You are on page 1of 37

Silabus Mata Kuliah Hukum Ekstradisi Dosen: Agustinus Supriyanto

No. 1 2 3

Pokok Bahasan Definini Ektradisi Sejarah dan Perkembangan Ekstradisi Asas-asas dalam Hukum Ekstradisi Yurisdiksi Universal melalui Mekanisme Ekstradisi Ekstradisi dan Hukum Nasional Indonesia Ekstradisi dan Era Globalisasi Perjanjian Ekstradisi Bilateral

Sub Pokok Bahasan Pengertian Otentik Ekstradisi Sejarah dan Perkembangan Ekstradisi -Asas Kejahatan Ganda - Asas Kekhususan - Asas tidak menyerahkan pelaku kejahatan politik - Asas tidak menyerahkan warga negara sendiri - Kejahatan terhadap kemanusiaan - Penerapan yurisdiksi universal melalui mekanisme ekstradisi - Hukum Pidana Indonesia - UU 1/ 1979 - Ekstradisi dalam hukum nasional dan hukum internasional - Ekstradisi dalam perkembangan kejahatan berdimensi internasional Perjanjian Bilateral Ekstradisi Perjanjian Ekstradisi Indonesia-Malaysia Perjanjian Ekstradisi Indonesia-Thailand Perjanjian Ekstradisi Indonesia-Australia Perjanjian Ekstradisi Indonesia-Hongkong Kejahatan Politik dalam Ekstradisi Perjanjian Multilateral tentang Ekstradisi Perjanjian Ekstradisi Indonesia-Singapura

4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14

Perjanjian Ekstradisi Indonesia-Malaysia Perjanjian Ekstradisi Indonesia-Thailand Perjanjian Ekstradisi Indonesia-Australia Perjanjian Ekstradisi Indonesia-Hongkong Kejahatan Politik dalam Ekstradisi Perjanjian Multilateral tentang Ekstradisi Perjanjian Ekstradisi Indonesia-Singapura

Tujuan Pembelajaran Setelah mengikuti perkuliahan ini mahasiswa akan mengetahui materi Undang-undang No. 1 Tahun 1979 tentang Ekstradisi dan beberapa perjanjian bilateral tentang ekstradisi.

Diskripsi Singkat Mata kuliah ini diberikan kepada mahasiswa agar mahasiswa mamahami ekstradisi sebagai pranata hukum yang menentukan pembatasan yang sangat ketat dalam proses permintaan dan penyerahan pelaku kejahatan yang berada di luar negeri. Hak-hak asasi manusia dari orang yang diminta benar-benar dihormati dan dilindungi.

Tugas yang diberikan Menyusun Paper individual dan kelompok Sistem Penilaian Untuk mendapatkan nilai akhir semester mahasiswa wajib mengikuti: 1. 2. 3. 4. Ujian tengah semester diperhitungkan 25 % Ujian akhir semester diperhitungkan 25 % Paper individual diperhitungkan 25% Paper kelompok diperhitungkan 25 %

Jadwal perkuliahan: menyesuaikan jadwal fakultas

Kontak dosen Agustinus Supriyanto Bagian Hukum Internasional 08179423492 supriyanto@mail.ugm.ac.id

Topik 1 Minggu ke-1 SUBSTANSl DAN RUANG LINGKUP DARI EKSTRADISI Ekstradisi dapat diartikan sebagai penyerahan yang dilakukan secara formal baik berdasarkan atas perjanjian ekstradisi yang sudah ada sebelumnya ataupun berdasarkan prinsip timbal balik atau hubungan baik, atas seseorang yang dituduh melakukan kejahatan (tersangka, terdakwa, tertuduh) atau seseorang yang telah dijatuhi hukuman pidana yang telah mempunyai kekuatan mengikat yang pasti (terhukum, terpidana), oleh negara tempatnya berada (negara-diminta) kepada negara yang memiliki yurisdiksi untuk mengadili atau menghukumnya (negara-peminta), atas permintaan dari negara peminta, dengan tujuan untuk mengadili dan atau pelaksanaan hukumannya. Dari rumusan singkat tentang ekstradisi tersebut, maka dapatlah ditarik beberapa unsurnya yaitu: 1. Unsur subyek, yaitu negara-diminta dan negara/negara-negara peminta; 2. Unsur obyek, yaitu orang yang diminta, yang bisa berstatus sebagai tersangka, tertuduh, terdakwa, ataupun terhukum; 3. Unsur prosedur atau tata cara, yaitu harus dilakukan menurut prosedur atau tata cara atau formalitas tertentu dan ; 4. Unsur tujuan, yaitu untuk tujuan mengadili dan atau penghukumannya. Di antara keempat unsur tersehut yang patut disoroti disini adalah unsur nomor 3 yaitu unsur prosedur atau tata cara atau formalitas tertentu. Di atas sudah dikemukakan, bahwa untuk dapat dilakukan penyerahan atau ekstradisi atas orang yang diminta, terlebih dahulu harus ada permintaan untuk menyerahkan orang yang bersangkutan dari negara-perninta kepada negara-diminta. Tanpa adanya permintaan terlebih dahulu dari negara-peminta kepada negara tempat orang yang bersangkutan berada (negara-diminta), maka negara yang belakangan ini tidak boleh menyerahkan orang yang bersangkutan. Permintaan untuk menyerahkan itu harus dilakukan melalui saluran diplomatik. Demikian pula jika negara-diminta menyetujui atau menolak permintaan negara-perintah harus memberitahukannya kepada negara-peminta dengan melalui saluran diplomatik. Mengenai keputusan untuk mengabulkan ataupun menolak permintaan dari negara-peminta, pejabat tinggi dari negara-diminta seperti misalnya Jaksa Agung, Kepala Kepolisian, Menteri Kehakiman, maupun Menteri Luar Negeri ikut terlibat dalam memberikan pertimbangan-pertirnbangan, untuk pada akhirnya diambil keputusan oleh pejabat yang berwenang dari negara-diminta. Sangat boleh jadi, bahwa suatu kasus tentang ekstradisi, jauh sebelumnya juga sudah melibatkan penegak-penegak hukum dalam tingkatan yang lebih rendah, misalnya pada waktu penangkapan, penahanan, pengawalan atas keamanannya, dan lain-lain. Hal ini berarti bahwa masalah ekstradisi ini 3

merupakan masalah negara dan antar negara. Sebagai masalah internal dari negara, maka pelaksanaannya harus rmenurut. Hukum atau perundang-undangan nasional negara tentang ekstradisi maupun peraturan perundang-undangan nasional lainnya yang terkait, seperti hukum acara pidana. Sedangkan sebagai masalah antar negara, pelaksanaannya harus dengan berdasarkan pada perjanjian- perjanjian internasional ataupun hukum kebiasaan internasional tentang ekstradisi. Sebagai masalah interen-negara dan antar negara, maka keputusan nntuk menyerahkan atau menolak permintaan ekstradisi atas seseorang yang diminta, tentu saja ada pada pejabat tinggi negara yang berwenang mewakili atau bertindak untuk dan atas nama negara dalam dalam masalah-masalah hubungan internasional. Jika orang yang diminta itu diputuskan untuk diserahkan oleh negara diminta kepada negara-peminta penyerahannyapun juga harus mengikuti prosedur atau tata cara tertentu. Misalnya, dimana dan kapan orang yang bersangkutan akan diserahkan, kendaraan yang digunakan, barang apa saja yang turut diserahkan, serta berita acara penyerahannya, dan lain-lainnya.

Topik 2
Minggu ke-2 PENGATURAN TENTANG EKSTRADISI DALAM HUKUM INTERNASIONAL DAN HUKUM NASIONAL. Akhir-akhir ini masalah ekstradisi muncul lagi ke permukaan dan ramai dibicarakan di kalangan masyarakat luas, terutama karena semakin lama semakin banyaknya pelaku kejahatan yang melarikan diri dari suatu negara ke negara lain, atau kejahatan yang menimbulkan akibat pada lebih dari satu negara, ataupun yang pelakunya lebih dari satu orang dan berada terpencar di lebih dari satu negara. Dengan perkataan lain, pelaku dan kejahatannya itu menjadi urusan dari dua negara atau lebih. Kejahatan-kejahatan semacam inilah yang disebut dengan kejahatan yang berdimensi internasional, atau kejahatan transnasional, bahkan ada pula yang menyebut kejahatan internasional. Dalam era globalisasi masyarakat internasional seperti sekarang ini dengan didukung oleh kemajuan teknologi, khususnya teknologi informasi, telekomunikasi, dan transportasi, timbulnya kejahatan-kejahatan yang berdimensi internasional ini akan semakin meningkat baik secara kuantitatif maupun kualitatif. Untuk mengatasinya tidaklah cukup hanya dilakukan oleh negara secara sendirisendiri, tetapi dibutuhkan kerjasama yang terpadu baik secara bilateral maupun multilateral. Salah satu lembaga hukum yang dipandang dapat menanggulangi kejahatan yang berdimensi internasional ini adalah ekstradisi. Oleh karena itu tidaklah mengherankan, jika timbul suatu kasus kejahatan yang berdimensi internasional, lembaga ekstradisi juga muncul ke permukaan, seolah-olah ekstradisi ini sebagai lembaga hukum yang ampuh untuk menyelesaikannya. Akan tetapi, apakah dalam kenyataannya memang benar demikian ? untuk itu baiklah ditinjau sepintas apa sebenarnya lembaga ekstradisi ini dan sejauhmanakah dia memang benar-benar berfungsi sebagai sarana untuk mencegah dan memberantas kejahatan yang berdimensi internasional. Selanjutnya perlu pula ditinjau kecenderungan masyarakat internasional atau negara-negara baik dalam pembuatan perjanjian-perjanjian ekstradisi ataupun perjanjian lain yang erat kaitannya dengan ekstradisi, dan pada akhirnya yang tidak kalah pentingnya adalah bagaimnana praktek negara-negara dalam menghadapi kasus-kasus mengenai ekstradisi. Dewasa ini lembaga hukum yang bernama ekstradisi ini sebenarnya telah menduduki tempat yang cukup mapan. Hal ini terbukti dari bentuk-bentuk hukum yang mengaturnya, baik berbentuk perjanjianperjanjian internasionnl bilateral, multilateral regional, maupun berbentuk peraturan perundang-undangan 5

nasional negara-negara. Bahkan pada tanggal 14 Desember 1990, Majelis Umum Perserikatan BangsaBangsa telah mengeluarkan Resolusi Nomor 45/117 tentang model Treaty on Extradotion, yang walaupun hanya berupa model hukum saja, jadi belum merupakan hukum internasional positif, tetapi dapat dijadikan sebagai model oleh negara-negara dalam membuat perjanjian-perjanjian tentang ekstradisi. Kini hampir semua negara di belahan bumi ini sudah mengenal lembaga hukum yang bernama ekstradisi ini. Meskipun sudah terdapat banyak perjanjian-perjanjian internasional maupun peraturan perundang-undangan nasional tentang ekstradisi, ternyata semuanya itu menganut asas-asas dan kaidahkaidah hukum dengan isi dan jiwa yang sama. Bahkan dalam prakteknya, ada negara-negara yang bersedia mengekstradisikan seorang pelaku kejahatan meskipun kedua negara itu belum terikat pada perjanjian ekstradisi atau mungkin juga belum memiliki peraturan perundang-undangan nasional tentang ekstradisi. Dalam menyelesaikan kasus ekstradisi tersebut, mereka berpegangan pada asas-asas dan kaidah-kaidah hukum tentang ekstradisi yang sudah dianut secara umum dan merata oleh bagian terbesar negara-negara di dunia. Oleh karena itulah lembaga ekstradisi ini sudah diakui atau diterima oleh para sarjana hukum internasional sebagai hukum kebiasaan internasional (international customary law). Hal ini memang bisa dipahami, karena lembaga ekstradisi ini sudah berumur cukup tua. Sebuah Perjanjian Perdamaian antara Raja Rameses II dari Mesir dengan Raja Hattusili II dari Kheta yang dibuat pada tahun 1279 S.M yang salah satu isinya adalah berupa kesediaan para pihak untuk saling menyerahkan pelaku kejahatan yang melarikan diri atau yang diketemukan di dalam wilayah pihak lainnya, dipandang sebagai embrio dari lembaga hukum ekstradisi ini. Akan tetapi, perjanjian, ekstradisi dalam pengertian modern seperti dikenal sekarang ini, barulah muncul pada auad ke-17, yang dipengaruhi oleh Revolusi Perancis dan penghormatan atas hak-hak asasi manusia.

Topik 3 Minggu ke-3 ASAS-ASAS EKSTRADISI Untuk lebih mengenali tentang lembaga ekstradisi secara lebih jelas, di bawah ini diuraikan secara singkat beberapa asas dari ekstradisi ini. Semua asas ini secara akumulatif, di samping ketentuanketentuan tentang ekstradisi yang lainnya, harus dipenuhi, jika dua negara atau lebih menghadapi kasus tentang ekstradisi. Asas-asas tersebut, antara lain adalah: (1) Asas Kejahatan Ganda (double criminality principle). Menurut asas ini, kejahatan yang dijadikan sebagai alasan untuk meminta ekstradisi atas orang yang diminta, haruslah merupakan kejahatan (tindak pidana) baik menurut hukum negarapeminta maupun hukum negara-diminta. Dalam hal ini tidaklah perlu nama ataupun unsur-unsurnya semuanya harus sama, mengingat sistem hukum masingmasing negara itu berbeda-beda. Sudah cukup jika hukum kedua negara samasama mengklasifikasikan kejahatan itu sebagai kejahatan atau tindak pidana. (2) Asas Kekhususan (principle of speciality). Apabila orang yang diminta telah diserahkan, negara-peminta hanya boleh mengadili dan atau menghukum orang yang diminta, hanyalah berdasarkan pada kejahatan yang dijadikan alasan untuk meminta ekstradisinya. Jadi dia tidak boleh diadili dan atau dihukum atas kejahatan lain, selain daripada kejahatan yang dijadikan sebagai alasan untuk merninta ekstradisinya. (3) Asas tidak Menyerahkan Pelaku Kejahatan Politik (non-extradition of political criminal). Jika negara-diminta berpendapat, bahwa kejahatan yang dijadikan sebagai alasan untuk meminta ekstradisi oleh negara-peminta adalah tergolong sebagai kejahatan politik, maka negara-diminta harus menolak permintaan tersebut. Tentang apa yang disebut dengan kejahatan politik, serta apa kriterianya, hingga kini tidak ada kesatuan pendapat, baik di kalangan para ahli maupun dalam praktek negara-negara. Apakah suatu kejahatan digolongkan sebagai kejahatan pokok ataukah tidak, memang merupakan masalah politik yang didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan politik yang tentu saja sangat. subyektif. Karena sukarnya menentukan kriteria obyektif tentang kejahatan politik tersebut, maka dalam perkembangan dari lembaga ekstradisi ini, negara-negara baik dalam perjanjian ataupun dalam perundang-undangan ekstradisinya, menggunakan sistem negatif, yaitu dengan menyatakan secara tegas bahwa kejahatan-kejahatan tertentu secara tegas dinyatakan sebagai bukan kejahatan politik, atau 7

dinyatakan sebagai kejahatan yang dapat dijadikan alasan untuk meminta maupun mengekstradisikan orang yang diminta (extraditable crime). Dengan demikian, dapat dimasukkan sebagai kejahatan yang dapat dijadikan alasan untuk meminta ekstradisi ataupun mengekstradisikan orang yang diminta di dalam perjanjian ataupun peraturan perundang-undangan tentang ekstradisi. (4) Asas tidak Menyerahkan Warga Negara (non-extradition of nationals). Jika orang yang diminta ternyata adalah warga negara dari negara-diminta, maka negaradiminta "dapat" menolak pemintaan dari negara-peminta. Asas ini berlandaskan pada pernikiran, bahwa negara berkewajiban melindungi warga negaranya dan sebaliknya warga negara memang berhak untuk memperoleh perlindungan dari negaranya. Tetapi jika negara-diminta menolak permintaan negara-peminta, negara-dirninta tersebut berkewajiban untuk mengadili dan atau menghukum warga negaranya itu berdasarkan pada hukum nasionalnya sendiri. (5) Asas non bis in idem atau ne bis in idem. Menurut asas ini, jika kejahatan yang dijadikan alasan untuk meminta ekstradisi atas orang yang diminta, ternyata sudah diadili dan atau dijatuhi hukuman yang telah memiliki kekuatan mengikat yang pasti, maka permintaan negara-peminta harus ditolak oleh negara-diminta. (6) Asas daluwarsa, yaitu permintaan negara-peminta harus ditolak apabila penuntutan atau pelaksanaan hukuman terhadap kejahatan yang dijadikan sebagai alasan untuk meminta ekstradisi atas orang yang diminta, sudah daluwarsa menurut hukum dari salah satu atau kedua pihak. Selain daripada asas-asas tersebut di atas, terdapat pula ketentuan-ketentuan yang belum atau tidak merupakan asas ekstradisi, tetapi secara umum (meskipun ada pengecualiannya) dicantumkan di dalam perjanjian ataupun peraturan perundang-undangan ekstradisi nasional negara-negara. Ketentuanketentuan tersebut, misalnya: 1. Tentang kejahatan yang diancam dengan hukuman mati Di dalam perjanjian internasional ataupun perundang-undangan tentang ekstradisi, terdapat suatu pasal yang mengatur tentang kejahatan yang diancam dengan hukuman mati dengan menyatakan, jika kejahatan yang dijadikan alasan untuk meminta ekstradisi atas orang yang diminta diancam dengan hukuman mati menurut hukum negara-peminta tetapi tidak diancam hukuman mati menurut hukum negara-dirninta, atau hukuman mati biasanya tidak dilaksanakan di negara-diminta, maka permintaan ekstradisi itu dapat ditolak, kecuali jika negara-peminta memberikan jaminan yang dipandang cukup, bahwa hukuman mati tidak nkan diacamkan ataupun tidak akan dilaksanakan. Dengan adanya ketentuan seperti ini, maka orang yang diminta benar-benar menikmati 8

keuntungan yang tak ternilai, karena jiwanya terselamatkan dari ancaman ataupun pelaksanaan hukuman mati. Adanya ketentuan ini dilatarbelakangi oleh terdapatnya praktek negara-negara yang berbedaberbeda tentang hukuman mati ini, baik antara negara-negara yang menganut hukuman mati pada satu pihak dengan negara-negara yang telah menghapuskan hukuman mati pada lain pihak, maupun antara sesama negara-negara yang masih menganut hukuman mati, khususnya dalam pelaksanaan hukuman mati itu sendiri. Sudah tentu pula masuknya ketentuan ini di dalam perjanjian ataupun peraturan perundangundangan tentang ekstradisi, disebabkan karena gencarnya pengaruh dari paham penghormatan atas hakhak asasi manusia yang memandang hukuman mati sebagai tidak manusiawi atau bertentangan dengan hak-hak asasi manusia. 2. Tentang permintaan dari dua negara atau lebih Dalam praktek kadang-kadang terjadi dua negara atau lebih mengajukan permintaan ekstradisi atas diri seorang yang diminta kepada negara-diminta. Dalam hal seperti ini, negara-diminta dalam mengmbil keputusan untuk memenuhi permintaan dari salah satu negara-peminta tersebut, dengan memperhatikan beberapa faktor, antara lain tentang waktu pengajuan permintaan (permintaan negara manakah yang diterima paling dahulu), berat ringannya kejahatan yang dijadikan alasan untuk meminta ekstradisi, kewarganegaraan dari orang yang diminta, tempat dilakukannya kejahatan, ada atau tidaknya perjanjian ekstradisi antara negara-diminta dengan negara-negara peminta, dan ketentuan-ketentuan lain dari peraturan perundang-undangan maupun perjanjian ekstradisi tersebut. 3. Tentang permohonan untuk menahan sementara Apabila negara-peminta mengajukan pemohonan untuk melakukan penahanan sementara atas diri orang yang diminta, permohonan itu harus diajukan sesuai dengan prosedur yang ditentukan di dalam perjanjian ekstradisi itu sendiri (kalau ada), atau diajukan sesuai dengan praktek yang sudah umum berlaku (jika antara para pihak belum terikat pada perjanjian ekstradisi). Demikian pula jika negarapeminta dalam mengambil keputusan untuk mengabulkan ataupun menolak permohonan tersebut, harus berdasarkan pada ketentuan yang sama dan di samping itu juga dengan tetap berdasarkan pada ketentuan hukum nasionalnya sendiri. 4. Tentang tempat dilakukannya kejahatan Dalam beberapa perjanjian ekstradisi ada ketentuan yang menegaskan tentang tempat atau wilayah dilakukannya kejahatan, yaitu jika kejahatan yang dijadikan alasan untuk meminta penyerahan atas diri orang yang diminta, ternyata dilakukan di wilayahnya atau di suatu tempat yang diperlakukan sebagai wilayahnya, baik untuk seluruhnya maupun untuk sebagian, maka negara-diminta dapat menolak permintaan negara-peminta tersebut. Hal ini berkaitan dengan yurisdiksi teritorial yang dimiliki oleh suatu negara yang memang diakui dalam hukum internasional, atau berkaitan dengan asas/prinsip 9

teritorialitas dalam hukum pidana nasional. Jika negara yang bersangkutan menolak permintaan ekstradisi dari negara-peminta, negara-diminta tersebut berkewajiban untuk mengadili dan atau menghukum sendiri orang yang diminta itu berdasarkan hukum nasionalnya.

10

Topik 4 Minggu ke-4 EKSTRADISI DAN HAK-HAK ASASl MANUSIA Dari asas-asas dan ketentuan-ketentuan tentang ekstradisi tersebut, secara jelas dan mudah dapat disimpulkan bahwa lembaga ekstradisi ini memberikan perlindungan yang cukup besar kepada individu atau orang yang diminta dengan hak-hak asasinya. Sangat ketatnya persyaratan materiil dan sangat banyak dan birokrasinya persyaratan formal atau prosedurnya, ternyata lebih banyak memberikan keuntungan atau keringanan kepada individu atau orang yang diminta. Jika dihubungkan dengan perlindungan atas hak-hak asasi manusia, ekstradisi ini merupakan lembaga hukum yang dapat dikatakan memberikan perlindungan yang cukup besar bahkan tampak berlebihan atas hak-hak asasi manusia. Pada hal orang yang diminta itu sebenarnya justru telah membikin repot dan susah negara-negara yang bersangkutan, bahkan dalam beberapa kasus kejahatannya merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan (crime against humanity) dan sangat bertentangan dengan rasa keadilan umat manusia. Besarnya perlindungan yang diberikan oleh lembaga ekstradisi kepada hak-hak asasi manusia, sebenarnya tidak terlepas dari sejarah lahir dan perkembangan ekstradisi dalam pengertian modern, yang ternyata hampir bersamaan dengan lahir dan perkembangan hak-hak asasi manusia sebagai konsep hukum maupun politik, yaitu sekitar abad ke 17, 18, 19, hingga abad ke-20an ini. Sebagai lembaga hukum yang pada mulanya lahir di kalangan negara-negara maju yang telah memiliki tradisi penghormatan atas hak-hak asasi manusia, dapat dipahami, bahwa ekstradisi semakin banyak dimasuki materi muatan berupa penghormatan dan perlindungan atas hak-hak asasi manusia. Dalam era globalisasi masyarakat internasional seperti dewnsa ini, dimana isyu hak-hak asasi manusia kini sudah merupakan isyu global, tentu saja lembaga ekstradisi yang penuh dengan materi muatan hak-hak asasi manusia akan mendapat tempat dan kedudukan yang semakin terhormat. Lembaga ekstradisipun kini telah menjadi sarana dan bahkan sebagai bagian dari penegakan hak-hak asasi manusia. Jadi, ekstradisi tidak lagi hanya sekedar sebagai sarana pencegahan dan pemberantasan kejahatan yang berdimensi internasional.

11

Topik 5 Minggu ke-5 EKSTRADISI DAN PERKEMBANGAN KEJAHATAN YANG BERDIMENSI INTERNASIONAL Berdasarkan uraian di atas, tampaklah bahwa ekstradisi sudah merupakan lembaga hukum yang sudah mapan dan terhormat eksistensinya. Kemapanan dan semakin terhormatnya kedudukan lembaga ekstradisi semakin tampak jelas, terutama dengan semakin bertambahnya jumlah dan jenis kejahatan-kejahatan yang berdimensi internasional, yang pengaturannya dalam bentuk konvensi-konvensi internasional. Dalam konvensi-konvensi tersebut, khususnya konvensi yang lahir pada tahun tujuh puluhan dan sesudahnya, ekstradisi mendapat tempat pengaturan tersendiri dalam salah satu pasalnya. Konvensi-konvensi internasional yang berkenaan dengan kejahatan yang berdimensi intenasional, misalnya: 1. Kejahatan perbudakan yang diatur dalarn Slavery Convention 1926, beserta dengan protokol-protokolnya; 2. Kejahatan Pemberantasan Perdagangan Orang dan Eksploitasi atas Prostitusi yang diatur dalam Convention for the Suppression of the Traffic in Persons and of the Exploitation of the Prostitution of Others, 1949; 3. Kejahatan Genocide, yang diatur dalam Convention on the Prevention and Punishment of the Crime of Genocide, 1948. 4. Kejahatan penerbangan, seperti diatur dalam tiga Konvensi, yaitu: a. Convention on Offences and Certain Other Acts Committed on Board Aircraft (Tokyo Convention, 1963); b. Convention for the Suppression of Unlawful Seizure of Aircraft (The Hague Convention, 1970); and c. Convention for the Suppression of Unlawful Acts Against the Safety of Civil Aviation (Montreal Convention, 1571). 5. Kejahatan terhadap orang-orang yang dilindungi secara internasional, seperti diatur dalam Convention on the Prevenion and Punishment of Crimes Against Internationally Protected Persons, Including Diplomatic Agents, 1973; 6. Convention Against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment, 1987; 7. dan lain-lainnya. Perlu dikemukakan, bahwa Konvensi-konvensi yang mengatur atau berkenaan dengan kejahatan 12

yang berdimensi internasional, barulah akan efektif, apabila telah diimplementasikan di dalam hukum atau undang-undang pidana nasional masing-masing negara pesertanya (negara-negara yang telah meratifikasinya). Dengan kata lain, hanyalah dengan mentransformasikan substansi konvensi tersebut ke dalam bentuk undang-undang pidana nasionallah, maka Konvensi itu bisa efektif. Tanpa ditransformasikan ke dalam bentuk undang-undang pidana nasional maka Konvensi itu tetap tidak efektif, rneskiEmn w.uttu neclnrn itu tclal1 meratifikasinya. Sekarang timbul pertanyaan, apa hubungan antara kortvensi-konvensi yang dikutip di atas dengan ekstradisi? Atas pertanyaan ini dapat diberikan jawaban sebagai berikut: Bahwa dengan beralih bentuk menjadi undang-undang pidana nasional, maka negara yang bersangkutan akan dapat menjadikan atau memasukkan kejahatan tersebut sebagai salah satu jenis kejahatan yang dapat dijadikan sebagai alasan untuk mengekstradisikan si pelakunya, dengan mencantumkannya di dalam perjanjian-perjanjian ekstradisi antara negara-negara peserta dari konvensi tersebut. Sekarang baiklah dilihat sepintas Konvensi-Konvensi tersebut di atas dengan melihat angka tahun kelahirannya dalarn hubungannya dengan lembaga ekstradisi. Konvensi-konvensi yang dibuat sebelum tahun enam puluhan, ternyata tidak ada satupun yang menyinggung tentang dapat atau tidaknya kejahatan yang diatur dalam Konvensi, itu sebagai alasan untuk mengekstradisikan pelakunya. Jadi, apakah negara-negara peserta pada Konvensi itu akan memasukkannya sebagai kejahatan yang dapat dijadikan alasan untuk mengekstradisikan pelakunya ataukah tidak sepenuhnya tergantung pada negara-negara yang bersangkutan. Hanya Konvensi tentang Genocide 1948 menegaskan, bahwa kejahatan genocide dan kejahatan lain seperti disebutkan dalam pasal III Konvensi, tidak dianggap sebagai kejahatan politik untuk maksud dan tujuan ekstradisi. Sedangkan konvensi-konvensi yang lahir atau dibuat setelah tahun tujuh puluhan menunjukkan sikap yang lebih tegas dalam hubungannya dengan ekstradisi. Dalam salah satu pasalnya ditegaskan bahwa kejahatan yang tersebut dalam Konvensi ini digolongkan sebagai kejahatan yang dapat dijadikan alasan untuk mengekstradisikan pelakunya (extraditable crime), dengan mencantumkannya di dalam perjanjian-perjanjian ekstradisi antara negara-negara peserta Konvensi. Atau jika antara para pihak belum terikat pada suatu perjanjian ekstradisi, maka Konvensi ini dapat dijadikan sebagai dasar hukum untuk mengekstradisikan pelaku kejahatan tersebut. Dewasa ini, memang sudah umum dapat dijumpai dalam setiap Konvensi yang berkenaan dengan kejahatan yang berdimensi internasional, suatu penegasan tentang kedudukan Konvensi tersebut sebagai dasar hukum untuk melakukan ekstradisi atas si pelakunya. Dengan adanya penegasan semacam ini dalam setiap konvensi yang berkenaan dengan kejahatan yang berdimensi internasional, maka tampaklah bahwa ekstradisi mengalami perluasan jangkauan berlakunya, yaitu di samping terdapat dalam bentuk 13

perjanjian-perjanjian tentang ekstradisi, juga dalam perjanjian atau konvensi yang mengatur tentang kejahatan yang berdimensi internasional. Hal ini juga menunjukkan, betapa masyarakat internasional telah menaruh harapan yang cukup besar kepada lembaga hukum yang bernama ekstradisi ini sebagai salah satu sarana dalam pencegahan dan pemberatasan kejahatan pada umumnya, kejahatan yang berdimensi internasional pada khususnya. Selain daripada itu, juga menunjukkan semakin bertambah mapan dan terhormatnya kedudukan lembaga ekstradisi ini dalam era globalisasi masyarakat internasional.

14

Topik 6 Minggu ke-6 EKSTRADISI DALAM PRAKTEK NEGARA-NEGARA Di tengah-tengah kemapanan dan terhormatnya eksistensi ekstradisi sebagai lembaga hukum internasional maupun nasional, sekarang baiklah ditinjau praktek negara-negara dalam kasus-kasus kejahatan yang berkaitan dengan ekstradisi. Dalam era globalisasi masyarakat internasional dewasa ini yang didukung oleh kemajuan teknologi informasi, telekomunikasi, dan transportasi, sehingga segala sesuatunya berlangsung serba cepat, tidak dapat disangkal bahwa timbulnya kejahatan-kejahatan yang berdimensi internasional semakin lama semakin bertambah banyak jumlah maupun jenisnya, misalnya kasus OKI dan kasus Nick Leeson: Pada lain pihak, ekstradisi sebagai suatu lembaga hukum yang eksistensinya sudah mapan dan terhormat, memberikan perlindungan yang cukup besar terhadap individu si pelaku kejahatan dengan hak-hak asasinya, serta dengan prosedur atau formalitas yang panjang dan birokratis, yang tentu saja membutuhkan waktu, biaya, dan tenaga yang cukup besar. Ini justru tampak menjadi dilema, karena di satu pihak untuk mencegah dan memberantas kejahatan yang berdirnensi internasionol yang sering kali amat canggih, dibutuhkan kecepatan bertindak, sedangkan pada lain pihak dihadapkan dengan lembaga hukum ekstradisi yang sangat formalisistis dan birokratis. Pertanyaannya adalah, sejauh manakah ekstradisi ini dilaksanakan secara konsisten dalarm praktek negara-negara? Masih bisakah ekstradisi ini dipandang sebagai sarana yang ampuh dalam pencegahan dan pemberantasan, kejahatan yang berdimensi internasional? Apakah ada upaya hukum lain yang lebih efektif dalam mencegah dan memberantas kejahatan yang berdimensi internasional? Dalam kurun waktu hampir sepuluh tahun (tepatnya sembilan tahun 1986-1995), ternyata hanya beberapa kasus saja yang diselesaikan melalui ekstradisi, seperti kasus Andrija Artukovic seorang penjahat perang Nazi Jerman pada waktu Perang Dunia 11, yang diekstradisikan oleh Amerika Serikat kepada Yugoslavia pada tanggal 13 Februari 1986; kasus John Demjanjuk yang juga seorang penjahat perang Nazi Jerman yang diekstradisikan oleh Amerika Serikat kepada Israel pada tanggal 28 Feburari 1986; kasus Sobhraj, seorang warga negara India yang dituduh telah membunuh banyak orang dari pelbagai kewarganegaraan di Thailand pada tahun 1986, yang dimintakan ekstradisinya kepada India oleh negara-negara yang berkepentingan. Belakangan ini, tepatnya tahun 1995 muncul kasus OKI seorang warganegara Indonesia yang dituduh telah membunuh dua orang warganegara Indonesia dan seorang warganegara Amerika Serikat keturunan India di Los Angeles, Amerika Serikat; dan kasus Nick Leeson yang dituduh oleh Singapura 15

melakukan kejahatan sehingga merugikan Bank Baring Pcl, yang ternyata kemudian melarikan diri ke Jerrman, dan kini sedang diselesaikan proses ekstradisinya oleh kedua negara (Jerman dan Singapura). Data ini tentu saja tidak bisa dijadikan sebagai indikasi, bahwa hanya sejumlah inilah terjadinya kasus-kasus kejahatan yang berdimesi internasional selama kurun waktu hampir sepuluh tahun belakangan ini. Meskipun tidak didukung dengan data statistik yang valid, kiranya tidaklah berkelebihan jika dikatakan masih terdapat banyak kejahatan-kejahatan lain yang berdimensi internasional yang tidak diselesaikan melalui lembaga ekstradisi. Kalau demikian, timbul pertanyaan lagi, melalui prosedur apa penyelesaian kasus-kasus tersebut ? Ternyata dalam praktek negara-negara, berkembang pula suatu cara baru dalam penyerahan pelaku kejahatan yang berdimensi internasional, yaitu melalni cara pengusiran atau deportasi dan penyerahan di bawah tangan. Cara ini jauh lebih efektif dan efisien jika dibandingkan dengan melalui lembaga ekstradisi.

16

Topik 7 Minggu ke-7 PENGUSIRAN DAN PENYERAHAN DI BAWAH TANGN Hakekat dari pengusiran atau deportasi dalam hukum internasional adalah pemerintnh suatu negara menyuruh keluor seseorang, dari wilayahnya karena kehadirannya di negara itu tidak dikehendaki. Tentang kemanapun dia pergi adalah merupakan urusannya sendiri. Akan tetapi dalam praktek negaranegara yang terjadi adalah seseorang diusir ke negara asalnya atau negara dimana dia berkewarganegaraan (yang sebenarnya dihindari), yang justru menantikan kedatangannyn untuk ditangkap, ditahan, dituntut, diadili dan atau dihukurn atas kejahatannya yang menjadi yurisdiksi dari negara yang bersangkutan (Kasus Soblen, 1962 dan beberapa kasus lainnya). Sedangkan dalam hal penyerahan di bawah tangan (istilah ini dari saya, penulis), penyerahan itu adalah oleh badan yang berwenang dari suatu negara kepada badan yang berwenang dari negara lain atas diri seseorang yang sedarng dicari karena tersangkut dalam suatu kejahatan. Badan yang berwenang itu misalnya, kepolisian. Penyerahan semacam ini dilakukan berdasarkan atas kerjasama antara kepolisian negara-negara yang bersangkutan, ataupun kerjasama melalui Internasional Criminal Police Organisation (lCPO/INTERPOL). Sebagai contoh kasus fiktif, misalnya seorang yang sedang dicari-cari oleh kepolisian Amerika Serikat, ternyata akhirnya ditemukan di Australia. Kepolisian Amerika Serikat menghubungi kepolisian Australia dan meminta bantuannya untuk menangkap dan menahan orang tersebut. Setelah berhasil ditangkap dan ditahan, kepolisian Australia memberitahukan kepada kepolisian Amerika Serikat supaya menjemputnya di suatu tempat dan waktu yang sudah ditentukan di Australia. Dengan dibelikan tiket pesawat sebelumnya, maka orang yang bersangkutan dengan penjagaan dan pengawalan si penjemput kemudian diterbangkan ke Amerika Serikat. Dengan cara seperti ini, maka dalam tempo yang singkat dan biaya ringan serta tidak birokratis, justru usaha pencegahan dan pemberantasan kejahatan yang berdimensi internasional menjadi sangat efektif dan efisien jika dibandingkan dengan melalui ekstradisi seperti telah dikemukakan di atas. Akan tetapi pada lain pihak, cara seperti ini sangat mengurangi hak-hak (asasi maupun tidak asasi) dari individu pelaku kejahatan yang diserahkan secara di bawah tangan tersebut. Hal yang patut dipersoalkan dalam hubungan ini adalah dasar hukum dari penyerahan pelaku kejahatan secara di bawah tangan ini. Jika memang ada dasar hukumnya, misalnya perjanjian kerjasama antar kepolisian dari kedua negara atau kerjasama dalam kerangka ICPO/INTERPOL, apakah perjanjian itu disahkan dan diundangkan dalam hukum nasional negara yang bersangkutan ? 17

Jika disahkan dan diundangkan dalam bentuk undang-undang, maka dalam kasus penyerahan di bawah tangan tersebut, terdapat dua landasan hukumnya yaitu, pertarna undang-undang tentarng ekstradisi (UU Nomor 1 Tahun 1979) dan' Undang-undang tentang Pengesahan Perjanjian Ekstradisi antara Indonesia dengan negara yang bersangkutan (misalnya, Pilipina, Indonesia, Thailand, Australia) pada satu pihak, dan yang kedua adalah undang-undang tentang pengesahan perjanjian kerjasama Interpol tersebut. Jadi, atas satu kasus akan terdapat dua atau lebih dasar hukumnya dengan derajat yang sama, yaitu undang-undang. Sebaliknya, jika pengesahan dan pengundangannya dalam bentuk keputusan presiden, maka atas kasus tersebut terdapat dua dasar hukumnya dalam bentuk hukum yang berbeda, yaitu undang-undang pada satu pihak, dan keputusan presiden pada lain pihak, yang tentu saja memiliki derajat yang berbeda (undang-undang lebih tinggi dari pada keputusan presiden). Apalagi jika perjanjian kerjasama melalui ICPO/INTERPOL tersebut sama sekali tidak disahkan dan diundangkan dalarm bentuk hukum apapun juga. Uraian yang agak panjang tentang dasar hukum seperti tersebut di atas, terkait dengan masalah hak uji materiil, yaitu keabsahan dari keputusan presiden tersebut jika dinilai bertentangan dengam undang-undang. Tampaknya, selama ini belum pernah terjadi suatu kasus nyata tentang keabsahan masalah (ekstradisi) seperti tersebut di atas yang menyanykut hak uji materiilnya diajukan ke hadapan badan peradilan di Indonesia. Hal ini disebabkan, karena memang sangat sedikit (kalau tidak mau dikatakan tidak pernah ada) kasus yang diselesaikan dengan melalui prosedur ekstradisi maupun penyerahan di bawah tangan yang diajukan ke hadapan badan peradilan.

18

Topik 8 Minggu ke-8 EKSTRADISI DAN PENDAPAT UMUM (PUBLIC OPINION) MASYARAKAT NASIONAL DAN ATAU INTERNAS1ONAL Belakangan ini trend atau kecenderungan untuk rnelakukan penyerahan di bawah tangan atas pelaku kejahatan yang berdimensi internasional seperti dikemukakan di atas,, tampaknya semakin meningkat, karena memang lebih efektif dan efisien. Meskipun demikian, penyerahan si pelaku kejahatan dengan melalui lembaga ekstradisipun masih tetap berjalan terus (belum tergeser sama sekali). Hingga kini secara formal memanq belum terdapat garis pembeda pelaku kejahatan yang bagaimanakah yang diserahkan melalui lembaga ekstradisi dan yang diserahkan secara di bawah tangan. Kalau diamati, ternyata praktek-praktek penyerahan di bawah tangan tersebut ada kaitannya dengan belum atau sudah terbentuknya pendapat umum masyarakat nasional dan atau internasional atas orang/pelaku kejahatan dan atau kejahatannya. Semakin sedikit orang mengetahui si pelaku kejahatan dan atau kejahatannya tersebut, berarti semakin kurangnya sorotan masyarakat terhadapnya. Jadi, terlewatkan dari pengamatan masyarakat. Apalagi jika orang dan atau kejahatannya itu luput dari perhatian dan liputan media massa. Dengan perkataan lain, belum terhentuk pendapat umum (public opinion) atas orang dan atau kejahatannnya itu. Dalam hal inilah, kesempatan untuk melakukan penyerahannya secara di bawah tangan akan sangat besar. Sebaliknya, jika atas orang dan atau kejahatannya itu telah melahirkan pendapat umurn (public opinion) yang luas, tidak saja dalam tingkat nasional tetapi juga tingkat internasional, misalnya berkat liputan dan publikasi yang gencar dari media massa, ditambah lagi dengan komentar-komentar dari masyarakat luas maupun para ahli ataupun para pejabat negara, penyerahan di bawah tangan cenderung untuk dihindari. Dalam hal inilah akan timbul kerinduan atas lembaga hukum yang bernama ekstradisi untuk menjembatani negara-negara yang berkepentingan atas kasus tersebut. Dengan demikian, pendapat umum masyarakat nasional dan atau internasional atas orang dan atau kejahatannya, cukup berpengaruh terhadap praktek negara-negara dalam melakukan penyerahan pelaku kejahatan yang berdimensi internasional, apakah akan dilakukan lewat penyerahan di bawah tangan ataukah melalui lembaga ekstradisi. Persoalan yang mendasar dapat diajukan adalah, apakah praktek penyerahan di bawah tangan ini sepanjang dia memiliki dasar hukum yang kuat akan mendesak dan menggeser kedudukan lembaga ekstradisi yang sebenarnya sudah mapan dan terhormat ? Apakah tidak mungkin dilakukan suatu sintesis antara keduanya, sehingga kepentingan umum (negara-negara) maupun kepentingan individu si 19

pelaku kejahatah (hak-hak asasi rmanusia) dapat diatur dan dilaksanakan secara selaras ? Untuk menjawab persoalan ini tidaklah bisa hanya dengan ya atau tidak, sebab dibutuhkan pengkajian yang ilmiah dan mendalam. Setiap kali ada pelaku kejahatan kelas kakap yang menyelamatkan diri melalui lintas batas negara, sebuah pranata hukum yang bernama ekstradisi selalu muncul kepermukaan. Kasus Jusuf Randy. OKI, Hong Lie dan Eddy Tanzil, adalah beberapa kasus di antara sekian banyak kasus yang terjadi selama ini yang telah memunculkan eksistensi dan peranan ekstradisi sebagai pranata hukum yang diharapkan dapat menjangkau pelaku tindak pidana lintas batas negara. Belum lagi terhitung kasus-kasus sejenis yang terjadi di belahan bumi lain. Akan tetapi, dalam kenyataannya tidaklah mudah untuk mengharapkan peranan pranata hukum yang bernama ekstradisi ini. Hal ini disebabkan karena ekstradisi, seperti halnya hukum pidana, ibarat pisau bermata dua. Pada mata yang satu dia berfungsi sebagai pelindung kepentingan umum, karena dengan melalui ekstradisi si pelaku tindak pidana lintas batas negara diharapkan tidak bisa menghindarkan diri dari tuntutan pidana dari negara yang memiliki yurisdiksi. Sedangkan pada mata yang lain, dia berfungsi melindungi hak-hak asasi individu si pelaku tindak pidana. Kalau dicermati asas-asas dan kaidah-kaidah hukum tentang ekstradisi ini, ternyata perlindungan yang diberikan kepada individu si pelaku tindak pidana jauh lebih besar jika dibandingkan dengan perlindungan terhadap kepentingan umum. Asas-asas tentang ekstradisi, seperti asas tindak pidana ganda yang mengharuskan, bahwa tindak pidana yang dijadikan alasan untuk meminta penyerahan oleh negara peminta juga merupakan tindak pidana menurut hukum negara diminta; asas kekhususan yang mengharuskan, bahwa negara peminta hanya boleh mengadili dan memidana orang yang diminta hanya atas tindak pidana yang dijadikan alasan untuk menyerahkannya; asas tidak menyerahkan, warganegara, yang memberikan hak kepada negara-diminta untu menolak penyerahan orang yang diminta jika dia adalah warganegaranya sendiri; asas tidak menyerahkan pelaku tindak pidana politik, yang memberikan hak kepada negara diminta jika menurut pendapatnya tindak pidana yang dijadikan alasan untuk meminta penyerahannya merupakan tindak pidana politik; dan masih banyak lagi asas yang lainnya, semuanya itu justru sangat membatasi dan mengekang negara-negara dalam mengekstradisikan seorang pelaku tindak pidana lintas batas negara. Bahkan dua negara yang telah terikat pada perjanjian ekstradisipun tidak selalu mudah untuk mengekstradisikan orang yang diminta, apalagi jika belum terikat pada perjanjian ekstradisi. Oleh karena itu sebuah pertanyaan harus dijawab terlebih dahulu, apakah negara-diminta itu tergolong negara yang bersedia mengekstradisikan; orang yang diminta berdasarkan asas timbal balik atau hubungan baik, ataukah tidak ? 20

Demikian banyak dan ketatnya asas-asas dan kaidah-kaidah hukum tentang ekstradisi ini, maka suatu negara sebelum mengajukan permintaan ekstradisi atas seorang pelaku tindak pidana lintas batas negara, harus ekstra hati-hati dan dengan penuh pertimbangan yang matang dalam usaha memenuhi semuanya itu. Itu baru menyangkut kaidah hukum materiilnya saja. Bagaimana dengan hukum formal yang merupakan tata cara atau prosedur untuk meminta maupun menyerahkannya, jika permintaan itu dikabulkan. Ternyata prosedurnya tidaklah sederhana. Pelbagai instansi pemerintah yang terkait dari kedua negara harus dilibatkan, bahkan kadang-kadang melibatkan pula peranan organisasi internasional seperti INTERPOL. Betapa panjang proses yang harus ditempuh, serta waktu dan biaya yang dihabiskan, hanya untuk meminta satu orang. Belum lagi faktor politik subyektif yang juga turut berbicara. Misalnya, apakah negara tempatnya bersembunyi tergolong negara yang memang menjadi pelindung bagi para pelaku tindak pidana pelarian lintas batas negara, apakah negara itu tidak akan mengklasifikasikan tindak pidana tersebut sebagai tindak pidana politak, apakah hubungan diplomatik antara negara peminta itu dengan negara tempatnya bersembunyi dalam keadaan cukup baik ataukah sedang di bawah kondisi normal. Dari semuanya itu, faktor politik subyektif inilah yang pada akhirnya menjadi faktor pemutus dan penentu atas diserahkan atau tidaknya orang yang diminta oleh negara yang diminta. Sebaliknya, ditinjau dari segi kepentingan individu si pelaku tindak pidana, pembatasan yang sangat banyak dan ketat tersebut, justru merupakan sarana pelindung yang sangat efekiif untuk dapat menghindarkan diri dari permintaan ekstradisi atas dirinya. Bahkan dia dapat berlindung secara sah di balik asas-asas dan kaidah hukum tentang ekstradisi itu sendiri. Misalnya dengan mengajukan pembelaan diri terhadap negara diminta, bahwa tindak pidana yang dijadikan dasar untuk memintanya tergolong tindak pidana politik. Jika diekstradisikan, dia akan diadili dan dihukum berdasarkan tindak pidana politik, ataupun hak asasinya akan diinjak-injak oleh negara peminta, dan pelbagai dalih lainnya yang dipermukaan tampak sah-sah saja, tetapi dibalik itu terkandung maksud untuk menghindarkan diri dari proses ekstradisi itu sendiri. Disinilah tampak ketidakseimbangan dan berat sebelah dari ekstradisi sebagai pisau bermata dua. Materi muatannya yang mencerminkan perlindungan hak-hak asasi manusia tampak lebih dominan jika dibandingkan dengan perlindungan atas kepentingan umum. Dilihat dari sejarah lahir dan perkembangan ekstradisi sebagai pranata hukum modern, hal jni memang bisa dipahami. Ekstradisi ini tumbuh dan berkembang selaras dengan pertumbuhan dan perkembangan hak-hak asasi manusia itu sendiri. Oleh karena itu tidaklah mengherankan jika penghormatan atas hak-hak asasi manusia sangat merasuk ke dalam pranata hukum yang bernama ekstradisi. Dengan semakin menigkatnya, gelombang penghormatan atas hak-hak asasi manusia dalam era 21

globalisasi dewasa ini, ekstradisi benar-benar merupakan pranata hukum yang sangat ideal. Bahkan Majeis Umum PBB, dengan Resolusi Nomor 45/116 tanggal 14 Desember 1990, mengesahkan sebuah Model Treaty on Extradition yang substansinya penuh dengan perlindungan atas hak-hak asasi manusia, yang semakin mengukuhkan ekstradisi sebagai pranata hukum yang sangat ideal dalam penghormatan atas hak-hak asasi manusia. Namun karena sangat idealnya itu, dalam penerapannya justru semakin tidak mudah. Pada lain pihak, kemajuan iptek sangat memudahkan untuk membawa kembali seorang pelaku tindak pidana lintas batas negara dengan cara yang sangat efisien dan efektif. Kenyataan ini mendorong timbulnya jalan pintas untuk mengembalikan pelaku tindak pidana ke negara yang memiliki yurisdiksi, misalnya dengan "penjemputan", yaitu pihak yang berwenang dari negara yang memiliki yurisdiksi menjemput si pelaku tindak pidana yang telah ditangkap oleh pihak yang berwenang dari negara tempat bersembunyi dan kemudian tanpa banyak formalitas, memberangkatkannya dengan penerbangan langsung ke negaranya. Jalan pintas yang sangat efisien dan efektif inilah yang belakangan semakin berkembang, khususnya atas pelaku tindak pidana lintas batas negara yang tidak sempat mendapat sorotan publik baik nasional maupun internasional. Jalan pintas lain, tetapi sangat vulgar adalah dengan "penculikan", seperti dipraktekkan oleh Amerika Serikat dalam kasus Noriega dan oleh Israel dalam kasus Adolf Eichmann dan terhadap warga Palestina di wilayah beberapa negara Arab. Praktek semacam ini, tampaknya secara de facto semakin menggeser kedudukan ekstradisi sebagai pranata hukum yang sangat ideal, yang hanya diterapkan terhadap pelaku tindak pidana lintas batas negara yang terlanjur mendapat sorotan publik. Inilah konsekuensi yang harus dipikul oleh suatu pranata hukum yang sangat ideal tetapi berat sebelah. Sebagai penutup dari tulisan ini, dapatlah dikemukakan beberapa butir simpulan, sebagai berikut. 1. Di tengah-tengah kemapanan dan terhormatnya kedudukan ekstradisi sebagai lembaga hukum internasional maupun nasional, ternyata lembaga ekstradisi ini relatif jarang diterapkan dalam kasus-kasus kejahatan yang berdimensi internasional dalam era globalisasi masyarakat internasional dengan kehidupan yang berlangsung dengan cepat, tepat, efisen, dan efektif. 2. Sebagai penyebab dari jarangnya ditempuh penyerahan pelaku yang kejahatan yang berdimensi internasional melalui lembaga ekstradisi adalah karena ketatnya persyaratan materiil maupun sangat panjang dan birokratisnya persyaratan formalnya. Sedangkan pada lain pihak, kemajuan teknologi informasi, telekomunikasi, dan transportasi, sangat memungkinkan (secara fisik dan faktual) untuk melakukan penyerahan pelaku kejahatan semacam itu dengan cepat, tepat, efektif, dan efisien. 22

3. Dalam era globalisasi masyarakat internasional dewasa ini, ternyata pendapat umum masyarakat nasional dan atau internasional secara tidak langsung, mendorong timbulnya dua macarn pola penyerahan pelaku kejahatan yang berdimensi internasional, yaitu yang penyerahannya dengan melalui lembaga ekstradisi dan dengan melalui penyerahan di bawah tangan. Pelaku dan atau kejahatan yang telah menimbulkan pendapat umum masyarakat nasional dan atau internasional saja yang cenderung untuk diserahkan dengan melalui lembaga ekstradisi, sedangkan yang tidak atau belum menjadi perhatian atau belum berhasil menimbulkan pendapat urmum masyarakat nasional dan atau internasional, cenderung diserahkan dengan melalui penyerahan di bawah tangan.

23

Topik 9 Minggu ke-9 Kasus-kasus Ekstradisi Masalah ekstradisi yang diartikan sebagai penyerahan penjahat dari satu negara kepada negara lain, di Indonesia dewasa ini semakin populer dan mulai memasyarakat. Hal ini antara lain disebabkan oleh : 1. Timbulnya kasus-kasus tentang ekstradisi yang melibatkan Indonesia, terutama antara tahun 1965 sampai - sekarang, seperti kasus Tan Tjong Hoa 1968, kasus Bob Liem 1969, kasus Kopral KKO Hasan dan Usman 1968 dan kasus Gun Supardi dan kawan-kawan atau kasus kapal Mimi tahun 1975 dan masih banyak lagi kasus lainnya. 2. Indonesia telah dua kali mengadakan perjanjian ekstradisi, antara lain dengan Malaysia dan Pilipina serta juga telah diadakan penjajakan ke arah itu dengan Singapura dan negara-negara tetangga lainnya. 3. Pemberitaan-pemberitaan pers dan masmedia lainnya turut membantu mempopulerkan istilah dan pengertian ekstradisi. 4. Khusus di kalangan ahli hukum, masalah ekstradisi sangat erat hubungannya dengan hukum nasional maupun internasional sehingga mau tidak mau, mereka juga ingin mempelajari tentang ekstradisi tersebut. Lebih-lebih lagi dalam rangka pembentukan undang-undang ekstradisi nasional. Akan tetapi apakah sebenarnya isi dan pengertian ekstradisi itu sendiri dan sejauh mana ruang lingkupnya, masih belum banyak diketahui khususnya ekstradisi sebagai bagian dari hukum nasional dan internasional. Dalam uraian berikut ini, penulis akan mencoba menerobos ekstradisi tersebut baik sebagai bagian hukum nasional dan internasional. Dalam uraian berikut ini, penulis akan mencoba membahas ekstradisi tersebut baik sebagai bagian hukum nasional maupun hukum internasional, dengan menekankan pada perjanjian-perjanjian ekstradisi yang telah diadakan oleh Indonesia dengan negaranegara tetangga serta pembentukan undang-undang ekstradisi nasional. Adapun sebagai alasan atau dasar pertimbangannya penulis memilih masalah ini adalah: 1. Perjanjian Ekstradisi antara Indonesia dan Pilipina (selanjutnya disingkat PEIP) dan Perjanjian Ekstradisi Indonesia dengan Malaysia (selanjutnya disingkat PEIM) dalam beberapa hal mengandung , perbedaan-perbedaan satu dengan lainnya serta kekurangan-kekurangan bila dibandingkan dengan perjanjian ekstradisi bilateral 24

lainnya. 2. Di lain pihak Indonesia belum memiliki perundang-undangan nasional tentang ekstradisi dan oleh karena itu dipandang perlu untuk menyusunnya dengan segera. Yang ada hanyalah peraturan yang harus diperhatikan tentang ekstradisi orang-orang asing yang berhubungan dengan Indonesia (dahulu Hindia Belanda) Stb. 1883 Nomor 188 terakhir diubah dengan Stb. 1932 Nomor 490 yang sudah tidak sesuai lagi dengan alam kemerdekaan sekarang ini. Berdasarkan pertimbangan tersebut, di bawah ini penulis akan mencoba membahas dan menunjukkan perbedaan-perbedaan antara kedua perjanjian serta kekurangan-kekurangannya demi penyempurnaannya dalam mengadakan perjanjian-perjanjian ekstradisi dengan negara-negara lainnya pada masa yang akan datang dan juga dalam rangka penyusunan undang-undang ekstradisi nasional. Dalam tulisan ini, penulis akan membagi pembahasannya dalam tiga bagian penting, yaitu: Bagian pertama, diuraikan tentang batasan atau definisi tentang ekstradisi serta beberapa asas pokok dalam ekstradisi. Di sini akan diuraikan hanya secara garis besar saja, dengan maksud agar dapat dipahami pokok-pokoknya saja tentang ekstradisi. Oleh karena itu, dengan membaca asas-asas pokok dari ekstradisi tersebut diharapkan dapat diperoleh gambaran umum tentang ekstradisi. Dengan demikian akan dapat pula memancing dan menggali persoalan-persoalan atau masalah tentang dan sekitar ekstradisi tersebut. Bagian kedua, dibahas PEIM dan PEIP yang merupakan dua perjanjian ekstradisi yang diadakan dalam waktu yang berbeda (masingmasing pada tahun 1974 dan 1976). Dalam bagian ini, di samping secara sepintas akan disinggung faktanya, juga problem yang mungkin akan timbul karena adanya perbedaan dan kekurangan dari kedua perjanjian itu. Kesempurnaan suatu perjanjian khususnya perjanjian internasional tentang ekstradisi, sangat membantu negara yang bersangkutan dalam menyusun undang-undang ekstradisi nasional, sebab umdang-undang ekstradisi sebagian mengadopsi atau meresepsi asas-asas yang terkandung dalam perjanjian-perjanjian ekstradisi. Dalam hal ini haruslah dipegang suatu prinsip, bahwa semakin sempurna atau lengkap perjanjianperjanjian dan perundang-undangan tentang ekstradisi itu disusun, akan semakin sedikit persoalanpersoalan. Bagian ketiga, setelah dibahas tentang perjanjian-perjanjian ekstradisi tersebut (PEIM dan PEIP) yang notabene berpengaruh dalam penyusunan undang-undang ekstradisi nasional, penulis akan mencoba membahas tentang pembentukan atau penyusunan undang-undang ekstradisi nasional. Dalam bagian ini penulis menekankan pada hal-hal apa saja yang perlu dimasukkan dalam undang-undang ekstradisi.

25

Topik 10 Minggu ke-10 BEBERAPA ASAS POKOK EKSTRADISI Ekstradisi adalah: Penyerahan yang dilakukan secara formal, baik berdasarkan perjanjian ekstradisi yang diadakan sebelumnya atau berdasarkan asas timbal balik atas orang yang dituduh melakukan tindak pidana kejahatan (tersangka, tertuduh, terdakwa) atau orang yang telah dijatuhi hukuman atas kejahatan yang dilakukannya (terhukum) oleh negara tempatnya berada, bersembunyi atau melarikan diri, kepada negara yang menuduh atau menghukum sebagai negara yang memiliki yurisdiksi untuk mengadili atau menghukumnya atas permintaan dari negara tersebut dengan maksud untuk mengadili atau menghukumnya. Dari definisi ini dapatlah dikemukakan beberapa unsur penting yang harus dipenuhi supaya dapat disebut ekstradisi, yaitu: 1. Ekstradisi adalah merupakan penyerahan orang yang diminta yang dilakukan secara formal, jadi harus melalui cara atau prosedur tertentu. 2. Ekstradisi hanya bisa dilakukan apabila didahului dengan permintaan untuk menyerahkan dari negara-peminta kepada negara-diminta. 3. Ekstradisi bisa dilakukan baik berdasarkan perjanjian ekstradisi yang sudah ada sebelumnya atau juga bisa dilakukan berdasarkan asas timbal balik apabila sebelumnya tidak ada perjanjian ekstradisi antara kedua pihak. Dalam hal ini praktek negara-negara berbeda-beda. Ada negaranegara yang bersedia menyerahkan orang yang diminta walaupun sebelumnya tidak ada perjanjian ekstradisi antara kedua pihak. Ada negara-negara yang tidak bersedia menyerahkan orang yang diminta apabila sebelumnya tidak ada perjanjian ekstradisi antara kedua pihak. 4. Orang yang diminta bisa berstatus sebagai tersangka, tertuduh atau terdakwa dan bisa juga sebagai terhukum. 5. Maksud dan tujuan ekstradisi adalah untuk mengadili orang yang diminta atau menjalani masa hukumannya. Walaupun dari definisi ini sudah kelihatan ada gambaran yang agak jelas tentang ekstradisi tersebut, tetapi masih terdapat beberapa asas pokok yang harus ditaati dan selalu dicantumkan dalam 26

perjanjian-perjanjian ekstradisi serta ditaati oleh para pihak dalam setiap kasus yang menyangkut ekstradisi. Asas-asas pokok tersebut adalah : 1. Asas kejahatan ganda, artinya, kejahatan yang dilakukan oleh orang yang diminta itu dan yang dijadikan sebagai dasar untuk meminta penyerahan, haruslah merupakan kejahatan dan dapat dijatuhi hukuman menurut sistem hukum pidana kedua pihak (negara-peminta dan negaradiminta). 2. Asas kekhususan, artinya kejahatan yang dijadikan sebagai alasan atau dasar untuk meminta penyerahan orang yang diminta hanyalah kejahatan yang secara tegas tergolong sebagai kejahatan yang dapat dimintakan penyerahan. Apabila kejahatan itu tidak tergolong sebagai kejahatan yang dapat dijadikan dasar/alasan untuk meminta penyerahan, maka permintaan untuk menyerahkan itu harus ditolak. 3. Dilarang menyerahkan orang yang melakukan kejahatan politik. Setiap orang yang melakukan kejahatan politik, apabila melarikan diri dan bersembunyi di negara lain, orang tersebut harus dilindungi dan tidak boleh diserahkan kepada negara yang memintanya. 4. Tentang penyerahan warga negara, negara-diminta diperbolehkan untuk tidak menyerahkan orang yang diminta apabila orang yang diminta itu ternyata warga negaranya sendiri. Ada pula yang menganut bahwa tidak menyarahkan warga negaranya adalah suatu kewajiban dari negara. 5. Asas ne bis in idem, artinya, penyerahan tidak dilakukan apabila keputusan pengadilan telah dijatuhkan atas kejahatan yang dimintakan penyerahan. 6. Kejahatan yang diancam dengan hukuman mati. Jika kejahatan yang dimintakan penyerahan oleh negara-peminta diancam dengan hukuman mati menurut hukum negara-peminta sedangkan menurut hukum negara-diminta kejahatan tersebut tidak diancam hukuman mati, maka negaradiminta dapat menolak permintaan tersebut kecuali ada jaminan dari negara-peminta bahwa hukuman mati tidak akan dijatuhkan. 7. Kedaluwarsa, artinya, penyerahan tidak akan dilakukan apabila penuntutan dan pelaksanaan hukuman terhadap kejahatan yang

27

Topik 11 Minggu ke-11 dan 12 Perbandingan Perjanjian Ekstradisi Indonesia-Malaysia dengan Perjanjian Ekstradisi Indonesia-Filipina 1. Tentang kejahatan yang dapat diserahkan atau yang dapat dimintakan penyerahan (masingmasing pada pasal 2 PEIM dan PEIP). PEIM menganut sistem daftar, di mana kejahatan yang dapat dimintakan penyerahan tercantum dalam daftar lampiran jenis-jenis kejahatan yang dapat dimintakan penyerahan. Sedangkan PEIP menganut sistem campuran yaitu campuran antara sistem daftar dan sistem minimal ancaman hukuman. Menurut sistem campuran ini kejahatan yang dapat dimintakan penyerahan di samping ditentukan secara tegas dalam daftar, juga harus memenuhi syarat minimal ancaman hukuman yaitu kejahatan tersebut dalam daftar itu harus juga dapat dikenakan ancaman hukuman perampasan kemerdekaan minimal satu tahun atau hukuman mati. Dengan demikian PEIP menetapkan syarat yang lebih ketat untuk dapat meminta penyerahan orang yang diminta, karena di samping harus memenuhi kejahatan yang tercantum dalam daftar juga membatasi bahwa kejahatan itu harus dapat dijatuhi hukuman mininial satu tahun atau hukuman mati menurut sistem hukum kedua pihak. 2. PEIM tidak menegaskan perihal wilayah, sedangkan PEIP menegaskan dalam pasal IV Satu hal yang cukup menarik dari pasal IV PEIP ini adalah diperluasnya pengertian wilayah pada landas kontinen. Menurut hukum internasional landas kontinen bukanlah wilayah negara. Negara pantai hanya memiliki hak kedaulatan atau hak eksklusif atas sumber daya alam yang dikandung oleh landas kontinen tersebut (lihat pasal 2 (1) Konvensi Jenewa 1958 tentang Landas Kontinen). 3. Salah satu ayat dari pasal IV PEIP yang sebenarnya tidak perlu dicantumkan adalah ayat C tentang penegasan wilayah pihak yang diminta. Menurut pasal IV ayat C tersebut, wilayah pihak yang diminta diatur menurut ketentuan-ketentuan hukum nasionalnya. Ketentuan semacam ini sebenarnya tidak perlu, sebab dalam pasal IV ayat A sendiri sudah ditegaskan, yang berbunyi : " bahwa yang dimaksud dengan wilayah dari pihak yang mengadakan perjanjian adalah ......... Jadi di sini sudah termasuk pengertian wilayah kedua Pihak. Ataupun kalau hendak ditegaskan pengaturan wilayah menurut hukum nasional, hendaknya ditegaskan juga secara bersamaan baik wilayah negara-diminta maupun wilayah negara-peminta. Bukan hanya wilayah pihak yang diminta saja, seperti ditentukan pada pasal IV C PEIP tersebut. Sebab ada kemungkinan di mana suatu kejahatan bisa terjadi sebagian pada wilayah negara-peminta dan sebagian lagi pada wilayah negara-diminta, sehingga mungkin kedua pihak sama-sama mengajukan alasan bahwa terjadinya kejahatan yang dimintakan 28

penyerahan adalah dalam wilayah masing-masing. Oleh karena itu kedua pihak harus membuktikan bahwa kejahatan itu terjadi dalam wilayahnya, di mana masalah wilayah pada umumnya diatur menurut hukum nasional masing-masing pihak. 4. Dalam pasal V ayat C PEIP tentang menghapuskan sifat politik terhadap kejahatan menghilangkan nyawa kepala negara, kepala pemerintahan atau anggota keluarga, yang dikenal dengan klausula attentat. Dalam pasal V ayat C tersebut, di samping menghilangkan atau percobaan menghilangkan nyawa kepala negara atau anggota keluarganya termasuk juga dalam pengertian klausula attentat ini adalah menghilangkan atau percobaan menghilangkan nyawa kepala pemerintahan atau anggota keluarganya. Adanya penegasan kepala pemerintahan atau anggota keluarganya dalam PEIP ini nampaknya agak ganjil, sebab kedua negara (Indonesia dan Pilipina) tidak mempunyai kepala pemerintahan yang biasanya adalah Perdana Menteri. Menurut struktur pemerintahan kedua negara tersebut yang mirip dengan Amerika Serikat, memang tidak memiliki lembaga Perdana Menteri sebagai kepala pemerintahan tetapi hanya Presiden sebagai kepala negara dan pemerintah, Apakah oleh pembuat perjanjian ekstradisi tersebut, ketentuan pasal V ayat C dicadangkan sebagai reserve untuk masa yang akan datang, di mana salah satu atau kedua pihak mungkin akan mengubah struktur pemerintahannya dengan membentuk lembaga kepala pemerintahan atau Perdana Menteri? 5. Tentang asas ne bis in idem, (pasal 7 PEIM dan pasal VIII PEIP), ternyata PEIP lebih luas ruang lingkupnya jika dibandingkan dengan pasal 7 PEIM. Menurut PER, penyerahan tidak akan dilakukan apabila putusan terakhir pengadilan negara-diminta telah dijatuhkan (pasal VIII A) dan juga apabila orang yang diminta itu sedang dituntut atau diadili dan dibebaskan atau dihukum oleh negara-diminta untuk kejahatan yang dimintakan penyerahannya itu (pasal Vlll B). Sedangkan pasal 7 PEN hanya menegaskan putusan terakhir pengadilan dari pihak yang diminta saja. Hal ini pun juga menimbulkan pertanyaan, apakah jika orang yang bersangkutan sedang dituntut atau sedang diadili tetapi belum dijatuhkan putusan terakhir, akan diserahkan jika ada permintaan dari negara peminta atas kejahatan yang sedang dituntut atau diadili itu? Apakah proses penuntutan dan peradilan yang sedang berlangsung lantas dihentikan di tengah-tengah dan orang tersebut lantas diserahkan? Di lain pihak PEIP dalam pasal VII (I) mengakui akibat hukum dari keputusan pengadilan negara ketiga, di mana kedua pihak (Indonesia dan Pilipina) sama-sama mengakui dan menghormati keputusan pengadilan Negara ketiga terhadap kejahatan yang dimintakan penyerahan itu, yang lengkapnya berbunyi : Penyerahan tidak akan dilakukan . . . . bila orang yang dimintakan penyerahannya telah diadili dan dibebaskan atau telah menjalani hukumannya di negara ketiga untuk kejahatan yang dimintakan 29

penyerahannya. Ketentuan semacam ini tidak terdapat dalam PEIM, sehingga timbul persoalan lagi, bagaimanakah bila kedua pihak (Indonesia dan Malaysia) menghadapi kasus semacam ini ? Misalnya orang yang diminta itu ternyata telah diadili atau dijatuhi hukuman oleh negara ketiga terhadap kejahatannya yang dimintakan penyerahan oleh salah satu pihak. Apakah kedua pihak akan mengakui atau menghormati ataukah akan mengesampingkan keputusan pengadilan pihak ketiga? 6. Satu kekurangan lagi dari PEIM jika dibandingkan dengan PEIP adalah tidak diatur tentang kedaluwarsa, yaitu apakah penyerahan akan dilakukan apakah tidak, jika kejahatan yang dimintakan penyerahan itu sudah kedaluwarsa menurut hukum salah satu pihak. PEIP secara tegas mengatur dalam asal VII (2) yang secara tegas menyatakan supaya negara-diminta tidak menyerahkan orang yang diminta apabila kejahatan yang dimintakan penyerahan itu sudah kedaluwarsa menurut hukum salah satu pihak. 7. Kekurangan lain dari PEIM adalah, tidak ditegaskan tentang permintaan untuk menyerahkan orang yang diminta, dari dua negara atau lebih. PEIP secara tegas mengatur dalam pasal XVIII. Ketentuan semacam ini penting, sebab seorang pelaku kejahatan boleh jadi melakukan satu atau lebih tindak pidana yang dapat merugikan lebih dari dua negara, sehingga negara-negara yang merasa dirugikan itu akan meminta penyerahannya kepada negara tempat orang tersebut berada. Apalagi dengan memperhatikan perkembangan teknologi sekarang ini, juga mendorong timbulnya pelbagai jenis dan bentuk kejahatan. Setelah diuraikan berdasarkan analisis perbandingan antara kedua perjanjian ekstradisi tersebut, dengan segala kekurangan-kekurangan dan perbedaannya satu dengan lainnya, di bawah ini penulis akan menunjukkan kekurangan-kekurangan dari kedua perjanjian ekstradisi tersebut yang menurut pendapat penulis bersifat sangat prinsip. Hal-hal tersebut antara lain: 1. Kedua perjanjian ekstradisi tersebut tidak menegaskan tentang kejahatan-kejahatan tertentu yang walaupun mengandung motif dan tujuan politik, sebagai bukan kejahatan politik. Kejahatankejahatan itu adalah kejahatan yang oleh konvensi-konvensi internasional secara tecdas diharuskan sifat politiknya, jadi bukan kejahatan politik. Misalnya kejahatan pemusnahan atau pembasmian secara massal terhadap satu kelompok etnis, ras, suku, agama tertentu, yang oleh Konvensi Genocide 1948 dinyatakan sebagai bukan kejahatan politik. Meskipun Indonesia, Malaysia, dan Pilipina mungkin belum meratifikasi konvensi tersebut, namun secara umum sudah dapat dikatakan bahwa dihapuskannya sifat politik kejahatan tersebut sudah diterima oleh umat manusia di dunia ini karena bertentangan dengan martabat dan hakekat kemanusiaan. Lebih-lebih 30

lagi pada masa akhir-akhir ini di mana keinginan masyarakat internasional untuk menghormati dan menjunjung tinggi hak-hak asasi manusia sudah sedemikian meningkatnya. 2. Tentang re-ekstradisi yaitu penyerahan kembali orang yang telah diserahkan oleh salah satu pihak kepada pihak lain, yang sebelumnya berkedudukan sebagai pihak/negara yang menyerahkan (negara-diminta). Misalnya, seorang yang telah diserahkan oleh Malaysia atau Pilipina kepada Indonesia, kemudian setelah diserahkan barulah diketahui bahwa orang tersebut juga melakukan kejahatan di Pilipina atau Malaysia. Sehingga bagi Malaysia atau Pilipina ada maksud untuk menghukum orang tersebut atas kejahatan yang dilakukannya di Malaysia atau Pilipina. Dalam hal semacam ini apakah Malaysia atau Pilipina harus mengajukan permintaan penyerahan kepada Indonesia sesuai dengan prosedur yang berlaku berdasarkan perjanjian ekstradisi? Jika demikian halnya, Malaysia atau Pilipina tentu akan merasa rugi karena harus mengeluarkan biaya dan tenaga hanya untuk mendapat kembali orang tersebut. Sedangkan dia (Malaysia atau Pilipina) telah berjasa kepada Indonesia karena telah menyerahkan orang tersebut. Menurut pendapat penulis, sebaiknya dalam kasus semacam ini Indonesia atau pihak yang semula sebagai pihak peminta, wajib untuk mere-ekstradisi orang tersebut kepada pihak yang dahulu sebayai pihakdiminta. 3. Masalah lain yang belum diatur dalam kedua perjanjian tersebut adalah tentang melintasi atau singgah/mendarat dalam wilayah salah satu pihak, apabila pihak lain sedang dalam perjalanan membawa/mengangkut seorang yang dimintanya dari pihak ketiga dan orang yang dibawa itu melarikan diri ke dalam wilayah negara terdapat pesawat atau kapal laut itu berlabuh/mendarat. Walaupun perjanjian ekstradisi tersebut merupakan perjanjian bilateral yang hanya mengikat pihak-pihak yang mengadakan perjanjian saja, ada baiknya pula apabila dalam perjanjian itu kedua pihak saling memberikan hak untuk melewati dan menyinggahi wilayah masing-masing dalam perjalanan membawa seorang yang diminta dari pihak ketiga. Misalnya, Malaysia yang sedang membawa seorang yang baru diserahkan oleh Australia, dalam perjalanan pesawat atau kapal yang membawanya memerlukan untuk melintasi dan menyinggahi wilayah Indonesia. Hal ini penting terutama dalam hubungannya dengan peristiwa atau akibat yang timbul pada waktu menyinggahi wilayah salah satu pihak itu, misalnya orang tersebut melarikan diri ke daratan negara yang wilayahnya disinggahi. Dalam hal ini timbul masalah, apakah negara yang sedang membawa orang tersebut harus meminta penyerahan secara formal kepada negara tempat orang tersebut melarikan diri ataukah bisa ditangkap secara langsung? Atau jika orang yang melarikan diri itu berhasil ditangkap oleh polisi setempat, apakah polisi setempat dapat menyerahkan secara langsung kepada petugas yang mengawal dalam pesawat atau kapal? 31

Dalam yurisprudensi terdapat dua kasus serupa yang pernah terjadi. Pertama, dalam kasus Savarkar dimana kapal Inggris yang sedang membawa Savarkar dari Inggris ke India berlabuh di Pelabuhan Marselles Perancis. Savarkar berhasil melarikan diri ke daratan Perancis dan oleh polisi Perancis Savarkar ditangkap dan diserahkan secara langsung kepada petugas Inggris di atas kapal. Akan tetapi Perancis menduga kejahatan yang dilakukan olch Savarkar yang sedang dibawa ke India itu adalah kejahatan politik, mengajukan protes keras kepada Inggris dan meminta supaya Savarkar diserahkan kembali kepada Perancis dengan alasan bahwa ketika Savarkar berada di daratan Prancis, Inggris tidak memiliki yurisdiksi lagi atas Savarkar. Akan tetapi Inggris menolak dan akhirnya kedua pihak sepulcat mengajukan sengketa ini ke hadapan Arbitrase Internasional. Oleh Mahkamah Arbitrase, Inggris dimenangkan. Demikian pula dalam kasus Dr. Soblen pada tahun 1962 antara Inggris melawan Amerika Serikat. Dr. Soblen adalah seorang Yahudi dari Amerika Serikat yang melarikan diri ke Israel. Sete1ah oleh Israel Dr. Soblen diserahkan kepada Amerika Serikat, dalam perjalanan pulang ke Amerika Serikat, pesawat yang membawanya mendarat di lapangan udara London, Inggris. Menjelang pesawat akan mendarat, Dr. Sobleh mencoba membunuh diri tetapi gagal dan hanya menderita luka berat. Setelah pesawat mendarat, Dr. Soblen memerlukan perawatan di rumah sakit Inggris untuk beberapa waktu lamanya. Sedangkan pesawat yang membawanya sudah lebih dahulu meninggalkan Inggris menuju Amerika Serikat. Amerika Serikat meminta kepada Inggris supaya menyerahkan Soblen, akan tetapi Soblen dalam pembelaannya menolak untuk diserahkan kepada Amerika Serikat. Penulis berpendapat, bahwa untuk menghindari timbulnya perselisihan antara para pihak karena kasuskasus semacam ini mungkin akan terjadi, sebaiknya hal ini diatur dalam perjanjian ekstradisi. Dengan demikian akan dapat dihindari persoalan yang lebih ruwet, yang dapat rnengganggu hubungan baik antara kedua pihak. Pihak yang sedang membawa seorang yang diserahkan oleh negara lain, bila terjadi kasus seperti di atas - negara tempat orang yang bersangkutan melarikan diri wajib menyerahkan secara langsung kepada negara yang sedang membawanya itu. Hal ini jelas akan lebih memudahkan kedua pihak. Dari uraian-uraian di atas, jelas dapat dilihat bahwa PEIM masih orang sempurna jika dibandingkan dengan PEIP. Hal ini tampak dari banyaknya hal-hal yang tidak diatur dalam PEIM tetapi diatur dalam PEIP. Kekurangan tersebut secara global dapat diketahui dari jumlah pasalnya, dimana PEIM hanya terdiri dari 17 pasal sedangkan PEIP terdiri dari 22 pasal ditambah satu protokol. Namun demikian, keduanya masih mempunyai kekurangan-kekurangan, seperti yang telah dikemukakan di ras. Timbullah pertanyaan, faktor apa yang menyebabkan kekurangan-kekurangan tersebut? Terhadap pertanyaan ini, dapat diajukan dua jawaban yaitu: Pendapat Pertama menganggap kekurangan 32

tersebut disebabkan oleh kurangnya pengalaman para pihak tentang ekstradisi, baik teoritis maupun pengalaman praktis. Hal ini secara tidak langsung diakui oleh Mochtar Kusumaatmadja bekas Menteri Kehakiman yang banyak berkecimpung dalam pembuatan perjanjian ekstradisi tersebut dalam ceramahnya di depan mahasiswa Fakultas Hukum Unpad jurusan Hukum Internasional pada bulan Agustus 1974. Dijelaskan oleh Mochtar Kusumaatmadja, bahwa perjanjian ekstradisi Indonesia Malaysia ini adalah baru pertama kali dilakukan sejak zaman kemerdekaan dan dalam penyusunan tersebut banyak dikumpulkan dari literatur-literatur, bahkan skripsi mahasiswa pun dikumpulkan untuk dipelajari dalam rangka penyusunan draft perjanjian ekstradisi tersebut. Kita dapat memaklumi bahwa sesuatu yang baru pertama kalinya dilaksanakan memang wajar banyak kekurangan yang dialami. Belajar dari kekurangan dan pengalaman dalam PEIM, maka PEIP tampak agak lebih lengkap materinya. Pendapat kedua mengganggap bahwa, kedua perjanjian ekstradisi tersebut berbeda isinya walaupun mengenai masalah yang sama, sebab sebagai suatu perjanjian yang merupakan hasil kata sepakat antara para pihak, demikianlah batas maksimal yang bisa dicapai. Jadi logis dan wajar kedua perjanjian tersebut berbeda isinya dan tidak perlu diperbandingkan atau dengan lainnya. Pendapat ini, untuk sebagian atau pada batas-batas tertentu memang mengandung nilai kebenaran. Akan tetapi yang ternyata masih kurang tersebut adalah justru mengenai hal-hal yang sifatnya sangat substansial dalam suatu perjanjian ekstradisi. Hal yang sebenarnya masih mungkin dirundingkan untuk dicantumkan dalam perjanjian ekstradisi sehingga sinyal akan lebih lengkap dan sempurna. Oleh karena itu, penulis cenderung untuk menerima pendapat yang pertama. Suatu perjanjian ekstradisi yang lengkap isinya, akan sedikit sekali memberikan kesempatan bagi si tertuduh atau terhukum untuk lolos dari proses penyerahan dan demikian pula bagi negarapeminta dan negara diminta akan lebih sedikit kemungkinannya untuk bertindak merugikan orang yang bersangkutan. Dengan kata lain, semakin lengkap suatu masalah diatur dalam perjanjian, maka akan terjaminlah kepastian hukum bagi semua pihak. Agaknya, arsitek dari kedua perjanjian tersebut juga menyadari kemungkinan timbulnya perselisihan sebagai akibat perbedaan dalam penafsiran ketentuan-ketentuan kedua perjanjian itu maupun dalam implementasinya. Itulah sebabnya dalam kedua perjanjian tersebut terdapat satu pasal yang mengatur tentang penyelesaian perselisihan sebaga pasal reserve yang masing-masing pada pasal 16 PEIM dan 19 PEIP, yang berbunyi: Setiap perselisihan yang timbul antara kedua pihak karena penafsiran dan pelaksanaan dan perjanjian ini akan diselesaikan secara damai dengan musyawarah atau perundingan. Meskipun ada pasal reserve ini toh masih lebih baik diatur secara tegas dalam perjanjian ekstradisi mengenai hal-hal yang berdasarkan sifatnya wajar dan logis untuk diatur, guna mencegah atau 33

memperkecil timbulnya perselisihan.

34

Topik 12 Minggu ke-13 dan 14 Menuju Ke Arah Pembentukan Undang-Undang Ekstradisi Nasional Yang Baru Setelah dibahas beberapa masalah penting tentang ekstrafisi, khususnya PEIM dan PEIP, dibawah ini penulis undang-undang ekstradisi nasional. Sebagaimana telah ditegaskan di muka, bahwa betapa erat hubungannya antara perjanjian-perjanjian ekstradisi dengan perundang-undangan ekstradisi, yang terbukti dari banyaknya ketentuan dalam perjanjian ekstradisi yang menunjuk pada hukum nasional. Terikatnya negara kita pada perjanjian ekstradisi berarti secara internasional (ekstern) Indonesia telah sepakat untuk tunduk dan menghormati ketentuan-ketentuan yang terkandung dalam perjanjian ekstradisi tersebut. Hal ini membawa konsekuensi bahwa undang-undang ekstradisi yang akan disusun haruslah tidak bertentangan dengan perjanjian-perjanjian ekstradisi atau dengan kata lain harus menunjukkan adanya keselarasan. Demikian pula sesuai dengan dasar dan falsafah negara kita yaitu Pancasila, maka undang-undang ekstradisi tersebut haruslah merupakan pencerminan dari Pancasila yakni terjaminnya keseimbangan antara kepentingan umum atau negara dan kepentingan individu (tertuduh atau terhukum). Masalah ekstradisi pada dasarnya adalah pertautan antara kepentingan umum atau negara dan kepentingan individu. Tertuduh atau terhukum sebagai orang yang diminta, walaupun tampaknya hanya sebagai objek saja dalam perjanjian ekstradisi, namun sebagai seorang manusia betapapun kesalahan yang dilakukannya dia harus tetap dipandang sebagai subjek hukum dengan segala hak dan kewajiban asasinya. Dalam hal ini pun juga tetap berlaku asas "presumption of innocence". Tegasnya, di samping asas-asas pokok seperti telah diuraikan di atas yang memang harus dicantumkan dalam undang-undang ekstradisi, masalah-masalah lain yang juga perlu dicantumkan dalam undang-undang ekstradisi nasional yang akan disusun nanti adalah : 1. Penegasan tentang bersedia atau tidaknya Indonesia menyerahkan orang yang diminta, apabila sebelumnya belum ada perjanjian ekstradisi dengan negara yang memintanya. Dengan perkataan lain apakah Indonesia akan menganut asas timbal balik atau tidak. 2. Badan mana yang harus memutuskan atau perlu didengar keterangannya, apabila orang yang bersangkutan mengajukan Pembelaan bahwa kejahatan yang dijadikan dasar untuk meminta Penyerahan adalah kejahatan politik. 3. Mengenai klausula attentat, juga harus tegas, kejahatan terhadap siapa saja (kepala negara, kepala pemerintahan atau anggota keluarganya) yang dihapuskan sifat politik dari kejahatan itu. Apakah kejahatan menghilangkan nyawa wakil kepala negara atau anggota keluarganya tidak perlu dicantumkan dalam klausula attentat, mengingat negara kita juga memiliki wakil presiden yang 35

fungsinya juga penting. 4. Tentang penyerahan warga Negara, sebaiknya dianut bahwa penyerahan warga negara adalah merupakan hak, bukan kewajiban, supaya konsisten dengan perjanjian-perjanjian ekstradisi yang diadakan sebelumnya. 5. Dalam asas ne bis in idem juga perlu ditegaskan apakah Indonesia juga harus mengakui keputusan pengadilan negara asing selain daripada keputusan pengadilan negara-diminta. Menurut pendapat penulis, sebaiknyalah Indonesia mengakui keputusan pengadilan negara ketiga (asing). Demikian pula kepada pihak negara lain pun kita harapkan juga mengakui keputusan penyadilan Indonesia, 6. Tentang pejabat yang berwenang menerima permintaan penyerahan, diterima atau ditolaknya permintaan penyerahan, tentang penyerahannya sendiri, apakah oleh Mahkarnah Agunng, Departemen Kehakiman, Kejaksaan Agung, Kepolisian atau kesepakatan dari semua instansi tersebut. 7. Perlu juga diatur tentang hak-hak dan kewajiban yang dimiliki oleh orang yang diminta, misalnya hak untuk mendapat bantuan hukum, untuk didampingi penasihat hukum selama dalam proses pemeriksaan dan lain-lainnya. 8. Demikian pula kejahatan-kejahatan yang secara tegas telah dihapuskan sifat politiknya, seperti kejahatan terhadap pemusnahan secara massal umat manusia, kelompok bangsa, suku bangsa, agama tertentu seperti ditentukan dalam Konvensi Genocide 1948, patut dicantumkan dalam undang-undang ekstradisi. 9. Tentang melewati dan singgah dalam wilayah negara kita (Indonesia), dan bila terjadi peristiwa lainnya orang yang dibawa/diminta dari negara asing, sebaiknya orang yang melarikan diri itu bila berhasil ditangkap, dapat diserahkan secara langsung dan tidak perlu harus mengajukan permintaan penyerahan lagi. 10. Tentang pengadilan yang berwenang mengadili terhadap seorang yang diserahkan oleh negara lain (Malaysia, Pilipina) kepada Indonesia apakah tidak perlu ditunjuk pengadilan berwenang. Semuanya itu sudah tentu dengan segala konsekuensi-konsekuensinya. Hanya tentang menjalani hukuman saja, orang telah dijatuhi hukuman itu sebaiknya menjalaninya di lembaga pemasyarakatan yang terdekat dengan daerah asalnya atau tempat keluarganya berdomisili. Dari uraian di atas jelaslah, betapa penting arti dan peranan ekstradisi masyarakat internasional dalam usaha mereka memberantas kejahatan melalui kerjasarma internasional. Ekstradisi merupakan jembatan yang dapat menghubungkan dua negara atau lebih dalam menghadapi pelaku-pelaku tindak pidana yang menyangkut kepentingan dari dua negara atau lebih. Khusus bagi Indonesia yang 36

wilayahnya terletak di persimpangan lalu lintas internasional, merupakan sarang empuk bagi para pelaku tindak pidana seperti penyelundupan, perdagangan narkotika, perdagangan gelap manusia dan tenaga kerja, teroorisme dan lain-lainnya. Oleh karena itu perjanjian-perjanjian ekstradisi dengan negara-negara tetangga dan negara lainnya, merupakan satu kebutuhan yang cukup mendesak. Perjanjian ekstradisi, sebagian besar isinya terdiri dari ketentuan-ketentuan yang bersifat menunjuk yaitu menunjuk pada hukum nasional mengenai masalah tertentu. Dengan demikian, pembentukan hukum yang bersifat nasional pun terutama mengenai masalah yang berhubungan erat dengan ekstradisi itu sendiri juga sangat penting untuk diperhatikan. Lebih-lebih pembentukan undang-undang ekstradisi nasional, dirasakan sebagai sangat mendesak. Apalagi dengan semakin aktifnya Indonesia dalam mengadakan perjanjianperjanjian ekstradisi dengan negara tetangga, yang mungkin nanti akan menuju ke arah pembentukan perjanjian ekstradisi regional antara negara-negara anggota ASEAN. Demikian pula bagi para ahli hukum terutama yang bergerak dalarn lapangan praktek seperti hakim, jaksa, pengacara / advokat dan polisi, sudah selayaknya juga memahami tentang ekstradisi sebab ekstradisi sebagian merupakan hukum nasional khususnya berhubungan erat dengan hukum pidana.

37

You might also like