu, ia juga memulai menerapkan independensi Bank Indonesia agar lebih fokus mengurusi perekonomian. Salah satu kesalahan yang dinilai pihak oposisi terbesar adalah setelah menjabat sebagai Presiden, B.J. Habibie memperbolehkan diadakannya referendum provinsi Timor Timur (sekarang Timor Leste), ia mengajukan hal yang cukup menggemparkan publik saat itu, yaitu mengadakan jajak pendapat bagi warga Timor Timur untuk memilih merdeka atau masih tetap menjadi bagian dari Indonesia. Pada masa kepresidenannya, Timor Timur lepas30 Agustus 1999. Lepasnya Timor Timur di satu sisi memang disesali oleh sebagian warga negara Indonesia, tapi disisi lain membersihkan nama Indonesia yang sering tercemar oleh tuduhan pelanggaran HAM di Timor Timur. dari Negara Kesatuan Republik Indonesia dan menjadi negara terpisah yang berdaulat pada tanggal Kasus inilah yang mendorong pihak oposisi yang tidak puas dengan latar belakang Habibie semakin giat menjatuhkan Habibie. Upaya ini akhirnya berhasil dilakukan pada Sidang Umum 1999, ia memutuskan tidak mencalonkan diri lagi setelah laporan pertanggungjawabannya ditolak oleh MPR. Pandangan terhadap pemerintahan Habibie pada era awal reformasi cenderung bersifat negatif, tapi sejalan dengan perkembangan waktu banyak yang menilai positif pemerintahan Habibie. Salah pandangan positif itu dikemukan oleh L. Misbah Hidayat Dalam bukunya Reformasi Administrasi: Kajian Komparatif Pemerintahan Tiga Presiden.[3] Visi, misi dan kepemimpinan presiden Habibie dalam menjalankan agenda reformasi memang tidak bisa dilepaskan dari pengalaman hidupnya. Setiap keputusan yang diambil didasarkan pada faktor-faktor yang bisa diukur. Maka tidak heran tiap kebijakan yang diambil kadangkala membuat orang terkaget-kaget dan tidak mengerti. Bahkan sebagian kalangan menganggap Habibie apolitis dan tidak berperasaan. Pola kepemimpinan Habibie seperti itu dapat dimaklumi mengingat latar belakang pendidikannya sebagai doktor di bidang konstruksi pesawat terbang. Berkaitan dengan semangat demokratisasi, Habibie telah melakukan perubahan dengan membangun pemerintahan yang transparan dan dialogis. Prinsip demokrasi juga diterapkan dalam kebijakan ekonomi yang disertai penegakan hukum dan ditujukan untuk kesejahteraan rakyat. Dalam mengelola kegiatan kabinet sehari-haripun, Habibie melakukan perubahan besar. Ia meningkatkan koordinasi dan menghapus egosentisme sekotral antarmenteri. Selain itu sejumlah kreativitas mewarnai gaya kepemimpinan Habibie dalam menangani masalah bangsa.[4] Untuk mengatasi persoalan ekonomi, misalnya, ia mengangkat pengusaha menjadi utusan khusus. Dan pengusaha itu sendiri yang menanggung biayanya. Tugas tersebut sangat penting, karena salah satu kelemahan pemerintah adalah kurang

menjelaskan keadaan Indonesia yang sesungguhnya pada masyarakat internasional. Sementara itu pers, khususnya pers asing, terkesan hanya mengekspos berita-berita negatif tentang Indonesia sehingga tidak seimbang dalam pemberitaan. Masa Pasca Kepresidenan Setelah ia turun dari jabatannya sebagai presiden, ia lebih banyak tinggal di Jerman daripada di Indonesia. Tetapi ketika era kepresidenan Susilo Bambang Yudhoyono, ia kembali aktif sebagai penasehat presiden untuk mengawal proses demokratisasi di Indonesia lewat organisasi yang didirikannya Habibie Center. Dibandingkan dengan para mantan presiden sebelum era Susilo Bambang Yudhoyono, Habibie memperoleh nama harum di kalangan generasi muda pasca reformasi. Hal ini disebabkan bahwa ia mungkin adalah satu-satunya presiden dalam sejarah yang memegang negara yang mengalami disintergrasi parah, birokrasi yang bobrok dan militer yang mentalnya rendah tapi berhasil menyelamatkan negara tersebut dan memberi fondasi baru yang kokoh bagi penerusnya. Memang pada masa Habibie Indonesia harus melepas Timor Timur, tetapi ia berhasil mempertahankan wilayah eks Hindia Belanda tetap bersatu dalam Republik Indonesia B. KH.Abdurrachman wahid (Gus DurBapak Demokrasi-Pluralisme) Presiden Kiai Haji Abdurrahman Wahid atau dikenal sebagai Gus Dur lahir di Jombang, Jawa Timur, pada 7 September 1940. Gus Dur adalah putra pertama dari enam bersaudara dari keluarga yang sangat terhormat dalam komunitas Muslim Jawa Timur. Kakek dari ayahnya adalah K.H. Hasyim Asyari, pendiri Nahdlatul Ulama (NU), sementara kakek dari pihak ibu, K.H. Bisri Syansuri, adalah pengajar pesantren pertama yang mengajarkan kelas pada perempuan. Ayah Gus Dur, K.H. Wahid Hasyim, terlibat dalam Gerakan Nasionalis dan menjadi Menteri Agama tahun 1949. Ibunya, Ny. Hj. Sholehah, adalah putri pendiri Pondok Pesantren Denanyar Jombang. Selain Gus Dur, adiknya Gus Dur juga merupakan sosok tokoh nasional.Gus Dur sempat kuliah di Universitas Al Azhar di KairoMesir (tidak selesai) selama 2 tahun dan melanjutkan studinya di Universitas BaghdadIrak. Selesai masa studinya, Gus Dur pun pulang ke Indonesia dan bergabung dengan Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) pada 1971. Gus Dur terjun dalam dunia jurnalistik sebagai kaum cendekiawan muslim yang progresif yang berjiwa sosial demokrat. Pada masa yang sama, Gus Dur terpanggil untuk berkeliling pesantren dan madrasah di seluruh Jawa. Hal ini dilakukan demi menjaga agar nilai-nilai tradisional pesantren tidak tergerus, pada saat yang sama mengembangkan pesantren. Hal ini disebabkan pada saat itu, pesantren berusaha mendapatkan pendanaan dari pemerintah dengan cara mengadopsi kurikulum pemerintah.Karir KH Abdurrahman Wahid terus merangkak dan menjadi penulis nuntuk majalah Tempo dan koran Kompas. Artikelnya diterima dengan baik dan ia mulai mengembangkan reputasi sebagai komentator sosial. Dengan popularitas itu, ia mendapatkan banyak undangan untuk memberikan kuliah dan seminar, membuat dia harus pulang-pergi antara Jakarta dan Jombang, tempat Wahid tinggal bersama keluarganya.

Karir Organisasi NU Pada awal 1980-an, Gus Dur terjun mengurus Nahdlatul Ulama (NU) setelah tiga kali ditawarin oleh kakeknya. Dalam beberapa tahun, Gus Dur berhasil mereformasi tubuh NU sehingga membuat namanya semakin populer di kalangan NU. Pada Musyawarah Nasional 1984, Gus Dur didaulat sebagai Ketua Umum NU. Selama masa jabatan pertamanya, Gus Dur fokus dalam mereformasi sistem pendidikan pesantren dan berhasil meningkatkan kualitas sistem pendidikan pesantren sehingga dapat menandingi sekolah sekular. Selama memimpin organisasi massa NU, Gus Dur dikenal kritis terhadap pemerintahan Soeharto. Pada Maret 1992, Gus Dur berencana mengadakan Musyawarah Besar untuk merayakan ulang tahun NU ke-66 dan mengulang pernyataan dukungan NU terhadap Pancasila. Wahid merencanakan acara itu dihadiri oleh paling sedikit satu juta anggota NU. Namun, Soeharto menghalangi acara tersebut, memerintahkan polisi untuk mengembalikan bus berisi anggota NU ketika mereka tiba di Jakarta. Akan tetapi, acara itu dihadiri oleh 200.000 orang. Setelah acara, Gus Dur mengirim surat protes kepada Soeharto menyatakan bahwa NU tidak diberi kesempatan menampilkan Islam yang terbuka, adil dan toleran. Menjadi Presiden RI ke-4 Pada Juni 1999, partai PKB ikut serta dalam arena pemilu legislatif. PKB memenangkan 12% suara dengan PDI-P memenangkan 33% suara. Dengan kemenangan partainya, Megawati memperkirakan akan memenangkan pemilihan presiden pada Sidang Umum MPR. Namun, PDI-P tidak memiliki mayoritas penuh, sehingga membentuk aliansi dengan PKB. Pada Juli, Amien Rais membentuk Poros Tengah, koalisi partai-partai Muslim. Poros Tengah mulai menominasikan Gus Dur sebagai kandidat ketiga pada pemilihan presiden dan komitmen PKB terhadap PDI-P mulai berubah.Pada 19 Oktober 1999, MPR menolak pidato pertanggungjawaban Habibie dan ia mundur dari pemilihan presiden. Beberapa saat kemudian, Akbar Tanjung, ketua Golkar dan ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menyatakan Golkar akan mendukung Gus Dur. Pada 20 Oktober 1999, MPR kembali berkumpul dan mulai memilih presiden baru. Abdurrahman Wahid kemudian terpilih sebagai Presiden Indonesia ke-4 dengan 373 suara, sedangkan Megawati hanya 313 suara.Tidak senang karena calon mereka gagal memenangkan pemilihan, pendukung Megawati mengamuk dan Gus Dur menyadari bahwa Megawati harus terpilih sebagai wakil presiden. Setelah meyakinkan jendral Wiranto untuk tidak ikut serta dalam pemilihan wakil presiden dan membuat PKB mendukung Megawati, Gus Dur pun berhasil meyakinkan Megawati untuk ikut serta. Pada 21 Oktober 1999, Megawati ikut serta dalam pemilihan wakil presiden dan mengalahkan Hamzah Haz dari PPP.

Pengabdian Sebagai Presiden RI ke-4 Pasca kejatuhan rezim Orde Baru pada 1998, Indonesia mengalami ancaman disintegrasi kedaulatan negara. Konflik meletus dibeberapa daerah dan ancaman separatis semakin nyata. Menghadapi hal itu, Gus Dur melakukan pendekatan yang lunak terhadap daerahdaerah yang berkecamuk. Terhadap Aceh, Gus Dur memberikan opsi referendum otonomi dan bukan kemerdekaan seperti referendum Timor Timur. Pendekatan yang lebih lembut terhadap Aceh dilakukan Gus Dur dengan mengurangi jumlah personel militer di Negeri Serambi Mekkah tersebut. Netralisasi Irian Jaya, dilakukan Gus Dur pada 30 Desember 1999 dengan mengunjungi ibukota Irian Jaya. Selama kunjungannya, Presiden Abdurrahman Wahid berhasil meyakinkan pemimpin-pemimpin Papua bahwa ia mendorong penggunaan nama Papua. Benar Gus Dur lah menjadi pemimpin yang meletak fondasi perdamaian Aceh. Pada pemerintahan Gus Durlah, pembicaraan damai antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan Indonesia menjadi terbuka. Padahal, sebelumnya, pembicaraan dengan GAM sesuatu yang tabu, sehingga peluang perdamaian seperti ditutup rapat, apalagi jika sampai mengakomodasi tuntutan kemerdekaan. Saat sejumlah tokoh nasional mengecam pendekatannya untuk Aceh, Gus Dur tetap memilih menempuh cara-cara penyelesaian yang lebih simpatik: mengajak tokoh GAM duduk satu meja untuk membahas penyelesaian Aceh secara damai. Bahkan, secara rahasia, Gus Dur mengirim Bondan Gunawan, Pjs Menteri Sekretaris Negara, menemui Panglima GAM Abdullah Syafii di pedalaman Pidie. Di masa Gus Dur pula, untuk pertama kalinya tercipta Jeda Kemanusiaan. Selain usaha perdamaaian dalam wadah NKRI, Gus Dur disebut sebagai pionir dalam mereformasi militer agar keluar dari ruang politik. Dibidang pluralisme, Gus Dur menjadi Bapak Tionghoa Indonesia. Dialah tokoh nasional yang berani membela orang Tionghoa untuk mendapat hak yang sama sebagai warga negara. Pada tanggal 10 Maret 2004, beberapa tokoh Tionghoa Semarang memberikan penghargaan KH Abdurrahman Wahid sebagai Bapak Tionghoa. Hal ini tidak lepas dari jasa Gus Dur mengumumkan bahwa Tahun Baru Cina (Imlek) menjadi hari libur opsional yang kemudian diperjuangkan menjadi Hari Libur Nasional. Tindakan ini diikuti dengan pencabutan larangan penggunaan huruf Tionghoa. Dan atas jasa Gus Dur pula akhirnya pemerintah mengesahkan Kongfucu sebagai agama resmi ke-6 di Indonesia. Dalam kapasitas dan ambisi-nya, Presiden Abdurrahman Wahid sering melontarkan pendapat kontroversial. Ketika menjadi Presiden RI ke-4, ia tak gentar mengungkapkan sesuatu yang diyakininya benar kendati banyak orang sulit memahami dan bahkan menentangnya. Kendati suaranya sering mengundang kontroversi, tapi suara itu tak jarang malah menjadi kemudi arus perjalanan sosial, politik dan budaya ke depan. Dia memang seorang yang tak gentar menyatakan sesuatu yang diyakininya benar. Bahkan dia juga tak gentar menyatakan sesuatu yang berbeda dengan pendapat banyak orang. Jika diselisik, kebenaran itu memang seringkali tampak radikal dan mengundang kontroversi. Dan apabila kita meniliki pada pemikirannya, maka akan kita dapatkan bahwa sebagian besar pendapatnya jauh dari interes politik pribadi atau kelompoknya. Ia berani berdiri di

depan untuk kepentingan orang lain atau golongan lain yang diyakninya benar. Malah sering seperti berlawanan dengan suara kelompoknya sendiri. Juga bahkan ketika ia menjabat presiden, sepetinya jabatan itu tak mampu mengeremnya untuk menyatakan sesuatu. Sepertinya, ia melupakan jabatan politis yang empuk itu demi sesuatu yang diyakininya benar. Sehingga saat ia menjabat presiden, banyak orang menganggapnya aneh karena sering kali melontarkan pernyataan yang mengundang kontroversi. Belum satu bulan menjabat presiden, Gus Dur sudah mencetuskan pendapat yang memerahkan kuping sebagian besar anggota DPR. Di hadapan sidang lembaga legislatif, yang anggotanya segaligus sebagai anggota MPR, yang baru saja memilihnya itu, Gus Dur menyebut para anggota legislatif itu seperti anak Taman Kanak-Kanak. Selama menjadi Presiden RI itu, Gus Dur mendapat kritik karena seringnya melakukan kunjungan ke luar negeri sehingga dijuliki Presiden Pewisata. Pada tahun 2000, muncul dua skandal yang menimpa Presiden Gus Dur yaitu skandal Buloggate dan Bruneigate. Dua skandal Buloggate dan Brunaigate menjadi senjata bagi para musuh politik Gus Dur untuk menjatuhkan jabatan kepresidenannya. Pada 20 Juli, Amien Rais menyatakan bahwa Sidang Istimewa MPR akan dimajukan pada 23 Juli. TNI menurunkan 40.000 tentara di Jakarta dan juga menurunkan tank yang menunjuk ke arah Istana Negara sebagai bentuk penunjukan kekuatan. Gus Dur kemudian mengumumkan pemberlakuan dekrit yang berisi (1) pembubaran MPR/DPR, (2) mengembalikan kedaulatan ke tangan rakyat dengan mempercepat pemilu dalam waktu satu tahun, dan (3) membekukan Partai Golkar sebagai bentuk perlawanan terhadap Sidang Istimewa MPR. Namun dekrit tersebut tidak memperoleh dukungan dan pada 23 Juli, MPR secara resmi memberhentikan Gus Dur dan menggantikannya dengan Megawati Sukarnoputri. Doktor kehormatan dan Penghargaan Lain Dikancah internasional, Gus Dur banyak memperoleh gelar Doktor Kehormatan (Doktor Honoris Causa) dibidang humanitarian, pluralisme, perdamaian dan demokrasi dari berbagai lembaga pendidikan diantaranya :

Doktor Kehormatan dari Jawaharlal Nehru University, India (2000) Doktor Kehormatan dari Twente University, Belanda (2000) Doktor Kehormatan bidang Ilmu Hukum dan Politik, Ilmu Ekonomi dan Manajemen, dan Ilmu Humaniora dari Pantheon Sorborne University, Paris, Perancis (2000) Doktor Kehormatan bidang Filsafat Hukum dari Thammasat University, Bangkok, Thailand (2000) Doktor Kehormatan dari Chulalongkorn University, Bangkok, Thailand (2000) Doktor Kehormatan dari Asian Institute of Technology, Bangkok, Thailand (2000) Doktor Kehormatan dari Soka Gakkai University, Tokyo, Jepang (2002) Doktor Kehormatan bidang Kemanusiaan dari Netanya University, Israel (2003) Doktor Kehormatan bidang Hukum dari Konkuk University, Seoul, Korea Selatan (2003) Doktor Kehormatan dari Sun Moon University, Seoul, Korea Selatan (2003)

Selamat Jalan Gus Dur Gus Dur wafat pada hari Rabu, 30 Desember 2009, di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta, pada pukul 18.45 akibat berbagai komplikasi penyakit, terutama gangguan ginjal, yang dideritanya sejak lama. Sebelum wafat ia harus menjalani hemodialisis (cuci darah) rutin. Seminggu sebelum dipindahkan ke Jakarta ia sempat dirawat di Jombang seusai mengadakan perjalanan di Jawa Timur. Gus Dur di makamkan di Jombang Jawa Timur Selamat jalan Gus Dur. Terima kasih atas pengabdian dan sumbangsihnya bagi rakyat dan bangsa ini. Jasa-jasamu dalam perjuangan Demokrasi dan Solidaritas antar umat beragama di Indonesia tidak akan kami lupakan. Semoga amal-jasa-ibadahnya mendapat tempat yang agung. Salam hormat dan turut berbela sungkawa, PEMERINTAHAN GUSDUR DAN TRANSISI DEMOKRASI DI INDONESIA Sangat luar biasa perhelatan politik di Indonesia, ketika dihadapkan pada suksesi kepemimpinan. Sejak berdirinya republik tahun 1945 sampai saat ini, terhitung lamanya kemerdekaan sudah mencapai 57 tahun, bila dirata-ratakan priodisasi pemerintahan selam lima tahun, maka menurut logika sehat akan terjadi suksesi kepemimpinan dengan melahirkan minimalnya 11 pemimpin nasional alias presiden. Namun pada tataran relitas sungguh sangat ironis, selama kurun waktu 54 tahun bangsa yang besar ini hanya dipimpin oleh 2 orang presiden. Presiden yang pertama medapat julukan the founding father dengan memimpin bangsa selama 22 tahun dan presiden kedua yang mendapat anugran bapak pembangunan yang memimpin bangsa selama 32 tahun. Sisa priodisasi kepemimpinan nasional selama 3 tahun terakhir dilakukan tiga kali suksesi kepemimpinan, dengan melahirkan 3 orang presiden. Kondisi semacam ini mencerminkan bangsa Indonesia sebagai bangsa yang memiliki karakter tersendiri dalam mengurusi persoalan kehidupan bangsanya. Di satu pihak dapat dikategorikan sebagai bangsa yang lembut dan santun yang penuh kepatuhan terhadap pemimpinnya. Hal ini terbukti dengan langgengnya 2 orang presiden pertama dan kedua dalam memegang tapuk kepemimpinan. Namun di sisi lain, pada akhir-akhir ini bangsa Indonesia identik dengan bangsa yang mudah terpropokasi, sehingga menjadi beringas dan kadang-kadang tidak bermoral. Timbulnya dua latar di atas dapat menggambarkan bahwa kondisi umum bangsa dalam tatanan kehidupan kebangsaan mencerminkan bangsa yang mudah untuk digiring dalam sebuah frame atau kerangka kehidupan kebangsaan di bawah satu komando yang dinamis dan seolah-olah dapat mengayomi kebutuhan masyarakat secara umum.

Substansi persoalan yang dihadapi oleh bangsa ini adalah bagaimana mengembalikan citra dan watak dasar bangsa yang santun, beradab, dan penuh dinamika kehidupan yang heterogenitas dengan dibarengi oleh watak toleransi dan sikap egalitarian. Upaya untuk mengembalikan watak dasar ini, tidak bisa dilakukan secara serta merta oleh seluruh komponen masyarakat tanpa didukung oleh piranti kehidupan kebangsaan dan kenegaraan yang baik. Piranti primer untuk mendukung upaya tersebut adalah menegakan demokratisasi di segala bidang kehidupan, dengan dibarengi penegakkan supremasi hukum dan menjalankan good governance dan clean government. Kelincahan Gus Dur untuk mengelola sebuah negara dengan mengedepankan panji demokrasi, akhirnya kandas juga ketika sang democrat itu terjebak dalam persoalan skandal bulog gate sebesar 40 milyar rupiah dan brunai gate sebesar 2 juta US dollar. Skandal itu sesungguhnya lebih dipicu oleh adanya tim pembisik presiden yang melulu mencari keuntungan material dibalik otoritas yang dimiliki sang presiden. Tumbangnya Gus Dur atas dasar impeachment parlemen itu, kemudian digantikan oleh wakilnya yaitu Megawati Soekarnoputri. Kepemimpinan Megawati lebih memuluskan jalannya proses demokratisasi yang telah dirintis oleh dua orang peresiden sebelumnya Habiebie dan Gus Dur. Megawati telah mampu melakukan pengawalan terhadap suksesnya Pemilu Presiden secara langsung oleh rakyat Indonesia yang pertama kalinya sejak republik ini berdiri. Namun dibalik susksesnya menghantarkan masa transisi demokrasi, Mega tidak mampu untuk bertahan sebagai Presiden pada Pemilu Presiden secara langsung. Hal ini bukan saja karena sikap Mega yang selama ini apatis dalam merespon fenomena kebangsaan yang ada, akan tetapi karena ulah para pembantunya yang seringkali menodai nilai demokrasi yang tengah disemaikan. Harapan Versus Tindakan Pemerintahan Gus Dur Berbagai harapan terhadap duet antara Gus Dur dan Megawati dalam mengendalikan bangsa ini banyak yang memprediksikan dapat membawa keluar bangsa ini dari multi krisis yang tengah melanda dan menyakitkan kehidupan rakyat. Harapan ini, pada tahaptahap awal perjalanan pemerintahan Gus Dur dibuktikan dengan sikap akomodatif yang tercermin dari terbentuknya kabinet yang berasal dari berbagai kelompok kepentingan dan mewakili semua anasir kebangsaan yang ada. Dan semua anasir yang tergabung dalam kabinat Gus Dur secara serempak mendukung dan menyatakan sanggup untuk memikul bersama demi kepentingan bangsa. Eksistensi pemerintahan Gus Dur ini disadarai dan dipahami oleh semua elemen bangsa berada di tengah-tengah pusaran transisi demokrasi. Pada masa transisi kebijakankibijakan pemerintah harus dapat mengakomodasi kepentingan status quo dan kepentingan reformasi di sisi lain, sehingga balance of power dapat terwujud yang akan berimplikasi pada pemantapan dukungan terhadap eksisrensi pemerintahan dari semua

lini. Walaupun garda reformasi muatannya lebih dominan ketimbang status quo, namun dalam menjalankan agenda reformasi terutama dalam dataran teknis pemerintah harus melakukannya secara gradual. Di samping itu, masukan dari semua lini yang menjadi lawan politik pemerintah harus menjadi pertimbangan dan masukan utama, terlebih pemilihan Gus Dur menjadi Presiden semata-mata atas dukungan simatik bukan kepentingan politik. Hal ini yang semestinya dipahami oleh Gus Dur sebagai Presiden terpilih ketika itu. Alih-alih demi kepentingan reformasi, kebijakan awal pemerintahan Gus Dur telah melukai sebagian warga bangsa yaitu dengan membubarkan Departemen Sosial dan Menteri Negara Pemuda dan Olah Raga. Sekalipun tujuannya baik yaitu untuk menciptakan efesiensi di tubuh pemerintaham, namun momentumnya kurang tepat karena adanya ketercabikan kondisi bangsa di tengah krisis ekonomi yang melanda. Juga adanya keinginan untuk mencabut Tap MPR-RI tentang larangan terhadap partai komunis. Bila dilihat dari semangat reformasi dan demokratisasi terutama terkait dengan masalah kebebasan berpendapat dan berserikat hal ini dapat dibenarkan, namun dari segi konsensus nasional berdaasrkan fakta sejarah yang sudah mengkristal hal ini akan menjadi problem tersendiri. Banyak anggapan bahwa hal ini kepentingan Gus Dur semata, untuk mendapat simpati dari para keluarga yang tergabung dalam PKI. Perencanaan program pemerintahan semacam ini, tidak didasarkan pada prinsip kelayakan, baik layak secara ekonomis, teknologi, maupun lingkungan strategis yang melingkupinya. Hal ini tentunya berimplikasi pada implementasi perjalanan sebuah roda pemerintahan yang semestinya menggelinding secara mulus, akan tetapi banyak kendala yang menjadi aral yang dapat menyandung perjalanan pemerintahan bahkan mungkin dapat memberhentikannya di tengah jalan. Oleh karena itu, perencanaan program pemerintah harus didasarkan pada objektifitas dan realitas kehidupan bangsa yang ada, buka didasarkan pada kepentingan politik sesaat apalagi kepentingan pihak-pihak pembisik yang memiliki interest individu. Pada perjalanan berikutnya, gaya politik Presiden Gus Dur berubah dari gaya politik kompromi menjadi gaya politik konflik. Ini terbukti bahwa untuk menjatuhkan lawanlawan politiknya diciptakan manajemen konflik dan konflik itu dihembusjkan di tingkat level internasional. Seperti menuntut mundur Wiranto ketika Gus Dur berada di luar negeri, dengan alasan bahwa menurut rekoemndasi KPP HAM, Wiranto terlibat dalam pembumihangusan Timor Timur pasca jajak pendapat. Di sinilah awal mulanya keterakan hubungan antara pemerintahan Gus Dur dengan TNI. Lebih parah lagi, ketika Gus Dur mencoba mengobok-obok Polri lewat pemecatannya terhadap Kapolri Bimantoro dengan mendudukan Khaerudin menjabat sebagai Kapolri. Hal ini dalam spekulasi politik Gus Dur akan dapat memperkuat posisi Gus Dur di tengah gencarnya manuver politik dari pihak

lawan-lawannya. Namun spekulasinya meleset, karena bukannya dukungan yang didapatkan Gus Dur melainkan semakin renggangnya hubungan antara Gus Dur dengan pihak Polri dan TNI.

C.Megawati Soekarnoputri Presiden Republik Indonesia ke-5, Megawati Soekarnoputri lahir di Yogyakarta, 23 Januari 1947. Sebelum diangkat sebagai presiden, beliau adalah Wakil Presiden RI yang ke-8 dibawah pemerintahan Abdurrahman Wahid. Megawati adalah putri sulung dari Presiden RI pertama yang juga proklamator, Soekarno dan Fatmawati. Megawati, pada awalnya menikah dengan pilot Letnan Satu Penerbang TNI AU, Surendro dan dikaruniai dua anak lelaki bernama Mohammad Prananda dan Mohammad Rizki Pratama. Pada suatu tugas militer, tahun 1970, di kawasan Indonesia Timur, pilot Surendro bersama pesawat militernya hilang dalam tugas. Derita tiada tara, sementara anaknya masih kecil dan bayi. Namun, derita itu tidak berkepanjangan, tiga tahun kemudian Mega menikah dengan pria bernama Taufik Kiemas, asal Ogan Komiring Ulu, Palembang. Kehidupan keluarganya bertambah bahagia, dengan dikaruniai seorang putri Puan Maharani. Kehidupan masa kecil Megawati dilewatkan di Istana Negara. Sejak masa kanak-kanak, Megawati sudah lincah dan suka main bola bersama saudaranya Guntur. Sebagai anak gadis, Megawati mempunyai hobi menari dan sering ditunjukkan di hadapan tamu-tamu negara yang berkunjung ke Istana. Wanita bernama lengkap Dyah Permata Megawati Soekarnoputri ini memulai pendidikannya, dari SD hingga SMA di Perguruan Cikini, Jakarta. Sementara, ia pernah belajar di dua Universitas, yaitu Fakultas Pertanian, Universitas Padjadjaran, Bandung (1965-1967) dan Fakultas Psikologi Universitas Indonesia (1970-1972). Kendati lahir dari keluarga politisi jempolan, Mbak Mega -- panggilan akrab para pendukungnya -- tidak terbilang piawai dalam dunia politik. Bahkan, Megawati sempat dipandang sebelah mata oleh teman dan lawan politiknya. Beliau bahkan dianggap sebagai pendatang baru dalam kancah politik, yakni baru pada tahun 1987. Saat itu Partai Demokrasi Indonesia (PDI) menempatkannya sebagai salah seorang calon legislatif dari daerah pemilihan Jawa Tengah, untuk mendongkrak suara. Masuknya Megawati ke kancah politik, berarti beliau telah mengingkari kesepakatan keluarganya untuk tidak terjun ke dunia politik. Trauma politik keluarga itu ditabraknya. Megawati tampil menjadi primadona dalam kampanye PDI, walau tergolong tidak banyak bicara. Ternyata memang berhasil. Suara untuk PDI naik. Dan beliau pun terpilih menjadi anggota DPR/MPR. Pada tahun itu pula Megawati terpilih sebagai Ketua DPC PDI Jakarta Pusat. Tetapi, kehadiran Mega di gedung DPR/MPR sepertinya tidak terasa. Tampaknya, Megawati tahu bahwa beliau masih di bawah tekanan. Selain memang sifatnya pendiam,

belaiu pun memilih untuk tidak menonjol mengingat kondisi politik saat itu. Maka belaiu memilih lebih banyak melakukan lobi-lobi politik di luar gedung wakil rakyat tersebut. Lobi politiknya, yang silent operation, itu secara langsung atau tidak langsung, telah memunculkan terbitnya bintang Mega dalam dunia politik. Pada tahun 1993 dia terpilih menjadi Ketua Umum DPP PDI. Hal ini sangat mengagetkan pemerintah pada saat itu. Proses naiknya Mega ini merupakan cerita menarik pula. Ketika itu, Konggres PDI di Medan berakhir tanpa menghasilkan keputusan apa-apa. Pemerintah mendukung Budi Hardjono menggantikan Soerjadi. Lantas, dilanjutkan dengan menyelenggarakan Kongres Luar Biasa di Surabaya. Pada kongres ini, nama Mega muncul dan secara telak mengungguli Budi Hardjono, kandidat yang didukung oleh pemerintah itu. Mega terpilih sebagai Ketua Umum PDI. Kemudian status Mega sebagai Ketua Umum PDI dikuatkan lagi oleh Musyawarah Nasional PDI di Jakarta. Namun pemerintah menolak dan menganggapnya tidak sah. Karena itu, dalam perjalanan berikutnya, pemerintah mendukung kekuatan mendongkel Mega sebagai Ketua Umum PDI. Fatimah Ahmad cs, atas dukungan pemerintah, menyelenggarakan Kongres PDI di Medan pada tahun 1996, untuk menaikkan kembali Soerjadi. Tetapi Mega tidak mudah ditaklukkan. Karena Mega dengan tegas menyatakan tidak mengakui Kongres Medan. Mega teguh menyatakan dirinya sebagai Ketua Umum PDI yang sah. Kantor DPP PDI di Jalan Diponegoro, sebagai simbol keberadaan DPP yang sah, dikuasai oleh pihak Mega. Para pendukung Mega tidak mau surut satu langkah pun. Mereka tetap berusaha mempertahankan kantor itu. Soerjadi yang didukung pemerintah pun memberi ancaman akan merebut secara paksa kantor DPP PDI itu. Ancaman itu kemudian menjadi kenyataan. Pagi, tanggal 27 Juli 1996 kelompok Soerjadi benar-benar merebut kantor DPP PDI dari pendukung Mega. Namun, hal itu tidak menyurutkan langkah Mega. Malah, dia makin memantap langkah mengibarkan perlawanan. Tekanan politik yang amat telanjang terhadap Mega itu, menundang empati dan simpati dari masyarakat luas. Mega terus berjuang. PDI pun menjadi dua. Yakni, PDI pimpinan Megawati dan PDI pimpinan Soerjadi. Massa PDI lebih berpihak dan mengakui Mega. Tetapi, pemerintah mengakui Soerjadi sebagai Ketua Umum PDI yang sah. Akibatnya, PDI pimpinan Mega tidak bisa ikut Pemilu 1997. Setelah rezim Orde Baru tumbang, PDI Mega berubah nama menjadi PDI Perjuangan. Partai politik berlambang banteng gemuk dan bermulut putih itu berhasil memenangkan Pemilu 1999 dengan meraih lebih tiga puluh persen suara. Kemenangan PDIP itu menempatkan Mega pada posisi paling patut menjadi presiden dibanding kader partai lainnya. Tetapi ternyata pada SU-MPR 1999, Mega kalah. Tetapi, posisi kedua tersebut rupanya sebuah tahapan untuk kemudian pada waktunya memantapkan Mega pada posisi sebagai orang nomor satu di negeri ini. Sebab kurang dari dua tahun, tepatnya tanggal 23 Juli 2001 anggota MPR secara aklamasi menempatkan Megawati duduk sebagai Presiden RI ke-5 menggantikan KH Abdurrahman Wahid. Megawati menjadi presiden hingga 20 Oktober 2003. Setelah habis masa jabatannya, Megawati kembali mencalonkan diri sebagai presiden dalam pemilihan presiden langsung

tahun 2004. Namun, beliau gagal untuk kembali menjadi presiden setelah kalah dari Susilo Bambang Yudhoyono yang akhirnya menjadi Presiden RI ke-6. (Dari Berbagai Sumber) Megawati Soekarnoputri atau umum dikenal sebagai Mega (lahir di Yogyakarta, 23 Januari 1947; umur 65 tahun) adalah Presiden Indonesia yang kelima yang menjabat sejak 23 Juli 2001 20 Oktober 2004. Ia merupakan presiden wanita Indonesia pertama dan anak presiden Indonesia pertama yang mengikuti jejak ayahnya menjadi presiden. Pada 20 September 2004, ia kalah oleh Susilo Bambang Yudhoyono dalam tahap kedua pemilu presiden 2004. Ia menjadi presiden setelah MPR mengadakan Sidang Istimewa MPR pada tahun 2001. Sidang Istimewa MPR diadakan dalam menanggapi langkah Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang membekukan lembaga MPR/DPR dan Partai Golkar. Ia dilantik pada 23 Juli 2001. Sebelumnya dari tahun 1999-2001, ia menjabat Wakil Presiden di bawah Gus Dur. Megawati juga merupakan ketua umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) sejak memisahkan diri dari Partai Demokrasi Indonesia pada tahun 1999.

Kehidupan Awal Megawati adalah anak kedua Presiden Soekarno yang telah memproklamasikan kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945. Ibunya Fatmawati kelahiran Bengkulu di mana Sukarno dahulu diasingkan pada masa penjajahan belanda. Megawati dibesarkan dalam suasana kemewahan di Istana Merdeka. Dia pernah menuntut ilmu di Universitas Padjadjaran di Bandung (tidak sampai lulus) dalam bidang pertanian, selain juga pernah mengenyam pendidikan di Fakultas Psikologi Universitas Indonesia (tetapi tidak sampai lulus). Karier politik Mega yang penuh liku seakan sejalan dengan garis kehidupan rumah tangganya yang pernah mengalami kegagalan. Suami pertamanya, seorang pilot AURI, tewas dalam kecelakaan pesawat di laut sekitar Biak, Irian Jaya. Waktu itu usia Mega masih awal dua puluhan dengan dua anak yang masih kecil. Namun, ia menjalin kasih kembali dengan seorang pria asal Mesir, tetapi pernikahannya tak berlangsung lama. Kebahagiaan dan kedamaian hidup rumah tangganya baru dirasakan setelah ia menikah dengan Moh. Taufiq Kiemas, rekannya sesama aktivis di GMNI dulu, yang juga menjadi salah seorang penggerak [[Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan|PDIP] Karier Politik

Jejak politik sang ayah berpengaruh kuat pada Megawati. Karena sejak mahasiswa, saat kuliah di Fakultas Pertanian Universitas Pajajaran, ia pun aktif di GMNI (Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia). 1986 Tahun 1986 ia mulai masuk ke dunia politik, sebagai wakil ketua PDI Cabang Jakarta Pusat. Karier politiknya terbilang melesat. Mega hanya butuh waktu satu tahun menjadi anggota DPR RI. Dalam Kongres Luar Biasa PDI yang diselenggarakan di Surabaya 1993, Megawati terpilih secara aklamasi sebagai Ketua Umum PDI. Namun, pemerintah tidak puas dengan terpilihnya Mega sebagai Ketua Umum PDI. Mega pun didongkel dalam Kongres PDI di Medan pada tahun 1996, yang memilih Soerjadi sebagai Ketua Umum PDI. Mega tidak menerima pendongkelan dirinya dan tidak mengakui Kongres Medan. Ia masih merasa sebagai Ketua Umum PDI yang sah. Kantor dan perlengkapannya pun dikuasai oleh pihak Mega. Pihak Mega tidak mau surut satu langkah pun. Mereka tetap berusaha mempertahankan kantor DPP PDI. Namun, Soerjadi yang didukung pemerintah memberi ancaman akan merebut secara paksa kantor DPP PDI yang terletak di Jalan Diponegoro. Ancaman Soerjadi kemudian menjadi kenyataan. Tanggal 27 Juli 1996 kelompok Soerjadi benar-benar merebut kantor DPP PDI dari pendukung Mega. Aksi penyerangan yang menyebabkan puluhan pendukung Mega meninggal itu, berbuntut pada kerusuhan massal di Jakarta yang dikenal dengan nama Peristiwa 27 Juli. Kerusuhan itu pula yang membuat beberapa aktivis mendekam di penjara. Peristiwa penyerangan kantor DPP PDI tidak menyurutkan langkah Mega. Malah, ia makin mantap mengibarkan perlawanan. Ia memilih jalur hukum, walaupun kemudian kandas di pengadilan. Mega tetap tidak berhenti. Tak pelak, PDI pun terbalah dua: PDI di bawah Soerjadi dan PDI pimpinan Mega. Pemerintah mengakui Soerjadi sebagai Ketua Umum PDI yang sah. Namun, massa PDI lebih berpihak pada Mega. Keberpihakan massa PDI kepada Mega makin terlihat pada pemilu 1997. Perolehan suara PDI di bawah Soerjadi merosot tajam. Sebagian massa Mega berpihak ke Partai Persatuan Pembangunan, yang kemudian melahirkan istilah "Mega Bintang". Mega sendiri memilih golput saat itu.

1993 1996

1997

1999

Wakil Presiden RI Megawati Soekarnoputri (1999-2001) Pemilu 1999, PDI Mega yang berubah nama menjadi PDI Perjuangan berhasil memenangkan pemilu. Meski bukan menang telak, tetapi ia berhasil meraih lebih dari tiga puluh persen suara. Massa pendukungnya, memaksa supaya Mega menjadi presiden. Mereka mengancam, kalau Mega tidak jadi presiden akan terjadi revolusi.

Namun alur yang berkembang dalam Sidang Umum 1999 mengatakan lain: memilih KH Abdurrahman Wahid sebagai Presiden. Ia kalah tipis dalam voting pemilihan Presiden: 373 banding 313 suara. 2001 Namun, waktu juga yang berpihak kepada Megawati Sukarnoputri. Ia tidak harus menunggu lima tahun untuk menggantikan posisi Presiden Abdurrahman Wahid, setelah Sidang Umum 1999 menggagalkannya menjadi Presiden. Sidang Istimewa MPR, Senin (23/7/2001), telah menaikkan statusnya menjadi Presiden, setelah Presiden Abdurrahman Wahid dicabut mandatnya oleh MPR RI. Masa pemerintahan Megawati ditandai dengan semakin menguatnya konsolidasi demokrasi di Indonesia, dalam masa pemerintahannyalah, pemilihan umum presiden secara langsung dilaksanakan dan secara umum dianggap merupakan salah satu keberhasilan proses demokratisasi di Indonesia. Ia mengalami kekalahan (40% - 60%) dalam pemilihan umum presiden 2004 tersebut dan harus menyerahkan tonggak kepresidenan kepada Susilo Bambang Yudhoyono mantan Menteri Koordinator pada masa pemerintahannya.

2004

D. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono

Susilo Bambang Yudhoyono adalah presiden RI ke-6. Berbeda dengan presiden sebelumnya, beliau merupakan presiden pertama yang dipilih secara langsung oleh rakyat dalam proses Pemilu Presiden putaran II 20 September 2004. Lulusan terbaik AKABRI (1973) yang akrab disapa SBY ini lahir di Pacitan, Jawa Timur 9 September 1949. Istrinya bernama Kristiani Herawati, merupakan putri ketiga almarhum Jenderal (Purn) Sarwo Edhi Wibowo.Pensiunan jenderal berbintang empat ini adalah anak tunggal dari pasangan R. Soekotjo dan Sitti Habibah. Darah prajurit menurun dari ayahnya yang pensiun sebagai Letnan Satu. Sementara ibunya, Sitti Habibah, putri salah seorang pendiri Ponpes Tremas. Beliau dikaruniai dua orang putra yakni Agus Harimurti Yudhoyono (mengikuti dan menyamai jejak dan prestasi SBY, lulus dari Akmil tahun 2000 dengan meraih penghargaan Bintang Adhi Makayasa) dan Edhie Baskoro Yudhoyono (lulusan terbaik SMA Taruna Nusantara, Magelang yang kemudian menekuni ilmu ekonomi). Namun kemudian, SBY justru memilih masuk Pendidikan Guru Sekolah Lanjutan Pertama (PGSLP) di Malang, Jawa Timur. Sewaktu belajar di PGSLP Malang itu, beliau mempersiapkan diri untuk masuk Akabri. Tahun 1970, akhirnya masuk Akabri di Magelang, Jawa Tengah, setelah lulus ujian penerimaan akhir di Bandung. SBY satu angkatan dengan Agus Wirahadikusumah, Ryamizard Ryacudu, dan Prabowo Subianto. Semasa pendidikan, SBY yang mendapat julukan Jerapah, sangat menonjol. Terbukti, belaiu meraih predikat lulusan terbaik Akabri 1973 dengan menerima penghargaan lencana Adhi Makasaya.Pendidikan militernya dilanjutkan di Airborne and Ranger Course di Fort Benning, Georgia, AS (1976), Infantry Officer Advanced Course di Fort Benning, Georgia, AS (1982-1983) dengan meraih honor graduate, Jungle Warfare Training di Panama (1983), Anti Tank Weapon Course di Belgia dan Jerman (1984), Kursus Komandan Batalyon di Bandung (1985), Seskoad di Bandung (1988-1989) dan Command and General Staff

College di Fort Leavenworth, Kansas, AS (1990-1991). Gelar MA diperoleh dari Webster University AS. Perjalanan karier militernya, dimulai dengan memangku jabatan sebagai Dan Tonpan Yonif Linud 330 Kostrad (Komandan Peleton III di Kompi Senapan A, Batalyon Infantri Lintas Udara 330/Tri Dharma, Kostrad) tahun 1974-1976, membawahi langsung sekitar 30 prajurit. Batalyon Linud 330 merupakan salah satu dari tiga batalyon di Brigade Infantri Lintas Udara 17 Kujang I/Kostrad, yang memiliki nama harum dalam berbagai operasi militer. Ketiga batalyon itu ialah Batalyon Infantri Lintas Udara 330/Tri Dharma, Batalyon Infantri Lintas Udara 328/Dirgahayu, dan Batalyon Infantri Lintas Udara 305/Tengkorak. Kefasihan berbahasa Inggris, membuatnya terpilih mengikuti pendidikan lintas udara (airborne) dan pendidikan pasukan komando (ranger) di Pusat Pendidikan Angkatan Darat Amerika Serikat, Ford Benning, Georgia, 1975. Kemudian sekembali ke tanah air, SBY memangku jabatan Komandan Peleton II Kompi A Batalyon Linud 305/Tengkorak (Dan Tonpan Yonif 305 Kostrad) tahun 1976-1977. Beliau pun memimpin Pleton ini bertempur di Timor Timur. Sepulang dari Timor Timur, SBY menjadi Komandan Peleton Mortir 81 Yonif Linud 330 Kostrad (1977). Setelah itu, beliau ditempatkan sebagai Pasi-2/Ops Mabrigif Linud 17 Kujang I Kostrad (1977-1978), Dan Kipan Yonif Linud 330 Kostrad (1979-1981), dan Paban Muda Sops SUAD (1981-1982). Ketika bertugas di Mabes TNI-AD, itu SBY kembali mendapat kesempatan sekolah ke Amerika Serikat. Dari tahun 1982 hingga 1983, beliau mengikuti Infantry Officer Advanced Course, Fort Benning, AS, 1982-1983 sekaligus praktek kerja-On the job training di 82-nd Airbone Division, Fort Bragg, AS, 1983. Kemudian mengikuti Jungle Warfare School, Panama, 1983 dan Antitank Weapon Course di Belgia dan Jerman, 1984, serta Kursus Komando Batalyon, 1985. Pada saat bersamaan SBY menjabat Komandan Sekolah Pelatih Infanteri (1983-1985) Lalu beliau dipercaya menjabat Dan Yonif 744 Dam IX/Udayana (1986-1988) dan Paban Madyalat Sops Dam IX/Udayana (1988), sebelum mengikuti pendidikan di Sekolah Staf dan Komando TNI-AD (Seskoad) di Bandung dan keluar sebagai lulusan terbaik Seskoad 1989. SBY pun sempat menjadi Dosen Seskoad (1989-1992), dan ditempatkan di Dinas Penerangan TNI-AD (Dispenad) dengan tugas antara lain membuat naskah pidato KSAD Jenderal Edi Sudradjat. Lalu ketika Edi Sudradjat menjabat Panglima ABRI, beliau ditarik ke Mabes ABRI untuk menjadi Koordinator Staf Pribadi (Korspri) Pangab Jenderal Edi Sudradjat (1993). Prestasi dan Kinerja Pemerintahan SBY Posted on Maret 24, 2009 by A Nizami Jika kita lihat Kinerja Pemerintahan SBY yang merupakan Koalisi PD, Golkar, dan beberapa partai lainnya akan kita lihat sisi positif dan negatif. Sisi positifnya adalah pemerintah SBY berhasil meredam berbagai konflik di Ambon, Sampit, dan juga di Aceh. Ini satu nilai positif dibanding Wiranto yang ketika jadi Pangab,

namun gagal mengatasi konflik tersebut (bisa jadi ini karena presidennya kurang mendukung). Kemudian SBY (PD) bersama Wapresnya, Jusuf Kalla (Golkar), dan Mentan Anton Apriyantono (PKS), bekerjasama dan berhasil membuat Indonesia swasembada beras. Ini satu prestasi yang luar biasa. Karena Soeharto sekalipun dalam 32 tahun pemerintahannya hanya berhasil melakukan swasembada pada tahun-tahun terakhir. Itu pun kemudian minus lagi. Kemudian berbagai pemberantasan korupsi oleh KPK juga cukup menggembirakan meski ada beberapa kekurangan. Contohnya kenapa yang tertangkap kok justru dari partai kecil dan pinggiran seperti Al Amin dari PPP (perolehan suara cuma 9%), Bulyan Royan dari PBR (2%), dan Abdul Hadi dari PAN (7%), sementara partai utama seperti PD (pendukung SBY) dan Golkar (partai JK) justru bersih? Padahal secara logika, korupsi itu dilakukan oleh pihak yang berkuasa atau punya wewenang. Orang tidak akan menyuap seseorang yang tidak punya kekuasaan untuk memenuhi keinginannya. Oleh karena itu, kasus tersebut harusnya diusut tuntas karena di DPR, mekanisme pengambilan keputusan itu berdasarkan suara terbanyak. Jadi penyuap harus menguasai 50% suara + 1 agar uang suapnya tidak mubazir. Tingginya Anggaran Pendidikan yang 20% dari APBN (Rp 400 ribu/siswa/bulan), tapi hasilnya tidak terasa karena masuk PTN seperti UI tetap mahal (Standar Uang Masuk Rp 25-75 juta dan Iuran Rp 15 juta/tahun) harusnya jadi indikasi bahwa ada yang harus diperbaiki.Di antaranya Bensin Premium ketika SBY baru berkuasa tahun 2004 hanya Rp 1.800/liter. Namun oleh SBY dinaikkan jadi RP 2.400, kemudian jadi Rp 4.500, dan akhirnya Rp 6.000/liter mengikuti harga pasar NYMEX yang dimainkan para Spekulan Pasar Komoditas. Akhirnya harga barang-barang naik dan membuat rakyat menderita. Banyak pabrik dan kantor akhirnya bangkrut sehingga konsumsi BBM dunia pun turun dan harga minyak NYMEX juga turun. Toh pemerintahan SBY meski 3 kali menurunkan harga BBM jadi 5.500, 5.000 dan terakhir 4.500/liter masih di atas harga minyak dunia untuk Premium yang harusnya bersubsidi. Sehingga tidak terjadi penurunan harga barang yang signifikan. Bahkan turunnya nilai rupiah dari Rp 7.000/1 US$ zaman Habibie, Rp 8.000 zaman Gus Dur dan Mega, turun jauh di zaman SBY jadi Rp 12.000/1 US$. Akibatnya berbagai harga barang mengalami kenaikan seperti harga kendaraan, komputer, dsb. Jika kita lihat, rata-rata kenaikan harga barang adalah 114% sementara kenaikan UMR hanya 57%. Itu pun jika disurvey (misalnya di Mal-mal atau pertokoan) belum tentu semua pegawai menikmati upah UMR. Belum lagi jutaan orang yang diPHK di tahun 2008-2009 akibat Krisis Ekonomi. Jatuhnya nilai rupiah sebesar 50% dari Rp 8.000/1 US$ jadi Rp 12.000/1 US$ menandakan Indonesia yang merupakan sapi perahan AS lebih parah kondisinya ketimbang sang pemerah, AS.

Dari angka di atas yang menunjukkan kenaikan harga barang melebihi kenaikan pendapatan, meski secara Statistik PDB naik atau terjadi Pertumbuhan Ekonomi karena naiknya pendapatan dan pengeluaran, tapi kenyataannya angka kemiskinan bertambah karena besar Kenaikan Pendapatan < Kenaikan Harga Barang. Kalau secara Statistik angka Kemiskinan berkurang, itu karena Garis Kemiskinan yang dipakai untuk menentukan orang itu miskin tidak standar. Garis Kemiskinan yang dipakai BPS hanya orang yang berpenghasilan Rp 182.636 ke bawah. Padahal Garis Kemiskinan Internasional yang ditetapkan oleh World Bank adalah US$ 1 per orang/hari untuk kemiskinan absolut (hidup laksana binatang sekedar makan dan minum) dan US$ 2 per orang/hari untuk kemiskinan moderat. Jadi kalau BPS memakai Garis Kemiskinan yang baku yaitu Rp 720.000/orang, maka jumlah penduduk miskin Indonesia meningkat 4 x lipat. Kalau misalnya menurut BPS jumlah penduduk miskin ada 34,9 juta, maka menurut standar baku, jumlah sebenarnya adalah 140 juta jiwa atau lebih dari separuh rakyat Indonesia. Kebijakan Pajak yang dianut SBY pun mirip kebijakan rezim George W Bush yang menganut sistem Neoliberalisme. Orang-orang menengah bawah dipaksa membayar pajak lebih besar, sementara pajak bagi orang kaya justru dikurangi. Saat ini orang yang penghasilannya Rp 1,32 juta/bulan wajib bayar pajak. Jika tidak, bisa dipenjara. Padahal di Jakarta, untuk orang yang berkeluarga jangankan Rp 1,32 juta/bulan, Rp 3 juta/bulan saja tidak cukup karena biaya hidup terus mengalami kenaikan. Ironisnya uji materi terhadap pajak agar wajib pajak adalah yang penghasilannya minimal Rp 5 juta/bulan ditolak oleh MK. Selain itu di zaman SBY Indonesia tetap belum bisa mandiri. Lebih dari 90% migas kita masih dikelola oleh asing (mayoritas AS) di mana mereka menikmati hingga lebih 40% dari hasil yang didapat. Untuk pertambangan emas, perak, tembaga, dsb lebih parah lagi. Perusahaan asing mendapat 85%, sementara 240 juta rakyat Indonesia harus puas dengan hanya 15% saja. Menurut PENA, Rp 2.000 Trilyun/Tahun masuk ke kantong perusahaanperusahaan asing. Meski para kaki tangan perusahaan asing (segelintir ekonom Neoliberalis dan dosen PTN) tersebut Indonesia untung dapat pajak, tapi BUMN dan rakyat Indonesia juga bayar pajak! Padahal jika uang tersebut dinikmati oleh warga Indonesia, bisa-bisa APBN Indonesia mencapai RP 3.000 trilyun/tahun! Atau Rp 50 juta/tahun per keluarga Indonesia! Rakyat Indonesia bisa makmur jika pemimpin Indonesia punya kemauan untuk mandiri. BUMN seperti INKA sudah bisa membuat mobil Kancil dan sekarang tengah membuat mobil Gea yang konsumsi BBM hanya 1:30 dan bisa memakai AC dengan harga jual hanya Rp 40 juta/mobil. Pasar kendaraan di Indonesia saat ini terdiri dari 6,2 juta motor dan 1 juta mobil dengan nilai Rp 220 trilyun/tahun. Jika presiden Indonesia mendukungnya dengan menyisihkan 1% dari APBN (RP 10 trilyun), maka paling tidak bangsa Indonesia bisa menguasai Rp 100 trilyun/tahun dari pasar kendaraan yang ada. Indonesia bisa menghemat devisa dan membuka lapangan pekerjaan bagi rakyatnya.

Harusnya APBN digunakan untuk hal produktif ketimbang hanya konsumtif seperti gaji besar, rumah dan mobil mewah pejabat, studi banding ke LN beramai-ramai yang tidak ada hasilnya, dan sebagainya. Kebijakan Ekonomi Neoliberalisme yang didiktekan IMF dan Bank Dunia yang membuat Indonesia sangat bergantung pada Luar Negeri dan tidak mandiri harus dihentikan. Sebagai contoh saat ini Indonesia sangat bergantung pada Hutang Luar Negeri. Tahun 2006 hutang LN Indonesia US$ 125 Milyar (Rp 1.500 Trilyun). Jauh melebihi APBN 2009 yang hanya 1.037 Trilyun. Cicilan hutang tahun 2008 pun mencapai Rp 250 Trilyun/tahun. Jauh di atas anggaran untuk pendidikan. Belum lagi persyaratan Hutang LN seperti Privatisasi, Penyerahan Kekayaan Alam Indonesia kepada perusahaan-perusahaan asing (nilainya menurut PENA Rp 2.000 Trilyun/tahun), Liberalisasi Perdagangan, dan juga Deregulasi yang mengakibatkan Krisis Ekonomi tahun 1998 berulang kembali di 2008. Kebijakan Pengemis seperti bergantung pada Investor Asing yang umumnya tak lebih dari spekulan Saham/Uang yang sewaktu-waktu dapat menarik modalnya kembali seperti saat krisis sekarang ini juga berbahaya. Sudah saatnya para pemimpin Indonesia menghentikan Kebijakan Ekonomi seperti itu. Hendaknya para pemimpin Indonesia meminta nasehat dari para Ekonom yang mengajarkan Sistem Ekonomi Rakyat dan Kemandirian Nasional. Semoga kita bisa mengetahui fakta dan kenyataan yang sebenarnya sehingga bisa memperbaikinya lebih baik lagi. Angka Kemiskinan Disulap Pemerintah [JAKARTA] Pemerintah dinilai telah menyulap data angka kemiskinan agar terlihat berkurang dan seolah-olah berhasil. Jumlah pekerja pada Februari 2007 sebanyak 97,6 juta orang dan pada akhir 2008, pemerintah menyebutkan data jumlah pekerja sebanyak 102 juta orang. Dengan demikian, jumlah orang miskin berkurang drastis. Anggota DPR dari Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN) Drajad Wiboeo menjelaskan, pada Februari 2007 hingga akhir 2008 pemerintah menyebutkan telah tercipta 4,47 juta lapangan pekerjaan baru dan jumlah pengangguran mencapai 9,3 juta orang. Padahal, dari 102 juta orang itu, hanya 28 persen yang merupakan pekerja formal. Sisanya, tersebar di berbagai sektor informal, seperti tukang ojek, petani, pak ogah, dan buruh serabutan, tegas Drajad dalam dialog nasional Himpunan Pengusaha Pribumi Indonesia (Hippi), di Jakarta, Rabu (12/3). Menurut dia, pemerintah telah menyulap jumlah orang tersebut sebagai suatu keberhasilan yang membuat orang ramai-ramai menjadi pekerja informal dan dicatat Badan Pusat Statistik (BPS) sebagai pekerja. Padahal, penghasilan yang diterima sangat minim, bahkan nol.

Dalam dialog tersebut juga menghadirkan calon presiden dari Partai Gerindra Prabowo Subianto yang membahas berbagai untuk mengatasi pengangguran. Hal itu melihat upaya pemerintah saat ini gagal dan perlu terobosan baru. Dalam paparan visinya, Prabowo berupaya mengentaskan pengangguran dengan memanfaatkan 2,5 juta hektar lahan baru untuk diolah dan mendorong perbaikan sektor pangan melalui produksi beras, jagung, singkong, dan tebu. Investasi US$ 5 miliar bisa digunakan untuk mengolah 2,5 juta hektare lahan dimana satu hektar bisa mempekerjakan enam orang sehingga akan menciptakan lapangan kerja untuk 15 juta orang. Evaluasi 2 Tahun Pemerintahan SBY-Boediono dalam Penegakan HAM dan Reformasi Sektor Keamanan Masa pemerintahan di bawah kepemimpinan Presiden SBY-Boediono telah berumur dua tahun tepat pada 20 Oktober 2011 dan masa pemerintahan berikutnya tinggal menyisakan tiga tahun lagi. Terkait itu, koreksi dan evaluasi terhadap jalannya pemerintahan SBYBoediono ini sangat penting dilakukan. Di antaranya berkaitan dengan agenda penegakan HAM dan reformasi sektor keamanan . IMPARSIAL (the Indonesian Human Rights Monitor) memandang pencapaian selama dua tahun masa pemerintahan SBY-Boediono dalam upaya merealisasikan perbaikan di bidang Hak Asasi Manusia (HAM) dan Reformasi Sektor Keamanan (RSK) masih belum menunjukkan adanya kemajuan. Bahkan, dapat dikatakan terlihat tidak ada prestasi yang berarti selama dua tahun ini. Banyaknya agenda yang hingga kini macet, terbengkalai atau tidak dijalankan, memperlihatkan rendahnya komitmen dan perhatian pemerintah saat ini untuk memajukan HAM dan reformasi sektor keamanan. Kegagalan pemerintah selama dua tahun terhampar dalam banyak sektor. Mulai dari kegagalan perbaikan dan penataan regulasi yang dimandatkan, regulasi yang telah dibuat juga tidak berjalan implementasinya, hingga macetnya penegakan HAM. Penting dicatat bahwa upaya perbaikan kondisi HAM dan reformasi sektor keamanan merupakan bagian dari mandate reformasi yang harus dijalankan sejalan dengan proses demokratisasi Indonesia. Agenda itu harus diwujudkan secara kontinu dalam upaya mewujudkan negara Indonesia yang demokratis dan menjamin serta melindungi hak asas manusia. Secara prinsip, jaminan dan perlindungan terhadap hak asasi merupakan amanat konstitusi. Sementara reformasi sektor keamanan adalah wujud dari komitmen sebagai negara demokrasi, yang karena itu, telah menjadi keharusan bagi pemerintahan SBYBoediono untuk merealisasikannya. IMPARSIAL (the Indonesian Human Rights Monitor) mencatat hingga saat ini banyak agenda di bidang HAM dan RSK yang belum dijalankan meski pemerintahan SBY pada periode kedua kekuasaannya ini telah berjalan dua tahun. Berbagai agenda yang terbengkalai itu merentang mulai dari kebijakan hingga implementasi.

Pembentukan dan Penataan Regulasi Berkaitan dengan reformasi sektor keamanan, sejumlah agenda perbaikan di sektor ini yang sudah dimandatkan juga tercatat belum dijalankan. Misalnya adalah reformasi peradilan militer yang hingga kini masih menjadi sarang impunitas kasus pelanggaran HAM yang melibatkan TNI, implementasi pengambilalihan seluruh bisnis TNI yang belum tuntas, pembentukan UU tugas perbantuan. Selain itu, agenda lain yang penting dan belum berjalan adalah restrukturisasi komando teritorial. Sementara itu, alih-alih merealsiasikan berbagai agenda di atas yang sesuai dengan amanat reformasi, pemerintahan SBY-Boediono ini justru melahirkan regulasi yang berpotensi mengancam kebebasan masyarakat. Hal itu terlihat dengan disahkannya undang-undang intelijen, yang substansi pengaturannya banyak yang bermasalah dan mengancam kebebasan, serta mengancam criminal justice system. Disahkannya UU Intelijen ini sekali lagi memperlihatkan rendahnya komitmen pemerintah mendorong reformasi sektor keamanan yang menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi dan HAM. Reshuffle Kabinet Alih-alih membenahi kelemahan kinerja menteri-menterinya, dalam reshuffle kabinet yang dilakukan semalam, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengulangi lagi kesalahannya. Presiden masih tersandera kompromi politik dengan mempertahankan menteri-menteri bermasalah yang notabene adalah pimpinan partai-partai politik yang menjadi rekan koalisi. Presiden juga memaksakan diri menciptakan kementrian baru yang diragukan efektivitasnya, serta tidak mengutamakan profesionalitas dalam pelayanan kepada rakyat. Pada pokoknya, reshuffle yang dilakukan kali ini bukan menyelesaikan masalah, malah menambah masalah, sehingga rakyat akan semakin dikorbankan.IMPARSIAL (the Indonesian Human Rights Monitor) menilai bahwa masih banyaknya agenda perbaikan HAM dan reformasi sektor keamanan yang terbengkalai dan mandeg di tengah jalan ini dapat dikatakan sebagai bentuk kegagalan dua tahun jalannya masa pemerintahan SBYBoediono pada kedua bidang tersebut. Karena itu, kegagalan itu sudah seharusnya menjadi koreksi dan harus dievaluasi untuk perbaikan. Pelaksanaan berbagai agenda yang terbengkalai itu dapat menjadi ukuran sejauhmana pemerintahan saat ini memiliki komitmen terhadap HAM dan reformasi sektor keamanan. Terkait evaluasi terhadap jalannya dua tahun masa pemerintahan SBY-Boediono dalam bidang HAM dan reformasi sektor keamanan ini, maka IMPARSIAL (the Indonesian Human Rights Monitor) menuntut: 1. Komitmen dan keseriusan pemerintahan SBY-Boediono dalam upaya merealisasikan berbagai agenda pembentukan dan perbaikan kerangka regulasi nasional baik itu di bidang HAM ataupun RSK yang masih banyak terbengkalai; 2. Keseriusan pemerintahan SBY-Boediono dalam upaya mengusut tuntas berbagai kasus-kasus pelanggaran HAM, khususnya terkait pembunuhan aktivitas HAM Munir sebagaimana yang dijanjikan di awal periode kekuasaannya yang pertama;

3. Implementasi yang serius dan sungguh-sungguh dari pemerintahan saat ini terhadap berbagai jaminan normative HAM yang telah dibentuk, serta merealisasikan agenda reformasi sektor keamanan yang telah dimandatkan.

You might also like