You are on page 1of 2

Updated: Kamis, 02 September 2004, 22:40 WIB SARAPAN PAGI

Sarapan Pagi

Kuasa Si Senjata

Jakarta, KCM

Kirim Teman | Print Artikel

Rabu (1/9) subuh, saya dikejutkan oleh telephone seorang teman. Jam 04.45 ketika itu, di mana
kalau hari lainnya pada jam itu saya masih menikmati ketenangan dalam tidur saya. Lebih
terkejut lagi, pembicaraan di awal hari yang bening itu adalah soal serius. Soal senjata.

"Ada anak pejabat ditahan di Polres Jaksel," kata teman saya itu dengan berbisik. Katanya, si
anak pejabat itu cekcok mulut dengan security di kafe Tee Box di Jakarta Selatan dan lalu
mengeluarkan pistol miliknya.

Saya lalu tercenung setelahnya, bahkan berjam-jam usai pembicaraan singkat di telefon itu.
Begitu mudahkah orang memiliki senjata api dan kemudian memamerkannya di muka umum?
Ingatan saya berputar ke hari-hari sebelumnya, termasuk ke sebuah talk show pagi radio swasta
yang ketika itu seru membahas tentang benda panas mematikan ini.

Pada waktu talk show itu berlangsung, telefon dan sms di studio radio itu berbunyi terus,
memberi tanggapan. Saya ingat bagaimana posisi saya yang semula santai mendengarkan
perbincangan riuh di radio itu sambil memegang segelas teh, lalu tercekat seketika seperti
disadarkan sesuatu dari semua tanggapan yang masuk di radio itu : enam dari delapan pendengar
yang masuk itu ternyata pemegang senjata.

"Sekitar tahun 1989 lah saya mulai punya senjata. Tadinya nggak minat. Tapi karena ditawari
terus, udah gitu murah lagi ... cuma Rp25 Juta,.. mmm ... akhirnya saya pikir..kenapa nggak?"
celoteh seorang pria penelpon, di radio itu.

Lalu dengan agak terbata-bata, pria itu melanjutkan "Pertama-tama sih ada rasa bangga juga,
seperti perasaan berkuasa. Tapi sekarang, punya senjata lebih untuk jaga diri, " kata salah
seorang pendengar tersebut.

Jaga diri. Kata-kata itu merasuk terus di pikiran saya dan menimbulkan banyak pertanyaan,
bahkan sampai saya dalam perjalanan menuju ke beberapa tempat hari ini. Dari taksi yang saya
tumpangi, saya melintas di sebuah kerumunan orang yang sedang menunggu bus. Agak
berhimpitan di awal pagi yang mulai panas, tapi semua berlangsung damai.
Juga ketika saya melewati terminal Blok M, ada pengendara motor sedang berselisih dengan
sopir pribadi. Saya perhatikan beberapa saat, mereka bertengkar sambil menunjuk-nunjuk spion
pengendara motor yang bengkok karena tersenggol si sopir pribadi. Tapi beberapa menit
kemudian, mereka bersalaman. Tanda bahwa salah satu pihak ada yang mengalah dan jalan
damai tercapai.Tak ada baku hantam, apalagi senjata yang meletus.

Saya lalu tiba-tiba ingat, dulu Pak Makbul Padmanegara ketika masih menjabat sebagai Kapolda
Metro Jaya pernah bilang "Buat apa warga punya senjata api? Kan ada polisi yang menjaga
keamanan. Kalau ada masalah dengan keamanan ya serahkan pada kami. Lagipula, Jakarta aman
kok."

Ah ... saya tertawa dalam hati.Kalau Jakarta dibilang aman banget, sepertinya memang nggak
juga. Mungkin aman itu terasa dan berlaku mutlak buat pejabat saja yang selalu naik mobil
mewah. Atau kalau mereka jalan kakipun, pengawalnya dimana-mana, sehingga mereka yang
niatnya jahat pasti menahan diri daripada babak belur. Dan akhirnya, kami-kami ini, yang siang
malam terpanggang matahari demi sesuap nasi inilah yang jadi korban. Kecopetan, ditodong,
dihipnotis dan lain-lain.

Tapi, benarkah senjata pistol akhirnya jadi satu-satunya penyelesaian untuk semua
ketidaknyamanan itu? juga bahkan untuk kesalahpahaman antar teman yang mestinya bisa
diselesaikan dengan arif?apa sebenarnya konteks ’menjaga diri’ seperti kata penelpon yang
punya senjata itu?menjaga diri untuk selalu menang-kah?

Perselisihan seorang pelawak dengan pekerja tayangan infotainment, juga pertengkaran anak
pengusaha dengan seorang security Tee Box yang semuanya berakhir dengan letusan senjata itu,
dan berurat akar ceritanya di media massa, bagi saya memperjelas betapa kuatnya sindrom
kekuasaan itu. Kekuasaan dalam senjata-senjata mereka yang mengkilap itu demikian
mengungkung, sampai menghapuskan sisi-sisi humanisnya demi harga diri dan perasaan ingin
menang, karena terbiasa selalu menang.

Mungkin mereka enggan bicara dengan rendah hati untuk menyelesaikan masalahnya, karena tak
terlalu yakin akan menang. Atau memang mereka tak ingin bicara, karena merasa kastanya
terlalu tinggi dibanding kuli tinta atau satpam.

Kalau membunuh, menakut-nakuti dengan senjata menjadi jalan keluar mengatasi setiap
ketidaknyamanan, apapun bentuknya, maka kita sebenarnya hanya menyulam waktu untuk
beralih ke waktu yang lain. Waktu di mana yang ada hanya dendam yang harus segera
dituntaskan dengan nyawa, tanpa komunikasi mencari solusi, tanpa kerendahan hati. Sampai
akhirnya menjaga diri tetap damai menjadi luruh, hingga kenyamanan tak kan pernah datang
lagi.... (Lily Bertha Kartika)

You might also like