Professional Documents
Culture Documents
PENDAHULUAN
1
3. Produsi kacang hijau Indonesia tahun 2009
2
BAB II
PEMBAHASAN
Krisis ekonomi yang menimpa negara kita akhir-akhir ini yang diikuti dengan
terpuruknya nilai tukar rupiah terhadap nilai dollar menyebabkan harga bahan pangan
3
impor menjadi lebih mahal. Untuk menanggulangi masalah tersebut maka peningkatan
produksi pangan di dalam negeri perlu ditingkatkan lagi.
faktanya kondisi pertanian kita pada masa kini sangat terpuruk. Bagaimana tidak kini
kita menjadi negara perngimpor buah-buahan, ternak dan bahan pangan utama seperti
beras, jagung, kedelai dan gula. Sungguh kondisi yang sangat ironis mengingat pada era
tahun 1980-an negara kita menjadi negara pengekspor utama beras di wilayah asia.
Dahulu kala negara seperti Malaysia yang pernah belajar bagaimana cara bercocok
tanam pada kita kini justru kondisinya terbalik, kini kita yang belajar pada mereka. Kini
kitalah yang membeli beras dari mereka.
Sungguh aneh, dengan anugrah potensi sumber daya yang sangat besar kita masih
belum mampu mengelolanya dengan baik. Kita masih kurang bersyukur dengan
pemberian anugrah tersebut karena kita lebih banyak melakukan kerusakan alam
daripada kita memanfaatkannya untuk kesejahteraan rakyat. Seharusnya kita harus bisa
instropeksi mengapa hal itu terjadi pada negara kita. Seharusnya kita malu dengan
negara lain seperti Jepang negara yang lebih sempit dengan kondisi tanah yang tidak
sesubur kita namun sistem pertaniannya jauh lebih maju meninggalkan kita.
Haruslah dipahami oleh semua pihak akan peran vitalnya sektor pertanian. Pertanian
menjadi alat untuk stabilitas ekonomi dan politik dalam suatu negara. Pertanian menjadi
alat pemersatu bangsa hal ini sangat beralasan karena pada dasarnya pangan adalah
kebutuhan yang paling primer (dasar) yang harus dipenuhi baik untuk sekedar bertahan
hidup maupun untuk meningkatkan gizi. Bangsa yang tercukupi gizinya akan tumbuh
dan berkembang menjadi negara yang maju.
Banyak faktor yang menjadi penyebab mengapa negara kita yang kaya ini masih belum
mampu memberikan kesejahteraan bagi rakyatnya. Negara yang sebagian besar
penduduknya berprofesi sebagai petani, hidup di pedesaaan dan merupakan golongan
masyarakat yang berpenghasilan renda. Dr. Iskandar Andi Nuhung (2006), terkait
permasalahan ini menyampaikan argumentasinya bahwa “lebih dari 60 % penduduk
Indonesia hidup dari sektor pertanian, berdiam di pedesaan dan merupakan golongan
masyarakat yang berpenghasilan rendah, maka golongan masyarakat inilah yang harus
menjadi titik sentral pembangunan nasional terutama dalam pengarahan investasi”.
Penulis pribadi sepakat dengan pendapat ini dan membenarkan karena telah terdapat
4
fakta dan bukti yang kuat. Pada masa yang lalu ketika pertanian menjadi sentral
pembangunan (leading sector), secara personal petani kita menjadi sejahtera dan dalam
konteks negara, mampu mencapai swasembada beras pada tahun 1984.
Dalam masalah pertanian di Indonesia, secara garis besar dapat dikelompokkan menjadi
dua faktor yaitu internal dan eksternal. faktor internal dan eksternal saling berpengaruh
antar satu sama lain. Faktor internal ini didefinisikan sebagai faktor yang ada dalam
ruang lingkup petani dan faktor eksternal merupakan faktor yang berada di luar lingkup
petani. Faktor internal yang menjadi permasalahan di Indonesia antara lain:
1. Permodalan, sebagian besar petani tidak memiliki modal yang besar untuk
mengembangkan usaha taninya.
2. Prasarana produksi, modal yang kurang menyebabkan petani tidak mampu membeli
sarana produksi seperti benih, bibit, pupuk dan pembasmi hama.
3. Keterampilan, sebagian besar petani masih jarang yang mendapat pendidikan yang
layak, kebanyakan dari mereka tidak pernah duduk di bangku sekolah.
4. Pengetahuan dan pola pikir, belum memiliki pandangan agar usahanya lebih maju ke
depan dan tidak ada usaha untuk meningkatkan pengetahuannya, baik dari segi tekni
maupun non teknis.
5. Manajemen produksi, produksi yang dilakukan petani belum sampai pada profit
oriented namun lebih merupakan cara hidup.
6. Motivasi, motivasi untuk bertani terkadang menurun bahkan hilang. Petani lebih
memiliki melakukan urbanisasi dan bekerja sebagai buru pabrik.
1. Kebijakan pemerintah
a. kebijakan impor, kegiatan impor lebih digalakkan sehingga produk lokal kalah
bersaing sehingga petani mengalami kerugian.
b. kebijakan subsidi, adanya pencabutan subsidi untuk saprodi baik itu benih
ataupun pupuk.
c. kebijakan alih fungsi lahan, lahan pertanian semakin berkurung dengan
semakin majunnya industri baik itu manufaktur, perumahan dan lain. Lahan
5
pertanian yang subur menjadi sasaran utama bagi pebisnis bidang manufaktur
dan perumahan.
d. keijakan finansial, belum adanya lembaga khusus permodalan yang menjadi
penopang sektor pertanian, ada wacana untuk mendirikan bank pertanian yang
menawarkan suku bunga 5-6% bagi petani namun hingga saat ini hanya masih
menjadi sebuah wacana.
e. Kelembagaan, kelembagaan di sektor pertanian telah banyak yang tidak aktif
seperti HIPA, KUD, dan Kelompok Tani.
2. Kebijakan dan isu global, adanya perdagangan bebas, WTO, C-AFTA, politik
penyesuaian struktur dari Bank Dunia (SAP) dan IMF. Perdagangan bebas yang terjadi
hampir di berbagai wilayah dunia secara nyata memberikan dampak yang luarbiasa
terhadap kondisi pertanian dalam negeri (faktor internal). Keikutsertaan dalam
perjanjian perdagangan bebas tanpa adanya kesiapan yang matang, praktis membuat
pasar dalam negeri dibanjiri oleh produk dari luar negeri. Hal ini adalah sebuah resiko
yang berdampak secara sistemik yang dapat meningkatkan jumlah pengangguran dan
tingkat kemiskinan.
6
Pengertian Diversifivikasi Pangan
Konsep diversifikasi pangan bukan suatu hal baru dalam peristilahan kebijakan pembangunan
pertanian di Indonesia karena konsep tersebut telah banyak dirumuskan dan diinterprestasikan
oleh para pakar. Kasryno et al. (1993) memandang diversifikasi pangan sebagai upaya yang
sangat erat kaitannya dengan peningkatan kualitas sumber daya manusia, pembangunan
pertanian di bidang pangan dan perbaikan gizi masyarakat, yang mencakup aspek produksi,
konsumsi, pemasaran, dan distribusi. Sementara Suhardjo (1998) menyebutkan bahwa pada
dasarnya diversifikasi pangan mencakup tiga lingkup pengertian yang saling berkaitan, yaitu
diversifikasi konsumsi pangan, diversifikasi ketersediaan pangan, dan diversifikasi produksi
pangan. Kedua penulis tersebut menterjemahkan konsep diversifikasi dalam arti luas, tidak
hanya aspek konsumsi pangan tetapi juga aspek produksi pangan. Pakpahan dan Suhartini
(1989) menetapkan konsep diversifikasi hanya terbatas pangan pokok, sehingga diversifikasi
konsumsi pangan diartikan sebagai pengurangan konsumsi beras yang dikompensasi oleh
penambahan konsumsi bahan pangan non beras. Secara lebih tegas, Suhardjo dan Martianto
(1992) menyatakan dimensi diversifikasi konsumsi pangan tidak hanya terbatas pada
diversifikasi konsumsi makanan pokok, tetapi juga makanan pendamping. Dari beberapa
pendapat tersebut terlihat telah terjadi kerancuan dalam mengartikan konsep diversifikasi
pangan. Dimensi diversifikasi pangan secara jelas dapat dibedakan apakah yang dimaksud
diversifikasi produksi pangan atau diversifikasi konsumsi pangan atau kedua-duanya. Konsep
harus dipahami secara jelas, sehingga dimensi mana yang akan digunakan juga akan jelas, tidak
tumpang tindih. Dimensi diversifikasi konsumsi pangan tidak hanya terbatas pada pangan
pokok tetapi juga pangan jenis lainnya, karena konteks diversifikasi tersebut adalah untuk
meningkatkan mutu gizi masyarakat secara kualitas dan kuantitas, sebagai usaha untuk
meningkatkan kualitas sumberdaya manusia.
7
Arah Diversifikasi Konsumsi Pangan
Program diversifikasi konsumsi pangan dapat diusahakan secara simultan di tingkat nasional,
regional (daerah) maupun keluarga. Seperti telah disebutkan, upaya untuk mewujudkan
diversifikasi konsumsi pangan sudah dirintis sejak awal dasawarsa 60-an, dimana pemerintah
telah menyadari pentingnya dilakukan diversifikasi tersebut. Saat itu pemerintah mulai
menganjurkan konsumsi bahan-bahan pangan pokok selain beras. Program yang menonjol
adalah anjuran untuk mengkombinasikan beras dengan agung, sehingga pernah populer istilah
”beras jagung”. Ada dua arti dari istilah itu, yaitu campuran beras dengan jagung dan
penggantian konsumsi beras pada waktu-waktu tertentu dengan jagung. Kebijakan ini ditempuh
sebagai reaksi terhadap krisis pangan yang terjadi saat itu (Rahardjo, 1993).
Kemudian di akhir Pelita I (1974), secara eksplisit pemerintah mencanangkan kebijaksanaan
diversifikasi pangan melalui Inpres No. 14 tahun 1974 tentang Perbaikan Menu Makanan
Rakyat (UPMMR), dan disempurnakan melalui Inpres No.20 tahun 1979. Namun dalam
perjalanannya, tujuan diversifikasi konsumsi pangan lebih ditekankan sebagai usaha untuk
menurunkan tingkat konsumsi beras, dan diversifikasi konsumsi pangan hanya diartikan pada
penganekaragaman pangan pokok, tidak pada keanakeragaman pangan secara keseluruhan,
sehingga banyak bermunculan berbagai pameran dan demo masak-memasak yang
menggunakan bahan baku non beras seperti dari sagu, jagung, ubikayu atau ubijalar, dengan
harapan masyarakat akan beralih pada pangan non beras. Usaha tersebut kurang berhasil untuk
mengangkat citra pangan non beras dan mengubah pola pangan pokok masyarakat.
Setelah sekian lama, pada tahun 1991/1992 pemerintah melalui Departemen Pertanian mulai
menggarap diversifikasi konsumsi melalui Program Diversifikasi Pangan dan Gizi (DPG).
Berbeda dengan kondisi dasa warsa 60-an yang semata-mata karena terjadi krisis pangan, DPG
dilakukan tatkala Indonesia sudah pernah mencapai swasembada beras, dan masyarakat
tergantung pada beras. Program DPG bertujuan untuk mendorong meningkatnya ketahanan
pangan di tingkat rumah tangga dan mendorong meningkatnya kesadaran masyarakat terutama
di pedesaan untuk mengkonsumsi pangan yang beranekaragam dan bermutu gizi seimbang.
Fokus program DPG lebih diarahkan pada upaya pemberdayaan kelompok rawan pangan di
wilayah miskin dengan memanfaatkan pekarangan pada jangkauan sasaran wilayah program
yang terbatas, sehingga upaya yang dilakukan adalah meningkatkan ketersediaan
keanekaragaman pangan di tingkat rumah tangga.
8
Kemudian pada tahun anggaran 1998/ 1999 dilakukan revitalisasi program DPG untuk
memberikan respon yang lebih baik dalam rangka meningkatkan diversifikasi pangan pokok.
Upaya ini dilaksanakan dengan perubahan orientasi dari pendekatan sempit (pemanfaatan
pekarangan untuk menyediakan aneka ragam kebutuhan pangan) ke arah yang lebih luas yaitu
pemanfaatan pekarangan guna pengembangan pangan lokal alternatif. Pembinaannya pun tidak
terbatas pada aspek budi daya tetapi juga meliputi aspek pengolahan dan penanganan pasca
panen agar pangan lokal alternatif ini dapat memenuhi selera masyarakat (Proyek DPG Pusat,
1998). Departemen Kesehatan juga melaksanakan program diversifikasi konsumsi pangan
secara tidak langsung melalui program perbaikan gizi yang tujuan utamanya untuk menurunkan
angka prevalensi Kurang Energi Protein (KEP), Kurang Vitamin A (KVA), Gangguan Yodium
(GAKI), dan anemia.
- Ketergantungan pada satu atau dua jenis komoditi saja (Mubyarto, 1989).
9
10
Tabel Produksi Pertanian Pada Tahun 2009
Konsumsi
Produksi pertahun Konsumsi beras Kondisi
No. Provinsi Populasi beras per orang
(kg) penduduk pertahun (kg) Kecukupan Beras
per hari (gram)
1 Aceh 4,494,410 1,540,405,000 380 623,374,667 surplus
2 Sumatera Utara 12,982,204 3,469,529,000 380 1,800,631,695 surplus
3 Sumatera Barat 4,846,909 2,060,320,000 380 672,266,278 surplus
4 Riau 5,538,367 576,412,000 380 768,171,503 defisit
5 Jambi 3,092,265 641,202,000 380 428,897,156 surplus
6 Sumatera Selatan 7,450,394 3,063,561,000 380 1,033,369,648 surplus
7 Bengkulu 1,715,518 480,606,000 380 237,942,347 surplus
8 Lampung 7,608,405 2,547,516,000 380 1,055,285,774 surplus
9 Kep. Bangka Belitung 1,223,296 19,617,000 380 169,671,155 defisit
10 Kepulauan Riau 1,679,163 442,000 380 232,899,908 defisit
Sumatera 50,630,931 14,399,610,000 7,022,510,130 surplus
11 DKI Jakarta 9,607,787 8,570,000 380 1,332,600,057 defisit
12 Jawa Barat 43,053,732 10,620,613,000 380 5,971,552,628 surplus
13 Jawa Tengah 32,382,657 9,326,123,000 380 4,491,474,526 surplus
14 DI Yogyakarta 3,457,491 817,300,000 380 479,554,002 surplus
15 Jawa Timur 37,476,757 10,839,308,000 380 5,198,026,196 surplus
16 Banten 10,632,166 1,857,323,000 380 1,474,681,424 surplus
Jawa 136,610,590 33,469,237,000 18,947,888,833 surplus
17 Bali 3,890,757 846,075,000 380 539,647,996 surplus
18 Nusa Tenggara Barat 4,500,212 1,861,781,000 380 624,179,404 surplus
12
19 Nusa Tenggara Timur 4,683,827 595,872,000 380 649,646,805 defisit
Bali & Nusa Tenggara 13,074,796 3,303,728,000 1,813,474,205 surplus
20 Kalimantan Barat 4,395,983 1,267,211,000 380 609,722,842 surplus
21 Kalimantan Tengah 2,212,089 551,013,000 380 306,816,744 surplus
22 Kalimantan Selatan 3,626,616 2,012,400,000 380 503,011,639 surplus
23 Kalimantan Timur 3,553,143 587,206,000 380 492,820,934 surplus
Kalimantan 13,787,831 4,417,830,000 1,912,372,160 surplus
24 Sulawesi Utara 2,270,596 546,825,000 380 314,931,665 surplus
25 Sulawesi Tengah 2,635,009 1,003,598,000 380 365,475,748 surplus
26 Sulawesi Selatan 8,034,776 4,139,492,000 380 1,114,423,431 surplus
27 Sulawesi Tenggara 2,232,586 418,487,000 380 309,659,678 surplus
28 Gorontalo 1,040,164 241,557,000 380 144,270,747 surplus
29 Sulawesi Barat 1,158,651 345,697,000 380 160,704,894 surplus
Sulawesi 17,371,782 6,695,656,000 2,409,466,163 surplus
30 Maluku 1,533,506 77,292,000 380 212,697,282 defisit
31 Maluku Utara 1,038,087 46,694,000 380 143,982,667 defisit
32 Papua Barat 760,422 42,774,000 380 105,470,531 defisit
33 Papua 2,833,381 108,325,000 380 392,989,945 defisit
Maluku & Papua 6,165,396 275,085,000 855,140,425 defisit
Jumlah Nasional 237,641,326 62,561,146,000 32,960,851,916 surplus
Produksi beras Konsumsi
tertinggi Jawa Timur beras tertinggi Jawa Barat
Konsumsi
Produksi beras beras
terendah Kepulauan Riau terendah Papua Barat
Sumber: Badan Pusat Statistik Indonesia Tahun 2009 Tahun 2009
13
Analisis Data
Sumatera
Berdasarkan data diatas, pada tahun 2009, dapat dilihat secara keseluruhan produksi
beras di Pulau Sumatera mampu mencukupi kebutuhan konsumsi beras penduduknya
pertahunnya. Namun jika dilihat secara per provinsi, masih ada provinsi yang belum mampu
mencukupi kebutuhan konsumsi beras di wilayahnya, yaitu Provinsi Riau, Kepulauan Bangka
Belitung dan Kepulauan Riau.
Pada Provinsi Riau, kurangnya produksi beras disebabkan oleh beberapa faktor yaitu
terjadinya alih fungsi lahan pertanian sebagai komoditi pangan menjadi lahan tanaman
komoditi yang bernilai ekonomi. Lahan pertanian diubah menjadi perkebunan sawit, hal ini
meningkatkan kesejahteraan penduduk Riau namun kemampuan untuk memenuhi kebutuhan
konsumsi beras menjadi berkurang. Maka untuk mencukupinya, Provinsi Riau membutuhkan
suplai dari daerah lain, yaitu Sumatera Barat.
Untuk Kepulauan Bangka Belitung, faktor yang menyebabkan produksi berasnya belum
mampu mencukupi kebutuhan konsumsi beras penduduknya antara lain gangguan hama,
gangguan alam bencana banjir, penurunan sumber daya lahan sawah irigasi, dan pengaruh
negatif dari penambangan timah yang terdapat disana. Seperti yang kita ketahui, Kep. Bangka
Belitung merupakan salah satu penghasil timah terbesar, namun berpengaruh negatif bagi
kondisi pertaniannya. Dampak negatif dari pasca penambangan timah ini didominasi oleh
hamparan tailing, overburden, dan kolong yang berakibat menurunnya kualitas lahan pertanian
di daerah tersebut. Untuk itu membutuhkan suplai dari wilayah lain. Dan wilayah yang
berpotensi untuk mensuplai provinsi ini adalah Sumatera Selatan.
Pada Kep. Riau, hasil produksi pertanian padinya masih sangat jauh untuk memenuhi
kebutuhan konsumsi beras penduduknya. Hal ini masih bisa diatasi dengan melakukan
diversifikasi pangan, karena di wilayah tersebut juga memproduksi tanaman palawija lainnya
yang mengandung karbohidrat, bahkan hasilnya lebih tinggi disbanding produksi padinya.
Tetapi, produksi tanaman palawija yang mengandung karbohidrat di wilayah tersebut jika
dijumlahkan masih belum bisa mencukupi kebutuhan karbohidrat, maka perlu dilakukan juga
pensuplaian beras dari wilayah lain. Menurut data yang didapat, Kepulauan Riau sangat
bergantung pada Provinsi Jambi dalam memenuhi kebutuhan pangan di wilayahnya. Kedua
provinsi ini memang saling bersinergi.
Seperti yang dilihat dalam data, wilayah yang memiliki potensi untuk mendistribusikan
hasil produksi berasnya ke wilayah Riau, Kep. Bangka Belitung, dan Kep. Riau adalah
14
Sumatera Utara, Sumatera Barat, Sumatera Selatan, dan Lampung. Karena keempat wilayah
tersebut hasil produksinya sudah sangat mencukupi kebutuhan beras di wilayahnya masing-
masing dan surplus yag didapat lebih banyak disbanding wilayah lain. Pendistribusian
dilakukan dari wilayah yang terdekat dan mudah di jangkau agar lebih efisien dan yang
terpentingnya tidak membutuhkan biaya transportasi yang besar sehingga harga beras tidak
mahal.
Jawa
Berdasarkan data, pada tahun 2009 di Pulau Jawa hampir semua provinsi mampu
mencukupi kebutuhan konsumsi beras penduduknya. Faktor pendukung tingginya hasil
produksi beras di Pulau Jawa adalah keadaan kemirigan tanah di pulau tersebut yang sesuai
dengan syarat lahan pertanian yaitu maksimal sebesar 15-20%, selain itu wilayah Pulau Jawa
yang umumnnya tanahnya sangat subur. Hal ini dibuktikan pada tahun 2009 produksi beras
tertinggi adalah Jawa Timur dan juga Jawa Barat yang tidak jauh berbeda angkanya. Hampir
semua provinsi tercukupi kecuali DKI Jakarta. Hal ini tidak mengherankan, karena seperti yang
dapat kita lihat, di DKI Jakarta lahan pertanian semakin sedikit karena terjadi alih fungsi lahan
pertanian menjadi gedung-gedung atau sarana umum lainnya. Kurang tepat pula jika di DKI
Jakarta dilakukan diversifikasi pangan karena hasil produksi tanaman palawija yang
mengandung palawija pun sangat sedikit. Untuk itu DKI Jakarta membutuhkan suplai dari
wilayah lain, yaitu Jawa Barat yang memiliki lumbung padi terbesar di Karawang. Kalu di
Jawa Timur adalah Bojonegoro.
Berdasarkan data Badan Pusat Statitistik (BPS) tahun 2009 , empat Provinsi di
Kalimantan meliputi Provinsi Kalimantan Barat,KalimantanTengah,Kalimantan Selatan dan
Kalimantan Timur, memiliki produksi beras pertahun sekitar 4.462.689 Ton. Dengan jumlah
populasi 13.787.831 jiwa. Provinsi Kalimantan Selatan menjadi provinsi dengan produksi beras
terbesar yaitu 2.012.400.000 kg/tahun. Sedangkan Provinsi Kalimantan Tengah menjadi
Provinsi dengan hasil produksi beras terendah pertahunnya yaitu sebesar 551.013.000 kg/tahun.
Selain itu Provinsi Kalimantan Barat menjadi provinsi dengan hasil produksi kedua terbesar
15
yaitu 1,267,211,000 kg/tahun, dan Kalimantan Timur menjadi provinsi penghasil beras
terbesar ketiga dengan produksi 587,206,000 kg/tahun.
1. Kalimantan Selatan
Menurut data yang diperoleh dari Badan Pusat Statitistik (BPS) tahun 2009, Provinsi
Kalimantan Selatan menjadi provinsi dengan produksi beras terbesar di Kalimantan yaitu
2.012.400.000 kg/tahun, hal tersebut dikarenakan beberapa faktor diantaranya, Kalimantan
Selatan memiliki lahan panen terluas dibandingkan ketiga Provinsi lainnya yaitu, 504.527 Ha.,
selain itu hingga saat ini, tak kurang dari 322.763 Kepala Keluarga di provinsi ini merupakan
petani. Sejumlah daerah di Kalimantan pun menjadi Sentra produksi beras,diantaranya
Kabupaten Barito Kuala (dengan kontribusi 16,2 persen), Tapin (12 persen), Kandangan (11,29
persen), Hulu Sungai Tengah (10,06 persen), Tabalong (7,61 persen) dan Kab. Hulu Sungai
Selatan (7,22 persen). Produksi beras provinsi ini masih berpeluang besar untuk meningkat
mengingat masih besarnya potensi lahan yang tersedia. Dengan konsumsi beras Indonesia
sebesar 139 kilogram per kapita per tahun (Berdasarkan data BPS) dan total populasi penduduk
Kalimantan Selatan sejumlah 3,626,616 jiwa,maka konsumsi beras penduduk Kalimantan
Selatan pertahun diperkirakan sekitar 503,011,639 kg. Hal tersebut menunjukan Provinsi
Kalimantan Selatan memilki kondisi kecukupan beras dalam keadaan surplus.
2. Kalimantan Barat
16
3. Kalimantan Timur
4. Kalimantan Tengah
17
Sulawesi memiliki jumlah produksi beras sebesar 6.349.959 Ton. Dan Sulawesi Selatan
menjadi Provinsi dengan produksi beras terbesar yaitu 4,139,492,000 kg/tahun. Faktor
pendukung besarnya produksi beras di Sulawesi Selatan Selatan diantaranya Sulawesi Selatan
memilki luas lahan panen terbesar di Sulawesi yaitu sekitar 840.853 Ha. Konsumsi beras
penduduk Sulsel merupakan yang tertinggi di Sulawesi,karena Sulsel memiliki populasi
penduduk terbesar yaitu sekitar 8,034,776 jiwa. Dari jumlah total produksi beras pertahun di
Sulawesi, semua provinsi mengalami kondisi kecukupan beras dalam keadaan surplus karena
jumlah produksi lebih besar dibandingkan konsumsi beras penduduk pertahunnya. Tingginya
angka produksi tersebut disebabkan beberapa faktor diantaranya besarnya produksi beras di
sejumlah provinsi di Sulawesi diantaranya Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tengah yang
mengalami peningkatan jumlah produksi padi ditahun 2009.
Nusa Tenggara timur,Maluku,Maluku Utara, PapuaParat dan papua adalah daerah yang
belum dapat mencukupi kebutughan konsumsi pendudukan selama satu tahun yaitu pada tahun
2009.
Nusa Tenggara
NTT NTB
Produsi (Ton) Produsi (Ton)
Jagung 636,778 Jagung 293,854
Ubi kayu 916,997 Ubi kayu 83,171
Ubi jalar 112,765 Ubi jalar 17,472
Kacang tanah 22,040 Kacang tanah 36,871
Kacang kedelai 111,970 Kacang kedelai 11,267
Kacang Hijau 19,054 Kacang Hijau 29,496
18
Pada Provinsi Nusa Tenggara Timur Jumlah konsumsi beras penduduk pertahun lebih besar
(649,646,805) dibandingkan dengan produksinya (4,683,827) .Hal ini dikarenakan factor
iklim. Fenomena iklim El-nino membawa dampak terjadinya kekeringan di beberapa wilayah
NTT yang disebabkan oleh rendahnya intensitas dan frekuensi curah hujan serta pendeknya
rentang waktu musim hujan. Kondisi tersebut mengakibatkan terjadinya gagal panen di
beberapa Kabupaten di NTT. Ditambah dengan Provinsi Nusa Tenggara Timur merupakan
daerah kepulauan dengan luas perairan mencapai 200.000 km2 dan luas daratan seluruhnya
47.347,9 km2 yang sebagian besar atau 96,5% berupa lahan kering dan lahan basah sekitar
3,5%. Secara klimatologis, NTT tergolong ke dalam daerah semi-arid dengan curah hujan yang
rendah. Musim hujan dan bulan basah umumnya berlangsung pendek, yaitu sekitar 3 (tiga)
sampai 4 (empat) bulan dan bulan kering berlangsung antara 6 (enam) sampai 9 (sembilan)
bulan.
19
Dengan menggunakan asumsi luas lahan pertanian dan kebutuhan konsumsi masyarakat NTT
mengalami kekurangan pasokan beras .Untuk memenuhi kekurangan tersebut, pengusaha
sebagian besar mendatangkan dari Surabaya, Makassar dan NTB.
Walaupun NTT mengalami kekurangan beras , namun NTT memiliki diservikasi pangan
tanaman jagung, dan beberapa jenis kacang-kacangan . Ini dikarenakan rata-rata lahan di nusa
tenggara timur adalah lahan kering dan dengan intensitas curah hujan yang sedikit ,sehingga
cocok di tanami jagung dan beberapa kacang-kacangan.
Produksi beras di Nusa Tenggara Barat adalah 1,861,781,000 dan konsumsi beras pertahunnya
adalah 624,179,404. Nusa tenggara Barat memiliki lahan basah yang lebih banyak di
bandingkan dengan NTT hal ini yang menyebabkan NTB memiliki produksi padi yang cukup
untuk di konsumsi penduduknya pertahun,Namun walaupun NTT lebih sedikit lahan
basahnya ,NTT memiliki lahan kering yang lebih banyak sehingga dapat di Tanami bahan
pangan penggati beras seperti jagung dan sebagian kacang-kavcangan.Jadi NTT walupun
kekurangan pasokan beras namun dapat tertutupi oleh banhan pangan yang lainnya.
Maluku
Maluku Maluku Utara
Produsi (Ton)
Jagung 18,528
Ubi kayu 107,493
Ubi jalar 21,999
Kacang tanah 3,086
Kacang kedelai 636
Kacang Hijau 329
Maluku
150.000 107.493
100.000
50.000 18.528 21.999
3.086 636 329
0
Produsi (Ton)
MalukuUtara
107.493
120.000
100.000
80.000
60.000 18.528
18.528 21.999
40.000 3.086636 329
20.000
0
Produsi (Ton)
20
Maluku memiliki Produksi 77,292,000 kg dan konsumsi padi pertahun 212,697,282. Maluku
Utara memiliki produksi 46,694,000kg dan konsumsi padi pertahun 143,982,667. Maluku
memiliki jumlah produksi padi yang tidak dapat memenuhi kebutuhan konsumsi padi hal ini
dikarenakan lahan produksi padi di sana kurang.Maluku dan Maluku Utara di pasok beras dari
Sulawesi karena lebih dekat jaraknya dan Sulawesi memiliki produksi padi yang cukup.Namun
Maluku dapat menutupi kekurangan bahan pangan dengan jagung ,ubi kayu,ubi jalar,kacang
tanah,kacang kedelai dan kacang hijau.Ubi kayu di Maluku dan Maluku Utara lebih banyak dri
pada jagung, ubi jalar,kacang tanah,kacang kedelai dan kacang hijau.Sehingga dapat Maluku
mendiversifikasi bahan pangan padi dengan ubi kayu.Sebelum pemerataan bahan pangan pun
Maluku sudah mengenal bahan pangan yang lainnya,
Papua
21
Papua barat pengkonsumsi beras terrendah se Indonesia yaitu (105,470,531) ,produksi tahun
2009 42,774,000 kg dan dengan jumlah populasi terendah di Indonesia (760,422). Papua
konsumsi beras penduduk pertahunnya adalah 392,989,945 dengan jumlah penduduk 2,833,381
dan produksi pertahun 108,325,000 kg
Papua Barat memiliki luas yang lebih kecil di bandingkan dengan luas provinsi papua ,hal ini
yang menyebabkan produksi bahan pangan di papua barat lebih sedikit dibandingkan dengan
papua.Konsumsi beras di Papua barat adalah yang terendah ini karena jumlah penduduk yang
sedikit sehingga tidak dapat memanfaatkan lahan dengan maksimal.
Daerah di Papua yang memiliki relif yang terjal sebagian besar sehingga produksi padi sedikit .
Papua memiliki daya dukung lahan yang rendah, kemampuan lahan yang rendah ini disebabkan
karena kondisi fisik lahan atau tanah yang kurang baik atau kurang produktif sehingga hasil
pertanian yang dihasilkan dari lahan pertanian tersebut tidak terlalu besar .
Produksi Pangan di Papua tidak dapat untuk memenuhi kebutuhan penduduk untuk sebagian
besar kabupaten di Pulau papua.
Produksi padi yang terbanyak adalah di Jawa Timur,namun apabila jawa timur harus memasok
beras ke papua ini membutuhkan waktu yang sangat lama dan ongkos pengiriman yang
tinggi.Menyebabkan harga beras di papua jauh lebih tinggi karena pengaruh aksesnya.Sehingga
seharusnya pulau-pulau terdekatnya seperti Sulawesi dapat memasok padi ke Papua agar dapat
memenuhi kebutuhan konsumsi padi dan harganya lebih murah,
Bali
Pada Provinsi Bali Jumlah konsumsi beras penduduk pertahun adalah 846,075,000 kg dengan
Konsumsi pada tahun 2009 adalah 539,647,996. Bali memiliki produksi beras yang cukup
untuk memenuhi kebutuhan konsumsi beras di daerahnya.Bali dapat memasok beras ke Nusa
Tenggara Timur
22
Produsi (Ton)
Jagung 83,512
Ubi kayu 162,799
Ubi jalar 84,469
Kacang tanah 15,214
Kacang kedelai 16,381
Kacang Hijau 917
23
BAB III
PENUTUP
Dari data tersebut dapat dilihat bahwa konsumsi beras pada tiap provinsi berbeda-beda
dan hasil produksi beras di masing-masing provinsi juga berbeda. Provinsi yang hasil produksi
berasnya tertinggi pada tahun 2009 adalah Jawa Timur, sedangkan yang terendah adalah
Kepulauan Riau. Dilihat dari sisi konsumsi, Provinsi Jawa Barat adalah daerah yang konsumsi
berasnya tertinggi, sedangkan yang terendah adalah Papua Barat. Dari 33 provinsi, daerah yang
masih belum dapat mencukupi kebutuhan konsumsi pendudukny aselama pertahun ada 9
provinsi, yaitu Riau, Bangka Belitung, Kep.Riau, DKI Jakarta, Nusa Tenggara Timur.
Dari data dan analisis tersebut, dapat disimpulkan bahwa hasil produksi beras nasional
Indonesia sebenarnya masih mampu mencukupi kebutuhan konsumsi beras penduduk
Indonesia. Namun, sayangnya, jumlah hasil produksi pada masing- masing wilayah berbeda
dan tidak merata. Selain itu, tingkat kebutuhan konsumsi beras penduduk di masing-masing
wilayah juga berbeda. Untuk itu, dibutuhkan pemerataan pensuplaian beras dari wilayah yang
hasil produksi berasnya tinggi ke wilayah yang produksi wilayahnya rendah. Selain
pensuplaian dapat dilakukan juga diversifikasi pangan bagi wilayah yang masih defisit dalam
memenuhi kebutuhan berasnya dengan tanaman palawija yang mengandung karbohidrat jika
wilayah tersebut mampu menghasilkan tanaman palawija yang mencukupi.
24
DAFTAR PUSTAKA
http://tanamanpangan.deptan.go.id/index.php/berita/topdf/55
http://www.kaltimpost.co.id/?mib=berita.detail&id=60926
www.km.ristek.go.id
www.wikipedia.com
25