You are on page 1of 8

Nama

No. Pokok

: :

Hary Prasetyo 2010710430002

Pengantar Ilmu Lingkungan

PENGELOLAAN SAMPAH

Pengelolaan Sampah Dengan Open Dumping


Dinas Kebersihan DKI Jakarta pernah melaporkan data produksi sampah di Jakarta mencapai 6.000 ton per hari. Berdasarkan asal mula serta persentasenya, sampah dari sungai (2 persen), pasar temporer (5,5 persen), PD Pasar laya (7,5 persen), industri (15 persen), jalan dan taman (15 persen), sementara rumah tangga (58 persen). Adapun persentase sampah organik seperti sisa makanan, sayuran, buah-buahan, kertas, kayu mencapai 65,05 persen. Sedangkan sampah non-orga-nik seperti plastik, styrofoam, dan besi, sekitar 34,95 persen. Besarnya produksi sampah di Jakarta maupun daerah lain di Indonesia lantaran selama ini kebanyakan masyarakat mengelolanya dengan pendekatan akhir. Artinya sampah dikumpulkan, diangkut, dan dibuang ke tempat pembuangan akhir (TPA) sampah. Sekitar 450 TPA sampah di Indonesia masih menerapkan cara pembuangan sampah generasi pertama yang dikenal sistem open dumping. Sistem ini menerapkan pembuangan sampah dengan cara menimbunnya di tanah lapang terbuka. Padahal, timbunan sampah dengan volume yang besar di TPA rentan menimbulkan masalah lingkungan seperti pencemaran udara, air, dan tanah. Pencemaran tersebut berisiko terhadap kesehatan masyarakat di sekitar TPA. Bahkan, dapat menyebabkan risiko sosial karena timbunan sampah yang sangat labil dapat longsor secara tiba-tiba.

Pengelolaan sampah Dengan Sanitary Landfill


ITU No 18/2008 tentang pengelolaan sampah mengamanatkan seluruh TPA sampah sistem open dumping harus menerapkan teknologi pembuangan sampah generasi kedua dengan sistem sanitary landfill, yaitu pembuangan sampah dengan pengelolaan. Sedangkan untuk menerapkan TPA sampah sistem sanitary landfill di Indonesia, menurut Henky Sutanto, perekayasa teknik lingkungan dari Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), tidak bisa secara langsung mengadopsi teknologi dari luar negeri, terutama dari negara-negara subtropis. Apalagi mengadopsi teknologi TPA sampah kering dengan sistem sanitary landfill, yaitu mengelola sampah dengan cara mengeringkannya agar tidak menghasilkan air lindi (air kotor berbau yang berasal dari sampah) dan keluarnya gas tidak tekendali. Dengan demikian sampah akan sulit terurai karena kondisinya kering. "Teknologi tersebut tidak cocok lantaran kondisi iklim di Indonesia berbeda dengan negaranegara subtropis," ujar Hengky. Negara-negara subtropis memiliki curah hujan kurang dari 600-800 milimeter per tahun, sedangkan di Indonesia sekitar 2.400 milimeter per tahun. Artinya, bila di Indonesia menerapakan teknologi yang banyak dikembangkan di Amerika tersebut, maka jumlah air yang masuk bisa mencapai 4 kali lipat di tempat pengolahan. Hal tersebut bisa mengakibatkan sulitnya mengontrol air lindi dan gas yang dihasilkan dari proses penguraian sampah. Teknologi generasi kedua yang dinilai masih belum dapat mengatasi permasalahan sampah maka dikembangkan TPA sampah basah dengan sistem biorekalor sanitary landfill. TPA sampah generasi ketiga ini menerapkan pengelolaan sampah dengan cara membasahi. "Sampah yang basah mudah terurai sehingga gas yang dihasilkan volumenya akan bertambah banyak untuk keperluan pembangkit tenaga listrik," ujar Hengky. Selain itu, produksi air lindi dalam sistem ini diatur sedemikian rupa sehingga dapat disirkulasikan untuk membasahi sampah. Kelemahan pengelolaan sampah mulai dari generasi pertama hingga ketiga, ketika sampah sudah penuh maka butuh lahan baru. Sedangkan untuk mendapatkan lahan baru TPA sampah,

itu bukan perkara mudah. Butuh persetujuan dari pemerintah daerah serta masyarakat di sekitar area TPA. Selain itu, ketiga sistem tersebut akan memakan ruang cukup luas jika harus terus berpindah-pindah ketika sampah sudah menumpuk. Maka munculah teknologi pengolahan sampah generasi keempat. Teknologi yang diterapkan di generasi keempat ini, kata Hengky, tidak jauh berbeda dengan generasi ketiga. Hanya saja, setelah sampah dimanfaatkan gasnya untuk keperluan tenaga listrik maka sampah akan dikeruk lagi. Jenis sampah organik dimanfaatkan untuk kompos, sedangkan sampah anorganik dimanfaatkan sebagai bahan bakar tenaga listrik. Untuk menyempurnakan pengolahan sampah generasi keempat, Hengki mengembangkan teknologi TPA sampah basah sistem reusable sanitary landfill (RSL). Teknologi pengolahan sampah generasi kelima ini juga dilengkapi alat pemantauan gas dan pengatur air lindi. Secara sederhana, kata Hengky, metode yang diterapkan RSL adalah pengisian dan pengosongan secara bergilir dalam suatu blok ruang. Misalnya, bila TPA sampah tersebut memiliki tiga blok ruang pengolah sampah padat, ketika satu ruang terisi penuh sampah maka pindah ke blok ruang kedua, begitu seterusnya. Bagi daerah yang sampai sekarang masih menerapkan sistem open dumping, kata Hengky, sebenarnya masih dapat direhabilitasi tanpa harus mencari lahan baru. Misalnya, TPA sampah Bantar Gebang sebenarnya hanya perlu diperbaiki drainase air lindinya secara berkala. "Bila suatu pemerintah daerah menerapkan sistem ini tidak perlu mengotak-atik tata ruang kota atau mengambil lahan daerah lain," ujar Hengky. Proyek percontohan RSL ini sudah dibangun di Kabupaten Bangli, Bali. Pembangunan TPA sampah Sarbagita ini telah disesuaikan dengan iklim di Indonesia. Selain itu, proyek percontohan tersebut juga telah disesuaikan dengan pola konsumsi masyarakat Indonesia secara umum. Pasalnya, pola konsumsi yang berpengaruh dengan jenis sampah yang dihasilkan tersebut erat kaitannya dengan proses penguraian ketika ditimbun di suatu TPA sampah. Timbunan sampah organik akan memengaruhi produksi sejumlah gas dan air lindi. Gas tersebut kemudian dimanfaatkan sebagai sumber tanaga listrik.

Pengelolaan Sampah Dengan Pembakaran


Pembakaran adalah metode yang melibatkan pembakaran zat sampah. Pengkremasian dan pengelolaan sampah lain yg melibatkan temperatur tinggi biasa disebut "Perlakuan panas". kremasi merubah sampah menjadi panas, gas, uap dan abu. Pengkremasian dilakukan oleh perorangan atau oleh industri dalam skala besar. Hal ini bisa dilakukan untuk sampah padat, cair maupun gas. Pengkremasian dikenal sebagai cara yang praktis untuk membuang beberapa jenis sampah berbahaya, contohnya sampah medis (sampah biologis). Pengkremasian adalah metode yang kontroversial karena menghasilkan polusi udara. Pengkremasian biasa dilakukan di negara seperti jepang dimana tanah begitu terbatas ,karena fasilitas ini tidak membutuhkan lahan seluas penimbunan darat. Sampah menjadi energi (waste-to-energy) Sampah menjadi energi atau energi dari sampah adalah terminologi untuk menjelaskan sampah yang dibakar dalam tungku dan boiler guna menghasilkan panas/uap/listrik. Pembakaran pada alat kremasi tidaklah selalu sempurna, ada keluhan adanya polusi mikro dari emisi gas yang keluar cerobongnya. Perhatian lebih diarahkan pada zat dioxin yang kemungkinan dihasilkan di dalam pembakaran dan mencemari lingkungan sekitar pembakaran. Pernah mendengar PLTSa? Pembangkit Listrik Tenaga Sampah? Suatu isu yang sedang hangat dibicarakan di Kota Bandung, sebuah kota besar di Indonesa yang beberapa waktu yang lalu pernah heboh karena keberadaan sampah yang merayap bahkan hingga badan jalanjalan utamanya. Jangankan jalan utama, saat Anda memasuki Bandung menuju flyover Pasupati, Anda pasti akan disambut dengan segunduk besar sampah yang hampir menutupi setengah badan jalan. Itu dulu. Sekarang, Kota Bandung sudah kembali menjadi sedia kala dan solusi PLTSa-lah yang sedang diperdebatkan. Tujuan akhir dari sebuah PLTSa ialah untuk mengkonversi sampah menjadi energi. Pada dasarnya ada dua alternatif proses pengolahan sampah menjadi energi, yaitu proses biologis yang menghasilkan gas-bio dan proses thermal yang menghasilkan panas. PLTSa yang sedang diperdebatkan untuk dibangun di Bandung menggunakan proses thermal sebagai proses konversinya. Pada kedua proses tersebut, hasil proses dapat langsung dimanfaatkan untuk menggerakkan generator listrik. Perbedaan mendasar di antara keduanya ialah proses

biologis menghasilkan gas-bio yang kemudian dibakar untuk menghasilkan tenaga yang akan menggerakkan motor yang dihubungkan dengan generator listrik sedangkan proses thermal menghasilkan panas yang dapat digunakan untuk membangkitkan steam yang kemudian digunakan untuk menggerakkan turbin uap yang dihubungkan dengan generator listrik.
Proses Konversi Thermal

Proses konversi thermal dapat dicapai melalui beberapa cara, yaitu insinerasi, pirolisa, dan gasifikasi. Insinerasi pada dasarnya ialah proses oksidasi bahan-bahan organik menjadi bahan anorganik. Prosesnya sendiri merupakan reaksi oksidasi cepat antara bahan organik dengan oksigen. Apabila berlangsung secara sempurna, kandungan bahan organik (H dan C) dalam sampah akan dikonversi menjadi gas karbondioksida (CO2) dan uap air (H2O). Unsur-unsur penyusun sampah lainnya seperti belerang (S) dan nitrogen (N) akan dioksidasi menjadi oksida-oksida dalam fasa gas (SOx, NOx) yang terbawa di gas produk. Beberapa contoh insinerator ialah open burning, single chamber, open pit, multiple chamber, starved air unit, rotary kiln, dan fluidized bed incinerator.

Incinerator. Sebuah ilustrasi bagian-bagian dalam sebuah incinerator.

Pirolisa merupakan proses konversi bahan organik padat melalui pemanasan tanpa kehadiran oksigen. Dengan adanya proses pemanasan dengan temperatur tinggi, molekul-molekul organik yang berukuran besar akan terurai menjadi molekul organik yang kecil dan lebih sederhana. Hasil pirolisa dapat berupa tar, larutan asam asetat, methanol, padatan char, dan produk gas. Gasifikasi merupakan proses konversi termokimia padatan organik menjadi gas. Gasifikasi melibatkan proses perengkahan dan pembakaran tidak sempurna pada temperatur yang relatif tinggi (sekitar 900-1100 C). Seperti halnya pirolisa, proses gasifikasi menghasilkan gas yang dapat dibakar dengan nilai kalor sekitar 4000 kJ/Nm3.

Pengelolaan Sampah Dengan Metode Daur-ulang


Proses pengambilan barang yang masih memiliki nilai dari sampah untuk digunakan kembali disebut sebagai daur ulang.

Metode ini adalah aktivitas paling populer dari daur ulang, yaitu mengumpulkan dan menggunakan kembali sampah yang dibuang, contohnya botol bekas pakai yang dikumpulkan kembali untuk digunakan kembali. Pengumpulan bisa dilakukan dari sampah yang sudah dipisahkan dari awal (kotak sampah/kendaraan sampah khusus), atau dari sampah yang sudah tercampur. Sampah yang biasa dikumpulkan adalah kaleng minum aluminum, kaleng baja makanan/minuman, Botol HDPE dan PET , botol kaca , kertas karton, koran, majalah, dan kardus. Jenis plastik lain seperti (PVC, LDPE, PP, dan PS) juga bisa di daur ulang.Daur ulang dari produk yang komplek seperti komputer atau mobil lebih susah, karena harus bagian bagiannya harus diurai dan dikelompokan menurut jenis bahannya.

Pengelolaan Sampah Dengan Pengomposan (Composting)


Material sampah organik, seperti zat tanaman, sisa makanan atau kertas, bisa diolah dengan menggunakan proses biologis untuk kompos, atau dikenal dengan istilah pengkomposan. Hasilnya adalah kompos yang bisa digunakan sebagi pupuk dan gas methana yang bisa digunakan untuk membangkitkan listrik. Contoh dari pengelolaan sampah menggunakan teknik pengkomposan adalah Green Bin Program (program tong hijau) di Toronto, Kanada, dimana sampah organik rumah tangga, seperti sampah dapur dan potongan tanaman dikumpulkan di kantong khusus untuk di komposkan. Di Jakarta teknologi composting sudah di gunakan. Tempat pembuangan sampah yang umumnya bak gunung sampah yang berbau menyengat bakal hilang dari pandangan dengan adanya teknologi composting. Teknologi ini menerapkan sistem zero waste dan ramah lingkungan. Teknologi ini telah diterapkan di Cakung Cilincing, Jakarta Utara. "Ini baru beroperasi beberapa minggu. Di sana tidak ada penimbunan dan bau lagi," ujar Gubernur DKI Jakarta Sutiyoso di Balaikota, Jl Medan Merdeka Selatan, Jakarta Selatan, Jumat (27/4/2007). Setiap hari, warga Jakarta memproduksi sampah hingga 6.000 ton. "Saya tertarik membangun 4 tempat teknologi sampah ramah lingkungan lagi di antaranya di Ragunan dan Duri Kosambi," imbuh Bang Yos. Pengolahan sampah ramah lingkungan itu ditangani PT WGS. Perusahaan itu bertugas membangun dan mengelola stasiun peralihan antara (SPA) sampah. Proses pengolahan sampah dengan teknologi tersebut pertama, sampah kota dari hulu diangkut menggunakan konvektor ke pusat daur ulang dan kompos Cakung Cilincing. Selanjutnya sampah dipilah antara sampah organik dan non organik dengan alat berteknologi mutakhir. Hasil dari proses pemilahan sampah ada tiga, yakni sampah oraganik, non organik dan residu. Sampah oraganik diproses menjadi kompos granula yang digunakan untuk pertumbuhan tanaman. Sampah non organik akan didaur ulang menjadi plastik, kayu dan besi. Sedangkan residu dari hasil pemilahan sampah akan dibungkus menggunakan mesin secara otomatis atau balapress. Kemudian akan diubah menjadi bahan bakar di pabrik semen Holcim Cibinong. Hasil dari tiga proses sampah itu akan mengurangi jumlah sampah yang akan dibuang ke TPA. Sehingga umur efektif penggunaan tempat pembuangan akhir (TPA) sampah dapat diperpanjang.

You might also like