You are on page 1of 4

Judul Pengarang Penerbit Kota Terbit Tahun Terbit Tebal Halaman Tebal Halaman Nama Tokoh / Pelaku

: Ki Ageng Tembayat (Cerita Rakyat Jawa Tengah) :: Tiga Serangkai : Solo : 1982 : 1982 : 56 : 1.Ki Ageng Pandanarang / Ki Ageng Tembayat 2.Nyi Ageng 3.Kanjeng Sunan Kalijaga 4.Syeh Domba (Penyamun) 5.Bibi Penjual Serabi

Ki Ageng Tembayat (Cerita Rakyat Jawa Tengah)


Waktu itu kabupaten Semarang masih di bawah Kasultanan Demak. Yang menjadi Bupati bernama Ki Ageng Pandanarang. Beliau seorang Bupati yang sakti dan dikagumi rakyatnya. Sayang, Bupati ini hanya mementingkan dirinya sendiri dan menaikkan pajak rakyat untuk kemewahan dan kesenangannya. Beliau juga terkenal kikir dan tak tahu akan kemiskinan rakyatnya. Pada suatu pagi masuklah seorang penjual ilalang kehalaman kabupaten. Seorang tua berbadan tegap dan kekar dengan sopan menawarkan ilalang dagangannya kepada Ki Ageng. Karena Pak Tua menyerahkan berapapun harga yang akan dibayarnya, akhirnya Ki Ageng pun menyuruh membawa ilalang itu ke belakang. Selanjutnya Pak Tua disuruh membuat atap untuk kandang kuda dari ilalang itu. Setelah selesai, Pak Tua menghadap sang Bupati. Sang Bupati memberikan uang, namun Pak Tua tidak mau menerimanya sambil berkata, Gusti, hamba tidak butuh uang. Hamba minta ilalang hamba ditukar dengan bunyi bedug di Kabuapaten Semarang ini. Sang Bupati marah sebab uangnya tak diterima. Sambil berdiri sang Bupati menuding memaki-maki Pak Tua penjual ilalang itu. Tapi Pak Tua tetap tidak mau menerima uang itu, karena bukan uang yang ia butuhkan, baginya uang bukanlah apa-apa, jika mau sekali cangkul emas sebesar kepala kerbau akan diperolehkannya. Kau sombong ya, gila! bentak sang Bupati. Lalu menyuruh Pak Tua untuk membuktikannya, dengan meminjaminya cangkul. Cangkul telah dipegang oleh Pak Tua siap untuk diayunkan. Lantai kabupaten pecah. Sekali cangkul di tanah, tanah bongkah. Semua mata terpaku pada bongkahan tanah paculan. Wajah mereka pucat. Tubuh menggigil takut. Terlihat sinar kuning bercahaya dari dalam tanah bekas paculan. Emas! Ya emas sungguh!! Bongkahan emas sebesar kepala kerbau. Tepat seperti yang dikatakan Paj Tua yang masih memegang gagang cangkul. Sambil memeluk orang tua itu sang Bupati berkata tergagap-gagap. Maafkan tuan atas ke kelancanganku. Si siapakah sebenarnya tuan yang bijaksana lagi sakti ini? Dengan pelan tapi jelas Pak Tua menjawab bahwa orang biasa menyebut dirinya Sunan Kalijaga. Mendengar nama itu, sang Bupati semakin takut dan meminta maaf, sementara para abdi dengan serentak berlutut. Kanjeng Sunan menasehati dan mengingatkan Pandanarang jangan hanya mengejar harta saja, melainkan juga ingat akan kewajiban selaku umat Allah, dan kembali ke jalan yang benar. Dan Kanjeng Sunan tetap

minta bunyi bedug di Kabupaten Semarang. Setelah itu lenyaplah Kanjeng Sunan dari pandangan, hanya suaranya terdengar, Anakku Pandanarang susullah aku di gunung Jabalkat! Waktu telah menjelang ashar, Bupati Ki Ageng Pandanarang menyuruh para punggawa membunyikan bedug besar di masjid itu. Bedug dibunyikan bertalu-talu. Suaranya berkumandang diangkasa kota Semarang. Para penduduk berbondong-bondong menuju masjid, Bupati beserta keluarganya ikut juga bersama mereka sembahyang ashar di masjid besar. Malam bulan purnama kota Semarang ramai. Para penduduk memuji Bupati mereka yang telah sadar. Mereka hidup tentram lepas dari kemlaratan. Ki Ageng Pandanarang juga asyik berbicara dengan istrinya, dan mengutarakan maksudnya untuk menyusul Kanjeng Sunan Kalijaga ke gunung Jabalkat meninggalkan semua kekayaannya. Nyi Ageng pun ikut serta, meskipun dengan hati yang masih sayang pada hartanya. Dua orang setengah umur berjalan beriiringan, di depan laki-laki, dibelakangnya istrinya. Ki Angeng dan Nyi Ageng berjalan sambil membawa tongkat. Ki Ageng tahu mengapa istrinya jauh berjalan di belakang, karena dalam tongkat istrinya tersimpan emas, intan berlian. Ki Angen Pandanarang dan istrinya telah masuk hutan. Nyi Ageng masih jauh di belakang suaminya. Tiba-tiba terdengar suara, Berhenti! mendadak seorang lakilaki tinggi besar menghadang dan meminta untuk menyerahkan harta yang dibawanya. Namun Ki Ageng mengatakan kalau ingin kaya, orang yang berjalan dibelakangnya itulah yang membawa emas berlian dan itu adalah Nyi Ageng istrinya sendiri. Akhirnya penyamun menghadang Ki Ageng yang terus berlari sambil menyeret tongkatnya. Tiba-tiba terdengar suara pletok, nying tongkat pecah terinjak oleh penyamun dan terlihat sinar kemilau berceceran di tanah. Penyamun gembira memunguti emas, intan dan permata lainnya. Sambil menangis seperti anak kecil Nyi Ageng mengeluh, Kyai! Kyai! Celaka! Penyamun merebut tongkatku. Hi hi celaka! Hi hi aku kau tinggal di belakang. Ki Ageng menasehati istrinya, jika hatinya masih tetap pada harta dunia maka tak diperbolehkan meneruskan perjalanan bersamanya. Nyi Ageng sadar dan tetap ikut suaminya. Dua orang suami istri berjalan di tengah padang. Tiba-tiba dihentikan seorang penyamun yang telah merampas tongkat Nyi Ageng dan merampas tongkat yang di bawa. Ki Ageng sambil terbahak-bahak, Haha ha jangan menipuku bodoh. Tongkatmu ini pasti berisi emas! lalu Ki Ageng berkata marah, Hem.. manusia tamak. Sudah mendapat rejeki masih mengejar yang lebih besar. Kelakuanmu seperti domba yang kelaparan! sepatah kata bertuah terlepas dari seorang sakti. Hilanglah wujud manusia

penyamun menjadi manusia berkepala domba dan berlutut minta ampun lalu ikut bersama Ki Ageng. Akhirnya mereka bertiga sampai di rumah Kanjeng Sunan Kalijaga. Sejak saat itu mereka berguru dengan Kanjeng Sunan, dan Ki Ageng Pandanarang berganti nama menjadi Ki Ageng Tembayat. Suatu hari Ki Ageng Tembayat ingin berkunjung ke Semarang dengan menyamar sebagai rakyat biasa dan tinggal bersama bibi penjual serabi yang belum menjalankan shalat. Sejak Ki Ageng tinggal bersamanya serabi pasti laku habis. Pada suatu pagi saat membantu bibi penjual serabi, tiba-tiba api hampir padam sedangkan kayu bakar habis dan tidak mungkin ditinggal mencari kayu bakar akhirnya kedua tangannya dimasukkan ke dalam bara api sebagai pengganti kayu sehingga api tetap menyala. Malamnya mereka berbincang, si bibi mengutarakan rencananya untuk membeli tanah, namun Ki Ageng menasehati bibi untuk tidak mengejar harta tapi jalankan ibadah, shalat lima waktu dan amalkan ajaran Islam. Malam itu juga Ki Ageng pamit serta mengucapkan terimakasih pada bibi atas pertolongannya. Dan mengatakan bahwa dirinya adalah abdi Tuhan Ki Ageng Tembayat, belum sempat bibi menyakut Ki Ageng sudah hilang dari pandangan. Akhir kisah, Ki Ageng meninggalkan kota Semarang lalu menjelajahi beberapa tempat di tanah Jawa Tengah. Di dekat Pedan, Klaten terdapat bukit, namanya Jabalkat disitulah Ki Ageng Tembayat bermukim dan setelah wafat dimakamkan di puncak Jabalkat, hingga sekarang makamnya masih ada. Sedangkan Sunan Kalijaga setelah wafat dimakamkan di Kadilangu Demak. Dan Syekh Domba dengan anak cucunya menjadi penunggu makam Ki Ageng Tembayat sampai sekarang.

You might also like