You are on page 1of 7

3.

Sifat Mikrobiologis

Bakteri Coliform dan Fecal coli (Escherichia coli)

Analisa mikrobiologi dilakukan berdasarkan organisme petunjuk (indicator organism) terhadap pencemaran air. Dalam hal ini yang sering digunakan adalah bakteri. Jika dalam air minum ditemukan adanya bakteri, hal ini mengindikasikan bahwa air tersebut tercemar oleh bakteri coliform tinja (E. coli), atau kemungkinan mengandung bakteri patogen (Alaerts dan Santika, 1987). Bakteri coliform adalah jenis bakteri coli yang dibedakan menjadi dua kelompok yaitu coliform fecal, yaitu bakteri yang hidup secara normal pada usus manusia dan hewan, contohnya Escherichia coli, dan coliform non fecal yaitu bakteri yang hidup pada hewan dan tanaman yang sudah mati, contohnya Enterobacter aerogenes (Fardiaz, 1992). Air sumur pada wilayah penelitian memiliki kandungan bakteri Fecal coli yang sangat tinggi seperti terlihat pada Gambar 14. (Selengkapnya pada Lampiran 13). Hasil pengamatan terhadap sampel air sumur dari wilayah penelitian kandungan Fecal coli berkisar antara 0 3500 MPN/100 ml dengan kandungan rata-rata 1706,67 MPN/100 ml. Sementara kandungan total coliformnya berkisar antara 0 10000 MPN/100 ml (rata-rata kandungan 5766,67 MPN/100 ml). Kandungan bakteri coliform dan fecal coli rata-rata untuk seluruh wilayah penelitian menunjukkan telah melampaui ambang batas maksimum yang diperbolehkan menurut kriteria mutu air berdasarkan PP RI Nomor 82 Tahun 2001 seperti terlihat pada Gambar 8.

Hasil analisis menunjukkan, kandungan bakteri coliform pada air sumur lebih tinggi daripada bakteri fecal coli. Kondisi ini mengindikasikan pada lokasi pengamatan lebih banyak

sampah yang bersumber dari sisa-sisa tumbuhan, sisa-sisa makanan, dan bangkaibangkai hewan, merupakan substrat utama tumbuhnya bakteri coliform (Enterobacter aerogenes). Bakteri ini bersama dengan air hujan dapat secara langsung atau meresap masuk ke lapisan tanah atas dan akhirnya masuk dan terakumulasi dalam air sumur. Sumber pencemar mikrobiologis dari sistem pembuangan sampah dapat meresap ke dalam air tanah secara vertikal maupun horizontal. Bouwer dan Chaney dalam Wuryadi (1981) menemukan bahwa bakteri dapat bergerak sejauh 830 meter dari sumber kontaminan. Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa sumur penduduk di wilayah TPA Galuga yang berjarak 400 700 m dari TPA telah tercemar oleh bakteri E. coli sehingga air sumur tersebut tidak layak dimanfaatkan sebagai air minum maupun kebutuhan sehari-hari lainnya. Kualitas suatu air dapat ditentukan dengan melakukan suatu pengukuran terhadap intensitas parameter fisik, kimia, dan biologi atau mikrobiologi. Dalam penentuan status kualitas air, nilai parameter tersebut tidak dapat dipisahkan antara satu dengan yang lainnya, oleh karena itu semua nilai parameter tersebut harus ditransformasikan ke dalam suatu nilai tunggal yang dapat mewakili. Nilai tunggal tersebut dikenal dengan Indeks Kualitas Air. Indeks Kualitas Air merupakan suatu indeks yang berguna untuk mengevaluasi tingkat pencemaran lingkungan perairan. Untuk mengetahui kualitas suatu lingkungan perairan sesuai dengan peruntukannya, maka mengacu pada pedoman Indeks Mutu Lingkungan Perairan (IMLP) yang berdasarkan National Sanitation Foundation - Water Quality Index (NSF WQI) (Suprihatin, 1992) dibuat berdasarkan Metode Delphi dikembangkan oleh Rand Corporation (1968), dengan menggabungkan pendapat-pendapat panel para ahli kualitas air. Hasil analisis Indeks Kualitas Air pada seluruh lokasi pengamatan seperti tercantum pada Tabel 10 memperlihatkan bahwa nilai indeks berkisar antara 41,03 57,98 (rata-rata 48,65). Tabel 10. Indeks Kualitas Air sumur Wilayah Sekitar TPA Galuga Parameter DO E. Coli pH BOD5 NO3PO43Suhu IKA S1 2,72 15 1,92 0 9,5 10 7 IKA S2 3,23 2,25 3,6
0

IKA S3 1,19 1,8 8,4


0 9,9 5,5 7,2

IKA S4 2,89 6,15 3,84 0,6 9,8 10 7

9,9 10 6,9

Kekeruhan Padatan total Jumlah

5,92 5,92 57,98*

4,96 6,4 47,24**

2,56 4,48 41,03**

6 2,08 48,36**

Keterangan : IKA S1 S4 : IKA sumur jarak 5, 400, 600, dan 700 m dari TPA * : Nilai IKA sedang ** : Nilai IKA buruk

Tabel 11. Indeks Kualitas Air Sumur Rata-rata Wilayah Sekitar TPA Galuga Parameter DO E. Coli pH BOD5 NO3PO43Suhu Kekeruhan Padatan total Jumlah Satuan
mg/l

MPN/100 ml mg/l

IKA Rata-rata 2,51 6,3 4,44 0,15 9,78 8,88 7,02 4,86 4,72 48,65**

Keterangan : ** : Nilai IKA buruk

Berdasarkan kriteria mutu lingkungan perairan (NSF WQI; Suprihatin, 1992), seperti tercantum pada Tabel 11, Indeks Kualitas Air sumur rata-rata tergolong buruk (26 50). Buruknya IKA sumur wilayah Galuga menunjukkan kualitas air sumur rendah dan tidak layak dikonsumsi sebagai air minum. Hal ini terjadi karena peningkatan suhu udara, mengakibatkan turunnya kelembaban udara, diikuti penguapan air permukaan (evaporasi). Kondisi ini berakibat penurunan air tanah, termasuk air sumur di wilayah penelitian (Sundra, 1997). Fardiaz (1992) menambahkan, kenaikan suhu air akan menurunkan oksigen terlarut (DO), mengakibatkan BOD air meningkat. Rendahnya DO air juga berakibat kematian mikroorganisme, sehingga terjadi perubahan rasa dan bau (busuk) pada air sumur.

Buruknya kondisi kualitas air sumur sekitar wilayah TPA merupakan indikasi adanya pencemaran air tanah akibat rembesan air lindi yang masuk ke sumur bersama-sama air hujan. Kondisi ini didukung oleh konstruksi sumur yang sangat sederhana (tanpa pelapis beton) sehingga memudahkan peresapan lindi masuk ke sumur, menyebabkan kualitas air sumur buruk dan tidak layak sebagai air minum. Selain konstruksi sumur yang sangat sederhana, konstruksi saluran pembuangan lindi pun masih sangat sederhana (berupa parit/selokan tanpa lapisan beton) dan terbuka sehingga akan sangat mudah meresap ke lingkungan sekitar yang terlewati. Kondisi ini akan lebih parah jika terjadi musim hujan dimana debit air lindi menjadi besar sehingga bisa meluap keluar dari saluran pembuangan yang terbuka. Dari hasil penelitian didapat fakta yang menarik untuk kemudian diteliti lebih jauh. Indeks Kualitas Air sumur yang lebih dekat ke sumber pencemaran yaitu TPA ternyata lebih tinggi dibandingkan air sumur di wilayah sekitar TPA yang jaraknya lebih jauh. Hal ini berarti berdasarkan Indeks Kualitas Air, kualitas air sumur gali yang berjarak 5 m dari TPA lebih baik dibandingkan dengan air sumur yang terletak lebih jauh dari TPA. Dari pengamatan lapangan yang dilakukan terhadap lokasi penelitian memperlihatkan bahwa kondisi demikian dimungkinkan terjadi berdasarkan beberapa faktor. Pertama, adanya perbedaan yang sangat signifikan dilihat dari parameter mikrobiologis dimana pada lokasi 66 penelitian air sumur S1 tidak ditemukan adanya kandungan bakteri coliform tinja. Hal ini memberikan peran yang sangat besar terhadap meningkatnya nilai indeks kualitas air sumur karena tingginya nilai sub indeks untuk parameter mikrobiologis ini. Dari lokasi ini tidak ditemukan adanya kandungan bakteri coliform tinja yang merupakan salah satu indikator adanya pencemaran air karena lokasi ini memiliki derajat keasaman yang rendah sebagai air sumur yaitu 4,74. Pada kisaran pH demikian menyebabkan mikroorganisme (E. coli) tidak tumbuh karena kondisi air yang asam. Dari parameter pH, meski pada lokasi ini berada di luar ambang batas baku mutu air serta nilai pH-nya paling ekstrim di antara nilai pH air sumur lokasi pengamatan yang lain, namun dari faktor empiris nilai sub indeks untuk parameter pH tidak berperan sebesar parameter mikrobilogis dalam penentuan Indeks Kualitas Air. Faktor kedua adalah geografis, ketinggian lokasi pengamatan (S1) letak tanahnya lebih tinggi dari TPA serta kedalaman sumur yang dangkal yaitu sekitar 2 m. Kondisi ini menyebabkan lokasi ini tidak terkena resapan air lindi sebesar lokasi pengamatan yang lain meskipun jaraknya lebih dekat. Sumber mata air di lokasi ini juga berasal dari resapan air dari tebing-tebing di sekitarnya, bukan bersumber dari air tanah yang ada di bawahnya sehingga derajat kontaminasi sumber air oleh resapan air lindi tidak begitu besar. Adapun rendahnya derajat keasaman air (pH) di lokasi ini diduga lebih besar karena pengaruh geologis karena dari analisis karakteristik lindi, pH air lindi berada pada kisaran pH normal.

Faktor ketiga adalah konstruksi pembatas antara wilayah TPA dengan daerah sekitarnya, serta konstruksi sumur itu sendiri. TPA dibatasi oleh dinding berkonstruksi beton dan tembok semen di luarnya. Jadi ada dua dinding pembatas antara TPA dengan tanah di luarnya (Gambar 9). Sementara celah besar antara dua dinding pembatas tersebut adalah saluran pembuangan air lindi. Konstruksi ini sementara baru dibangun hanya sampai tempat pengolahan air lindi (sistem aerasi), sementara saluran pembuangan dari bak pengolahan sampai ke sungai masih menggunakan saluran terbuka. Konstruksi sumur sendiri juga cukup baik, karena dilapisi dinding semen pada sisi yang berbatasan dengan TPA sehingga hal ini dapat menghambat proses merembesnya air lindi ke sumur (Gambar 10).

Gambar 9. Konstruksi Dinding Pembatas Areal TPA dengan Wilayah Sekitarnya Kualitas air sumur penduduk di sekitar wilayah penelitian terutama yang dekat dengan saluran pembuangan air lindi juga dipengaruhi oleh konstruksi saluran pembuangan air lindi itu sendiri. Sementara ini saluran yang digunakan untuk membuang air lindi dari bak aerasi sampai ke sungai masih berupa saluran terbuka tanpa lapisan anti kedap sehingga kondisi ini akan memudahkan menyebarnya air lindi ke tanah-tanah sepanjang saluran, termasuk ke sumursumur yang ada di sekitarnya. Kondisi saluran pembuangan air lindi dapat dilihat pada Gambar 11.

Gambar 10. Konstruksi Sumur Gali Lokasi Pengamatan S1

Gambar 11. Kondisi Saluran Pembuangan Air Lindi Buruknya kualitas air sumur wilayah sekitar TPA (terutama di tiga lokasi pengamatan) juga sangat dipengaruhi oleh sifat dan perilaku masyarakat yang kurang peduli terhadap kebersihan lingkungan. Hal ini terlihat dari persepsi masyarakat yang menganggap bahwa bau, kotor karena timbunan sampah, serta kerubungan lalat bukan merupakan pencemaran dan mereka menganggap kondisi demikian adalah biasa. Selain itu banyak juga masyarakat yang bermata pencaharian sebagai pemulung, sehingga hal ini memacu terkumpulnya banyak sampah yang mereka ambil dari TPA. Sampah-sampah tersebut mereka kumpulkan dan mereka timbun di halaman atau belakang rumah masing-masing untuk kemudian mereka jual. Di halaman atau belakang rumah, sampah-sampah mereka pilah sesuai dengan jenisnya selama 2 3 minggu sampai akhirnya mereka jual kepada pengumpul (Gambar 12). Keadaan lingkungan akan lebih buruk ketika turun hujan, sehingga sampah-sampah ikut terbawa genangan air dan akan

mempercepat proses penguraiannya. Lindi yang dihasilkan bersama-sama dengan tinja manusia dan kotoran hewan, akan terangkut bersama-sama air hujan meresap ke sumur-sumur terdekat. Hal ini mengakibatkan buruknya mutu lingkungan perairan di wilayah penelitian.

Gambar 12. Timbunan Sampah di Halaman/Belakang Rumah Pengumpul

You might also like