You are on page 1of 16

Page 1 of 16

KEBERAGAMAAN HUMANIS: SEBUAH AGENDA DALAM PLURALITAS AGAMA Oleh: Nuruddin Mhd Ali

A. PENDAHULUAN Setidaknya ada dua pengalaman yang menyebabkan terjadinya penilaian yang negatif terhadap agama, yaitu pengalaman buruk dalam melihat agama dan, yang kedua, pengalaman buruk dalam beragama. Yang pertama merupakan pengalaman yang melihat agama ternyata justru menyebabkan terjadinya berbagai pembatasan yang menyebabkan manusia tidak bisa membebaskan dirinya untuk memperbaiki keadaannya. Dalam pandangan Karl Marx, yang mewakili pendapat pertama ini, agama telah menjadi candu (opium), yang hanya dapat menawarkan kenikmatan sesaat, atau sebagai tempat pelarian dari nestapa kehidupan yang dirasakan oleh manusia. Dengan ungkapan lain, agama tidak dapat memberikan jawaban terhadap persoalan-persoalan kemanusiaan. Kalangan agamawan pun dituduh sebagai golongan otoriter dan penghayal yang lebih peduli dengan kehidupan di akhirat dari pada kehidupan di dunia. Menurut pengalaman yang kedua, agama justru sering menjadi pemicu kegiatankegiatan yang mengacu pada terjadinya proses kekerasan, peperangan dan berbagai konflik horizontal. Sudah tidak terhitung biaya manusia (human cost) yang dikeluarkan untuk membela agama atau, meminjam ungkapan Karen Armstrong, bertempur untuk membela Tuhan (the battle for God). Menghadapi sikap skeptis ini, hampir semua agama mengungkapkan penolakan dan mengemukakan argumen bahwa agamanya adalah agama yang menganjurkan keharmonisan, kedamaian, kerukunan, saling menghormati, menjunjung tinggi sikap egaliter. Tetapi, mengapa dalam realitas historis-empiris, doktrin agama, keputusan majelis agama, keputusan konsili atau dewan gereja-gereja dunia yang ideal tersebut tidak dapat dilaksanakan oleh masing-masing pihak? Dalam Islam pun idem ditto, ajaran-ajaran Islam yang menjunjung tinggi nilai kemanusiaan ternyata tidak selamanya dapat terlaksana dalam realitas historis-empirisnya. Hal ini tentu kontra produktif dalam era global sekarang di mana agama sering ketinggalan langkah dalam menyikapi isu-isu global seperti demokratisasi, HAM, lingkungan hidup dan pluralitas. Sedangkan isu-isu tersebut justru menjadi perhatian utama orang-orang yang sering dijuluki sebagai kalangan sekuler.

Page 2 of 16

Untuk itu, menjadi menarik dikaji tentang sikap keberagamaan model bagaimana yang dapat menghadirkan kembali peran agama (atau ekstremnya, menghadirkan Tuhan) dalam menghadapi persoalan-persoalan kemanusiaan. Tulisan ini bermaksud untuk mengelaborasi model-model sikap keberagamaan dalam pluralitas masyarakat dunia, dan kemudian mencoba untuk mencarikan alternatif model keberagamaan (khususnya keberagamaan Islam) dan upaya-upaya untuk mengimplementasikannya. B. TIGA SIKAP KEBERAGAMAAN Dengan demikian jelaslah bahwa pluralisme agama mempunyai problematika sendiri ketika diimplementasikan, apakah memilih membatasi persoalan agama pada persoalan privat atau pada level masyarakat agama tertentu (denominasi). Untuk mendapatkan suatu pemahaman tentang pluralisme yang lebih jauh, perlu dikemukakan pola-pola keberagamaan yang akan berimplikasi pada sikap terhadap agama-agama lain. Dalam penelitian ilmu agama-agama, paling tidak ada tiga sikap keberagamaan yaitu ekslusivisme, inklusivisme dan paralelisme. Berikut ini akan dideskripsikan ketiga pandangan teologis tersebut, dengan sedikit latar belakang sejarah teologi, terutama Kristiani, karena agama Kristiani adalah agama yang sangat panjang pengalaman sejarahnya, menyangkut isu ini. Dewasa ini, wacana pluralisme juga sangat hidup dalam tradisi pemikiran kristiani, dimana agama-agama lain, misalnya Islam, bisa mengambil pelajaran dari pergumulan Kristiani.1 1. Sikap Ekslusif Sikap ini merupakan pandangan yang dominan sepanjang masa, dan terus dianut hingga sekarang. Bagi agama Kristen ini pandangan ini adalah bahwa Yesus merupakan satu-satunya jalan yang sah untuk keselamatan. Akulah jalan dan kebenaran dan hidup. Tidak ada seorangpun yang datang kepada Bapa, kalau tidak melalui Aku (Yohanes 14:6). Ayat ini dalam perspektif orang yang bersikap ekslusif sering dibaca secara literal. Juga ada ungkapan yang selalu menjadi kutipan, Dan keselamatan tidak ada di dalam siapapun selain di dalam Dia, sebab di bawah kolong langit ini tidak ada nama lain maka terkenallah istilah No Other Name-yang diberikan kepada manusia yang
1

Budy Munawar-Rachman. 2001. Islam Pluralis, Wacana Kesetaraan Kaum Beriman: Jakarta: Paramadina, hal. 44.

Page 3 of 16

olehnya kita dapat diselamatkan (Kisah Para Rasul 4, 12). Sehingga istilah No Other Name! itu lalu menjadi simbol tentang tidak adanya keselamatan di luar Yesus Kristus.2 Pandangan seperti ini sudah dikenal lama bahkan sejak abad pertama dari Gereja, yang kemudian mendapat perumusan seperti extra ecclesiam nulla salus! (tidak ada keselamatan di luar Gereja), juga berkaitan dengan masa depan, extra ecclesiam nullus propheta! (tidak ada nabi di luar Gereja). Pandangan ini pernah dikukuhkan dalam konsili Florence 1442. 3 Untuk contoh Islam, walaupun tidak ada semacam kuasa gereja dalam agama Kristen, khususnya Katolik yang bisa memberi fatwa menyeluruh seperti contoh di atas, banyak penafsir sepanjang masa yang menyempitkan Islam pada pandangan-pandangan ekslusif, beberapaga ayat yang biasa dipakai sebagai pengungkapan ekslusivitas Islam adalah:
Hari ini orang kafir sudah putus asa untuk mengalahkan agamu. Janganlah kamu takut kepada mereka; takutlah kepada-Ku. Hari ini Aku sempurnakan agamamu bagimu dan Ku-ucapkan karunia-Ku untukmu dan Ku-pilihkan Islam menjadi agamamu.4 Barang siapa menerima agama selain Islam (tunduk kepada Allah) maka tidaklah akan diterima dan pada hari akhirat ia akan termasuk golongan yang rugi.5 Sungguh, agama pada Allah ialah Islam (tunduk pada kehendak-Nya)6

2. Sikap Inklusif Paradigma ini membedakan antara kehadiran penyelamatan (the salvific presence) dan aktivitas Tuhan dalam tradisi agama-agama lain, dengan penyelamatan dan aktivitas Tuhan sepenuhnya dalam Yesus Kristus. Menjadi Inklusif berarti percaya bahwa seluruh kebenaran agama non-Kristiani mengacu kepada Kristus, begitu kata Alan Racee, the Anglican Chaplain pada Universitas Kent.7

2 3

Ibid Dengan menganut doktrin ini, selama berabad-abad ummat Kristen, meminjam istilah Boisard, mengeluarkan hukuman terhadap Islam dengan membandingkannya dengan agama-agama yang terdahulu dan agama yang ada sekarang. Mereka mengatakan bahwa Islam adalah kemurtadan (heresy)dan mendakwa Muhammad sebagai Nabi palsu. Doktrin inilah yang antara lain menyebabkan terjadinya misi penyelamatan manusia melalui zending dan sebagainya. Lihat, Marcel A. Boisard. 1980. Humanisme dalam Islam. terj. oleh M. Rosyidi dari L Humanisme de lIslam. Jakarta: Bulan Bintang 4 Q.,s. al-Maidah/5:3 5 Q.,s. Alu Imran/3:85 6 Q.,s. Alu Imran/3:19 7 lihat, Budhy Munawar Rahcman. 2001. Islam Pluralis, hal. 46

Page 4 of 16

Pandangan yang paling ekspresif dari paradigma inklusif ini tampak pada dokumen Konsili Vatikan II,8 mempengaruhi seluruh komunitas Katolik sejak 1965. Dokumen yang berkaitan dengan agama lain, ada pada Deklarasi Hubungan Gereja dan Agama-agama Non Kristiani (Nostra Aetate).9 Dalam contoh Islam juga sering dikemukakan misalnya istilah dari seorang filsuf Muslim abad XIV, Ibn Taymiyah yang membedakan antara orang-orang dan agama Islam umum (yang non-Muslim par excellence), dan orang-orang dan agama Islam khusus (Muslim par exellance). Kata Islam sendiri di sini diartikan sebagai sikap pasrah kepada Tuhan. Mengutip Ibn Taymiyah,
Pangkal Islam adalah persaksian bahwa Tidak ada suatu tuhan apapun selain Allah, Tuhan yang sebenarnya, dan persaksian itu mengandung makna penyembahan hanya kepada Allah semata dan meningalkan penyembahan kepada selain Dia. Inilah al-Islam al-amm (Islam umum, universal) yang Allah tidak menerima ajaran ketundukan selain daripadanya. Maka semua nabi itu dan para pengikut mereka, seluruhnya disebut oleh Allah Taala bahwa mereka adalah orang-orang muslim. Hal ini menjelaskan bahwa firman Allah Taala bahwa mereka adalah orang-orang Muslim. Hal ini menjelaskan bahwa firman Allah Taala, Barangsiapa menganut suatu din selain al-islam maka tidak akan diterima daripadanya al-din dan di akhirat dia termasuk orang yang merugi10 - dan firman-Nya, Sesungguhnya al-din di sisi Allah ialah al-Islam11 tidaklah sungguh tentang orang-orang (masyarakat) yang kepada mereka Nabi Muhammad s.a.w. diutus, melainkan hal itu merupakan suatu hukum umum (hukm amm ketentuan universal) tentang manusia masa lalu dan manusia kemudian hari.12

Dalam tafsiran mereka yang menganut paham yang disebut Islam Inklusif ini, mereka menegaskan sekalipun para nabi mengajarkan pandangan hidup yang disebut al-Islam (ketundukan dan sikap pasrah) itu tidaklah berarti bahwa mereka dan kaumnya menyebut secara harfiah agama mereka al-Islam dan mereka sendiri sebagai orangorang Muslim. Itu semua hanyalah peristilahan Arab. Para nabi dan rasul, dalam dawah mereka pada dasarnya menggunakan bahasa kaumnya masing-masing (Kami
8

Konsili Vatikan II dapat dikatakan merupakan titik tolak (point of departure) hidup Gereja yang dialogis. Namun tidak berarti bahwa seakan-akan hidup Gereja yang dialogis tidak pernah ada sebelumnya. Dialog sebagaimana dicetuskan Vatikan II mempunyai akar pada tradisi hidup Gereja. Sebelum Konsili Vatikan II ini telah ada pengalaman yang menunjukkan pandangan yang positif terhadap agama-agama lain, kemudian berkembang menjadi pandangan extra Ecclesiam nulla salus dan, pada akhirnya memunculkan sikap dialogis. Lihat, F.X. Armada Riyanto CM. 1995. Dialog Agama dalam Pandangan Gereja Katolik. Yogyakarta: Kanisius. Hal. 23. 9 Dokumen Nostra Aetate merupakan pertanggungjawaban historis dan teologis sikap dialogis Gereja terhadap agama-agama non-Kristiani, sebab dokumen ini seakan menjadi semacam evaluasi tentang sikap Gereja masa lampau terhadap agama-agama lain. Lewat deklarasi Noastra Aetate, Konsili Vatikan II tanpa ragu-ragu memandang positif agama-agama lain, seraya mencari segi-segi yang dapat mengantar ke dialog dan rekonsiliasi. Nostra Aetate berisi penghargaan terhadap nilai-nilai keselamatan agama-agama bukan Kristen dan gagasan tentang dialog. Lihat, F.X. Armada Riyanto CM. 1995. Dialog Agama dalam Pandangan Gereja Katolik. Yogyakarta: Kanisius. Hal. 53-57 10 Q., s. Alu Imran/3:85 11 Q., s. Alu Imran/3:19 12 Dikutip dari Budhy Munawar-Rachman, Islam Pluralis, hal. 46-47

Page 5 of 16

tidak mengutus seorang rasul kecuali dengan bahasa kaumnya.13 Kesimpulannya: kalangan Islam inklusif menganut suatu pandangan bahwa semua nabi adalah satu. Para nabi adalah saudara satu ayah; ibu mereka banyak, namun agama mereka satu. 14 Mereka menganut pandangan al-Quran tentang adanya titik temu agama-agama15, di mana masing-masing umat telah ditetapkan sebuah syirah (jalan menuju kebenaran) dan minhaj (cara atau metode perjalanan menuju kebenaran). Menurut kalangan Islam inklusif ini, Allah memang tidak menghendaki adanya kesamaan manusia dalam segala hal (monolitisisme). Adanya perbedaan menjadi motivasi berlomba menuju berbagai kebaikan; dan Allah akan menilai dan menjelaskan berbagai perbedaan yang ada itu.16 3. sikap paralelisme Paradigma ini percaya bahwa setiap agama (agama-agama lain di luar Kristen) mempunyai jalan keselamatannya sendiri, dan karena itu klaim bahwa kristianitas adalah satu-satunya jalan (sikap ekslusif), atau yang melengkapi atau mengisi jalan yang lain (sikap inklusif), haruslah ditolak, demi alasan-alasan teologis dan fenomenologis. Tokoh utama yang paling imperatif mengemukakan paradigma pluralis ii adalah John Harwood Hicks dalam karyanya, God and the Universe of Faith (1973). Hick dianggap sebagai orang yang telah melakukan revolusi dalam teologi agamaagama. Hick menggunakan analogi alam semesta untuk menggambarkan pikirannya tentang pluralisme. Dalam astronomi, Ptolomeus, dikatakan bahwa bumi adalah pusat dari seluruh alam semesta. Diterangkan juga tentang pergerakan-pergerakan planetplanet lain oleh postulating epicycle. Pertumbuhan jumlah epicycle menjadikan gambaran Ptolomeus makin tidak masuk akal. Karena itulah akhirnya muncul gambaran Kopernikus, yang menggantikan gambaran Ptolomeus, dengan menganggap bahwa mataharilah yang sebenarnya pusat alam semesta, bukan bumi. Dengan analogi ini Hicks hendak bahwa teologi Ptolomeus kuno (kalangan ekslusivis) dan pertumbuhan epicycle-ya (para inklusivis) yang menganggap bahwa Yesus Kristus adalah pusatnya, makin tidak mungkin menerangkan perkembangan agama-agama lain. Karena itu ia melakukan revolusi Kopernikan dalam bidang pemikiran teologi dengan mengganti
13 14

Q., s. Ibrahim/14:4 Dalam sebuah hadis, Rasulullah s.a.w. bersabda, Aku adalah orang yang paling berhak atas Isa putera Maryam di dunia dan akhirat. Para Nabi adalah saudara satu bapak, ibu mereka berbeda-beda namun agama mereka satu (H.R Bukhari) 15 Q., s. Alu Imran/ 3: 64 16 Q., s. al-Maidah/5:48

Page 6 of 16

kekristenan (Yesus-Kristus) kepada Tuhan sebagai pusat dari alam semesta iman manusia. Semua agama termasuk Kristen melayani dan mengelilingi-Nya.17 Dalam perspektif Islam, Islam pluralis adalah pengembangan liberal dari islam inklusif. Menurut para penganjurnya, antara lain Seyyed Hossein Nasr dan Fritjhof Schuon, perbedaan antara agama-agama diterima sebagai perbedaan dalam meletakkan prioritas antara perumusan iman dan pengalaman iman. Setiap agama pada dasarnya terstruktur oleh dua hal tersebut: perumusan iman dan pengalaman iman. Hanya saja setiap agama selalu menganggap yang satu mendahului yang lain.18 Pandangan Pluralis ini tidak menganggap bahwa tujuan yang ingin dicapai adalah keseragaman bentuk agama, sebab gagasan pluralisme keagamaan berdiri di antara pluralitas yang tidak berhubungan dan kesatuan monolitik. Hal ini merupakan persoalan yang kompleks dan perlu dicari kesatuan monolitik yang menghubungkan agama-agama tersebut. Untuk menjelaskannya, para ahli menggunakan metafor, seperti metafor pelangi, metafor geometris atau metafor bahasa. Dengan metafor pelangi dijelaskan bahwa pada dasarnya semua agama itu mempunyai warna dasar yang sama, yang tidak terlihat dari warna luarnya. Warna dasar itu adalah putih. Setiap warna muncul dari warna putih yang mengalami pembiasan atau dilihat dari sisi lain, setiap warna menyimpan warna putih. Dalam konteks agamaagama hal ini berarti bahwa setiap agama menyimpan warna putih namun yang tampak dari luar adalah, misalnya, warna hijau (Islam), biru (Kristiani). Warna putih itu disebut sebagai warna dari agama primordial atau kebenaran primordial menurut terminologi para penganut filsafat perenial. Dengan metafor geometris, dapat digambarkan bahwa agama-agama muncul karena transformasi topologis. Agamaagama terlihat berlainan sampai ditemukan sebuah titik temu: titik (invariant) topologis yang tetap. Tidak perlu semua agama berasal dari satu titik, tetapi ada kumpulan beberapa topologis (agama). Di sini orang bisa berbicara mengenai adanya rumpunrumpun agama, misalnya agama-agama Timur dan agama-agama Barat. Orang juga bisa berbicara mengenai kesatuan transenden pengalaman agama.
17 18

Lihat, John Hicks. 1993. God and the Universe of Faiths. Oxford: One World Publication Misalnya perbedaan antara Islam dan Kristen terletak dalam menaruh mana yang lebih penting antara kedua hal tersebut. Bagi Islam, perumusan Iman (dalam hal ini tawhid) adalah lebih utama dan pengalaman iman mengikuti perumusan iman tersebut. Sebaliknya dalam Kristen, pengalaman iman (dalam hal ini pengalaman akan Tuhan yang menjadi manusia pada diri Yesus Kristus, yang kemudian disimbolkan dengan sakramen misa, dan ekaristi) adalah mendahului perumusan iman yang dogmatis mengenai trinitas.perbedaan dalam struktur perumusan dan pengalaman iman ini hanyalah ekspresi kedua agama ini dalam merumuskan dan mengalami Tuhan yang sama. lihat, Budhy Munawar Rachman. 2001. Islam Pluralis, hal. 49

Page 7 of 16

Dengan metafor bahasa bisa digambarkan secara partikular setiap agama analog dengan bahasa. Seperti halnya bahasa, setiap agama pada dasarnya lengkap dan mencukupi untuk jalannya sebuah agama (karena itu pada dasarnya setiap agama, seperti halnya bahasa, tidak memerlukan agama lain. Tetapi di antara agama-agama seperti juga bahasa-bahasa dapat saling memberi pengaruh, atau melakukan pertukaran ide-ide, walaupun pada akhirnya harus dimasukkan dalam konstruksi agama atau bahasa itu sendiri sepenuhnya). Dalam soal pluralisme, setiap agama seperti halnya bahasa berdiri sendiri secara partikular tetapi mereka diikat oleh suatu ide agama seperti juga ide bahasa yang sifatnya abstrak. Hanya karena abstraknya orang tidak bisa melakukan agama atau berbahasa yang abstrak itu, tanpa agam atau bahasa yang konkrit. Tetapi lagi-lagi secara transendental orang bisa meyakini adanya Agama dengan A besar, yang merupakan agama primordial atau kebenaran primordial. Sikap paralelisme ini terekspresi dalam beberapa ungkapan, seperti Other religions are equally valid ways to the same truth, atau Other religions speak different but equally valid truth atau Each religion express an importan part of the truth, atau whatever path men choose is Mine.19 Sikap paralelisme ini mengekspresikan adanya fenomena Satu Tuhan, banyak agama yang berarti sikap toleran terhadap adanya jalan lain kepada Tuhan.

C. HUMANISME RELIGIUS: SEBUAH TAWARAN Dari uraian di atas terlihat bahwa sudah ada semangat untuk melaksanakan pluralisme agama, seperti tergambar dalam Islam pluralis dan Kristen pluralis. Dengan menggunakan metafor pelangi, bahasa dan geometris setiap penganut agama seharusnya mengembangkan semangat untuk mencari warna putih atau yang disebut agama primordial atau kebenaran primordial menurut istilah filsafat perenial. Lalu dalam bentuk apakah warna putih yang ada pada setiap agama tersebut? Fritcjof Schoun, seorang Sufi kontemporer mengatakan bahwa pada dasarnya tidaklah penting perbedaan antaragama, kalau kita dapat melihatnya dari segi transenden, di mana yang ada adalah kesatuan yang menurutnya merupakan jantung dari agama-agama (the heart of religions dan orang yang memahaminya masuk dalam the religion of hearth). Jantung agama-agama tersebut adalah ajaran esoteris dari masing-masing agama. Kalangan esoteris ini berpandangan bahwa mereka secara ultim
19

lihat misalnya John Hick. 1980. God Has Many Names. London: The Macmillan Press Ltd

Page 8 of 16

ada dalam satu kesatuan dengan penganut agama-agama lain, karena seluruhnya datang dari dan akan kembali kepada Yang Ilahi. Namun, pandangan ini ditentang oleh kalangan eksoteris yang mencurigai orang-orang esoteris sebagai orang-orang yang merelatifir kalau tidak malah merusak kebenaran. Pandangan ini juga akan mendapat tantangan keras dari orang-orang yang menganggap bahwa esoterisme agama akan mengarah pada sinkritisme agama-agama dan terkesanmelarikan diridari realitas persoalan kemanusiaan. Bagi sebagian kalangan Islam, iman bukan hanya persoalan hati, tetapi juga dilahirkan dalam ucapan dan tindakan-tindakan. Nurcholish Madjid memperkenalkan secara teoritis konsep titik pertemuan (kalimah sawa) agama-agama.20 Menurutnya, kalimah sawa adalah kalimat, ide, atau prinsip yang sama, yakni ajaran bersama yang menjadi common platform antara berbagai kelompok manusia. Gagasan ini lebih bersifat inklusif ketimbang pluralis, karena memandang adanya jalan lain menuju Tuhan dari perspektif agama-agama samawi dan menekankan pada semangat tawhid yang merupakan inti ajaran agamaagama tersebut. Tetapi, gagasan ini menjadi problematis karena pemahaman keesaan Tuhan tersebut berbeda pada masing-masing agama di mana Islam berpandangan bahwa Tuhan itu Esa dalam zat, sifat dan perbuatan-Nya. Sementara Kristen berpandangan bahwa keesaan Tuhan terwujud dalam trinitas yang dipandang oleh sebagai mensekutukan Tuhan oleh kalangan Muslim. Gagasan kalimah sawa tentang keesaan Tuhan ini terkesan utopis dan mustahil untuk tercapai. Ayat Al Quran yang berbicara tentang kalimah sawa itu sendiri pada bagian akhir ayat tersebut mengungkapkan keengganan sebagian penganut agama (samawi) lain untuk kembali kepada platform bersama tersebut. Belum lagi apabila semangat ini dikembangkan kepada agama-agama ardhi seperti Hindu dan Budha, atau Kong Hu Cu dan Shinto, yang justru melakukan pemujaan terhadap arwah leluhur. Untuk itu, perlu dicari kalimah sawa yang baru dalam rangka memperkuat semangat pluralisme agama. Pelarian pada unsur-unsur esoteris agama jelas tidak akan menyelesaikan persoalan terutama berkaitan dengan persoalan-persoalan riil yang
20

Dalam Al-Quran disebutkan, (katakanlah (olehmu, Muhammad) Wahai para penganut kitab suci, marilah semuanya menuju ajaran bersama antara kami dan kamu sekalian bahwa kita tidak menyembah kecuali Yuhan dan tidak memperserikatkan-Nya kepada sesuatu apa pun juga, dan kita tidak mengangkat sesama kita sebagai tuhan-tuhan selain Tuhan Yang Maha Esa (Allah). Q., s. Alu Imran/3:64. Jadi, dalam firman itu, ditegaskan bahwa titik pertemuan utama antara agama-agama (samawi) ialah prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa. Lihat, Nurcholish Madjid. 1995. Islam, Doktrin dan Peradaban. Jakarta: Paramadina, hal. 7-8.

Page 9 of 16

dihadapi manusia. Pada masa sekarang, manusia dihadapkan kepada berbagai persoalan yang menuntut perhatian agama untuk menyelesaikannya. Ideologi-ideologi besar seperti kapitalisme dan sosialisme dipandang telah gagal dalam memperbaiki kehidupan manusia.21 Persoalan-persoalan riil yang dihadapi manusia sekarang ini adalah kemiskinan, keterbelakangan, kekerasan, peperangan, lingkungan hidup dan berbagai persoalan-persoalan lainnya yang mengancam kehidupan manusia. Pluralisme agama perlu ditarik untuk lebih dekat kepada upaya agama-agama dalam menyelesaikan persoalan-persoalan kemanusiaan. Pandangan seperti ini erat kaitannya dengan humanisme, yaitu suatu pandangan yang menempatkan manusia sebagai perhatian utama. Humanisme22 merupakan setiap aliran atau gerakan yang menghargai budi, kebebasan dan martabat manusia serta kemampuannya untuk belajar mengembangkan seluruh kebudayaannya.23 Semangat humanisme ini seringkali dikonfrontasikan dengan agama. Padahal, meskipun sebagian tokoh-tokohnya merupakan orang-orang yang sangat kritis terhadap agama (Gereja), tidak jarang mereka adalah orang-orang yang beriman saleh, seperti Lorenzo Valla (1406-1457), Pico Della Mirandola (1463-1494), Erasmus dari Roterdam (1464-1536) dan St. Thomas More (1478-1535). Kaum humanis sekarang ini seringkali adalah orang-orang yang tidak beriman yang memandang manusia memiliki otonomi yang mutlak. Meskipun demikian, humanisme baru yang secara bertanggungjawab berjuang demi dunia yang lebih baik atas dasar kebenaran dan keadilan tidak berlawanan dengan iman agama (Kristiani)24 seperti John Dewey, Roy Wood Sellar dari tradisi Barat dan Muhammed Arkoun, Nasr Hamid Abu Zaid, dan Najib Mahfuz dari tradisi Muslim.25 Mereka menyadari adanya unsur humanitarian dalam agama, Yesus mencintai

21

Ideologi yang dominan di dunia sekarang ini adalah liberalisme yang dirasakan semakin mengancam masa depan agama dan masa depan manusia. Oleh karena itu, orang mulai ramai berbicara tentang agama sebagai alternatif ketika isms-isme besar katakanlah setelah sosialisme yang hancur, orang mengharapkan isme pendobrak semacam agama-agama yang sekarang ini tidak jalan.lihat, Allah, Kemanusiaan dan Masa Depan, artikel dalam Kompas edisi 3 Mei 2002 dan beberapa artikel lainnya. 22 Istilah humanisme diciptakan oleh seorang pendidik berkebangsaan Jerman pada tahun 1808, sementara kata humanist (dalam bahasa Italia humanista dan kata-kata semakna) sudah digunakan pada abad ke-17 untuk menyebut para ilmuwan yang terlibat dalam studia humanitatis. Lihat, Joel L. Kraemer. 1986. Humanism in the Renaissance of Islam. Leiden: EJ. Brill, hal. 5 23 Edward G. Farrugia, SJ. 1996. Kamus Teologi. Terjemahan dari A Concise Dictionary of Theology. Yogyakarta: Kanisius. Hal. 107 24 ibid. 25 M. Amin Abdullah. 2000. Religious Humanism versus Secular Humanism, Toward a New Spiritual Humanism, makalah dalam International Seminar on Islam and Humanism. IAIN Walisongo. 5-8 November 2000

Page 10 of 16

manusia26, dan agama-agama seperti Islam juga sangat concern dengan manusia dan kemanusiaan. Namun tidak semua kalangan humanis melihat agama dalam perspektif demikian. Para humanis sekuler seperti Voltaire, Thomas Paine, Karl Marx dan Paul Kurtz sangat menentang agama. Bagi mereka agama adalah sumber utama persoalan di dunia ini. Menurut mereka, orang-orang beragama adalah otoriter dan sangat fanatik untuk lebih memperhatikan kehidupan di akhirat daripada kehidupan di dunia.27 Pada bagian lain, agama lebih sering jarang muncul sebagai solusi terhadap persoalan yang dihadapi manusia. Alih-alih menjadi part of solution, agama justru sering menjadi part of problem. Berbagai peperangan bermotif agama masih mewarnai dunia kontemporer. Munculnya golongan agama garis keras seringkali menampilkan agama dengan muka yang garang dan penuh kebencian terhadap orang yang bukan golongan agama atau aliran yang dianutnya. Atas dasar membela agama atau meminjam istilah Karen Armstrong membela Tuhan, agama menjadi perekat solidaritas untuk menghabisi penganut agama lain. Ini tentu saja bertolak belakang dengan semangat awal agama sangat peduli dengan kemanusiaan. Dalam pandangan kalangan humanis, manusia secara satu kesatuan dan mempunyai posisi yang setara. Dalam Second Humanist Manifesto, Paul Kurtz menulis panjang lebar akan kebutuhan akan masyarakat dunia (global community). Menurutnya, masyarakat dunia adalah bahwa setiap orang di seluruh negara yang bermacam-macam hendaknya tidak mengidentifikasi diri mereka menurut indentitas negara, agama atau ras. Setiap manusia harus memahami diri mereka sebagai bagian dari masyarakat dunia, bahkan bagian dari komunitas kehidupan di planet bumi.28 Karena itu, wacana pluralisme agama perlu ditarik kepada inti agama, yaitu untuk membebaskan manusia. Bila dilihat dari perspektif sejarah agama-agama, munculnya suatu agama selalu dilatarbelakangi oleh kebobrokan moral dan proses dehumanisasi yang luar biasa. Para nabi dan rasul dan pendiri agama-agama selalu muncul sebagai tokoh yang berusaha memperbaiki keadaan moralitas umatnya dan menghentikan proses dehumanisasi yang demikian parahnya. Munculnya Musa di
26

Misalnya, dalam Kristiani diyakini bahwa Yesus adalah juru selamat manusia, yang turun untuk menebus dosa-manusia. Dalam Islam, penghargaan terhadap manusia ditandai antara lain oleh pemuliaan Allah terhadap manusia, dengan firman-Nya. Bagaimana konsep al-Quran tentang manusia Lihat misalnya, Dirk Bakker. 1965. Man in the Quran. Amsterdam: Drukkerij Holland. 27 ibid. 28 Dalam John Avery dan Hasan Askari. 1995. Menuju Humanisme Spiritual: Kontribusi Perspektif Muslim-Humanis. Terj. dari Toward a Spiritual Humanism: A Muslim Humanist Dialog. Surabaya: Risalah Gusti, hal. 140

Page 11 of 16

Mesir yang membawa kitab Taurat sangat terkait dengan proses dehumanisasi yang dilakukan oleh Firaun terhadap bangsa Israil.29 Demikian juga halnya dengan kemunculan Yesus Kritus dan Muhammad yang dilatarbelakangi oleh kebobrokan akhlak dan perendahan terhadap derajat kemanusiaan. Dalam agama-agama timur pun kemunculan tokoh-tokoh pendiri agama selalu dilatarbelakangi oleh terjadinya krisis kemanusiaan. Misalnya, Budha Gautama yang kemudian mendapat pencerahan dalam perenungannya di bawah pohon Bodhi setelah melihat realitas persoalan kemanusiaan yang didapatinya di luar tembok istana Kapilawastu. Perlunya kesadaran sejarah agama-agama ini penting dalam dialog agamaagama, bahwa faktor kemanusiaan sangat dominan dalam timbulnya sebuah agama sebagai bentuk kasih sayang Tuhan terhadap manusia. Tetapi, ketika ajaran agama tersebut mulai dirumuskan, muncul pembiasan-pembiasan terhadap ajaran-ajaran agama tentang kemanusiaan. Konsep teologi yang dibangun oleh manusia, cenderung bersifat apolegetik-defensif ketimbang konstruktif-liberatif. Manusia telah menghabiskan banyak energi dalam perdebatan-perdebatannya tentang Tuhan seolah-olah ingin menyatakan bahwa merekalah penyelamat Tuhan. Sedangkan persoalan-persoalan kemanusiaan yang menjadi latar belakang timbulnya agama disingkirkan dan tidak menjadi tema dalam teologi. Pada dataran ini, para teolog dan mutakallimun berhasil menyelamatkan Tuhan namun akibat dari rumusan teologi atau kalam mereka muncul berbagai konflik yang berlatar belakang agama dan atas nama Tuhan. Padahal berulangkali Tuhan menyatakan bahwa ada tidaknya orang yang beriman di dunia ini tidak akan berpengaruh apa-apa kepada-Nya. Kuatnya faham teologi seperti ini berpengaruh pada ketidakberdayaan dalam menghadapi persoalan-persoalan kemanusiaan. Akhirnya agama ditempatkan hanya sebagai urusan pribadi manusia dengan Tuhan (sekuler). Sedangkan persoalan manusia dengan manusia, atau manusia dengan alam bukan termasuk dalam wilayah agama. Teologi yang dipahami dan diyakini berabad-abad sangat bersifat apologetikdefensif untuk membela kelompok agama atau sekte dalam agama tertentu. Celakanya, pemikiran manusia kemudian disakralkan dan dianggap sebagai yang paling benar dan immune terhadap kritik dan mengalami pensakralan (taqdis afkar al-diniy).30
29

Misi dakwah Musa ini adalah misi politik karena awal risalahnya adalah menyeru Firaun untuk kembali kepada kebenaran. Dalam Al-Quran disebutkan, Pergilah kepada Firaun, sesungguhnya dia orang yang melampaui batas. Lihat Q., s. 26:10-11
30

Bandingkan dengan M. Amin Abdullah. 2000. Relevansi Studi Agama-agama dalam Milenium Ketiga, dalam M. Amin Abdullah dkk. 2000. Mencari Islam Studi Islam dengan Berbagai Pendekatan.

Page 12 of 16

Semua agama mengklaim bahwa ajarannya menghargai manusia dan menentang tindakan-tindakan yang tidak manusiawi. Dalam kontek pluralisme agama, doktrin setiap agama menganjurkan keharmonisan, kedamaian, kerukunan, saling menghormati dan menjunjung tinggi prinsip-prinsip kesetaraan, namun dalam realitas historis empiris doktrin agama, keputusan majelis agama, keputusan konsili atau dewan gereja-gereja yang ideal tersebut belum dengan sendirinya dapat terlaksana seperti yang diidamidamkan oleh masing-masing pihak. Hal ini karena banyaknya faktor kepentingan historis-empiris yang cukup dominan baik yang disebut sebagai kepentingan politik, ekonomis, sosial dan pertahanan keamanan yang ikut mewarnai dinamika hubungan agama-agama.31 D. REFORMULASI TEOLOGI? Dari uraian di atas, tersirat bahwa perlu diadakannya reka-ulang konsep teologi. Teologi agama-agama hendaknya kembali ke khittah awal munculnya agama-agama yaitu sebagai pembebasan manusia dari proses dehumanisasi. Untuk itu, teologi agamaagama hendaknya menjadi teologi kontemporer yang bisa menanggapi dan menjawab keadaan dan kebutuhan hidup manusia dewasa ini. dengan sendirinya, teologi ini akan selalu memantau perkembangan keadaan teraktual dalam hidup sosial, ekonomi dan politik supaya teologi itu tidak terlepas dari konteks hidup dan perkembangan sosial yang terjadi.32 Teologi baru ini hadir sebagai refleksi kritis yang membedah keadaan sosial dengan maksud untuk memperbaiki keadaan yang tak manusiawi, seperti kemiskinan, keterbelakangan ekonomi dan politik, kebodohon dan kejahatan terhadap manusia dan kemanusiaan. 33 Teologi harus menjalankan misi profetik sebagai agen yang melakukan emansipasi dan liberasi manusia yang dibarengi dengan transendensi. Teologi yang hendak dibangun ini adalah teologi yang berpijak pada nilai-nilai kemanusiaan universal. Rumusannya tidak bersifat abstrak, tetapi sungguh-sungguh menyentuh persoalan-persoalan yang nyata dihadapi oleh manusia. Tanpa adanya kesadaran ini, akan sulit membangun suatu teologi agama-agama yang dapat diterima oleh semua pihak.
Yogyakarta: Tiara Wacana, hal. 2-6 31 ibid., hal. 14 32 William Chang. Dari SARA Menuju Teologi Agama-agama, dalam Th. Sumartana dkk. 2001. Pluralisme, Konflik dan Pendidikan Agama di Indonesia. Yogyakarta: Interfidei, hal. 126 33 ibid.

Page 13 of 16

Mungkin, reformulasi teologi ini akan mendapat resistensi dari sebagian kalangan agamawan. Menurut mereka, teologi humanis ini terlalu antroposentris karena menempatkan manusia pada posisi Tuhan dan mengarah kepada sikap ateistik. Ketakutan ini semestinya tidak terjadi kalau mereka memahami realitas sejarah kemunculan agama-agama yang sarat dengan pesan-pesan kemanusiaan universal. Selain itu, dalam sejarah dan perkembangan humanisme, humanisme tidak selalu menyebabkan orang-orangnya menjadi atheis sebagaimana dijelaskan sebelumnya. Hal ini dapat dicontohkan dengan menunjuk pada kalangan humanis agamis Amerika di awal tahun-tahun 1920 dan 1930-an yang berusaha melihat manusia dalam hubungannya dengan kosmos yang lebih besar. Mereka mencoba untuk menaturalisasi agama dengan membawa nilai-nilai spiritual cinta, kebenaran dan keadilan keluar dari dunia langit masuk ke dalam dunia manusia/alam. Mereka mencoba untuk memahaminya sebagai nilai-nilai yang dikembangkan manusia untuk memperoleh kehidupan yang lebih baik, untuk memperoleh harmoni spiritual dalam diri mereka dan masyarat mereka.34 Dalam pada itu teologi, menurut Karl Rahner, tidak dapat lagi mengikuti pola masa lampau yang simplistis, yang menyelesaikan masalah pluralisme dengan menerapkan prinsip non-kontradiksi yaitu, apabila dua pendirian teologis dilihat sebagai alternatif-alternatif yang bertentangan, maka menurut prinsip non-kontradiksi, karena keduanya tidak dapat sama-sama benar, suatu keputusan akan diambil mengenai pendirian mana yang benar, dan pluralisme atau kontradiksi akan teratasi.35 Untuk menghadapi tantangan yang timbul karena perjumpaan agama-agama, pola tersebut tidak memadai lagi. Untuk mengembangkan pluralisme baru ini, ada tiga hal yang perlu dikembangkan oleh para penganut agama-agama, yaitu, (1) bahwa pluralisme keagamaan dapat dipahami dengan baik dalam kaitan dengan sebuah logika yang melihat Satu yang berwujud banyak realitas transenden yang menggejala dalam bermacam-macam agama; (2) bahwa ada suatu pengakuan bersama mengenai kualitas pengalaman agma partikular sebagai alat; (3) bahwa spiritualitas dikenal dan diabsahkan melalui pengenaan kriteria sendiri pada agama-agama lain.36
34

lihat, John Avery dan Hasan Askari. 1995. Menuju Humanisme Spiritual: Kontribusi Perspektif Muslim-Humanis. Terj. dari Toward a Spiritual Humanism: A Muslim Humanist Dialog. Surabaya: Risalah Gusti, hal. 139 35 Sebagaimana dikutip oleh Harold Coward. 1989. Pluralisme Tantanngan bagi Agama-agama. Yogyakarta: Kanisius, hal. 178. 36 Ibid. hal. 169

Page 14 of 16

Untuk sampai ke sana, diperlukan suatu pendekatan yang dapat memahami inti persoalan kemanusiaan dan keagamaan. Dalam studi agama dikenal adanya tiga pendekatan yaitu doktrinal-teologis, kultural-historis dan kefilsafatan agama. Baik pendekatan doktrinal-teologis maupun kultural-historis jelas tidak akan dapat menyelesaikan kompleksitas persoalan pluralisme agama. Dengan kedua pendekatan tersebut sulit dicari titik temu agama-agama untuk merumuskan konsep teologi baru. Dalam ungkapan M. Amin Abdullah, doktrin teologi macam apapun, bahkan juga Studi Agama secara historis-empiris yang mana pun juga tidak akan mampu memberi sumbangan pemikiran untuk melerai tumpang-tindih dan campur-aduknya antara dimensi doktrin-teologis dan dimensi kesejarahan dalam wujud praksis sosial.37 Untuk menjernihkan persoalan tersebut, diperlukan refleksi kritis yang biasa diwakili oleh pendekatan kritis-filosofis. Diharapkan dengan pendekatan fundamental filosofis dapat menjernihkan kompleksitas antara dimensi doktrinalteologis dan dimensi kultural-historis. Pendekatan fenomenologis terhadap agama perlu dipertimbangkan untuk melihat secara transparan hakikat keberagamaan manusia, lebih-lebih dalam keterkaitannya dalam hubungan antar umat manusia. Tetapi pendekatan fenomenologis yang bermuara para dapat dirumuskan dan dipahaminya struktur fundamental dari religiusitas manusia, dirasakan kurang cukup, khususnya untuk menjernihkan ketertumpangtindihan antara teks dan realitas. Pendekatan fenomenologis perlu ditindaklanjuti dengan pendekatan kritis filosofis terhadap realitas konkrit keberagamaan secara kultural historis.38 E. CONCLUDING REMARKS: MENUJU KERJASAMA AGAMA-AGAMA

37

M. Amin Abdullah. 2000. Relevansi Studi Agama-agama dalam Milenium Ketiga dalam M. Amin Abdullah dkk. 2000. Mencari Islam Mencari Islam dengan Berbagai Pendekatan. Yogyakarta: Tiara Wacana, hal. 17 38 ibid., hal. 17-18

Page 15 of 16

Tersirat dalam uraian di atas, sebenarnya fakta persoalan yang dirasakan masyarakat akibat sistem ekonomi (terkenal dengan istilah neo-liberalisme), sosial politik yang bobrok sudah cukup membangkitkan rasa keprihatinan bersama dan konsekuensinya mempersatukan warga masyarakat tanpa membedakan latar belakang agama dan suku. Pengalaman penderitaan bersama melahirkan solidaritas dan semangat untuk bekerjasama.39 Untuk itu, pencarian konsep pluralisme agama baru adalah dengan kembali kepada inti dari ajaran agama, yaitu penghargaan terhadap manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan. Dialog antar agama perlu beralih dari dialog wacana ke dialog aksi. Artinya, dialog yang selama ini dibangun untuk membangun saling pengertian antar agama-agama perlu ditindaklanjuti dalam bentuk kerjasama agama-agama dalam proyek-proyek kemanusiaan seperti menghadapi persoalan kemiskinan, keterbelakangan ekonomi dan pendidikan, kriminalitas, dan berbagai persoalan kemanusiaan lainnya. Kita menginginkan sikap yang sama oleh semua agama dan ideologi-ideologi lain terhadap persoalan kemanusiaan. Semua agama harus mengutuk setiap tindakan dehumanisasi yang terjadi tanpa melakukan diskriminasi terhadap korban tindakan yang dehumanisasi tersebut. Manusia perlu diselamatkan, dan agama-agama perlu lebih mengaktualisasikan dirinya dalam menyikapi persoalan kemanusiaan, karena itulah inti dari ajaran agama-agama dan ideologi-ideologi dunia yang paling esensi dan menjadi titik temu. Untuk mencapai hal tersebut, perlu dilakukan telaah kritis terhadap konsep teologi yang telah ada atau kalau perlu dilakukan format ulang teologi agama-agama. Untuk mencapai hal tersebut diperlukan metodologi kritis filosofis yang tepat membaca agama di hadapan realitas persoalan kemanusiaan dan mampu menjernihkan ketertumpangtindihan antara dimensi doktrin-teologis dan kultural-historis. Akhirnya, sebagai penutup perlu diungkapkan semangat humanisme religius yang mengatakan bahwa tidak ada keagamaan sejati tanpa kemanusiaan. _____________________________

39

Bandingkan dengan Yong Ohoitimur Panggilan Bersama Membangun Persaudaraan Sejati dalam Th. Sumartana dkk (ed.). 2001. Pluralisme, Konflik dan Pendidikan Agama di Indonesia. Yogyakarta: Interfidei, hal. 128-144

Page 16 of 16

DAFTAR BACAAN Al-Quran al-Karim M. Amin Abdullah, Religious Humanism versus Secular Humanism Toward a New Spiritual Humanism. Makalah dalam International Seminar on Islam and Humanism, Universal Crisis of Humanity and the Future of Religiousity, IAIN Walisongo Semarang, 5-8 November 2000 Budy Munawar-Rachman. 2001. Islam Pluralis, Wacana Kesetaraan Kaum Beriman. Jakarta: Paramadina. Marcel A. Boisard. 1980. Humanisme dalam Islam. terj. oleh M. Rosyidi dari L Humanisme de lIslam. Jakarta: Bulan Bintang Lihat, F.X. Armada Riyanto CM. 1995. Dialog Agama dalam Pandangan Gereja Katolik. Yogyakarta: Kanisius Lihat, John Hicks. 1993. God and the Universe of Faiths. Oxford: One Publication John Hick. 1980. God Has Many Names. London: The Macmillan Press Ltd Nurcholish Madjid. 1995. Islam, Doktrin dan Peradaban. Jakarta: Paramadina Kompas edisi 3 Mei 2002 Joel L. Kraemer. 1986. Humanism in the Renaissance of Islam. Leiden: EJ. Brill Edward G. Farrugia, SJ. 1996. Kamus Teologi. Terjemahan dari A Concise Dictionary of Theology. Yogyakarta: Kanisius. M. Amin Abdullah. 2000. Religious Humanism versus Secular Humanism, Toward a New Spiritual Humanism, makalah dalam International Seminar on Islam and Humanism. IAIN Walisongo. 5-8 November 2000 Dirk Bakker. 1965. Man in the Quran. Amsterdam: Drukkerij Holland. John Avery dan Hasan Askari. 1995. Menuju Humanisme Spiritual: Kontribusi Perspektif Muslim-Humanis. Terj. dari Toward a Spiritual Humanism: A Muslim Humanist Dialog. Surabaya: Risalah Gusti M. Amin Abdullah. 2000. Relevansi Studi Agama-agama dalam Milenium Ketiga, dalam M. Amin Abdullah dkk. 2000. Mencari Islam Studi Islam dengan Berbagai Pendekatan. Yogyakarta: Tiara Wacana William Chang. Dari SARA Menuju Teologi Agama-agama, dalam Th. Sumartana dkk. 2001. Pluralisme, Konflik dan Pendidikan Agama di Indonesia. Yogyakarta: Interfidei Harold Coward. 1989. Pluralisme Tantanngan bagi Agama-agama. Yogyakarta: Kanisius World

You might also like