You are on page 1of 25

BAB I PENDAHULUAN Sulfonamida merupakan golongan zat antibakteri yang banyak digunakan untuk penanganan infeksi saluran kemih.

Namun pada prinsipnya senyawa golongan ini dapat digunakan untuk mengobati berbagai jenis infeksi yang disebabkan oleh bakteri gram positif atau gram negatif (Tjay dan Rahardja, 2007). Selain itu, golongan sulfonamida juga dapat digunakan untuk mengatasi penyakit yang disebabkan oleh jamur dan protozoa. Golongan ini efektif untuk mengobati penyakit yang disebabkan oleh mikroorganisme seperti Actinomycetes sp., Bacillus anthracis, Brucella sp., Corinebacterium diphtheria, Calymmantobacterium granulomatis, Chlamydia trachomatis, Escherichia coli, Haemophylus influenza, Norcadia sp., Proteus mirabilis, Pseudomonas pseudomallei, Streptococcus pneumoniae, S. pyogenes, dan Vibrio cholera (Siswandono dan Soekardjo, 2008). Sulfonamida bersifat amfoter artinya dapat membentuk garam dengan asam ataupun basa. Daya larutnya sangat kecil dalam air, namun bentuk garamnya mudah larut dalam air walaupun sifatnya tidak stabil karena mudah terurai (Tjay dan Rahardja, 2007). Golongan sulfonamida ditemukan pertama kali oleh Domagk pada tahun 1935, yang menemukan bahwa zat berwarna merah prontosil rubrum, bersifat bakterisid secara in vivo tetapi inaktif secara in vitro. Ternyata zat ini dipecah dalam tubuh menjadi sulfanilamida yang juga aktif secara in vitro. Dari penemuan ini kemudian disintesis berbagai senyawa baru turunan sulfonamida untuk mengobati berbagai macam penyakit baik yang bersifat lokal maupun sistemik (Tjay dan Rahardja, 2007). Golongan sulfonamida memiliki rumus dasar yang sama yaitu H2N-C6H4-SO2NH-R dan R dapat berupa berbagai macam konstituen/gugus fungsi (Tjay dan Rahardja, 2007). Atas dasar inilah para designer obat membuat berbagai turunan sulfonamida dengan mengganti-ganti gugus R yang akan membentuk senyawa baru dengan sifat fisikokimia dan aktivitas yang berbeda. Kendala yang dialami para peneliti terdahulu dalam membuat senyawa baru adalah sintesis dan evaluasi efek biologis yang biasanya membutuhkan banyak waktu dan biaya. Namun saat ini telah dilakukan penerapan metode komputasi dalam merancang senyawa biologis aktif untuk penelitian maupun penemuan obat modern (Sabet et al., 2009).

Metode komputasi dapat mempercepat prosedur analisis hubungan suatu struktur senyawa dengan potensi, aktivitas, atau sifat fisikokimia senyawa tersebut. Hubungan antara struktur suatu senyawa dengan aktivitas biologisnya dapat dinyatakan secara matematis sehingga sering disebut Hubungan Kuantitatif Struktur-Aktivitas (HKSA) atau Quantitative Structure-Activity Relationships (QSAR) (Tahir dkk., 2005). Melalui analisis QSAR senyawa turunan sulfonamida dapat diprediksi hubungan aktivitas senyawa tersebut sebagai fungsi dari struktur senyawa berupa struktur hidrofobisitas, struktur sterik atau struktur elektronik sehingga dapat memberikan gambaran bioavailabilitas senyawa atau interaksi antara senyawa dan reseptor (Tahir dkk., 2005).

BAB II ISI 2.1 Sulfonamida Agen antimikroba sintetik merupakan antimikroba yang secara luas digunakan untuk mengobati infeksi. Hanya sedikit antibiotik yang diketahui mekanisme kerjanya sebagai agen pembunuh mikroba. Sulfonamida merupakan antimikroba secara bakteriostatik apabila digunakan dalam dosis sesuai (Foye et al., 1995). Sulfonamida aktif bekerja pada fasa multiplikasi bakteri, sehingga tidak efektif untuk bakteri yang membentuk spora (Siswandono dan Soekardjo, 2008). Banyak bakteri tidak dapat memanfaatkan asam folat dari lingkungannya, sehingga harus mensintesisnya terlebih dahulu secara de novo (Foye et al., 1995). Sulfonamida berupa kristal putih yang umumnya sukar larut dalam air, tetapi garam natriumnya mudah larut. Rumus dasarnya adalah H2N-C6H4-SO2NH-R dan R dapat berupa berbagai macam konstituen/gugus fungsi (Tjay dan Rahardja, 2007). Berbagai variasi radikal R pada gugus amida (-SO2NH-R) dan substitusi gugus amin (NH2) menyebabkan perubahan sifat fisik, kimia dan daya antibaktreri sulfonamida (Yulio, 2009). 2.2 Mekanisme Kerja Sulfonamida mempunyai struktur mirip dengan asam p-aminobenzoat (PABA), suatu asam yang diperlukan untuk biosintesis koenzim asam dihidropteroat dalam tubuh bakteri atau protozoa untuk kemudian menghasilkan asam folat. Asam folat dibutuhkan oleh banyak jenis bakteri untuk membangun asam inti DNA atau RNA. Asam ini dibentuk oleh bakteri dengan memanfaatkan PABA yang terdapat dalam tubuh manusia. Karena kemiripan struktur sulfonamida dengan PABA, bakteri keliru mengambil sulfonamida sebagai bahan untuk mensintesis asam folat sehingga DNA/RNA tidak terbentuk dan pertumbuhan bakteri berhenti (Tjay dan Rahardja, 2007). Manusia juga memerlukan asam folat sebagai faktor pertumbuhan yang penting. Turunan asam folat tersebut didapatkan dari luar atau makanan, berbeda dengan bakteri yang harus mensintesisnya terlebih dahulu. Hal ini menyebabkan sulfonamida tidak mempengaruhi metabolisme asam folat dalam tubuh manusia. Sulfonamida hanya aktif pada fase multiplikasi bakteri sehingga tidak efektif terhadap bakteri yang membentuk spora (Siswandono dan Soekardjo,

2008). Sistem enzim bakteri yang mampu mempengaruhi sintesis asam tetrahidrofolat ada tiga yaitu:
1. Dihidropteroat sintetase yaitu enzim yang mengkatalisis sintesis asam dihidropteroat, suatu

precursor asam dihidrofolat, melalui kondensasi asam p-aminobenzoat dengan turunan pteridin
2. Dihidrofolat sintetase, yaitu enzim yang mengkatalisis sintesis asam dihidrofolat, suatu

precursor asam tetrahidrofolat melalui interaksi asam dihidropteroat. 3. Dihidrofolat reduptase, yaitu enzim yang mengkatalisis reduksi asam dihidrofolat menjadi asam tetrahidrofolat. (Siswandono dan Soekardjo, 2008) Sulfonamid bekerja secara langsung sebagai antagonis, melalui mekanisme kompetitif terhadap jalur biosintesis asam dihidrofolat dan secara tidak langsung mempengaruhi penggabungan asam glutamat dengan asam dihidropteroat. Kemungkinan mekanisme kerja bakteriostatik sulfonamida yang lain adalah berhubungan langsung dengan reaksi enzimatik turunan pteridin, yaitu dengan membentuk produk seperti folat yang tidak aktif sehingga turunan pteridin tidak berfungsi sebagai precursor asam folat (Siswandono dan Soekardjo, 2008). 2.3 Hubungan Struktur dan Aktivitas
1. Gugus amino-primer aromatik sangat penting untuk aktivitas karena banyak modifikasi

pada gugus tersebut ternyata menghilangkan aktivitas antibakteri, contoh- metabolit N4 asetilasi tidak aktif sebagai antibakteri. Oleh karena itu gugus amino harus tidak tersubstitusi (R= H atau mengandung substituent yang mudah dihilangkan pada in vivo)
2. Bentuk yang aktif sebagai antibakteri adalah bentuk garam N1 terionisasi (N1

monosubstitusi, sedangkan N1 disubstitusi tidak aktif sebagai antibakteri). 3. Penggantian cincin benzene dengan system cincin yang lain dan pemasukkan substituent lain pada cincin benzene akan menurunkan atau menghilangkan aktivitas.
4. Penggantian gugus SO2NH2 dengan SO2-C6H4-(p)NH2 senyawa tetap aktif sebagai

antibakteri. Penggantian dengan CONH- C6H4-(p)NH2 atau CO6H4-(p)NH2 akan menurunkan aktivitas.
5. Dari studi hubungan nilai pKa, turunan sulfonamida dengan aktivitas antibakterinya secara

in vitro, Bell dan Roblin mendapatkan bahwa aktivitas antibakteri yang cukup tinggi

ditunjukkan oleh turunan sulfonamida yang mempunyai nilai pKa antara 6-7,4 dan terlihat bahwa aktivitas maksimal dicapai oleh senyawa yang mempunyai nilai pKa mendekati pH fisiologis.
6. Dalam studi hubungan kuantitatif struktur dan aktivitas turunan sulfonamida, Hansch dan

Fujita membuktikan bahwa ada hubungan yang bermakna antara aktivitas antibakteri turunan sulfonamida dengan sifat lipofil (Log P) dan elektronik ( dan pKa). Salah satu efek samping turunan sulfonamida adalah kerusakan ginjal yang disebabkan karena pembentukan kristal yang sukar larut di ginjal oleh metabolit sulfonamida dan asetil sulfonamida. Sulfonamida mempunyai nilai pKa 10,4 dan dalam urin mempunyai pH 6 terdapat dalam bentuk tak terionisasi. Bentuk ini sukar larut dalam air sehingga mudah membentuk kristal di ginjal. Untuk membuat sulfanilamide lebih mudah larut dalam urin sehingga memperkecil kemungkinan pembentukkan kristal asetil sulfonamida di ginjal dapat dilakukan hal-hal sebagai berikut :
1. Meningkatkan volume dan aliran urin, yaitu dengan minum air yang banyak pada awal

pemberian sulfonamida.
2. Meningkatkan pH urin sampai > 10,4 (basa) yaitu dengan pemberian natrium

bikarbonat, 1-4 gram. Pada pH basa sulfanilamide akan membentuk garam yang mudah larut air.
3. Membuat turunan sulfonamida yang mempunyai nilai pKa rendah, sehingga pada pH

urin terdapat dalam bentuk terionisasi yang mudah larut dalam air. Contoh : sulfametoksasol pKa 6,1 dan sulfisoksasol pKa 5. Berdasarkan penggunaan terapetik sulfonamida dibagi menjadi enam kelompok yaitu sulfonamida untuk infeksi sistemik, untuk infeksi usus, untuk infeksi mata, untuk infeksi saluran seni, untuk pengobatan luka bakar, dan lain-lain. (Siswandono dan Soekardjo, 2008)

2.4 Penggolongan Sulfonamida A. Sulfonamida untuk infeksi sistemik Berdasarkan masa kerjanya sulfonamida sistemik dibagi menjadi tiga kelompok yaitu: 1. Sulfonamida dengan masa kerja pendek (waktu paro lebih kecil dari 10 jam). Contoh: sulfaetidol, sulfamerazin, sulfametazin (sulfadimidin), sulfatiazol, sulfasomidin, dan sulfisoksazol.
2. Sulfonamida dengan masa kerja sedang (waktu paro 10-24 jam), contoh: sulfadiazin,

sulfametaoksazol dan sulfafenazol. 3. Sulfonamida dengan masa kerja panjang (waktu paro lebih besar dari 24 jam), contoh: sulfadoksin, sulfalen, sulfametoksipiridazin dan sulfametoksidiazin. (Siswandono dan Soekardjo, 2008) B. Sulfonamida untuk infeksi usus Obat golongan ini dirancang agar sedikit diabsorpsi dalam saluran cerna, yaitu dengan memasukkan gugus yang bersifat hidrofil kuat, seperti ptalil, suksinil atau guanil, membentuk turunan sulfonamida yang lebih polar. Di usus besar, senyawa dihidrolisis oleh bakteri usus, melepaskan secara perlahan-lahan sulfonamida induk aktif. Contoh: ptalilsulfatiazol, suksinilsulfatiazol, sulfaguanidin dan sulfasalazin. (Siswandono dan Soekardjo, 2008) C. Sulfonamida untuk infeksi mata Obat golongan ini digunakan secara setempat untuk pengobatan konjungtivitis, infeksi matasuperfisial lain, dan trakom (trachoma). Contoh: sulfasetamid natrium dan sulfisoksazol diolamin. (Siswandono dan Soekardjo, 2008)
D. Sulfonamida untuk infeksi saluran seni

Golongan ini digunakan untuk pengobatan infeksi saluran seni karena karena cepat diabsorpsi dalam saluran cerna sedang ekskresi melalui ginjal lambat sehingga kadar obat diginjal cukup tinggi.

Contoh: sulfasetamid, sulfadiazin, sulfaetidol, sulfameter, sulfametazin, sulfametoksazol, sulfasomidin dan sulfisoksazol. (Siswandono dan Soekardjo, 2008) E. Sulfonamida untuk pengobatan luka bakar Golongan ini pada umumnya digunakan pada luka bakar yang terinfeksi oleh Pseudomonas sp. atau Clostridium welchii. Contoh: mefenid asetat dan perak sulfadiazin.
1. Mafenid asetat (Sulfanilon), merupakan struktur homolog sulfonamida. Berbeda

dengan turunan sulfonamida lain, senyawa ini tidak menghambat asam paminobenzoat. Mafenid asetat digunakan secara setempat untuk pengobatan infeksi pada luka yang disebabkan oleh Clostridium welchii.
2. Ag sulfadiazin, garam perak sulfadiazin ini mudah larut dalam air, efektif secara

setempat terutama untuk Pseudomonas sp. (Siswandono dan Soekardjo, 2008) F. Sufonamida untuk penggunaan lain-lain 1. Untuk infeksi membran mukosa dan kulit, contoh : sulfabenzamid dan sulfasetamid Na. 2. Untuk pengobatan dermatitis herpetiformis, contoh : sulfapiridin. 3. Untuk infeksi telinga, contoh : sulfasuksinamid. 4. Untuk infeksi mulut, contoh : sulfatolamid. 5. Untuk infeksi jamur, contoh : sulfadiazin, sulfadimetoksin dan sulfametoksipiridazin.
6. Untuk pengobatan malaria yang disebabkan oleh Plasmadium falciparum yang sudah

kebal terhadap klorokuin, contoh : sulfadoksin dan sulfadiazin. (Siswandono dan Soekardjo, 2008)

G. Kombinasi sulfonamida

1. Kombinasi Campuran Sulfonamida Tujuan kombinasi campuran sulfonamida adalah untuk menurunkan terbentuknya kristal asetilsulfa di ginjal. Keuntungan lain kombinasi ini adalah dapat digunakan terhadap bakteri yang sudah kebal terhadap sediaan tunggal sulfonamida. Contoh : Trisulfapirimidin (Trisulfa), mengandung 500 mg kombinasi tiga turunan sulfonamida, yaitu : sulfadiazin 167 mg dan sulfametazin 167 mg. Dosis awal : 3 g, diikuti 0,5 g 4 dd, sampai infeksi terkendali. 2. Kombinasi Sulfonamida dengan Trimetoprim Kombinasi sulfonamida dengan trimetoprim menunjukkan aksi sinergis karena dapat menghambat biosintesis asam dihidrofolat melalui dua jalur. Sulfanamida dapat mempengaruhi penggabungan asam p-aminobenzoat dalam sintesis asam dihidropteroat, sedang trimetropim, yang merupakan bagian struktur analog asam dihidrofolat, menghambat reduksi asam dihidrofolat menjadi asam tetrahidrofolat, melalui interaksinya dengan enzim dihidrofolat reduktase. Afinitas trimetropim terhadap enzim dihidrofolat reduktase bakteri 50.000 kali lebih besar dibanding enzim pada manusia. Keuntungan lain penggunaan kombinasi ini adalah terjadinya kekebalan kuman tidak secepat seperti pada penggunaan bentuk tunggal dan cukup efektif terhadap bakteri yang sudah kebal terhadap sulfonamida lain. Kombinasi sulfonamida dengan trimetroprim digunakan secara luas terutama untuk infeksi pada saluran seni, saluran napas, saluran genital, infeksi kulit dan septikemi. (Siswandono dan Soekardjo, 2008) 2.6 Biosintesis Sulfonamida
A. Sulfonamida untuk Infeksi General

Sulfonamida digunakan untuk mengatasi infeksi streptococcal, meningococcal, gonococcal, staphylococcal, dan pneumococcal. Beberapa contohnya adalah sebagai berikut:
1. Sulfanilamida

Sulfanilamida dapat disintesis dengan beberapa cara berikut: Metode I:

Benzene dinitrasi sehingga menghasilkan nitrobenzena, kemudian direduksi sehingga menghasilkan anilin. Asam p-aminobenzen sulfonat diperoleh dengan mereaksikan anilin dengan asam sulfat yang diklorinasi dengan pentaklorit fosfor sehingga dihasilkan p-aminobenzen sulfonil klorida. Kemudian diaminasi dengan amonia dan diperoleh sulfanilamida. Metode II:

Gugus fungsi amino dari asam sulfanilat pertama-tama di asetilasi sehingga dihasilkan asam p-asetamido-benzen-sulfonat. Selanjutnya diklorinasi dengan asam klorosulfonat dan dihasilkan para-asetamido-benzen-sulfonil klorida. selanjutnya diaminasi menggunakan amonia sehingga dihasilkan analog sulfonamida. Analog ini selanjutnya dihidrolisis sehingga dihasilkan sulfanilamida. Metode III:

Acetanilida direaksikan dengan asam klorosulfonat sehingga dihasilkan pasetamido-benzen-sulfonil klorida. kemudian diaminasi dan dihidrolisis sehingga dihasilkan sufanilamida. Sufanilamid jarang digunakan kerena memiliki toksisitas yang tinggi, akan tetapi masih digunakan sebagai obat veterinary.

2. Sulfapiridin

Sintesis Sulfapiridin dapat dilakukan dengan metode berikut:

p-asetamido-benzen-sulfonil klorida (ASC) dikondensasi dengan 2-aminopiridin dengan piridin sebagai pelarut. Selanjutnya dihidrolisis sehingga dihasilkan produk sulfapiridin. Sulfapiridin biasanya digunakan untuk terapi dermatitis herpetiformis pasien intolerance terhadap dapsone.

3. Sulfatiazol

Sulfatiazol dibuat dengan mereaksikan p-asetamido-benzen-sulfonil klorida (ASC) dengan aminotiazol. Selanjutnya hasil yang diperoleh dikondensasi dengan menggunakan piridin dan dihidrolisis dengan sodium hidroksida. Sulfatiazol biasanya digunakan untuk mengatasi infeksi staphylococcal.

4. Sulfadiazin

Sintesis Sulfadiazin: Sintesis Sulfadiazin dapat dilakukan melalui beberapa tahapan berikut ini: Asam formil asetat dan guanidin direaksikan dan dikondensasi dengan asam sulfat. Dari hasil reaksi tersebut akan dihasilkan 4-hidroksi-2-aminopirimidin. Selanjutnya 4hidroksi-2-aminopirimidin diklorinasi dengan phosphorus oxychloride (POCl3) atau asam klorosulfonat (ClSO2OH). Produk hasil reaksi yang diperoleh selanjutnya direduksi dengan Zn dan amonium hidroksida sehingga terbentuk 2-amino-pirimidin. Adapun reaksi yang terjadi adalah sebagai berikut:

Tahap selanjutnya adalah kondensasi 2-aminoprimidin dengan ASC. Adapun reaksi yang terjadi adalah sebagai berikut:

Sulfadiazin merupakan antimikroba yang digunakan secara luas untuk terapi infeksi bakteri coccus. Antimikroba ini lebih dapat ditoleransi oleh tubuh dari pada sulfanilamida dan sulfatiazol.

5. Sulfamerazin

Sintesis sulfamerazin dapat dilakukan dengan kondensasi p-aminobenzen sulfonil klorida (ASC) dengan 2-amino-4-metil pirimidin. Produk yang terbentuk selanjutnya dihidrolisis alkali sehingga terbentuk hasil akhir sulfamerazin. Sulfamerazin digunakan secara luas untuk pengobatan konjungtiva. Adapun reaksi yang terjadi adalah sebagai berikut:

6. Sulfadimidin

Sintesis Sulfadimidin dilakukan dengan kondensasi 2-amino-4,6-dimetil pirimidin dengan p-aminobenzen sulfonil klorida. Produk yang terbentuk selanjutnya akan dihidrolisis menggunakan NaOH sehingga terbentuk Sulfadimidin. Adapun reaksi yang terjadi adalah sebagai berikut:

Sulfadimidin memiliki efektifitas yang lebih rendah dari pada sulfadiazin dalam mengatasi infeksi meningeal. Hal ini disebabkan karena sulfadimidin memeliki kemampuan penetrasi yang lebih rendah ke cairan cerebrospinal. Obat ini mudah diabsorpsi di saluran Gastro-Intestinal, sehingga kosentrasi obat dalam darah yang diinginkan akan tercapai dengan pemberian obat secara per oral.

7. Sulfalen

Sintesis sulfalen: Adapun mekanisme sintesis sulfalen adalah sebagai berikut:

Sulfalen dibentuk dengan kondensasi p-aminobenzen sulfonil klorida dengan 2amino-3-metoksi-pirazin dimana akan terjadi pelepasan molekul HCl. Sulfalen dapat digunakan untuk terapi bronchitis, malaria, serta infeksi saluran cerna.

8. Sulfametizol

Sulfametizol digunakan dalam coliform infection pada urinary tract. Sulfametiazol disintesis dengan kondensasi p-aminobenzen sulfonil klorida dengan 2-amino-5-metil1,3,4-tiadiazol. Adapun reaksi yang terjadi adalah sebagai berikut:

B. Sulfonamida untuk Infeksi Saluran Kemih

Golongan ini digunakan untuk pengobatan infeksi saluran kemih karena karena cepat diabsorpsi dalam saluran cerna sedang ekskresi melalui ginjal lambat sehingga kadar obat diginjal cukup tinggi (Siswandono dan Soekardjo, 2008). Beberapa sulfonamida telah digunakan dalam pencegahan dan perawatan infeksi saluran kemih dalam dekade terakhir. Kadang-kadang juga digunakan sebagai profilaksis sebelum atau setelah manipulasi saluran cerna. Adapun beberapa analog sulfonamida yang digunakan antara lain: 1. Sulfasetamida

Sintesis: Sintesis sulfasetamida dilakukan dengan hidrolisis dan dilakukan dengan hidrolisis atom N1, dan diasetilasi derivatif N4 sulfanilamida. Adapun reaksi yang terjadi adalah sebagai berikut:

2. Sulfafurazol atau Sulfisoksazol

Sintesis sulfafurazol dilakukan dengan kondensasi p-asetamidobenzen sulfonil klorida (ASC) dengan 5-amino-3,4-dimetil isoksazol, selanjutnya dihidrolisis pada suasana sedikit basa. Berikut ini adalah reaksi sintesis sulfafurazol:

Karakteristik dan aktivitas terapetik sulfafurazol memilki banyak kesamaan dengan sulfadiazin. Obat ini digunakan untuk treatment infeksi saluran kemih. Sulfafurazol juga dapat digunakan sebagai sediaan topikal untuk mengobati beberapa infeksi seperti vaginitis yang disebabkan oleh Hemophilus vaginalis. Obat ini memiliki penetrasi yang buruk ke dalam sel dan membran bilayer, akan tetapi pada infeksi spesifik genitourinary tract obat ini akan terpenetrasi kedalam jaringan dan selanjutnya akan di sekresi bersama dengan prostatic fluid.

Obat ini mengalami metabolisme dihati dengan asetilasi dan oksidasi. Menariknya, obat ini diekskresi sama baiknya dengan konjugatnya di ginjal sehingga konsentrasi menjadi tinggi di urin. Bentuk bebas maupun konjugat dari obat ini memiliki kelarutan yang baik dalam pH urin yang asam. 3. Sulfisoksazol Asetil

Sintesis: Sintesis senyawa ini dilakukan dengan merubah sulfisoksazol menjadi garamnya dengan cara mereaksikan dengan NaOH. Setelah itu dilakukan asetilasi pada N1 menggunakan asetat anhidrat atau asetil klorida. Berikut ini adalah reaksi yang terjadi:

Obat ini memiliki aktivitas dan pengunaan yang lebih sedikit dari pada parent drug yaitu Sulfisoksazol. Komponen asetil dari obat ini akan lepas pada intestinal tract dan akan diabsorbsi dalam bentuk prodrug-nya (Sulfisoksazol). 4. Sulfasitin

Sulfasitin merupakan short-acting sulfonamida seperti halnya sulfafurazol. Obat ini digunakan untuk pengobatan infeksi akut urinary tract. C. Sulfonamide untuk infeksi Intestinal Obat golongan ini dirancang agar sedikit diabsorpsi dalam saluran cerna, yaitu dengan memasukan gugus yang bersifat hidrofil kuat, seperti ptalil, suksinil atau guanil, membentuk turunan sulfonamida yang lebih polar. Di usus besar, senyawa dihidrolisis oleh bakteri usus, melepaskan secara perlahan-lahan sulfonamida induk aktif (Siswandono dan Soekardjo, 2008).. Kebanyakan dari analog sulfonamida insoluble, misalnya ptalilsulfatiazol dan suksinilsulfatiazol tidak dapat diabsorbsi dengan baik pada gastrointestinal tract. Sehingga akan terjadi pelepasan atau pengeluaran sulfonamida dengan kadar yang tinggi, yang diperoleh dari hidrolisisnya pada usus besar, yang digunakan dalam terapi infeksi intestinal. Adapun beberapa obat yang digunakan antara lain: 1. Sulfaguanidin

Sintesis: Sintesis sulfaguanidin diperoleh dengan kondensasi p-aminobenzen sulfonil klorida dengan guanidin dan produk yang terbentuk dihidrolisis dengan NaOH. Adapun reaksi yang terjadi adalah:

Senyawa ini digunakan secara luas untuk terapi infeksi intestinal lokal, khususnya bacillary dysentery.

2. Ptalilsulfatiazol

Ptalilsulfatiazol diperoleh dengan mereaksikan sulfatiazol dengan ptalat anhidrat pada jumlah molar yang ekuivalen. Adapun reaksinya adalah:

Obat ini digunakan sebagai agen bakteriostatik pada infeksi gastrointestinal tract. Obat ini dua kali lebih efektif untuk mengobati gangguan usus. Obat ini juga digunakan dalam pre-operative treatment pada pasien yang yang mengalami operasi intestinal tract. 3. Suksinilsulfatiazol

Adapun jalur sintesis dari senyawa ini adalah sebagai berikut:

4. Ptalilsulfasetamida

Ptalilsulfasetamida

diperoleh

dengan

mereaksikan

ptalat

anhidrat

dan

sulfasetamida. Pengunaan terapi obat ini sama dengan ptalilsulfatiazol. Adapun reaksi sintesis ptalilsulfasetamida adalah sebagai berikut:

5. Salazosulfapiridin

Sintesis Salazosulfapiridin dilakukan dalam beberapa tahap. Tahap pertama adalah diazotising N-1-2-piridil-sulfanilamida pada temperatur 0-10C sehingga dihasilkan diazonium, dan tahap kedua adalah coupling diazonium dengan asam salisilat. Adapun reaksinya adalah sebagai berikut:

Salazosulfapiridin memiliki efek supresif untuk mengatasi ulcerative colitis. Aksi terapetik obat ini berkaitan dengan efek immunosuppressive.
D. Sulfonamida untuk Infeksi Lokal

Terdapat beberapa jenis sulfonamida yang digunakan untuk infeksi lokal, antara lain Sulfanamida sodium dan Mafenamid 1. Sulfanamida sodium

Sintesis:

Sulfanamida sodium diperoleh dengan mereaksikan Sulfanamida dengan NaOH kemudiann dipanaskan. Obat ini digunakan untuk infeksi lokal misalnya infeksi mata. Obat ini juga dapat digunakan pada pengobatan konjunctivitis akut.

2. Mefenamid/ Benzensulfonamida

Sintesis: Sintesis Mefenamid dapat dilakukan dengan beberapa tahapan. Tahap pertama adalah N-Benzylacetamide diperoleh dengan cara asetilasi benzilamin dengan asam klorosulfonat pada suhu 15-20oC sehingga dihasilkan p-benzilasetamido sulfonil klorida. Selanjutnya diaminasi sehingga menghasilkan sulfonamida derivatif, yang akan dihidrolisis dengan NaOH dan hasil yang diperoleh dinetralisasi dengan asam asetat sehingga dihasilkan produk akhir Mefenamid. Adapun mekanisme reaksinya adalah sebagai berikut:

Obat ini digunakan untuk pengobatan infeksi terutama untuk infeksi Pseudomonas aeruginosae.

BAB III PENUTUP Dari pembahasan di atas maka dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut: 1. Sulfonamida bekerja sebagai antagonis kompetitif terhadap asam p-aminobenzoat (PABA), suatu asam yang diperlukan untuk biosintesis koenzim asam dihidropteroat dalam tubuh bakteri atau protozoa untuk kemudian menghasilkan asam folat. Karena kemiripan struktur sulfonamida dengan PABA, bakteri keliru mengambil sulfonamida sebagai bahan untuk mensintesis asam folat sehingga DNA/RNA tidak terbentuk dan pertumbuhan bakteri berhenti. 2. Golongan sulfonamida memiliki rumus dasar yang sama yaitu H2N-C6H4-SO2NH-R dan R dapat berupa berbagai macam konstituen/gugus fungsi. Melalui analisis Hubungan Kuantitatif Struktur-Aktivitas (HKSA) atau Quantitative Structure-Activity Relationships (QSAR) dapat diketahui bahwa perubahan gugus R akan mengubah hidrofobisitas, struktur sterik atau struktur elektronik dan menyebabkan perubahan aktivitas turunan sulfonamida. 3. Golongan sulfonamida untuk pengobatan infeksi general antara lain sulfanilamida, sulfapiridin, sulfatiazol, sulfadiazin, sulfamerazin, sulfadimidin, sulfalen, dan sulfametizol; untuk infeksi saluran kemih antara lain sulfasetamida, sulfafurazol, sulfisoksasol asetil, dan sulfasitin; untuk infeksi intestinal antara lain sulfaguanidin, ptalilsulfatiazol, suksinilsulfatiazol, ptalilsulfasetamida, dan salazosulfapiridin; untuk infeksi lokal antara lain sulfanamida sodium dan mefenamid.

You might also like