You are on page 1of 116

Majalah INOVASI

ISSN: 0917-8376
Volume 11/XX/Juli 2008

EDITORIAL 1

TOPIK UTAMA
1. 50 Tahun hubungan Indonesia-Jepang: Refleksi terhadap Implementasi ODA Jepang 3

di Indonesia
2. Refleksi 50 Tahun Hubungan Ekonomi Indonesia-Jepang dalam Sektor Perikanan 15

3. Industri Kecil dan Menengah (IKM) di Jepang dan Proposal Pengembangan IKM 21
Nasional
4. Golongan Karya dan the Liberation Democrat Party: Sebuah Telaah Singkat 25

Perbandingan the Rulling Party di Indonesia dan Jepang

5. Sistem, Proses dan Perkembangan Anggaran Pemerintah Jepang: Apa yang bisa 36

dipelajari?
6. Transfer Teknologi pada Sektor Industri Manufaktur Indonesia: Menelaah 50 Tahun 41

Hubungan Persahabatan Indonesia-Jepang

IPTEK
1. Potensi Kerjasama Indonesia - Jepang di Sektor Industri dan Energi Khususnya untuk 46

Pengembangan Industri Photovoltaic


2. Prospek Energi dari Sekam Padi dengan Teknologi Fluidized Bed Combustion 54
3. Potret Dan Hambatan E-Government Indonesia 60

KESEHATAN
1. Lession Sterilization and Tissue Repair Therapy: Revolusi dalam Pengobatan Gigi 66

2. Induced Pluripotent Stem-cells 70

3. Chimera 73

NASIONAL
1. Hukum Kewarganegaraan dan Status Orang Asing di Jepang 78

2. Meningkatkan Efektifitas Sistem Pengelolaan Dana Pensiun dan Sistem Perpajakan 84

3. Ketidakberdayaan terhadap Suap 87


HUMANIORA
1. Toponimi, Bukan Hanya Tata Cara Penulisan Nama Unsur Geografis 91

2. Bekerja Di Perusahaan Jepang 95

LIPUTAN
1. Wawancara dengan Bapak Jusuf Anwar, Duta Besar RI Untuk Jepang 98

2. 50 Tahun Kita Bersahabat 102


3. Laporan Workshop Studi Potensi Minyak Dan Gas Di Pantai Barat Nanggroe Aceh 104

Darussalam
4. SAST 2008 : dari EPA Indonesia-Jepang, Fitur Kebijakan Pangan Negara-negara 108

ASEAN, Perspektif Lingkungan dalam Pertanian, hingga Pengembangan SDM

Pertanian
INOVASI Vol.11/XX/Juli 2008
EDITORIAL

50 Tahun Hubungan Indonesia-Jepang

Oleh: Sorja Koesuma

Tahun 2008 menandai hubungan Indonesia Jepang yang telah berumur 50 tahun.
Momentum bersejarah ini dimulai pada tanggal 20 Januari 1958, ketika kedua negara
bersepakat untuk menjalin hubungan diplomatik. Peringatan 50 tahun Hubungan Indonesia
– Jepang digelar di Sasono Langen Budaya Taman Mini Indonesia Indah pada Hari Minggu,
20 Januari 2008 yang dihadiri oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono beserta istri, Ibu
Ani Yudhoyono dan Pangeran Akishino, putra kedua Kaisar Akihito.

Sejarah mencatat sejumlah kerjasama menguntungkan dalam berbagai bidang yang telah
dilakukan kedua negara. Dengan potensi kekayaan alam yang dimilikinya, juga populasi
penduduk yang besar, Indonesia merupakan negara sumber pemasok bahan dasar industri
sekaligus pangsa pasar produk Jepang. Sebaliknya, Jepang sebagai negara dengan
kepesatan laju teknologinya dapat menjadi acuan bagi Indonesia dalam mengembangkan
teknologi untuk mempercepat laju pembangunannya.

Majalah INOVASI ONLINE edisi kali ini mengangkat tema peringatan 50 tahun hubungan
Indonesia Jepang yang disajikan dalam beberapa artikel menarik dalam Rubrik Topik
Utama. Bagaimana memandang bijak hubungan kerjasama yang sudah berlangsung
selama 50 tahun, dianalisa secara menarik dan seimbang dengan menyajikan sisi positif
dan negatif yang muncul dari bentuk kerjasama selama ini.

Bantuan pendanaan kegiatan pembangunan yang diberikan Jepang selama ini telah
menempatkannya sebagai negara penyumbang terbesar bagi Indonesia. Salah satu bentuk
bantuan tersebut adalah Official Development Assistance (ODA). Analisa terhadap sejarah
keberadaan ODA menjadi bahasan yang menarik, dengan adanya fakta bahwa secara
kuantitatif menunjukkan nilai ODA meningkat namun secara kualitatif tidak demikian. Selain
itu dengan besaran nilai ekspor kekayaan laut Indonesia ke Jepang, perlu dicermati
dengan kemungkinan munculnya dampak negatif dan krisis kelangkaan kekayaan laut
sebagai akibat pemanfaatan yang tidak bijak.

Sebagai negara maju dengan pertumbuhan ekonomi dan bisnis yang cepat, Jepang dapat
menjadi wacana dalam pengelolaan ekonomi nasional Indonesia. Analisa tentang sistem
penyususnan anggaran belanja negara di Jepang menunjukkan adanya keunikan karena
tidak mengikuti standar internasional. Terlepas dari adanya kelemahan sistem ini, banyak
kelebihan yang bisa dipelajari dan dipikirkan kemungkinan pengembangannya di Indonesia.
Kemajuan Industri Kecil dan Menengah (IKM) Jepang yang menopang pertumbuhan
ekonomi nasionalnya adalah wacana yang menarik untuk pengembangan IKM di Indonesia.
Untuk itu studi tentang hal ini sangat diperlukan.

Penandatanganan Japan-Indonesia Partnership Agreement (JIEPA) pada bulan Agustus


2007, menandai era baru yang memperkuat hubungan bilateral kedua negara. Tidak saja
dalam tercapainya kesepakatan pengaturan mobilisasi tenaga kerja kedua negara, tetapi
cakupan kerjasama meluas dengan perjanjian ini. Termasuk di dalamnya kerjasama dalam
bidang teknologi. Kupasan tentang transfer teknologi dari Jepang kepada Indonesia
dikaitkan dengan budaya, tradisi dan nilai-nilai sosial yang dimiliki kedua negara disajikan
secara ringan.

Dalam bidang politik terlihat adanya kesamaan dalam gerakan dan aktivitas partai di
Jepang dan Indonesia. Analisa menarik tentang Partai Golkar dan LDP di Jepang

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia 1
INOVASI Vol.11/XX/Juli 2008
EDITORIAL
memperlihatkan bahwa kedua negara dapat bersama-sama saling mengisi untuk menjadi
dewasa dalam membawakan suara rakyat dalam ranah politik.

Seperti biasa, Majalah INOVASI juga menyajikan beberapa tulisan menarik dari aspek
IPTEK, kesehatan, , hukum, dan humaniora. Rubrik IPTEK kali ini menyajikan tiga tema
menarik tentang pengembangan dan pemanfaatan renewal energy, mengingat kelangkaan
energi menjadi ancaman bagi negara-negara di dunia. Kemungkinan kerjasama
pengembangan energi tenaga surya atau photovoltaic dikupas secara rinci. Tulisan kedua
masih berkaitan dengan penghematan energi dan upaya pengurangan emisi CO2 dengan
memanfaatkan energi biomassa dari sekam padi. Upaya penghematan dan
pengefisiensian kinerja tidak saja dalam kehidupan sehari-hari tetapi juga dalam pelayanan
publilk. Kajian tentang pengembangan e-government di Indonesia dikemukakan dengan
menampilkan kekiniaannya.

Rubrik Kesehatan menampilkan tiga tulisan yaitu, pengembangan revolusioner metode


pengobatan gigi yang dikembangkan di Niigata University, penemuan terbaru dalam bidang
mikrobiologi yaitu pengembangan iPS cell yang berfungsi untuk mengubah sel kulit menjadi
stem cell, yang kelak akan dapat dikembangkan pula menjadi sel-sel organ tubuh lainnya,
dan tulisan terakhir dalam rubrik ini tentang sebuah fenomena medis yang langka dan
bersejarah, fenomena chimera.

Rubrik Nasional menyajikan wacana tentang upaya perbaikan pelayanan publik di kedua
negara, yaitu uraian tentang sistem kewarganegaraan di Jepang, pengelolaan pajak dan
dana pensiun yang nyata kemajuannya dan manfaatnya di negara maju seperti Jepang,
juga sebuah fakta menarik tentang suap menyuap dalam penegakan keadilan dan hukum
di Indonesia yang disajikan dalam tulisan terakhir pada rubrik ini. Kelangkaan suap
menyuap di Jepang hendaknya dapat menjadi teladan bagi politikus di Indonesia untuk
mengedepankan fairness dan transparansi dalam penegakan hukum.

Rubrik Humaniora menampilkan ulasan menarik tentang toponimi, tata cara penamaan
wilayah yang dikaitkan dengan kajian antropologi, geografis, budaya dan sejarah.
Pemekaran daerah dalam era OTDA di Indonesia selayaknya diikuti dengan penamaan
yang memperhatikan unsur-unsur tersebut. Sebuah tulisan ringan tentang budaya bekerja
antara orang Jepang dan Indonesia mengungkapkan adanya ketidaksepahaman yang
muncul karena perbedaan budaya antar kedua pihak. Oleh karena itu perlu restruktrurisasi
manajemen untuk menjembatani perbedaan budaya tersebut.

Edisi kali ini juga memuat liputan seputar wawancara tentang 50 tahun hubungan
Indonesia Jepang dengan Bapak Dubes RI untuk Jepang, laporan pandangan mata
tentang kegiatan peringatan 50 tahun hubungan Indonesia Jepang di Nagoya yang ditulis
oleh seorang Jepang, peminat dan pelopor pengembangan budaya Indonesia, khususnya
tari Bali yang berlokasi di Nagoya. Dua buah liputan workshop/seminar, yaitu Workshop
Studi Potensi Minyak dan Gas Bumi di Aceh yang diselenggarakan oleh PPI Nagoya, dan
Symposium on Agriculture, Science and Technology (SAST) yang diselenggarakan oleh
Indonesian Agricultural Sciences Association (IASA) Tokyo di University of Agriculture,
Tokyo, Jepang disajikan di bagian akhir rubrik ini.

Persahabatan antara kedua negara yang sudah berusia 50 tahun selayaknya merupakan
persahabatan yang dilandasi oleh kearifan dan kedewasaan. Hubungan yang tidak saja
sekedar hubungan bisnis yang saling menguntungkan, tetapi sudah sepantasnya
dikembangkan kepada persahabatan di level yang lebih substantial, yaitu pemahaman
yang baik antara budaya dan karakter rakyat kedua negara.

Selamat membaca !

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia 2
INOVASI Vol.11/XX/Juli 2008
UTAMA
50 TAHUN HUBUNGAN INDONESIA-JEPANG:
REFLEKSI TERHADAP IMPLEMENTASI ODA JEPANG DI INDONESIA

Asra Virgianita
Staf Pengajar Departemen Ilmu Hubungan Internasional FISIP UI &
Peneliti di Pusat Studi Jepang UI
E-mail :asrahiui@ui.ac.id /asra_virgianita@yahoo.com

1. Pendahuluan

Tahun 2008 merupakan momen penting bagi hubungan Indonesia-Jepang, karena bertepatan
dengan peringatan 50 tahun hubungan kedua negara. Tak dapat dipungkiri bahwa Jepang,
melalui kebijakan bantuan luar negerinya khususnya Official Development Assistance (ODA),
berperan penting dalam proses pembangunan di Indonesia. Begitupun sebaliknya, Indonesia
sebagai salah satu negara tujuan investasi Jepang, negara penyedia minyak, gas bumi dan
sumber daya alam telah menempatkannya sebagai negara yang berpengaruh terhadap aktivitas
ekonomi Jepang. Selain itu, sebagai salah satu negara yang berpenduduk cukup besar dan
berpengaruh dalam bidang politik, ekonomi dan keamanan di kawasan Asia Tenggara,
Indonesia mempunyai arti penting bagi Jepang dalam kerangka keamanan kawasan.

Lima puluh tahun hubungan Indonesia-Jepang bukan merupakan waktu yang singkat dan
dilewati dengan mudah. Pasang surut juga mewarnai perjalanan hubungan kedua negara.
Berkaitan dengan ODA, sejak tahun 1989 jumlah bantuan Jepang melebihi jumlah bantuan yang
diberikan oleh Amerika Serikat yang notabene adalah negara super power. Jepang merupakan
satu-satunya negara di Asia yang menjadi donor terbesar hingga saat ini. Walaupun demikian,
sorotan terhadap ODA Jepang terus berlangsung, baik yang menyangkut kompleksitas
administrasi/birokrasi, motif pemberian, trennya maupun berbagai kontroversi terhadap
implementasi ODA Jepang baik di tingkat domestik maupun internasional. Sebagai salah satu
negara penerima ODA Jepang terbesar, praktek ODA Jepang di Indonesia cukup banyak
mendapatkan sorotan.

Berkaitan dengan hal tersebut, tulisan ini bermaksud menganalisa implementasi kebijakan ODA
Jepang ke Indonesia, dengan memfokuskan pada distribusi bantuan ODA Jepang di Indonesia
berdasarkan tipe dan sektor dengan membagi analisa pada dua pokok bahasan yaitu
implementasi ODA di masa pemerintahan Soeharto dan setelah jatuhnya Soeharto. Tulisan ini
diharapkan akan memberikan pemahaman tentang bagaimana kebijakan ODA Jepang di
Indonesia, bagaimana respon, perubahan atau penyesuaian dalam menghadapi gejolak
perubahan di tingkat domestik baik di Indonesia maupun Jepang, dan kondisi global.

2. Perspektif Bantuan Luar Negeri dan ODA Jepang

The Development Assistance Committee (DAC) mendefinisikan bantuan luar negeri sebagai
aliran dana yang diberikan oleh negara maju kepada negara berkembang untuk membantu
mengurangi keterbatasan dalam melakukan pembangunan. Keterbatasan tersebut mencakup
keterbatasan keahlian (skill limitation), keterbatasan tabungan (saving limitation) dan
keterbatasan dalam nilai tukar mata uang asing/keterbatasan pada cadangan devisa (foreign
i
exchange limitation). Dengan membantu mengurangi keterbatasan tersebut melalui aliran dana,
negara penerima bantuan diharapkan dapat melakukan pembangunan ekonomi yang maksimal.
Poin ini memberikan justifikasi bagi negara maju untuk memainkan peran dalam pembangunan
negara berkembang melalui kebijakan bantuan luar negeri (foreign aid policy).

Fenomena bantuan luar negeri banyak dianalisis dari berbagai sudut pandang. Kaum idealis
melihat secara positif bahwa bantuan luar negeri merupakan suatu keharusan bagi
negara-negara maju untuk membantu pembangunan di negara-negara berkembang dan
terbelakang. Di sisi lain, kaum realis melihatnya secara sinis bahwa bantuan luar negeri
merupakan suatu implementasi dari national interest negara donor, atau dengan kata lain
sebagai alat bagi negara donor untuk mencapai tujuan ekonomi dan politik. Sementara itu kaum

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia 3
INOVASI Vol.11/XX/Juli 2008

strukturalis memandang bahwa bantuan luar negeri sebagai a tool of control untuk menjaga
hubungan sosial dan politik yang tidak seimbang antara negara donor dan negara penerima
bantuan.

Implementasi ODA Jepang juga tidak luput dari kritik. David Arase memaparkan bahwa Jepang
menggunakan ODA sebagai alat buying power atau membeli kekuasaan. Arase juga
menggunakan istilah asli di Jepang untuk menyebut ODA yaitu keizai kyouryoku (kerjasama
ekonomi), untuk memperlihatkan bahwa Jepang tidak melihat ODA sebagai bantuan
(aid/assistance), tapi merupakan kerjasama ekonomi yang sarat dengan kepentingan bisnis dan
ii
ekonomi Jepang. Sementara itu, Sudarsono Harjosoekarto menyimpulkan bahwa ODA,
investasi dan perdagangan merupakan komponen penting pembentuk hubungan ekonomi yang
asimetris antara Jepang dan Indonesia. Hal ini dikarenakan ketergantungan Indonesia kepada
Jepang lebih besar daripada ketergantungan Jepang kepada Indonesia. Hubungan asimetris
tersebut dicirikan oleh status Jepang sebagai donor ODA terbesar di Indonesia, Jepang sebagai
pasar utama bagi ekspor Indonesia, serta Jepang sebagai sumber investasi asing dan teknologi
iii
yang penting bagi Indonesia.

Berbeda dengan Sudarsono, Thee Kian Wie melihat interaksi antara bantuan dengan investasi
asing dari Jepang dapat membantu terlaksananya proyek-proyek pembangunan yang penting
bagi Indonesia. Selain itu program pinjaman yang dianggarkan oleh Overseas Economic
Cooperation Fund (telah berganti nama menjadi Japan Bank for International
Cooperationa/JBIC) dialokasikan juga untuk membantu pembiayaan bagi sektor swasta Jepang
iv
yang akan berinvestasi pada proyek pembangunan yang penting bagi Indonesia. Sedangkan
dalam hal kerjasama teknis dan hibah, melalui institusi yang dinamakan JICA (Japan
International Cooperation Agency), selain menyediakan pinjaman berbunga rendah, JICA juga
menyediakan bantuan pelaksanaan survey dan konsultasi teknis bagi sektor swasta yang akan
menanamkan inverstasinya di Indonesia. Bagi Thee, program-program tersebut pada akhirnya
membantu kebijakan ekonomi pemerintah Indonesia yang berusaha menarik investor-investor
asing dalam rangka mengembangkan industri berorientasi ekspor.

Hampir senada dengan Thee, Ohno juga menggambarkan secara positif kebijakan ODA Jepang.
Menurut Ohno, ada dua faktor historis yang membuat visi bantuan dan pembangunan Jepang
berbeda dengan negara donor lainnya, yaitu, pertama, Jepang merupakan satu-satunya negara
donor yang non barat dengan sejarah kesuksesan industrialisasi. Jepang berhasil mengatasi
kehancuran setelah kekalahan Jepang pada Perang Dunia II dengan menguatkan
manufacturing base yang berkontribusi dalam perdagangan dan investasi yang kemudian
mampu mendorong pembangunan dan mengurangi kemiskinan. Kedua, keputusan Jepang
setelah perang untuk menolak penggunaan kekuatan militer menekan ODA berperan sebagai
v
alat diplomasi. Jepang juga mempunyai keunikan dalam pembagian distribusi ODA yang besar,
yaitu berupa pinjaman. Hal ini didasari argumen bahwa loan aid dapat memobilisasi sumber
daya yang lebih besar seperti membiayai proyek infrastruktur yang berskala besar. Di saat
bersamaan, dituntut juga kedisiplinan negara penerima dalam mengatur kemampuan hutang
(debt management capacity) dan tanggung jawab donor untuk menjamin keberlanjutan proyek
yang dijalankan. Lingkup waktu dari hubungan donor-resipien relatif lebih lama di bawah skema
vi
loan aid, yang menuntut pembagian tanggung jawab negara donor-resipien.

Selain itu di antara berbagai negara donor di dunia, ODA Jepang memiliki paling tidak 2
vii
kekhasan, yaitu menganut prinsip sel help effort dan small government.

1. Self Help Effort


Prinsip ini dapat dikatakan merupakan karakter paling penting yang dimiliki oleh ODA Jepang.
Kemunculan asas ini didasarkan pengalaman Jepang dalam membangun perekonomiannya
dengan penerapan asas self help. Adapun yang dimaksud dengan asas self help adalah
pemberian bantuan atas permintaan negara resipien (request based aid), dan tidak ada unsur
politik (conditionality). Akan tetapi mengingat bahwa bantuan luar negeri juga dipandang sebagai
alat untuk mencapai kepentingan negara donor, pelaksanaan request based aid sesungguhnya
perlu dipertanyakan, apakah benar-benar telah dilaksanakan berdasarkan kebutuhan negara

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia 4
INOVASI Vol.11/XX/Juli 2008

penerima bantuan. Kasus pembangunan waduk di Kedung Ombo, Jawa Tengah tahun
viii ix
1985-1989 dan proyek bendungan di Koto Panjang, Padang yang di danai oleh ODA Jepang
dan selesai dibangun pada tahun 1997, merupakan dua contoh kasus yang dipandang lebih
bernuansa bisnis yang sarat dengan praktek korupsi, ketimbang mementingkan kebutuhan
negara penerima bantuan. Terkait dengan penerapan conditionality dalam pemberian bantuan,
tidak seperti yang dilakukan oleh Amerika Serikat yang sangat kental dengan political aid
x
conditionality , Jepang termasuk negara yang dalam pelaksanaan ODA tidak memberlakukan
prasyarat atau kondisi-kondisi tertentu (non conditionality). Hal ini seringkali menuai kritik,
karena Jepang dianggap tidak serius dalam menerapkan ODA Charter tahun 1992, dengan jelas
menyebutkan bahwa ODA Jepang akan mempertimbangkan pelaksanaan hak asasi manusia
(HAM) di negara penerima bantuan. Seperti pada peristiwa Dili tahun 1991, sementara negara
donor lainnya seperti AS mengancam akan menghentikan bantuannya ke Indonesia, Jepang
malahan meningkatkan bantuannya pada tahun berikutnya.

2. Small Government
Small government yang dimaksud disini adalah kecilnya persentase dana yang disediakan
oleh pemerintah Jepang untuk pelaksanaan ODA yaitu hanya 0,35% dari pendapatan
pemerintah. Hal ini berarti pendapatan pemerintah bukan merupakan sumber utama ODA
Jepang. Sebagian besar dana ODA berasal dari pajak, dana pensiun dan tabungan pos.
Dana-dana masyarakat ini dipinjam oleh pemerintah dengan bunga rendah, dan karena itu harus
dikembalikan kepada masyarakat. Hal ini membawa konsekuensi tidak adanya praktek
pemutihan utang dalam konsep ODA. Selain itu konsekuensi lain adalah komposisi ODA Jepang
untuk proyek-proyek komersial jauh lebih besar daripada proyek-proyek sosial, hal ini
xi
dikarenakan proyek-proyek komersial dapat memberikan imbalan dengan cepat.

Dalam pendistirbusiannya, ODA terdiri dari beberapa bentuk/tipe yaitu hibah (grants) dan
pinjaman (loan). Hibah merupakan bentuk bantuan yang tidak harus dikembalikan atau tidak
dikenakan bunga pembayaran), terdiri dari bantuan hibah (grant aid), kerjasama teknis (technical
cooperation), dan kontribusi ke institusi international. Sedangkan pinjaman adalah bentuk
xii
bantuan yang mensyaratkan pengembalian dengan bunga dalam jangka waktu tertentu.

Dalam menganalisa performa ODA, Nishigaki menyarankan pengukuran dilakukan dengan


xiii
memperhatikan beberapa elemen yaitu:
1. Performa kuantitatif, dengan menganalisa kuantitas ODA yang disalurkan dari waktu ke
waktu (dinamika aliran dana ODA yang dialirkan dari negara donor ke negara penerima).
2. Performa kualitatif.; melakukan perbandingan proporsi ODA berbentuk hibah dengan ODA
berbentuk pinjaman dari total dana ODA yang disalurkan. Semakin besar proporsi hibah
dibandingkan pinjaman, maka makin tinggi kualitas bantuan tersebut. Pengukuran ini,
seringkali terlihat sebagai suatu pengukuran yang sederhana yaitu hanya melakukan
perbandingan antara jumlah pinjaman dan hibah yang diberikan, tanpa mengeksplorasi
proses dan dampak proyek yang dibiayai dengan pinjaman dan hibah. Akan tetapi,
pengukuran seperti ini minimal bisa memberikan gambaran tentang karakter negara donor.
3. Keterikatan bantuan; hal ini dikaitkan dengan penetapan persyaratan yang dilakukan
negara donor kepada negara penerima, apakah negara donor mewajibkan penerima ODA
untuk mengimpor barang dan jasa dari negara donor (tied aid) atau bisa dibeli dari negara
donor maupun negara berkembang lainnya (partially untied) atau membebaskan negara
penerima donor membeli barang dan jasa dari negara manapun.
4. Distribusi geografis; meninjau distribusi ODA di berbagai wilayah, sehingga dapat terlihat
kawasan-kawasan yang mendapatkan porsi ODA terbesar, sedang, kecil atau tidak sama
sekali. Khusus untuk ukuran ini, penulis melihat bahwa ukuran ini agak sulit diberlakukan
dalam implementasi ODA Jepang, khususnya di Indonesia mengingat ODA Jepang dapat
dikatakan tidak memiliki preferensi geografis. Preferensi ODA Jepang lebih pada
kepentingan ekonomi, yaitu di mana ada peluang bisnis di situlah investasi akan
ditanamkan.
5. Distribusi sektoral; meninjau distribusi ODA di negara penerima dengan melihat
sektor-sektor (sosial, ekonomi, produksi, dan sebagainya) yang menjadi fokus penyaluran
ODA suatu negara. Semakin besar nilai dan persentase ODA di suatu sektor, maka negara

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia 5
INOVASI Vol.11/XX/Juli 2008

donor tersebut dapat disimpulkan menfokuskan bantuannya dan memiliki interest pada
sektor tersebut.

3. Implementasi ODA Jepang ke Indonesia


3.1 Masa Pemerintahan Soeharto (1967-1998)

Dalam kebijakan pemerintahan Soeharto, ODA ditempatkan sebagai salah satu sumber dana
yang penting dalam APBN. Kontribusi ODA mencapai seperlima dari jumlah total pendapatan
negara, dan Jepang tercatat sebagai pemberi bantuan terbesar bagi Indonesia dengan
mengalokasikan 16% dari total ODA Jepang ke Indonesia. Sejak tahun 1987, Indonesia
xiv
termasuk negara terbesar yang menyerap ODA Jepang. Tabel 1 akan memperlihatkan
pasang surut ODA Jepang di Indonesia sejak tahun 1967-1998.

Tabel 1. Distribusi ODA Jepang di Indonesia 1966-1998


(dalam milyar yen)
Hibah Pinjaman Kerjasama Teknis
Total/Tahun
(Grants) (Loans) (Technical Cooperation)

% dari % dari % dari


Tahun Jumlah Jumlah Jumlah Jumlah
Total/Tahun Total/Tahun Total/Tahun

1966 0 0 10.80 N/A N/A N/A


N/A
1967 0 0 34.38 N/A Cumulative N/A
1954-68:
1968 1.80 N/A 29.47 N/A 0.86 N/A N/A
1969 3.60 10.79 29.32 87.88 0.44 1.32 33.36
1970 3.60 8.94 36.00 89.40 0.67 1.66 40.27
1971 3.60 4.61 73.59 94.32 0.84 1.07 78.03
1972 2.56 3.64 66.52 94.32 1.44 2.04 70.52
1973 2.88 1.96 142.78 96.99 1.54 1.05 147.20
1974 0.00 0.00 60.00 97.20 1.73 2.80 61.73
1975 0.74 1.14 61.62 95.20 2.37 3.67 64.73
1976 1.99 2.75 67.25 93.07 3.01 4.17 72.25
1977 3.53 5.59 55.50 88.02 4.03 6.39 63.06
1978 4.51 4.56 90.05 91.09 4.30 4.35 98.86
1979 5.78 5.84 88.00 89.00 5.10 5.15 98.87
1980 4.15 5.10 71.23 87.48 6.04 7.42 81.42
1981 6.41 9.09 58.00 82.28 6.08 8.63 70.49
1982 4.47 5.93 63.17 83.94 7.62 10.13 75.26
1983 8.06 9.73 67.50 81.47 7.29 8.79 82.85
1984 8.13 9.23 71.60 81.28 8.36 9.49 88.09
1985 8.12 8.82 75.40 81.93 8.51 9.25 92.03
1986 7.77 8.18 80.00 84.21 7.23 7.61 95.00
1987 8.27 7.93 88.00 84.37 8.04 7.71 104.30
1988 7.15 3.33 197.63 92.01 10.02 4.67 214.80
1989 8.15 4.16 178.41 90.93 9.64 4.91 196.20
1990 8.31 4.13 181.58 90.30 11.21 5.57 201.10

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia 6
INOVASI Vol.11/XX/Juli 2008

1991 9.69 5.34 161.25 88.93 10.38 5.72 181.31


1992 7.67 3.97 174.25 90.12 11.42 5.91 193.35
1993 7.60 4.32 158.04 89.80 10.35 5.88 175.99
1994 7.08 4.00 157.97 89.11 12.22 6.89 177.27
1995 6.72 3.56 170.07 90.07 12.03 6.37 188.82
1996 7.12 3.41 190.05 91.06 11.54 5.53 208.71
1997 9.33 3.94 215.25 90.87 12.31 5.20 236.89
1998 20.88 7.96 230.48 87.87 10.93 4.17 262.29
Total 189.66 4.95 3,435.14 89.64 207.54 5.42 3832.34

* N/A: Not Available


Sumber: untuk hibah dan pinjaman, lihat Wagakuni no Seifu Kaihatsu Enjo: ODA Hokusho (ODA Annual
Report), sedangkan untuk kerjasama teknis,lihat Kokusai Kyoryoku Jigyodan Nenpo (JICA Annual Report)
1969 – 1999, lihat Alam, Bachtiar. (2001). Japan’s ODA to Indonesia: Statistical Data, Jakarta, Yayasan
Obor, 17.

Distribusi ODA Jepang ke Indonesia diawali pada tahun 1967, ketika pemerintahan Soeharto
menerima ODA Jepang dalam bentuk pinjaman sebesar 10,80 milyar yen. Jumlah ini kemudian
terus bertambah secara signifikan dari tahun ke tahun. Jika dilihat dari data pada Tabel 1, secara
keseluruhan proporsi pinjaman selalu mendominasi implementasi ODA Jepang ke Indonesia
pada periode tersebut. Sementara kerjasama teknis dan hibah secara bergantian menempati
prioritas kedua dan ketiga dalam pendistribusian ODA Jepang. Bahkan tercatat pada tahun 1974,
porsi pinjaman mencapai 97% dari total ODA Jepang yang disalurkan ke Indonesia, sementara
hibah sama sekali tidak mendapatkan porsi. Hal ini kemudian direspon oleh masyarakat anti
Jepang dengan melakukan protes atas kebijakan tersebut. Pemerintah Jepang merespon protes
tersebut dengan mengeluarkan doktrin Fukuda, yang diluncurkan oleh PM Takeo Fukuda.
Doktrin Fukuda berisi inisiatif untuk mempererat hubungan antara Jepang dan negara-negara
xv
ASEAN. Pada tahun berikutnya ODA Jepang kemudian mengalami peningkatan yang
signifikan, akan tetapi peningkatan tersebut tetap didominasi pinjaman yang mendapat alokasi
91% dari total bantuan di tahun 1978.

Di tahun 1980, pemerintah Jepang memperkenalkan konsep comperehensive security policy


(sogo anzen housho), yang menekankan penggunaan bantuan ekonomi sebagai alat untuk
menjamin keamanan Jepang. Konsep ini semakin memperjelas fungsi dan motif ODA bagi
Jepang, dan tentu saja membawa dampak pada pelaksanaannya. Periode ini kemudian ditandai
dengan semakin besarnya ODA Jepang yang diarahkan ke negara-negara Asia Timur dan
Tenggara. Periode ini dapat dikatakan sebagai periode perluasan kepentingan ekonomi Jepang.
Tidak hanya itu, secara politik, bantuan ekonomi Jepang pada periode ini juga ditujukan untuk
membangun citra Jepang sebagai negara yang bersahabat.

Di awal tahun 1990, seiring dengan berakhirnya perang dingin dengan kekalahan
pada blok komunis, Amerika Serikat (AS) kemudian menjadikan isu demokrasi
sebagai kunci kebijakan luar negerinya dan negara-negara sekutunya, termasuk
dalam penyaluran ODA. Political conditionality menjadi prasyarat bagi negara-negara
dalam menyalurkan bantuannya ke negara-negara berkembang, termasuk di
dalamnya adalah terlaksananya prinsip demokrasi, good governance dan hak asasi
manusia. Jepang sebagai salah satu negara sekutu AS, mau tidak mau harus
mengikuti kebijakan tersebut, yaitu dengan merumuskan ODA Charter tahun 1992
yang menyebutkan ”Full attention should be paid to efforts for promoting
democratization and introduction of a market oriented economy and the situation
xvi
regarding the scuring of basic human rights and freedom in the recipient countries.”
ODA Charter 1992 kemudian ditindaklanjuti oleh Pemerintah Jepang dengan
mengumumkan The Partnership for Democratic Development (PPD) pada bulan Juni
1996. Tujuan inisiatif tersebut adalah membantu negara resipien untuk
mengembangkan berbagai aspek yang mendukung demokratisasi seperti

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia 7
INOVASI Vol.11/XX/Juli 2008

pengembangan sistem hukum dan pemilu serta pengembangan kapasitas sumber


daya manusia. Dengan PPD ini, pemerintah Jepang telah meluaskan bantuan
keuangan dan teknis ke beberapa negara yaitu Kamboja, Filipina, Vietnam,
xvii
Uzbekistan, Pakistan, Polandia, El Savador dan Korea Selatan.

Akan tetapi perumusan Piagam ODA dan keterlibatan Jepang dalam PPD kelihatannya tidak
memberikan dampak pada distribusi ODA Jepang di Indonesia. Tabel 2 menunjukkan
kegiatan-kegiatan pada sektor public works and utilities mendapatkan jumlah proyek yang lebih
besar (54,12% dari total proyek) untuk bantuan dalam bentuk pinjaman pada tahun 1993-1998,
daripada sektor-sektor lain, seperti kesehatan masyarakat (0% dari total proyek),
pengembangan sumber daya manusia (9% dari total proyek), sektor jasa sosial (4% dari total
proyek) dan 0,91% untuk program jaringan pengaman sosial.

Tabel 2. ODA Jepang di Indonesia Berdasarkan Sektor (1993-1998)


(dalam 100 juta yen)
Pinjaman Hibah
Sektor Jumlah % Jumlah % Jumlah % Jumlah %
Proyek Bantuan Proyek Bantuan
Agriculture, 14 12,84 780.6 6.94 6 9,83 56.56 9.43
Forestry, and
Fisheries
Aid for food 0 0 0 0 7 11,4 102 17.01
Production* 7
Commerce and 1 0,91 95.06 0.85 1 1,64 0.5 0.08
Tourism
Emergency relief 0 0 0 0 4 6,55 40.77 6.79
Energy 10 9,17 759.77 6.76 0 0 0 0
Food Aid 0 0 0 0 2 3,27 23 3.83
Human Resources 10 9,17 700.46 6.23 17 27.8 84.4 14.07
Development 6
Mining and Industry 1 0,91 4.18 0.03 0 0 0 0
Planning and 0 0 0 0 0 0 0 0
Administration
Public Health and 5 4,58 441.77 3.93 6 9,83 59.23 9,87
Medicine
Public Works and 59 54,12 5,303.62 47.2 12 19,6 90.67 15.12
Utilities 7
Sector Program 8 7,33 2,700.14 24.02 0 0 0 0
Loan
Social Welfare 0 0 0 0 0 0 0 0
Others (Social 1 0,91 452 4.02 6 9,83 142.49 23.76
Safety Net)
Total 109 100 11,237.60 100 61 100 599.62 100
Sumber: Wagakuni no Seifu Kaihatsu Enjo: ODA Hokusho (ODA Annual Report),1997 & 1999, lihat juga
Alam, Bachtiar. (2001). Japan’s ODA to Indonesia: Statistical Data, Jakarta, Yayasan Obor, 22-27.

Sementara itu untuk hibah, sektor pengembangan sumber daya manusia menempati prioritas
keempat berdasarkan total hibah yang diberikan. Akan tetapi, bila dilihat dari jumlah proyek,
sektor tersebut mendapatkan jumlah proyek terbesar dibandingkan dengan sektor-sektor lainnya.
Walaupun demikian, hal ini tidak berarti bahwa sektor tersebut telah menjadi prioritas, karena
dibandingkan dengan jumlah anggaran untuk sektor energy, public works and utilities, dan
mining and industry, sektor-sektor tersebut tetap menjadi tujuan utama dana hibah ini. Hal ini
mengindikasikan bahwa dalam implementasinya, ODA Jepang tidak mengalami perubahan
signifikan dalam pengalokasian anggarannya. Sektor-sektor non komersial, seperti
pengembangan sumber daya manusia, sektor sosial menduduki prioritas lebih rendah daripada
sektor-sektor komersial.

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia 8
INOVASI Vol.11/XX/Juli 2008

Inisiatif untuk memprioritaskan bantuan pada kegiatan-kegiatan yang mendukung pembangunan


sosial & politik lebih dipengaruhi oleh faktor perkembangan dunia international, daripada
keinginan pemerintah Jepang sendiri. Kebijakan yang dibuat seolah-olah hanya untuk
mendapatkan pengakuan internasional, tanpa menformulasikan program yang lebih jelas untuk
pengimplementasiannya. Selain itu faktor domestik dalam negeri Indonesia ikut memberikan
andil mengingat pemerintahan Soeharto saat itu tidak memberikan ruang bagi pembangunan
politik, dan hanya menfokuskan kebijakannya pada pembangunan ekonomi yang bertumpu pada
indutrialisasi.

Dalam hal distribusi geografis bantuan, Pulau Jawa menempati posisi pertama dengan 39%
proyek pinjaman. Sementara itu, Sumatera, Sulawesi, Kalimantan, Irian Jaya dan Maluku
mendapatkan porsi 18,6%; 5,9%, 4,9% dan 0,1%. Bahkan Nusa Tenggara tercatat tidak
xviii
mendapatkan dana pinjaman ODA Jepang. Penyebaran georafis ODA Jepang ini didukung
oleh kebijakan pembangunan Pemerintahan Soeharto yang memusatkan pembangunan di
Pulau Jawa dan Sumatera. Terkait dengan status keterikatan bantuan, tercatat bahwa pada
periode awal penyaluran bantuan, persentase pinjaman terikat cukup tinggi yaitu 71,35%
dibandingkan dengan bentuk pinjaman mengikat sebagian dan pinjaman yang tidak mengikat
sama sekali. Akan tetapi, kondisi ini terus mengalami perubahan, hingga pada periode
xix
1982-1998 jumlah pinjaman yang tidak mengikat mencapai nilai 99,8%.

Peiode ini kemudian diakhiri dengan jatuhnya pemerintahan Soeharto yang didahului dengan
terjadinya krisis keuangan di Asia pada pertengahan tahun 1997. Indonesia, dalam mengatasi
krisis keuangan, mendapatkan bantuan dari berbagai pihak terutama Jepang. Ada dua alasan
yang bisa menjelaskan hal tersebut, pertama, Jepang mempunyai investasi yang cukup besar di
Indonesia. Pemerintah Jepang khawatir situasi ekonomi yang tidak terkendali akan
menimbulkan ketidakstabilan politik yang bisa menimbulkan chaos. Hal ini tentu saja akan
memberikan dampak pada berbagai kegiatan investasi/usaha ekonomi Jepang di Indonesia.
Oleh karena itu, Jepang sangat aktif membantu dan mempertahankan kestabilan ekonomi di
Indonesia saat itu. Alasan kedua adalah, pemerintah Jepang ingin menunjukkan tanggung jawab
dan partisipasi aktif sebagai komunitas internasional dalam menanggulangi masalah regional/
global (international responsibility).

3.2. Periode Pasca Soeharto

Jatuhnya Soeharto, membawa perubahan cukup besar dalam sistem perpolitikan Indonesia.
Tekanan agar pemerintah Indonesia segera melakukan reformasi politik dan ekonomi gencar
dilakukan oleh masyarakat domestik dan internasional. Hal ini juga turut mempengaruhi
kebijakan ODA Jepang setelah jatuhnya Soeharto. Secara umum tren ODA Jepang tahun
1997-2005 dapat dilihat dalam Tabel 3.

Tabel 3. Jumlah ODA Jepang, Alokasi & Perbandingan dengan GNP 1997 - 2005

Tahun Jumlah ODA Jumlah ODA Alokasi Dana Alokasi Dana ODA/GNP
(Juta US$) (milliar Yen) Bilateral (%) Multilateral (%) (%)

1997 9,358 1,132 70 30 0,22


1998 10,640 1,393 80 20 0,28
1999 15,323 1,745 68 32 0,35
2000 13,508 1,456 72 28 0,28
2001 9,874 1,196 76 24 0,23
2002 9,283 1,162 72 28 0,23
2003 8,880 1,029 1 29 0,20
2004 8,922 965 66 34 0,19
2005 13,147 1,447 79 21 0,28
Sumber: DAC-OECD Statistics dalam Direktorat Pendanaan Bantuan Luar Negeri, Bappenas RI, Profil
Singkat Kerjasama Pembangunan Indonesia-Jepang, 2005.

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia 9
INOVASI Vol.11/XX/Juli 2008

Tabel 3 memperlihatkan sangat dinamisnya ODA Jepang baik dalam jumlah, alokasi maupun
persentase terhadap GNP. Hal ini tentu sangat dipengaruhi oleh kondisi domestik maupun
internasional. Misalnya tahun 1998-2000, jumlah ODA Jepang yang disalurkan cukup signifikan
yaitu 0,35% dari ODA per GNP. Hal ini sebagai dampak diberikannya bantuan untuk economic
recovery setelah krisis ekonomi mengguncang Asia. Kemudian tahun berikutnya sampai tahun
2004 terjadi penurunan, karena perekonomian Jepang yang tidak cukup baik perkembangannya,
dan pada tahun 2005 meningkat kembali, karena perekonomian mulai membaik dan
kelihatannya hal tersebut juga merupakan upaya menghadapi pengaruh pesatnya pertumbuhan
ekonomi Cina. Pemerintah Jepang khawatir bahwa pesatnya pertumbuhan ekonomi Cina, akan
meningkatkan pengaruh politik Cina terutama di kawasan Asia.

Selain itu dalam periode ini juga terjadi peristiwa besar yaitu serangan di World Trade Center,
Amerika Serikat, pada tanggal 11 September 2001, yang telah memaksa Jepang untuk
melakukan revisi ulang ODA Charter 1992. Poin penting yang ditambahkan dalam revisi ini
adalah penekanan pada peace settlement. Serangan 11 September 2001 ini telah menjadi jalan
justifikasi bagi Pemerintahan Koizumi saat itu untuk mengikuti kebijakan Amerika menangani
masalah terorisme dengan mengirimkan militer Jepang ke luar negeri seperti yang terjadi di Irak
dan Afgahanistan. Berkaitan dengan hal tersebut, Prof Murai menekankan agar Pemerintah
Jepang berhati-hati dalam menggunakan ODA untuk “peace settlement” karena hal tersebut
xx
sangat mudah dicampuradukkan dengan tujuan militer. Khusus untuk Indonesia, peristiwa
serangan tersebut semakin menempatkan Indonesia pada posisi kunci bagi Jepang mengingat
Indonesia adalah negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Indonesia diharapkan
dapat memainkan peran dalam membantu menangani masalah terorisme ini, yang diyakini oleh
kalangan dunia barat dilakukan oleh para penganut Islam radikal.

Berkaitan dengan komitmen ODA Jepang di Indonesia sejak tahun 1999-2006 dapat dilihat pada
Tabel 4.
Tabel 4. ODA Jepang di Indonesia Berdasarkan Tipe (1999-2006)
(dalam juta dollar)
Tahun Hibah % Pinjaman % Kerjasama % Total/Tahun
Teknis
1999 100.54 6,26 1,374.49 85.59 130.8 8,14 1,605.83
2000 49.79 5,18 773.43 80,61 136.15 14,19 959.37
2001 45.16 5.24 697.64 81.07 117.68 13.67 860.48
2002 63.54 12.22 348.31 67.02 107.8 20.74 519.65
2003 82.36 7.2 938.76 82,2 120.66 10.56 1,141.78
2004 25.47 4,36 452.52 77,49 105.96 18,14 583.96
2005 172.21 12.82 1,072.18 79.84 98.4 7,32 1,342.79
2006 60.67 5,86 882.83 85,33 91.1 8,80 1,034.60
Total 599.74 7.45 6,540.16 81,26 908.55 11.28 8,048.43
Sumber: Wagakuni no Seifu Kaihatsu Enjo: ODA Hokusho (ODA Annual Report), 2000 - 2007

Mengacu pada data Tabel 4, pada tahun 1999-2002 ODA Jepang di Indonesia menurun secara
signifikan sebagai dampak dari memburuknya perekonomian Jepang, dan mulai difokuskannya
ODA Jepang ke wilayah lain seperti Afrika dan Timur Tengah. Hal ini juga seiring dengan
menurunnya jumlah investasi Jepang ke Indonesia pasca krisis ekonomi. Indonesia yang pada
masa sebelum krisis ekonomi menduduki peringkat pertama negara tujuan investasi Jepang di
kawasan Asia Tenggara, maka setelah krisis ekonomi & politik, Indonesia hanya berada pada
posisi ketiga negara tujuan investasi Jepang, dengan mendapatkan porsi 21%. (lihat Tabel 5).

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia 10
INOVASI Vol.11/XX/Juli 2008

Tabel 5. FDI Jepang di Negara ASEAN 1991-2004


(dalam juta dollar AS)
Negara 7 Tahun Sebelum 7 Tahun setelah
Krisis Krisis
(1991 – 1997) (1998 – 2004)

Indonesia 11,974 (33.7%) 4,610 (21.0%)

Thailand 7,271 (20.5%) 6,375 (29.1%)


Singapore 7,105 (20.0%) 5,086 (23.1%)
Malaysia 5,064 (14.3%) 2,205 (10.0%)
Philippines 3,038 (8.5%) 3,200 (14.6%)
Vietnam 1,062 (3.0%) 488 ( 2.2%)

Sumber:Kementerian Keuangan Jepang

Yang menarik pada periode ini adalah, pada tahun 1999 Jepang memberikan bantuan di bidang
politik yaitu bantuan untuk melaksanakan Pemilu, baik dengan memberikan bantuan kepada
pemerintah Indonesia maupun ikut serta mengirimkan pemantau pemilu internasional. Hal ini
merupakan yang pertama dalam sejarah ODA Jepang di Indonesia. Akan tetapi perlu dicatat
bahwa pada saat Pemilu 1999, Jepang adalah negara yang termasuk lambat memberikan
respon atas permintaan dukungan Indonesia untuk menyelenggarakan Pemilu. Alasan yang
dikemukakan adalah saat itu Pemerintah Jepang sedang mencari dan merumuskan skema dana
yang harus digunakan karena sebelumnya tidak ada alokasi dana untuk bantuan pelaksanaan
xxi
Pemilu di Indonesia. Walau terkesan agak lambat dalam merespon tuntutan reformasi politik
di Indonesia, Pemerintah Jepang mulai aktif melakukan kegiatan-kegiatan yang mendukung
demokratisasi seperti melibatkan NGO sebagai partner. Selain itu, dalam Country Assistance
Strategy for Indonesia tahun 2004, pemerintah Jepang juga dengan nyata menempatkan
penciptaan masyarakat yang demokratis dan adil (“creation of a democratic and equitable
xxii
society”) sebagai pilar kedua dalam prioritas area bantuan. Adapun kegiatan yang didesain
sebagai bagian dari pilar kedua tersebut adalah pengentasan kemiskinan dengan menciptakan
lapangan kerja melalui pembangunan pertanian dan perikanan, meningkatkan pendapatan dan
kesejahteraan, meningkatkan jasa publik di bidang pendidikan, kesehatan dan obat-obatan;
reformasi pemerintah di bidang hukum (judiciary), polisi (police service), bantuan untuk
xxiii
desentralisasi; serta pemeliharaan lingkungan dan pencegahan bencana.

Akan tetapi bila diamati data pada Tabel 4, maka akan ditemukan tidak adanya pergeseran yang
signifikan dalam komposisi bantuan berdasarkan bentuk/tipenya. Dari data tersebut, terlihat
porsi pinjaman tetap menempati prioritas utama bentuk bantuan Jepang ke Indonesia. Walaupun
mengalami penurunan sebesar kurang lebih 9-10% dari periode sebelumnya, porsi pinjaman
tetap mendominasi implementasi ODA Jepang ke Indonesia dengan mengarahkan 80% dari
total proyek pada sektor public works and utilities, sementara sektor sosial hanya mendapatkan
xxiv
10% dari total proyek. Dibandingkan dengan negara Amerika latin seperti Mexico yang
memberikan porsi 39,3% proyek di sektor tersebut, Peru 35,6% dan Brazil 29,1%, maka
Indonesia termasuk negara yang memberikan porsi lebih kecil (8,3%) untuk sektor sosial.
Begitupun bila dibandingkan dengan negara di ASEAN seperti Malaysia, Thailand yang
xxv
memberikan porsi 20% dan 10,3% di sektor yang sama.

Sementara itu dalam hal distribusi geografis, walaupun sampai saat ini masih banyak
proyek-proyek yang dipusatkan di Pulau Jawa, terlihat adanya pergeseran dalam pengalokasian
proyek berdasarkan wilayah. Inisiatif untuk melaksanakan proyek di beberapa daerah Indonesia
bagian timur seperti proyek dengan Pemerintah Sulawesi Selatan dalam rangka mendukung
terlaksananya otonomi daerah dapat dinilai sebagai langkah positif ODA Jepang dalam upaya

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia 11
INOVASI Vol.11/XX/Juli 2008

melakukan penyebaran/pemerataan proyek pembangunan, dan dalam merespon


perkembangan domestik Indonesia.

4. Kesimpulan

Secara keseluruhan performa ODA Jepang di Indonesia dapat dinilai secara positif dan negatif.
Dalam hal performa kuantitiatif terjadi penyaluran dana yang berkesinambungan setiap tahun,
akan tetapi komposisi pinjaman yang mencapai 80%-90% di kedua periode yang telah dibahas,
menunjukkan performa kualitatif ODA Jepang di Indonesia masih rendah. Hal ini sekaligus
menunjukkan besarnya pinjaman dan ketergantungan Indonesia kepada Jepang. Dalam hal
distribusi sektoral, implementasi ODA Jepang di kedua periode belum menunjukkan perubahan
yang berarti, dimana masih terfokusnya bantuan pada sektor infrastruktur, dan minimnya alokasi
dana ODA Jepang pada sektor-sektor pengembangan sosial dan politik. Sektor-sektor komersial
tetap menjadi tujuan utama ODA Jepang. Hal ini bisa dipahami mengingat dua karakter yang
dimiliki oleh ODA Jepang yaitu self help effort dan small government, yang konsekuensinya
menuntut Pemerintah Jepang memberikan alokasi dana yang lebih besar pada proyek-proyek
komersial. Mengingat kondisi Indonesia pada sektor-sektor sosial masih lemah, misalnya tingkat
pendidikan di Indonesia masih rendah, angka kemiskinan dan tingkat pengangguran masih
tinggi, diperlukan upaya untuk membantu pembangunan sektor tersebut. Jepang dapat berperan
membantu pembangunan sektor sosial melalui peningkatan alokasi dana ODA untuk proyek
pengembangan sumber daya manusia baik melalui pelatihan di dalam/luar negeri maupun
upaya penciptaan lapangan kerja serta kegiatan-kegiatan yang melibatkan masyarakat yang
harus segera diwujudkan termasuk melibatkan civil society/NGOs dalam berbagai program.

Implementasi ODA Jepang pasca Soeharto mulai menunjukkan perubahan seiring dengan
terjadinya perubahan situasi sosial, ekonomi dan politik. Selain itu beberapa peristiwa bencana
alam yang melanda Indonesia beberapa tahun belakangan ini seperti di Aceh, Yogya dan Jawa
Tengah, menempatkan Jepang sebagai negara pemberi bantuan terbesar dalam membantu
menangani akibat bencana tersebut. Di bidang politik, Jepang terlihat mulai menformulasikan
berbagai kegiatan/program yang mendukung terwujudnya masyarakat Indonesia yang
demokratis dan makmur, seperti bantuan untuk pelaksanaan pemilu, desentralisasi, reformasi
pemerintahan, dan berbagai kegiatan lainnya. Akan tetapi apabila dicermati dari pembahasan di
atas, Jepang terkesan sangat hati-hati dalam mengimplementasikan proyek pembangunan di
bidang politik (demokratisasi). Kepercayaan bahwa pembangunan masyarakat yang demokratis
akan menuntut ketidakstabilan politik, merupakan salah satu alasan mengapa Jepang terlihat
lambat merespon tuntutan demokratisasi atau reformasi politik di Indonesia. Mengingat
besarnya investasi Jepang di Indonesia, ketidakstabilan politik tentu tidak dikehendaki oleh
Jepang. Alasan lain adalah Jepang menjadikan aid policy sebagai alat untuk mencapai
kepentingan ekonominya dan memberikannya tanpa memberlakukan conditionality. Mengingat
conditinality dapat dinilai sebagai salah satu bentuk intervensi negara donor terhadap negara
penerima bantuan, kebijakan bantuan Jepang yang terfokus pada kerjasama ekonomi daripada
menekankan kepentingan politik, memiliki aspek positif . Hal ini menjadikan ODA Jepang
berbeda dengan bantuan dari negara donor lainnya seperti Amerika Serikat dan Perancis yang
menggunakan bantuannya untuk ”mempromosikan” apa yang mereka anggap dan pahami
sebagai nilai-nilai kebebasan dan demokrasi yang universal.

Selain itu, secara positif dapat dikatakan pula bahwa besarnya bantuan ODA Jepang di
Indonesia menunjukkan kepercayaan Jepang kepada Indonesia dan sekaligus mengindikasikan
nilai strategis Indonesia baik di bidang ekonomi maupun keamanan bagi Jepang. Hal ini
menandakan bahwa hubungan yang terjalin antara Indonesia dan Jepang adalah hubungan
yang saling membutuhkan dan saling mengisi. Akan tetapi mengingat Jepang sebagai negara
pemberi donor terbesar di Indonesia, sebagai pasar utama bagi ekspor Indonesia, serta sumber
utama investasi asing dan pembangunan teknologi, maka hubungan antara kedua negara ini
mengindikasikan hubungan interdependensi yang asimetris. Walaupun demikian, kekhawatiran
bahwa suatu saat pemerintah Jepang akan dapat melakukan intervensi kebijakan ekonomi,
politk, dan keamanan terhadap pemerintahan Indonesia akibat ketergantungan Indonesia
kepada ODA Jepang, merupakan kehawatiran yang agak berlebihan. Jepang dalam aid
policy-nya telah menekankan penggunaan prinsip non conditionality. Di satu sisi, pemerintah

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia 12
INOVASI Vol.11/XX/Juli 2008

Indonesia harus berupaya menjaga dan menaikkan posisi tawar dengan Jepang (termasuk
dengan negara donor lainnya) untuk menggeser hubungan interdependensi yang asimetris ini
menjadi hubungan simetris. Salah satunya dengan pemanfaatan dana ODA Jepang (plus
bantuan luar negeri lainya) seefisien mungkin, dan digunakan untuk mendukung sektor-sektor
yang menjadi tujuan utama pembangunan Indonesia. Pemerintah Indonesia harus terus
menerus mengupayakan perbaikan pengelolaan dan pemanfaatan ODA Jepang dan bantuan
luar negeri lainnya, baik perbaikan pada aspek kebijakan, kelembagaan maupun sumber daya
manusia. Terjaganya kredibilitas Indonesia di mata negara donor termasuk Jepang akan
menaikkan posisi tawar Indonesia. Dengan demikian, hubungan saling membutuhkan dan saling
mengisi yang sudah terjalin selama 50 tahun antara Indonesia dan Jepang akan menjadi
landasan kuat bagi tercapainya kemitraan strategis (strategic partnership) yang nyata .

i Akira, Nishigaki & Shimomura Yasutami. 1998. The Economis of Development Assistance: Japan’s ODA in a Symbiotic World, Tokyo: LTCB
International Library Foundation, 199-240
ii Arase, David. 1995. Buying Power: The Political Economy of Japan’s Foreign Aid, London: Lynne Rienner Publishers.
iii Sudarsono Harjosoekarto, 1993. Japan’s Role in Indonesia Development. The Indonesian Quarterly, Vol. XXI, No.4, 4th Quarter, 1993, 40.
iv Wie, Thee Kian. 1994. Interactions of Japanese Aid and Direct Investment in Indonesia. ASEAN Economic Bulletin, Vol. II/No.1, July, 25-33.
v Setelah serangan 11 September 2001, kemudian terjadi penyerangan ke Afghanistan dan Irak yang dilakukan oleh Amerika Serikat, dimana
Pemerintah Jepang memberikan dukungan terhadap serangan tersebut dan mengalokasikan dana ODA sebagai salah satu sumber dana
operasional. ODA Jepang dikritik baik oleh masyarakat Jepang sendiri maupun internasional karena Jepang dianggap telah menggunakan ODA
tidak hanya untuk kepentingan bisnis tetapi juga telah berperan di bidang militer, lihat http://www.kotopan.jp/Eng.html
vi Ohno, Izumi. 2003. Japan’s ODA at a Crossroads: Striving for A New Vision. Japan Economic Current, No. 31, April, 4-7.
vii Setianingtyas, Anastasia Nicola Ayu. 2006. Interaksi antar Aktor dalam Penyelenggaraan ODA Jepang: Studi Kasus Proyek Kotopanjang di
Indonesia Periode 1979-2004. Skripsi Departemen HI FISIP Universitas Indonesia, 2006, 48-60.
viii Proyek waduk Kedung Ombo dibiayai USD 156 juta dari dana Bank Dunia, USD 25,2 juta dari Bank Exim Jeapng, dan APBN. Waduk mulai diairi
pada 14 Januari1989 dengan menenggelamkan 37 desa, 7 kecamatan di 3 kabupaten, yaitu Sragen, Boyolali dan Grobogan. Sebanyak 5268
keluarga kehilangan tanah akibat pembangunan waduk tersebut.
ix Proyek Bendungan Koto Panjang didanai dengan pinjaman ODA Jepang sebesar USD 300 juta. Dampak dari pembangunan bendungan ini
adalah ditenggelamkannya 12,400 hektar tanah dan 23,00 orang kehilangan tempat tinggal dan mata pencaharian.
x Political aid conditionality adalah syarat yang diberlakukan oleh negara donor kepada negara penerima bantuan untuk melaksanakan
prinsip-prinsip demokrasi termasuk menghargai hak asasi manusia.
xi Setianingtyas, Op.Cit.
xii Ibid, 86.
xiii Akira, Nishigaki & Yasutami, Op.Cit. 199-240.
xiv ODA Jepang telah disalurkan sejak tahun 1958 yang dimulai dalam bentuk Repatriation War Program, yaitu program pengembalian harta
pampasan perang yang dilakukan oleh Pemerintah Jepang kepada negara-negara bekas jajahannya. Lihat Ministry of Foreign Affairs. 1998.
Japan’s Official Development Assistance 1998, (ODA) Annual Report.
xv Kojima, Takaaki. 2006. Japan and ASEAN Partnership for a Stable and Prosperous Future, 3-5.
xvi Ministry of Foreign Affairs.1993. Japan’s Official Development Assistance (ODA) Annual Report, 33.
xvii www.mofa.go.jp/policy/oda/category/democratiz/1999/jica.html
xviii Mengingat porsi pinjaman mencapai 89,64%, maka persebaran georarifs pinjaman diyakini dapat mewakili persebaran geograifs ODA Jepang
di Indonesia, lihat Mesi Purnamasari. 2004. ODA Jepang di Indonesia dalam Konteks Hubungan Jepang-Asia Tenggara. Skripsi Departemen HI,
FISIP Universitas Indonesia, 93-96.
xix Ibid.
xx Prof. Murai Yoshinori, Japan’s ODA to Indonesia, dapat diakses melalui: www.nindja.org/modules/news2/print.php?storyid=1

xxi Interview dengan Staf Japan International Cooperation Agency (JICA) Divisi Asia Tenggara, Tokyo, 11Juni, 2003.
xxii Pilar pertama adalah “sustainable growth driven by the private sector” dan pilar ketiga adalah “peace and stability”, Country Assistance Strategy
for Indonesia, October 2004, Japan International Cooperation Agency (JICA) dan Interview dengan Staf JICA Pusat, untuk wilayah Asia Tenggara,
Tokyo, 29 Januari, 2007.
xxiii Ibid.
xxiv www.jbic.or.id/oeco.php
xxv Japan Bank International Cooperation Annual Report, 2002.

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia 13
INOVASI Vol.11/XX/Juli 2008

Daftar Pustaka

Buku, Jurnal dan Laporan

[1] Akira, Nishigaki & Shimomura Yasutami. 1998. The Economis of Development Assistance:
Japan’s ODA in a Symbiotic World, Tokyo: LTCB International Library Foundation, 199-240
[2] Alam, Bachtiar. (2001). Japan’s ODA to Indonesia: Statistical Data, Jakarta, Yayasan Obor,
22-27.
[3] Arase, David. 1995. Buying Power: The Political Economy of Japan’s Foreign Aid, London:
Lynne Rienner Publishers.
[4] Harjosoekarto, Sudarsono. 1993. Japan’s Role in Indonesia Development. The Indonesian
Quarterly, Vol. XXI, No.4, 4th Quarter, 1993, 40.
[5] Japan Bank International Cooperation. 2002. Annual Report.
[6] Ministry of Foreign Affairs.1993. Japan’s Official Development Assistance (ODA) Annual
Report).
[7] ----------------------------------.1998. Japan’s Official Development Assistance 1998, (ODA)
Annual Report.
[8] Kojima, Takaaki. 2006. Japan and ASEAN Partnership for a Stable and Prosperous Future,
3-5.
[9] Ohno, Izumi. 2003. Japan’s ODA at a Crossroads: Striving for A New Vision. Japan
Economic Current, No. 31, April, 4-7.
[10] Setianingtyas, Anastasia Nicola Ayu. 2006. Interaksi antar Aktor dalam Penyelenggaraan
ODA Jepang: Studi Kasus Proyek Kotopanjang di Indonesia Periode 1979-2004. Skripsi.
Departemen HI FISIP Universitas Indonesia, 2006, 48-60.
[11] Wie, Thee Kian. 1994. Interactions of Japanese Aid and Direct Investment in Indonesia.
ASEAN Economic Bulletin, Vol. II/No.1, July, 25-33.
[12] Purnamasari, Mesi. 2004. ODA Jepang di Indonesia dalam Konteks Hubungan Jepang-Asia
Tenggara. Skripsi. Departemen HI, FISIP Universitas Indonesia, 93-96.

Website

www.mofa.go.jp/policy/oda/category/democratiz/1999/jica.html
www.nindja.org/modules/news2/print.php?storyid=1
www.jbic.or.id/oeco.php

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia 14
INOVASI Vol.11/XX/Juli 2008
UTAMA
REFLEKSI 50 TAHUN HUBUNGAN EKONOMI INDONESIA-JEPANG
DALAM SEKTOR PERIKANAN
Suadi
Mahasiswa United Graduated School of Agric. Science,
Tokyo University of Agric. & Technology
Peneliti di Jurusan Perikanan UGM
E-mail: suadi@ugm.ac.id

1. Pendahuluan
Ketertarikan Jepang akan sumberdaya ikan Indonesia dan Asia Tenggara umumnya bukanlah
hal baru, tetapi memiliki faktor kesejarahan yang panjang. Sebelum pendudukkan Jepang di
tanah air, laut nusantara dan perairan lainnya di wilayah ini telah menjadi “ladang” ikan bagi
nelayan Jepang. Eksploitasi sumberdaya ikan secara berlebihan di dalam negerinya mendorong
para nelayan melakukan ekspansi keluar negeri, seperti yang dilakukan oleh para nelayan
Okinawa setelah Perang Dunia I ke Asia Tenggara [1]. Bahkan, selama perang pasifik (Perang
Dunia II) Jepang sekurang-kurang menanamkan modalnya untuk perikanan sekitar \45,8 juta
atau 3.7% dari total investasi Jepang di Indonesia [2]. Dengan produktivitas perikanan lebih dari
25 kali lipat nelayan lokal seperti dilaporkan Hiroshi Shimizu [1], nelayan-nelayan pendatang
ini tidak hanya mampu memperbaiki ekonominya di daerah yang baru tersebut tetapi juga bagi
daerah asal yang mereka tinggalkan.

Tentu saja ekspansi model di atas akan sangat sulit ditemukan saat ini karena dua alasan:
1. Sejak lahirnya UNCLOS di tahun 1982 banyak negara pantai membatasi pergerakan
industri perikanan asing di wilayahnya yang tentu saja berimbas besar pada aktivitas
perikanan Jepang.
2. Industri perikanan Jepang saat ini juga menghadapi masalah domestik dengan
menurunnya peminat pada usaha ini serta menumpuknya kelompok nelayan usia tua
dalam industrinya (hampir separuh nelayan Jepang berusia di atas 60 tahun).
Kondisi seperti ini tentu saja menuntut pemerintah dan/atau pengusaha perikanan Jepang untuk
mencari berbagai jalan keluar untuk dapat mencukupi kebutuhan hasil perikanan dalam
negerinya yang bisa dikatakan sangat besar (per kapita suplai ikan Jepang mencapai lebih dari
60 kg/kapita/tahun, sedangkan rata-rata suplai ikan dunia hanya sekitar 16.7 kg/kapita/tahun).
Kerjasama pengembangan sektor perikanan ataupun penanaman modal di negara-negara yang
memiliki potensi sumberdaya ikan yang besar seperti Indonesia menjadi pilihan utama. Tulisan
ini sekilas memaparkan dinamika hubungan ekonomi Indonesia-Jepang dalam sektor perikanan
selama lima dekade terakhir, serta prospek dan tantangan ke depan.

2. Perjanjian Damai dan Ekspansi Industri Perikanan


Tanggal 20 Januari 1958 atau setengah abad yang lalu merupakan momentum terpenting dalam
perbaikan hubungan Indonesia-Jepang pasca penjajahan. Proses menuju ini bukanlah proses
yang mudah, apalagi tuntutan ganti rugi karena berbagai kerusakan yang ditinggalkan Jepang
terbilang sangat besar. Menurut catatan Hindley [3] gugatan awal mencapai $17.300 juta.
Sehingga momentum 50 tahun yang lalu sekurang-kurangnya menghasilkan tiga peristiwa
penting bagi kedua negara:
1. Penandatanganan perjanjian damai atau Treaty of Peace seperti tertuang dalam
United Nation Treaty Series No. 4688, yang dikuti dengan
2. Kesepakatan tentang kompensasi perang (Reparations Agreement) yang bernilai
sekitar US$ 223 juta (UN Treaty Series No. 4689), dan
3. Pertukaran nota kesepakatan tentang hutang dan investasi(UN Treaty Series No.
4691).

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia 15
INOVASI Vol.11/XX/Juli 2008

Terkait dengan kompensasi perang tersurat bahwa kompensasi diberikan dalam bentuk produk
dan jasa selama 12 tahun atau dengan nilai sekitar US$ 20 juta per tahun. Kompensasi ini
meliputi seluruh sektor termasuk transportasi dan komunikasi, pertambangan, pertanian dan
perikanan, serta jasa dan sektor lainnya. Dalam sektor perikanan diketahui proyek
pengembangan kapal ikan menjadi salah satu bentuk proyek kompensasi.

Momentum 1950an dengan berbagai upaya yang dilakukan oleh Perdana Menteri Yoshida
Shigeru dalam promosi kerjasama Jepang-Amerika Serikat dalam pembangunan Asia Tenggara
serta dua kunjungan perdana menteri Kishi Nobusuke di tahun 1957, menjadi peristiwa penting
bagi upaya Jepang untuk kembali ke wilayah ini. Dengan disepakatinya kompensasi perang
dalam bentuk jasa dan kemudian barang menjadi jalan licin dan landasan kuat bagi masuknya
kembali barang dan perusahaan Jepang yang sebelumnya sulit melakukan penetrasi ke wilayah
ini [4]. Kepentingan Jepang (yang tentu saja menjadi kepentingan Amerika Serikat) selain di
bidang ekonomi, adalah memenangkan pertarungan politik di wilayah ini khususnya dalam
menangkal perkembangan komunisme. Dengan demikian, proyek reparasi tersebut tidak hanya
bermakna investasi ekonomi tetapi juga politik atau dalam bahasa kiasan Asahi Shimbun seperti
dikutip Suehiro [4] “With reparations, we can kill two birds with one stone”

Selama Orde Lama, bantuan dan investasi Jepang tidak terlalu besar, dibandingkan dengan
beberapa negara lain khususnya Rusia dan eropa timur. Namun demikian, Jepang mendapat
tempat terbaik sejak awal kepemimpinan Orde Baru di tahun 1966. Bahkan, untuk menarik minat
investasi Jepang, tidak hanya dilakukan melalui jalur formal, tetapi juga lobi-lobi informal [5].
Sebagai hasilnya, aliran dana ODA (Official Development Assistance) dan investasi Jepang
mengalir ke tanah air dan terus menguat, bahkan kemudian menjadi cukup dominan dalam
perekonomian Orde Baru. Jepang sampai sekarang masih berada di kelompok teratas
negara-negara yang menginvestasikan modalnya di Indonesia dan juga menjadi parter dagang
utama Indonesia.

Pertambangan dan migas, kehutanan, dan perikanan merupakan beberapa sektor yang
dikembangkan dalam kerangka kerjasama pemanfaatan sumberdaya alam. Khusus untuk
perikanan, di awal rejim Orde Baru total investasi asing dalam sektor ini mencapai angka
US$ 11,5 juta dari total komitmen investasi sekitar US$ 324 juta di bulan Oktober 1968 [6].
Jepang merupakan investor terbesar perikanan tersebut dengan dua komoditi utama sebagai
sasaran yaitu udang dan tuna. Pada tahun 1968 investasi Jepang dipusatkan pada industri
penangkapan udang dan ikan khususnya di wilayah Sumatra dan Kalimantan.
Perusahaan-perusahan Jepang ini tentu saja mampu mengeksploitasi sumberdaya ikan dengan
hasil lebih baik, khususnya untuk komoditi udang yang menjadi komoditi ekspor utama, karena
kemampuan teknologi yang dimilikinya. Sebagai hasilnya, ekspor ikan Indonesia meningkat
fantastis dengan nilai hanya dari US$ 229 ribu pada tahun 1962, menjadi US$ 17,5 juta pada
tahun 1971 (84% diantara ekspor ke Jepang), dan US$ 211,1 juta tahun 1980 dengan pangsa
ekspor Jepang mencapai 77.6% dari total nilai [7].

Tuna adalah komoditi kedua setelah udang yang menjadi andalan Indonesia dan menjadi salah
satu sumberdaya yang diminati Jepang. Berdasarkan data online yang dilaporkan oleh JBIC [8]
diketahui sejak tahun 1972 dana ODA sekitar \19.116 juta pada sub-sektor perikanan secara
umum dialokasikan untuk pengembangan industri perikanan tuna seperti melalui Tuna Fishery
Development Project di Sabang dan Benoa pada era 1970an, kemudian Enginering Services
and Jakarta Fishing Port Development di pertengahan 1980an, 1990an dan 2004, dan
Enginering Services for Bitung Fishing Port Development Project di pertengahan tahun 1990an.
Karena itu, dari total ekspor tuna Indonesia selama tiga dekade terakhir, lebih dari 70% ditujukan
untuk pasar Jepang khususnya untuk komoditas tuna segar dan tuna yang melalui proses
pendinginan.

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia 16
INOVASI Vol.11/XX/Juli 2008

Dari sisi ekonomi, periode antara 1970an sampai menjelang pertengahan 1990an dapat
dikatakan periode emas hubungan ekonomi Indonesia-Jepang dalam bidang perikanan. Ekspor
perikanan Indonesia terutama udang mencapai puncaknya dalam periode ini. Berkembang
pesatnya budidaya udang windu yang juga disokong oleh dana hutang luar negeri di awal tahun
1980an menjadikan Indonesia sebagai eksportir utama untuk udang, paling tidak sampai
pertengahan 1990an. Sayangnya, berbagai kegagalan budidaya udang karena imbas praktek
budidaya yang tidak sehat seperti penyakit dan penurunan kualitas serta kerusakan lingkungan
membuat tampilan industri udang nasional terpuruk. Posisi Indonesia pun kemudian ditempati
oleh Thailand yang menjadi produsen dan pemasok udang dunia terbesar saat ini.
Perkembangan yang tidak meyakinkan selama dekade 1990an menyebabkan posisi Indonesia
juga terlewati oleh Vietnam yang kini bahkan menjadi suplier utama kebutuhan udang Jepang.

Hubungan persahabatan Indonesia-Jepang bagaimanapun tidak semuanya berjalan mulus.


Walaupun tidak secara langsung terkait dengan perikanan, peristiwa Malari di tahun 1974
(Malapetaka 15 Januari 1974) yang berawal dari protes dan berakhir pada kerusuhan di tahun
tersebut merupakan salah satu bentuk ekspresi ketidakpuasan terhadap dominasi investasi
asing, terutama Jepang yang menjadi sorotan utama saat itu. Peristiwa ini bahkan menjadi arus
balik kepempimpinan presiden Soeharto karena dengan peristiwa itu ia melakukan
perombakkan orang-orang di sekitarnya dan membuat paket kebijakan baru yang membatasi
aktivitas gerakan mahasiswa serta partai politik [9]. Berbagai konflik berdarah antara nelayan
tradisional dengan nelayan trawl yang terjadi di tahun 1970an juga tidak dapat dilepaskan dari
pola pembangunan yang hanya mengejar dolar dari ekspor hasil perikanan. Apakah kondisi
seperti mengendorkan hubungan kedua negara? Nampaknya tidak demikian, karena untuk
menjaga roda ekonomi yang bertumpu pada bantuan atau hutang dan investasi asing,
pemerintah juga memiliki kepentingan melindunginya. Hal ini paling tidak terbaca pada kasus
pelarangan pukat harimau (trawl). Ketika banyak konflik antar nelayan akibat kebijakan
introduksi alat tangkap ikan tersebut, pemerintah terpaksa mengeluarkan paket kebijakan
pelarangan trawl di perairan Indonesia (seperti tertuang dalam Keppres 39/1980 dan Kepmentan
No. 545/Kpts/Um/8/1982). Namun demikian, bagi 11 perusahan joint venture di bidang
perikanan antara Indonesia dan Jepang mereka diberi ijin untuk menangkap ikan khususnya di
perairan di wilayah barat Papua.

Memang tidak dapat dipungkiri bahwa eksploitasi sumberdaya alam seperti halnya perikanan
telah memberikan keuntungan ekonomi bagi Indonesia. Namun demikian, dampak sosial dan
lingkungan akibat pola pembangunan yang diterapkan sungguh mengkhawatirkan. Jauh hari di
awal Orde Baru berkuasa, Krisnandhi [6] telah memaparkan keprihatinannya akan dampak
model pembangunan perikanan terutama keberadaan investasi asing terhadap sumberdaya
ikan dan usaha perikanan domestik. Akhir-akhir ini, deplesi sumberdaya ikan bahkan semakin
terasa dan tengah sedang menjadi satu faktor kunci penyulut berbagai konflik perikanan di
nusantara. Hutan mangrove pun misalnya, akibat konversi untuk berbagai kepentingan salah
satunya untuk tambak udang telah mengakibatkan kita kehilangan hampir lebih dari separuh
luasan yang tercatat sekitar 4,2 juta hektar di tahun 1980 dalam tiga dekade terakhir. Tentu saja,
peran negara donor dalam krisis lingkungan seperti ini telah menjadi bahan kritik para analis
[baca misalnya 10-11]. Namun demikian, kenyataan lain seperti perilaku korup yang melekat
pada rejim yang ada juga telah memperburuk pengelolaan sumberdaya alam. Hal inipun
sebenarnya telah disadari oleh negara donor, bahkan dalam salah satu laporan studi JBIC
dikemukakan buruknya pengelolaan negara di beberapa wilayah negara Asia Tenggara,
termasuk Indonesia.

Karena itu, era baru dengan kesepakatan baru melalui “Japan Indonesia Partnership
Aggreement” (JIEPA) perlu mempertimbang-kan faktor-faktor non-ekonomi tersebut. Kerjasama
pengembangan perikanan yang lebih berkelanjutan dapat menjadi tema besar sektor perikanan
ke depan. Tema ini tentu saja akan tepat dengan peran yang tengah disandang Jepang sebagai
leader gerakan lingkungan hidup global saat ini.

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia 17
INOVASI Vol.11/XX/Juli 2008

3. Bersaing di tengah Pasar Jepang yang sedang Surut: Prospek dan Tantangan
Walaupun masih memimpin di kelompok teratas penanam investasi terbesar di Indonesia, minat
investasi Jepang dalam tahun-tahun terakhir nampak sedang bergeser turun. Survey Report on
Overseas Business Oportunity by Japanese Manufacturing Companies pada tahun yang lalu
menempatkan Indonesia pada Ranking 8 sebagai ladang bisnis menjanjikan dalam jangka
menengah, tetapi posisi ini turun drastis dari No. 3 dan 4 masing-masing pada tahun 1995 dan
2002. Pemerintah melalui JIEPA yang telah bergulir sejak awal kepemimpinan presiden SBY,
tentu saja mengharapkan dapat mendongkrak minat Jepang ke tanah air lagi. Untuk sektor
perikanan catatan berikut dapat menjadi beberapa acuan kondisi perikanan saat ini, serta
prospek dan tantangannya ke depan:
1) Bagi industri perikanan Indonesia, pasar Jepang masih akan menjadi pasar yang utama. Hal
ini misalnya bisa dilihat dari satu indikator bahwa hampir separuh ekspor udang kita masuk
ke pasar Jepang dan angka yang lebih tinggi pada pasar ikan tuna segar. Namun demikian,
laju impor ikan Jepang menjelang akhir dekade 1990an terus melambat, baik volume
maupun nilai dibandingkan dua dekade sebelumnya. Bahkan, pertumbuhan impor ikan
Jepang dalam periode 2000-2006 telah berbalik ke negatif. Pada saat bersamaan, ekspor
hasil perikanannya justru merambat naik. Walaupun para ahli ekonomi perikanan dalam
pertemuan Asosiasi Ekonomi Perikanan Jepang pada tanggal 1 Juni yang lalu masih
bertanya-tanya apakah kecenderungan ekspor tersebut akan menjadi berita gembira atau
pertanda tidak baik ditengah berbagai masalah domestik, kencenderungan seperti ni patut
menjadi perhatian bagi industri perikanan nasional. Dari sisi konsumsi, adalah satu tantangan
bagi Indonesia ketika konsumen Jepang perlahan-lahan beralih ke produk-produk HMR
(home meal replacement; aitu produk-produk yang bergizi tetapi siap saji baik disantap,
dihangatkan, atapun langsung dimasak), misalnya Indonesia masih mengandalkan diri pada
ekspor produk yang belum diolah. Thailand dan Vietnam nampak mendominasi produk yang
mempunyai nilai tambah seperti ini.
2) Persaingan industri perikanan, khususnya udang, ke depan yang juga pasar utamanya
adalah Jepang akan lebih ketat. Komoditi perdagangan udang dunia saat ini telah bergeser
dari 5-6 species menjadi 2-3, terutama dengan meluasnya budidaya udang introduksi seperti
vanamei. Industri budidaya udang nasional juga sedang bergeser dari spesies lokal (udang
windu) ke vanamei. Dari sisi pasar, keseragaman spesies menyebabkan persaingan terjadi
hanya pada tingkat harga. Bahkan harga udang dunia saat ini telah bergeser turun dari
rata-rata US$ 11,2/kg pada tahun 2000 menjadi US$ 6,5 di tahun lalu [dihitung dari data yang
dilaporkan 12]. Tentu saja negara-negara yang mampu memproduksi udang dengan harga
yang lebih murah akan menjadi pemain utama dan China saat ini sedang bergairah dengan
mulai mendominasi pasar udang dunia. Namun demikian, isu-isu keamanan pangan dan
kecurangan dalam perdagangan akan tetap menjadi faktor penentu berikutnya. Pengalaman
terpentalnya produk udang China di pasar Amerika dan riaknya sampai ke tanah air tentu
dapat menjadi pelajaran berharga bagi pengusaha perikanan nasional. Tentu saja, faktor
sejenis juga menjadi pusat perhatian Jepang.
3) Untuk tuna, peluang pasar tetap terbuka bagi para produsen tuna. Namun demikian ada
empat tantangan: (1) tekanan harga bahan bakar minyak akan membatasi kemampuan
produksi tuna Indonesia. (2) Pada saat bersamaan tekanan masyarakat dunia yang
menginginkan ekploitasi tuna yang lebih bertanggungjawab juga akan semakin kencang.
Komunitas masyarakat perikanan international seperti CCSBT (Commission for the
Conservation of Southern Bluefin Tuna) misalnya, bahkan telah berhasil memaksa Jepang
menurunkan kuotanya untuk tuna sirip biru dari selatan ini dari 6000 ton per tahun menjadi
hanya separuh tahun 2006 yang lalu. Imbasnya dikhawatirkan akan mengalir pada jenis dan
negeri lainnya termasuk industri tuna kita. (3) Persaingan di tingkat wilayah juga semakin
ketat karena negara-negara di Asia Tenggara seperti Malaysia sudah mengalokasikan dana
untuk perikanan tuna dan bahkan berani menarik industri tuna nasional dengan subsidi
BBM jika bersedia pindah ke Malaysia [13]. Thailand juga telah berancang-ancang dengan
akan selesainya pembangunan pelabuhan perikanan Puket. Vietnam dengan dukungan
Jepang juga merencanakan pengembangan pelabuhan perikanan tuna modern dengan nilai
mencapai US$ 5 juta [14]. Kitapun tentu masih menaruh prioritas yang besar pada industri
tuna seperti dapat dibaca pada dokumen Program Revitalisasi Perikanan 2005-2009.

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia 18
INOVASI Vol.11/XX/Juli 2008

Sayangnya, (4) struktur industri perikanan tuna kita sangat lemah, bahkan sangat tergantung
pada aktivitas perikanan dari negara lain. Lebih disayangkan lagi aktivitas perikanan asing ini
sulit dibedakan antara yang berijin dan yang mencuri. Tidaklah mengherankan jika kita sering
berkeluh kesah tentang pencurian ikan yang merugikan negara triliunan rupiah. Karena itu,
dalam kerangka kerjasama kedua negara upaya mengurangi permasalahan dan aktivitas
yang dikenal dengan istilah IUU (Illegal, Unregulated and Unreported) ini dapat menjadi salah
satu agenda bersama. Kerjasama bilateral dan mungkin regional dapat juga dilakukan baik
dengan memberi tekanan pada para penangkap dan penjual hasil ikan curian tersebut juga
dari sisi teknis.
4) Bagi industri perikanan nasional, pilihan ditengah melemahnya minat pasar Jepang saat ini
tentu saja salah satunya adalah diversifikasi ekspor baik komoditi ikan, produk, maupun
negara tujuan. Adalah berita baik ekspor udang Indonesia sudah cukup bergeser dari pasar
tunggal Jepang, ke beberapa negara akhir-akhir ini, termasuk dengan masuknya pasar China
sebagai tujuan baru. Sebagai ilustrasi, lebih dari 70% ekspor udang Indonesia ditujukan ke
Jepang sampai tahun 1989, dan kini turun hanya separuh. Dengan kecenderungan tersebut
kebijakan revitalisasi perikanan yang saat ini hanya mengkosentrasikan diri pada tiga
komoditi perikanan saja yaitu udang, tuna dan rumput laut perlu dikaji ulang.
5) Namun demikian, satu hal yang patut dan yang terpenting untuk dipertimbangan oleh
Indonesia adalah isu-isu domestik seperti isu sosial ekonomi perikanan dan lingkungan.
Faktor ini tentu perlu mendapat tempat yang lebih baik dalam kebijakan pembangunan
perikanan saat ini dan akan datang. Apalagi belajar dari pengalaman yang lalu, karena
orientasi yang terlalu fokus ke luar (export-oriented) yang ditempuh dalam pembangunan
perikanan telah menghasilkan beban masalah domestik yang berat seperti kerusakan
sumberdaya, lingkungan dan masalah sosial ekonomi.

4. Catatan Penutup
Walaupun telah banyak keuntungan ekonomi dalam lima puluh tahun perbaikan hubungan
Indonesia-Jepang, kita juga menemukan dampak sosial dan permasalahan lingkungan hidup.
Bahkan, kekhawatiran Krisnandhi [6] empat puluh tahun yang lalu juga telah banyak terbukti.
Karena itu berkaca pada pengalaman yang lalu, Indonesia perlu mengkaji dengan lebih baik
agar berbagai kerjasama dengan negara lain bisa memberikan hasil yang seimbang, tidak hanya
sisi ekonomi. Apalagi, telah disadari bahwa eksploitasi sumberdaya ikan kita saat ini cenderung
mengarah pada krisis perikanan. Eksploitasi sumberdaya secara berlebihan bahkan seperti
sedang berjalan beriringan dengan kemiskinan di pesisir.
Bagi penulis, satu hal yang menarik dari para pengambil kebijakan perikanan Jepang adalah
kegigihan memperjuangkan kepentingan perikanan domestik, walau dalam tekanan
internasional sekalipun seperti yang bisa kita baca dalam isu subsidi perikanan, penangkapan
ikan paus, tuna dan isu-isu lainnya. Komitmen seperti ini juga yang kita harapkan dari pengambil
kebijakan di tanah air. Apalagi tantangan dan masalah domestik Indonesia ke depan semakin
berat. Kita tentu berharap, ikan tetap menjadi pangan yang terus dapat terjangkau, ditengah
harga pangan dunia dan domestik yang terus melambung.

5. Daftar Pustaka
[1] Shimizu, H., 1997. The Japanese Fisheries Based in Singapore, 1892-1945. Journal of
Southeast Asian Studies (28): 324-345.

[2] Hikita, Y. 1996. Japanese companies' inroads into Indonesia under Japanese military
domination in P. Post and E. Touwen-Bouwsma eds. Japan, Indonesia and the War the
Royal Institute of Linguistics and Anthropology: 134-176.

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia 19
INOVASI Vol.11/XX/Juli 2008

[3] Hindley, D., 1863. Foreign aid to Indonesia and its political implications. Pacific Affairs 36(2):
107-119.
[4] Suehiro, A. 1999. The Road to Economic Re-entry: Japan's Policy toward Southeast Asian
Development in the 1950s and 1960s. Social science Japan Journal 2 (1): 85-105.

[5] Malley, J. 1989, Soedjono Hoemardani and Indonesian-Japanese Relations 1966-1974.


Indonesia 48 (Oct., 1989): 47-64.

[6] Krisnandhi, S., 1969. The Economic Development of Indonesia’s Sea Fishing Industry.
Bulletin of Indonesian Economic Studies 5(1: Maret 1969): 49-72.

[7] UNSD Comtrade Database, SITC Rev.1 code 03: Fish and fish preparations.

[8] http://www.jbic.go.jp/

[9] Adam, A.M., 2002. Meninjau Kembali Kasus “Malari” 1974.


http://www.sinar-harapan.co.id/berita/0201/18/opi01.html.

[10] Taylor, J. 1999, Japan's global environmentalism: rhetoric or reality. Political Geography 18:
53-562.

[11] Hall, D., 2001, Japan's Role in the Asian Environmental Crisis: Comparing the Critical
Literature and the Environmental Agency's White Papers. Social science Japan journal
4(19): 95-102.
[12] Josupeit, H., 2008. FAO presentation on commodity trade development. http://
www.globefish.org. Mei 2008.

[13] Menjual Tuna di Negeri Jiran, Tempo Edisi. 42/XXXIV/12 - 18 Desember 2005

[14] http://www.globefish.org/. Mei 2008

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia 20
INOVASI Vol.11/XX/Juli 2008
UTAMA

INDUSTRI KECIL DAN MENENGAH (IKM) DI JEPANG


DAN PROPOSAL PENGEMBANGAN IKM NASIONAL

Tim Peneliti, Working Group for Technology Transfer (WGTT)


Fauzy Ammarii, Wempi Saputraii, Budhi Setiawaniii

1. Potret Industri Nasional

Kontribusi sektor industri pengolahan domestik dalam Produk Domestik Bruto (PDB) nasional
telah dirasakan semakin tinggi dan hampir mencapai 30% dari total PDB, paling tidak selama
iv
kurun waktu 2004-2007. Dari kontribusi ini, sektor industri bukan migas menjadi penyumbang
utama dengan total rata-rata 80% dalam kurun waktu yang sama. Sedangkan dari data Badan
Pusat Statistik (BPS), kita ketahui bahwa peranan sub-sektor industri makanan, minuman dan
tembakau; sub-sektor tekstil, barang kulit dan alas kaki; sub-sektor pupuk, kimia dan barang dari
karet; serta sub-sektor alat angkut, mesin dan peralatannnya, mencapai sekitar 80% dari total
kontribusi sektor industri bukan migas nasional. Pertumbuhan sektor industri pengolahan
mencapai rata-rata 5% (2004-2007) dan pertumbuhan industri bukan migas mencapai sekitar
6% dalam periode yang sama. Sayangnya, dari agregat pertumbuhan sektor industri nasional,
hanya sektor industri pengangkutan dan komunikasi yang menyumbang pertumbuhan dua-digit
(sekitar 12% selama periode 2004-2007), sedangkan sektor industri lainnya rata-rata hanya
5-8%. Adapun pertumbuhan industri pertanian dan peternakan, dan industri migas
menunjukkan trend yang semakin menurun. Dari sisi siklus pertumbuhan selama era sebelum
krisis ekonomi dan setelah krisis (Gambar 1), kita dapat melihat betapa pertumbuhan sektor
industri pengolahan (bukan migas) sebelum krisis yang rata-rata mencapai 13% (1994-1996)
jauh melampaui pertumbuhan setelah krisis (rata-rata 5% selama 1999-2006), hal yang tentunya
v
menjadi perhatian utama formulasi strategi pengembangan industri nasional.

Kenyataan yang kurang menguntungkan seperti dalam uraian di atas, ditambah dengan iklim
usaha yang kurang kondusif (regulasi yang overlap dan tidak efisien, ekonomi biaya tinggi,
penyelundupan, dll), terkonsentrasinya industri di Pulau Jawa, pemanfaatan teknologi yang
masih rendah di tengah persaingan industri dunia yang semakin tajam, serta masih lemahnya
peranan sektor industri kecil dan menengah (IKM) merupakan beberapa tantangan utama
pengembangan industri nasional yang layak diperhatikan dengan sungguh-sungguh. Bila kita
cermati lebih jauh, tantangan utama ini bertitik fokus pada 2 (dua) bagian besar,yaitu peranan
kebijakan makroekonomi dan rendahnya pemanfaatan teknologi dalam proses produksi dan
distribusi, yang merupakan permasalahan internal industri.

Dalam hubungannya dengan IKM di Indonesia, formulasi kebijakan makroekonomi dan kendala
pemanfaatan teknologi juga merupakan fokus utama strategi pengembangan industri ini.
Masalah lanjutan pemanfaatan teknologi adalah rendahnya standarisasi mutu produk yang
memenuhi kriteria pasar manca negara dan rendahnya nilai tambah produk jadi. Penerapan
Gugus Kendali Mutu (GKM) industri nasional, khususnya kepada IKM di Indonesia yang sudah
berlangsung sejak 16 tahun lalu (sampai dengan tahun 2007) masih dirasakan kurang optimal.
Hal ini karena terbentuknya 3,833 gugus pada 3,417 perusahaan IKM selama periode 16 tahun
dirasakan kurang proporsional bila dibandingkan dengan jumlah IKM di Indonesia yang
vi
mencapai 3,5 juta unit yang tersebar di 400 kabupaten/kota. Fenomena di atas memperjelas
fakta (di tengah kemampuan IKM menyerap 9,2 juta tenaga kerja dan menghasilkan nilai ekspor
sebanyak US$8,7 miliar) betapa sumbangan IKM terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) sektor
industri hanya mencapai 38%, jauh lebih rendah dibandingkan kontribusi industri besar yang
mencapai 62%.

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia 21
INOVASI Vol.11/XX/Juli 2008

Sumber: Op.cit hal. 6

Gambar 1. Pertumbuhan sektor industri di Indonesia (1994-2006)

Melihat kondisi ini, dirasa perlu untuk melakukan kaji ulang, reidentifikasi potensi dan kendala,
formulasi strategi dan reformulasi kebijakan IKM yang menunjang pengembangan prioritas
industri nasional yang tangguh. Tahapan ini dapat dilakukan dengan melakukan studi komparatif,
analisis sektor IKM di negara-negara industri maju dan secara simultan memformat strategi
transfer teknologi yang memungkinkan dalam menunjang pengembangan industri nasional.
Salah satu negara industri maju yang dapat dijadikan tolok ukur adalah Jepang, yang memiliki
segudang pengalaman di bidang pengembangan IKM berbasis teknologi tinggi dan penetrasi
pasar manca negara yang luas.

2. IKM di Jepang: Sebuah Ringkasan


vii
IKM di Jepang bukanlah sesuatu dengan perkembangan yang sekejap. Paling tidak
perkembangan IKM di Jepang telah melalui 6 (enam) tahapan dalam kurun waktu sekitar 60
tahun. Dimulai dengan tahapan rekonstruksi (1945-1954), Jepang membangun konsep dasar
IKM yang meliputi penyiapan organisasi, keuangan dan manajemen, dan pada akhirnya di tahun
1948, terbentuklah badan IKM.

Tahapan kedua dan ketiga ditandai dengan periode pertumbuhan (1955-1962 dan 1963-1972).
Dalam periode pertumbuhan pertama, sistematisasi IKM (meliputi organisasi, keuangan dan
manajemen) dan respon terhadap struktur tenaga kerja dalam hubungannya dengan
perusahaan sub-kontrak diselaraskan kembali dalam rangka meletakkan secara benar posisi
IKM dengan perusahaan besar. Periode pertumbuhan kedua adalah periode modernisasi IKM
yang ditandai dengan pembentukan Undang-undang (UU) Dasar IKM di tahun 1963. Basis
hukum ini dipergunakan untuk melakukan penguatan modal dan promosi modernisasi IKM.
Periode keempat adalah periode pertumbuhan yang stabil (1973-1984) yang ditandai dengan
intensifikasi dan perluasan pengetahuan dan sumber-sumber manajerial dimana terjadi
pembentukan pusat-pusat informasi IKM baik di pusat maupun di daerah.

Dua periode terakhir adalah periode transisi (1985-1999 dan 2000-sekarang). Periode transisi
pertama adalah periode perubahan struktural dan agglomerasi industri. Ini ditandai dengan
pembentukan UU sementara tentang upaya-upaya dalam mendorong pembentukan IKM baru
dan UKM lainnya dengan aktivitas bisnis yang kreatif (pembuatan produk/jasa baru melalui
proses penelitian dan pengembangan (Litbang) dengan tujuan komersialisasi). Sedang periode

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia 22
INOVASI Vol.11/XX/Juli 2008

transisi kedua merupakan periode penguatan terhadap perubahan kondisi ekonomi yang
dilandasi oleh amandemen UU Dasar IKM tahun 1963.

Bila kita telaah lebih jauh, kebijakan pengembangan IKM di Jepang ini dapat dikelompokkan
menjadi 3 bagian penting yaitu: pertama, proses dan promosi pemanfaatan teknologi terkini
dalam rangka menunjang inovasi bisnis dan efisiensi produksi; kedua, proses dan promosi
peningkatan kemampuan manajerial dalam bentuk penempatan Sumber Daya Manusia (SDM)
yang tepat dan program Litbang yang baik; dan ketiga, proses dan promosi kebijakan
pemerintah dalam bentuk fasilitasi pembiayaan (melalui saham, obligasi, dll), insentif
kemudahan pembentukan unit usaha baru dan fasilitasi pemasaran produk dan jasa ke pasar
domestik dan manca negara. Dalam perkembangannya sampai tahun 2007, jumlah IKM di
Jepang telah mencapai 4,69 juta unit dibandingkan dengan jumlah perusahaan besar (13 ribu
unit). Kesemuanya mampu menyerap tenaga kerja sekitar 30 juta orang dan menghasilkan nilai
ekspor sebesar 137 miliar yen (lihat Gambar 2).

Jumlah perusahaan Jumlah karyawan Nilai eskpor

Sumber: http://www.chusho.meti.go.jp/sme_english/outline/07/01.html

Gambar 2. Kondisi IKM di Jepang tahun 2007

Dari gambaran ini, kita bisa memperkirakan besarnya kontribusi IKM di Jepang terhadap
pembangunan ekonomi negara ini. Lebih lanjut, bila kita amati lebih mendalam, ternyata industri
pengolahan (manufacturing), pedagang eceran (retail) lah yang menjadi primadona jumlah
terbesar unit IKM (lihat Tabel 1). Sayangnya, karena keterbatasan waktu dan data, kami belum
dapat mendeskripsikan profil masing-masing industri IKM tersebut secara lengkap.

Tabel 1.
Pendirian dan Sensus Perusahaan di Jepang (2001)
IKM Perush. Besar Total
Industri Jumlah % dari Jumlah % dari Jumlah % dari
perush. Total perush. Total perush. Total
Pengolahan 1,498,351 99.8 3,294 0.2 1,501,645 100.0
Pedagang
255,587 99.1 2,394 0.9 257,981 100.0
besar
Eceran 1,743,848 99.8 4,000 0.2 1,747,848 100.0
Jasa 1,191,823 99.7 3,742 0.3 1,195,565 100.0
Total 4,689,609 99.7 13,430 0.3 4,703,039 100.0
Sumber: http://www.chusho.meti.go.jp/sme_english/outline/07/01.html
Compiled from Ministry of Public Management, Home Affairs, Posts and telecommunications,
Catatan: jumlah perus. = jumlah unit usaha (sesuai dengan UU Dasar IKM) dan perush. perseorangan

3. Proposal Pengembangan IKM nasional

Hal penting yang ingin diusulkan dalam proposal studi ini adalah bahwa pengembangan IKM di
Indonesia sangat dimungkinkan untuk ditingkatkan sampai ke tahap yang diinginkan dengan
kriteria:
a. Tumbuhnya IKM dengan keluaran yang berdaya saing tinggi dan berorientasi ekspor;

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia 23
INOVASI Vol.11/XX/Juli 2008

b. Seimbangnya kontribusi IKM terhadap PBD dibandingkan dengan industri besar;


c. Pertumbuhan IKM yang menunjang strategi pengembangan industri prioritas masa
depan yang berbasis teknologi.

Untuk menunjang hal tersebut di atas, perlu dilakukan langkah-langkah secara sistematis,
sinergis, dan ilmiah. Proposal studi ini merupakan bagian kecil dari kontribusi ilmiah yang kami
arahkan kepada analisis deskriptif clustering (pengelompokkan) IKM di Jepang dengan
penguatan pada porsi kebijakan IKM, perkembangan dan pemanfaatan teknologi dalam proses
produksi dan pemasaran, dan potensi pengembangan jaringan IKM di Jepang dengan IKM di
Indonesia. Analisis akan difokuskan pada pengelompokkan IKM di Jepang berdasarkan area
(regional atau prefektur atau kota), jenis industri, jenis produk, tingkat teknologi, jangkauan
pemasaran dan distribusi dan hubungan dengan mitra kerja bisnis antar negara. Secara rinci,
metode pencarian data dan analisis adalah sebagai berikut:

Tahap 1.
1. Survei jenis IKM, perusahaan dan karakteristik perusahaan dalam IKM (produk,
produksi/proses, kapasitas, pemasaran, financial data, inter-relasi)
2. Menyusun direktori perusahaan IKM di Jepang berdasarkan area, jenis industri, lokasi,
produk, technology, company capacity, management dan struktur organisasi, jenis badan
usaha, group perusahaan, marketing (local dan Internasional), dan histori perusahaan.
Produk dari tahap 1 adalah adanya analisis ketersediaan data karakteristik perusahaan IKM di
Jepang secara proporsional dan representatif.

Tahap 2.
1. Konfirmasi informasi yang sudah dikumpulkan dalam tahap 1 dengan sumber informasi
perdagangan antara Indonesia-Jepang.
2. Penyebaran kuesioner kepada perusahaan-perusahaan IKM di Jepang untuk menggali
informasi tentang potensi mitra bisnis dan atau keinginan berinvestasi di Indonesia.
3. Rekomendasi potensi industri yang yg bisa diterapkan di indonesia dan pembuatan jaringan
kerjasama investasi (misalnya dengan: workshop tentang kebijakan investasi terkini,
peraturan perpajakan dan kepabeanan, dan pameran industri IKM).
4. Analisis kuantitatif struktur industri IKM di Indonesia dan studi komparatif dengan IKM di
Jepang, dengan melihat masing-masing sisi kelebihan dan kelemahannya.
Produk keluaran tahap 2 adalah tersedianya rekomendasi kebijakan struktur industri IKM
dengan penguasaan teknologi yang memadai dan sumber-sumber informasi mitra bisnis di
Jepang yang berpotensi.

4. Penutup

Perlunya analisis struktur industri IKM telah dirasakan semakin mendesar ditengah upaya
pemerintah untuk membangun dan mengimplementasi kebijakan industri prioritas masa depan.
Sebuah langkah ilmiah dalam bentuk studi ini kiranya perlu dilakukan sebagai bentuk kontribusi
nyata dalam rangka memberikan porsi informasi yang relevan dan produktif untuk menunjang
pengembangan IKM di Indonesia.

i Dr. (Eng) Fauzy Ammari adalah Direktur Working Group for Technology Transfer (WGTT) Jepang
(http://wgtt.org/)
ii Koordinator Bid Pendidikan & Budaya PPI Jepang, Mahasiswa S3 di Graduate School of Economics,

Nagoya Univ., Jepang.


iii Manager/IT Specialist, Working Group for Technology Transfer (WGTT) dan Post Doctoral fellow Gifu

University, Jepang.
iv Sumber: “Reidentifikasi Sektor Industri Potensial: Menangkap Pembiayaan Pasar Modal”, Presentasi

Menteri Perindustrian RI pada Seminar Indonesia Investor Forum 2, tanggal 30 Mei 2007.
v Op. cit. hal. 6

vi Pidato Menperin pada Konvensi Nasional Gugus Kendali Mutu (GKM) Industri Kecil Menengah (IKM),

6 Desember 2006, Manado, Sulawesi Utara.


vii http://www.chusho.meti.go.jp/sme_english/outline/01/01.html

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia 24
INOVASI Vol.11/XX/Juli 2008
UTAMA
GOLONGAN KARYA DAN THE LIBERATION DEMOCRAT PARTY:
SEBUAH TELAAH SINGKAT PERBANDINGAN THE RULING PARTY
DI INDONESIA DAN JEPANG

MS Akbar
Faculty of Law, Niigata University
E-mail: msakbar2006@yahoo.co.id

1. Pendahuluan

Ada fenomena menarik akhir-akhir ini dalam dunia perpolitikan di Indonesia dan Jepang.
Fenomena ini melibatkan the ruling party (partai yang berkuasa) di kedua negara tersebut, Partai
Golongan Karya (Golkar) dan the Liberation Democrat Party (LDP). Di Indonesia, Golkar sebagai
partai mayoritas di parlemen mengalami kekalahan di dua pilkada secara berturut-turut, Jabar
dan Sumut. Sementara itu, LDP sebagai juga partai mayoritas di majelis rendah (semacam DPR)
akhir-akhir ini mengalami kekalahan yang cukup telak. Pertama pada saat pemilihan anggota
majelis tinggi (the House of Councillors) Jepang, LDP dikalahkan oleh rivalnya, the Democratic
Party of Japan (DPJ) dan paling terakhir pada saat pemilihan anggota majelis rendah untuk
pemilihan Yamaguchi Prefecture pada bulan April 2008, kandidat dari LDP dikalahkan oleh
1
kandidat dari DPJ dengan cukup telak di daerah konstituen kedua terbanyak di Jepang .

Yang menarik dari fenomena diatas adalah kekalahan kedua partai dialami oleh keduanya
setelah cukup lama menikmati sebagai partai berkuasa di kedua negara tersebut. Apakah
fenomena ini merupakan titik balik bagi kedua partai tersebut pada pemilu yang akan datang?
Akan tetapi tulisan ini bukan untuk menjawab pertanyaan tersebut. Tulisan ini lebih melihat pada
dasarnya kedua partai tersebut, selain kekalahan berturut diatas, memiliki banyak persamaan
dalam segala hal. Kita bisa melihat dalam beberapa aspek antara lain: sejarah pendirian kedua
partai tersebut dan juga karakteristik kedua partai. Secara umum, terdapat kesamaan dalam hal
latar belakang dan platform dari kedua partai tersebut.

2. Definisi partai berkuasa (the ruling party)

Sebelum membandingkan antara kedua partai tersebut, alangkah baiknya dijelaskan dulu definisi
dari partai berkuasa (the ruling party). Persamaan persepsi dibutuhkan karena terdapat pendapat
yang menyatakan bahwa Golkar bukan merupakan partai berkuasa di Indonesia. Hal tersebut
didasarkan pada: Partai Golkar bukan merupakan mayoritas tunggal di DPR dan Presiden RI
sekarang bukan merupakan anggota Partai Golkar.

Pada hakekatnya istilah partai berkuasa lebih cocok digunakan untuk negara yang menganut
sistem Parlementer. Pada sistem parlementer, pemilu dilaksanakan untuk memilih perwakilan di
majelis rendah dan majelis tinggi (sistem ini berlaku di Jepang dan pelaksanaanya dilakukan
pada waktu berbeda). Partai yang berkuasa biasanya memegang kekuasaan di majelis rendah,
atau yang lebih dikenal sebagai parlemen, baik sebagai mayoritas tunggal (single majority)
maupun berkoalisi dengan partai lain. Kekuasaan di legislatif akan berlanjut pada kekuasan di
pemerintahaan, hal ini disebabkan perdana menteri sebagai kepala pemerintahaan akan dipilih
biasanya dari anggota partai yang berkuasa di parlemen.

Sementara itu, pada negara dengan sistem presidensial, pemilu untuk perwakilan di parlemen
dan presiden sebagai kepala pemerintahaan, dilakukan pada waktu yang berbeda. Sebuah partai
yang berkuasa dapat dikatakan apabila memperoleh mayoritas kursi di parlemen dan juga

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia 25
INOVASI Vol.11/XX/Juli 2008

pemerintahaan melalui presiden. Akan tetapi walaupun presiden sebagai kepala pemerintahaan
tidah harus berasal dari partai yang berkuasa, dengan menguasai legislatif, untuk keadaan
tertentu, ia dapat mempengaruhi presiden dalam setiap kebijakannya.

Berdasarkan teori tersebut diatas maka, dapat dikatakan bahwa LDP dan Golkar merupakan
partai yang berkuasa di kedua negara tersebut, dengan menguasai majoritas kursi di parlemen.
Hal ini sudah berlangsung dengan kurun waktu yang lama, sejak pendirian partai, walaupun ada
dalam masa tertentu keduanya mengalami kekalahan dalam pemilu. Akan tetapi pada akhirnya
keduanya dapat kembali memperoleh kekuasaannya dalam pemilu selanjutnya.

3. Tujuan dan karakteristik sebuah Partai Politik

Pertanyaan selanjutnya, adalah apa yang disebut partai politik? Untuk tujuan apa partai politik
tersebut didirikan dan apa yang membedakan satu partai politik dengan partai politik lain?

Pertanyaan-pertanyaan tersebut layak dikemukakan terbebih dahulu, untuk mendefinisikan


sebuah partai politik. Hal ini diperlukan mengingat ada saat suatu organisasi masa pada saat
didirikan tidak menyebut dengan jelas sebagai partai politik akan tetapi pada kenyataanya
organisasi untuk memperoleh kekuasaan disuatu negara dengan mengukuti pemilu di negara
tersebut. Kondisi ini berlaku untuk partai golkar yang pada saat pendiriannya tidak menyebutkan
diri sebagai partai politik. Para pendiri partai Golkar pada saat itu mempunyai persepsi yang
negatif tentang partai politik. Akan tetapi pada saat Golkar mengikuti pemilu di tahun 1971, ia
dapat dikategorikan sebagai partai politik. Hal ini disebabkan secara teori, Golkar dapat disebut
sebagai partai politik.

Partai Politik adalah suatu organisasi politik yang ditujukan mendapatkan kekuasaan dalam
2
pemerintahaan dengan jalan biasanya mengikuti pemilihan umum . Pada dasarnya sebuah partai
politik dapat terdiri dari berbagai macam bentuk, tetapi pada hakekatnya fungsi utama sebuah
partai politik: menempatkan anggotanya dalam posisi pemerintahaan; mengatur para anggotanya
tersebut dalam pelaksanaan dan pembuatan kebijakan publik, dan melakukan fungsi mediasi
antara masyarakat dan pemerintahnya 3 . Oleh karena itu, dengan jelas didefinisikan bahwa
apapun bentuk suatu organisasi selama fungsi utamanya sebagai partai politik dan ingin
memperoleh kekuasaannya disuatu negara dengan cara mengikuti pemilu maka ia dapat disebut
partai politik.

Dengan ini jelas bagi partai Golkar yang tidak secara jelas menyatakan sebagai partai politik
pada awal pendiriannya dan juga tidak menamakan dirinya suatu partai politik tapi pada
kenyataanya ia menjalankan fungsi sebagai partai politik. Untuk partai Golkar ungkapan yang
disampaikan oleh William Shakespear amatlah tepat: “What’s in a name? That which we call a
rose, by any other name would smell as sweet”.

Sementara itu, berbagai macam latar belakang dalam hal pendirian suatu partai politik,
diantaranya untuk mendukung suatu figur politik tertentu, menyebarkan suatu kebijakan tertentu
atau suatu ideologi tertentu, mendanai suatu kelompok masyarakat hingga alasan politik praktis
belaka. Para ilmuan mengelompokan partai politik berdasarkan ideologi yang melatar belakangi
pendiriannya. Salah satunya dengan mempertimbangkan berdasarkan spektum politik, dimana
partai politik dapat dibedakan berdasarkan ideologi yang dianutnya. Untuk itu kita mengenal
Partai Politik yang beraliran kiri (Left-Wing) dan beraliran kanan (Right-Wing).

Pada hakekatnya definisi left wing and right wing suatu partai politik berbeda-beda untuk suatu
tempat dan periode sejarah. Di Jepang sendiri untuk mendefinisikan partai politik beraliran kanan

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia 26
INOVASI Vol.11/XX/Juli 2008

dan kiri dapat ditentukan, walupun dalam hal tertentu terdapat pengecualian. Perbedaan rigt dan
left ditentukan dalam hal: internasionalisme vs nasionalisme, pengendalian (planning) vs (free)
market, individualism vs order/ community, equality vs freedom, secularized vs ecclesiastial, and
4
emancipation vs solidarity . Sementara itu di Indonesia hampir tidak pernah mendefinisikan partai
politi dalam istilah tersebut, pengelompokan partai politik dengan spektrum politik tersebut lebih
banyak dilakukan oleh para ilmuan.

Perbedaan karakter partai politik disuatu negara juga dapat ditentukan bedasarkan sistem politik
di suatu negara. Untuk itu kita dapat membedakan karakter partai politik di negara yang
menganut noncompetitive atau one-party system dengan negara yang menganut competitive
system termasuk didalamnya two-party system dan multyparty system. Pada dasarnya struktur
dan karakter partai politik suatu negara sangat ditentukan berdasarkan sejarah budaya dan politik
negara tersebut.

4. Partai Golongan Karya

Golkar sudah menjadi partai berkuasa sejak era pemerintahan Soeharto (1966-1998) dan saat ini
pun Golkar menjadi partai berkuasa dengan suatu koalisi di parlemen Indonesia. Walaupun
berdasarkan hasil pemilu 2004, perolehan suara golkar tidak menghasilkan angka mayoritas
tunggal tetapi Golkar berhasil memenangkan pemilu tersebut dengan meraih 128 dari 550 kursi
di parlemen. (lihat tabel 1).

Tabel 1
5
Hasil perolehan kursi di DPR dalam pemilu 2004

No. Nama Partai Total Pemilih Total Kursi


1. PNI 923.159 1
2. PBSD 636.397 0
3. PBB 2.970.487 11
4. MERDEKA 842.541 0
5. PPP 9.248.764 58
6. PDK 1.313.654 5
7. PIB 672.952 0
8. PNBK 1.230.455 1
9. DEMOKRAT 8.455.225 57
10. PKPI 1.424.240 1
11. PPDI 855.811 1
12. PNUI 895.610 0
13. PAN 7.303.324 52
14. PKPB 2.399.290 2
15. PKB 11.989.564 52
16. PKS 8.325.020 45
17. PBR 2.764.998 13
18. PDIP 21.026.629 109
19. PDS 2.414.254 12
20. GOLKAR 24.480.757 128
21. PANCASILA 1.073.139 0
22. PSI 679.296 0
23. PPD 657.916 0
24. PELOPOR 878.932 2
Total 113.462.414 550

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia 27
INOVASI Vol.11/XX/Juli 2008

Dari tabel 1 diatas terlihat bahwa pada dasarnya tidak terdapat partai yang dominan di parlemen.
Sebagai partai pemenang pemilu Golkar hanya memperoleh 23, 27 % sementara itu PDI-P pada
posisi kedua, memperoleh 19,8%. Dengan kata lain untuk menjadi partai yang berkuasa, Golkar
harus melakukan koalisi dengan partai lain. Secara informal, Golkar seringkali melakukan koalisi
dengan Partai Demokrat (10,36%), partai yang didirikan oleh Presiden Bambang Yudhoyono.
Koalisi ini sangat dibutuhkan oleh pemerintahan sekarang mengingat ketua Golkar, Muhamad
Yusuf Kalla, juga sebagai wakil Presiden RI. Pada kenyataannya Golkar seringkali menjadi
partai penentu penentu setiap kebijakan yang diambil oleh parlemen.

Kenyataan politik Golkar sebagai partai berkuasa tidak hanya dibuktikan melalui parlemen, tetapi
juga melalui jalur birokrasi. Walapun Presiden RI berasal dari Partai Demokrat tetapi Wakil
Presiden RI merupakan ketua Golkar. Kenyataan lain dapat dilihat, 5 dari 36 menteri di kabinet
yang berasal dari Golkar.

Sejarah

Golkar dibentuk sejak 20 Oktober 1964 dengan nama awal sebagai Sekretaris Bersama
Golongan Karya (Sekber Golkar). Pada saat pendirian, golkar dibentuk dengan dukungan para
pemimpin TNI (ABRI pada saat itu), salah satunya Jendral Soeharto dan 97 organisasi non
pemerintah. Selanjutnya organisasi masyarakat yang bernaung di bawah Golkar berkembang
menjadi 220 organisasi.

Sebagaimana telah dijelaskan, pada awal pendirian Golkar menyatakan tidak bertujuan politik.
Penggunaan nama Sekber membuktikan bahwa Golkar berusaha menghindarkan sebagai Partai
Politik. Pada saat itu, hal tersebut bukan merupakan masalah, mengingat dengan kekuasaan
Presiden Soeharto, dengan mudah Golkar dapat disamakan sebagai partai politik untuk dapat
mengikuti pemilu. Ini dibuktikan dengan dikeluarkannya UU Nomer 3 tahun 1975 yang mengatur
tentang Partai Politik dan Golkar.

Latar belakang pendirian pada dasarnya disebabkan terjadi ketidakpuasan dikalangan para
petinggi militer tentang kestabilan politik dan perekonomian di Indonesia. Hal tersebut
disebabkan seringkalinya pertikaian dikalangan partai politik untuk memperebutkan kekuasaan.
Sebagai gambaran, pemilu pertama tahun 1955 diikuti oleh 28 partai politik.

Ditambahkan lagi, Partai Komunis Indonesia (PKI) mejadi partai kelima terbesar hasil pemilu
1955. Pengaruh PKI juga semakin dirasakan di masayakat. Akibatnya terjadi pertikaian ideologi
antar partai yang menyebabkan pertikaian dikalangan anggota partai dibawahnya. Tahun 1965
terjadi percobaan kudeta oleh PKI, yang itu semua akhirnya mendorong beberapa kelompok
militer dan organisasi sipil memformulasikan Sekber Golkar menjadi suatu partai politik. Federasi
ini yang merupakan cikal bakal Partai Golkar dimasa datang.

Pada bulan Maret 1968, Jendral Soeharto secara resmi dipilih menjadi Presiden kedua oleh MPR.
Didasari dengan latar belakang militer, Soeharto pada saat itu tidak terafiliasi oleh partai politik
tertentu. Pada dasarnya ia tidak tertarik dengan partai politik, tetapi dengan menyadari bahwa
untuk dapat dipilih kembali dibutuhkan dukungan partai politik. Pada awalnya ia tertarik dengan
6
Partai Nasional Indonesia (PNI), partai yang didirikan oleh mantan presiden Soekarno , tetapi
untuk menjaga jarak dengan rejim orde lama pada akhirnya ia menggunakan Golkar sebagai
kendaraan politiknya.

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia 28
INOVASI Vol.11/XX/Juli 2008

Setelah dibawah kontrol Soeharto, Golkar berubah dari suatu federasi yang terdiri dari NGO
menjadi partai politik dan mengikuti pemilu. Pada akhirnya Golkar juga mulai mengidentifikasikan
sebagai pemerintah, memaksa para pegawai negeri untuk memilih sebagai bentuk loyal kepada
pemerintah.

Dengan kombinasi beberapa kekuatan, Soeharto, militer, pegawai negeri, sangat mudah bagi
Golkar untuk memenangkan pemilu. Oleh karena itu sejak pemilu 1971 hingga 1997 Golkar
selalu memenangkan pemilu. Pada masa tersebut Golkar menikmati sebagai non competitive
atau one-party system, dimana Golkar selalu keluar sebagai one single party di parlemen. Sekali
Golkar mengalami kekalahan dari PDIP dalam pemilu 1999 tetapi pada pemilu berikutnya
kembali menjadi pemenang. (lihat table 2).

Table 2
7
Perolehan kursi Golkar 1971-2004
Tahun Pemilihan Perolehan Kursi (%)
1971 62.80
1977 62.11
1982 72
1987 64.01
1992 47.77
1997 74
1999 25,99
2004 23.27

Fraksi dalam Internal Partai

Sebagaiman telah dijelaskan bahwa Golkar dibentuk oleh 220 organisasi tetapi melalui hasil
pertemuan umum partai pada November 1965 dan November 1967, organisisasi tersebut
dikelompokan menjadi tujuh Kelompok Induk Organisasi (KINO). Ketujuh KINO tesebut adalah
Kosgoro, Soksi, MKGR, Profesi, Ormas Hankam dan Gerakan Pembaharuan.

Pada akhirnya, dibawah rejim Orde baru (Pemerintahan Soeharto) Golkar semakin menjadi partai
politik terkuat di Indonesia dan fraksi dalam Golkar dibagi menjadi tiga jalur: (1) Fraksi Militer,
terdiri dari anggota militer yang diketuai oleh panglima ABRI dan lebih dikenal sebagai jalur A (2)
Fraksi Birokrasi, terdiri dari anggota Golkar yang merupakan birokrasi pemerintahan dan diketuai
oleh Menteri Dalam Negeri, lebih dikenal sebagai jalur B (3) dan Fraksi Golongan, terdiri dari
anggota Golkar yang bukan merupakan anggota jalur A atau B. Fraksi ini diketuai oleh Ketua
Golkar dan lebih dikenal sebagai jalur G.

Ketiga fraksi tersebut bekerja secara bersama untuk mendapatkan suara di pemilu dan juga
mereka selalu membuat suatu kesepakatan untuk mendistribusikan jabatan politik dan birokrasi
diantara anggota fraksi. Selama masa orde baru, fungi pembagian kekuasaan untuk menjaga
kestabilan kekuasaan di Golkar berada ditangan Suharto sebagai Ketua Dewan Pembina.

Karakter Golkar

Ada sedikit kesulitan untuk mendefinisikan karakter dari partai Golkar yang didasari spektrum
politik, partai sayap kiri atau kanan. Berdasarkan sejarah, Golkar didirikan sebagai penengah dari
berbagai idelogi politik yang ada pada saat itu.

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia 29
INOVASI Vol.11/XX/Juli 2008

Pada dasarnya pembagian karakter ideologi suatu partai politik di Indonesia, dapat dibedakan
sebagai berikut: Partai Politik beraliran kiri dikategorikan sebagai partai dengan ideologi
nasionalisme atau sosialis. Pada sisi yang lain, Partai Politik beraliran kanan dikategorikan
sebagai partai politik dengan latar belakang ideologi keagamaan atau berdasarkan agama
tertentu.

Untuk keadaan tertentu, Golkar dapat dikategorikan sebagai kecenderungan beraliran centre-
right8. Walaupun Golkar tidak dapat dikategorikan sebagai partai berdasarkan religi tetapi Golkar
juga sulit dikategorikan sebagai berideologi sosialis. Akan tetapi Golkar selalu dikelompokan
sebagai partai nasionalis, pengelompokan ini hanya untuk membedakan sebagai partai
berdasarkan keagamaan (right wing).

Pada dasarnya Golkar berasaskan Pancasila dan melihat dari visi, Golkar lebih menfokuskan
dalam perkembangan dan kestabilan ekonomi serta agenda-agenda non-ideological
dibandingkan dengan latar belakang ideologi tertentu.

Kondisi Terkini

Setelah jatuhnya pemerintahan Soeharto di bulan Mei 1998, Golkar dicap sebagai mesin politik
pendukung rejim Soeharto. Pada saat itu masyarakat menuntut pembubaran dari Golkar. Akan
tetapi, Golkar secara cepat berdaptasi dan mereformasi dirinya. Di bulan Juli 1998, melalui
sebuah Kongres Nasional diadakan pemilihan ketua baru Golkar. Ini merupakan untuk pertama
kalinya Golkar melakukan pemilihan ketua umumnya secara demokratis, dimana pada masa
sebelumnya selalu ditunjuk oleh Ketua Dewan Pembina Golkar.

Terjadi berbagai perubahan mendasar dalam tubuh Golkar, termasuk menghapus jabatan Ketua
Dewan Pembina dan diganti dengan Dewan Penasihat. Perubahan yang paling mendasar
lainnya adalah Golkar mengklaim dirinya menjadi sebuah Partai Politik dengan nama Partai
Golongan Karya9. Dalam masa gonjang ganjing politik tersebut, di pemilu 1999 Golkar dikalahkan
oleh PDIP sebagai partai yang berkuasa.

Beberapa perubahan terjadi, walaupun sulit untuk suatu perubah total setelah lebih dari 30 tahun
dibawah kontrol Soeharto. Diantaranya dalam hal internal fraksi ditubuh Golkar. Dengan adanya
peraturan baru, militer dan pegawai sipil dilarang untuk terlibat dalam partai politik. Akan tetapi
sampai sekarang kita masih mendapati keterlibatan militer dan pegawai negeri untuk mendukung
10
Golkar dalam bentuk yang lain . Dan ini dilakukan tidak secara langsung dan formal, masih
terdapat usaha-usaha dari petinggi Golkar untuk melibatkan keduanya sebagai usaha
mempertahankan posisi sebagai partai berkuasa.

Berkaitan dengan fraksi internal partai, sistem ini masih dipertahankan oleh Golkar. Berdasarkan
pasal 25 Anggaran Dasar Golkar disebutkan beberapa sayap organisasi partai Golkar, yang
beberapa jalur tradisional jalur G dimasa lalu.

5. The Liberal Democratic Party (LDP)

LDP atau Jimintoo, dalam bahasa Jepang, adalah sebuah partai politik konservatif dan terbesar
di Jepang. LDP menjadi partai berkuasa hampir secara terus menerus sejak Jepang lepas
dibawah kekuasan pasukan sekutu yang dipimpin oleh US.

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia 30
INOVASI Vol.11/XX/Juli 2008

Dalam pemilu terakhir, tahun 2005, LDP memenangkan 295 kursi, sebuah perolehan terbesar
sejak masa setelah perang. Dengan berkoalisi dengan partai New Komeito, koalisi tersebut
menguasai 2/3 kursi di majelis rendah. (lihat tabel 3).

Tabel 3
11
Hasil pemilu tahun 2005

Party Single PR Total


member

LDP 219 77 296


(25,887,798 / 38.18%) (+59)

DPJ 52 61 113
(21,036,425 / 31.02%) (-64)
Kōmeitō 8 23 31
(8,987,620 / 13.25%) (-3)
JCP 0 9 9
(4,919,187 / 7.25%) (0)
SDP 1 6 7
(3,719,522 / 5.49%) (+1)
PNP 2 2 4
(1,183,073 / 1.74%) (+4)
NPJ 0 1 1
(1,643,506 / 2.42%) (+1)
Shintō Daichi 0 1 1
(433,938 / 0.64%) (+1)
Lain –lain 18 18
(+59)
Total 300 180 480
(67,811,069)

Data tersebut diatas mencerminkan bahwa pada tahun 2005, LDP sangat didukung oleh
konstituen. Pada saat itu, LDP tengah gencar-gencarnya melakukan proses reformasi dalam
perpolitikan Jepang termasuk didalamnya privatisasi Kantor Pos Jepang. Sesungguhnya, pemilu
tahun 2005 adalah pemilu yang dipercepat pelaksanaannya 2 tahun. Hal tersebut terjadi akibat
dari gonjang ganjing politik akibat reformasi yang dilakukan Perdana Menteri pada saat itu,
Junichiro Koizumi. Koizumi melakukan percepatan pemilu mengingat proposalnya tentang
privatisasi Kantor Pos ditolak oleh Majelis Tinggi, termasuk pula penolakan dikalangan internal
LDP sendiri. Hal tersebut dapat dimengerti mengingat secara tradisional, Kantor Pos Jepang,
sebagai institusi pos dan keuangan milik pemerintah merupakan konstituen utama LDP dan juga
acapkali menjadi sumber dana politik bagi tokoh-tokoh politik Jepang.

Sejarah Pendirian

LDP didirikan pada tahun 1955 sebagai gabungan dua partai politik yang saling beroposisi pada
waktu itu, the Liberal Party (Jiyutoo) dan the Japan Democratic Party (Nihon Minshutoo).
Gabungan kedua partai politik pada saat itu merupakan partai konservatif sayap kanan yang
kemudian beroposisi dengan Japan Sosialist Party (JSP, yang pada akhirnya berganti nama
dengan the Social-Democratic Party/ SDP)

JSP sendiri merupakan gabungan dua partai politik, pada saat itu the Japanese Socialist
Movement, terbagi menjadi dua sayap, sayap kiri dan kanan. Tapi pada akhirnya di bulan
Oktober 1955, keduanya bergabung membentuk JSP.

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia 31
INOVASI Vol.11/XX/Juli 2008

Dengan demikian secara jelas dapat disimpulkan bahwa pementukan LDP merupakan reaksi dari
pembentukan JSP. Hal tersebut mengingat LDP sendiri dibentuk pada bulan November 2005,
satu bulan setelah terbentuknya JSP.12

Pada kenyataan memang tidak hanya terdapat satu alasan terbentuknya LDP. Masaharu Kohno,
dalam bukunya “Japan’s Postwar Party Politic menyatakan13:
“The creation of the LDP has been interpreted as a product of basic demand within the
Japanese society that transcended the accumulated mistrust between the long-standing
rival parties, the Liberal and the Democrats. However, although the socio-ideological
factors may have been at work, such factors alone cannot account for the details of the
actual process by which the LDP was ceated”.

Dalam bukunya tersebut, ditambahkan pula bahwa faktor yang lain yang mendukung
terbentuknya LDP adalah dorongan dari pelaku bisnis di Jepang. Pelaku bisnis berperan besar
dalam mendorong dan sebagai mediasi merger kedua partai konservatif. Alasan yang utama dari
tindakan tersebut adalah Japan butuh suatu kestabilan politik untuk memulihkan ekonominya
pasca Perang Korea. Kestabilan politik sangat dibutukan pada saat itu untuk mengembangkan
kegiatan kapitalisnya. Terdapat sebuah slogan terkenal pada saat itu sebagai suatu tekanban
untuk proses merger tersebut, “abandon small difference and concentrate on larger similarities!”

Dalam situs web LDP sendiri, proses merger kedua partai tersebut, dinyatakan sebagai: “a
unification of both parties would it be possible to establish a firm foundation for healthy
parliementary democracy, stabilize politics, and build a stong national economy and welfare
14
system.

Hal tersebut terbukti, setelah proses unifikasi LDP memenangkan pemilu secara mayoritas,
dilanjutkan dengan terbentuknya untuk pertama kali pemerintahan Jepang yang konservatif di
tahun 1955. Sejak itu LDP berhasil mempertahankan kemenangan secara mayoritas dalam
pemilu hingga tahun 1993. Pada tahun 1993 terjadi berbagai skandal politik dan ekonomi dan
juga akhir dari keajaiban ekonomi Jepang. LDP gagal mendapatkan kursi mayoritas tunggal
walaupun masih sebagai partai terbesar di parlemen. Peristiwa tersebut mengakhiri 38 tahun
pemerintahan di Jepang. Partai oposisi pada saat itu membentuk pemerintahan baru dibawah the
Liberal Renewal Party. Pemerintahan dipimpin oleh Morihiro Hasokawa, ketua Japan New Party
15
(JNP) sebagai Perdana Menteri .

Akan tetapi hal tersebut tidak berlangsung lama, di tahun 1996 LDP kembali memegang
kekuasaan sebagai partai mayoritas. Kembali LDP menjadi partai yang mendominan dalam
perpolitikan Jepang. Hal tersebut berlangsung hingga tahun 1998 saat terbentuknya partai
oposisi Democratic Party (the Democratic Party of Japan/ DJP). Sejak itu partai oposisi itu selalu
berhasil mengurangi dominasi LDP dalam peta perpolitikan di Japang. Bahkan pada saat pemilu
terakhir untuk majelis tinggi (the House of Councillors) tanggal 29 Juli 2007, DJP berhasil
memperoleh kursi mayoritas di majelis tersebut.

Fraksi Dalam Partai

Dalam tubuh LDP sendiri terdiri dari beberapa fraksi, yang dalam bahasa Jepang disebut habatsu.
Selama masa kekuasaannya yang panjang sebagai one-party rule dalam politik Jepang, terdapat
sebuah persaingan yang dinamis diantara fraksi-fraksi tersebut. Hal tersebut dikenakan, fraksi
yang dominan di LDP secara tidak langsung akan memegang kendali pemerintahan Jepang.

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia 32
INOVASI Vol.11/XX/Juli 2008

Pada akhirnya fraksi tersebut bukan hanya merupakan bagian-bagian dalam tubuh LDP dan
menjadi semacam pusat organisasi partai, Masaru Kohno meyebutkan sebagai berikut: “Soon
after the inception of LDP these faction began to take shape beyond original party division and
16
became the central organizational units within the party”.

Saat ini terdapat lima fraksi utama dalam LDP. Hampir semua fraksi mempunyai jabatan resmi
tetapi biasanya media masa Jepang meyebutkan fraksi tersebut dengan nama ketua fraksinya
saat itu. Adapun urutan-urutan fraksi dari yang paling berpengaruh di LDP adalah:
1. Heisei Kenkyuukai (Fraksi Tsushima) yang diketuai Yuji Tsushima sejak September
2005.
2. Seiwa Seisaku Kenkyuukai (Fraksi Machimura) yang diketuai mantan menteri luar negeri
Nobutaka Machimura.
3. Shisuikai (Fraksi Ibuki) yang diketuai Bunmei Ibuki.
4. Koochikai (Fraksi Koga) yang diketuai Makoto Koga.
5. Koochikai (Fraksi Tanigaki) yang diketuai Sadakuzu Tanigaki.
6. Kinmirai Seiji Kenkyuukai (Fraksi Yamasaki) yang diketuai Taku Yamasaki.
7. Banchoo Seisaku Kenkyuujo (Fraksi Komura) yang diketuai Masahiko Komura.
8. Tayuukai (Fraksi Kono) yang diketuai Yohei Kono.
9. Atarashii Nami “New Wave” (Fraksi Nikai) yang diketuai Toshihiro Nikai.
10. Anggota parlemen yang terafiliasi dengan fraksi.

Karakteristik LDP

Pada dasarnya LDP adalah partai sayap kanan yang utama dan konservatif di Jepang. Hal ini
didasari pada prinsip-prinsip partai dengan konservatif sebagai aliran utamanya, antara lain:
bekerjasama dengan erat dengan US, respek dengan Tennoo-System (sistem monarki),
mengutamakan ekonomi dibanding pertahanan (preference for butter than cannon) atau yang
lebih jelas kebijakan disebutkan dengan istilah: rapid, export-based economy growth is better
17
than military .

Berbeda dengan partai beraliran sayap kiri di Jepang, LDP tidak menyakatan secara jelas idiologi
atau filosopi partai. Walaupun demikian pengamat politik Jepang mengatakan bahwa secara
spektrum politik maka LDP berada dalam karangka antara right-wing hingga social-democratic.18

Kesimpulan

Berdasarkan penjelasan diatas, secara jelas kita dapat menyimpulkan bahwa Golkar dan LDP
banyak memiliki banyak kesamaan termasuk dalam hal sejarah pendirian, karakter partai dan
fraksi dalam tubuh partai. Apabila kita baca sejarah maka kita melihat bahwa LDP didirikan lebih
dahulu dibanding Golkar. Apakah hal ini membuktikan bahwa para pendiri Golkar, Soeharto
dalam hal ini, mengikuti pola dan terinspirasi oleh LDP?. Hal ini mengingat, Soehato dalam masa
awal pemerintahan sangat dekat dengan Jepang dan bahkan beberapa kebijakannya banyak
mencontoh Jepang dalam setiap kebijakannya. Memang dibutuhkan penelitian yang mendalam
tentang hal ini, akan tetapi secara sederhana kita melihat beberapa kesaamaan mendasar antara
Golkar dan LDP.

Tabel berikut merangkum beberapa kesamaan antara kedua partai :

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia 33
INOVASI Vol.11/XX/Juli 2008

Hal Partai Golongan Karya Liberal Democratic Party

Kekuasaan Sebagai partai berkuasa sejak Sebagai partai berkuasa sejak


pendirian, sekali dikalahkan pada pendirian, sekali tidak
tahun 1999. memegang pemerintahan di
tahun 1993 dan tahun 2007
kalah di majelis tinggi.

Sejak pendirian hingga tahun 1999 Sejak pendirian hingga tahun


dalam kondisi noncompetitive atau 1998 dalam kondisi
one-party system dalam perpolitikan noncompetitive atau one-party
Indonesia. system dalam perpolitikan
Jepang

Dimasa lalu pegawai negeri Pegawai negeri merupakan


merupakan konstituen utama. konstituen utama.

Sejarah Dibentuk untuk mencounter pengaruh Dibentuk untuk menandingi


PKI yang sedang meningkat pembentukan Japan Socialist
Party.

Terdapat ketidakpuasan dikalangan Keinginan adanya kestabilan


militer akan ketidakstabilan politik dan politik untuk mengembangkan
ekonomi. capitalist activities.

Merupakan sebuah federasi dari 97 Merupakan merger the Liberal


NGO yang akhirnya berkembang Party (Jiyutō) dan the Japan
menjadi 220 organisasi. Democratic Party (Nihon
Minshutō),
Terdiri dari lima fraksi utama dan
Fraksi dalam Sebelum tahun 1998 terdapat tiga
beberapa fraksi kecil lainnya
internal Partai fraksi, militer, birokrasi, dan
antara lain: Fraksi Tsushima,
golongan. Saat ini tinggal fraksi
Fraksi Machimura, Fraksi Ibuki,
golongan yang masih ada.
Fraksi Koga, Fraksi Tanigaki,
Fraksi, Fraksi Komura, Fraksi
Kono, Fraksi Nikai), anggota
parlemen yang terafiliasi dengan
fraksi.
Karakteristik Pancasila, dalam spektum politik Dapat dikelompokan sebagai
dapat dikelompokan dalam midle-right rigth-wing walaupun tidak
wing walaupun pada hakekatnya tidak menyatakan jelas filosofi atau
memiliki filosofi dan ideologi lebih ideologi partai lebih
menfokuskan pada pertumbungan mengutamakan ekonomi.
dan kestabilan ekonomi dibandingkan (preference for butter than
mengedepankan ideologi. cannon or rapid, export-based
economic growth is more better
than military)

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia 34
INOVASI Vol.11/XX/Juli 2008

Daftar Pustaka

[1] Hitoshi Abe, Muneyuki Shindoo, and Sadafumi Kawato,”The Government and Politics of
Japan”, University of Tokyo Press, 1994.

[2] Masaharu Kohno,”Japan’s Postwar Party Politics”, Princeton University Press, 1997.

[3] Morio Hyodo and Yasuki Masui, Introduction to Japanese Politics (2007), a material for
lecture in The Graduate School of Modern Society and Culture-Niigata University.

[4] Sarwono Kusumaatmadja, “Partai Golkar: Dari Mana Mau Kemana , 2005. www.golkar.or.id.

[5] http://education.yahoo.com.

[6] www.golkar.or.id

[7] www. Jimin.jp.

[8] www.kpu.go.id.

[9] www.wikipedia.org.

Catatan kaki
1
www.japantoday.com
2
www. wikipedia.com
3
http://education.yahoo.com
4
Morio Hyodo and Yasuki Masui, “Introduction to Japanese Politics (2007)”, bahan pengajaran pada The Graduate
School of Modern Soceity and Culture di Niigata University, hlm 52.
5
www.kpu.go.id.
6
www.wikipedia.org.
7
www.kpu.go.id dan berbagai sumber.
8
www.wikipedia.org.
9
Hal ini juga merupakan persyaratan suatu partai politik bedasarkan UU nomer 31 tahun 2002 tentang Partai Politik.
10
Pada kenyataannya tidak hanya Golkar yang melakukan tindakan tersebut, termasuk juga PDI-P dan juga partai-partai
politik yang lain.
11
www.wikipedia.org.
12
Hitoshi Abe, Muneyuki shindoo dan Sadafumi Kawato, “The Goverment and Politics of Japan”, University of Tokyo
Press, 1994, Hlm 115.
13
Masaharu Kohno, “Japan’s Postwar Party Politics”, Priceton University Press, 1977. Hlm 76-77
14
The formation of the Liberal Democratic Party. www.jimin.jp.
15
Masaru Kohno, opcit. Hlm 8.
16
Masaru Kohno, opcit., hlm. 90
17
Morio Hyodo dan Yasuki Masui, opcit. Hlm 53
18
Ibid.

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia 35
INOVASI Vol.11/XX/Juli 2008
UTAMA
SISTEM, PROSES DAN PERKEMBANGAN ANGGARAN
PEMERINTAH JEPANG: APA YANG BISA DIPELAJARI?

Wawan Juswantoi
Graduate School of International Development, Nagoya University
E-mail: wawanjus@yahoo.com

Sebuah analisa yang kurang tepat jika membandingkan kondisi perekonomian Jepang dan
Indonesia, mengingat perbedaan skala dan kematangan ekonomi kedua negara yang cukup
jauh. Membandingkan kondisi perekonomian Jepang dengan kondisi Indonesia ibarat
membandingkan kemampuan intelektual seorang mahasiswa dengan seorang siswa sekolah
dasar. Namun demikian, mencoba untuk mempelajari dan mengambil hikmah dari apa yang
telah dan sedang di lakukan oleh Jepang (seorang mahasiswa) untuk nantinya dapat menjadi
bahan pertimbangan bagi Indonesia (seorang siswa sekolah dasar) dalam rangka menuju suatu
perekonomian yang lebih maju merupakan analisa yang mungkin masih dapat di terima secara
logis.

Tulisan ini bertujuan untuk menjelaskan secara singkat mengenai kebijakan fiskal yang telah
dan sedang dilaksanakan pemerintah Jepang. Kebijakan fiskal dapat di definisikan sebagai
kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah dalam mengelola anggaran pendapatan dan belanja
ii
negara . Di Jepang, kebijakan fiskal mempunyai pengaruh yang cukup signifikan terhadap
perkembangan perekonomian. Hal ini salah satunya diindikasikan dari peran anggaran terhadap
pembentukan PDB Jepang yang mencapai lebih dari 35 persen. Informasi mengenai karateristik,
kinerja dan tantangan yang di hadapi anggaran pemerintah Jepang, diharapkan dapat
menambah wawasan bagi para pembaca tentang kebijakan fiskal di Jepang sekaligus dapat
dijadikan bahan pemikiran bagi pemerintah Indonesia dalam mengelola anggaran yang lebih
baik kedepan. Tulisan ini akan di bagi menjadi 5 (lima) bagian. Bagian pertama menjelaskan
tentang sistem anggaran pemerintah Jepang, di bagian kedua membahas proses pengajuan
anggaran, dilanjutkan pada bagian ke tiga mengulas mengenai perkembangan dan kondisi
terkini. Pada bagian keempat akan dijelaskan mengenai 2 masalah utama yang dihadapi
pemerintah Jepang yaitu mengenai jaminan sosial dan akumulasi obligasi pemerintah yang
sudah sangat besar. Tulisan ini akan ditutup dengan kesimpulan.

Bagian 1 Sistem Anggaran Pemerintah Jepang

Tahun Fiskal
Tahun anggaran atau sering disebut juga tahun fiskal di Jepang di mulai sejak 1 April dan di
akhiri pada tanggal 31 Maret tahun berikutnya.

Jenis Anggaran
Pemerintah Jepang menggunakan 3 jenis anggaran dalam mengelola keuangan negara yaitu
General Account Budget, Special Account Budget dan Government-affiliated Agencies Budget.
General Account Budget mencatat penerimaan dan pengeluaran pemerintah secara umum. Sisi
pengeluaran dalam general account budget dikategorikan berdasarkan bidang atau kegiatan
pokok yang dilakukan pemerintah misalnya bidang pekerjaan umum, jaminan sosial, pendidikan
dan ilmu pengetahuan, pertahanan nasional, dan lain-lain. Sementara itu, penerimaan pajak dan
hasil penjualan obligasi pemerintah merupakan bagian dari sisi penerimaan dalam general
account. Secara umum, general account memperlihatkan ringkasan dari keseluruhan kebijakan
fiskal yang dilaksanakan oleh pemerintah dalam tahun berjalan.

Selain general account, pemerintah Jepang juga mempunyai apa yang disebut dengan special
account budget (SAB). Special account budget dibuat untuk mengelola keuangan berbagi
kegiatan khusus dan account ini dipisah dari general account. Paling tidak saat ini, ada tiga jenis
special account yaitu (i) special account yang digunakan untuk mengelola proyek khusus, (ii)
Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia 36
INOVASI Vol.11/XX/Juli 2008

special account untuk fund management dan (iii) special account untuk kegiatan lainnya. Jumlah
special account berubah setiap tahun disesuaikan dengan program-program khusus yang akan
di lakukan oleh Pemerintah pada tahun bersangkutan. Namun demikian, dalam beberapa tahun
terakhir, pemerintah Jepang mendapat banyak kritik tentang keberadaan special account ini,
karena dianggap tidak effisien dan kurang transparan. Hal ini menyebabkan masyarakat luas
sulit untuk mengetahui besarnya anggaran pemerintah secara keseluruhan. Untuk itu,
pemerintah Jepang berupaya mengurangi jumlah special account secara bertahap dari tahun ke
tahun.

Jenis account lainnya yang dimiliki oleh pemerintah Jepang adalah account untuk mencatat
kegiatan-kegiatan dari government-affiliated agencies. Agency ini dibuat oleh pemerintah
Jepang untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan tertentu. Agency-agency tersebut di buat
berdasarkan udang-undang khusus dan dipisah dari manajemen pemerintahan, namun 100
persen merupakan milik pemerintah..

Fiscal Invesment and Loan Program (FILP)

FILP adalah sebuah sistem yang dibentuk untuk melaksanakan berbagai kebijakan fiskal
dengan memanfaatkan sumber dana komersial yang dihimpun dari masyarakat. FILP
memberikan pinjaman maupun investasi ke FILP agency yaitu government-affiliated agencies,
government financial institution, public corporations dan pemerintah daerah. Menggunakan dana
FILP, FILP agency melaksanakan proyek-proyek yang sifatnya jangka panjang dan umumnya
sulit dilakukan atau tidak menarik bagi pihak swasta seperti perumahan, pembiayaan usaha kecil
menengah, sosial infrastructute, pendidikan, pelayanan kesehatan, kesejahteraan sosial,
pengembangan teknologi, pembangunan daerah dan kerjasama internasional.

Sebelum tahun 2001, sumber pembiayaan FILP berasal dari tabungan pos, dana pensiun serta
surplus dari special account dan agency pemerintah. Namun sejak 1 april 2001 pembiayaan
FILP berasal dari 3 sumber (i) dana yang dihimpun oleh pemerintah melalui penerbitan obligasi
FILP (ii) devidend dari Electric Power Development Company Ltd, Japan Tobacco Inc, Nippon
Telegraph and Telephone Corp, dan surplus Japan Bank for International Cooperation dan (iii)
obligasi yang diterbitkan oleh FILP agency dengan jaminan (garansi) dari pemerintah.

Bagian 2 Proses Pengajuan Anggaran Pemerintah Jepang

Proses pengajuan anggaran pemerintah Jepang diawali dengan pembuatan kerangka dasar
kebijakan pemerintah dibidang ekonomi dan manajemen kebijakan fiskal. Pembuatan kerangka
dasar ini dibuat setelah mendapat masukan dari Fiscal System Council (FSC) dan Council on
Economic and Fiscal Policy (CEFP). Kedua Dewan (council) tersebut dibentuk untuk melakukan
kajian dan memberikan masukan ke pemerintah dalam rangka penyusunan kebijakan di bidang
ekonomi dan fiskal. FSC beranggotakan para peneliti, jurnalis, eksekutif perusahaan, sementara
CEFP beranggotakan para menteri senior termasuk perdana menteri dan menteri keuangan,
gubernur bank central Jepang, profesor dari berbagai universitas ternama dan kalangan
eksekutif perusahaan.

Tahap berikutnya adalah proses penyusunan anggaran yang meliputi beberapa tahap antara lain
pembuatan proposal, pengajuan dan penjelasan anggaran oleh masing-masing kementrian,
dilanjutkan dengan negosiasi untuk kemudian dilakukan penyesuain-penyesuain terhadap
besaran anggaran yang diajukan oleh masing-masing kementrian. Rangkain proses ini
menghasilkan draft pertama. Draft pertama tersebut selanjutnya dipresentasikan oleh
departemen keuangan di sidang kabinet dan dilanjutkan dengan negosiasi di tingkat menteri.
Tahapan ini menghasilkan keputusan kabinet tentang draft anggaran yang untuk selanjutnya
diajukan ke parlemen.

Proses negosiasi antara pemerintah dan parlemen tentang anggaran biasanya berlangsung
relatif cepat. Hal ini dikarenakan pada setiap tahap penyusunan anggaran pada dasarnya sudah

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia 37
INOVASI Vol.11/XX/Juli 2008

melibatkan berbagai kalangan termasuk didalamnya para politisi, sehingga draft anggaran yang
disampaikan ke parlemen sudah mengakomodir keinginan dan pendapat dari partai politik.

Bagian 3 Perkembangan dan Kondisi Terkini Kebijakan Fiskal di Jepang

Perkembangan Kebijakan Fiskal di Jepang

Pasca perang dunia II hingga tahun 1965, pemerintah Jepang secara ketat menerapkan
anggaran berimbang. Artinya, anggaran dijaga agar jumlah pengeluaran sama persis dengan
jumlah penerimaan dalam tahun bersangkutan. Memasuki tahun 1965, pemerintah Jepang tidak
lagi menerapkan kebijakan anggaran berimbang. Hal ini karena sejak tahun 1965, berdasarkan
undang-undang keuangan negara, pemerintah diperbolehkan untuk menerbitkan atau menjual
obligasi. Namun demikian, dari tahun 1965 sampai dengan tahun 1974, undang-undang hanya
memperbolehkan pemerintah mengeluarkan obligasi infrastuktur. Hasil penjualan obligasi
infrastuktur hanya boleh digunakan oleh pemerintah untuk membangun berbagai sarana dan
prasarana publik. Salah satu contoh sarana yang dibiayai oleh obligasi ini adalah jalur kereta api
super cepat (shinkansen).

Peningkatan harga minyak pada tahun 1973, atau di negara-negara pengimpor minyak seperti
halnya Jepang dikenal sebagai oli crisis, telah menyebabkan goncangan pada perekonomian
dalam negeri Jepang, yang pada akhirnya mengurangi penerimaan perpajakan. Untuk itu,
Jepang melakukan amandemen terhadap undang-undang keuangan negaranya dan
memperbolehkan pemerintah untuk menerbitkan tidak hanya obligasi infrastruktur namun juga
obligasi yang digunakan untuk menutupi defisit anggaran dan belanja pemerintah atau dikenal
dengan istilah deficit-financing bond. Amandemen undang-undang tersebut telah menyebabkan
iii
rasio obligasi terhadap total pengeluaran mencapai puncaknya pada akhir dekade 1970 an
menjadi 34,7 persen.

Mengingat rasio obligasi terhadap total pengeluaran yang sudah begitu besar di akhir dekade
70an maka memasuki tahun anggaran 1980, pemerintah Jepang mulai melakukan upaya-upaya
untuk mengurangi jumlah deficit-financing bond yaitu antara lain dengan menerapkan batas
anggaran untuk masing-masing sektor serta reformasi di bidang fiskal dan sistem administrasi.
Salah satu reformasi yang dilakukan adalah reformasi sistem jaminan sosial pada tahun 1983
dan privatisasi Japan National Railway. Adanya upaya-upaya tersebut ditambah dengan
peningkatan penerimaan perpajakan dalam akhir dekade 1980an sebagai dampak dari bubble
iv
economy membuahkan hasil yang cukup memuaskan yaitu di tahun anggaran 1990
pemerintah Jepang tidak menerbitkan deficit financing bond untuk pertama kalinya sejak tahun
1974.

Namun demikian, kondisi yang cukup kondusif pada dekade 1980an tidak berlanjut pada dekade
1990an. Pada awal dekade 1990an Jepang mengalami perlambatan pertumbuhan ekonomi
akibat ambruknya masa-masa bubble economy. Menghadapi kelesuan ekonomi, pemerintah
Jepang berupaya mengairahkan perekonomian antara lain dengan cara penciptaan mega
proyek dan pemotongan pajak secara signifikan. Kebijakan tersebut membawa konsekuensi
peningkatan defisit yang cukup tajam yang pada akhirnya harus ditutup dengan penjualan
obligasi pemerintah. Dalam tahun anggaran 1996 penjualan obligasi pemerintah mencapai
puncaknya kembali yaitu sebesar 22 triliun yen.

Krisis ekonomi yang terjadi di kawasan Asia Tenggara pada pertengahan tahun 1997 turut
memperburuk kondisi perekonomian Jepang. Untuk itu, pada tahun anggaran 1997 pemerintah
v
Jepang melakukan upaya-upaya konsolidasi fiskal yaitu dengan menaikan pajak pertambahan
nilai dari 3 % menjadi 5 % dan melakukan review dan penghematan di sisi pengeluaran. Upaya
tersebut akhirnya dapat mengurangi nilai penjualan obligasi menjadi hanya sebesar 16.7 triliun
yen pada tahun anggaran 1997. Dalam kurun waktu 1998-2000, pemerintah Jepang masih di
hadapkan pada kondisi perekonomian domestik maupun kawasan yang masih kurang
menguntungkan dan berbagai upaya untuk mengairahkan perekonomian atau economic
recovery terus dilakukan. Selanjutnya, memasuki awal abad ke 21 pemerintah Jepang mulai

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia 38
INOVASI Vol.11/XX/Juli 2008

merubah tujuan kebijakan fiskalnya dari pemulihan ekonomi menjadi reformasi struktural yang
didasarkan pada “reformasi struktural perekonomian Jepang : kebijakan dasar manajemen
ekonomi makro”.

Kondisi Terkini Kebijakan Fiskal di Jepang

Permasalahan utama dalam struktur penerimaan anggaran Jepang dalam beberapa tahun
terakhir adalah peran obligasi pemerintah yang masih relative besar terhadap total penerimaan
negara. Sementara itu, semakin besarnya beban pembayaran manfaat jaminan sosial dan
pembayaran pokok dan bunga utang merupakan dua masalah utama di sisi pengeluaran.

Grafik 1 menunjukkan bahwa di sisi penerimaan, meskipun penerimaan pajak menunjukkan


trend peningkatan dan penjualan obligasi menunjukkan trend sebaliknya namun ketergantungan
penerimaan negara dari penjualan obligasi masih relative besar yaitu berkisar 30 sampai dengan
50 persen selama kurun waktu 2004 – 2008. Sementara itu, di sisi pengeluaran, lebih dari 50
persen anggaran digunakan untuk membayar manfaat jaminan sosial serta pokok dan bunga
utang. Sementara porsi pengeluaran lainnya, termasuk di dalamnya pengeluaran untuk
pembangunan hanya berkisar 30 persen dari total anggaran.

Grafik 1. Rincian Pendapatan dan Belanja Negera Jepang 2004-2008


% thd total penerimaan % thd total pengeluaran

100.00 100.00

90.00 90.00

80.00 80.00

70.00 70.00

60.00 60.00

50.00 50.00

40.00 40.00

30.00 30.00

20.00 20.00

10.00 10.00

0.00 0.00
2004 2005 2006 2007 2008

Pajak Non-pajak Construction Bonds


Special Deficit Financing Bonds Jaminan Sosial Pembayaran bunga dan pokok utang
Transfer ke daerah lainnya

Sumber : Ministry of Finance, Japan, diolah.

Bagian 4 Jaminan Sosial dan Obligasi Pemerintah

Seperti telah di sampaikan sebelumnya bahwa beban anggaran pemerintah Jepang untuk
pembayaran manfaat jaminan sosial dan pembayaran pokok serta bunga utang sudah sangat
berat. Beban pembayaran manfaat jaminan sosial diperkirakan akan terus semakin berat. Hal ini
terutama disebabkan kondisi masyarakat Jepang yang telah memasuki super-aged society dan
diperkirakan akan terus semakin tua di masa-masa mendatang. Pada tahun 2005, 20 persen
dari jumlah penduduk telah berusia lebih dari 65 tahun dan diprediksikan pada tahun 2025
vi
sebesar 29 persen serta tahun 2050 sebesar 35 persen . Kondisi masyarakat yang sudah
sangat tua ini disebabkan karena angka kelahiran yang sangat rendah di satu sisi dan angka
harapan hidup yang sangat tinggi di sisi lainnya. Terdapat 4 jenis jaminan sosial yang berlaku di
Jepang yaitu jaminan hari tua , asuransi kesehatan, asuransi tenaga kerja dan dana anak. Dari
keempat jenis tersebut lebih dari 80 persen anggaran jaminan sosial digunakan untuk membayar
Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia 39
INOVASI Vol.11/XX/Juli 2008

uang pensiun dan asuransi kesehatan, dan terutama asuransi kesehatan ini banyak di
manfaatkan oleh penduduk lanjut usia (senior citizen).

Permasalahan lain yang sudah cukup berat adalah akumulasi utang atau obligasi pemerintah
yang sudah sangat besar. Pada tahun 2007 jumlah obligasi pemerintah (outstanding) mencapai
547 triliun yen atau lebih dari 150 persen dari GDP. Pembayaran bunga dan pokok utang ini
telah menyerap lebih dari 25 persen anggaran pemerintah Jepang. Kondisi ini menyebabkan
anggaran pemerintah sangat rentan terhadap perubahan suku bunga, karena sampai dengan
saat ini pemerintah masih menikmati tingkat bunga pembayaran utang yang relatif rendah,
namun apabila terjadi peningkatan suku bunga akan menyebabkan beban anggaran untuk
pembayaran utang pemerintah meningkat sangat pesat.

Bagian 5 Kesimpulan

Ada beberapa catatan atau kesimpulan yang bisa diperhatikan dan dipelajari dari pengalaman
pemerintah Jepang dalam mengelola keuangan negara yaitu (i) pemerintah Jepang tidak
mengikuti standard internasional pencatatan keuangan pemerintah. Hal ini, terutama, dapat
dilihat dengan dimasukannya penjualan obligasi pemerintah sebagai penerimaan anggaran.
Menurut standard pencatatan keuangan pemerintah, hasil penjualan obligasi atau utang
seharusnya dimasukkan sebagai pembiayaan. (ii) Pengajuan rancangan anggaran oleh
pemerintah ke parlemen dilakukan dalam tahap akhir proses penyusunan anggaran dan proses
negosiasi dengan parlemen berlangsung relatif cepat. Hal ini bisa terjadi karena dalam
penyusunan rancangan anggaran telah melibatkan berbagai elemen masyarakat termasuk di
dalamnya partai politik, sehingga rancangan yang diajukan pada dasarnya sudah mengakomodir
keinginan atau pendapat dari masing-masing partai politik. (iii) Akumulasi utang atau obligasi
pemerintah sudah sangat besar, sekitar 10 kali lipat dari pendapatan pajak pertahun. Akumulasi
utang ini merupakan warisan beban bagi generasi masa datang. (iv) Beban pembayaran
manfaat jaminan sosial sudah dan akan terus semakin berat seiring dengan tingginya jumlah
penduduk usia tua.

i
Penulis adalah PNS Departemen Keuangan RI, saat ini sedang mengikuti program Doktor di Graduate School of
International Development, Nagoya University, Japan. Untuk pertanyaan dan saran silahkan kontak ke
wawanjus(at)yahoo(dot)com . Isi tulisan ini sepenuhnya merupakan pendapat dan tanggung jawab pribadi penulis dan
bukan merupakan pandangan institusi Dep. Keuangan RI maupun Nagoya University. Topik ini dipersentasikan oleh
penulis pada acara diskusi yang diselenggarakan oleh Bank Indonesia, kantor perwakilan Tokyo, Jepang pada tanggal
16 April 2008.
ii
Untuk selanjutnya dalam tulisan ini akan digunakan kata anggaran untuk menggantikan kalimat anggaran
pendapatan dan belanja negara.
iii
Total penjualan obligasi pemerintah dibagi dengan total pengeluaran pemerintah dalam tahun yang sama. Rasio ini
menunjukkan seberapa besar peran (share) penjualan obligasi terhadap total pengeluaran pemerintah.
iv
Kondisi dimana suatu perekonomian mengalami Pertumbuhan pesat diluar kebiasaan dan hanya bersifat sementara,
biasanya di tandai dengan peningkatan harga surat-surat berharga.
v
Kondolidasi fiksal adalah kebijakan pemerintah untuk meningkatkan penerimaan anggaran di satu sisi dan pada
saat yang bersamaan berupaya untuk mengurangi atau menghemat pengeluaran disisi lain, sehingga pada akhirnya
dapat mengurangi defisit anggaran.
vi
Menurut definisi United Nation suatu masyarakat dikategorikan masyarakat tua (aging-society) jika 7 persen dari
jumlah penduduknya berusia lebih dari 65 tahun, telah tua (aged society) jika 15 persen dan telah sangat tua
(super-aged society) jika lebih dari 20 persen penduduknya berusia lebih dari 65 tahun

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia 40
INOVASI Vol.11/XX/Juli 2008
UTAMA
TRANSFER TEKNOLOGI PADA SEKTOR INDUSTRI MANUFAKTUR
INDONESIA: MENELAAH 50 TAHUN HUBUNGAN PERSAHABATAN
INDONESIA-JEPANG

Erkata Yandri
Technology Transfer Manager
Working Group for Technology Transfer
Kurono Kopo 125, Furuichiba 32-1, Gifu-shi, Gifu-ken, Japan 501-1121
Email: erkata.yandri@wgtt.org

PENDAHULUAN
Dengan persaingan global yang semakin terbuka luas, Indonesia, mau tidak mau harus lebih giat
meningkatkan ekspor, meningkatkan investasi yang membangun infrastruktur, memacu sektor
industri yang menumbuhkan sektor pertanian, memperbanyak dan meningkatkan daya saing
Usaha Kecil dan Menengah (UKM), meningkatkan usaha eksplorasi energi, yang pada akhirnya
akan membuka lapangan kerja dan menurunkan angka kemiskinan. Untuk usaha tersebut,
sangat dibutuhkan sekali suatu proses transformasi yang sangat pesat dan efektif di segala
sektor. Tentu saja rencana ini menjadi suatu daya tarik sendiri bagi negara lain untuk
berkontribusi di Indonesia. Hal inilah yang semakin membuka peluang peningkatan hubungan
kemitraan yang makin luas antara Jepang dan Indonesia, tentunya dengan prinsip saling
membutuhkan dan menguntungkan. Jepang sudah tepat memilih Indonesia sebagai mitra
karena potensi pertumbuhan ekonomi yang tinggi yang merupakan tempat yang cocok bagi
investasi Jepang yang dengan pertumbuhan ekonominya yang sudah stagnant. Indonesia masih
menjadi tempat favorit bagi investasi Jepang, khususnya di sektor manufaktur dan sektor
pendukung lainnya. Begitu juga sebaliknya, Indonesia juga sudah tidak salah lagi memilih
Jepang sebagai mitra pembangunannya dengan melihat teknologi dan potensi investasi yang
dimiliki oleh Jepang. Berdasarkan survey yang dilakukan oleh Japan’s Bank for International
Cooperation (JBIC) pada than 2004, Indonesia menduduki peringkat kedua setelah China dalam
investasi Jepang di luar negeri, yaitu sebesar 24% di China, 16% di Indonesia, Thailand 14%,
Singapura dan Malaysia 9%.

Kemitraan Indonesia-Jepang, sudah terjalin sejak lama, tanpa terasa sudah mencapai ke usia
50 tahun saja. Jepang adalah salah satu mitra dagang dan bisnis Indonesia yang menduduki
posisi paling penting dan strategis. Saat ini, ada sekitar 1.200 perusahaan Jepang di Indonesia,
mayoritas mendominasi sektor Industri manufaktur yang mampu memberikan lapangan
pekerjaan tidak kurang dari 200.000 orang Indonesia. Banyak diantara mereka yang menduduki
posisi penting sebagai Manager dan bahkan ada yang menjadi Direktur. Tentu ini merupakan
sesuatu keuntungan yang sangat positif bila melihat kenyataan dengan tersedianya lapangan
kerja, alih teknologi maju Jepang ke Indonesia, dan budaya manajemen Jepang yang sarat
filosofi budaya kerjanya dengan produktifitasnya yang tinggi.

Pada tanggal 20 Agustus 2007, bertempat di Jakarta, hubungan persahabatan


Indonesia-Jepang ini sudah memasuki suatu babak baru dengan ditanda-tanganinya Japan and
the Republic of Indonesia for an Economic Partnership (JIEPA) oleh Perdana Menteri Jepang
waktu itu, Shinzo Abe dan Presiden RI, Susilo Bambang Yudhoyono. Ada sebanyak 7 butir
kesepakatan pada JIEPA ini, yang pada intinya adalah untuk meningkatkan kerjasama kedua
negara di segala bidang, seperti: industri manufaktur, pertanian, kehutanan, perikanan,
perdagangan dan investasi, pengembangan sumber daya manusia, jasa keuangan, pengadaan
barang pemerintahan, lingkungan, energi dan sumber daya mineral, dan bidang lainnya.

Khusus untuk pengembangan sektor industri manufaktur, kedua belah pihak untuk jangka
panjang akan mengembangkan berbagai sub sektor, seperti: perlogaman, teknik pembuatan
cetakan, teknik pengelasan, konservasi energi, dukungan promosi industri kecil dan menengah,

41
Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia
INOVASI Vol.11/XX/Juli 2008

promosi eksport dan investasi, suku cadang otomotif, peralatan elektronik, baja dan produk baja,
tekstil, petrokimia, pelatihan, makanan dan minuman. Bentuk implementasi dari kerjasama ini
termasuk; studi dasar, bantuan tenaga ahli, penyediaan peralatan, pelatihan, seminar dan
workshop, kunjungan perusahaan Jepang. Khusus kerjasama pada sektor industri manufaktur,
bentuk kegiatan pada studi dasar lebih difokuskan pada sektor perlogaman, teknik pencetakan,
teknik pengelasan, produk baja, tekstil, petrokimia, dll. Bantuan tenaga ahli difokuskan pada
sektor teknik pencetakan, konservasi energi, suku cadang otomotif. Pelatihan difokuskan pada
sektor teknik pencetakan, suku cadang otomotif, peralatan elektronik, dan tekstil. Sedangkan
seminar dan workshop difokuskan pada teknik pencetakan, konservasi energi, produk baja, dan
tekstil.

Jepang akan memberikan bantuan teknis, melalui pusat pengembangan industri manufaktur
kepada perusahaan manufaktur Indonesia untuk memenuhi standar kualitas internasional. Tentu
saja, sektor otomotif dan suku cadang, elektrikal dan barang-barang elektronik menjadi focus
utama bantaun kerjsama teknis ini. Perusahaan otomotif Jepang seperti Toyota, Honda, Suzuki,
dan Daihatsu akan menempatkan Indonesia sebagai pusat produksi untuk beberapa komponen
utama yang ditujukan untuk pasar ASEAN. Pusat produksi di Indonesia ini akan terhubung
dengan unit produksinya di Negara ASEAN yang lain seperti Thailand, Malaysia, Philippine. Hal
yang sama juga diterapkan pada industri sepeda motor, elektrikal dan barang-barang elektronika
lainnya. Jepang juga menyediakan bantuan teknis untuk membantu badan sertifikasi Indonesia
agar perusahaan-perusahaan tersebut memenuhi standar industri Jepang pada sektor pertanian
dan produk perikanan. Dalam percaturan perdagangan global, masalah tarif bukanlah menjadi
masalah utama, melainkan masalah kualitas yang termasuk di dalamnya keselamatan dan
kesehatan kerja yang berpotensi untuk menjegal ekspor Indonesia jika masalah ini tidak
diselesaikan dengan serius.

Beragam tanggapan dari berbagai pihak mengenai perjanjian JIEPA ini, banyak yang positif
tetapi tidak sedikit juga yang menanggapinya dengan nada skeptis. Yang bernada negatif
skeptis lebih menanggapinya dengan menyorot masalah pembebasan tarif bea masuk barang
Jepang ke Indonesia dan ketidaksiapan perusahaan dalam negeri karena kurang terbentengi
dengan kesepakatan tersebut. Yang bernada positif optimis lebih membahas ke masalah
pengembangan capacity building dan adanya peningkatan kepercayaan diri Jepang untuk lebih
masuk berinvestasi di Indonesia. Semua orang bebas menanggapi perjanjian kerjasama baru
tersebut dan sebaiknya biarkan saja! Soalnya, ada masalah yang tidak kalah pentingnya yang
akan dibahas dalam tulisan sederhana ini.

PERMASALAHAN

Dengan hubungan persahabatan Indonesia – Jepang yang sudah memasuki usia 50 tahun ini,
tentu sudah banyak kemajuan yang dicapai di segala bidang dalam kurun waktu tersebut. Yang
paling terasa dan terlihat sekali adalah kemajuan di sektor industri manufaktur. Nah, kalau
berbicara soal industri manufaktur, sepertinya tidak bisa melepaskan diri dari kata “Transfer
Teknologi”. Transfer teknologi selalu menjadi pokok bahasan yang menarik dari berbagai pihak,
mulai dari pemerintahan, pembuat kebijaksanaan, badan pendanaan Internasional, kampus
perguruan tinggi, lembaga penelitian, pelaku bisnis dan lain sebagainya. Mengapa demikian?
Hal ini disebabkan karena adanya hubungan yang erat sekali antara transfer teknologi dengan
pertumbuhan ekonomi. Ada beberapa pertanyaan yang cukup menarik untuk dibahas di sini,
seperti, “Sudah sejauh mana status transfer teknologi dari Jepang ke Indonesia dalam kurun
waktu 50 tahun ini? Mungkin kita pernah mendengar juga dengan pertanyaan seperti
ini,”Kenapa Indonesia masih tetap saja dijadikan sebagai tempat perakitan dan pemasaran
produk Jepang?” atau yang ini, “Akankah status sebagai tempat perakitan barang Jepang masih
tetap dipertahankan?” Mungkin juga yang ini, “Dimana letak permasalahan transfer teknologi ini
di Indonesia?” Pertanyaan di atas mungkin sah-sah saja di sini dengan menyadari waktu 50
tahun yang sudah dijalani bersama Jepang.

PEMBAHASAN

42
Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia
INOVASI Vol.11/XX/Juli 2008

Sebaiknya, kita bahas masalah transfer teknologi pada sektor industri manufaktur ini saja agar
lebih fokus dan tidak usah jauh-jauh melebar ke sektor lain. Kelihatannya ini cukup menarik
untuk dibahas. Jepang selama ini di Indonesia sudah merintis industri manufakturnya di sektor
otomotif, elektronik, kimia, perlogaman, tekstil, dan lain sebagainya. Yang terbesar sudah pasti
di sektor otomotif dan elektronik. Sudah bisa diduga di sini bahwa bagi Jepang, bentuk
kerjasama di atas lebih ditujukan untuk bagaimana mengamankan mata rantai sektor industri
manufakturnya yang dibangun dan dikembangkan di Indonesia. Jepang mencoba mengarahkan
bagaimana kerjasama tersebut lebih bermanfaat dan menguntungkan untuk investasi Jepang
untuk jangka panjang di Indonesia. Untuk perluasan lapangan kerja dan peningkatan
perekonomian, Indonesia sudah pasti akan mendapatkan manfaatnya di situ, tetapi kembali
kepada permasalahan kita tadi yaitu soal transfer teknologinya. Tentu saja beberapa pertanyaan
di atas tadi perlu segera dicari jawaban, kalau perlu solusinya sekalian, jika memang Indonesia
tidak mau lagi memperpanjang statusnya sebagai tempat perakitan produk Jepang. Harus diakui
di sini bahwa sebenarnya Jepang masih mengincar biaya tenaga kerja dan energi Indonesia
yang masih cukup murah jika dibandingkan berinvenvestasi di negara lain. Salah satu tujuannya
adalah untuk menghadapi dominasi produk China yang sangat murah. Jika Indonesia cukup
hanya dijadikan sebagai basis perakitan, maka tidak perlu bersusah payah membangun
Indonesia sebagai basis R&D karena di situlah letak kunci teknologinya. Keberadaan produk
manufaktur Jepang di pasar dunia terletak pada R&D nya. Ada beberapa pertimbangan Jepang
dengan belum memusatkan basis R&D nya di Indonesia, seperti biaya yang mahal, waktu
peluncuran produk baru yang ketat, ketakutan akan pencurian teknologi atau pelanggaran hak
cipta, dan lain sebagainya.

Mari kita ulas sedikit apa itu transfer teknologi. Banyak definisi tentang transfer teknologi ini.
Secara umum, transfer teknologi dapat diartikan sebagai suatu proses yang menggunakan
teknologi, keahlian, pengalaman dan fasilitas agar bisa dikembangkan lebih lanjut atau
berinovasi secara komersial sehingga dapat bermanfaat secara ekonomi, sosial maupun
kebudayaan. Ini mempunyai pengertian bahwa teknologi yang berasal dari suatu sektor bisa
beradaptasi dan diaplikasikan ke berbagai sektor yang lain. Ada dua tempat kejadian transfer
teknologi yang kita bahas di sini. Pertama adalah transfer teknologi pada perusahaan Indonesia
skala kecil dan menengah yang memakai teknologi Jepang. Kedua adalah transfer teknologi
kepada orang Indonesia yang bekerja pada perusahaan Jepang di Indonesia.

Keberadaan teknologi Jepang pada industri kecil dan menengah di Indonesia boleh dibilang
baru menjalankan setengah dari proses transfer teknologi tersebut. Mengapa terjadi demikian?
Hal ini dikarenakan belum mampunya mereka untuk sampai pada tahap inovasi atau
menghasilkan suatu teknologi yang sudah melalui proses utilisasi dan adaptasi. Perusahaan
kecil dan menengah yang memakai teknologi Jepang ini lebih mengangap bahwa teknologi
Jepang tidak lebih daripada sekedar mesin-mesin yang dibuat oleh Jepang atau
peralatan-peralatan yang mampu menciptakan peluang ekonomi. Pendapat seperti ini lahir
karena Jepang tidak dilibatkan dalam hal know how, skill, desain, inovasi atau pengembangan
lebih lanjut tentang teknologi tersebut. Perusahaan kecil dan menengah di Indonesia lebih
dianggap sebagai end consumer atau end user saja dari teknologi Jepang tersebut. Memang
harus diakui, teknologi Jepang telah berkontribusi banyak dalam kegiatan perekonomian di
Indonesia, tetapi yang menjadi masalah di sini adalah tidak terciptanya industrialisasi yang hebat
dari transfer teknologi Jepang ini. Banyak yang beranggapan bahwa teknologi Jepang lebih
cenderung menghasilkan operator yang tergantung pada teknologi tersebut daripada
menghasilkan Innovator yang mampu menciptakan teknologi setelah melewati proses transfer
teknologi yang benar. Bisa dilihat di sini bahwa kebanyakan perusahaan kecil dan menengah
Indonesia tidak mampu membuat barang yang benar-benar kompetitif dan tidak mampu
menciptakan teknologi alternatif. Dimana letak masalahnya? Sederhana saja, masalahnya
terletak pada kemauan. Kemauan untuk melakukan proses transfer teknologi yang benar
tersebut. Perusahaan kecil dan menengah di Indonesia harus melakukan suatu terobosan agar
mampu menggunakan informasi dan know how yang didapat dari teknologi tersebut sehingga
akan mampu juga memilih, melakukan adaptasi, utilisasi, inovasi, dan pada akhirnya akan
menciptakan dan mengembangkan teknologi itu tersendiri.

43
Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia
INOVASI Vol.11/XX/Juli 2008

Bagaimana dengan transfer teknologi kepada orang Indonesia yang bekerja pada perusahaan
Jepang di Indonesia? Rata-rata perusahaan Jepang di Indonesia menempatkan beberapa orang
Jepang pada posisi manajemen kunci. Disamping direktur yang pada umumnya masih dipegang
oleh orang Jepang, ada beberapa posisi manajer yang masih dipegang oleh orang Jepang.
Kebutuhan akan transfer teknologi di perusahaan Jepang ini sudah tidak bisa ditahan lagi.
Sudah ada suatu keberanian dari pihak Jepang untuk memberikan posisi kunci kepada orang
Indonesia yang sebelumnya dipegang oleh orang Jepang. Hal ini masuk akal mengingat begitu
besarnya biaya yang harus dikeluarkan dengan mempekerjakan orang Jepang. Bahkan posisi
Direktur sudah mulai diberikan kepada kepada orang Indonesia. Walaupun kelihatannya agak
terlambat, tetapi sudah cukup memperlihatkan adanya keinginan dari pihak Jepang untuk segera
melakukan transfer teknologi kepada orang Indonesia yang bekerja di perusahaan Jepang
tersebut. Bentuk transfer teknologi di sini seperti manajemen teknologi, manajemen kualitas,
manajemen produktifitas, dan lain sebagainya.

Kendala yang dihadapi selama ini dengan staf manajemen Jepang adalah terletak pada faktor
bahasa dan budaya. Begitu juga dengan kemampuan staff Jepang dalam hal manajemen yang
kurang, yang lebih kuat pada teknikalnya saja. Hal ini disebabkan bahwa kebanyakan posisi
manajemen yang dipegang oleh orang Jepang ini ditangani oleh orang Jepang yang di Jepang
sendiri (mungkin) belum mencapai posisi Manajer, rata-rata mereka sudah melewati masa
produktif kerja atau sudah tua dan (mungkin) bukan dari lulusan perguruan tinggi. Faktor
perbedaan budaya juga tidak bisa dianggap remeh dalam hal ini. Dari beberapa masalah di atas
menyebabkan sering terjadinya salah komunikasi, salah persepsi, dan mungkin juga menjadi
salah instruksi. Rata-rata perusahaan Jepang lebih memilih untuk mempekerjakan lulusan D3
dan S1 Fresh Graduate yang akan dipersiapkan untuk mengisi posisi yang lebih tinggi, seperti
menjadi Supervisor, Assistant Manager, dan juga Engineer. Inilah yang menjadi masalah dalam
hal transfer teknologinya, dari pihak Jepang yang dengan stafnya dengan kualifikasi seperti yang
sudah dijelaskan di atas berhadapan dengan fresh graduate yang haus akan ilmu dan
pengalaman kerja. Transfer teknologi yang tidak sesuai dengan prosesnya mengakibatkan tidak
sedikit fresh graduate tersebut yang frustasi dan pada akhirnya mengundurkan diri setelah
mendapatkan pekerjaan di tempat lain. Tingginya tingkat turn over untuk fresh graduate pada
perusahaan Jepang ini sangat bertolak belakang sekali dengan di Jepang yang menganut
paham kerja untuk seumur hidup pada satu perusahaan. Inilah salah satu kendala dalam
agenda transfer teknologi antara staff Jepang dan staf lokal. Transfer teknologi berjalan tidak
efektif karena prosesnya yang sering terputus yang disebabkan oleh gonta-ganti orang karena
masa kerja yang singkat pada suatu perusahaan. Segalanya menjadi serba tanggung dan tidak
matang! Terlepas dari motivasi orang yang beragam untuk pindah kerja dan susah untuk ditebak,
masalah ini cukup disayangkan.

Sekarang mari kita bicara transfer teknologi yang sederhana saja dulu, tidak usah yang terlalu
tinggi atau rumit. Mari kita libatkan sedikit tentang hal-hal yang popular, seperti 5S (Seiri, Seiton,
Seiso, Seiketsu, Shitsuke) yang terkenal ampuh untuk menciptakan kebersihan, kerapian,
kenyamanan, dan efisiensi di tempat kerja. Begitu juga dengan Kaizen atau bahasa Inggrisnya
Continuous Improvement yang terkenal mampu membangkitkan semangat untuk selalu
meningkatkan kualitas dan efisiensi biaya produksi terus menerus. Ada lagi yang namanya TPM
atau Total Productive Maintenance, yang mampu meningkatkan kesadaran dan kepedulian dari
Operator mesin produksi untuk selalu menjaga kondisi mesin dengan “self maintenance” agar
mesin tetap prima sehingga mampu menghasilkan produk sesuai standar kualitas yang ada
dengan produktifitas yang tinggi. Untuk masalah kualitas, ada juga namanya QCC (Quality
Control Circle) yaitu sistem pengontrolan kualitas yang selalu mencari secara detail akar
permasalahan yang ada. Sistem ini telah dikembangkan menjadi Lean Manufacturing, Total
Quality Management, dan juga Six Sigma. Di perusahaan Jepang yang di Jepang, semua sistem
yang dijelaskan di atas adalah suatu hal yang biasa karena sudah menjadi suatu budaya kerja
sehari-hari. Bagaimana dengan di Indonesia? Apakah hal yang di atas juga sudah menjadi suatu
budaya kerja? Walaupun hal tersebut kelihatannya mudah, tetapi sangat sulit sekali diterapkan
di Indonesia, termasuk juga pada perusahaan Jepang sekalipun. Kalaupun ada yang
menjalankan, belum tentu benar-benar menjalaninya menjadi suatu budaya, lebih banyak
dijalankan dengan merasa sebagai beban. Jadi, sungguh amat disayangkan, kerjasama yang

44
Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia
INOVASI Vol.11/XX/Juli 2008

sudah 50 tahun ini, transfer teknologi yang sederhana inipun juga masih sulit untuk dilakukan,
apalagi untuk yang rumit-rumit. Jika hal ini saja belum bisa untuk direrapkan, jangan berharap
banyak dengan teknologi transfer terjadi dengan mulus. Jadi, masalahnya ada dimana? Masalah
utamanya ada di kita, mental orang Indonesia!

KESIMPULAN
Dari uraian di atas, maka Indonesia seharusnya tidak perlu cengeng dan merengek-rengek
seperti anak kecil kepada Jepang agar Jepang dengan senang hati memberikan semua
teknologinya kepada Indonesia. Kata kunci untuk teknologi transfer ini adalah terletak pada
semangat kreatifitas, kepedulian, ketekunan, dan kedisiplinan yang tinggi yang telah menjadi
suatu budaya kerja sehari-hari, sebagaimana yang diperlihatkan dan dibuktikan oleh Jepang.
Kebutuhan dan kemampuan akan transfer teknologi mengharuskan Indonesia untuk melakukan
sesuatu perubahan yang mendasar dalam menghadapi tekanan kompetisi internasional,
khususnya pada sektor industri manufaktur dalam menghadapi globalisasi ekonomi.

45
Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia
INOVASI Vol.11/XX/Juli 2008
IPTEK

POTENSI KERJASAMA INDONESIA - JEPANG DI SEKTOR ENERGI


KHUSUSNYA PENGEMBANGAN INDUSTRI PHOTOVOLTAIC

Erkata Yandri
Researcher: Hi Tech Research Centre – Solar Energy Research Group
Dept. Vehicle System Engineering - Faculty of Creative Engineering
Kanagawa Institute of Technology, Atsugi – Japan
E-mail: yandri@ctr.kanagawa-it.ac.jp

Abstract
Jepang adalah negara yang minim sumber daya alam seperti energi, tetapi dengan kekuatan
ekonomi dan didukung oleh ketangguhan manusianya, dan dengan penguasaan teknologi,
Jepang dapat memposisikan diri sebagai negara maju. Sementara, Indonesia adalah negara
kaya sumber daya alam, tetapi masih belum mampu mengelolanya dengan teknologi dan tekad
yang sebaik yang dimiliki Jepang. Hubungan persahabatan Indonesia - Jepang yang sudah
berjalan selama 50 tahun ini, bisa saling menguatkan, saling menguntungkan, dan diharapkan
akan mendorong kesejahteraan kedua belah pihak. Bagi Indonesia, persahabatan ini diharapkan
dapat memacu percepatan pembangunan bangsa. Terfokusnya semua negara di dunia dengan
efek pemanasan global yang disebabkan oleh emisi gas yang dihasilkan dari pembakaran fossil
fuel mengharuskan Jepang untuk menurunkan emisi karbonnya sesuai dengan kesepakatan
Kyoto Protocol, maka hal ini bisa menjadi titik arah penguatan kerjasama kedua negara di sektor
energi, khususnya Renewable Energy (RE) dengan fokus kepada pengembangan industri
Photovoltaic (PV). Penguasaan teknologi RE oleh Jepang dapat dimanfaatkan oleh kedua
negara untuk menciptakan berbagai peluang seperti terbukanya peluang kerja, ketersediaan
energi, dan penguasaan teknologi masa depan

1. Pendahuluan
1.1. Babak Baru Perjanjian Kerjasama Indonesia Jepang
Hubungan persahabatan Indonesia – Jepang memasuki usia ke 50 pada tahun 2008. Dalam
hubungan yang panjang tersebut banyak kemajuan yang telah dicapai dalam berbagai bidang
oleh kedua negara terutama di bidang ekonomi, perdagangan, industri dan teknologi. Sebagai
salah satu negara industri dan manufaktur yang maju, Jepang sangat terkenal dengan sistem
perindustrian yang berkesinambungan dan saling menunjang dari hulu sampai ke hilir, seperti
industri kimia dan industri baja, yang menunjang keberadaan industri kendaraan bermotor,
industri elektronika, industri tekstil, industri permesinan (untuk pertanian, perikanan), dan lain
sebagainya. Sebagai salah satu strategi penguasaan pasar, Jepang sudah lama melebarkan
sayap industrinya berupa investasi ke luar negeri. Salah salah satu negara yang dipilih adalah
Indonesia. Ada beberapa pertimbangan mengapa Indonesia terpilih sebagai mitra investasi dan
industri, yaitu karena upah tenaga kerja yang murah, adanya dukungan politik dari pemerintahan
yang berkuasa, daya serap pasar yang besar dengan potensi ekonomi Indonesia dan negara
sekitarnya, juga tersedianya energi sebagai penggerak mesin-mesin industri tersebut.
Pada tanggal 20 Agustus 2007, bertempat di Jakarta, Presiden Republik Indonesia, Susilo
Bambang Yudhoyono dan Perdana Menteri Jepang waktu itu, Shinzo Abe, telah menanda-
tangani sebuah perjanjian yaitu, Japan – Indonesia Economic Partnership Agreement, yang
disingkat JIEPA. Perjanjian ini memperkukuh kerjasama Indonesia – Jepang yang sudah terjalin
sejak tahun 1958. Perjanjian ini mencakup hampir segala bidang, seperti sektor industri
manufaktur, pertanian/kehutanan/perikanan, promosi perdagangan dan investasi,
pengembangan sumber daya manusia, pariwisata, jasa keuangan, pemerintahan, dan
energi/sumber daya alam.
Khusus untuk kerjasama di sektor industri manufaktur akan diimplementasikan di bawah
program “Initiative for Manufacturing Industry Development Center” yang meliputi: Studi
dasar (yang meliputi permetalan, teknik pencetakan, teknik pengelasan, suku cadang otomotif,
produk baja, tekstil, petrokimia, non logam, dll), bantuan tenaga ahli (di sektor teknik pencetakan,

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia 46
INOVASI Vol.11/XX/Juli 2008

energi konservasi, suku cadang otomotif), pelatihan (di sektor teknik pencetakan, suku cadang
otomotif, peralatan elektronika, tekstil), dan seminar/praktek (di sektor teknik pencetakan, energi
konservasi, produk baja, tekstil). Khusus di sektor energi dan sumber daya alam, kerjasama
akan dititikberatkan pada pengembangan energi panas bumi di Indonesia, kerjasama proyek
pada pengembangan dan pelatihan untuk pemantauan power plant yang berwawasan
lingkungan, formulasi studi untuk energi konservasi, proyek pengembangan teknologi
penambangan batubara, pendataan dan evaluasi penambangan batubara bawah tanah di
Indonesia, proyek pendidikan dan pelatihan pada manajemen energi, pengembangan pencairan
batubara di Indonesia, pengembangan peningkatan kualitas batubara muda di Indonesia, dan
perubahan batubara menjadi gas methan di Indonesia [8].
Kerjasama di sektor industri manufaktur dan energi menjadi fokus utama bagi Jepang. Alasan
mengapa Jepang lebih tertarik kepada sektor ini sebenarnya sudah bisa ditebak. Salah satu
alasannya adalah keperluan timbal balik antara kedua belah negara, yaitu bahwa industri
manufaktur sudah lebih serius digarap oleh Jepang dan membutuhkan jaminan ketersediaan
pasokan bahan baku untuk industri tersebut, seperti batubara dan gas. Pihak Indonesia terbantu
pula dengan saling berbagi teknologi manufaktur. Sudah bisa ditebak juga tujuan lain untuk
ekspansi bisnis pemasaran mesin-mesin pembangkit energi Jepang ke Indonesia.

Khusus untuk kerjasama sektor energi, tampaknya Jepang lebih fokus untuk mengembangkan
potensi batubara yang masih tersimpan sebanyak 5,476 juta ton di perut bumi Indonesia [3] dan
panas bumi sebesar 27 GW [1], walaupun potensi dari pengembangan Renewable Energy
lainnya tidak kalah penting, seperti yang terlihat pada Tabel 1 yaitu; Tenaga Air (Hydropower)
76.17 GW, Biomassa 49.81 GW, Tenaga Angin (Wind Power) dengan laju rata-rata 3-6
meter/detik, dan Tenaga Surya (Photovoltaic) dengan rata-rata radiasi matahari sebesar 4.8
2
kWh/m -hari. Potensi Tenaga Angin di Indonesia tidak terlalu besar dan itupun hanya terdapat di
beberapa pesisir pantai saja, tetapi potensi Tenaga Surya sangatlah besar karena posisi
Indonesia yang teletak di daerah khatulistiwa. Dalam hal pengembangan RE, Jepang bisa
dikategorikan sebagai negara yang sudah maju dalam semua teknologi RE yang tidak kalah
dengan negara maju lainnya seperti Jerman dan Amerika Serikat.

Table 1. Potensi Pengembangan Renewable Energy di Indonesia [1]

Jenis Potensi Kapasitas Terpasang


Hydropower 76.17 GW 4,284 MW
Geothermal 27.00 GW 807.00 MW
Biomass 49.81 GW 445.00 MW
Wind 3-6 m/detik 0.6 MW
2
Solar 4.8 kWh/m -hari 8.00 MW

1.2. Strategi Jepang dalam menghadapi situasi energi dunia


Menurut data laporan yang dikeluarkan oleh IEA [6], pada tahun 2005, jumlah penduduk Jepang
hampir setengahnya dari penduduk Indonesia, yaitu sekitar 127.76 juta jiwa sedangkan
Indonesia 220.56 juta jiwa, tetapi dari segi GDP, Indonesia hanya mencapai 207.74 juta/kapita
sedangkan Jepang 4.999 juta/kapita. Jepang hanya mampu menghasilkan energi sebesar 99.77
juta ton setara minyak sedangkan Indonesia menghasilkan energi sebesar 263.39 juta ton setara
minyak, yang dengan kondisi ini Indonesia masih surplus energi sebesar 83.5 juta ton
sedangkan Jepang sangat jauh kekurangan energi sebesar 438.98 juta ton setara minyak.
Berdasarkan jenis energi fossil, Jepang sangat tergantung sekali dengan minyak bumi yang
mencapai 58%, disusul batubara 25% dan gas alam 17%, sedangkan Indonesia tergantung
sebanyak 25% kepada minyak bumi, 43% untuk batu bara, dan 32% untuk gas alam, seperti
yang terlihat pada Tabel 2.
Pada Tabel 3 terlihat bahwa Indonesia sudah mulai mengimpor minyak bumi karena jumlah
konsumsi minyak bumi Indonesia melebihi jumlah yang bisa dihasilkannya. Untuk gas alam,
Indonesia merupakan penghasil peringkat ke 7 dan untuk batubara peringkat ke 2. Jepang
adalah pengimpor minyak bumi kedua terbesar setelah Amerika Serikat, yaitu sekitar 9% dari
total impor minyak bumi dunia, menempati posisi ketiga untuk gas alam sebesar 10% dan posisi
pertama untuk impor batubara sebesar 22% [6].

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia 47
INOVASI Vol.11/XX/Juli 2008

Table 2. Perbandingan Indikator Energi Indonesia dan Jepang, 2005 [6]

Indikator Energi Unit Indonesia Jepang


Populasi Million 220.56 127.76
GDP billions 2000$ 207.74 4,994.13
Produksi Energi Mtoe 263.39 99.77
Import Energi Net Mtoe (83.50) 438.98
Total Kons. Energi Primer Mtoe 179.51 530.46
Konsumsi Energi Listrik TWh 112.33 1,051.90
Emisi Karbon Dioksida (C02) Mt of CO2 340.98 1,214.19

Table 3. Perbandingan Konsumsi Energi Indonesia dan Jepang, 2005 [6]


15 15
Jenis Konsumsi (10 BTU) Produksi (10 BTU)
Energi Indonesia Japan Indonesia Japan
Minyak Bumi 2.62 51% 10.88 58% 2.23 25% 0.014 6%
Batubara 1.056 21% 4.596 25% 3.9 43% 0 0%
Gas Alam 1.44 28% 3.22 17% 2.841 32% 0.203 94%
Total 5.116 100% 18.696 100% 8.971 100% 0.217 100%

Sebagai salah satu negara industri maju yang berpenduduk cukup padat, tetapi memiliki sumber
daya energi sangat terbatas, sehingga sangat tergantung dengan pasokan energi dari negara
lain, Jepang selalu diliputi kecemasan jika terjadi krisis energi dunia. Untuk aspek energi, Jepang
memfokuskan kepada 3 pilar kebijakan energi yang disebut dengan “3E”, yaitu: Economic
Growth – yaitu memastikan pertumbuhan ekonomi Jepang, Energi Security – yaitu memastikan
keamaman ketersediaan energi, dan Environmental Protection – yaitu perlindungan terhadap
lingkungan untuk menanggapi isu pemanasan global yang disebabkan oleh pembakaran energi
fosil. Untuk mewujudkannya ada empat hal yang sedang dilakukan Jepang, yaitu: memperkuat
pengukuran konservasi energi, mempromosikan dan memperkenalkan energi baru,
mempromosikan pengembangan energi nuklir, dan perluasan pemakaian gas alam. Walaupun
sudah banyak yang dicapai Jepang dalam hal tersebut, masalah energi masih tetap disadari
sebagai hal yang serius di masa datang, sehingga memaksa Jepang untuk fokus dengan Energi
Security, Energi Sustainability dan Energi Stability.
Kementerian Lingkungan Jepang pada bulan Oktober 2006 mengeluarkan pernyataan tentang
angka emisi karbon yang telah meningkat sebesar 8.1% jika dibandingkan pada tahun 1990
sebagai tahun acuan Jepang untuk Kyoto Protocol yang mengharuskannya untuk menurunkan
emisi karbon sebesar 6%, yang terbagi atas 0.6% untuk pengurangan dari domestik, 3.8% dari
penyerapan oleh hutan, dan 1.6% dari pembelian Certificate Emission Reduction atau CER.
Proyeksi suplai dan permintaan energi Jepang sampai tahun 2030 yang berhubungan dengan
emisi terbagi atas 4 skenario, yaitu; 1). Skenario Acuan: adalah bisnis berjalan seperti biasanya
dengan tanpa adanya terobosan teknologi yang berarti, 2). Skenario dengan pertimbangan
adanya kemajuan pada teknologi energi: yaitu adanya kemajuan teknologi cukup berarti yang
dapat dipakai secara luas yang dapat dibagi atas dua hal yaitu kemajauan pada konservasi
energi dan kemajuan energi baru, 3). Skenario pengembangan energi nuklir, yaitu: adanya
peningkatan suplai energi nuklir yang dapat terdiri dari dua hal yaitu kasus nuklir tinggi dengan
beroperasinya 16 PLTN baru dan kasus nuklir rendah dengan 7 PLTN baru, 4). Skenario dengan
pertimbangan faktor luar: yaitu memanfaatkan pertumbuhan ekonomi dan harga minyak dunia
sebagai dasar analisa dengan beberapa sub analisa yaitu kasus pertumbuhan tinggi dan
pertumbuhan rendah, dan harga minyak tinggi dan harga minyak rendah [7].
2. Permasalahan
Dengan potensi teknologi RE yang dimiliki Jepang saat ini, khususnya kemajuan dalam bidang
PV, didukung dengan modal pengalaman kerja sama yang sudah berlangsung lama antara
Indonesia – Jepang di sektor industri manufaktur, kemudian adanya keharusan Jepang untuk

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia 48
INOVASI Vol.11/XX/Juli 2008

menurunkan emisi karbonnya, maka kedua negara mempunyai potensi yang sangat besar pada
pengembangan industri PV. Pengembangan industri PV justru luput dari fokus pengembangan
kerjasama di kedua negara sebagaimana tidak tertuangnya poin ini di dalam isi perjanjian JIEPA
tersebut. Tulisan ini akan membahas perkiraan alasan tidak termasuknya pengembangan
industry PV dalam JIEPA, potensi kedua negara dalam hal pengembangan industri PV, yang
akan difokuskan kepada potensi pengembangan industri PV di Indonesia, manfaat yang akan
didapat, khususnya dalam hal ketersediaan lapangan kerja dan juga jaminan ketersediaan
bahan baku murah untuk pengembangan industri PV.

3. Pembahasan
3.1. Kemajuan Industri PV Jepang
Tulang punggung dari industri PV di Jepang didukung oleh kemajuan industri dalam bidang R&D.
Saat ini, sudah ada 13 perusahaan yang berkecimpung di dalam industri PV. Seperti Sharp,
Sanyo, Kyocera, Mitsubishi, Kaneka dan lainnya. Kemajuan industri PV Jepang didukung oleh
berkembangnya pasar di dalam negeri sendiri dengan meningkatnya permintaan PV di sektor
perumahan. Pertumbuhan pasar dan industri PV memicu pertumbuhan industri pendukung
seperti industri material silicon, industri ingot dan waver silicon, inverter, dan frame aluminium
untuk modul PV.

Grafik.1a.Produksi PV Dunia [4] Grafik.1.b. Produsen PV Jepang 2005 [9]


Jepang adalah salah satu negara yang paling sukses sebagai produsen, konsumen, pengekspor
PV. Pada tahun 2005, Jepang mampu menghasilkan PV sebanyak 635 MWp, atau sekitar 45%
dari total produksi dunia. Dari total produksi tersebut, Sharp menguasai produksi sebesar 46%,
disusul oleh Kyocera 17%, Sanyo 15%, Mitsubishi 12%, Koneka 3%, dan beberapa produsen
kecil lainnya digabung menjadi 7% [4]. Dibandingkan dengan total produksi PV dunia, maka
Sharp mempunyai kontribusi sebesar 24.3%, Kyocera 8.1%, Sanyo 7.1%, Mitsubishi 5.7% [9].
Ada beberapa alasan mengapa Jepang sangat maju dalam industri PV ini, yaitu, kebijaksanaan
pemerintahan yang agresif dan kemampuan melihat peluang jauh ke depan untuk
mempromosikan PV untuk memenuhi Kyoto Protocol, kolaborasi R&D yang ketat antara industri,
pemerintahan, dan universitas, pemanfaatan PV yang mayoritas untuk ekspor menyebabkan
biaya PV menjadi lebih murah di Jepang. Pemerintahan Jepang menargetkan untuk
meghasilkan energi listrik sebesar 10% dari PV hingga tahun 2030. Ini adalah salah satu solusi
bagi Jepang yang terikat dengan Kyoto Protocol untuk menurunkan emisi karbonnya yang
banyak berasal dari pemakaian energi fosil.
Penjelasan lebih jelas tentang sejarah, fokus produk PV, kapasitas produksi, dan lainnya dari
perusahaan-perusahaan Jepang yang bergerak dalam industri PV adalah [5]:
FUJI ELECTRIC: Fuji adalah salah satu perusahaan yang sudah mengembangkan solar cell
pada lapisan kaca (glass substate). Pada tahun 2004, Fuji Electric System (FES) memasuki
pasar PV dengan modul Amorphous Silicon-nya yang dirancang untuk instalasi atap. Pada
tahun 2005, FES memulai produksi Amorphous Silicon PV pada lapisan plastic (substate
plastik).
KANEKA: Kaneka solar division adalah perusahaan terbesar yang menghasilkan PV pada
lapisan tipis (thin film). Kaneka yang berdiri tahun 1949 pada awalnya bergerak di bidang industri

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia 49
INOVASI Vol.11/XX/Juli 2008

kimia dan memulai penelitian mengenai PV sejak 1980 dan produksi massal sejak awal tahun
2000 sebesar 20 MW dan telah mencapai 50 MW pada tahun 2005. Kaneka juga memproduksi
hybrid PV cells (a-Si dan x-Si) dan PV cells transparan.
KYOCERA: Kyocera adalah penghasil PV modul terbesar kedua setelah Sharp. Produksinya
pada tahun 2004 sebesar 105 MWp dan 240 MWp pada 2005. Perusahaan ini memulai
penelitian tentang PV cells sejak tahun 1975. Kyocera mempunyai pabrik assembly modul PV di
China dengan 20 MWp produksi.
MITSUBISHI: Mitsubishi melahirkan dua perusahaan untuk PV. Perusahaan pertama yaitu
Mitsubishi Heavy Industries (MHI) yang menghasilkan Amorphous PV modul yang pada tahun
2006 mencapai produksi 25 MWp. Perusahaan kedua yaitu Mitsubishi Electric Corporation yang
menghasilkan Crystalline PV modul yang mampu menghasilkan 90 MWp modul pada tahun
2004 dan pabrik berikutnya mampu berproduksi sebesar 135 MWp pada tahun 2005.
SHARP: Sharp corporation adalah penghasil PV cell yang terbesar dan tercepat di dunia yang
menghasilkan Mono-chrystalline, Poly-chrystalline, dan saat ini Amourphous modul, dengan
produksi 315 MWp pada tahun 2004 dan 500 MWp pada tahun 2005. SHARP memperluas
produksi assembly dengan membuka pabrik di Tennsessee, USA, berkapasitas sebesar 20
MWp modul.
SANYO: Sanyo adalah salah satu perusahaan tertua penghasil PV yang mengembangkan
Amorphous Silicon sejak 1975, yang mempunyai kapasitas produksi 60 MWp dengan teknologi
heterojunction with intrinsic thin layer, hybrid amorphous silicon, monocrystalline silicon PV
modul, dengan efisiensi yang mampu mencapai 19,5%.

3.2. Menciptakan Peluang Industri PV di Indonesia


Ada dua permasalahan yang perlu dipikirkan oleh Pemerintah Indonesia agar mampu
mengembangkan industri PV dengan mengajak Jepang untuk berinvestasi di Indonesia.
Masalah yang pertama terletak pada Indonesia sendiri yaitu mampukah menyusun kebijakan
energi listrik masa depan Indonesia yang mendukung pemanfaatan RE, termasuk pemanfaatan
PV sebagai penghasil energi listrik, sehingga akan menciptakan pasar tersendiri di Indonesia
dan sisanya bisa untuk diekspor. Permasalahan kedua terletak pada pihak Jepang yaitu
bagaimana menghasilkan produk PV yang lebih murah dengan kualitas konversi energi yang
tinggi yang mampu menghasilkan energi listrik dengan biaya yang dapat bersaing dengan jenis
energi listrik lainnya.
Ada dua contoh berkaitan dengan kebijakan energi yang dapat diambil sebagai pelajaran
berharga dalam mengembangkan industri PV, yaitu pengalaman Jepang dan Jerman yang tidak
lepas dari dukungan kebijaksanaan yang dikeluarkan oleh pemerintahannya. Pada pertengahan
tahun 1990, Kementerian Industri Jepang (METI) memulai proyek ambisius jangka panjang yang
mengingkankan Jepang menjadi market leader dalam industri PV. Sistemnya adalah dengan
adanya pendanaan sebagian dari pemerintah sebagai insentif agar menarik minat masyarakat
untuk mempunyai unit PV. Program ini terbukti sangat sukses yang terlihat dengan
meningkatnya jumlah instalasi PV dan produksi unit PV di Jepang. Demikian juga halnya dengan
Jerman yang pada tahun 1999 melancarkan 100.000 roof top program yang merupakan program
insenstif yang dibiayai oleh sebuah lembaga pendanaan Jerman (KFW). Program ini juga
terbukti berhasil dengan meningkatnya instalasi PV dan produksi PV di Jerman.
Indonesia harus melakukan sebuah terobosan berupa kebijakan pasar PV. Potensi pasar PV di
Indonesia bisa diciptakan dengan meniru program insentif seperti yang dicontohkan oleh Jepang
dan Jerman. Program insentif ini bisa diarahkan untuk semua sektor, baik industri, rumah tangga,
maupun bisnis (hotel, pusat perbelanjaan,dll) yang kesemuanya dapat berbentuk bangunan
yang bisa diarahkan dengan sistem terkoneksi dengan jaringan daya (grid connected system).
Sistem ini layaknya seperti Power Plant mini yang mampu menghasilkan energi listrik di saat
penyinaran matahari berlangsung cukup di siang hari.
Permasalahan utama dari industri RE umumnya dan industri PV khususnya adalah pada
masalah biaya harga energi akhir yang dihasilkannya yang masih kalah bersaing dengan hanya
membeli energi langsung dari perusahaan utility yang menghasilkan energi listrik dari bahan
bakar non RE, seperti minyak bumi, batubara, gas alam, dan lain sebagainya. Biaya ini juga

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia 50
INOVASI Vol.11/XX/Juli 2008

tergantung dari biaya instalasi unit PV dan ketersediaan radiasi matahari yang akan dikonversi
oleh PV menjadi energi listrik. Radiasi matahari adalah sesuatu yang tidak bisa diperbaharui
ketersediaanya, sehingga tindakan yang perlu dilakukan adalah menekan biaya instalasi unit
PV.

Biaya instalasi unit PV mencakup 70% untuk modul, 15% untuk inverter, dan sekitar 15% untuk
unit pendukung lainnya. Pengembangan industri PV mencakup industri yang menyediakan
bahan baku silicon, industri yang menghasilkan PV Cell, dan industri yang menghasilkan modul
PV. Industri pendukung berpotensi sekali dikembangkan yaitu inverter dan industri alat
pendukung lainnya seperti net metering, dll. Tentu saja, biaya instalasi per unit PV berpotensi
diturunkan jika segala ketersedian material yang dibutuhkan dan industri PV nya terletak dalam
lokasi yang berdekatan dan saling mendukung. Tentu, akan lebih terasa sekali penurunan
biayanya jika investasi industri PV ini dalam satu rantai produksi secara keseluruhan, yaitu dari
industri penyediaan bahan silicon, industri PV cell, industri Inverter, dan industri pendukung
lainnya.

3.3. Potensi Penyedian Energi dan Pembukaan Lapangan Kerja Baru


Dengan skenario energi yang dibuat oleh Indonesia, termasuk pemanfaatan teknologi PV untuk
menghasilkan energi listrik, maka potensi radiasi sinar matahari di Indonesia yang sangat besar
2
sekitar 4.8 KWh/m .hari [1] akan sangat sayang jika tidak dimanfaatkan. Industri PV yang
dikembangkan di Indonesia, dengan dukungan kebijakan, tersedianya bahan baku dan sumber
daya manusia, dan pendukung lainnya, tentu akan membuat harga PV semakin murah,
khususnya bagi Indonesia sendiri. Yang harus dipikirkan selanjutnya adalah strategi yang
bertujuan untuk menekan harga pemakaian atau pembelian teknologi ini, sehingga terjangkau
oleh masyarakat awam atau dunia usaha. Strategi ini dapat berupa subsidi silang dengan
pemanfaatan dana bantuan internasional untuk pengembangan energi berwawasan lingkungan,
penjualan Certificate Emission Reduction (CER) dan lain sebagainya.

Tabel 4. Instalasi Tahunan dan Tersedianya Lapangan Kerja Baru di Dunia , 2003 – 2006 [1]

Instalasi Lapangan Kerja Baru Job/MWp


Tahun PV
(MWp) Produksi Retail/Inst. (MWp) Produksi Retail/Inst.
2003 594 8,144 17,451 594 8,144 17,451
2004 815 9,027 22,568 815 9,027 22,568
2005 1,397 9,733 29,199 1,397 9,733 29,199
2006 1,877 12,589 37,768 1,877 12,589 37,768

Pada Tabel 4, diketahui bahwa instalasi PV di dunia pada tahun 2006 mencapai 1,877 MWp,
mampu memberikan lapangan kerja baru sebanyak 3,974, dengan perincian lapangan kerja
baru sebanyak 12.589 produksi, 37,768 (26%) dari Retail dan Instalasi (65%), dan Maintenance
sebanyak 5,338 (9%). Dengan mengambil rata-rata dari tahun 2003 – 2006, memberikan
rata-rata sekitar 40 lapangan kerja baru untuk setiap MWp PV yang diinstalasi.

Tabel 5. Data Pelanggan, Daya Terpasang, dan Konsumsi Listrik PLN Tahun 2005 [2]

Item Unit Industri R. Tangga Bisnis Lain-lain Jumlah


Jumlah Pelanggan 882,508 1,455,884 32,174,485 46,476 34,559,3
Pelanggan 53
% 2.55% 4.2% 93.1% 0.1% 100%
Daya GW 12,961 25,006 9,321 3,429 50,717
Terpasang % 25.56% 49.3% 18.4% 6.8% 100%
Konsumsi MWh 42,448,356 41,184,286 17,022,837 6,376,748 107,032,228
Listrik % 39.66% 38.5% 15.9% 6.0% 100%

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia 51
INOVASI Vol.11/XX/Juli 2008

Tabel 5 menjelaskan data pelanggan, daya terpasang, dan konsumsi listrik PLN tahun 2005.
Pada tahun tersebut, jumlah pelanggan PLN mencapai 34,559,353 pelanggan yang terdiri atas
882,508 pelanggan sektor Industri (2.55%), sektor Rumah Tangga sebanyak 1,455,884
pelanggan, sektor bisnis sebanyak 32,174,884 (4.2%) pelanggan, dan lainnya sebesar 46,476
(0.1%) pelanggan. Semua kategori pelanggan tersebut adalah pasar yang potensial untuk PV
sistem. Pelanggan rumah tangga lebih cocok dengan modul 2 kWp PV system, sedangkan
pelanggang industri dan bisnis lebih cocok dengan modul 100 kWp PV system, seperti halnya di
Jerman dan di Jepang atau pasar PV dunia lainnya [4]. Dengan mengacu kepada data tahun
2005, jika seandainya, pemerintah menargetkan sebanyak 20% dari masing-masing sektor
selama 20 tahun untuk beralih menggunakan PV system pada bangunannya, yang berarti
masing-masing 1% per tahun, maka akan ada setiap tahunnya instalasi PV system sebanyak:
883 MWp untuk sektor Industri, 437 MWp untuk sektor Rumah Tangga, dan 32,174 MWp untuk
sektor Bisnis dengan total 33,494 MWp, yang mampu memberikan sebanyak 1,339,750
lapangan kerja baru.
Indonesia belum terlambat untuk memikirkan secara jauh ke depan penyediaan lapangan kerja
baru sebagai pengganti berkurangnya usaha penambangan minyak bumi di masa depan karena
semakin berkurangnya cadangan minyak bumi Indonesia, yang sekaligus akan berefek kepada
berkurangnya lapangan kerja di sektor pertambangan minyak bumi. Pengembangan industri PV
di Indonesia dapat menciptakan peluang lapangan kerja baru di Indonesia.

4. Kesimpulan
Jepang walaupun miskin sumber daya energi bisa membuktikan keperkasaan ekonomi dan
teknologinya yang mampu memberikan kesejahteraan yang setinggi-tingginya bagi rakyatnya.
Sementara itu, Indonesia dengan diberikan kekayaan alam yang melimpah ruah masih tertinggal
jauh dalam hal ekonomi dan kemajuan teknologi jika dibandingkan dengan Jepang, sehingga
masih banyak rakyat Indonesia yang hidup di bawah kesejahteraan, walaupun Indonesia sudah
menjalin kerjasama dengan Jepang setengah abad pada tahun 2008 ini. Dengan bermodalkan
kerjasama yang sudah berusia 50 tahun dalam pengembangan industri manufaktur, dan melihat
potensi pengembangan teknologi PV yang cukup besar di Indonesia, juga posisi Jepang sebagai
pemimpin dalam teknologi dan produksi PV di dunia, maka tidak ada alasan bagi Indonesia dan
Jepang untuk tidak mengembangkan industri PV di Indonesia.
Pengembangan industri PV di Indonesia mempunyai potensi untuk menyediakan energi listrik
nasional di masa depan sebagai pengganti berkurangnya produksi minyak bumi yang
diperkirakan akan terjadi pada tahun 2020 nanti. Disamping itu, pengembangan industri PV
berpotensi untuk memberikan lapangan kerja baru yang sangat besar, yaitu tersebar pada
bagian produksi, retail dan instalasi, dan pemeliharaan. Untuk mewujudkan semua ini,
pemerintah Indonesia harus mulai memikirkan skenario dan strategi yang tepat dalam mengajak
Jepang untuk berinvestasi di sektor industri PV ini.
Industri PV khususnya dan industri RE umumnya menjadi unik yaitu karena pasarnya timbul
dengan adanya rangsangan kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah. Apa yang dilakukan
Jerman dan Jepang yaitu dengan mengeluarkan kebijakan yang mendorong secara intensif
kepemilikan PV yang telah sukses mendongkrak perkembangan industri PV, merupakan model
yang dapat diterapkan di Indonesia. Kebijakan pajak emisi konsumsi energi fosil juga bisa
ditempuh yang tujuannya adalah membuat harga RE semakin kompetitif.
Segala permalasahan tersebut perlu segera dikaji oleh Indonesia. Tanpa adanya kebijakan yang
mendorong pemanfaatan teknologi PV, sangat mustahil bagi Indonesia untuk mengajak Jepang
untuk menanamkan investasi industri PV di Indonesia. Potensi besar ada di depan mata
Indonesia dan tinggal bagaimana meraih dan memanfaatkannya. Sudah saatnya gerakan
penghematan energi dari sumber tidak terbarukan dengan mengurangi pemakaian dan
mengurangi penjualan ke negara lain serta memberdayakan sumber energi terbarukan mulai
dikampanyekan di Indonesia.
Daftar Pustaka
[1] DJPEL, Direktorat Jenderal Pemanfaatan Energi Listrik, Dept. Pertambangan dan Energi –
RI, Blue Print Pengelolaan Energi Nasional 2005 -2025

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia 52
INOVASI Vol.11/XX/Juli 2008

[2] DJPEL, Direktorat Jenderal Pemanfaatan Energi Listrik, Dept. Pertambangan dan Energi –
RI, Statistik Ketenagalistrikan dan energy
www.djlpe.esdm.go.id/modules.php?mod=aplikasi_statistik&sub=statistik_tabel

[3] EIA, Energy International Administration, International Energy Annual 2005


www.eia.doe.gov/

[4] EPIA, European Photovoltaic Industry Association Report, Solar Generation – Solar
Electricity for over One Billion People and Two Million Jobs by 2020, September 2006

[5] Foster, R., Japan Photovoltaic Market Overview, Southwest Technology Development
Institute, New Mexico State University, USA, October 2005

[6] IEA, International EnergyAgency, Key Energy Statistic, 2007 www.iea.org

[7] METI, Ministry of Economy, Trade & Industry - Japan, “2030 Energi Supply and Demand
Projection”, 2005

[8] MOFA, Ministry of Foreign Affair – Japan, Joint Statement at the signing of the agreement
between Japan and Republic of Indonesia for an Economic Partnership
http://www.mofa.go.jp/region/asia-paci/indonesia/epa0708/joint.html

[9] Waldau, A.J., PV Status Report 2006 – Research, Solar Cell Production and Market
Implementation of Photovoltaics, August 2006

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia 53
INOVASI Vol.11/XX/Juli 2008
IPTEK

PROSPEK ENERGI DARI SEKAM PADI DENGAN


TEKNOLOGI FLUIDIZED BED COMBUSTION
I Nyoman Suprapta Winaya
Alumni Niigata University, Dosen Fakultas Teknik Mesin Universitas Udayana
E-mail: ns_winaya@yahoo.com

Disamping untuk mendapatkan sumber energi baru, usaha yang terus menerus dilakukan dalam
rangka mengurangi emisi CO2 guna mencegah terjadinya pemanasan global telah mendorong
penggunaan energi biomasa sebagai pengganti energi bahan bakar fosil seperti minyak bumi dan
batu bara. Bahan bakar biomasa merupakan energi paling awal yang dimanfaatkan manusia dan
dewasa ini menempati urutan keempat sebagai sumber energi yang menyediakan sekitar 14%
kebutuhan energi dunia.

Seperti halnya sekam padi, biomasa mengkonsumsi CO2 selama proses pertumbuhan dan
dalam jumlah yang sama akan dilepas selama proses konversi energi, sehingga biomasa dikenal
sebagai energi bebas CO2. Energi terbaharukan yang bersumber dari sekam padi telah lama
dilirik penggunaannya dan bahkan telah dikonversi menjadi listrik di beberapa negara seperti
China dan India. Salah satu alasan kenapa bahan bakar sekam padi masih jarang dipakai
sebagai sumber energi yaitu karena kekurang-cukupan informasi tentang karakteristik dan emisi
yang dihasilkannya. Artikel pendek ini berisikan bahasan singkat tentang prospek sekam padi
dijadikan energi dengan memakai teknologi fluidized bed combustion (FBC).

1. Energi potensial pada sekam padi


Sekam padi adalah salah satu sumber energi biomasa yang dipandang penting untuk
menanggulangi krisis energi belakangan ini khususnya di daerah pedesaan. Ketersediaan sekam
padi di hampir 75 negara di dunia diperkirakan sekitar 100 juta ton dengan energi potensial
9 1]
berkisar 1,2 x 10 GJ/tahun dan mempunyai nilai kalor rata-rata 15 MJ/kg . Indonesia sebagai
negara agraris mempunyai sekitar 60.000 mesin penggiling padi yang tersebar di seluruh daerah
dengan kisaran produksi sekam padi 15 juta ton per tahun. Untuk kapasitas besar, beberapa
mesin penggiling padi mampu memproduksi 10-20 ton sekam padi per hari.

Tidak seperti sumber bahan bakar fosil, ketersedian energi sekam padi tidak hanya jumlahnya
berlimpah tetapi juga merupakan energi terbaharukan. Beberapa sumber energi biomasa
mempunyai kendala akan besarnya biaya investasi untuk pengumpulan, transportasi dan
penyimpanan. Akan tetapi untuk energi sekam padi, biaya-biaya diatas relatif lebih kecil karena
lokasinya sudah terkonsentrasi pada pabrik-pabrik penggilingan padi. Jika suatu teknologi
tersedia, bahan bakar sekam padi ini akan bisa dikonversi menjadi energi thermal untuk
kebutuhan tenaga listrik di daerah pedesaan.

2. Sifat dan karakteristik sekam padi


Dibandingkan bahan bakar fosil, sifat dan karakteristik bahan bakar biomasa lebih kompleks
serta memerlukan persiapan dan pemrosesan yang lebih khusus. Sifat dan karakteristik meliputi
3
berat jenis yang kecil sekitar 122 kg/m , jumlah abu hasil pembakaran yang tinggi dengan
temperatur titik lebur abu yang rendah. Abu hasil pembakaran berkisar antara 16-23% dengan
2]
kandungan silika senbesar 95% . Titik lebur yang rendah disebabkan oleh kandungan alkali dan
alkalin yang relatif tinggi. Kandungan uap air (moisture) pada biomasa umumnya lebih tinggi
dibandingkan bahan bakar fosil, akan tetapi kandungan uap air pada sekam padi relatif sedikit

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia 54
INOVASI Vol.11/XX/Juli 2008

karena sekam padi merupakan kulit padi yang kering sisa proses penggilingan. Sekam padi
mempunyai panjang sekitar 8-10 mm dengan lebar 2-3 mm dan tebal 0,2 mm.

Karakteristik lain yang dimiliki bahan bakar sekam padi adalah kandungan zat volatil yang tinggi
(high-volatile matter) yaitu zat yang mudah menguap. Kandungan zat volatilnya berkisar antara
60-80% dimana bahan bakar fosil hanya mempunyai 20-30% untuk jenis batu bara medium.
Energi konversi yang dihasilkan lebih banyak berasal dari zat volatil ini dibandingkan dengan
3]
bara api (solid residue) biomasa .

Uap air adalah komponen zat volatil pertama yang muncul sesaat setelah temperatur mencapai
o o
100 C untuk rentang temperatur operasi sampai 900 C. Selanjutnya, komponen H2, CO, dan CO2
akan terbentuk bersamaan dengan formasi hidrokarbon dalam jumlah yang banyak seperti CH4
sampai tar. Biasanya, jelaga (soot) akan terbentuk selama proses divolitisasi dimana elemen N
dan S akan muncul dalam bentuk NH3, HCn, CH3CN, H2S, COS dan CS2. Kalau terjadi
ketidaksempurnaan pembakaran sebagai akibat cepatnya evolusi zat volatile akan
mengakibatkan deposisi tar, formasi dioxin di backpass dan atmosfir seperti NOx, CO, SO2 dan
4]
N2O .

3. Teknologi Fluidized Bed Combustion


Teknologi fluidized bed combustion (FBC) adalah salah satu teknologi terbaik untuk menkonversi
sekam padi menjadi listrik karena mempunyai keunggulan mengkonversi berbagai jenis bahan
bakar baik sampah, limbah, biomasa ataupun bahan bakar fosil berkalori rendah. FBC
o
mempunyai temperatur pengoperasian antara 800-900 C sehingga merupakan teknologi yang
ramah lingkungan. Teknologi ini telah diperkenalkan sejak abad keduapuluhan dan telah
diaplikasikan dalam banyak sektor industri dan pada tahun-tahun belakangan ini telah
diaplikasikan untuk mengkonversi biomasa menjadi energi. Efisiensi pembakaran yang lebih
tinggi bisa diperoleh dari teknologi FBC dibandingkan dengan sistem pembakaran konvensional
karena perpindahan panas yang sangat bagus di dalam sistem.

Pada proses pengkoversian energi dengan teknologi FBC, awalnya ruang bakar dipanasi secara
eksternal sampai mendekati temperatur operasi. Material hamparan (bed material) fluidisasi
yang lumrah dipakai untuk mengabsorbi panas adalah pasir silika. Pasir silika dan bara api bahan
bakar bercampur dan mengalami turbulensi di dalam ruang bakar sehingga keseragaman
temperatur sistem menjadi terjaga. Pada temperatur yang tinggi dengan media transfer panas
pasir silika akan mampu memberi garansi konversi energi yang cepat dengan kondisi temperatur
isothermal. Selanjutnya, dengan bidang kontak panas yang luas disertai turbulensi partikel
fluidisasi yang cepat menyebabkan FBC teknologi bisa diaplikasikan untuk mengkonversi segala
jenis bahan bakar bahkan dengan ukuran yang tidak seragam seperti bahan bakar sekam padi.
Gambar skematik FBC bisa dilihat pada gambar 1.

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia 55
INOVASI Vol.11/XX/Juli 2008

Gambar 1. Skematik diagram FBC untuk bahan bakar sekam padi


Kwalitas fluidisasi adalah faktor paling utama yang mempengaruhi efisiensi sistem FBC.
Umumnya, sekam padi sangat sulit difuidisasi mengingat bentuknya yang silindris, berupa butiran
dan berlapis. Beberapa penelitian untuk mengkontrol kwalitas fluidisasi telah dilakukan dengan
merubah kecepatan masuk fluidisasi pada limit tertentu sesuai dengan besarnya ukuran partikel
pentransfer panas yang digunakan.

4. Peningkatan performansi FBC sekam padi

Bila bahan bakar sekam padi dimasukkan pada ruang pembakaran FBC, evolusi zat volatil akan
terjadi sangat cepat. Ini dikarenakan oleh tingginya laju perpindahan panas oleh material
hamparan di dalam ruang bakar sehingga zat volatil hanya berevolusi di sekitar tempat
pemasukan bahan bakar (fuel feed point). Karena ketidakcukupan oksigen di bagian atas ruang
bakar (freeboard) maka pembakaran sempurna sering tidak terwujud. Formasi hidrokarbon
sering terjadi dan diantisipasi akan memunculkan dioksin pada gas buang. Evolusi volatil secara
lokal juga menyebabkan temperatur sangat tinggi di sembarang tempat pada ruang bakar dan
kondisi ini akan menyebabkan formasi NOx.

Keseragaman temperatur pada sistem pembakaran adalah hal yang sangat penting untuk
menjaga kestabilan pembakaran disamping berguna untuk mengurangi emisi dari polutan seperti
hidrokarbon dan NOx sebagai akibat hasil pembakaran yang tidak sempurna. Untuk mecapai hal
tersebut, usaha-usaha telah banyak dilakukan oleh beberapa peneliti seperti: menurunkan
temperatur operasi dan mengurangi kecepatan gas fluidisasi untuk memperkecil laju pemanasan
4]
selama pembakaran ; mengontrol volume pemasukan bahan bakar supaya fluktuasi evolusi zat
5]
volatil menjadi menurun ; memasang penyekat (baffle) di ruang atas reaktor agar pencampuran
6]
udara dengan zat volatil meningkat .

Cara lain untuk menghindari hal tersebut yaitu dengan menggunakan partikel yang berpori
seperti pasir alumina sebagai pengganti pasir silika yang biasa digunakan sebagai media partikel
7,8,9]
yang difluidisasi . Dengan menggunakan media berpori maka hidrokarbon akan tertangkap
pada pori-pori partikel seperti terlihat pada gambar 2.

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia 56
INOVASI Vol.11/XX/Juli 2008

Partikel berpori
HC

Pori

K arbon
deposit

Gambar 2. Hidrokarbon (HC) terperangkap di dalam pori sebagai karbon deposit

Karbon yang tertangkap akan terfluidisasi bersama material hamparan ke seluruh ruang reaktor
sehingga terjadi pencampuran yang baik yang menyebabkan formasi stoikimetrik dan temperatur
pengoperasian pada reaktor menjadi seragam. Hal ini akan mengakibatkan dioksin dan emisi
menjadi berkurang dan juga mampu meningkatkan konversi karbon menjadi energi sehinga
efisiensi sistem meningkat. Konversi karbon lebih banyak terjadi ketika pasir alumina MS yang
berpori dipakai sebagai material hamparan dibandingkan pasir silika QS seperti ditunjukkan pada
gambar 3.

10
Total C concentration [%]

QS
MS
0
0 40 80 120 160
Distance from left wall [mm]

Gambar 3. Perbandingan konversi karbon pada MS dengan QS

Keutamaan lain dari penggunaan partikel berpori adalah untuk menghindari


penggumpalan/aglomerasi antara abu hasil pembakaran dengan partikel pasir silika yang biasa
digunakan sebagai media pentransfer panas. Aglomerasi terjadi karena bahan bakar biomasa
mengandung alkalin yang bisa bersenyawa dengan silika membentuk ikatan yang kalium silikat.
Aglomerasi harus dihindari karena akan mengganggu fluidisasi dan bahkan pada kejadian paling
buruk akan menyebabkan sistem berhenti secara mendadak. Tabel 1 menunjukkan aglomerasi
tidak terjadi dan jumlah karbon yang terbakar lebih banyak bila menggunakan pasir alumina yang
8]
berpori MS dibandingkan dengan pasir silika QS .

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia 57
INOVASI Vol.11/XX/Juli 2008

Table 1. Total jumlah karbon yang terbakar dan aglomerasi yang terjadi

5. Kesimpulan

Karakteristik yang melemahkan bahan bakar sekam padi untuk dijadikan energi antara lain
tingginya kandungan zat yang mudah menguap dengan titik lebur abu hasil pembakaran yang
rendah. Hal ini akan berdampak pada performasi sistem seperti; tidak meratanya temperatur
pada ruang bakar dan terjadinya penggumpalan abu hasil pembakaran yang menyebabkan
kegagalan mesin yang sedang beroperasi. Teknologi FBC telah banyak diaplikasikan dan terbukti
sangat efektif untuk menkonversi biomasa, limbah dan sampah menjadi energi yang bersih dan
ramah lingkungan. FBC berbahan bakar sekam padi bisa ditingkatkan performansinya salah
satunya dengan menggunakan pasir alumina berpori yang berfungsi untuk meningkatkan jumlah
karbon yang terbakar sehingga efisiensi meningkat dan juga untuk menghindari aglomerasi.
Artikel ini diharapkan dapat memberikan tambahan masukan yang berharga akan kelayakan
sekam padi bila digunakan sebagai energi listrik.

Daftar Pustaka
[1] M. Fang, L. Yang, G. Chen, Z. Shi, Z. Luo, K. Cen, Experimental study on rice husk
combustion in a CFB. Fuel Processing Technology 85;2004:1273-82.

[2] E. Natarajan, A. Nordin, A.N. Rao, Overview of combustion and gasification of rice husk
in fluidized bed reactors. Biomass and Bioenergy 1998;14( 5-6):533-546.

[3] T. Ogada, J .Werther, Combustion characteristics of wet sludge in a fluidized bed:


release and combustion of the volatiles. Fuel 1996;75:617–626.

[4] N. Fujiwara, M. Yamamoto, T. Oku, K. Fujiwara, S. Ishii, CO reduction by mild fluidization


for municipal waste incinerator. In: Proc. of 1st SCEJ Symposium on Fluidization. Tokyo,
Japan: SCEJ; 1995.p.51-5.

[5] K. Koyama, M. Suyari, F. Suzuki, M. Nakajima, Combustion technology of municipal


fluidized bed technology. In: Proc. of 1st SCEJ Symposium on Fluidization. Tokyo,
Japan: SCEJ; 1995.p.56-63.

[6] T. Izumiya, K. Baba, J. Uetani, H. Hiura, M. Furuta, Experimental study of combustion


and gas flow at freeboard of fluidized combustion chamber for municipal waste. In: Proc.
of 3rd SCEJ Symposium on Fluidization. Nagoya, Japan: SCEJ; 1997.p.210-5.

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia 58
INOVASI Vol.11/XX/Juli 2008

[7] H.J. Franke, T. Shimizu, A. Nishio, H. Nishikawa, M. Inagaki, W. Ibashi, Improvement of


carbon burn-up during fluidized bed incineration of plastic by using porous bed materials.
Energy & Fuels 1999;13:773-7.

[8] T. Shimizu, T. Nemoto, H. Tsuboi, T. Shimoda and S. Ueno, Rice husk combustin in A
FBC using porous bed material, In: Proc of 18th”International Conference of FBC,
Canada 2005.

[9] I. N. S. Winaya, T. Shimizu, Y. Nonaka, K. Yamagiwa, Model of combustion and


dispersion of carbon-loaded solids prepared by capacitance effect during bubbling
fluidized bed combustion. Fuel 2007;article in press.

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia 59
INOVASI Vol.11/XX/Juli 2008
IPTEK
POTRET DAN HAMBATAN E-GOVERNMENT INDONESIA
Ali Rokhman
Jurusan Ilmu Administrasi Negara
Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto
E-mail: alirokhman@unsoed.ac.id

1. Pendahuluan

Sejak John Naisbitt mempublikasikan bukunya yang sangat monumental pada tahun 1982 yang
berjudul Megatrends 2000, teknologi informasi dan komunikasi sampai sekarang telah
menunjukkan perkembangan yang begitu cepat. Sebagian besar aspek kehidupan manusia
hampir pasti bersinggungan dengan teknologi informasi dan komunikasi (TIK), baik yang sifatnya
privat maupun publik. Karena itulah lahirlah transformasi kehidupan manusia yang serba
berbasis TIK.

E-government adalah salah satu bukti transformasi area kehidupan dalam sektor publik yang
diakibatkan oleh perkembangan teknologi informasi. Pelayanan publik yang diselenggarakan
oleh pemerintah seiring dengan semakin bertambahnya penetrasi internet, sebagai bagian dari
TIK, sekarang sangat mungkin meninggalkan prosedur lama yang terkesan kaku dan harus
berbasis tatap muka. Seperti yang dialami oleh salah seorang tentara Amerika ketika
memperpanjang Surat Ijin Mengemudi (SIM) sebagaimana termuat dalam bukunya David
Holmes di bawah ini:

An American soldier renewed his Virginia state driver’s license on Tuesday in December 1999.
No big deal---except that it was six o’clock in the morning and he completed the procedure in
seconds without leaving the army base where he was stationed, across three state boundaries in
i
Fort Benning, Georgia…etc..

Fenomena di atas menunjukkan bahwa dengan e-government masyarakat sebagai pengguna


pelayanan publik dapat menikmati pelayanan yang lebih baik karena pelayan dapat dilakukan
dengan lebih cepat dan mudah tanpa dibatasi oleh dimensi ruang dan waktu. Kantor pelayanan
publik buka selama 24 jam dan dapat diakses dari manapun. Pelayanan publik di Indonesia yang
telah banyak dinilai oleh banyak kalangan belum menunjukkan kinerja yang memuaskan
sangatlah mungkin diperbaharui melalui e-government. Apalagi dengan telah ditetapkannya
Undang-Undang No. 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), hal ini
menambah peluang bahwa transaksi pelayanan publik diperbolehkan melalui e-government.

2. Terminologi E-Goverment

Definisi tentang e-government telah banyak dikembangkan baik oleh kalangan praktisi maupun
akademisi sehingga definisi yang ada mengandung perspektif yang berbeda-beda. The World
Bank Group (2001) mendefinisikan E-government sebagai penggunaan teknologi informasi oleh
instansi pemerintah (seperti Wide Area Networks (WAN), internet, Mobile computing) yang dapat
digunakan untuk membangun hubungan dengan masyarakat, dunia usaha, dan instansi
ii
pemerintah lainnya . Sedangkan definisi lain mengatakan bahwa e-government adalah
penggunaan teknologi informasi untuk membuka pemerintah dan informasi pemerintah untuk
memungkinkan dinas-dinas pemerintah untuk berbagi informasi demi kemanfaatan publik, untuk
memungkinkan terjadinya transaksi secara online dan untuk mendorong pelaksanaan
iii
demokrasi . Selanjutnya variasi tentang definisi e-government dapat disajikan sebagai berikut:

 E-government applies concepts of electronic commerce (e.g. information and marketing


iv
through Web sites, selling to customers on-line) to government operations.
 Refers to the federal government’s use of information technologies (such as Wide Area
Networks, the Internet, and mobile computing) to exchange information and services
v
with citizens, businesses, and other arms of government.
 Government activities that take place by digital processes over a computer network

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia 60
INOVASI Vol.11/XX/Juli 2008

usually use the Internet, between the government and members of the public and
entities in the private sector, especially regulated entities. These activities generally
involve the electronic exchange of information to acquire or provide products or services,
to place or receive orders, to provide or obtain information, or to complete financial
transactions. The anticipated benefits of e-government include reduced operating costs
for government institutions and regulated entities, increased availability since
government services can be accessed from virtually any location, and convenience due
vi
to round-the-clock availability.
 It is the process of transforming government, so that the use of the internet and
vii
electronic processes are central to the way that government operates.
 Electronic government services over the Internet (e.g. application forms, driving licenses,
viii
etc.)
 The range of electronic services that enable transactions with the Government or
electronic voting or improved interactive communication between the Government and
ix
the citizen.
 The term (in all its uses) is generally agreed to derive from "electronic government"
which introduces the notion and practicalities of electronic technology into the various
x
dimensions and ramifications of government.

Dari berbagai definsi di atas sebenarnya dapat disarikan ke dalam kata yang lebih singkat yakni
xi
Bring the government service to the Web . Sedangkan definisi formal dari pemerintah Republik
Indonesia, sebagaimana diatur oleh Depkominfo adalah pelayanan publik yang diselenggarakan
melalui situs pemerintah dimana domain yang digunakan juga menunjukkan domain pemerintah
xii
Indonesia yakni go.id . Sehingga berdasarkan definsi formal ini, walaupun ada website yang
secara real dikelola oleh pemerintah dan digunakan untuk pelayanan publik namun apabila tidak
ber-domain go.id maka tidak masuk klasifikasi e-government.

3. Manfaat E-Government

E-Government merupakan suatu upaya untuk memanfaatkan teknologi informasi dan


komunikasi yang dimaksudkan untuk meningkatkan efisiensi, efektivitas, transparansi dan
akuntabilitas penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan publik.

Tabel 1. Pergeseran Paradigma dalam Penyampaian Pelayanan Publik.

Paradigma Birokratis Paradigma e-government

Orientasi Efisiensi biaya produksi Fleksibel, pengawasan dan kepuasan


pengguna (customer).
Proses organisasi Merasionalisasikan peranan, Hirarki horisontal, jaringan organisasi
pembagian tugas dan dan tukar informasi
pengawasan hirarki vertikal
Prinsip manajemen Manajemen berdasarkan Manajemen bersifat fleksibel, team
peraturan dan mandat (perintah) work antar departemen dengan
koordinasi pusat.
Gaya kepemimpinan Memerintah dan mengawasi Fasilitator, koordinatif dan
entrepreneurship inovatif.
Komunikasi internal Hirarki (berperingkat) dan Jaringan banyak tujuan dengan
top-down koordinasi pusat dan komunikasi
langsung.
Komunikasi eksternal Terpusat, formal dan saluran Formal dan informal, umpan balik
terbatas langsung, cepat dan banyak saluran
Cara penyampaian Dokumen dan interaksi antar Pertukaran elektronik dan interaksi
pelayanan personal non face-to-face.
Prinsip-prinsip Terstandarkan, keadilan dan sikap Penyeragaman bagi semua pengguna
penyampaian pelayanan adil dan bersifat personal.

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia 61
INOVASI Vol.11/XX/Juli 2008

Implementasi e-government adalah sebagai suatu upaya untuk meningkatkan efisiensi,


efektivitas dan transparansi dan akuntabilitas penyelenggaraan pemerintahan diperlukan
xiii
pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi dalam proses pemerintahan . Paradigma
pelayanan pemerintah yang bercirikan pelayanan melalui birokrasi yang lamban, prosedur yang
berbelit, dan tidak ada kepastian berusaha diatasi melalui penerapan e-government.

Paradigma pelayanan publik bergeser dari paradigma birokratis menjadi paradigma


e-government yang mengedepankan efisiensi, transparansi, dan fleksilbiltas, yang akhirnya
bermuara pada kepuasan pengguna layanan publik. Pergeseran paradigma ini telah dikaji oleh
xiv
Alfred (2002), yang disajikan dalam Tabel 1 :

4. Level Pengembangan E-Government

Pengembangan e-government dapat diklasifikasikan berdasarkan tingkat kompleksitas


pengembangan dan fasilitas yang disediakan untuk melayani masyarakat. Beberapa institusi
dan pakar telah mengemukakan pendapat tentang level pengembangan e-government, namun
pada intinya level pengembangan e-government terdiri dari 4 level yaitu:
1. Level informasi; dimana e-government hanya digunakan untuk sarana publikasi
informasi pemerintah secara on-line, misalnya profil daerah, peraturan, dokumen, dan
formulir.
2. Level interaksi; dimana e-government sudah menyediakan sarana untuk interaksi dua
arah antara pejabat pemerintah dengan masyarakat sebagai pengguna layanan publik,
misalnya dalam bentuk sarana untuk menampung keluhan, forum diksusi, atau hotline
nomor telepon atau email pejabat.
3. Level transaksi; di mana e-government sudah menyediakan sarana untuk bertransaksi
bagi masyarakat dalam menggunakan layanan publik, yakni transaksi yang melahirkan
kesepakatan (deal) yang dapat disertai dengan pembayaran sebagai akibat
dinikmatinya layanan publik yang telah digunakan. Misalnya trasaksi untuk pembayaran
pajak atau retibusi.
4. Level integrasi, dimana semua pelayanan publik yang disediakan oleh pemerintah
disamping disediakan secara konvensional juga disediakan secara online melalui
e-government.

5. Kebijakan Pengembangan E-Government

Untuk menyesuaikan dengan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi serta untuk
meningkatkan kualitas pelayanan publik yang dijiwai oleh nilai-nilai good gevernance,
Pemerintah RI dalam hal ini Departemen Komunikasi dan Informatika pada tahun 2003 telah
mengeluarkan beberapa panduan berkenaan dengan pengembangan e-government yang
xv
ditujukan kepada setiap instansi pemerintah antara lain:
1. Panduan Pembangunan Infrastruktur Portal Pemerintah
2. Panduan Manajemen Sistem Dokumen Elektronik Pemerintah
3. Panduan Penyusunan Rencana Pengembangan E-Government Lembaga
4. Pedoman Penyelenggaraan Diklat ICT dlm Menunjang E-Government
5. Pedoman tentang Penyelenggaraan Situs Web Pemerintah Daerah

Selanjutnya pada tahun 2004 Depkominfo juga mengeluarkan enam panduan berupa:
1. Standar mutu dan jangkauan pelayanan serta pengembangan aplikasi (e-services)
2. Kebijakan tentang kelembagaan, otorisasi, informasi dan keikutsertaan swasta dalam
penyelenggaraan
3. Kebijakan pengembangan kepemerintahan yang baik dan manajemen perubahan
4. Panduan tentang pelaksanaan proyek dan penganggaran e-government
5. Standar kompetensi pengelola e-government
6. Blue-print aplikasi e-government pemerintah pusat dan daerah

Kemudian pada tahun 2006, pemerintah mengeluarkan kebijakan yang berhubungan dengan
pemanfaatan TIK di negara kita yang secara tidak langsung memperkuat kebijakan dalam
pengembangan e-government. Kebijakan tersebut adalah pembentukan Dewan Teknologi

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia 62
INOVASI Vol.11/XX/Juli 2008

Informasi dan Komunikasi Nasional (Detiknas). Dewan yang dibentuk Presiden SBY melalui
Keppres No. 20, 11 November 2006. Dewan ini diberi amanah untuk merumuskan kebijakan
umum dan arahan strategis pembangunan nasional, melalui pendayagunaan Teknologi
Informasi dan Komunikasi (TIK). Selain itu Dewan juga diminta untuk melakukan pengkajian
dalam menetapkan langkah-langkah penyelesaian permasalahan strategis yang timbul dalam
rangka pengembangan TIK. Melakukan koodinasi dengan instansi pemerintah pusat/daerah,
BUMN/BUMD, dunia usaha dan lembaga profesional dalam rangka pengembangan TIK juga
menjadi tugas Dewan, selain memberikan persetujuan atas pelaksanaan program TIK yang
xvi
bersifat lintas departemen agar efektif dan efisien (Majalah e-Indonesia, 2007) .

7. Potret E-Government Indonesia

Berbagai panduan yang telah dikeluarkan Depkominfo tersebut menunjukkan bahwa


Pemerintah RI serius dalam mengembangkan e-government, di mana instansi pemerintah baik
di tingkat pusat maupun daerah didorong untuk mengembangkannya. Namun keberhasilan
pengembangan e-government belum signifikan, terbukti dari E-government Readiness kita
masih menempati ranking bawah di antara negara lain di Asia Tenggara apalagi e-government
reaadiness secara global, peringkat Indonesia lebih rendah lagi. Posisi Indonesia dalam
E-Government Readiness baik di lingkungan Asia Tenggara dapat dijelaskan dalam Tabel 2.

Tabel 2. Global E-Government Readiness

Global Rank in
No Country
2004 2005 2008
1 Singapore 8 7 23
2 Malaysia 42 43 34
3 Thailand 50 46 64
4 Philipines 47 41 66
5 Brunei Darussalam 63 73 87
6 Viet Nam 112 105 91
7 Indonesia 85 96 106
8 Cambodia 129 128 139
9 Myanmar 123 129 144
10 East Timor 174 144 155
11 Lao, P.D.R 144 147 156
xvii xviii
Sumber: Global E-Govermnet Readiness 2005 dan 2008

Di antara negara-negara Asia Tenggara, Indonesia pada tahun ini menempati posisi ke tujuh di
bawah Brunei Darussalam dan Vietnam, dan hanya satu tingkat lebih tinggi daripada Kamboja.
Sedangkan untuk tataran global, posisi Indonesia juga tidak mengalami peningkatan. Pada
tahun 2004 berada pada posisi ke 85, tahun 2005 menempati ranking 86, kemudian pada tahun
ini posisi Indonesia merosot lagi menjadi ranking 106.

Fenomena di atas menarik dikaji untuk mengetahui permasalahan e-government di Indonesia.


Oleh karena itu penulis telah melakukan review terhadap website pemerintah daerah mulai
tanggal 2 sampai dengan 6 Mei 2008. Propinsi Jawa Tengah dijadikan sampel secara purposive
karena e-government kabupaten dan kota di Propinsi Jawa Tengah pernah mendapatkan
penghargaan nasional dari Warta Ekonomi, yaitu e-government Kabupaten Kebumen pada
tahun 2004-2005 dan Sragen pada tahun 2007. Propinsi Jawa Tengah terdiri dari 30 kabupaten
dan enam kotamadya. Masing-masing website kabupaten dan kota telah diakses dan dikaji
melalui aspek level pengembangan dan menu dan fasilitas yang disediakan. Berdasarkan hasil
survei beberapa temuan yang menarik adalah sebagai berikut.
1. Dari 30 kabupaten dan enam kota, hanya 24 kabupaten (80%) dan lima kota (83%)
yang sudah mempunyai website yang dapat diakses, selebihnya setelah dilakukan
pencarian dengan menggunakan search engine Google dan Yahoo, website
kabupaten dan kota yang bersangkutan tidak ditemukan. Mayoritas website pemerintah
kabupaten dan kota yang sudah dapat diakses masuk dalam level pertama yakni

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia 63
INOVASI Vol.11/XX/Juli 2008

hanya mempublikasikan informasi seputar profil daerah tersebut, dan kebanyakan terdiri
dari menu utama: (1) profil daerah, (2) prosedur pelayanan publik, dan (3) berita daerah
bersangkutan yang sumbernya sebagian besar bukan dari kabupaten atau kota sendiri
tapi hanya mengambil dari media lain. Berita yang ditampilkan juga tidak selamanya
ter-update dengan baik karena ada daerah yang menyajikan berita yang sudah basi.
2. Dari 24 kabupaten dan lima kota yang websitenya dapat diakses, hanya 12 dari website
kabupaten (40%) yang dapat dikategorikan pada level interaksi. Sedangkan lima
website kota semuanya (100%) sudah ber-level interaksi. Aplikasi fasilitas interaksi yang
disediakan antara lain: (1) Buku tamu, (2) forum, (3) chatting, (5) link kontak, dan (6)
polling. Hasil survei menunjukkan fasiltas tersebut kurang berfungsi dengan baik
dibuktikan dengan:
a. Buku tamu hanya menampilkan keluhan masyarakat tanpa ada respon dari
pejabat atau staf briokrasi terkait ataupun dari admin website. Bahkan ada buku
tamu yang hanya ditujukan kepada admin hanya bersifat interaksi satu arah.
b. Forum diskusi juga masih kosong tidak ada aktivitas. Beberapa website baru
membuat topik diskusi namun sama sekali tidak ada aktivitas
c. Fasilitas chatting yang disediakan hanya untuk chat antar user, bukan chat
dengan pejabat atau staf birokrasi terkait berkaitan dengan pelayanan publik.
d. Website yang menyediakan fasilitas polling belum dapat dimanfaatkan untuk
menjaring aspirasi masyarakat terhadap isu daerah yang bersangkutan sebagai
bagian dari proses pengambilan keputusan pemerintah daerah.
3. Dari website kabupaten dan kota yang telah mengembangkan e-government tidak ada
satu pun yang termasuk level ketiga yakni level transaksi untuk pelayanan publik. Ada
beberapa kabupaten/kota yang sudah menyediakan menu Layanan Publik, tapi masih
berifat informatif saja, sekedar menampilkan persyaratan dan prosedur layanan.

8. Hambatan Birokrasi Pengembangan

Hambatan pengembangan e-government jika ditinjau dari perspektif birokrasi sebagai


penyelenggara layanan publik melalui elektronik adalah sebagai berikut
1. Peopleware. Sumberdaya manusia yakni kemampuan para pejabat birokrasi maupun
staff dalam menggunakan internet yang masih sangat terbatas. Hal ini terbukti dari
masih sangat tergantungnya birokrasi dalam pengembangan e-government terhadap
pihak luar. Operasionalisasi e-government juga tidak berjalan lancar ditandai dengan
sarana interaksi yang disediakan tidak ada aktivitas yang berarti.
2. Hardware, yakni berkaitan dengan teknologi dan infrastuktur. Terbatasnya hardware dan
software serta masih sedikitnya instansi pemerintah yang terhubung pada jaringan baik
lokal (LAN) maupun global (Internet) menyebabkan perkembangan e-government tidak
dapat berjalan lancar.
3. Organoware. Hambatan birokrasi, seringkali instansi pemerintah dalam
mengoperasionalkan e-government menemui kendala dalam aspek organisasi. Kendala
ini ditandai dengan tidak fleksibelnya Struktur Organisasi dan Tatakerja (SOT) birokrasi
yang dapat mewadahi perkembangan baru model pelayanan publik melalui
e-government. Para admin e-government di beberapa daerah yang selalu memonitor
pengaduan masyarakat tidak mempunyai wewenang dan kemampuan untuk langsung
berinteraksi dengan masyarakat misalnya dalam memberikan jawaban. Sedangkan
untuk meminta pejabat atau pegawai yang terkait untuk menjawab pertanyaan yang
telah diajukan masyarakat, para admin tersebut tidak mempunyai wewenang. Hambatan
birokrasi lainnya adalah belum adanya regulasi yang mengijinkan transaksi melalui
media elektronik dapat dianggap sah. Walaupun sudah ada Undang-Undang ITE namun
belum ada Juklak dan Juknis. Disamping SOT dan regulasi, hambatan organoware
berikutnya adalah terbatasnya dana yang tersedia untuk pengembangan dan
operasionalisasi e-government di daerah. Pemerintah pusat hanya menyediakan
kerangka kebijakan dan panduan tidak disertai dengan alokasi dana sehingga harus
ditanggung oleh daerah yang bersangkutan.

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia 64
INOVASI Vol.11/XX/Juli 2008

Berdasarkan hambatan-hambatan di atas sangat logis jika potret e-government di negara kita
mayoritas masih dalam level yang paling dasar yaitu level informasi, sedangkan yang sudah
masuk level kedua pun (interaksi) belum bisa berfungsi dengan baik.

9. Kesimpulan

Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi telah menawarkan solusi untuk


meningkatkan kinerja pelayanan publik yang lebih berbasis good governance. Pemanfaatan
e-government bagi birokrasi diharapkan dapat menjadi alternatif bagi reformasi birokrasi menuju
pelayanan yang lebih baik. Walaupun sejak tahun 2003 pemerintah telah mengeluarkan
kebijakan mengenai e-government namun pada kenyataannya potret e-government kita masih
dalam level rendah baik level pengembangannya maupun level dalam Global E-Government
Readiness. Keadaan ini disebabkan oleh tiga hambatan utama yakni sumberdaya manusia,
hardware, dan birokrasi.

Daftar Pustaka

[]
i
Holmes, Douglas (2001), E-Gov E-Business Strategies for Government, Nicholas Brealey
Publishing, London.
[ ] World Bank. 2002. The e-government handbook for developing countries. A project of
ii

infodev and the center for democracy and technology. http://www.infodev.org/files/


841_file_eGovernment_Handbook.pdf [12-04-2006].
[ ] http://www.govtech.net/magazine/channels.php/17 diakses tanggal 5 Juni 2006
iii

[ ] www.communication.gc.ca/glossary.html diakses tanggal 6 April 2005.


iv

[ ] www.whitehouse.gov/omb/budget/fy2004/print/glossary.html diakses tanggal 6 April 2005.


v

[ ] www.dir.state.tx.us/taskforce/Surveys/State_Survey/app_b.htm diakses tanggal 6 April


vi

2005.
[ ] www.agimo.gov.au/publications/2001/11/ar00-01/glossary diakses tanggal 6 April 2005.
vii

[ ] www2.automation.siemens.com/meta/ebusiness/html_76/glossar/glossar_e.htm diakses
viii

tanggal 6 April 2005.


[ ] www.canterbury.gov.uk/cgi-bin/buildpage.pl diakses tanggal 6 April 2005.
ix

[ ] en.wikipedia.org/wiki/E-government diakses tanggal 6 April 2005.


x

[ ] Rokhman, Ali. Paradigma Baru Pelayanan Publik melalui E-Government, Seminar


xi

Nasional Electronic Governance yang bertemakan “Mengusung Paradigma Baru”,


diselenggarakan oleh Himpunan Mahasiswa Jurusan Ilmu Administrasi Negara, FISIP
UNSOED, 7 April 2005.
[ ] Hadwi Soendjojo, Kondisi Situs Web Pemerintah Daerah, http://www.depkominfo.go.id
xii

[xiii] Brown, Mary M (2007), Understanding E-Government Benefits: An Examination of


Leading-Edge Local, The American Review of Public Administration, Sage Publication, Vol
37 p. 195.
[ ] Alfred, Tat-Kei Ho. 2002. Reinventing local government and the e-government initiative.
xiv

The Premier Journal of Public Administration Review (PAR). July-August. 62(4): 434-444
[ ] Djoko Agung Harijadi, Kebijakan Dan Strategi Pengembangan E-Government,
xv

Seminar Nasional Electronic Governance yang bertemakan “Mengusung Paradigma Baru”,


diselenggarakan oleh Himpunan Mahasiswa Jurusan Ilmu Administrasi Negara, FISIP
UNSOED, 7 April 2005.
[xvi] Majalah e-Indonesia, Edisi No. 22/2, Available at
http://www.majalaheindonesia.com/detiknas-ed22_2.htm
[ ] United Nations (2005), Global E-Government Readiness Report 2005: from
xvii

E-Governemnet to E-Inclusion availabled at


http://unpan1.un.org/intradoc/groups/public/documents/un/unpan021888.pdf
[ ] United Nations (2008), UN E-Government Survey 2008: From E-Government to
xviii

Connected Governance, availabled at


http://unpan1.un.org/intradoc/groups/public/documents/UN/UNPAN028607.pdf

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia 65
INOVASI Vol.11/XX/Juli 2008
KESEHATAN

LESION STERILIZATION AND TISSUE REPAIR THERAPY:


REVOLUSI DALAM PENGOBATAN GIGI

Tetiana Haniastuti
Mahasiswa Program Doktor Bidang Mikrobiologi Oral, Universitas Niigata, Jepang
Dosen Bagian Biologi Mulut, Fakultas Kedokteran Gigi, Universitas Gadjah Mada
Email: haniastuti@yahoo.com

1. Pendahuluan

Pernahkah anda mengalami sakit gigi berdenyut yang sangat mengganggu dan harus bolak-balik
ke dokter gigi untuk perawatannya? Kunjungan berulang kali ke dokter gigi bagi sebagian orang
merupakan sesuatu yang menjengkelkan. Namun sekarang bila mengalami hal tersebut, anda tidak
perlu datang ke dokter gigi berulang kali. Cukup dengan sekali kunjungan maka perawatan sudah
selesai.

Metode pengobatan gigi yang baru ini diperkenalkan oleh seorang ahli Mikrobiologi, Profesor
Hoshino Etsuro dari Universitas Niigata, Jepang. Sejak dua dasa warsa terakhir, kelompok peneliti
di bawah bimbingan Profesor Hoshino telah melakukan berbagai penelitian, baik klinis maupun
laboratoris untuk membuktikan efektivitas metode ini. Uji klinis telah dilakukan di berbagai negara,
khususnya Asia antara lain Indonesia, Thailand, dan Bangladesh. Akan tetapi, metode yang
dinamakan Lesion Sterilization and Tissue Repair 3Mix-MP SavePulp therapy (LSTR) ini
tampaknya akan banyak mendapatkan tentangan dari kalangan praktisi kedokteran gigi karena
mengubah banyak hal mengenai paradigma penanganan sakit gigi.

2. Perbedaan Prinsip Metode LSTR dengan Metode Konvensional

Rasa sakit spontan yang dirasakan terus-menerus sehingga mengakibatkan terganggunya aktivitas
sehari-hari merupakan keluhan yang paling sering dikemukakan oleh pasien ketika datang ke
tempat praktek dokter gigi. Dalam dunia kedokteran gigi, rasa sakit tersebut merupakan gejala
utama dari pulpitis. Pulpitis adalah reaksi inflamasi pada pulpa gigi. Sebagian besar kasus pulpitis
diakibatkan oleh infeksi bakteri-bakteri terutama bakteri anaerob baik yang bersifat fakultatif
maupun obligat misalnya Streptococcus, Propionibacterium, Eubacterium dan Actinomyces
(Hoshino, 1985). Pada kasus ini, biasanya gigi mengalami karies yang dalam dan luas yang
melibatkan struktur dentin maupun pulpa (Levin, 2003).

Perawatan yang biasa dilakukan oleh para dokter gigi (metode konvensional) untuk menangani
kasus tersebut adalah perawatan saluran akar gigi, berupa pulpektomi atau pulpotomi. Berikut
uraian mengenai perbedaan prinsip antara metode konvensional dan LSTR:

a. Metode Konvensional

Para dokter gigi selama ini berpendapat bahwa rasa sakit berdenyut pada gigi yang timbul secara
spontan dan dirasakan secara terus-menerus oleh pasien sebagai pertanda terjadinya reaksi
inflamasi yang parah, yang merupakan gejala khas dari pulpitis yang bersifat irreversible. Karena
sifatnya yang irreversible, maka diyakini bahwa jaringan pulpa gigi tidak mungkin mengalami
regenerasi yang pada akhirnya vitalitas gigi tidak mungkin dipertahankan (Bindslev and Løvschall,
2002). Oleh karena itu, pada saat ini para dokter gigi biasanya melakukan terapi radikal, baik itu
berupa perawatan saluran akar gigi ataupun pencabutan gigi untuk menangani kasus tersebut
(Sigurdsson, 2003).

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia 66
INOVASI Vol.11/XX/Juli 2008

Terapi radikal tersebut biasa dilakukan karena apabila jaringan pulpa yang mengalami
infeksi/inflamasi tidak diambil, dikhawatirkan infeksi akan semakin menyebar ke seluruh jaringan
gigi sehingga menyebabkan gangren pulpa. Pada perawatan saluran akar gigi, dilakukan
pengambilan seluruh jaringan pulpa (meliputi antara lain pembuluh darah, serabut syaraf, dan
jaringan ikat) dan diganti dengan bahan pengisi saluran akar, misalnya gutta percha. Dampak dari
perawatan ini adalah gigi menjadi non vital sehingga struktur jaringannya lebih rapuh, dan apabila
menerima tekanan yang besar, gigi mudah patah (Sigurdsson, 2003).

Di Indonesia, karena keterbatasan peralatan, pencabutan gigi merupakan hal yang lumrah
dilakukan apabila dokter gigi menjumpai pasien dengan kasus pulpitis. Bahkan sebagian besar
pasien dengan keluhan sakit gigi yang datang ke dokter gigi minta agar giginya dicabut.
Kebanyakan orang awam berpikir bahwa dengan mencabut gigi yang sakit, persoalan sudah
selesai. Padahal, gigi ompong juga merupakan awal dari sederet permasalahan lain, misalnya
hilangnya ruang untuk erupsi gigi permanen apabila hal tersebut terjadi pada gigi susu atau bila
terjadi pada gigi permanen mengakibatkan maloklusi dan poket periodontal yang dapat berakhir
dengan tanggalnya gigi (Camp, 1994).

b. Metode LSTR

Berbeda dengan metode konvensional, prinsip dari metode LSTR adalah mempertahankan vitalitas
gigi, dengan upaya disinfeksi lesi-lesi pulpa yang bertujuan membunuh bakteri-bakteri yang
menginfeksi pulpa menggunakan kombinasi tiga macam antibiotik yaitu metronidazole,
ciprofloxacin dan minocyclin.

Ketiga serbuk antibiotik tersebut dicampur dengan macrogol dan prophylene glycol yang berfungsi
sebagai bahan pembawa, diletakkan pada area sekitar lesi, sebelum dilakukan penumpatan.
Metode LSTR ini juga mensyaratkan restorasi akhir yang bersifat tight sealing, untuk menghindari
kebocoran mikro di sekitar tumpatan yang dapat mengakibatkan karies sekunder (Hoshino dan
Takushige, 1998).

Inflamasi merupakan reaksi fisiologis pertahanan tubuh terhadap benda-benda asing yang
menginfeksi tubuh kita. Pada saat inflamasi, terjadi infiltrasi sel-sel inflamasi, misalnya leukosit
polimorfonuklear dan makrofag yang berfungsi untuk mengeliminasi bakteri-bakteri, antara lain
dengan fungsi fagositosisnya. Namun, pada saat yang bersamaan mereka juga akan mensintesis
substansi-substansi yang apabila diproduksi dalam jumlah yang berlebihan dapat menyebabkan
kerusakan jaringan host (Mjör, 2002; Smith, 2002).

Prinsip metode LSTR adalah membunuh bakteri-bakteri yang menginfeksi pulpa. Apabila bakteri-
bakteri tersebut dapat terbunuh, maka inflamasi akan mereda, sehingga memberi kesempatan
pada sel-sel pulpa gigi untuk melakukan regenerasi yang memungkinkan repair jaringan gigi
(Hoshino dan Takushige, 1998).

3. Penelitian-Penelitian yang Berkaitan dengan LSTR

Berbagai penelitian untuk menguji efektivitas LSTR sudah dilakukan sejak beberapa tahun yang
lalu. Berdasarkan penelitian laboratoris dengan metode in vitro maupun in situ diketahui bahwa
kombinasi tiga antibiotik (metronidazole, ciprofloxacin dan minocycline) yang digunakan dalam
metode LSTR terbukti efektif membunuh bakteri-bakteri oral yang ditemukan pada karies maupun
lesi-lesi endodontik (Hoshino dkk., 1996; Sato dkk, 1996). Macrogol dan prophylene glycol terbukti
mampu membawa zat-zat aktif tersebut sehingga dapat berpenetrasi ke tubuli dentinalis dan
mencapai lesi (Cruz dkk., 2002).

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia 67
INOVASI Vol.11/XX/Juli 2008

Secara klinis, penelitian yang dilakukan oleh Takushige dkk. (2004) menunjukkan bahwa gigi susu
dengan lesi-lesi periradikular termasuk yang mengalami resorpsi akar secara fisiologis, berhasil
dirawat dengan metode LSTR dengan satu kali kunjungan. Hasil pemeriksaan menunjukkan bahwa
fistula dan gingival swelling hilang setelah beberapa hari dan pemeriksaan radiografik menunjukkan
gambaran yang normal. Pada penelitian tersebut juga diketahui bahwa gigi permanen pengganti
bisa erupsi secara normal.

Pada kasus pulpitis pada gigi permanen, hasil pemeriksaan paska perawatan dengan metode
LSTR menunjukkan bahwa keluhan rasa sakit hilang, vitalitas gigi tetap terjaga, dan gigi berfungsi
secara normal. Hal itu menunjukkan tercapainya parameter keberhasilan perawatan dengan
metode LSTR. Hasil penelitian tersebut didukung dengan hasil penelitian dengan teknik
immunohistokimiawi yang dilakukan oleh penulis (unpublished data) yang membuktikan bahwa
paska perawatan pulpitis dengan metode LSTR, serabut syaraf dan juga sel-sel odontoblast pada
pulpa gigi tetap vital. Odontoblast merupakan sel yang berfungsi untuk membentuk dentin. Apabila
odontoblast masih vital, maka gigi akan mampu membentuk dentin tersier sehingga terjadi repair
jaringan gigi (Tziafas, 2004).

4. Keunggulan Metode LSTR Dibandingkan Metode Konvensional

Apabila dibandingkan dengan metode konvensional, metode LSTR mempunyai banyak keunggulan,
antara lain:
a. Mempertahankan vitalitas jaringan pulpa gigi
Prinsip dari metode LSTR memungkinkan vitalitas gigi tetap dipertahankan, sehingga fungsi gigi
secara normal tetap terjaga. Metode ini dapat diterapkan untuk merawat gigi susu maupun gigi
permanen. Adapun dampak dari perawatan dengan metode konvensional adalah gigi menjadi non
vital sehingga strukturnya rapuh.

b. Teknik yang sederhana


Di Indonesia, praktek endodontik pada umumnya dikerjakan oleh seorang dokter gigi spesialis
konservasi gigi. Teknik perawatan ini membutuhkan keterampilan dan instrumen kedokteran gigi
yang khusus. Adapun teknis perawatan LSTR dapat dikerjakan oleh seorang dokter gigi umum,
tanpa memiliki keahlian khusus dan juga tidak membutuhkan instrumen kedokteran gigi yang
khusus.

c. Ekonomis
Apabila dibandingkan dengan teknik endodontik konvensional, total biaya yang dikeluarkan jauh
lebih murah, baik dari segi material yang digunakan untuk perawatan, biaya kunjungan ke dokter
gigi, maupun biaya transport pasien untuk datang ke tempat praktek dokter gigi.

d. Perawatan memakan waktu yang singkat


Banyak pasien mengeluh ketika harus datang berulang kali ke dokter gigi. Betapa banyak waktu
terbuang untuk datang berulang kali ke tempat praktek dan juga ketika harus antri menunggu giliran
untuk dirawat. Berbeda dengan metode endodontik konvensional yang memerlukan kunjungan
berulang, teknik perawatan dengan metode LSTR membutuhkan waktu yang jauh lebih singkat.

5. Penutup

Mengingat kelebihan-kelebihan metode ini seperti yang telah penulis uraikan dan juga peta
penyebaran dokter gigi spesialis yang sangat tidak merata, akan sangat berguna apabila teknik ini
bisa dikembangkan secara luas di Indonesia. Pada saat ini sudah dilakukan upaya-upaya untuk
memperkenalkan metode ini pada para dokter gigi di Indonesia. Namun, masih terdapat beberapa
kendala, yaitu:

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia 68
INOVASI Vol.11/XX/Juli 2008

a. Teori yang sudah diyakini selama bertahun-tahun yang menyebabkan perbedaan paradigma
penanganan sakit gigi di kalangan praktisi kedokteran gigi, menyebabkan konsep LSTR belum
bisa sepenuhnya diterima sebagai alternatif pengobatan gigi di Indonesia.
b. Keterbatasan material yang diperlukan untuk melakukan perawatan dengan metode LSTR,
terutama macrogol. Di Indonesia, bahan ini masih belum bisa didapat secara mudah.

Referensi:

[1] Camp, J.H., 1994, Pediatric endodontic treatment dalam Cohen S., Burns R.C., eds. Pathways
of the pulp, 6th ed, Mosby co., St Louis, USA, 633-671

[2] Cruz, E.V., K. Kota, J. Huque, M. Iwaku, E. Hoshino, 2002, Penetration of prophylene glycol
through dentine, Int. Endod. J., 35, 330-336

[3] Hoshino, E., 1985, Predominant obligate anaerobes in human carious dentine, J. Dent. Res.,
64, 1195-1198

[4] Hoshino, E., N. Kurihara-Ando, I. Sato, H. Uematsu, M. Sato, K. Kota, M. Iwaku, 1996, In vitro
antimicrobial susceptibility of bacteria taken from infected root dentine to a mixture of
ciprofloxacin, metronidazole and minocycline, Int. Endod. J., 29, 125-30

[5] Hoshino, E., T. Takushige, 1998, LSTR 3Mix-MP method – better and efficient clinical
procedures of lesion sterilization and tissue repair (LSTR) therapy, Dental Rev., 666, 57-106

[6] Hørsted-Bindslev, P., H. Løvschall, 2002, Treatment outcome of vital pulp treatment, Endod.
Top., 2, 24-34

[7] Levin, L.G., 2003, Pulpal irritants, Endod. Top., 5, 2-11

[8] Mjör, I.A., 2002, Pulp-dentin biology in restorative dentistry, Quintessence Publishing co.,
Chicago

[9] Sato, I., N. Kurihara-Ando, K. Kota, M. Iwaku, E. Hoshino, 1996, Sterilization of infected root-
canal-dentine by topical application of a mixture of ciprofloxacin, metronidazole and minocycline
in situ, Int. Endod. J., 29, 118-124

[10] Smith, A.J., 2002, Pulpal responses to caries and dental repair, Caries Res., 36, 223-232

[11] Sigurdsson, A., 2003, Pulpal diagnosis, Endod. Top., 5, 12-25

[12] Takushige, T., E.V. Cruz, A.A. Moral, E. Hoshino, 2004, Endodontic treatment of primary teeth
using a combination of antibacterial drugs, Int. Endod. J., 37, 132-138

[13] Tziafas, D., 2004, The future role of a molecular approach to pulp-dentinal regeneration, Caries
Res., 38, 314-320

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia 69
INOVASI Vol.11/XX/Juli 2008
KESEHATAN

INDUCED PLURIPOTENT STEM-CELLS

Ahmad Faried, MD, PhD


Postdoctoral fellow, Department of Neurosurgery,
Graduate School of Medicine, Gunma University, Japan
Email: afaried@med.gunma-u.ac.jp

1. Pendahuluan
1,2
Belum lama rasanya kita berdecak kagum akan penemuan RNA interference (RNAi), yang
membuka lembaran baru dalam ilmu biomolekular dan aplikasinya dalam ilmu kedokteran terkini,
khususnya pada modifikasi terapi penyakit-penyakit yang sulit disembuhkan (seperti
penyakit-keganasan, -degenerasi, HIV, dan lain-lain). Agaknya, sekali lagi kita harus berdecak
kagum untuk temuan terbaru dibidang biomolekular yang dapat mengubah sel kulit menjadi
sel-yang menyerupai dan berfungsi sebagai stem cells, induced pluripotent stem-cells, atau yang
3
dikenal dengan sel iPS.

Bila kita berbicara mengenai embryonic stem cells (ESCs), di samping potensinya yang sangat
baik dalam regenerasi sel, masih banyak perdebatan serta penolakan penggunaan jenis stem
cells ini seputar isu etika dan moral mengenai cara menciptakannya (baca: mengorbankan
embrio, gambar 1). Satu-satunya cara untuk menciptakan ESCs dari sel-dewasa (adult stem
cells, ASCs) adalah dengan teknik yang disebut nuclear transfer. Teknik ini dilakukan dengan
memasukkan inti sel dewasa ke dalam sel telur (ovum) yang inti selnya telah dibuang
sebelumnya. Sel telur ini kemudian akan memprogram ulang inti sel dewasa menjadi ESCs.
Teknik ini disebut dengan therapeutic cloning jika dilakukan pada manusia, akan tetapi belum
pernah ada yang berhasil melakukannya hingga sekarang.

Gambar 1. Proses mendapatkan ESCs (sumber gambar:


www.reeve.uci.edu/anatomy/stemcells)

2. Induced Pluripotent Stem cells (iPS)

Penemuan sel iPS ini pertama kali diperkenalkan oleh Professor Shinya Yamanaka dari
3
Universitas Kyoto di Jepang tahun 2006. Hanya dengan memasukan empat jenis gen saja sel
ini dapat memprogram ulang inti-sel dewasa (baca: sel kulit orang dewasa) menjadi ESCs.
Publikasi tentang sel iPS ini mengundang banyak perhatian dari seluruh dunia. Beberapa
peneliti dari Amerika (dipimpin oleh R. Jaenisch, K. Plath, K. Hochedlinger, dan J.A. Thomson),
ditugaskan untuk mengulangi dan membuktikan hasil penemuan Prof. Yamanaka, baik secara
perseorangan maupun secara tim. Dalam artikelnya pada majalah Nature, Cell, Stem Cell serta

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia 70
INOVASI Vol.11/XX/Juli 2008

4-6
Science, seluruh tim berhasil membuktikan bahwa dengan memasukan empat gen yang
di‘resepkan’ oleh tim Jepang tadi memang dapat mengubah sel dewasa menjadi ESCs. Hal ini
sekaligus mengkonfirmasi keabsahan temuan Prof. Yamanaka.

Terdapat beberapa perbedaan tentang cara pembuatan sel iPS antara tim Jepang dan tim
6
Amerika, di antaranya:
1. Tim Jepang memakai sel kulit orang dewasa, sedangkan salah satu tim Amerika memakai
sel kulit bayi yang notabene masih mengandung banyak sel pluripoten.
6
2. Tim Jepang dapat membuat ~200 koloni dari jumlah sel kulit sebanyak 10 . Tim Amerika
hanya dapat membuat ~100 koloni dari jumlah sel yang sama.
3. Tim Amerika memodifikasi cara membuat sel iPS dengan menambahkan faktor transkripsi
6
lain yaitu NANOG.

Sel iPS sangat mirip dengan ECS; baik secara morfologi, kemampuan pertumbuhan, antigen
dipermukaan sel, ekspresi gen, status epigenetik yang khas dan aktivitas telomerase-nya.
Seandainya teknik ini dapat diterapkan pada manusia maka akan sangat mudah untuk dilakukan
dibandingkan dengan teknik nuclear transfer. Lebih jauh lagi, teknik ini tidak mahal serta tidak
mengundang kontroversi karena tidak mengorbankan sel telur. Perdebatan panjang tentang isu
etika dan moral mengenai cara menciptakan ESCs akan pupus dengan adanya teknik
pembuatan sel iPS ini.

Para peneliti belajar menghasilkan ESCs diera tahun 90-an dengan menggunakan embrio bayi
yang dibuang oleh klinik-klinik fertilitas. Hal tersebut mengundang banyak kritik dan menjadi
kontroversi diseluruh dunia. Pada akhirnya penelitian di bidang ini menjadi sangat terhambat
dengan dihentikannya dana penelitian dari pemerintah federal Amerika. Bahkan di sebagian
negara-negara eropa, penelitian ESCs sudah dilarang.

3. Bagaimana menciptakan sel iPS?

Penelitian panjang mengenai sifat-sifat sel embrio, kemampuan pluripoten-nya dan


kemampuannya berubah menjadi berbagai jenis jaringan tubuh mengilhami Prof. Yamanaka
untuk mengidentifikasi gen-gen apa saja yang penting dalam proses ini. Dengan teknik skrining
yang ketat, beliau memilih 24 gen yang dianggap bertanggung jawab dalam menjaga sifat
3
pluripoten pada ESCs. Saat timnya memasukan ke-24 gen tadi kedalam sel kulit, tampak
tanda-tanda sel kulit tadi berubah sifat pluripotensinya. Kemudian tim ini menelaah kembali
gen-gen tersebut satu persatu, melihat gen-gen mana saja yang sangat dominan, dan memilih
empat gen saja yang paling berperan untuk mengubah sel kulit menjadi ESCs, atau dikenal
dengan sel iPS. Ke-empat gen tadi lalu ‘dipaket’ ke dalam virus untuk dimasukan ke dalam sel
kulit, dan gen-gen ini akan aktif seiring dengan proses replikasi dari virus tersebut. Hasilnya,
“Abrakadabra!!” sel kulit tadi dipaksa menjalani proses program ulang (re-program) untuk
3
menjadi ESCs. Gen-gen tersebut adalah:
1. Sox2 dan Oct3/4, yaitu gen-gen yang berfungsi sebagai faktor transkripsi serta menjaga
kemampuan pluripotensi pada embrio dan ESCs.
2. c-Myc dan Klf-4, yaitu gen-gen yang berfungsi menjaga keutuhan phenotype dan
pertumbuhan ESCs.

Gambar 2. Skematik dari gen-gen pembangun sel iPS (sumber: koleksi pribadi)

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia 71
INOVASI Vol.11/XX/Juli 2008

4. Kendala dan tantangan dalam pengembangan sel iPS

Tantangan terbesar yang dihadapi dari penemuan teknik pembuatan sel iPS adalah bagaimana
caranya agar sel iPS ini dapat diaplikasikan secara klinis pada manusia. Beberapa kendala yang
dihadapinya antara lain:
1. Dalam membuat sel iPS murni, pada tikus dapat diciptakan tikus chimera (interbred) yang
secara organ spesifik akan menghasilkan iPS. Akan tetapi hal ini tidak mungkin dilakukan
pada manusia.
2. Teknik pembuatan sel iPS ini pada dasarnya menggunakan virus (yang membawa
ke-empat gene tadi) dalam ‘memaksa’ sel kulit untuk berubah wujud menjadi ESCs, namun
penggunaan virus untuk terapi di klinis sangat tidak ideal.
3. Dua dari ke-empat gene tadi adalah gen pencetus kanker (c-Myc dan Klf-4); yang dari hasil
penelitian juga ditemukan pada tikus-chimera-iPS yang dihasilkan. Sebanyak 20% dari tikus
7
tersebut mati oleh karena adanya masa tumor di leher.

Namun demikian, para peneliti ESCs sangat meyakini bahwa kendala-kendala tadi akan dapat
dipecahkan. Beberapa modifikasi diciptakan oleh tim Jepang dengan membuat sel iPS tanpa
menggunakan gen c-Myc (baca: oncogene). Tim ini berhasil membuat sel iPS dari sel kulit tikus
8
dan manusia tanpa menggunakan gen c-Myc, meskipun kemampuan pertumbuhannya menjadi
berkurang dibandingkan dengan sel iPS yang dibuat dengan menggunakan gen c-Myc. Pada sel
iPS yang dibuat tanpa menggunakan gen c-Myc, tidak ditemukan pertumbuhan sel tumor pada
8
hewan percobaan. Selain itu, tim Jepang saat ini juga sedang meneliti metode lain untuk
‘memaksa’ sel kulit menjadi sel iPS, di antaranya dengan menggunakan teknik yang disebut
permeable recombinant protein. Teknik rekayasa genetika ini bertujuan untuk menciptakan
protein tertentu yang kita kehendaki dengan cara penggabungan gen-gen yang bersangkutan.

5. Penutup

Penemuan Prof. Yamanaka ini sangat revolusioner, mengingat sangat mudahnya kita
mengubah suatu jenis sel menjadi sel baru yang pluripoten (baca: seperti embryonic stem cells).
Selain biaya yang diperlukannya tidak semahal biaya pembuatan ESCs, setiap laboratorium
‘kecil’ pun dapat mempelajari dan membuatnya. Ditemukannya teknik pembuatan sel iPS
menumbuhkan harapan dan semangat baru akan aplikasi ilmu dasar ini di klinis. Para peneliti
dapat mengeksplorasi sel iPS, yang sangat menyerupai ESCs, dan mengubahnya menjadi
sel-sel otak, otot jantung, dan lain-lain tanpa terhambat akan isu etika dan moral. Pada akhirnya
diharapkan temuan sel iPS ini bisa diaplikasikan untuk mengobati sel-sel tubuh yang rusak tanpa
kekhawatiran akan terjadinya reaksi perlawanan oleh system kekebalan tubuh penderita.

Daftar Pustaka:

[1] Fire A., et al., 1998, Potent and specific genetic interference by double-stranded RNA in
Caenorhabditis elegans. Nature 391: 806-811.
[2] Faried A., 2007, RNA interference. Inovasi 9: 57-60.
[3] Takahashi T and Yamanaka S., 2006, Induction of pluripotent stem cells from mouse
embryonic and adult fibroblast cultures by defined factors. Cell 126: 663-676.
[4] Wernig M. et al., 2007, In vitro reprogramming of fibroblasts into a pluripotent ES-cell-like
state. Nature 448: 318-324.
[5] Maherali N., et al., 2007, Directly reprogrammed fibroblasts show global epigenetic
remodeling and widespread tissue contribution. Cell Stem Cell 1: 55-70.
[6] Yu J., et al., 2007, Induced pluripotent stem cell lines derived from human somatic cells.
Science 318: 1917-1920.
[7] Okita K., et al., 2007, Generation of germline-competent induced pluripotent stem cells.
Nature 448: 313-317.
[8] Nakagawa M., et al., 2008, Generation of induced pluripotent stem cells without Myc from
mouse and human fibroblast. Nature Biotech 26: 101-106.

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia 72
INOVASI Vol.11/XX/Juli 2008
KESEHATAN

CHIMERA

Ahmad Faried, MD, PhD


Postdoctoral fellow, Department of Neurosurgery,
Graduate School of Medicine, Gunma University, Japan
Email: afaried@med.gunma-u.ac.jp

1. Pendahuluan

Mungkin sebagian besar dari kita masih sangat percaya akan cerita-cerita mitos atau legenda. Dari
sekian banyak legenda yang ada, Chimera merupakan salah satu yang sangat menarik untuk
disimak. Alkisah pada jaman dahulu, Chimera hidup dalam mitos Yunani kuno; suatu makhluk yang
digambarkan sebagai seekor monster yang menyemburkan api dari mulutnya, dan memiliki tubuh
yang terdiri dari kepala seekor singa, badan seekor kambing dan ekor seekor naga (Gambar 1).

Gambar 1. Chimera dalam mitos Yunani (Sumber: https://research.meei.harvard.edu/Chimera/)

Sementara dalam dunia kedokteran, Chimera merupakan fenomena langka. Definisi Chimera
adalah individu yang memiliki lebih dari satu set populasi DNA yang berbeda satu sama lainnya
dan berasal dari zygote yang berbeda.1 Manusia pada umumnya hanya memiliki satu set populasi
DNA; pada manusia Chimera terdapat “dua atau lebih individu” di dalam tubuhnya pada bagian
tubuh yang berbeda. Bagaimana fenomena ini bisa terjadi? Dan secepat apa kita harus berlari
menghindar bila kita melihatnya?

2. Chimera
2.1. Kelainan Genetik

Secara garis besar, keanehan genetik ini bisa digolongkan menjadi dua; Mosaic dan Chimera.
Fenomena ini sudah dikenal sejak tahun 1980, yang dijelaskan oleh de Grouchy bahwa Chimera
adalah hasil dari gabungan dua zygote (hasil pembuahan dari dua sperma dan dua sel telur yang
berbeda) menjadi satu embrio, sedangkan Mosaic adalah hasil dari kesalahan yang terjadi pada
2
fase mitosis (post-zygotic) dalam satu embrio.

Fenomena seperti Mosaic ini akan lebih mudah bila kita amati dari sisi klinisnya; Mosaic akan
tampak pada penderita Turner’s Syndrome (X chromosome monosomy; dengan fraksi 46XX/45X).

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia 73
INOVASI Vol.11/XX/Juli 2008

Contoh lainnya adalah penderita Klinefelter’s Syndrome (chromosome trisomies; dengan fraksi
46XY/47XXY) dan penderita Down’s Syndrome (chromosome 21 trisomies; dengan fraksi
46XX/47XX, +21).
Sementara fenomena Chimera akan sangat sulit kita lihat, kecuali terdapat kelainan yang sangat
mencolok seperti hermaphrodite (individu berjenis kelamin ganda).

2.2. Antara Fiksi dan Sains

Keunikan fenomena Chimera juga menarik bagi para penulis cerita fiksi, film dan serial TV. Stephan
Gallagher menulis novel “Chimera” yang menceritakan pembuatan spesies manusia baru, yang
merupakan persilangan genetik antara manusia dan kera. Michael Crichton menulis novel berjudul
“Next” yang bercerita tentang dunia genetic research serta penelitian tentang Chimera in vitro dan
in vivo (catatan: Michael Crichton adalah seorang dokter, penulis novel Jurrasic Park dan penulis
naskah serial TV Emergency Room, ER). Fenomena Chimera juga diabadikan sebagai nama virus
dalam film yang dibintangi Tom Cruise, Mission: Impossible II. Beberapa serial TV juga
mengekspos tentang Chimera, diantaranya: Star Trek: Deep Space Nine (season 7; episode DS9),
The X-files: Chimera (season 7; 2002), medical drama House: Cane and Able (Season 3, episode
2) dan juga di CSI Vegas (Crime Scene Investigation): Bloodlines (season 4, episode 25).

Pada serial TV CSI Vegas, Bloodlines, dikisahkan; seorang wanita bersaksi melihat orang yang
memperkosanya. Sebagai barang buktinya adalah sisa sperma yang terdapat pada kemaluan
wanita tadi (catatan: si pemerkosa tidak memakai kondom saat kejadian). Akan tetapi bukti DNA
dari sperma tadi tidak cocok dengan DNA yang diambil dari epithelial mulut dan darah si
pemerkosa. Singkat cerita si penyelidik, Grissom, menemukan bukti yang tidak sengaja
didapatkannya saat dia memotret bagian punggung si tersangka pemerkosa dengan menggunakan
lampu blitz. Grissom melihat alur kulit yang sangat unik; yang dalam ilmu kedokteran dikenal
dengan Blaschko’s lines (dari nama seorang dermatologist asal Jerman), yang khas pada manusia
Chimera (Gambar 2).

Gambar 2. Blaschko’s lines (Sumber: http://www.thetech.org/genetics/)

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia 74
INOVASI Vol.11/XX/Juli 2008

Pada akhir cerita Bloodlines, Grissom mendapatkan bukti tambahan yaitu adanya rambut kemaluan
si pemerkosa yang tertinggal ditubuh korbannya. Kemudian dia juga mendapatkan izin dari
pengadilan untuk mengambil contoh sperma si pemerkosa; yang kemudian terbukti keduanya
cocok dengan kode genetik si pemerkosa. Cerita fiksi ini menjelaskan bahwa pada manusia
Chimera terdapat dua set profil kode genetik yang berbeda (profil DNA dari epilthelial mulut dan
darah berbeda dengan profil DNA dari rambut pubis dan sperma). Dengan kata lain; terdapat dua
individu di dalam tubuh si pemerkosa.

2.3. Identitas Ganda

Tiga belas tahun lalu di Inggris, dilaporkan bahwa seorang anak lelaki terbukti secara genetik
merupakan dua orang individu (anak ini terbentuk dari dua sel telur dan dua sperma yang berbeda,
bergabung menjadi satu embrio dalam kandungan ibunya). Saat anak ini beranjak dewasa,
dokternya mendapatkan bahwa anak ini adalah hermaphrodite (berjenis kelamin ganda). Awalnya
anak lelaki ini didiagnosis menderita undescended testis (testisnya tidak turun ke kantung skrotum),
namun kemudian setelah diperiksa dengan teliti ditemukanlah ovarium (kandung telur), tuba falopii
(saluran telur) dan sebagian uterus (rahim). Pada laporan akhir, dipastikan bahwa anak lelaki ini,
pada bagian-bagian tertentu dari tubuhnya secara genetik adalah wanita akan tetapi di bagian-
bagian lainnya adalah lelaki.3

Kasus manusia Chimera banyak ditemukan pada pemeriksaan darah (blood typing). Kabanyakan
human blood Chimera ditemukan pada anak kembar yang tidak identik (non-identical twins) yang
berbagi suplai darah dalam kandungan. Contoh yang klasik, pada tahun 1980 seorang wanita di
Inggris tidak tahu bahwa dirinya kembar sampai suatu saat melakukan pemeriksaan darah saat
kehamilannya dan mendapatkan bahwa ada populasi sel type chromosome lelaki di dalam
darahnya.4

Kasus lainnya pada tahun 1998, seorang wanita berusia 52 tahun asal Amerika dinyatakan bukan
ibu kandung dari dua anaknya (walaupun dicatatan medisnya, ia mengandung dan melahirkan
ketiga anaknya). Pada awalnya, wanita tadi melakukan tes darah pada semua anggota
keluarganya untuk mendapatkan donor yang cocok baginya guna transplantasi ginjal. Hasilnya
sangat mengejutkan, secara genetik dia bukan ibu kandung dari anak yang dilahirkannya. Tim
dokter yang menanganinya kemudian mengambil sempel DNA dari rambut, kulit, epitel kandung
kemih dan epitel mulut wanita ini, tetapi tidak ada kecocokan dengan DNA kedua anaknya. Saat
dilakukan skrining dari kelenjar tiroidnya, baru didapatkan kecocokan DNA pada keduanya. Dengan
pemeriksaan selanjutnya, terbukti bahwa wanita ini adalah 46,XX/46/XX human tetragametic
Chimera, dimana butuh waktu dua tahun bagi tim dokter dari Boston ini memecahkan teka-teki
5
genetik tadi. Kasus serupa dilaporkan di majalah Nature tahun 1979, yang menjelaskan bahwa
pada seorang wanita, setelah menjalani tes genetik, bukan ibu kandung dari ke-empat anak yang
6
dilahirkannya.

Pada tahun 2002, kasus manusia Chimera juga muncul dan sampai kemeja hijau di Washington,
Amerika. Saat seorang wanita, 26 tahun, yang sedang mengandung anak ketiganya, mendaftarkan
permohonan untuk mendapatkan tunjangan anak dari suami yang akan menceraikannya. Untuk
mendapat tunjangan tadi diperlukan bukti otentik tentang hubungan darah antara suami, istri dan
anak-anaknya, salah satunya dengan tes DNA. Hasilnya didapatkan bahwa wanita tadi bukan
merupakan ibu kandung dari kedua anak yang dilahirkannya. Wanita tadi kemudian diseret kemeja
hijau dengan dakwaan penipuan atau mengambil keuntungan untuk mendapatkan uang tunjangan
dari anak yang bukan darah dagingnya. Pada persidangan, semua bukti atas kelahiran kedua
anaknya, termasuk dokter kandungan yang menanganinya menjelaskan bahwa kedua anak tadi
merupakan anak kandung dari wanita yang bersangkutan. Tetapi tes DNA membuktikan lain,
sehingga siwanita tetap menjadi tersangka. Hakim akhirnya memerintahkan jaksa penuntut umum

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia 75
INOVASI Vol.11/XX/Juli 2008

untuk hadir saat wanita ini melahirkan anak ketiganya diruang persalinan dan segera mengambil
sampel darah bayi tadi untuk dicocokan dengan DNA ibunya.

Gambar 3. Derivation of various tissues from human chimera.5

Dua minggu kemudian, hasil tes DNA menunjukan bahwa DNA bayi tadi dan ibu yang
melahirkannya tidak cocok. Singkat cerita, pengacara wanita ini secara tidak sengaja membaca
5
artikel tentang manusia Chimera yang dilaporkan dari Harvard Medical School, Boston. Dan
mendapatkan izin dari pengadilan untuk melakukan pemerisaan menyeluruh pada wanita tadi.
Sampel dari kulit, rambut dan serviks wanita ini diisolasi dan ditemukan hanya sampel dari serviks
wanita tadi yang cocok dengan profil DNA dari ketiga anaknya.7 Bila bukan dari artikel kedokteran
Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia 76
INOVASI Vol.11/XX/Juli 2008

yang melaporkan tentang manusia Chimera tadi, wanita ini dipastikan akan kehilangan ketiga
anaknya untuk selamanya dan meringkuk dalam penjara.

2.4. Phenomena dari Kesalahan dalam Proses Pembuahan


Manusia Chimera berawal dari kehamilan anak kembar, yang pada fase pembentukan embrio
berakhir dengan menyatunya dua embrio tadi menjadi satu embrio saja, dengan mekanisme yang
belum diketahui. Bila embrio anak kembar ini sama jenis kelaminnya maka akan terjadi true human
Chimera. Dilain pihak, bila embrio anak kembar ini berbeda jenis kelaminnya akan kita dapatkan
hermaphrodite human Chimera.

3. Penutup

Manusia Chimera ditemukan 30 kali dalam sejarah yang tercatat di jurnal kedokteran. Dari 30
kelahirannya kebanyakan mati saat lahir (stillborn) atau pada usia yang sangat muda. Saat ini
hanya empat manusia chimera yang masih hidup dengan masalah medis. Penegakan diagnosis
untuk Chimera ini memang masih sangat sulit dan membutuhkan tehnologi medis terbaru serta
menjadi tantangan bagi praktisi di bidang genetik. Namun demikian, setelah mengetahui apa itu
manusia chimera, tentunya kita tidak perlu ambil langkah seribu bila bertemu dengan salah satu di
antaranya.

Daftar Pustaka:

[1] Anderson D, et al., 1951, The use of skin grafts to distinguish between monozygotic and
dizygotic twins in cattle. Heredity 5: 379-397.
[2] de Grouchy J., 1980, Jumeaux Mosaiques Chimeres et autres aleas de la fecundation humaine.
Medsi
[3] Strain L, et al., 1998, A true hermaphrodite chimera resulting from embryo amalgamation after
in vitro fertilization. N Engl J Med 338: 166-169.
[4] Bird G, et al., 1982, Another example of haemopoietic (twin) chimaerism in a subject unaware
of being a twin. Immunogenet 9: 317-322.
[5] Yu N, et al., 2002, Disputed maternity leading to identification of tetragametic chimerism. N Engl
J Med 346: 1545-1552.
[6] Mayr W, et al., 1979, Human chimaera detectable only by investigation of her progeny. Nature
277: 210-211.
[7] ABC NEWS Aug 15, 2006. She’s her own twin. Available at http://abcnews.go.com/

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia 77
INOVASI Vol.11/XX/Juli 2008
NASIONAL

HUKUM KEWARGANEGARAAN DAN STATUS ORANG ASING DI JEPANG


Azhar
Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya
PPA, FBEPS, UBD
E-mail: aazhar_2000l@yahoo.com
1. Pendahuluan

Akhir-akhir ini, warga negara asing yang mengunjungi Jepang dan warga negara Jepang yang
berpergian keluar negeri meningkat secara drastis. Jumlah orang asing yang mengunjungi
Jepang mengalami peningkatan dua kali lipat dalam dekade 10 tahun terakhir. Hal ini
dikarenakan adanya kemajuan di bidang internasionalisasi dan globalisasi masyarakat dunia
maupun perkembangan sarana komunikasi dan transportasi.

Warga negara asing diperbolehkan memasuki dan tinggal di Jepang dengan syarat untuk
melakukan kegiatan sesuai dengan status tinggal dan jangka waktu tertentu seperti yang telah
diputuskan oleh pejabat pemeriksa imigrasi pada saat kedatangan di bandara atau pelabuhan.
Disamping itu, apabila penduduk asing ingin mengubah status kependudukannya setelah
tinggal di Jepang atau memperpanjang masa berlaku untuk tinggal di Jepang atau untuk
mendapatkan izin melakukan kegiatan di luar status yang ia miliki sewaktu mendapatkan status
penduduk terdahulu atau izin masuk kembali dan lain-lain, mereka diwajibkan menyampaikan
permohonan untuk perubahan status di Kantor Imigrasi yang terdekat. Kantor Imigrasi setempat
akan mempertimbangkan permohonan tersebut apakah bisa diizinkan atau tidak.

Status kepenpendudukan seseorang dan jangka waktu tinggal di Jepang dibuat untuk menjamin
hak yang bersangkutan sehubungan dengan kehidupan bermasyarakat di Jepang secara adil,
dan juga dalam rangka mengawasi keberadaan mereka di Jepang. Oleh karena itu keberadaan
orang asing dapat bermanfaat bagi orang Jepang maupun orang asing itu sendiri[1].

2. Pembahasan

Berdasarkan dari uraian diatas, maka dalam tulisan ini penulis akan membahas tentang:

a. Bagaimana hukum kewarganegaraan di Jepang;

b. Bagaimana status orang asing;

c. Bagaimana hukum imigrasi dan perubahannya di Jepang

2.1. Hukum kewarganegaraan di Jepang

Pengaturan tentang kewarganegaraan terdapat dalam Undang-Undang Nomor 147 tahun 1950
tentang Kewarganegaraan [2]. Undang-Udang Kewarganegaraan (UUK) ini diubah pada tahun
1984 dalam rangka memenuhi persyaratan konvensi terhadap pembatasan segala macam
1
bentuk diskriminasi terhadap wanita di Jepang yang diratifikasi pada tahun 1980 [3].

Seseorang memiliki kewarganegaraan Jepang apabila ia : (1) pada saat lahir, salah satu
orangtuanya warga negara Jepang, (2) Ayahnya yang meninggal sebelum yang bersangkutan
lahir adalah warga negara Jepang, (3) Seorang anak lahir di Jepang dan kedua orangtuanya
tidak diketahui, atau orangtuanya tanpa kewarganegaraan [4]. Kewarganegaraan Jepang
didapat melalui pengesahan atau naturalisasi.

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia 78
INOVASI Vol.11/XX/Juli 2008

Sebelum adanya perubahan terhadap UUK tahun 1984, UUK tahun 1950 menegaskan bahwa
jika bapaknya warga negara Jepang pada saat anak lahir, maka anak tersebut warga negara
Jepang. Namun, hal ini tidak berlaku, apabila ibu si anak warga negara Jepang sedangkan
bapaknya bukan warga negara Jepang. Oleh karena itu jika seorang laki-laki warga negara
Jepang menikah dengan wanita bukan warga negara Jepang, maka anaknya menjadi warga
negara Jepang. Sebaliknya jika Ibu warga negara Jepang dan bapak bukan warga negara
Jepang maka anaknya berhak atas kewarganegaraan Jepang.

Hal ini dianggap tidak adil dan sesuatu yang sangat menjengkelkan, bilamana di negara bapak
anak tersebut menganut prinsip ius soli (kewarganegaraan berdasarkan tempat kelahiran),
maka anak tersebut tidak mempunyai kewarganegaraan. Dalam sebuah kasus, seorang anak
yang lahir dari ibu warga negara Jepang yang menikah dengan warga negara Amerika, maka
registrasi si anak akan ditolak karena tanpa kewarganegaraan. Pengadilan negeri menolak
alasan bahwa ketentuan hukum yang berlaku terhadap Hukum Kewarganegaraan bertentangan
2
dengan perlindungan yang sama yang terdapat dalam Konstitusi Jepang tahun 1946 [5].

Undang-undang tentang Kewarganegaraan diubah pada tahun 1984 terutama terhadap


ketentuan yang mengatur perlakuan yang berbeda berdasarkan jenis kelamin [6].

Kewarganegaraan Jepang bisa didapat melalui pengesahan, yaitu apabila seorang anak yang
tidak sah tidak mendapat status anak sah melalui perkawinan orangtuanya. Pengakuan secara
terpisah oleh bapak anak tersebut harus dilakukan. Adalah sah, seorang anak di bawah umur
duapuluh tahun mendapatkan kewarganegaraan Jepang, dengan dasar ibu atau bapaknya
yang mengakui anak tersebut adalah warga negara Jepang pada saat anak tersebut lahir dan
baik masih sebagai warga negara Jepang, atau telah menjadi warga negara Jepang pada saat
ia meninggal [7].

UUK juga mengatur tata cara naturalisasi sebagai salah satu cara untuk mendapatkan
kewarganegaran Jepang. Naturalisasi harus mendapat izin dari Kementerian Kehakiman
Jepang dan memenuhi persyaratan minimum untuk naturalisasi, yaitu pemohon harus telah
tinggal di Jepang lebih dari lima tahun tanpa terputus, harus berumur duapuluh tahun atau lebih,
dan mempunyai kapasitas hukum yang diperbolehkan di negara asalnya. Dia harus
memperlihatkan ‘karakter dan prilaku yang baik,’ dapat memenuhi kebutuhan hidup dirinya
(termasuk kemungkinan didukung oleh keahlian atau harta benda isteri atau suami yang tinggal
bersamanya), tidak punya kewarganegaraan, atau kehilangan kewarganegaraannya, dan tidak
pernah berencana atau menghasut untuk menentang Konstitusi dan Pemerintahan Jepang atau
ikut berpartisipasi terhadap organisasi yang terlarang [8].

Bagi seseorang yang mempunyai hubungan dengan Jepang, misalnya telah menikah dengan
warga negara Jepang, persyaratannya dipermudah. Bagi suami atau isteri warga negara
Jepang yang telah berdomisili atau bertempat tinggal di Jepang tidak kurang dari tiga tahun
tanpa terputus dan pada saat berdomisili di Jepang dia dapat memohon untuk bisa
mendapatkan kewarganegaraan Jepang. Hal ini sama halnya dengan seseorang yang telah
menikah dengan warga negara Jepang tidak kurang dari tiga tahun dan bertempat tinggal di
Jepang untuk satu tahun atau lebih [9].

Seseorang yang mempunyai multi kewarganegaraan diharuskan memilih salah satu


kewarganegaraannya dalam waktu dua tahun. Jika yang bersangkutan di bawah duapuluh
tahun, yang bersangkutan harus memilih kewarganegaraannya sebelum yang bersangkutan
berumur duapuluh dua tahun [10]. Pilihan kewarganegaraan dengan penolakan atau dengan
pengikraran pilihan terhadap kewarganegaraan Jepang dan penolakan terhadap
kewarganegaraan asing [11]. Pernyataan tersebut dibuat dengan mengisi formulir yang
disediakan di kantor kecamatan, tempat yang bersangkutan tinggal.

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia 79
INOVASI Vol.11/XX/Juli 2008

Warga negara Jepang yang lahir di negara asing dan mendapatkan kewarganegaraan negara
asing karena kelahiran diharuskan didaftarkan sebagai warga negara Jepang semenjak tiga
bulan semenjak dilahirkan. Jika tidak, anak tersebut terancam kehilangan kewarganegaraan
Jepangnya. Tapi anak tersebut bisa mendapatkan kembali kewarganegaraan Jepangnya jika ia
di bawah dua puluh tahun dan berdomisili di Jepang, dengan mengisi surat pemberitahuan
kepada Menteri Kehakiman Jepang [12].

2.2. Status Orang Asing

Pada umumnya warga negara asing diperbolehkan untuk tinggal di Jepang berdasarkan hak
alami yang ada dalam perlindungan hak asasi dan kebebasan yang diwujudkan dan dilindungi
oleh Konstitusi Jepang. Mahkamah Agung Jepang membenarkan prinsip ini, seperti dalam
kasus McLean, seorang warga negara asing dyang itolak perpanjangan visanya oleh
Kementerian Kehakiman. Mahkamah Agung memenangkan permohonan yang diajukan oleh
Mclean untuk perpanjangan visanya [13].

Lebih kurang 560,000 orang Korea dan Taiwan telah berdomisili di Jepang dari sebelum
berakhirnya Perang Dunia Kedua. Status mereka diatur secara tersendiri dalam undang-undang
tentang pengaturan imigrasi terhadap orang yang hilang kewarganegaraan Jepangnya
dikarenakan Perjanjian Damai San Fransisco[14]. Perjanjian ini dibuat pada tanggal 8
September 1951 di San Fransisco antara Jepang dan Amerika dalam rangka mengembalikan
hak-hak, keuntungan dan kedaulatan Negara-negara bekas jajahan Jepang seperti Korea
Selatan, Taiwan dan Cina. Di dalam perjanjian damai tersebut diatur juga bahwa sebelum
Perang Dunia Kedua, orang Taiwan dan Korea merupakan warga negara Jepang karena kedua
negara tersebut dijajah oleh Jepang. Mereka yang dulunya termasuk warga negara Jepang
dikembalikan kewarganegaraannya ke negara mereka masing-masing.

Status hukum orang asing tergantung apakah dia penduduk permanen berdasarkan undang-
undang tentang pengaturan imigrasi dan pegakuan terhadap status pengungsi, atau hanya
sebagai pengunjung sementara [15].

UU Nomor 100 Tahun 1991 Tentang Pemilihan Umum begitu juga UU nomor 67 Tahun 1947
Tentang Pemerintah Daerah memberikan hak untuk memilih hanya kepada warga negara
Jepang. Akhir-akhir ini, karena dipengaruhi oleh hukum beberapa negara Eropa, adanya
wacana bahwa warga negara asing dengan status permanen residen harus diberikan hak untuk
memilih dalam pemilihan lokal dan juga kemungkinan pemilihan umum nasional. Namun,
Mahkamah Agung Jepang memutuskan bahwa bukanlah hal yang bertentangan dengan
Konstitusi untuk memberikan hak pilih kepada penduduk yang berkewarganegaraan asing [16].

Pada umumnya pegawai kantor pemerintahan diharuskan warga negara Jepang. Beberapa
pemerintah daerah mengizinkan warga negara asing untuk bekerja di kantor pemerintahan
daerah yang tidak dilibatkan dalam melakukan kewenangan khusus.

Apakah hak-hak sosial diberlakukan terhadap warga negara asing menjadi masalah? Dalam
suatu kasus seorang warga negara Jepang keturunan Korea diabaikan haknya untuk
mendapatkan tunjangan sosial sebagai orang cacat. Pemohon mendapatkan kewarganegaraan
Jepang tahun 1970, tetapi telah cacat sebelum proses naturalisasi. Undang-undang yang
relevan mensyaratkan bahwa hanya bagi orang yang setelah menjadi warga negara Jepang
dan pada saat bersamaan dia berada dalam keadaan cacat yang berhak atas tunjangan sosial.
Mahkamah Agung Jepang memutuskan bahwa pemerintah diperbolehkan memberikan prioritas
kepada warga negara Jepang dalam memberikan kesejahteraan sosial karena keterbatasan
sumber keuangan [17]. Perlu diingat bahwa setelah Jepang meratifikasi Perjanjian terhadap

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia 80
INOVASI Vol.11/XX/Juli 2008

Status Pengungsi, hukum yang berhubungan dengan tunjangan sosial diubah dan persyaratan
penerima tunjangan sosial harus warga negara Jepang dihapus.

2.3. Hukum Imigrasi dan Perubahannya

Pada dekade terakhir, masyarakat Jepang sangat kawatir adanya peningkatan gangguan
terhadap ketertiban umum yang salah satu penyebabnya adalah pendatang haram/ pendatang
gelap/illegal foreign residents. Untuk itu banyak sekali permohonan dari berbagai lapisan
masyarakat Jepang kepada pemerintah untuk mengatasi masalah tersebut. Dalam rangka
mengurangi jumlah pendatang gelap, yang diperkirakan berjumlah 250,000 jiwa, diperlukan
usaha pelaksanaan pengontrolan imigrasi dan secara mendasar melaksanakan penahanan
terhadap pendatang gelap [18]. Diperlukan juga usaha dan langkah untuk mendorong
pendatang gelap mengakhiri tindakannya untuk tinggal di Jepang dengan status pendatang
gelap dan pulang ke negara asalnya secara sukarela, dan membatasi pendatang asing yang
berpura-pura sebagai pendatang yang sah setelah memasuki Jepang dengan izin masuk ke
Jepang yang didapat secara tidak sah atau bertentangan dengan hukum.

Setelah hampir 30 tahun berlalu, semenjak adanya pengakuan terhadap status pengungsi di
Jepang mulai tahun 1981, banyak sekali perubahan di dalam berbagai hal yang mempengaruhi
sistem pengakuan terhadap pengungsi di Jepang sejalan dengan perubahan akhir-akhir ini di
tingkat dunia. Sistem pengakuan terhadap pengungsi harus direvisi dari sudut perlindungan
terhadap pengungsi secara manusiawi dan melalui prosedur yang benar.

Pada Agustus 1999, Konsil Promosi Bantuan terhadap orang cacat memutuskan untuk merevisi
ketentuan yang mengatur tentang orang cacat, yang berkemungkinan menghalangi orang cacat
ikut berpartisipasi dalam aktivitas sosial. Oleh karena itu perlu merevisi ruang lingkup warga
negara asing yang akan ditolak untuk memasuki Jepang, termasuk orang cacat mental, yang
tidak bisa membedakan antara yang baik dan buruk.

Sehubungan dengan hal tersebut di atas telah diadakan perubahan terhadap Hukum Imigrasi
dan pengakuan terhadap pengungsi. Terhadap pendatang gelap /illegal resident yang
memasuki Jepang, misalnya dengan menggunakan paspor palsu atau masuk secara diam-diam,
orang asing yang masa ijin tinggalnya telah habis, kemudian orang asing yang tinggal di Jepang
dengan status sebagai mahasiswa dan bekerja sebagai pegawai di tempat hiburan orang
dewasa, maka akan dikenakan sanksi minimal 300.000 yen hingga 3 juta yen.

Sedangkan bagi pekerja gelap seperti orang asing yang secara gelap tinggal di Jepang atau
yang tidak boleh bekerja karena statusnya, melakukan pekerjaan yang bertentangan dengan
hukum, atau mendapat status orang asing bagi perusahaan lain atau tempat kerja lain, maka
akan dikenakan hukuman minimal 2 juta yen hingga 3 juta yen.

Bagi orang asing yang tinggal di Jepang dengan status pra mahasiswa telah bekerja tambahan
tanpa mendapatkan izin untuk melakukan kegiatan tersebut di luar yang diizinkan sebagai
penduduk dapat dikenakan sanksi minimal 200,000 yen hingga 2 juta yen.
Pemerintah Jepang akan memberlakukan suatu sistem untuk mengizinkan tinggal sementara
adalah bertujuan untuk menjamin kepastian status hukum bagi penduduk yang illegal yang
telah mengajukan permohonan untuk diakui sebagai pengungsi. Di bawah sistem ini, bagi yang
telah diberikan izin untuk tinggal sementara di Jepang, akan ditunda proses deportasinya
apabila telah melakukukan proses pengakuan sebagai pengungsi.

Namun, izin tinggal sementara tidak akan diberikan kepada orang yang dicurigai dengan
berbagai alasan sehingga masuk dalam kategori orang yang akan dideportasi seperti mereka
yang telah melamar untuk diakui sebagai pengungsi setelah enam bulan tiba di Jepang, mereka
secara tidak langsung masuk ke Jepang dari suatu wilayah yang berbahaya, dan bagi mereka

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia 81
INOVASI Vol.11/XX/Juli 2008

yang pernah dihukum setelah masuk ke Jepang, kurungan badan atau dipenjara karena
melakukan tindak pidana dalam hukum pidana Jepang atau hukum lainnya.

Pemberian izin tinggal sementara akan diberikan kepada mereka karena alasan yang tidak
dapat dihindarkan seperti gagal mengajukan permohonan dalam enam bulan atau terhadap
orang asing yang telah tinggal dan memohon ke negara sebelumnya, namun tidak diberikan
status pengungsi. Pemberian izin untuk tinggal di Jepang diberikan secara menyeluruh bagi
yang diakui sebagai pengungsi, karena memenuhi persyaratan, dengan tujuan untuk menjamin
status hukum mereka.

Dalam rangka meningkatkan persamaan dan kenetralan dalam prosedur terhadap pengakuan
pengungsi, Konselor pemeriksaan untuk pengungsi akan ditunjuk, dan pihak ketiga akan
dilibatkan dalam pemeriksaan tingkat banding. Dalam melaksanakan prosedur terhadap
pengakuan pengungsi, karena kesulitan dalam mengumpulkan bukti-bukti dari luar negeri untuk
menunjang pengakuan status pengungsi, disyaratkan untuk mendapatkan fakta-fakta sebagai
dasar pengakuan dengan mengevaluasi bukti-bukti yang terbatas secara benar,
mempertimbangkan situasi internasional dalam pemeriksaan dan keputusan secara akurat, dan
mengintepretasikan perjanjian dan konvensi yang berkaitan secara menyeluruh. Dikarenakan
kebutuhan yang sedemikian, konselor pemeriksa akan ditunjuk dari (1) praktisi hukum yang
mempunyai kemampuan dalam memutuskan fakta-fakta, (2) mereka yang mempunyai
kemampuan dalam masalah regional dan internasional seperti mereka yang pernah bekerja di
misi diplomatik atau perusahaan perdagangan, koresponden luar negeri, akademisi dalam
bidang politik internasional, mantan pegawai Perserikatan Bangsa-Bangsa, dan (3) ahli dalam
hukum internasional, hukum luar negeri, dan hukum administrasi dan sebagainya.

3. Kesimpulan

Di dalam Hukum Kewargananegaraan Jepang telah dihapus segala bentuk diskriminasi


terhadap wanita di Jepang sesuai dengan Kovensi terhadap pembatasan segala macam bentuk
diskriminasi terhadap wanita pada tahun 1980. Dilain pihak, masyarakat Jepang menghendaki
bahwa sistem pengaturan terhadap orang asing direvisi dalam rangka menjamin keselamatan
dan kepentingan masyarakat Jepang secara utuh, sehingga masyarakat Jepang dapat
meningkatkan dan mempererat kehidupan berdampingan dengan orang asing secara damai.
Sehingga perlu merevisi undang-undang keimigrasian dan memperberat sanksi khususnya
terhadap pendatang gelap, orang asing yang tinggal di Jepang dan telah habis masa berlaku
izinnya, orang asing yang tinggal di Jepang dengan status mahasiswa dan orang asing yang
bekerja ditempat hiburan untuk orang dewasa. Selain itu merevisi dan memperketat peraturan
tentang status pengungsi dalam rangka menjamin kepastian status hukum bagi penduduk
illegal yang telah mengajukan permohonan untuk diakui sebagai pengungsi.

4. Daftar Pustaka

[1] Minister of Justice Japan (MOJ). Retrieved from: http://www.moj.go.jp/ENGLISH/IB/ib-


02.html. <Accessed on March 25th 2008>

[2] Undang-undang Nomor 147 tahun 1950 tentang Kewarganegaraan.

[3] Undang-undang Nomor 147 tahun 1950 tentang Kewarganegaraan.

[4] Pasal 2 Undang-undang Nomor 147 tahun 1950 tentang Kewarganegaraan.

[5] Keputusan Pengadilan Negeri Tokyo, 30 Maret, 1981 (Hanji 1363-68).

[6] R. Yamada dan F. Tsuchiya, 1985, An Easy Guide to the New Nationality Law,
(Bimbingan yang Simple terhadap Hukum Kewarganegaraan) Tokyo, hlm.2-15.

[7] Pasal 3 ayat 1 Undang-undang Kewarganegaraan Jepang tahun 1984.

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia 82
INOVASI Vol.11/XX/Juli 2008

[8] Pasal 5 ayat 1 Undang-undang Kewarganegaraan Jepang tahun 1984.

[9] Pasal 7 ayat 1 Undang-undang Kewarganegaraan Jepang tahun 1984.

[10] Pasal 14 ayat 1 ayat 1 Undang-undang Kewarganegaraan Jepang tahun 1984.

[11] Pasal 14 ayat 2 ayat 1 Undang-undang Kewarganegaraan Jepang tahun 1984.

[12] Pasal 12 dan 17 Undang-undang Kewarganegaraan Jepang tahun 1984.

[13] Keputusan Mahkamah Agung, 4 Oktober, 1978 (Minshu 32-7-1223; Mc Lean case).

[14] Undang-undang Nomor 71. tahun 1991 tentang Penanganan Khusus terhadap
Pengaturan Imigrasi.

[15] K. Tezuka, 1995, Gaikokujin to Ho (Orang Asing dan Hukum), Tokyo, hlm.298-303.

[16] Keputusan Mahakamah Agung Jepang, 28 Februari, 1995 (Minshu 49-2-639).

[17] Keputusan Mahkamah Agung Jepang, 2 Maret, 1989 (Hanji 1363-68; Shiomi case).

[18] Ministry of Justice of Japan (Kementerian Kehakiman Jepang).

1
Sebelum diberlakukannya Undang-undang Nomor 147 tahun 1950 tentang Kewarganegaraan banyak sekali
diskriminasi terhadap wanita Jepang antara lain, tidak mempunyai hak mewarisi harta orangtua maupun saudaranya,
tidak mempunyai hak untuk memilih dan dipilih bahkan tidak mempunyai hak untuk menentukan nasib sendiri
seperti memilih pasangan hidupnya. Sebelumnya masih berlaku sistem yaitu anak laki-laki tertua yang mempunyai
kewenangan dalam sebuah rumah.
2
Konstitusi Jepang tahun 1946 Pasal 11 berbunyi “Tidak dibenarkan menghalagi seseorang untuk menikmati hak-hak
yang mendasar.” Hak-hak yang mendasar meliputi hak-hak asasi manusia termasuk di dalamnya hak untuk hidup,
berserikat, berkumpul, menyatakan pendapat dan juga mendapatkan kewarganegraan.

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia 83
INOVASI Vol.11/XX/Juli 2008
NASIONAL

MENINGKATKAN EFEKTIFITAS SISTEM PENGELOLAAN


DANA PENSIUN DAN SISTEM PERPAJAKAN
Bobby Adhytia
Mahasiswa Program S2 - Keio University)
E-mail: bobadhytia@hotmail.com

1. Pendahuluan

Kebutuhan sistem dana pensiun sangat berkaitan dengan perkembangan demografi dan
sosioekonomi suatu negara. Penduduk di banyak negara maju bergantung pada sistem jaminan
sosial (social security system) yang dijalankan pemerintah, disamping juga sistem pensiun yang
ditawarkan perusahaan tempat mereka bekerja, untuk membiayai kebutuhan hidup pada saat
usia senja. Sedangkan di negara berkembang, termasuk Indonesia, keikutsertaan para pekerja
dalam jaminan pensiun masih sangat rendah dan belum menjadi suatu kewajiban sebagaimana
lazimnya di negara maju. Bilapun diwajibkan hanya untuk pekerja di sektor formal. Padahal di
Indonesia dominasi sektor informal cukup besar.

Ditambah dengan banyaknya permasalahan yang dihadapi pemerintah saat ini, menyebabkan
permasalahan dana pensiun belum menjadi prioritas utama. Padahal diperkirakan pada tahun
2020 akan terjadi ledakan jumlah pensiunan dari generasi pekerja saat ini. Tanpa adanya sistem
pensiun yang mapan, hal ini dapat menyebabkan masalah sosial. Tulisan ini akan mencoba
mengangkat tema pengelolaan sistem pensiun yang juga dikaitkan dengan sistem perpajakan.

2. Skema Dana Pensiun

Skema sistem pensiun dapat dibagi menjadi dua, skema kontribusi dan skema hasil. Pertama,
skema kontribusi yang ditentukan atau defined contribution / DC. Dalam hal ini penghitungan
nilai pensiun ditentukan dengan formula yang umumnya berdasarkan pengalaman bekerja
ataupun usia pekerja. Kedua, skema hasil yang ditentukan atau defined benefit / DB, yaitu nilai
pensiun berdasarkan nilai yang disetorkan (kontribusi pekerja) dan hasil dari investasi yang
ditanamkan (investment earnings).

Isu-isu lain yang juga mempengaruhi dua skema di atas adalah mengenai bagaimana
pengelolaan dana pensiun (manajemen yang dikelola oleh publik atau swasta), tipe investasi
yang diperbolehkan untuk ditanamkan, serta bagaimana cara menambah rasio cakupan
keikutsetaan dalam dana pensiun.

Trend dari banyak negara telah menunjukkan beberapa perubahan yang signifikan (James,
2004). Pertama, perubahan pola defined benefit (DB) ke pola defined contribution (DC). Pola DC
dianggap lebih baik daripada DB karena resiko partisipasi para pengikut asuransi lebih rendah
dan pengelolaan aset juga dapat dilakukan secara lebih profesional. Hasilnya pola DC
menawarkan jaminan pensiun yang menjanjikan dan lebih unggul daripada pola DB. Keutamaan
lain dari pola DC adalah fleksibilitas pengaturan pola investasi yang telah ditanamkan terutama
bagi mereka yang berpindah pekerjaan, dibandingkan dengan pola DB yang perhitungan
pensiun menjadi kompleks ketika seseorang berpindah pekerjaan.

Kedua, peralihan dari pola pay-as-you-go (pembiayaan pensiun konstan selama aktif bekerja)
ke pola pre-funding (pembiayaan secara gradual dan terakumulasi). Keutamaan dari pre-funding
adalah: (i) terhindar dari tanggunan transfer yang besar antara generasi dari pekerja dalam usia
aktif dengan pekerja yang telah mendekati masa pensiun terutama ketika jumlah pensiunan
mencapai puncaknya; (ii) ketergantungan akan progresif payroll tax (pajak orang pribadi) dapat
berkurang. Seperti halnya di Jepang yang jumlah populasi lanjut usianya (aging population)
besar, potensi kenaikan tarif pajak yang ditanggung pekerja pada usia produktif juga meningkat,
yang pada akhirnya dibebankan pada pekerja pada usia produktif. Indonesia sendiri belum

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia 84
INOVASI Vol.11/XX/Juli 2008

menghadapi permasalahan seperti ini dikarenakan jumlah usia pekerja produktif yang masih
besar. Namun demikian, seiring dengan jumlah pekerja yang memasuki masa pensiun mencapai
puncaknya dalam dua atau tiga dekade ke depan, permasalahan di atas perlu juga kiranya
dicermati; (iii) membantu untuk membangun tabungan nasional (national saving), terutama untuk
jangka panjang (long-term saving). Tabungan ini memfasilitasi akumulasi kapital dan juga
meningkatkan porsi Produk Domestik Bruro (PDB) dengan bertambahnya konsumsi setelah
masa pensiun. Tabungan domestik ini dapat mengurangi ketergantungan dari arus kapital asing
yang masuk dan dapat menjadi strategi jangka panjang untuk meningkatkan output dan
produktivitas serta meningkatkan standar hidup terutama ketika jumlah pensiunan membengkak.

Ketiga, peralihan dari investasi dari Surat Utang Negara (SUN) dan deposito bank ke portofolio
investasi yang lebih terdiversifikasi. Diversifikasi resiko terhadap dana yang diinvestasikan
adalah hal yang krusial yang memiliki trade off juga antara investasi yang menawarkan bunga
yang lebih rendah tapi aman (bank deposito) dengan investasi yang memiliki resiko yang tinggi
tapi juga menawarkan keuntungan yang lebih besar (seperti di pasar modal). Satu hal yang
menyebabkan dana pensiun yang ditawarkan pihak swasta berkembang pesat karena
keuntungan yang lebih menarik, dimana dana masyarakat disalurkan ke investasi yang
menawarkan rate-of-return yang lebih besar dibandingkan dengan yang ditawarkan oleh
pemerintah.

Sudah menjadi rahasia umum bahwa manajemen dari dana pensiun yang dikelola pemerintah
dimasuki oleh kepentingan kelompok tertentu disertai dengan tidak transparannya pengelolaan
dana tersebut. Investasi di luar negeri mungkin dapat menjadi salah satu alternatif terutama bila
terjadi guncangan ekonomi di dalam negeri seperti yang dialami ketika masa krisis ekonomi
diakhir tahun 90-an. Tentu saja untuk merealisasikan hal ini dibutuhkan kajian yang lebih dalam.
Peraturan pemerintah sendiri hingga saat ini belum mengizinkan untuk menempatkan dana
pensiun masyarakat pada investasi di luar negeri.

3. Pelajaran dari Pengelolaan Dana Pensiun di Luar Negeri

Perlu kiranya pengalaman positif negara lain dalam mengelola dana pensiun (Dapen) juga
dicermati. Penulis mencoba mengangkat pengalaman dari dua negara, yang satu adalah negara
berkembang (Chili) dan satu lagi adalah negara maju (Amerika). Chili mereformasi sistem
dapen-nya pada tahun 1980 lewat sistem pre-funded defined contribution (James, 2004). Hasil
dari sukses reformasi ini tercermin dari rata-rata keuntungan tahunan dari investasi yang
mencapai 10%, jumlah keikutsertaan pekerja yang meningkat pesat ditandai juga dengan
berkembangnya sektor formal dibandingkan dengan sektor informal, rasio aset terhadap hutang
yang layak, dan terutama peningkatan kesejahteraan penduduk.

Kunci dari keberhasilan dari sistem ini adalah: (i) adanya account pribadi bagi peserta pensiun
dengan rasio kontribusi proporsional terhadap penghasilan. Jumlah yang diberikan kepada
pensiunan terakumulasi dari tiap account pribadi, usia ekspektasi dan discount rate; (ii) adanya
kompetisi yang sehat antar penyelenggara dana pensiun sehingga mereka menawarkan opsi
yang lebih menguntungkan kepada publik; serta (iii) kebebasan yang ditawarkan kepada pekerja
untuk memilih penyelenggara dana pensiun yang diminatinya. Aset pensiun yang disalurkan
masyarakat dengan aset yang dimiliki oleh perusahaan juga dipisahkan dari sisi akuntan dan
legal hukum. Negara juga menjamin jumlah minimum pensiunan yang diberikan bagi pekerja
yang cacat dan sanak keluarga yang ditinggalkan.

Untuk menarik dana pensiun, Pemerintah Chilli menawarkan tiga alternatif: (i) dapen ditarik
secara rutin (scheduled withdrawal); (ii) dapen ditarik sekali secara keseluruhan (life annuity);
dan (iii) merupakan gabungan dari (i) dan (ii) dimana pensiunan memperoleh penghasilan
temporer untuk waktu tertentu dan pada akhirnya mendapatkan dana yang ditarik secara
keseluruhan. Sukses reformasi dana pensiun di Chili menjadi acuan reformasi di banyak negara,
terutama di negara Amerika Latin (Peru, 1992; Kolombia dan Argentina, 1993; Uruguay, 1995;
Mexico, Bolivia and El Salvador, 1996).

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia 85
INOVASI Vol.11/XX/Juli 2008

Amerika Serikat sendiri menawarkan sistem pensiun 401(k) yang merupakan peralihan dari pola
DB menuju pola DC. Istilah 401(k) mengacu pada salah satu artikel dari otoritas pajak Amerika
(Internal Revenue Service), ide untuk mendesain sistem pensiun berdasarkan atas “kualifikasi
pajak”. Hal ini menggambarkan bagaimana peran penting dari regulasi perpajakan untuk
menghasilkan sistem pensiun yang lebih menarik. Pemberi kerja (perusahaan) dan karyawan
bersama-sama mengkontribusikan pajak awal yang dibayar ke dana pensiun (hingga ke batas
tertentu) yang dapat mengurangi jumlah premi yang seharusnya dibayarkan. Adapaun
keutamaan lainnya adalah adanya aspek keselarasan (matching aspect). Pola 401(k) didesain
untuk memberikan insentif kemudahan kepada kelompok pekerja tertentu, seiring juga
memberikan hukuman (penalty) bagi kelompok lainnya. Sebagai contoh, perusahaan dapat
menanggung sebagian beban premi yang dibayarkan oleh karyawan yang telah lama mengabdi
pada perusahaan tersebut sebagai wujud untuk menghargai loyalitas mereka. Sedangkan untuk
karyawan yang memilih untuk tidak memberikan kontribusi penuh akan menerima total
kompensasi yang lebih rendah.

Penutup

Keterkaitan sistem perpajakan terhadap pengelolaan dana pensiun bila ditelusuri sesungguhnya
sangatlah erat. Pengelolaan seperti yang diterapkan di negara maju pun disadari tidak dapat
sepenuhnya diterapkan dan harus disesuaikan dengan sosioekonomi masyarakat Indonesia
yang kesadaran membayar pajak dan kepastian hukumnya masih rendah. Untuk itu dibutuhkan
kajian-kajian yang lebih mendalam. Kondisi saat ini menunjukkan bahwa sistem pensiun di
Indonesia masih membutuhkan reformasi seiring dengan perubahan demografi penduduk serta
perubahan sosioekonomi masyarakat.

Di sini pajak dapat berperan dengan memfasilitasi kemudahan-kemudahan bagi peserta jaminan
sosial yang pada akhirnya bertujuan untuk meningkatkan kepatuhan masyarakat untuk
membayar pajak. Bila otoritas pajak dapat mengakses data para pekerja di sektor formal
maupun informal yang menjadi peserta wajib jaminan sosial, diharapkan dapat menjadi informasi
yang bermanfaat untuk meningkatkan jumlah wajib pajak individu. Sebagaimana sudah
diketahui bahwa rasio wajib pajak terhadap jumlah penduduk di Indonesia masih sangat rendah,
terutama bila dibandingkan dengan negara-negara tetangga seperti Singapura dan Malaysia.
Namun, perlu diperhatikan juga bahwa data yang dapat diakses ini digunakan untuk
kemaslahatan publik dengan tujuan untuk meningkatkan jumlah penerimaan pajak, bukan
digunakan untuk kepentingan pribadi atau kelompok tertentu.

Kunci dari semua ini adalah transparansi baik bagi otoritas pajak maupun pengelola dana
pensiun. Prinsip dari pengelolaan terkait dengan good corporate governance adalah untuk
memastikan objektivitas pengelolaan dana pensiun yang transparan dan bebas dari konflik
kepentingan. Operator pengelola dana pensiun bertanggung jawab atas segala keputusan yang
diambil terkait dengan tercapainya tujuan pengelolaan dana pensiun yang tak lain adalah untuk
mensejahterakan para anggotanya–yang tak lain juga adalah para pembayar pajak.

Daftar Pustaka
[1] Arifianto, A. (2004) ‘Social Security Reform in Indonesia: an Analysis of the National Security
Bill (RUU Jamsosnas)’ Working Paper. SMERU Research Institute, Jakarta

[2] James, Estelle (2004) ‘Reforming Social Security; What can Indonesia Learn from Other
Countries?’ USAID

[3] Okamoto, A and T. Tachibanaki (2002) ‘Integration of Tax and social security Systems: On
the Financing Methods of a Public Pension Scheme in a Pay-As-You-Go System’ in
Toshihiro Ihori and Toshiako Tachibanaki, eds. Social Security Reform in Advanced
Countries. Routledge: London. 2002: pp 132-160

[4] Rachmatarwata, I. (2004) ‘Indonesia Pension System: Where to Go?’ International


Conferences on Hitotsubashi Collaboration Center, Tokyo.

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia 86
INOVASI Vol.11/XX/Juli 2008
NASIONAL

KETIDAKBERDAYAAN TERHADAP SUAP

Rijanta Triwahjana
Alumni Yokohama National University, bekerja di Departemen Keuangan
E-mail: r_antok3@yahoo.com

Keraguan terhadap kinerja pimpinan baru Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada saat fit
and proper test di DPR oleh beberapa kalangan, dijawab dengan runtutan peristiwa
penangkapan terhadap jaksa Urip Tri Gunawan (UTG) dan seorang anggota DPR yaitu Al Amin
Nasution (AAN) yang keduanya sama-sama tertangkap tangan menerima suap untuk kasus yang
berbeda. Selain itu berlanjut dengan ditahannya Gubernur BI Burhanuddin Abdullah yang lebih
kurang 2 bulan sebelumnya telah menjadi tersangka sejak 27 Januari 2008 bersama dua
bawahannya yaitu Direktur Hukum BI, Oey Hoey Tiong, dan mantan Kepala Biro BI, Rusli
Simanjuntak yang telah ditahan terlebih dahulu, serta KPK juga telah menahan Hamka Yamdhu
anggota DPR dan Mantan anggota DPR Antony Zaidra Abidin (Wagub Jambi) dalam kasus yang
sama.

Gebrakan dari pimpinan KPK yang baru ini memang sempat membuat kejutan. Hal ini karena
selama ini wilayah Senayan yang seakan-akan tidak dapat tersentuh oleh pihak luar dan selalu
membantah keras bila ada berita ataupun laporan tentang korupsi dan aktivitas suap menyuap
yang ada di lembaga DPR, akhirnya bisa di terobos oleh para penyidik KPK. Pada saat yang
hampir bersamaan pula, DPR sedang mempertimbangkan untuk menggugat salah satu grup
musik yang dianggap oleh sebagian anggota DPR ada sebuah lirik lagu yang sangat menyingung
martabat anggota DPR. Tetapi kemudian ibarat peribahasa air di dulang terpercik ke muka
sendiri, akhirnya Badan Kehormatan (BK) DPR merekomendasikan kepada pimpinan DPR agar
membatalkan rencana gugatannya kepada grup musik tersebut.

Dalam kasus jaksa UTG, penangkapannya dilakukan hanya dalam kurun waktu beberapa saat
setelah pihak Kejaksaan Agung (Kejagung) membuat press release yang isinya kurang lebih
menyatakan bahwa tidak ada unsur kerugian negara dalam kasus BLBI. Padahal dari segi
ekonomi makro Indonesia, dana talangan BLBI ini sangat membebani APBN dalam jangka waktu
yang cukup lama. Beberapa waktu sebelumnya KPK juga sempat membuat kejutan dengan
menangkap Irawady Joenoes (IJ), seorang komisioner yang juga sekaligus merangkap sebagai
Wakil Ketua Komisi Yudisial (KY) dalam kasus suap pengadaan tanah yang nantinya diatas
tanah tersebut akan didirikan kantor Komisi Yudisial.

Dari kesemua kasus penangkapan yang dilakukan oleh KPK tersebut diatas, memperlihatkan
kepada kita semua sekaligus sebagai bukti bahwa tidak hanya aparat penegak hukum kita tetapi
juga seluruh komponen lembaga tingi negara sangat rentan terhadap segala bentuk dan aktifitas
penyuapan.

Bagi kalangan tertentu peristiwa penyuapan seseorang yang sedang terlibat dalam sebuah kasus
kepada oknum aparat adalah merupakan sebuah common practice untuk bisa mendapatkan
keringanan, bantuan, kelancaran atau bahkan pembebasan dari kasus yang sedang
menimpanya. Demikian juga dalam aktifitas pengadaan atau proyek yang tidak terbatas hanya
pada institusi pemerintah tapi juga swasta, peristiwa penyuapan agar bisa memenangkan tender
kerap sekali terjadi.

Dari berbagai macam dan banyak faktor, khusus untuk pihak aparat, ada tiga hal utama yang
bisa menjadi trigger dalam aktifitas suap menyuap ini, yaitu kecilnya gaji yang tidak sebanding

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia 87
INOVASI Vol.11/XX/Juli 2008

dengan gaya hidup, mental dan moralitas, serta kondisi sosial masyarakat, tiga faktor yang saling
berhubungan antara satu dengan yang lain.

Pertama adalah besaran gaji, sebuah masalah klasik yang secara general tidak hanya menjadi
masalah bagi aparat penegak hukum, tapi juga dialami oleh hampir diseluruh lini pegawai
pemerintah. Masalah klasik ini cenderung kepada ketidaksesuaian antara pendapatan dan gaya
hidup. Gaya hidup bukan kebutuhan hidup, memang mirip tapi dalam konteks pelaksanaan,
sangat jauh bertolak belakang.

Lihat salah satu alasan yang di kemukakan oleh Jaksa Agung pada saat dengar pendapat
dengan DPR, saat itu Jaksa Agung meyebutkan bahwa gaji jaksa UTG hanya sebesar kurang
lebih rp. 3 juta. Tidak hanya itu, pada saat terungkap oleh Badan Narkotika Nasional (BNN)
maraknya peredaran dan aktifitas perdagangan narkoba yang ternyata malah di kendalikan dari
dalam Lembaga Pemasyarakatan, lagi-lagi pihak DepkumHAM dalam hal ini direktorat jenderal
pemasyarakatan juga mengungkapkan alasan yang tidak jauh berbeda. Fenomena ini sepertinya
menjadi trend alasan bagi atasan kepada pihak luar mengapa aparat penegak hukum
dibawahnya bersedia menerima uang suap. Tapi tentunya alasan ini tidak boleh menjadi alasan
pembenar dari sang atasan bagi anak buahnya untuk menerima suap.

Kebutuhan hidup memang tidak bisa tidak harus dipenuhi. Walaupun sangat sulit menyesuaikan
antara gaji dengan kebutuhan hidup ditengah melonjaknya harga barang kebutuhan pokok,
ongkos pendidikan dan kesehatan yang semakin mahal, seorang aparat penegak hukum tetap
harus dapat bertahan dengan gaji resmi yang sesuai dengan ketentuan. Tidak ada solusi lain
untuk hal yang satu ini karena kalau sudah berkreasi dengan mencoba mendapatkan sumber
pendapatan lain, yang bersangkutan menurut UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi harus
bisa membuktikan bahwa pendapatan lain tersebut bukan dari hasil kegiatan korupsi.

Seorang aparat penegak hukum tidak bisa dengan leluasa untuk mengikuti tren gaya hidup
karena keterbatasan gaji. Jadi sungguh sebuah kejadian yang luar biasa bila ada aparat ataupun
pegawai pemerintah lainnya dengan gaji yang 3 juta tetapi bisa mempunyai mobil inova terbaru
yang cicilannya untuk periode 3 tahun saja sudah diatas 5 juta. Sah-sah saja kalau ada yang
bilang hal itu berasal dari income lain seperti warisan, hibah ataupun usaha sampingan lainnya.
Tetapi harus diingat pula dari penghasilan sampingan ini yang bersangkutan harus bisa
membuktikan bahwa bukan berasal dari hasil korupsi atau suap. Jadi sungguh sangat tidak
masuk akal kalau ada aktifitas bisnis permata ataupun yang lainnya yang baru berlangsung
kurang dari setahun tapi sudah bisa menghasilkan keuntungan 6 milyar, sebagaimana alibi yang
dikatakan oleh jaksa UTG.

Yang hanya bisa meredam gejolak untuk menahan nafsu terhadap suap adalah pengendalian
mental serta penguasaan moral yang tinggi. Tanpa kedua hal ini rusaklah tatanan hidup
masyarakat Indonesia. Secara universal korupsi sekaligus suap adalah merupakan tindakan
yang salah (penulis tidak menggunakan kosa kata penghalus “tidak benar dan tidak terpuji”) dan
bagi yang beragama, apapun agamanya akan bilang bahwa korupsi dan suap itu adalah sebuah
dosa.

Sudah banyak contoh di Jepang pejabat yang ketahuan terlibat kasus korupsi ataupun suap
selalu berakhir dengan pengunduran diri, bahkan ada yang sampai bunuh diri. Lain halnya
dengan apa yang terjadi di Indonesia, pejabat daerah yang jelas-jelas kasus korupsinya sudah
diputus di Pengadilan Negeri dan dinyatakan bersalah, masih saja nekat mendaftar dalam
pilkada berikutnya. Walaupun yang bersangkutan mengajukan banding, akan tetapi dari segi
etika moral yang berlaku umum seharusnya aktifitas politik dan pemerintahan yang bersangkutan

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia 88
INOVASI Vol.11/XX/Juli 2008

berhenti sementara menunggu hasil persidangan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang
tetap.

Demikian juga dengan peristiwa runtutan penangkapan Pejabat BI, mantan anggota maupun
angota aktif DPR RI yang oleh KPK semuanya mendapat simpati dari kolega dan bahkan oleh
partai yang mengusung yang bersangkutan menjadi wakil rakyat di DPR dilindungi dan dibela.
Sebuah anomali terhadap standar etika, moral dan mental yang berlaku secara universal. Khusus
untuk AAN, ada sedikit perkembangan yang cukup mengembirakan karena begitu AAN ditangkap
oleh KPK, partai tempat yang bersangkutan bernaung langsung menonaktifkan yang
bersangkutan dari jabatannya sebagai ketua partai di propinsi Jambi. Walaupun begitu
pembelaan atau sebut saja solidaritas dari koleganya tetap saja mengalir terutama dari sesama
tim yang menangani konversi atau pembebasan lahan hutan lindung di DPR. Pembelaan yang
ada unsur ketakutan bahwa AAN akan buka mulut tentang siapa-siapa saja yang ikut bermain
dalam proses pengalihan hutan lindung di pulau Bintan.

Ada sebuah mind set yang salah selama ini didalam benak para penegak hukum di Indonesia
yaitu bahwa ada kecenderungan (walaupun sudah mengalami penurunan) menerima suap atau
memeras tersangka karena rasa tidak percaya terhadap masing-masing institusi criminal justice
system di Indonesia. Di pihak kepolisan mempunyai prasangka dari pada tersangka ini di-
“makan” oleh jaksa lebih baik di-“peras” duluan, di pihak jaksa, tersangka sebelum di-“mainkan”
oleh hakim lebih baik di-“mainkan” terlebih dahulu, sedang hakim hanya bisa bilang “bagian saya
mana nih”. Memang tidak semua polisi, jaksa atau hakim mempunyai pola pikir seperti diatas,
tapi kenyataan yang terjadi dalam prakteknya seperti itu. Kalau ketiga institusi itu membantah
tidak ada suap menyuap dalam aktifitas mereka tentunya tidak perlu ada lembaga khusus seperti
KPK dan Peradilan Khusus Tipikor di Indonesia, atau bahkan kita tidak perlu mempunyai UU Anti
Korupsi. Mind set ini seringkali timbul karena aparat tergiur dengan jumlah uang yang di
salahgunakan oleh tersangka sehingga muncul dalam pikiran aparat untuk bagaimana bisa
“kecipratan” juga uang hasil penyalahgunaan tersebut.

Selain itu, untuk jaksa UTG dan anggota DPR AAN, keduanya mempunyai modus operandi yang
sama yaitu keduanya sudah mengetahui terlebih dulu informasi tentang tidak ditemukannya
indikasi kerugian negara dalam keputusan rapat di kejaksaan untuk kasus BLBI oleh UTG
sedang untuk AAN, yang bersangkutan mengetahui bahwa tim independen bentukan Dephut
menyetujui konversi lahan di Pulau Bintan sehingga pihak DPR dalam hal ini tim yang menangani
konversi lahan tinggal ketok palu untuk mengesahkan keputusan pengalihan hutan lindung
menjadi kawasan pusat pemerintahan kota Bintan. Kemudian keduanya menjual informasi ini
kepada pihak-pihak yang berkepentingan seakan-akan atas jerih payah keduanya, mereka
berhasil memperjuangkan kepentingan “klien” mereka.

Penguasaan moral dan mental yang tinggi dalam hubungannya dengan tindakan suap dan
korupsi tidak hanya di-maintenance melalui pendidikan baik umum maupun agama dan
pengalaman hidup, tetapi juga harus ada penciptaan sebuah kondisi seperti vonis yang berat dari
pengadilan serta yang tidak kalah penting adalah penanaman nilai dalam masyarakat bahwa
suap dan korupsi adalah sebuah kegiatan yang merusak dan merugikan masyarakat. Dengan
cara penyadaran kepada masyarakat bahwa seharusnya dana korupsi tersebut bisa
didistribusikan untuk kepentingan masyarakat banyak, akan tetapi karena aktifitas suap dan
korupsi dana masyarakat tersebut hanya jatuh kepada segelintir orang atau oknum saja.

Tetapi sepertinya apa yang terjadi di Negara Indonesia tercinta ini adalah suatu hal yang sangat
ironis. Kondisi sosial masyarakat Indonesia yang permisif dan ambigu terhadap suap dan korupsi
merupakan kendala yang besar dalam upaya memberantas suap dan korupsi ini. Contah
gampang sekali bisa dilihat dari keseharian dimana kalau ada saudara, teman, tetangga atau
kolega yang lain yang diterima sebagai PNS pasti ada komentar “wah enak nih bisa dapat

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia 89
INOVASI Vol.11/XX/Juli 2008

“sampingan” kiri-kanan” atau komentar tentang institusi basah dan kering dan ungkapan-
ungkapan senada yang lain yang pada intinya sudah ada gambaran dalam benak masyarakat
Indonesia bahwa menjadi PNS selain gaji juga mendapat tambahan lain yang belum tentu jelas
asal usulnya.

Ditambah lagi dengan fanatisme lokal, kelompok, etnis bahkan agama yang kadang terlalu
berlebihan sehingga sama sekali tidak mempedulikan asal usul dana sumbangan dari seseorang
pejabat kepada kelompok masyarakat, atau agama menjadikan kontrol masyarakat menjadi
lemah dalam menghadapi kasus suap dan korupsi ini.

Ketiga faktor diatas bukan merupakan barang baru dalam mengupas permasalahan tentang
aktifitas suap menyuap ini, tetapi ada sebuah kondisi yang tidak dapat dipungkiri bahwa
kekayaan seorang pejabat dapat dengan mudah diukur. Gaji pokok ditambah tunjangan tetap
dan tunjangan-tunjangan insidentil serta tidak tetap lainnya sudah ada peraturan dan
ketetapannya, diluar itu perlu ditelusuri asal muasal dan cara perolehannya.

Menjadi aparatur negara adalah sebuah pilihan, jadi kalau mau kaya atau menginginkan standar
hidup yang lebih dari berkecukupan, tidak bisa diperoleh dengan menjadi PNS atau aparat
pemerintahan. Karena semuanya sudah ter-ukur dan ada aturan mainnya. Satu hal lagi dari
pihak pemerintah harus benar-benar menerapkan system reward and punishment yang tegas
kepada seluruh jajarannya. Saat ini system ini tidak berjalan sebagai mestinya karena masih saja
ada pihak-pihak tertentu yang memberi perlindungan kepada aparat atau pejabat yang
melakukan kesalahan dikarenakan tidak ingin sistem birokrasi yang sengaja dibuat rumit dan
tidak efisien ditata dengan benar. Karena dengan birokrasi yang rumit dan tidak efisien, proyek-
proyek dan pos-pos anggaran yang tidak perlu tetap bisa dipelihara untuk kepentingan kelompok
tertentu dan tentu saja untuk kepentingan diri sendiri.

Sebaliknya sungguh bertolak belakang dengan pejabat atau aparat yang jujur ataupun berani
menjadi whistle blower. Nasib whistle blower sungguh sangat menyedihkan, banyak yang
tersingkir, kehilangan jabatan atau bahkan harus terpaksa jadi tersangka karena adanya
kesalahan kecil yang dikorek-korek dan dibesar-besarkan oleh pihak-2 yang merasa terancam
dengan aktivitas si whistle blower ini.

Memang untuk menjadi negara yang bebas suap dan korupsi 100% adalah sebuah utopia,
Negara-negara dengan indeks korupsi yang rendah berdasarkan laporan ICW sekalipun belum
bisa benar-2 mencapai angka ideal yang 100% bersih dari korupsi. Tetapi setidaknya usaha
untuk memberantas bibit-bibit korupsi seperti suap ini harus benar-2 dijalankan dengan tegas dan
tanpa pandang bulu. Untuk itu diperlukan kerja keras dan kejujuran si setiap lini jajaran birokrasi
pemerintah dan seluruh lembaga tinggi negara lainnya. Bila tidak, sampai kapanpun Indonesia
akan tetap seperti sekarang ini kondisinya.

Referensi:

Beberapa harian surat kabar yang memberitakan tentang kasus-kasus suap dan korupsi di
Indonesia.

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia 90
INOVASI Vol.11/XX/Juli 2008
HUMANIORA
TOPONIMI, BUKAN HANYA TATA CARA PENULISAN
NAMA UNSUR GEOGRAFIS

Agustan
PTISDA – BPP Teknologi
Anggota Ikatan Surveyor Indonesia (ISI)
Email: agustan@tisda.org

Semangat otonomi daerah saat ini menghasilkan daerah-daerah baru sejalan dengan aspirasi
untuk pemekaran wilayah. Salah satu aspek yang harus dipertimbangkan dalam pemekaran
wilayah adalah mengenai penamaan wilayah tersebut. Mungkin banyak yang tidak begitu perduli
akan perbedaan makna dari penulisan Lhokseumawe atau Lhok Seumawe di Propinsi Nanggroe
Aceh Darussalam.

Lokasi atau tempat adalah suatu obyek yang termasuk dalam unsur geografis. Pengertian dari
unsur geografis adalah suatu obyek (features) yang dapat diidentifikasi yang terdapat di bumi.
Unsur geografis ini sendiri bisa dikategorikan dalam dua bagian besar yaitu unsur alam yang
meliputi segala unsur di daratan dan di perairan, misalnya gunung, sungai, teluk; dan unsur
buatan misalnya unsur pemukiman dan non-pemukiman. Unsur pemukiman misalnya desa,
kampung dan kota, sedangkan kawasan perkebunan, bandara, jembatan adalah contoh dari
unsur non-pemukiman.

Hal yang dapat dilakukan untuk mengidentifikasi unsur geografis tersebut adalah dengan
memberikan ‘nama’ yang berfungsi sebagai unit pengenal. Nama pada unsur geografis juga
dapat menggambarkan suatu ‘sejarah peradaban’ yang terkandung padanya. Misalnya nama
kota Jakarta yang akan berulang tahun yang ke-481, tentu saja mempunyai sejarah yang
panjang sehingga kota tersebut bernama ‘Jakarta’. Kota Surabaya, yang berasal dari sebuah
legenda akan pertarungan antara ikan hiu (sura) dan buaya. Kemudian satu lokasi di Sumatera
Selatan yang bernama Prabumulih, tentu mempunyai makna sejarah yang menarik untuk
diketahui. Juga nama Irian (yang sekarang sebagian wilayahnya diubah menjadi Papua)
menurut ahli sejarah berasal dari singkatan ’Ikut Republik Indonesia Anti Netherland’
melambangkan dinamika proses perjuangan bangsa Indonesia pada awal tahun 1960-an.

Toponimi: Sebuah Cabang Keilmuwan yang Melembaga

Tata cara pembakuan Pemberian nama pada unsur geografis ternyata tidak sesederhana
perkiraan banyak orang. Tata cara untuk menstandarisasi dan mengatur penamaan suatu unsur
geografis dikaji dan diatur dalam suatu cabang ilmu yang dikenal sebagai Toponimi. Ilmu ini
berkaitan erat dengan kajian Linguistik, Antropologi, Geografi Sejarah dan Kebudayaan.

Sejarah Toponimi dimulai bersamaan dengan dikenalnya peta (sehingga berkaitan dengan
Kartografi) dalam peradaban manusia yang dimulai pada zaman Mesir kuno. Untuk memberikan
keterangan (nama) pada unsur yang digambarkan pada peta diperlukan suatu usaha untuk
‘merekam’ dari bahasa verbal (lisan) ke dalam bentuk tulisan atau simbol. Sejarah mencatat
nama-nama Comtey de Volney (1820), Alexander John Ellis (1848), Sir John Herschel (1849)
dan Theodore W. Erersky (1913) yang terus berusaha untuk membakukan proses penamaan
unsur geografis pada lembar peta melalui berbagai metode. Pada akhirnya Perserikatan
Bangsa-Bangsa (PBB) membentuk United Nations Group of Experts on Geographical Names
(UNGEGN) di bawah struktur Dewan Ekonomi dan Sosial PBB (UN ECOSOC).

Lembaga ini dalam konferensinya mengeluarkan resolusi penting, yaitu: ‘tiap negara harus
membentuk suatu lembaga nasional yang bertanggung jawab akan kegiatan penamaan
unsur-unsur geografis, termasuk prosedur baku dan resmi, mempublikasikan dalam peta dan
gazetir secara naional dan internasional serta terus menjaga kekinian informasi tersebut secara
berkesinambungan’. Saat ini, realisasi resolusi ini sudah dilaksanakan di negara lain misalnya di

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia 91
INOVASI Vol.11/XX/Juli 2008

Amerika Serikat melalui US Board of Geographycal Names, Selandia Baru melalui New Zealand
Geographic Board atau Nga Pou Taunaha O Aotearoa.

Kaidah Penulisan Nama Geografis

Hal penting yang diatur dalam Toponimi ini adalah pembakuan tata cara penulisan nama unsur
geografis. Secara baku, nama unsur geografis terdiri dari dua bagian yaitu nama generik dan
nama spesifik. Yang dimaksud dengan nama generik adalah nama yang menggambarkan
bentuk dari unsur geografis tersebut, misalnya sungai, gunung, kota dan unsur lainnya. Sedang
nama spesifik merupakan nama diri (proper name) dari nama generik tersebut yang juga
digunakan sebagai unit pembeda antarunsur geografis. Nama spesifik yang sering digunakan
untuk unsur geografis biasanya berasal dari kata sifat, misalnya ’baru’, ’jaya’, ’indah’, ’makmur’
atau kata benda yang bisa mencerminkan bentuk unsur tersebut, misalnya ’batu’, ’candi’ dan lain
sebagainya.

Kaidah penulisan nama geografis secara umum mengikuti kaidah penulisan yang baku dalam
bahasa Indonesia. Secara umum, ada dua hal penting yang harus diperhatikan yaitu kaidah
penulisan yang berkaitan dengan nama generik dan nama spesifik; dan kaidah penulisan yang
berkaitan dengan transformasi dari bahasa daerah dan asing ke bahasa Indonesia. Kaidah
penulisan nama geografis yang berkaitan dengan nama generik dan nama spesifik adalah selalu
ditulis secara terpisah dan dalam huruf kapital. Sebagai contoh adalah penulisan Sungai
Saddang (sebuah sungai di Sulawesi Selatan), sungai adalah nama generik, sedang Saddang
adalah nama dari sungai tersebut.

Apabila suatu nama tempat, misalnya kota, dimulai dengan nama generik yang bukan nama
tempat, maka ditulis sebagai satu kata, misalnya Bandarlampung dan Tanjungpinang. Nama
spesifik ditulis sebagai satu kata apabila terdiri dari: pengulangan kata (misalnya
Bagansiapiapi); terdiri dari 2 kata benda (misalnya Pagaralam); terdiri dari kata benda diikuti
nama generik (misalnya Pagargunung); terdiri dari 3 kata, masing-masing 2 nama generik
diikuti dengan kata sifat atau kata benda (misalnya: Muarabatangangkola, muara dan batang
adalah nama generik dari unsur hidrografis dan angkola adalah nama benda); terdiri dari 4 kata
atau lebih (misalnya Purbasinombamandalasena).

Tetapi apabila suatu nama spesifik itu diikuti dengan kata sifat, bilangan atau penunjuk arah,
maka ditulis terpisah, misalnya Kalimantan Tengah, Koto Ampek (ampek adalah empat dalam
bahasa Minang).

Bahasa daerah merupakan salah satu faktor penting dalam tata cara penulisan nama unsur
geografis. Hal ini berkaitan dengan arti dari ‘istilah’ bahasa daerah tersebut yang mungkin tidak
diketahui secara umum. Tentu saja ini merupakan tantangan bagi setiap ‘pemilik’ istilah tersebut
untuk mensosialisasikan sehingga bisa terwujud ‘saling pengertian’ dalam bangsa yang besar ini.
Istilah bahasa daerah tersebut bisa dijumpai dalam nama generik maupun nama spesifik.
Misalnya untuk nama generik, beragam istilah digunakan dari Sabang sampai Merauke untuk
mendeskripsikan sungai, misalnya krueng atau ie (Aceh), ci (Sunda), bengawan atau kali (Jawa),
batang atau way (daerah Sumatera), je’ne dan salo (daerah Sulawesi).

Contoh paling sederhana adalah penulisan Sungai Ciliwung. Selintas tata cara penulisannya
benar karena sudah ditulis terpisah dan menggunakan huruf kapital, tetapi salah dari segi
Toponimi. Sungai ini terdapat di daerah Jawa Barat, dan sebagian besar daerah ini didiami oleh
etnis Sunda yang berbahasa Sunda, dan dalam bahasa Sunda dikenal istilah Ci untuk
mendeskripsikan suatu unsur yang berbentuk air. Ci dalam pengertian ‘Ci-liwung’ adalah suatu
nama unsur yang artinya sungai, sedang Liwung adalah nama spesifik dari ‘Ci’ atau sungai
tersebut. Sehingga penulisan yang benar dari sungai tersebut adalah ‘Ci Liwung’ atau ‘Sungai
Liwung’, tapi yang sudah dibakukan adalah ‘Ci Liwung’. Hal ini untuk menghilangkan kesalahan
pengulangan makna dari unsur tersebut. Sama halnya jika menunjuk suatu gunung di daerah
Sulawesi Selatan yang dikenal dengan nama Gunung Bulusaraung, padahal Bulu adalah

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia 92
INOVASI Vol.11/XX/Juli 2008

gunung dalam bahasa setempat. Sehingga yang benar adalah ‘Bulu Saraung’, yaitu sebuah
gunung yang berbentuk seperti topi petani (caping atau saraung dalam bahasa lokal) jika dilihat
dari jauh.

Lhokseumawe atau Lhok Seumawe? Keduanya benar dari segi tata cara penulisan, tapi
berbeda dari segi makna. Lhok dalam bahasa Aceh adalah teluk, sehingga bisa dijadikan
sebagai nama generik. Sehingga apabila nama generik digunakan bersama kata lain untuk
dijadikan nama spesifik, maka harus ditulis terpisah. Misalnya, apabila digunakan untuk
menunjuk suatu unsur pemukiman yaitu ‘kota’ (nama generik) maka harus ditulis dalam satu
kata menjadi Lhokseumawe sehingga yang benar adalah Kota Lhokseumawe. Tetapi jika ditulis
Lhok Seumawe, maka yang dimaksud adalah suatu teluk (nama generik) yang bernama
Seumawe (nama spesifik).

Selain itu Toponimi juga mengatur penulisan nama geografis yang dipengaruhi oleh bahasa
asing misalnya Pelabuhan (nama generik) Tanjungperiuk (nama spesifik), bukan Pelabuhan
Tanjong Priok; Malborough menjadi Malioboro dan Buitenzorg menjadi Bogor dan lain
sebagainya.

Toponimi di Indonesia

Kegiatan Toponimi di Indonesia boleh dikatakan tidak ketinggalan dengan negara-negara


lainnya di dunia melalui partisipasi aktif (utamanya dari Bapak Prof. Jacub Rais, mantan kepala
Bakosurtanal) dalam UNGEGN dan juga Bapak Prof. I Made Sandy yang telah merintis atlas
nasional Indonesia. Indonesia pernah sukses menyelenggarakan kursus Toponimi internasional
pada tahun 1982 di Cisarua dalam koordinasi UNGEGN. Tetapi harus diakui secara umum dan
kelembagaan, kondisinya masih ‘samar-samar’. Kegiatan Toponimi masih terbatas dalam
kegiatan kecil dalam masing-masing instansi yang berkaitan dengan kegiatan spasial
(keruangan).

Lembaga Toponimi nasional sebagai salah satu resolusi dari UN Conference on Standardization
of Geographical Names (UNSCGN) sudah saatnya direalisasikan untuk mengantisipasi berbagai
tantangan ke depan. Berkaca pada negara yang telah membentuk lembaga ini, sebaiknya
lembaga ini dikoordinir oleh Departemen Dalam Negeri yang beranggotakan ahli perpetaan,
sejarahwan, antropolog dan ahli bahasa.

Gambar 1. Penulisan nama suatu daerah di Kabupaten Aceh Tengah.


Sumber foto: koleksi pribadi

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia 93
INOVASI Vol.11/XX/Juli 2008

Penulisan yang sudah benar dan sesuai dengan kaidah Toponimi. Berdasarkan informasi dari
masyarakat daerah tersebut, tanoh berarti tanah, merupakan nama generik dan depet yang
berarti ’dempet’ yang merupakan nama spesifik dari kata sifat sehingga ditulis terpisah.

Gambar 2. Salah satu contoh penulisan nama yang bisa memberikan penafsiran ganda.
Sumber foto: koleksi pribadi

Benteng Ujung Pandang pada penafsiran pertama adalah nama benteng tersebut adalah ’Ujung
Pandang’ sehingga dalam hal ini penulisannya jadi benar karena tidak menyangkut unsur
geografis, murni hanya nama suatu bangunan yang bernama ’Ujung Pandang’. Pada penafsiran
kedua adalah benteng tersebut terletak di Kota Ujungpandang (sekarang bernama Makassar).
Apabila ini yang dimaksud, maka penulisannya seharusnya Benteng Ujungpandang. Ujung
merupakan nama generik yang berarti ’tanjung’ dan ’pandang’ merupakan nama spesifik kata
benda yang berarti ’penglihatan yg tetap dan agak lama’ (sumber: Kamus Besar Bahasa
Indonesia) sehingga harus ditulis satu kata. Jika berdasarkan studi antropologis, kata pandang
dalam bahasa lokal berarti tambuhan pandan yang dulunya banyak terdapat pada tanjung
tersebut sehingga juga merupakan kata benda dan kaidah penulisannya juga harus disatukan.

Selain memberikan panduan, pandangan dan pengawasan tentang tata cara penulisan nama
geografis, lembaga toponimi nasional harus mampu menyediakan basis data toponimi nasional
yang akurat dan lengkap. Hal ini tentu mendukung kegiatan otonomi daerah bahkan ketahanan
nasional. Misalnya untuk penamaan pulau-pulau yang telah diklaim oleh Indonesia yaitu sekitar
17.508 pulau, bahkan penelitian Coremap menyebut angka 18.306 pulau, tetapi Bakosurtanal
dalam gazetirnya baru ‘memberi’ nama pada 6.489 pulau. Indonesia tentu tak ingin mengulangi
sejarah kehilangan Pulau Sipadan dan Ligitan akibat kurangnya kegiatan pada pulau-pulau kita
termasuk kegiatan ‘penamaannya’. Ini baru kegiatan penamaan pada pulau-pulau, bagaimana
dengan unsur lainnya, misalnya sungai, gunung, kota, teluk, muara dan lain sebagainya. Jadi,
bisa dibayangkan ‘beratnya’ kegiatan Toponimi ini di Indonesia. Bandingkan dengan Amerika
Serikat yang telah ‘merambah’ dengan memberikan nama pada unsur di Bulan, Venus, Mars
bahkan di Jupiter.

Referensi

[1] Rais, J. Materi Kuliah Toponimi, Jurusan Teknik Geodesi, Institut Teknologi Bandung, 1996.

[2] Rais, J. Komunikasi Personal

[3] UNGEGN, http://unstats.un.org/unsd/geoinfo/documents.htm.

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia 94
INOVASI Vol.11/XX/Juli 2008
HUMANIORA

BEKERJA DI PERUSAHAAN JEPANG


Hasanudin Abdurakhman
Alumni Tohoku University, Direktur PT Osimo Indonesia
E-mail: hasan@osimo.co.id

Saya berdebat kecil dengan Prof. Yukiko Hirakawa dari Hiroshima University di satu sesi Joint
Seminar on Technology Transfer yang diselenggarakan di ITB beberapa waktu lalu. Prof.
Hirakawa mempresentasikan hasil survey yang dia lakukan terhadap pengusaha/professional
Jepang tentang persepsi mereka terhadap tenaga kerja Indonesia. Dalam persepsi orang
Jepang, menurut survey tersebut, tenaga kerja Indonesia tidak punya banyak keunggulan,
kecuali bahwa upah mereka murah. Selebihnya, mereka dianggap punya kemampuan analitik
yang lemah, etos kerja serta disiplin yang lemah. Untuk memuluskan proses transfer teknologi
Prof. Hirakawa menantang dunia industri dan pendidikan Indonesia untuk berbenah.

Pada diskusi itu saya tidak mencoba membantah data yang dia sajikan. Pertama karena saya
sendiri juga tidak punya data tentang kualitas tenaga kerja kita. Kedua, bagaimanapun juga data
yang disajikan itu adalah persepsi, sehingga masih perlu diuji kebenarannya di lapangan. Yang
menarik dari situ justru bagaimana persepsi itu muncul.

Saya ingatkan Prof. Hirakawa bahwa yang terjadi sebenarnya mungkin kurangnya
kesepahaman antara ekspatriat Jepang yang ada di Indonesia dengan pekerja lokal. Akibatnya
mereka bekerja dalam ruang strereotype masing-masing. Saya melihat diperlukan adanya pihak
yang mampu menjembatani komunikasi ini. Prof. Hirakawa mengakui bahwa orang-orang
Jepang yang dikirim ke luar negeri pada umumnya memang tidak dipersiapkan untuk keluar dari
Jepang. “Waktu mereka kuliah dulu mungkin mereka tidak pernah berfikir akan dikirim bekerja ke
luar negeri.” katanya setengah bercanda. Ia juga mengakui bahwa tidak sedikit kesan buruk
terhadap ekspatriat Jepang, seperti arogan, cerewet, dan kasar.

Sayangnya, meski setuju dengan pandangan saya, ia tetap bersikukuh bahwa kunci
penyelesaiannya tetap ada di pihak Indonesia. Jepang, katanya, akan mencoba memperkecil
jurang komunikasi tadi, tapi tidak akan menghabiskan banyak sumber daya untuk itu. Dalam
banyak kasus, katanya, Jepang akan memilih negara di mana jurang tadi tidak demikian besar.

Keterbatasan waktu seminar membuat debat kecil kami terhenti. Tapi saya melihat persoalan
jembatan komunikasi ini penting bagi perusahaan Jepang yang beroperasi di Indonesia, dan
tentu saja bagi orang-orang Indonesia yang bekerja di perusahaan tersebut. Kebetulan sebagai
seorang pimpinan di perusahaan Jepang, salah satu peran saya adalah menjadi jembatan
komunikasi tersebut. Mirip dengan hasil survey yang diungkapkan oleh Prof. Hirakawa, dalam
berbagai kesempatan saya sering menampung keluhan ekspatriat Jepang tentang
ketidakpuasan mereka terhadap pekerja lokal. Sebaliknya, saya juga sering menampung
keluhan staf lokal tentang berbagai ketidakpuasan terhadap ekspatriat Jepang.

Perusahaan Jepang yang berinvestasi ke Indonesia beragam skalanya. Ada perusahaan besar
yang sistem manajemennya sudah mapan, seperti Toyota, Panasonic, dan sebagainya.
Kemapanan manajemen mereka meliputi kesiapan mereka untuk berkiprah di negara-negara di
luar Jepang, termasuk persiapan SDM untuk keperluan tersebut. Namun ada juga perusahaan
Jepang skala kecil-menengah yang ikut menanamkan modal di Indonesia. Perusahaan ini
dikelola dengan manajemen semi-tradisional, cenderung bercorak kekeluargaan. SDM yang
dikirim untuk mengelola perusahaan tersebut biasanya SDM pada level menengah-bawah di
perusahaan induknya. Kemampuan yang mereka miliki lebih cenderung hanya kemampuan
teknis, bukan manajerial.

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia 95
INOVASI Vol.2/XVI/November 2004

Pada perusahaan besar dengan sistem manajemen yang sudah mapan, masalah-masalah
seperti perbedaan budaya boleh jadi sudah diantisipasi dengan berbagai pendekatan
manajemen. Namun perusahaan skala menengah-kecil, dengan berbagai keterbatasannya,
cenderung mengabaikan masalah-masalah itu. Bagi mereka yang penting produksi dapat
berlangsung. Pengembangan manajemen organisasi, SDM, dan sebagainya digarap seadanya.

Kembali ke data yang disajikan oleh Prof. Hirakawa tadi, saya sebetulnya bisa memahami kalau
ada persepsi demikian di kalangan ekspatriat Jepang. Dari sudut pandang orang Jepang yang
berdisiplin tinggi pemandangan di Indonesia boleh jadi akan terlihat tidak pada tempatnya.
Contoh sederhananya adalah soal membuang sampah. Di perusahaan, kadang saya masih
menemukan sampah-sampah kecil seperti bungkus permen yang dibuang sembarangan.
Padahal perusahaan sudah menyediakan tempat sampah di berbagai tempat, dan selalu
mengingatkan untuk membuang sampah pada tempatnya. Pernah suatu ketika saya
menemukan karyawan yang meletakkan sampah di samping tempat sampah yang disediakan,
bukan langsung membuangnya ke dalam tempat sampah. Sebuah tindakan yang sulit dicerna
oleh akal.

Banyak hal, yang bagi orang Jepang merupakan common sense, ternyata sulit untuk dipahami
oleh staf lokal. Atau kalau dibalik, banyak hal-hal yang bertentangan dengan common sense
yang kita praktikkan dalam kehidupan kita, dan ajaibnya kita tidak merasa terganggu dengan itu.
Pola fikir dan peri laku ini terbawa melekat ke tempat kerja. Manajemen sebenarnya adalah
kumpulan common sense belaka. Karenanya pola fikir dan peri laku yang bertentangan dengan
common sense itu adalah gangguan yang nyata pada sistem manajemen. Ganguan ini
menghambat pencapaian tujuan.

Sampai ke titik ini saya sebenarnya sepakat dengan pandangan Prof. Hirakawa tadi.
Masalahnya adalah saya melihat orang-orang Jepang itu mau ambil mudahnya saja. Mereka
berharap dapat mengumpulkan manusia-manusia qualified, siap pakai, baik dari soft skill
maupun hard skill, lalu membangun sistem, dan sistem itu berjalan sesuai harapan. Idealnya
memang seperti itu. Namun berinvestasi di dunia ketiga dengan harapan memperoleh SDM
selevel negara maju jelas merupakan harapan yang berlebihan. Berinvestasi di negara
berkembang seharusnya diiringi dengan kesiapan untuk menyisihkan investasi bagi keperluan
pengembangan organisasi dan SDM.

Yang lebih parah, tak jarang saya temukan ekspatriat Jepang yang menjadikan stereotyping
sebagai dalih untuk melempar tanggung jawab. Tanpa mau menganalisa pola kepemimpinan
dan komunikasi yang diterapkannya dia dengan gampang menimpakan kesalahan pada staf
lokal atas ketidaklancaran proses dalam manajemen. Pada saat yang sama, staf lokal juga tidak
mau begitu saja disalahkan. Maka lingkaran setan saling lempar tanggung jawab itu terus
menerus menjadi duri dalam daging pada sistem manajemen.

Saya memandang perlunya lapisan penyangga dalam manajemen perusahaan Jepang di


Indonesia. Lapisan ini diisi oleh orang Indonesia yang mengerti budaya dan system manajemen
Jepang. Yang kemudian mampu menerjemahkannya menjadi sesuatu yang bisa dipahami oleh
staf lokal. Sebaliknya, lapisan ini pada saat yang sama juga perlu menjelaskan hal-hal yang
merupakan karakteristik lokal kepada para ekspatriat Jepang.

Pola inilah yang coba saya terapkan di tempat saya bekerja. Adalah sebuah kebetulan yang
menguntungkan bahwa saya bergabung di perusahaan ini tepat ketika perusahaan sedang
mempersiapkan diri untuk beroperasi secara komersial. Karenanya saya bisa turut terlibat
merancang sistem manajemennya. Prinsip yang saya anut adalah bahwa sesungguhnya segala
sesuatu yang dianggap sebagai karakter khas budaya perusahaan Jepang tak lebih dari
kumpulan common sense. Maka mengadopsi semua itu pada dasarnya bermakna bahwa kita
sedang menghidupkan (kembali) common sense kita, bukan sekedar menjadi pengekor budaya
asing.

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia
INOVASI Vol.2/XVI/November 2004

Sejauh ini sistem kecil yang saya bangun berjalan cukup baik. Mudah-mudahan ia bisa berjalan
dengan baik pula ketika organisasi perusahaan membesar nanti. Kuncinya, sejauh yang saya
sadari, adalah kepercayaan, baik dari pihak pemegang saham, manajemen di perusahaan induk,
maupun karyawan yang merupakan bawahan saya.

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia
INOVASI Vol.11/XX/Juli 2008
LIPUTAN
WAWANCARA DENGAN BAPAK JUSUF ANWAR,
DUTA BESAR REPUBLIK INDONESIA UNTUK JEPANG:
”TIGA TUGAS MAHASISWA: BELAJAR, BELAJAR DAN BELAJAR”
Pada tanggal 28 Mei 2008, bertempat di Wisma Duta KBRI Tokyo, beberapa pengurus PPI
Jepang yang dipimpin oleh Tatang Sopian; mewakili redaksi Inovasi, berhasil mewawancarai
orang Indonesia nomor 1 di Jepang, Duta Besar Republik Indonesia untuk Jepang, Bapak Dr.
Jusuf Anwar.

Di tengah kesibukannya, Pak Dubes masih menyempatkan diri untuk bertemu langsung dan
melayani wawancara Majalah Inovasi Online ini. Berikut hasil wawancaranya:

Tatang Sopian (TS): Kami ingin tahu sedikit lebih jauh tentang latar pendidikan Bapak dari
S1, S2 dan S3.

Dr. Jusuf Anwar (JA): Saya S1 sama S3 di (Universitas) Pajajaran, S2 di Amerika, Vanderbilt
University. S1 dan S3 saya ambil ilmu hukum, S2 ambil ilmu ekonomi. Ini sesuatu perpaduan
ilmu sosial yang sangat erat berkaitan, hukum dan ekonomi. Dan ternyata dalam aplikasi kerja
itu merupakan suatu hal yang bagus, perpaduan kedua ilmu itu.

TS: Apakah Bapak ada kesulitan selama menempuh studi?

JA: Alhamdulillah, tidak ada. Kalau ada kemauan, kan selalu ada jalan. Tadinya diperkirakan
kalau dari hukum ke ekonomi agak sulit, tapi ternyata juga ya Alhamdulillah. Modalnya adalah
kemauan. Jadi mahasiswa pun harus begitu. Kalau ada tekad, selalu kita temukan jalan
keluarnya.

TS: Setelah itu di dunia kerja bagaimana?

JA: Pekerjaan juga Alhamdulillah. Saya mulai masuk di Departemen Keuangan tahun 1972 dan
dari seangkatan saya yang masuk Departemen Keuangan tinggal saya sekarang yang masih
aktif bekerja untuk pemerintah. Dan Alhamdulillah juga, bahwa karir saya lebih baik dari
teman-teman seangkatan. Dan ini tentunya berkat doa semua orang dan juga usaha. Kalau kita
dengan semboyan Ora et Labora, berdoa tapi juga berusaha. Karena buat saya kalau ada suatu
niat dan niat itu baik, nawaitu baik, lalu kita berusaha sedapat mungkin, sekeras mungkin, do

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia 98
INOVASI Vol.11/XX/Juli 2008

your best, lalu hasilnya kita berserah diri kepada Yang Maha Kuasa, Lillaahi Ta’ala, Insya Allah
kita akan diridhoi usaha-usaha kita. Jadi perjalanan karier sampai ke Jepang ini, Alhamdulillaah.

TS: Sebelum menjadi Dubes, Bapak adalah Menteri Keuangan, dan sebelumnya juga
menduduki jabatan-jabatan penting. Kira-kira ada perbedaannya tidak?

JA: Ya banyak sekali bedanya. Selama ini kan saya bekerja di eksekutif. Sekarang jadi diplomat.
Saya sebagai teknokrat juga karena saya mengajar. Sampai sekarang saya masih mengajar di
Unpad. Tapi karena saya sekarang sudah jadi Duta Besar, kelas saya diambil alih oleh asisten
saya. Jadi saya selaku teknokrat. Di Departemen Keuangan juga jadi birokrat. Sekarang di
Tokyo jadi diplomat, saya main akrobat. Karena banyak sekali urusannya. Urusannya lain, jenis
pekerjaannya lain, variasinya macem-macem. Boleh saya bilang bahwa dari bom atom sampai
hal yang kecilpun saya urusin.

TS: Adakah hambatan selama menjadi duta besar?

JA: Saya merasa tidak ada. Hambatan kecil-kecil selalu bisa diatasi karena kerjasama staf KBRI
yang bagus-bagus. Coba bayangin saja, bagian Diknas aja Professor. Belum lagi kepala fungsi
lain yang juga S3, doktor-doktor. Jadi tenaga-tenaganya bagus-bagus dan dedikasinya
tinggi-tinggi, itulah yang membuat tugas Duta Besar menjadi enteng.

TS: Sekarang mengenai KBRI sendiri, dalam hal pelayanan terutama ini. Kita sudah
dengar dari teman-teman juga bahwa KBRI sekarang lebih baik dari sebelumnya. Kira-kira
dalam hal pelayanan ini, apa sih rencana KBRI ke depannya untuk semakin memperbaiki
pelayanan, terutama bagi masyarakat Indonesia yang ada di Jepang?

JA: Alhamdulillaah. Kita akan terus bekerja dengan pendekatan menjemput bola. Pelayanan
diplomatik dan pelayanan kedutaan tidak hanya bisa dengan duduk-duduk melihat jendela
keluar, di belakang meja. Sudah gak jamannya lagi orang itu harus sowan ke kita. Saya
mengambil pendekatan kita harus menjemput bola. Jadi yang namanya bagian protokol,
konsuler, yang mengurus soal-soal kewarganegaraan, keluarga-keluarga Indonesia yang
tersebar di seluruh pelosok Jepang, tapi banyak keterbatasannya, terutama ekonominya. Lalu
juga buruh-buruh, kensyuusei yang juga tersebar di seluruh jepang banyak juga
keterbatasannya sekarang kita datangi, dan mereka sangat berterima kasih. Hari Kamis dan
Jum’at kemarin saya minta Pak Amir dan Pak Nelson (perhubungan) ke Miyagi. Karena saya
mendengar ada kesulitan beberapa warna negara di sana, langsung saya suruh ke sana.

Hari Sabtu dan Minggu, jangan dikira kita nggak kerja, saya utus tenaga-tenaga senior keluar
kota, karena ada warga negara yang kesulitan. Alhamdulillah dengan approach itu semuanya
jadi beres dan mereka sangat berterima kasih. Malahan tidak mengira kedutaan begitu cepat,
begitu telpon kita konfirmasi kita sudah utus orang ke sana. Hal-hal begitu yang menyebabkan
masyarakat memberikan apresiasi yang tinggi kepada pejabat-pejabat diplomat di Tokyo ini.
Nantinya akan terus kita lakukan, terutama juga kita memperluas network dengan Jepang.

Saya katakan kita harus mengambil pendekatan-pendekatan total diplomacy. Monyet, harimau,
gajah pun jadi alat diplomasi. Main angklung juga jadi alat diplomasi. Budaya, tari-tarian, belum
lagi tourism dan lain sebagainya. Semua kita jadikan alat diplomasi. Jadi itu yang disebut
dengan total diplomacy. Jadi tidak hanya diplomat resmi saja seperti saya yang harus
berdiplomasi. Andapun diplomat-diplomat. Artis, olahragawan yang datang ke sini itu juga para
diplomat yang mengharumkan nama bangsa. Kalau mereka datang kan selalu disebut di
pidato-pidato, Indonesia, Indonesia, Indonesia, itu saya alami sendiri. Baru-baru ini saya
mendapat Doktor Honoris Causa dari Sooka University, itupun diplomasi. Mereka tidak
sembarang mengasih. Tidak semua diplomat dikasih. Dan diplomat Indonesia pun baru saya
yang dikasih. Itu juga suatu diplomasi. Sekarang di Sooka itu sudah terkenal dan mereka sudah
tahu, Indonesia itu apa dan sebagainya. Hal-hal itu yang kita akan teruskan gelindingkan. Juga
ke berbagai universitas.

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia 99
INOVASI Vol.11/XX/Juli 2008

Saya kemarin juga ke Hosei University, rektornya juga sangat menghargai kedatangan saya,
kebetulan ada Atisari yang datang, dia adalah tokoh perdamaian Aceh, mantan presiden
Finlandia. Jadi proaktif menjemput bola dan total diplomacy itu yang akan terus kita kerjakan.
Dari mahasiswa Sooka University dan student union saya mendapat Friendship Award karena
usaha-usaha saya dalam rangka mengembangkan persahabatan dengan orang-orang Jepang.

TS: Bagaimana peran KBRI dalam menyelesaikan kasus-kasus tenaga kerja ilegal
Indonesia?

JA: Kita bantu penuh mereka agar hak-hak kewarganegaraan mereka terlindungi. Salah satu
tugas KBRI adalah melindungi hak-hak kewarganegaraan orang Indonesia. Tapi kita tidak bisa
mencampuri proses hukum Jepang. Yang ada di kepolisian kita datangi, yang ada di pengadilan
kita dampingi. Buat overstay yang terjaring, kita bantu untuk berikan surat jalan agar bisa pulang.

TS: Kemudian sehubungan dengan peringatan 50 tahun hubungan Indonesia-Jepang,


kegiatan-kegiatan apa saja yang dilakukan oleh KBRI di Jepang selain kerja sama antar
kebun binatang di Indonesia dan Jepang dalam rangka konservasi satwa langka?

JA: Itu sudah mulai, selain itu juga di kalangan bisnisman juga sudah mulai ada temu muka.
Sebentar lagi ada simposium EPA oleh Keidanren. Lalu ada event-event lain yang mungkin
mahasiswa tidak dengar karena tidak menyangkut mahasiswa. Tapi mahasiswa di berbagai
daerah sudah demam, banyak festival Indonesia oleh mahasiswa, termasuk di Fukuoka, Oita itu
semua oleh mahasiswa. Bagus juga diadakan Temu Ilmiah. Malah nanti di Tokyo Big Sight ada
pameran Ecoproduct. Kemarin saya ketemu dengan seorang fashion designer yang terkenal di
Jepang, bahkan dunia, Yamamoto Kansai, yang akan mengadakan supershow besar, kolosal di
Garuda Wisnu Kencana di Bali tanggal 6 Desember, yang akan melibatkan ribuan orang. Kita
harapkan itu akan menarik banyak turis termasuk juga Jepang.

TS: Menurut Bapak, sekarang bagaimana pandangan Bapak tentang hubungan


Indonesia-Jepang, khususnya dalam hal investasi Jepang yang akhir-akhir ini banyak
yang ditujukan ke luar Indonesia.

JA: Hubungan akan tetap baik, kunjungan-kunjungan pejabat teras kedua negara juga dilakukan,
kunjungan-kunjungan itu meningkat ke level benefit dan kesetaraan. Masalah investasi itu
masalah pilihan. Karena negara-negara tetangga kita juga sedang berberbenah diri. Mereka
mempercantik diri dan kita kelihatannya kalah cepat cantiknya. Sekarang Vietnam, China, India
dianggap lebih cantik, sehingga banyak investasi lari ke sana, dan Indonesia hanya jadi pilihan
ke-7. Itu tidak akan tetap dan terus berubah. Suatu saat Indonesia akan di atas lagi. Kita juga
terus berbenah supaya iklim investasi lebih kondusif. Bagaimanapun dari tahun 1967 sampai
sekarang angka investasi Jepang ke Indonesia masih yang paling tinggi.

TS: Dari sisi diplomatik, apa yang dilakukan agar investasi bisa kembali ke Indonesia?

JA: Kita tetap mengadakan promosi. Dengan Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), kita
sering mengundang pengusaha Jepang. Sebentar lagi di Jakarta ada pameran besar Industri
Jepang bulan November. Ratusan pengusaha Jepang akan ke sana. Ini juga dalam rangka
menarik investor ke sana, serta menyebarluaskan informasi yang paling uptodate mengenai
keadaan dalam negeri yang kondusif untuk investasi, lalu peluang-peluang investasi terutama
dalam TTI (Trade, Tourism, Investment). Kita (KBRI) adalah ujung tombak Indonesia di Jepang
ini, yang melobi parlemen, keidanren dan berbagai institusi ekonomi dan industri, dan kelihatan
awareness mereka terhadap Indonesia makin lama makin tinggi.

TS: Mengenai EPA, implementasinya bagaimana, apakah sudah mulai?

JA: Belum mulai, belum diteken. EPA nya sudah, tapi mengenai pelaksanaannya baru akan
ditandatangani. Akan ada simposium besar dengan Keidanren, 400 pengusaha Jepang akan
hadir, Mar’ie Pangestu juga akan hadir, lalu juga akan ada temu KADIN Indonesia dan
Keidanren.

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia 100
INOVASI Vol.11/XX/Juli 2008

TS: Apa visi KBRI sendiri untuk hubungan Indonesia-Jepang di masa depan?

JA: Visi KBRI merupakan visi pemerintah Indonesia juga. Yaitu menjalin hubungan harmonis
yang memberikan manfaat untuk kedua belah pihak. Juga tetap menjaga Republik Indonesia
sebagai negara kesatuan, apapun juga prinsip itu tidak akan kita korbankan.

TS: Tentang bidang pendidikan, apa yang akan dilakukan KBRI khususnya mengenai
kesempatan bagi teman-teman Indonesia agar bisa datang belajar ke Jepang, karena
porsi jumlah pelajar Vietnam meningkat, sedangkan jumlah pelajar Indonesia stagnan di
situ.

JA: Lihat trend, tidak pernah mahasiswa Indonesia sebanyak ini sebelumnya. Dulu tidak banyak
yang ke Jepang, yang banyak ke Eropa atau Amerika. Kita tidak bisa memaksa orang untuk
belajar di sini, tapi dalam beberapa hal kita juga mengupayakan supaya ada
kesempatan-kesempatan orang Indonesia untuk belajar di sini melalui jalur-jalur beasiswa dan
sebagainya. JICA, Gaimusho, lalu komitmen PM Abe untuk 6000 orang setiap tahun juga tetap
ada. Pendidikan itu ada yang formal, tapi juga ada yang non-formal seperti pelatihan, training,
kunjungan, dan sebagainya. Sebentar lagi 100 pelajar SMA homestay di sini, itu juga salah satu
bagian dari education. Melihat langsung tertib dan bersihnya Jepang. Belum lagi program
pertukaran kapal ASEAN, tenaga-tenaga muda yang pintar Indonesia berkumpul, berlayar
selama 42 hari ke negara-negara ASEAN. Travel ke Jepang is education.
Anda naik Shinkansen, nak subway juga belajar. Jangan jadi katak dalam tempurung. Yang kita
lihat adalah nilai-nilai Islami, disiplin, cinta lingkungan, kerja keras, belajar baik yang
dipraktekkan oleh orang-orang Jepang, mereka amalkan, kalau kita dipidatokan. Bawa dan
terapkan ke orang lain di Indonesia. Orang Jepang juga taat pada pemimpin, dalam Islam
pemimpin itu imam. Kitapun harus begitu, jangan ”cerutak” sama pemimpin. Jangan hanya
karena alasan demokrasi kita halalkan semua cara. Demokrasi itu ada aturannya. Demokrasi itu
membawa prosperity, bukan membawa anarki. Sekarang kita lihat, urusan BBM sudah
membawa anarki.

TS: Mengenai hubungan PPI dengan KBRI, sebaiknya bagaimana, apakah kritik terus,
apalagi tadi terkait dengan demokrasi?

JA: Demokrasi itu juga ada pakemnya, ada tata kramanya. Kalau ada yang perlu dikritik, dikritik.
Kritik itu harus membangun, jangan kritik yang merusak. Karena anda juga warga Indonesia,
kalau ada yang perlu-perlu, kita siap bantu. Begitu juga kalau KBRI ada yang perlu dibantu, kita
juga minta bantuan mahasiswa. Jadi saling pengertian yang mendalam, yang produktif perlu
dikembangkan. Dan ingat mahasiswa itu ada 3 tugasnya. Belajar yang bagus, belajar yang baik,
belajar yang giat. Jadi aman, Anda ke sini itu tugasnya untuk belajar, bukan untuk berpolitik.
Belajar, cepat kembali, sumbangkan. Pemerintah sangat menghargai ilmu Anda. Tapi pada saat
sekarang menghargainya baru bisa segitu, karena gak mampu. Belajar dan belajar.

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia 101
INOVASI Vol.11/XX/Juli 2008
LIPUTAN
50 TAHUN KITA BERSAHABAT
Pengantar

Penggemar dan peminat budaya Indonesia di Jepang barangkali ada ratusan bahkan ribuan
jumlahnya. Beberapa di antaranya mempunyai minat yang sangat dalam kepada tari-tarian
tradisional Indonesia, termasuk Ibu Yoko Oshizumi, pendiri dan pelatih tari di Sanggar Tari Bali
Surya Metu di Nagoya, Jepang. Sanggar tari ini pun dalam beberapa kegiatan yang terkait
dengan PPI Jepang- komsat Nagoya kadang-kadang terlibat, misalnya dalam salah satu acara
tahunan di Nagoya University, Festival Nagoya Univeristy atau Meidaisai.

Perkenalan saya dengan Ibu Yoko diawali ketika beliau berniat untuk mempelajari Bahasa
Indonesia, sekalipun sebenarnya beliau sudah sangat fasih berbahasa Indonesia. Dari beliau
saya mendapat pelajaran yang berharga tentang budaya Indonesia. Kadang-kadang saya
merasa malu karena beliau lebih paham daripada saya tentang adat istiadat Bali. Saya pun
mendapat penjelasan lengkap tentang budaya Jepang dari beliau.

Berikut ini adalah tulisan Ibu Yoko tentang peringatan 50 tahun Indonesia-Jepang di Nagoya
yang berlangsung selama bulan April dan Mei 2008.

Kami, sekalipun sangat terbatas semoga dapat menjadi jembatan kecil yang akan menopang
berdirinya jembatan besar yang menghubungkan Indonesia Jepang.

(Murni Ramli-Nagoya University, Japan).

TAHUN PERSAHABATAN INDONESIA-JEPANG DI NAGOYA

Yoko Oshizumi
Sanggar Tari Bali Surya Metu, Nagoya, Jepang

Kebun Higashiyama terletak di bagian timur Nagoya yang merupakan ibu kota prefektur Aichi.
Kebun ini mengoleksi lebih dari 500 jenis fauna dan 7000 jenis flora , termasuk beberapa flora
dan fauna asli Indonesia.

Dalam rangka memperingati 50 tahun hubungan dipromatik Indonesia-Jepang, Kebun


Higashiyama mengadakan peringatan bertema “Tahun persahabatan Indonesia-Jepang 2008”.
Dalam kesempatan ini pula sanggar tari Bali yang saya kelola, Sanggar tari Bali “Surya Metu”
ikut berpartisipasi untuk mempromosikan kebudayaan Indonesia.

Sanggar tari kami memutuskan untuk mementaskan tari-tarian yang menggambarkan kekayaan
alam Indonesia, karena kami berharap pementasan ini dapat menambah pengetahuan
masyarakat Jepang tentang budaya dan kekayaan alam Indonesia.

Kami akhirnya memutuskan untuk mementaskan tiga macam tarian yaitu :


1) Tari Cendrawasih, yang menggambarkan tentang keelokan burung Cenderawasih yang
mendiami bagian timur Pulau Lombok. Burung cenderawasih juga merupakan lambang
Provinsi Papua.
2) Tari Tiying Gading, yaitu sebuah tarian tentang bambu suci yang dipakai dalam upacara
Hindu Bali.
3) Tari Cilinaya, yang merupakan tarian yang menggambarkan gerakan janur (cili) yang
digoyang oleh angin. Cili dibuat dari rangkaian daun kelapa muda.

Selain ketiga tari di atas yang kesemuanya menggambarkan tentang kekayaan alam Indonesia,
kami juga menampilkan tarian Gabor dan Legong Kraton, yang merupakan tarian utama dalam
khazanah tari Bali. Tarian ini sekaligus menggambarkan adat istiadat Pulau Bali.

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia 102
INOVASI Vol.11/XX/Juli 2008

Tari Gabor adalah tari penyambutan yang digambarkan dengan keriangan penari
berlenggak-lenggok sambil memegang bokor yang berisi bunga dan melemparkan bunga ke
sekitar panggung dan kepada penonton. Bunga merupakan asesoris wajib dalam adat istiadat
Bali, dan lemparan bunga dalam Tari Gabor tidak saja bertujuan untuk mensucikan panggung
tetapi sekaligus bermakna ucapan terima kasih kepada para penonton.

Sedangkan Tari LegongKraton adalah tarian yang paling populer dalam khazanah tari tradisional
Bali. Tari ini mengisahkan tentang Prabu Lasem dan Putri Langke Sari.

Cuaca pada hari pementasan cerah, tetapi udara panas sekali, saya seakan merasakan
suasana musim kemarau di Indonesia, ketika selama beberapa tahun saya tinggal di Surabaya
dan Bali.

Tetapi udara panas yang menyengat tidak mengurangi antusiasme penonton. Mereka
berkumpul di sekeliling panggung terbuka yang dilatarbelakangi panorama hamparan bunga
aneka warna. Banyaknya penonton barangkali disebabkan karena saat itu bersamaan dengan
liburan seminggu di Jepang yang dikenal dengan sebutan “Golden Week”

Sambutan penonton yang mengerumuni panggung kami, dan keindahan bunga-bunga di


belakang kami. menyemangati kami untuk menari tanpa merasakan sengatan udara panas hari
itu.

Seperti biasa, untuk menjelaskan isi dan makna yang terkandung dalam tarian, pembawa acara
menjelaskan sedikit kisah di balik tari sebelum pementasan. Dengan begitu, sedikit banyak
penonton dapat mengerti dan menikmati rangkaian tarian yang kami bawakan.

Kesempatan untuk berpartisipasi dalam kegiatan seperti ini sangat menyenangkan bagi sanggar
tari kami. Dengan persembahan tari-tarian tersebut, kami berharap penonton tumbuh minat
dan ketertarikannya tehadap kebudayaan Indonesia. Sebab, banyak di antara penonton yang
hadir barangkali tidak mempunyai pengetahuan sama sekali tentang budaya Indonesia.

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia 103
INOVASI Vol.11/XX/Juli 2008
LIPUTAN
LAPORAN WORKSHOP STUDI POTENSI MINYAK DAN GAS DI PANTAI
BARAT NANGGROE ACEH DARUSSALAM
Nagoya University, Japan, 5 Maret 2008
Laporan disusun oleh:
Wempi Saputra (Graduate School of Economics, Nagoya University)
Agustan (Graduate School of Enviromental Studies, Nagoya University)

Pendahuluan

Peristiwa gempa bumi yang terjadi pada tanggal 26 Desember 2004 yang menimbulkan
bencana tsunami, selain menelan korban jiwa terbesar dalam sejarah bangsa Indonesia, di lain
sisi juga mempunyai hikmah untuk kemajuan ilmu pengetahuan. Karena peristiwa inilah
satu-satunya gempa besar yang tercatat secara lengkap dari berbagai instrumen modern, yaitu
alat seismometer, gravimeter, pengamatan pasut, penentu posisi dan citra satelit. Dari peristiwa
ini, ilmu kebumian menemukan momentum untuk sedikit memahami berbagai proses dinamika
bumi.

Berbagai survey, penelitian, ekspedisi, pemodelan dan konferensi ilmiah telah dilakukan khusus
untuk memahami peristiwa gempa yang di dunia internasional dikenal
dengan ’Sumatra-Andaman 2004 Earthquake’, bahkan direncanakan akan berlanjut sampai
beberapa tahun ke depan. Survey, penelitian dan ekspedisi yang dilakukan mencakup kawasan
daratan, perairan dan udara wilayah Sumatra yang tentu saja melibatkan berbagai wahana dan
peralatan yang canggih serta biaya yang sangat mahal.

Dari berbagai survey perairan di Samudra Hindia, salah satu hasil yang diperoleh adalah data
seismik dan bentuk topografi dasar laut (batimetri) wilayah antara Pulau Simeulue dan pantai
barat Sumatra. Dari data ini, beberapa interpretasi dapat dilakukan, dan salah satu di antaranya
yang sempat ramai diberitakan di beberapa media cetak adalah ditemukannya potensi minyak
dan gas yang sangat besar di wilayah ini.

Bertepatan dengan kegiatan International Geodynamics Workshop on South-East Asia 2008


yang diprakarsai oleh Research Center for Seismology, Volcanology and Disaster Mitigation
(RSVD) – Nagoya University, beberapa ahli kebumian Indonesia mendapat undangan khusus
untuk memberikan gambaran tentang geodinamika Indonesia. Para pakar tersebut adalah:
 Dr. Yusuf Surachman Djajadihardja, Direktur Pusat Teknologi Inventarisasi Sumberdaya
Alam – Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (PTISDA-BPPT) yang pertama kali
menyatakan adanya potensi minyak dan gas terbesar di dunia terdapat di wilayah Aceh;
 Bapak Ir. Cecep Subarya, Msurv. dari Badan Koordinasi Survey dan Pemetaan Nasional
(Bakosurtanal), yang telah menulis beberapa artikel di Nature dan jurnal ilmiah internasional
lainnya tentang geodinamika;
 Bapak Prof. Dr. Hasanuddin Zainal Abidin, guru besar ITB bidang Geodesi, penulis
beberapa buku tentang Global Positioning System dan peraih beberapa award international
dalam bidang survey pemetaan;
 Bapak Dr. Fauzi, ahli gempa dan kebumian dari Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG);
dan
 Bapak Dr. Agus Handoyo, guru besar ITB dalam bidang Geologi yang juga sarat
pengalaman dengan dunia perminyakan.

Untuk itu Persatuan Pelajar Indonesia di Jepang Komisariat Nagoya (PPI Nagoya) bekerjasama
dengan Bidang Pendidikan dan Kebudayaan PPI Jepang, tentu saja tidak membuang
kesempatan ini untuk mendapatkan gambaran secara langsung dari para ahli tentang fenomena
ini melalui sebuah workshop yang diselenggarakan pada tanggal 5 Maret 2008.

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia 104
INOVASI Vol.11/XX/Juli 2008

Para pakar kebumian Indonesia berfoto bersama dengan anggota PPI Nagoya. Urutan duduk
dari kiri: Pak Fauzi (BMG), Pak Cecep (Bakosurtanal), Pak Yusuf (BPPT), Pak Hasan (ITB) dan
Pak Agus (ITB). Sumber foto: Hani Irwan

Potensi Minyak dan Gas di Aceh

Pembicara: Dr. Yusuf Surachman


Komentator: Dr. Agus Handoyo, Prof. Hasanuddin, Dr. Fauzi dan C. Subarya Msurv.

Dimulai dengan Ekspedisi Sea Cause pada tanggal 21 Januari – 25 Februari 2006 yang
dilakukan oleh BPPT dan mitra dari Jerman, Bundesanstalt fuer Geowissenschaften und
Rohstoffe, yang bertujuan untuk mengetahui fracture zone (zona patahan atau wilayah yang ikut
terpengaruh akibat suatu gempa) yang terjadi pasca gempa dan tsunami Aceh pada tanggal 26
Desember 2004, ditemukan beberapa fakta sebagai berikut:

1. Hasil pemetaan sejauh 5.358 km (beberapa lintasan seismik), ditemukan adanya plate
boundary (batas lempeng) di bawah Pulau Simeulue yang merupakan fracture zone. Tetapi
fracture zone ini bukanlah hasil dari gempa dan tsunami Aceh, melainkan sudah terbentuk
jauh sebelumnya (diperkirakan 45 juta tahun yang lalu).
2. Terdapat kemungkinan migrasi hydrocarbon (HC) dengan jarak migrasi 20-25 km dari
kitchen area ke carbonate build up (CBU).
3. Kedalaman air di atas CBU diperkirakan 1.100 m dan kedalaman struktur dari dasar laut
500-800 m.

Dari beberapa hasil riset di atas, dilakukanlah petroleum modelling, dengan tujuan untuk
menentukan apakah hasil migrasi HC mendukung terbentuknya HC di area CBU tersebut.
Petroleum modelling dilakukan dengan cara menguji apakah petroleum system requirements
(syarat-syarat pembentukan cekungan migas) terpenuhi atau tidak.

Petroleum system requirements:


1. Adanya Trap (cebakan/reservoir): ini terpenuhi dengan ditandai adanya bright spot dan
CBU.
2. Source rock (batuan induk)
3. Migrasi (perpindahan HC)
4. Seal (batuan penutup)
5. Suhu untuk pematangan HC.

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia 105
INOVASI Vol.11/XX/Juli 2008

Bandaaceh

Pulau
Simeulue

Gambar 1. Ilustrasi lokasi daerah yang diindikasikan berpotensi mengandung hidrocarbon

Berdasarkan analisis heat flow, diperkirakan di daerah tersebut terdapat suhu untuk pematangan
HC (walaupun masih ada perdebatan tentang hal ini). Dr. Agus Handoyo menitikberatkan pada
kondisi suhu pematangan ini yang menurut pengetahuan dan pengalaman beliau, tidak
memungkinkan untuk mematangkan HC. Hal ini disebabkan bahwa area di bawah Pulau
Simeulue merupakan fore arc basin dengan suhu yang amat rendah.

Asumsi petroleum modelling:


1. Struktur carbonate membentuk closure
2. Dihitung dengan seismik 2D dan porositas 30%
3. Faktor elongansi tegak lurus terhadap seismik 2D, dengan nilai 0.5-1.5.

Hasil petroleum modelling:


1. Bahwa terdapat ruang kosong di dalam CBU dengan volume 17.1 milyar m3 (faktor
elongansi 0,5) sampai dengan 51 milyar m3 (faktor elongansi 1.5)
2. Bila benar ruang kosong tersebut berisi oleh HC, maka potensi volumenya sebesar 100-300
milyar barrel (1 m3 = 6,29 barrel)
3. Bisa saja ruang kosong tersebut berisi air/gas/biogenic/atau udara.

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia 106
INOVASI Vol.11/XX/Juli 2008

Kesimpulan:

1. Bahwa potensi (bukan cadangan) sumber migas yang berada di bawah Pulau
Simeulue merupakan hasil petroleum modelling dan belum menjadi cekungan migas
yang sudah terbukti.
2. Potensi tersebut perlu dibuktikan dengan drilling di daerah CBU (kesepakatan Dr.
Yusuf dengan para panelis yang lain).

Penutup

Perlu upaya-upaya lanjutan untuk membuktikan kebenaran potensi cekungan migas tersebut
diatas dengan beberapa langkah:
1. Survey seismik 2D dan 3D
2. Survey gravitasi
3. Geomagnetic
4. Bathimetry
5. Sampling sedimen
6. Geokimia
7. Deep penetration magneto technic
8. Exploration drilling

Sayangnya biaya yang dibutuhkan untuk langkah-langkah ini sangatlah mahal (mis: biaya sewa
kapal yang mampu untuk mengebor sedalam 2.500 m sebesar 500.000 USD per hari). Dr. Yusuf
menekankan agar kita semua dan khususnya Pemerintah RI berani mengambil resiko untuk
pembuktian penemuan di atas, apakah memang benar potensi tersebut ada atau tidak. Salah
satu usaha yang dilakukan adalah dengan menjalin kerjasama dengan ’Chikyu’ Jepang yang
mempunyai kemampuan melakukan pengeboran di laut dalam yang diharapkan dapat
direalisasikan dalam beberapa tahun ke depan.

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia 107
INOVASI Vol.11/XX/Juli 2008
LIPUTAN

SAST 2008: DARI EPA INDONESIA-JEPANG, FITUR KEBIJAKAN PANGAN


NEGARA-NEGARA ASEAN, PERSPEKTIF LINGKUNGAN DALAM
PERTANIAN, HINGGA PENGEMBANGAN SDM PERTANIAN
Tatang Sopian1,*, M. Nasrul Pradana2,*, Davin H. E. Setiamarga3, Widyanto Dwi
Nugroho1, Subejo3
1 2 3
Tokyo University of Agriculture and Technology ; Tokyo University of Agriculture ; University
of Tokyo ; * Tim liputan SAST 2008
E-mail: sast2008@yahoo.com ; iasa-online@gmail.com

Dengan membawakan tema ‘Optimizing national resources management to increase


Indonesia’s international competitiveness: a perspective of the agriculture, environment science
and technology’, pada hari Sabtu tanggal 21 Juni 2008, Persatuan Pelajar Indonesia di Jepang -
Koordinator Daerah Kanto (PPI Kanto) bekerjasama dengan Indonesian Agricultural Sciences
Association (IASA) menyelenggarakan kegiatan ‘Symposium on Agriculture, Science and
Technology’ tahun 2008 (SAST 2008), bertempat di Tokyo University of Agriculture, Tokyo,
Jepang. Bagi IASA penyelenggaraan simposium ini merupakan penyelenggaraan yang
kedelapan kalinya melanjutkan simposium sebelumnya tahun 2005 di tempat yang sama (baca:
Inovasi Vol.4/XVII/Agustus 2005 SAS 2005 : "Indonesia adalah Pengimpor Produk Hortikultura").

Gb.1. Spanduk SAST 2008 di depan gedung (atas) dan di dalam gedung (bawah) tempat berlangsungnya
simposium
Pada kesempatan simposium kali ini, empat orang pembicara utama ditampilkan dalam
Pleanary Lectures, 27 buah makalah dipresentasikan dalam 2 kelompok Parallel Session, dan
10 buah makalah ditampilkan dalam Poster Session. Peserta yang berpartisipasi terdiri dari
pelajar dan peneliti di beberapa universitas yang ada di wilayah Kanto – Jepang yaitu di
antaranya University of Tokyo , Tokyo University of Agriculture and Technology (TUAT), Tokyo
University of Marine Science and Technology (TUMST), Ibaraki University, Utsunomiya
University dan tuan rumah Tokyo University of Agriculture (TUA). Sebagian para peserta
membawa nama afiliasi institusinya di Indonesia di antaranya yaitu Institut Teknologi Surabaya
(ITS), Universitas Gadjah Mada (UGM), Institut Pertanian Bogor (IPB), Universitas Airlangga,
Universitas Lampung, Universitas Sam Ratulangi, Universitas Andalas, CIFOR, BAPPENAS,
Departemen Perikanan dan Kelautan, serta instansi kehutanan daerah.

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia 108
INOVASI Vol.11/XX/Juli 2008

Gb.2. Rektor Tokyo University of Agriculture (kiri) dan Wakil Kepala Perwakilan RI (kanan) memberikan
sambutan pembukaan

Dalam plenary session hadir Wakil Kepala Perwakilan RI, Ronny P. Yuliantoro dan pejabat di
lingkungan KBRI-Tokyo, diplomat dari negara-negara ASEAN, pejabat dari Badan Litbang
Departemen Perdagangan, pejabat dari Japan Agriculture Exchange Council (JAEC), Rektor
dan para akademisi di lingkup TUA, serta undangan, donatur dan sponsor SAST 2008. Plenary
session ini didahului dengan penyampaian laporan dari Ketua Panitia M. Nasrul Pradana, dan
sambutan oleh Rektor Tokyo University of Agriculture, lalu dibuka secara resmi oleh Dubes RI
untuk Jepang yang pembacaannya diwakili oleh Wakil Kepala Perwakilan RI.

1. IJ-EPA: Optimisme Penguatan Ekonomi Kedua Negara

Kesepakatan Kemitraan Ekonomi Indonesia-Jepang atau yang dikenal dengan sebutan IJ-EPA
(Indonesia-Japan Economic Partnership Agreement) yang telah ditandatangani tanggal 20
Agustus 2007 tahun lalu oleh Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono dan Perdana Menteri
Jepang saat itu, Shinzo Abe, diharapkan akan mampu meningkatkan perekonomian kedua
negara. Di pihak Indonesia, IJ-EPA ini diharapkan dapat meningkatkan ekspor Indonesia ke
Jepang, meningkatkan investasi Jepang ke Indonesia, serta meningkatkan kapasitas dan
kemampuan kompetitif industri Indonesia.

Optimisme ini mengemuka saat pemaparan makalah utama dalam Plenary Lectures yang
disampaikan oleh Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Iklim Usaha Perdagangan -
Badan Litbang Departemen Perdagangan, Dr. Andin Hadiyanto. Dr. Andin Hadiyanto yang
merupakan alumnus GSID Nagoya University, dalam pemaparan makalahnya, mengemukakan
rincian yang merupakan hasil analisis simulasi model ekonomi. Dalam rincian tersebut, Dr.
Andin Hadiyanto menyebutkan bahwa penghapusan atau pengurangan tarif perdagangan
dalam kesepakatan yang tertuang IJ-EPA akan memberikan peningkatan GDP bagi Indonesia
sebesar 3,01 persen dan Jepang sebesar 0,06 persen.

Gb.3. Dr. Andin Hadiyanto sedang menyampaikan makalahnya tentang IJ-EPA

Di samping itu diperhitungkan bahwa ekspor Indonesia akan meningkat sebesar 4,68 persen
dan ekspor Jepang meningkat sebesar 0,41 persen. Sementara dari aktivitas bursa saham,
Indonesia akan memperoleh peningkatan sebesar 5,38 persen dan Jepang memperoleh
peningkatan sebesar 0,05 persen. Pemaparan dari Dr. Andin ini memberikan suasana
persiapan menjelang diberlakukannya IJ-EPA yang jatuh pada tanggal 1 Juli 2008 yang akan
datang.

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia
INOVASI Vol.11/XX/Juli 2008

2. Perlunya Reformasi Kebijakan Pangan ASEAN

Dalam Plenary Lectures SAST 2008 tampil berbicara pula Dr. Keishiro Itagaki, profesor bidang
pembangunan pertanian internasional pada Tokyo University of Agriculture. Profesor Itagaki
mengemukakan sebuah kasus tentang kebijakan reformasi pangan beras pada masa transisi di
Asia umumnya dan ASEAN khususnya dalam makalah yang berjudul ‘Rice policy reform in Asia
under transitional period: in reference to ASEAN economic community’. Berangkat dari
keprihatinan meningkatnya harga pangan dunia termasuk beras yang berimplikasi pada
instabilitas perekonomian di berbagai negara, Profesor Itagaki memaparkan pentingnya
rencana aksi bersama negara-negara anggota komunitas ekonomi ASEAN atau AEC (ASEAN
Economic Community) untuk menyeimbangkan permintaan dan penawaran pangan sekaligus
stabilisasi harga pangan beras di wilayah regional ini.

Gb.4. Profesor K. Itagaki mengusulkan perlunya reformasi kebijakan pangan beras di ASEAN dalam
pemaparan makalahnya

Dalam paparan makalahnya ini Profesor Itagaki memberikan tiga perspektif terkait kebijakan
reformasi pangan beras AEC yaitu: 1) fitur-fitur perbandingan kebijakan pangan di negara-
negara produsen beras AEC ; 2) kecenderungan umum kebijakan pangan beras AEC ; dan 3)
kerjasama saling menguntungkan yang diperlukan dalam AEC. Menurut Profesor Itagaki,
Indonesia, Malaysia dan Filipina memiliki fitur kebijakan beras yang cenderung memproduksi
beras untuk kebutuhan sendiri, meningkatkan cadangan beras dan menurunkan beras impor,
sedangkan di sisi lain pemerintah ketiga negara berusaha membantu ekonomi konsumen
melalui stabilisasi harga beras.

Kamboja, Laos dan Myanmar disebutkan oleh Profesor Itagaki, masih berada pada tahap
pembangunan infrastuktur produksi padi seperti irigasi dan perluasan lahan, serta peningkatan
kapasitas seperti sumber daya manusia (SDM) dan pembangunan institusi. Keenam Negara
ASEAN ini memiliki kesamaan dalam hal upaya pemerintahnya menstimulasi keinginan
berproduksi petani di negara-negara tersebut melalui dukungan penetapan harga beras, subsidi
sarana produksi dan penyuluhan pertanian untuk menyebarkan informasi teknologi baru.
Profesor Itagaki juga menjelaskan bahwa, dua negara lain di ASEAN yang merupakan eksportir
utama beras dunia yaitu Thailand dan Vietnam mempunyai kecenderungan memperbesar pasar
beras dunia, meningkatkan harga dengan berupaya meningkatkan kualitas beras, serta
berkonsentrasi mendukung petani di pusat produksi utama secara politis maupun melalui
sumber daya produksi.

Hal lain yang disampaikan oleh Profesor Itagaki adalah peran Jepang dalam berkontribusi untuk
ketahanan pangan beras di Asia umumnya. Jepang sebagaimana juga dengan Korea Selatan
dan China diketahui merupakan negara yang mengkonsumsi beras sebagai makanan pokoknya.
Fitur kebijakan beras di ketiga negara ini adalah cenderung berkonsentrasi mendukung petani
di pusat produksi utama secara politis maupun melalui sumber daya produksi. Pemerintah
ketiga negara ini cenderung melepaskan keseimbangan permintaan dan penawaran pada
mekanisme pasar tanpa intervensi pemerintah terkecuali jika terjadi penurunan harga beras,
pemerintahnya langsung melakukan kebijakan pembayaran langsung (direct income payment).

Sehubungan dengan fitur dan kecenderungan kebijakan negara Jepang, Profesor Itagaki
memandang bahwa negara Jepang perlu mempertimbangkan pelayanan terhadap outlet pasar
beras yang masuk ke Jepang, menyediakan modal untuk membangun cadangan beras yang

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia
INOVASI Vol.11/XX/Juli 2008

cukup untuk regional Asia, menyebarkan teknologi mengenai peningkatan produksi dan kualitas
beras, memberikan saran dan bantuan rehabilitasi fasilitas irigasi, membangun basis data
sumber daya genetik dan persediaan benih padi, mengumpulkan dan diseminasi informasi dini
mengenai permintaan dan penawaran beras di Asia, serta membagi pengalaman kepada
negara-negara di Asia tentang kebijakan pangan beras di Jepang dalam sisi positif dan
negatifnya.

3. Perspektif Lingkungan dalam Pertanian dan Pengembangan SDM

Dr. Taro Adati dan Mr. Ryoji Sakamoto melengkapi pembicaraan di dalam Plenary Lecture di
SAST 2008 ini, dengan mengemukakan kasus yang dilakukan dalam pekerjaannya masing-
masing. Dr. Adati, yang merupakan Asisten Profesor bidang perlindungan tanaman tropis
Tokyo University of Agriculture, mengungkapkan studi kasus di berbagai negara di Afrika dan
Asia (termasuk Indonesia) tentang perlindungan sumberdaya alam dalam perspektif ilmu
pengetahuan alam, sedangkan Mr. Sakamoto, yang merupakan Kepala Divisi Operasional
JAEC (Japan Agriculture Exchange Council) menyampaikan uraian tentang program pelatihan
pemuda tani di Jepang sebagai bentuk kerjasama bilateral yang melibatkan pemuda-pemudi
dari berbagai negara khususnya dari negara-negara ASEAN.

Melalui makalah yang berjudul ‘Natural resources protection based on natural science
perspective: functions of environmental conservation in indigenous agriculture’, Dr. Adati
memberikan contoh pola pertanian indigenous tradisional seperti sistem chitemene di Zambia,
tumpang sari (mixed cropping) di Nigeria dan Indonesia, dan strategi ‘push-pull’ di Kenya. Pola
pertanian indigenous mempunyai nilai positif dan negatif khususnya dalam pengaruhnya
terhadap lingkungan dan Dr. Adati menganggap bahwa pola pertanian indigenous masih sesuai
di era pertanian modern ini.

Gb.4. Dr. T. Adati (kiri) dan Mr. R. Sakamoto sedang memaparkan makalahnya masing-masing

Mr. Sakamoto dalam makalahnya yang berjudul ‘ASEAN young farmers apprenticeship
program: agricultural human resources development through “learning by doing”’ mencoba
melaporkan program kedua yang dilaksanakan oleh JAEC untuk melatih petani muda dari
ASEAN yang diharapkan menjadi pemimpin di bidang pertanian di negaranya masing-masing.
Dalam program tersebut Mr. Sakamoto mendeskripsikan aktifitas yang dilakukan oleh para
petani muda tersebut, yaitu : melaksanakan pelatihan dasar, melaksanakan penugasan dan
praktek di lapangan pertanian, melaksanakan proyek mandiri penelitian pertanian, studi
akademis tentang pertanian Jepang, melaksanakan program ekskursion, serta melaksanakan
orientasi akhir dan membuat laporan.

Penutup

Penyelenggaraan SAST 2008 ini cukup mendapatkan apresiasi dari pihak tuan rumah Tokyo
University of Agriculture sebagaimana disampaikan dalam penutupan kegiatan ini oleh Prof.
Monma (advisor kegiatan SAST 2008) yang memandang bahwa penyelenggaraan simposium
semacam ini tidak jauh berbeda dengan penyelenggaraan pertemuan perhimpunan ilmiah
(‘gakkai’) di Jepang. Di samping itu pula isu-isu yang diangkat dalam plenary session cukup

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia
INOVASI Vol.11/XX/Juli 2008

sesuai dengan kondisi yang terjadi di dunia pada saat ini. Diharapkan kegiatan semacam ini
dapat memberikan manfaat lebih nyata baik bagi peserta khususnya maupun masyarakat
umumnya.

Gb.5. Wakil Kepala Perwakilan RI, Rektor Tokyo University of Agriculture, para pembicara utama dan
undangan berfoto bersama dengan peserta (atas) dan panitia (bawah)

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia
INOVASI Vol.10/XX/Maret 2008

Susunan Dewan Redaksi Inovasi

Penanggung Jawab Ketua PPI-Jepang (Deddy Nur Zaman)


Pemimpin Redaksi Sorja Koesuma
Redaktur
Murni Ramli
Bambang Widyantoro
Nufransa Wira Sakti
Agustan

Konsultan Bahasa Imelda


Produksi Aries Setiawan
Cover Atri Singgih (Foto)
Nufransa Wira Sakti (Setting)

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia 113

You might also like