You are on page 1of 3

Siapa Penikmat Dana Haram?

Proyek Hambalang Ladang Korupsi Berjamaah Desa Hambalang yang terletak di Kecamatan Citeureup, Kabupaten Bogor, Jawa Barat kini menjadi desa yang paling terkenal. Pasalnya di hamparan tanah seluas 32 hektare di desa itu dibangun mega proyek sport center yang dilakukan Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora) yang belakangan terbongkar bahwa proyek ini sarat korupsi pelaksanaannya. Meledaknya proyek Hambalang tak terlepas dari ocehan terpidana kasus suap Wisma Atlet Muhammad Nazaruddin yang menyebutkan, pembangunan proyek sport center Hambalang terjadi dugaan korupsi yang melibatkan banyak pihak. Nazaruddin menyebutkan total komisi proyek Rp100 miliar mengalir ke banyak pihak. Rp50 miliar mengalir ke Kongres Partai Demokrat di Bandung tahun 2010 untuk pemenangan Anas Urbaningrum sebagai Ketua Umum DPP Partai Demokrat, Rp20 miliar mengalir ke anggota parlemen di Senayan dan Rp5 miliar untuk Menpora Andi Mallarangeng. Namun anehnya, walaupun kicauan Nazaruddin gamblang adanya, pihak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sampai kini belum menetapkan seorang pun sebagai tersangka. Padahal, aliran dana dari perusahaan BUMN PT Adhi Karya sebagai penggarap pembangunan kompleks olahraga Hambalang telah disuarakan satu tahun lalu. KPK hanya baru menetapkan Mahfud Suroso Direktur Utama PT Dutasari Citralaras, salah satu sub kontraktor pembangunan sebagai pihak yang tercekal untuk ke luar negeri. Maka tak heran, publik bertanya-tanya akankah misteri skandal mega proyek dengan pagu anggaran Rp1,2 triliun ini akan terbongkar? Akankah para pihak yang menikmati uang haram dapat diseret ke jeruji besi? Semua pertanyaan itu seakan menggantung, karena KPK baru pada minggu kedua bulan Juni melakukan penguatan tim penyelidik kasus mega skandal Hambalang. Menurut pakar tindak pidana pencucian uang, Dr Yenti Garnasih SH MH, penyelidikan KPK dalam kasus dugaan korupsi Hambalang tidak strategis. KPK cenderung menyisir satu per satu dugaan pelanggaran korupsi. Padahal seharusnya bisa dari dua sisi sekaligus, dengan TPPU. Entah kenapa KPK tidak mau menggunakan UU Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU), padahal itu strategis. Apa enggak mampu atau enggak paham filosofinya? tanyanya. Jika KPK menemui kesulitan untuk menuntaskan kasus Hambalang, sebaiknya strategi penyelidikan diubah dengan menggunakan UU TPPU, selain UU Tindak Pidana Korupsi. Kalau hanya dengan UU Tindak Pidana Korupsi, pasti KPK akan beralasan kesulitan bukti. Kalau KPK juga menggunakan UU TPPU, aliran dana dari proyek Hambalang ke mana dan untuk apa pasti akan diketahui atau perbuatan tindak pidana dari hulu hingga hilir akan terungkap atau dimintai pertanggungjawabannya. Siapa yang menikmati uang korupsi Hambalang juga akan diketahui dan pasti ada banyak yang terlibat. Dengan demikian pencarian bukti lebih mudah, katanya. Dikatakannya, UU TPPU sangat berguna bagi KPK untuk mengusut kasus tersebut. Apalagi, tindak pidana korupsi itu diduga dilakukan pada 2010. Kejadian korupsinya sudah lama, seharusnya sudah terjadi pencucian uang. Dengan TPPU akan lebih mudah

menentukan apakah Anas atau pihak-pihak lain menerima uang dari Nazaruddin atau dari aliran Hambalang. Uang hasil korupsi sudah ke mana-mana, maka akan lebih mudah menggunakan TPPU supaya bisa dilakukan pembuktian terbalik, jelasnya. Jadi, apabila KPK kesulitan menjerat tersangka dengan menggunakan UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, lembaga pemberantas korupsi itu disarankan menggunakan UU TPPU. Sementara menurut pakar hukum pidana dari Universitas Hasanuddin Prof Dr Andi Hamzah SH MH, berdasarkan kajian hukum ada kemungkinan adanya skenario dalam penanganan kasus dugaan korupsi Hambalang. Hal itu, katanya, yang menyebabkan pengusutan KPK terhadap kasus tersebut berjalan lamban, sebab ada dua skenario yang saling berlawanan. Skenario pertama, kata Guru Besar Universitas Hasanuddin, pelaku yang dijerat hanya sampai pada Nazaruddin, Mindo Rosalina Manulang, dan Wafid Muharam, sedangkan skenario kedua adalah upaya Ketua KPK Abraham Samad untuk menjerat semua nama yang disebut Nazaruddin terlibat dalam kasus tersebut. Situasi tersebut mempengaruhi pengambilan keputusan pada tingkat pimpinan KPK. Pendapat tersebut, lanjut Andi, didasarkan pada situasi dalam persidangan Nazaruddin dalam perkara wisma atlet yang tidak ditindaklanjuti secara serius oleh KPK. Dalam kesaksiannya, Nazaruddin berulang kali menyebut keterlibatan Ketua Umum Partai Demokrat, Anas Urbaningrum dalam kasus dugaan suap pembangunan wisma atlet SEA Games maupun proyek Hambalang. Kesaksian tersebut dapat dijadikan petunjuk untuk mengusut kasus ini, tegasnya. Sayangnya, lanjutnya, sampai saat ini KPK belum mampu mengembangkan kasus tersebut hingga menjerat pihak-pihak yang diduga terlibat. Sebagai contoh, Andi menyebutkan bukti dari Nazaruddin berupa kuitansi aliran dana dari PT Adhi Karya kepada Anas Urbaningrum senilai US$ 7 juta dalam 16 kuitansi sebagai bentuk commitment fee perusahaan tersebut sebagai pemenang tender. Bahkan, kesaksian Ignatius Mulyono yang mengaku diminta Anas untuk membantu membuat sertifikat lahan Hambalang. Sudah jelas di dalam persidangan, kesaksiankesaksian Nazaruddin. Bahkan, Nazaruddin memiliki kuitansinya, jelasnya. Dengan demikian, kata Andi, penuntasan kasus Hambalang sangat bergantung pada soliditas pimpinan KPK untuk menuntaskannya. Masalahnya hanya pada pimpinan KPK, mau meneruskan kasus ini atau tidak, tegasnya. Seperti diberitakan, proyek Hambalang atau dikenal Pusat Pendidikan Pelatihan dan Sekolah Olahraga Nasional (P3SON) Hambalang sejak awal menuai kontroversi. Sebab proyek yang awal pendanaannya pada APBN 2012 hanya dianggarkan Rp125 miliar. Tapi di perjalanan, proyek ini menjadi multiyears yang pagu akhirnya Rp1,2 triliun. Bukan itu saja, jauh sebelumnya, sertifikat tanah seluas 32 hektare pada era Menpora Adhyaksa Dault, empat tahun upaya pensertifikatannya tidak terealisasi. Tapi berkat dugaan adanya campur tangan Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum dan politisi Demokrat di DPR Ignatius Mulyono pada tahun 2009 sertifikat ini berhasil didapat. Menanggapi persoalan ini, mantan Menpora Adhyaksa Dault kepada sebuah koran harian ibu kota terkemuka mengemukakan, ada kesan pemaksaan pembangunan proyek ini.

Sebab, tanah seluas 32 hektare untuk pusat olahraga yang kini dikenal dengan Proyek Hambalang, di Sentul, Kabupaten Bogor, sebenarnya tak layak untuk digunakan. Namun, lahan itu ternyata tetap dipaksa dibangun untuk dijadikan pusat olahraga, dengan sarana dan prasarana yang lengkap. Selain kondisi yang berbukit-bukit, jenis tanahnya keras seperti batu saat musim panas dan menjadi bubur jika musim hujan. Seperti sulap, tanah yang tidak layak untuk dibangun, salah satunya gedung berlantai delapan dan sertifikat tanahnya yang bermasalah, tiba-tiba gampang saja dibangun dan dikeluarkan sertifikatnya pada periode Menteri Pemuda dan Olahrga Andi Mallarangeng, ujarnya. Menurut Adhyaksa, inilah yang harus bisa diungkapkan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam kasus Hambalang. Adyaksa menambahkan, dengan kondisi tanah dan sertifikat yang belum diperoleh pada periodenya, pembangunan sekolah olahraga di lokasi tersebut akhirnya belum bisa dilakukan. Kementerian Keuangan memberikan tanda bintang di pos anggaran untuk pembangunan sekolah olahraga itu sehingga dana Rp125 miliar belum bisa digunakan, kata Adhyaksa. Pertanyaannya, lanjut Adhyaksa, ada apa di balik pembangunan proyek tersebut? Saya harap KPK bisa menelusurinya, papar Adhyaksa lagi. Di lain pihak, adanya tudingan keterlibatan dirinya dalam kasus Hambalang, Anas Urbaningrum membantah. Menurut Anas, dirinya tidak menerima duit dari proyek Hambalang. Kalau ada satu rupiah saja Anas korupsi Hambalang, gantung Anas di Monas, kata Anas beberapa waktu lalu. ***

You might also like