You are on page 1of 4

Nama : Adil Bin Ibrahim NIM Soal : 11/324925/KH/7259 :Kenapa pada kasus kucing Ciki dilakukan tindakan operatif,

tidak dipilih tidakan non opratif seperti pengobatan dengan obat antijamur? Jawab : Caudectomy atau docking, berarti suatu tindakan bedah yang yang dilakukan dengan tujuan untuk menghilangkan ekor hewan. Tindakan ini dapat dilakukan pada semua hewan, khususnya yang memiliki ekor, dapat dilakukan untuk berapa jenis kasus pada ekor antara lain ialah terapi kasus neoplasia, luka terbuka, ulcus coccygealis, paralisis ekor, dan sebagainya. Selain untuk menangani kasus penyakit, caudectomy dapat pula dilakukan untuk tujuan estetika. Beberapa pendapat menyatakan ketidak setujuanya terhadap tindakan caudectomy ini hanya dengan tujuan estetika apalagi bila akibat dari caudectomi ini dapat membahayakan hewan tersebut. Oleh sebab itu, dengan semakin berkembangnya kepedulian manusia terhadap kesehatan dan kesejahteraan hewan, terutama di negara maju, caudectomy yang hanya bertujuan demi estetika atau mengikuti trend saja sudah dilarang. Caudectomy kini lebih diarahkan untuk terapi penyakit sekaligus estetika. Dalam dunia kedokteran hewan, istilah caudectomy yaitu, pada docking tidak dilakukan penjahitan (hanya di tekan menggunakan kapas steril yang dibasahi dengan yodium tincture), sedangkan pada caudectomy perlu dilakukan penjahitan pada kulit (Anonim, 2011). Dermathopytes biasanya akan menginfeksi daerah kutan yaitu pada jaringan keratin di stratum korneum. Hal ini dikarenakan dermathopytes tidak mampu untuk penetrasi ke jaringan yang lebih dalam. Dermatophytes seperti Trichopyton sp akan menghasilkan enzim proteolitik (protease) sebagai keratolitik dan mendigesti keratin serta memamfaatkannya untuk sumber nutrisi yang diubah menjadi oligopeptides dan asam amino. Adanya eliminasi atau pengikisan pada lapisan kulit oleh pertumbuhan jamur menyebabkan munculnya respon imun maka timbul rasa gatal pada kucing dan muncul lesi . Pada pasien kucing Ciki, indikasi dilakukan caudectomy dikarena adanya infeksi kulit oleh jamur (dermatophytosis) yang bersifat kronis karena telah berjalan dalam waktu yang lama. Lesi (luka terbuka) yang ditambah dengan infeksi sekunder sehingga mengakibatkan adanya proses keradangan yang berlansung kronis (dermatophyte granulomas atau pseudomycetomas) (Gross et. al, 2005, Newman, 2003 dan Kahn et. al, 2005).

Apabila jaringan cedera misalnya karena terbakar, teriris atau karena infeksi kuman, maka pada jaringan ini akan terjadi rangkaian reaksi yang memusnahkan agen yang membahayakan jaringan atau yang mencegah agen menyebar lebih luas. Reaksi-reaksi ini kemudian juga menyebabkan jaringan yang cedera diperbaiki atau diganti dengan jaringan baru. Rangkaian reaksi ini disebut radang (Robbins dan Kumar, 1995)). Keradangan yang berlansung lama (kronis) akan mengakibatkan fisiologi sel tidak lagi normal dan penurunan sistem imun hewan.

Tabel. Faktor Penyebab Terjadinya Radang Kronis

(McGavin dan Zachary,2010)

Gambar 1. Kerusakan Jaringan dan Kemungkinan Proses Kesembuhan Yang Terjadi (McGavin dan Zachary,2010)

Pengobatan infeksi kulit oleh jamur (dermatophytosis) yang bersifat kronis harus diobatin secara rutin dan membutuhkan waktu yang cukup lama dan biaya yang tinggi, seperti: 1. Bercukur merupakan salah satu cara perawatan dari ringworm, walaupun tidak terlalu penting untuk hewan yang berbulu panjang dan memungkinkan akan memperburuk lesi dan mekanisme penyebaran spora jamur. Tetapi bercukur adalah fackor pencegah yang penting untuk mengindari infeksi ringworm karena kebanyakan menyerang hewan yang berbulu panjang. Bercukur juga penting untuk kucing yang setelah grooming bulunya menjadi basah tidak teratur. 2. Komponen pengobatan yang tidak kalah penting dan yang paling utama adalah terapi topikal. Terapi ini berfungsi untuk menghilangkan spora jamur dari lingkungan. Dari semua terapi topikal, kapur sulfur celup terhitung mahal tapi relatif cepat untuk digunakan pada kucing. Sampo miconazole yang dikombinasikan dengan chlorhexidine mungkin juga efektif, tapi harus dalam satu kombinasi. Pengobatan dapat dikatakan tepat bila hanya menggunakan terapi topikal. Obat antifngal topikal seperti miconazole dan clotrimazole dapat berfungsi untuk lesi yang kecil, sedangkan enilconazole atau limesulfur (4-8 oz/galon) dengan mencelupkan hewan dengan infeksi yang luas. Pemakaian tuggal clorhexidine tidak efektif untuk menghilangkan dermatophytosis ataupun mencegah kontaminasi lingkungan. Infeksi yang terjadi di cattery dianjurkan dalam waktu yang lama dan perlu dilakukan perubahan manajemen kandang. 3. Terapi Sistemik. Terapi sistemik dapat digunakan untuk pengobatan semua jenis dermatophytosis. Pilihan obat yang digunakan adalah griseofulvin (50 mg/kg PO q 24h) dicampur dengan makanan yang berminyak. Griseovulvin merupakan obat keras sehingga tidak dapat digunakan pada hewan yang hamil. Efek sampingnya yaitu depresi, ataxia dan anemia. Efek samping ini akan berhenti bila konsumsi obat tidak dilanjutkan. Obat alternative lain yaitu ketoconazol (5-10 mg/kg PO q 24h) atau dapat pula dipilih itraconazole(100 mg/kg PO q 24h). Pengobatan harus berlanjut paling tidak 4-6 minggu dan tidak boleh berhenti sampai jamur tidak tumbuh lagi, agar pertumbuhan jamur dapat terjadi lagi. 4. Terapi Lingkungan.Area rumah / lingkungan yang dilewati hewan harus di bersihkan dengan vacum cleaner sesering mungkin untuk menghilangkan rambut dan spora. Kandang dan permukaan yang kemungkinan terdapat debris harus dicuci setiap hari

dengan 1:10 larutan pemutih. Semprotan enilconazole dapat pula dipakai. (Moriello, 2004 dan Sajuthi, 2009) DAFTAR PUSTAKA

Anonim, 2011. Tail Docking. Vet-learn.com. Diakses 9 Mei 2012. Gross, T. L., Ihrke, P. J., Walder, E. M.,and Affolter. V. K., 2005. Skin Disease Of The Dog And Cat, Clinical And Histopathologic Diagnosis. Blackwell Science Publishing, Oxford. Pp413-415. Kahn, C. M., Line, S., 2005. The Merck Veterinary Manual. Merck And Co,USA. Pp705706. McGavin, M. D., Zachary, J. F. 2010. Pathologic Basis Of Veterinary Disease, 4th Edition. Mosby Elsevier. London. Pp153-190 Moriello, K. A., 2004. Treatment of Dermatophytosis In Dogs And Cats: Review Of Published Studies. Veterinary Dermatology, 15,Pp99-107. Newman, C. 2003. Feline Dermatophytosis. Veterinary Medicine, Pp845.

Robbins, S.L. & Kumar, V. 1995. Buku Ajar Patologi I (4th ed.) (Staf pengajar laboratorium patologi anatomik FK UI, penerjemah). Jakarta: EGC (Buku asli diterbitkan 1987). Sajuthi, C. K., 2009. Dermatophytosis Pada Kucing Sebagai Penyakit Zoonosis: Monitoring Dan Pencegahan Reinfeksi. Lokakarya Nasional Penyakit Zoonosis. Jakarta.

You might also like