You are on page 1of 45

BAB I PENDAHULUAN A.

Latar Belakang Konsep paradigma sehat di dalam pembangunan kesehatan adalah pembangunan kesehatan yang lebih memprioritaskan upaya promotif dan preventif dibandingkan kuratif dan rehabilitatif. Program imunisasi merupakan salah satu upaya preventif yang telah terbukti sangat efektif menurunkan angka kesakitan dan kematian serta kecacatan pada bayi dan balita. Saat ini, kegiatan imunisasi merupakan salah satu kegiatan prioritas Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, sebagai salah satu bentuk nyata komitmen pemerintah untuk mencapai Millenium Development Goals (MDGs). Tujuan utama kegiatan imunisasi adalah menurunkan angka kesakitan dan kematian akibat Penyakit yang Dapat Dicegah Dengan Imunisasi (PD3I). PD3I adalah penyakit-penyakit menular yang sangat potensial untuk menimbulkan wabah dan kematian terutama balita seperti Hepatitis B, TB (Tuberkulosis), DPT (Difteri, Pertusis, Tetanus), Polio, dan Campak. Menurut data terakhir WHO, kematian balita sebesar 1,4 juta jiwa per tahun akibat Penyakit yang Dapat Dicegah Dengan Imunisasi (PD3I), misalnya tetanus 198.000 (14%), dan campak 540.000 (38%). Penyakit tuberculosis, difteri, pertusis, tetanus, poliomyelitis, dan campak mengakibatkan kematian sekitar 4 juta anak terutama di Negara berkembang. Tanpa imunisasi sekitar 3 dari 100 anak akan meninggal dunia karena penyakit campak, dan 2 dari 100 anak akan meninggal dunia karena batuk reja serta 1 dari 100 anak akan meninggal karena penyakit tetanus. Dari setiap 200.000 anak, 1 anak akan menderita penyakit polio. Berdasarkan laporan WHO, 87 negara dari 193 anggotanya memiliki angka kejadian hepatitis B kronis yang tinggi ( 8 %). Pada 2006, 50 % dari 135 juta bayi baru lahir di dunia berisiko terinfeksi hepatitis B sehingga berpotensi menjadi hepatitis kronis B yang dapat berakibat kanker hati. Di Amerika Serikat, penyebaran virus polio liar berhenti sekitar 1979, sementara di Eropa virus tersebut sudah hilang sejak 1991.

Pada tahun 2000 di seluruh dunia dilaporkan 30.000 kasus Difteri dan 3.000 orang (10 %) diantaranya meninggal karena Difteri. Sedangkan untuk kasus pertusis diperkirakan 39 juta kasus terjadi dan 297.000 kasus berdampak pada kematian di dunia. Indonesia sendiri, UNICEF mencatat sekitar 30.000 - 40.000 anak di Indonesia setiap tahun meninggal karena serangan campak, ini berarti setiap dua puluh menit seorang anak Indonesia meninggal karena campak. Virus hepatitis B ditemukan pada 2,1 - 0,7 % ibu hamil. Penularan hepatitis B pada bayi baru lahir saat persalinan dari ibu pengidap penyakit hepatitis B berisiko tinggi (sampai dengan 90 %) selanjutnya bayi akan menjadi hepatitis B kronis dan dapat menderita kanker hati kelak. Vaksinasi polio dilakukan sejak 1980, sehingga sepanjang kurun waktu 1995 sampai 2005 tidak ditemukan kasus poliomyelitis. Namun, sejak Maret 2005, ditemukan penderita di Desa Girijaya, kecamatan Cidahu, kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, mengakibatkan 307 anak cacat seumur hidup. Dengan adanya vaksinasi polio rutin dan vaksin tambahan di seluruh Indonesia melalui Pekan Imunisasi Nasional, penyebaran virus dapat dihentikan sehingga sejak 2006 sampai sekarang tidak ditemukan lagi kasus polio baru. Angka kejadian TB masih tinggi, Indonesia menempati urutan ketiga setelah India dan Cina. Diperkirakan penderita tuberculosis tahun 2006 sekitar 234 orang per 100.000 penduduk. Sedangkan menurut WHO, 175.000 orang di Indonesia setiap tahun meninggal dunia karena tuberculosis dan terdapat 450.000 kasus baru setiap tahun. Menurut laporan di beberapa Rumah Sakit di Indonesia, kematian penderita Difteri berkisar 32,5 % - 37,14 %. Indikator keberhasilan pelaksanaan imunisasi diukur dengan pencapaian Universal Child Immunization (UCI) desa/kelurahan, yaitu minimal 80% bayi di desa/ kelurahan telah mendapatkan imunisasi dasar lengkap. Persentase pencapaian UCI di tingkat desa/kelurahan di Indonesia dari tahun 2004 sampai tahun 2008 cenderung mengalami fluktuasi. Pada tahun 2004 (69,43 %), 2005 (76,23 %), 2006 (73,26 %), 2007 (71,18 %), dan 2008 (74,02 %) (Depkes, 2008).

Kementerian

Kesehatan

menargetkan

pada

tahun

2014

seluruh

desa/kelurahan mencapai 100% UCI atau 90% dari seluruh bayi di desa/kelurahan tersebut memperoleh imunisasi dasar lengkap yang terdiri dari BCG, Hepatitis B, DPT-HB, Polio dan campak. Guna mecapai target 100% UCI desa/kelurahan pada tahun 2014 perlu dilakukan berbagai upaya percepatan melalui Gerakan Akselerasi Imunisasi Nasional untuk mencapai UCI (GAIN UCI) seperti yang telah ditetapkan dalam Keputusan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia Nomer : 482/MENKES/SK/IV/2010 tentang Gerakan Akselarasi Imunisasi Nasional Universal Child Immunization 20102014 (GAIN UCI 2010-2014). GAIN UCI merupakan upaya terpadu berbagai sektor terkait dari tingkat Pusat sampai Daerah untuk mengatasi hambatan serta memberikan dukungan untuk keberhasilan pencapaian UCI desa/kelurahan. Berdasarkan angka kematian balita akibat PD3I yang ada, maka masih sangat diperlukan upaya-upaya dari instasi kesehatan untuk meningkatkan program imunisasi demi terwujudnya eradikasi penyakit terkait PD3I, mengingat masih banyak desa yang merupakan kantong rentan terhadap penyakit khususnya kawasan terisolir. Keberhasilan pelaksanaan program imunisasi sangat membutuhkan dukungan dan partisipasi dari semua elemen masyarakat dan tak lepas dari peran petugas pelayanan kesehataan setempat. Penting bagi mahasiswa FK UNS sebagai calon tenaga medis untuk mempelajari dasar-dasar imunisasi di tempat pelayanan kesehatan sebagai bekal nantinya saat terjun di tengah-tengah masyarakat.

B. Tujuan 1. Tujuan umum

Tujuan dari serangkaian kegiatan field lab topik imunisasi yang telah dilakukan mahasiswa adalah agar mahasiswa mampu melakukan tindakan imunisasi 2. Tujuan khusus a. Mampu menjelaskan tentang dasar-dasar imunisasi dan imunisasi dasar di Indonesia. b. Mampu melakukan manajemen program dan prosedur imunisasi dasar bayi dan balita, anak sekolah, ibu hamil, dan calon pengantin wanita di Puskesmas mulai dari perencanaan, cold chain vaksin, pelaksanaan imunisasi . (termasuk penanganan Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi/KIPI), pelaporan, dan evaluasi keberhasilan program

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA A. Imunisasi Imunisasi atau pemberian vaksin telah lama digunakan untuk mencegah penyakit ( Humas Kliping UI, 2006). Menurut hikayat Raja Pontus, dia melindungi dirinya dari keracunan makanan dengan cara minum darah itik, dan penggunaan hati anjing gila untuk pengobatan rabies. Pembuatan vaksin sendiri baru dimulai tahun 1877 oleh Pasteur menggunakan kuman hidup yang dilemahkan yaitu untuk vaksinasi cowpox dan smallpox; pada tahun 1881 mulai dibuat vaksin anthrax dan tahun 1885 dimulai pembuatan vaksin rabies (Parish, 1965). Lain halnya di Indonesia, sejarah imunisasi dimulai pada tahun 1956 dengan imunisasi cacar; dengan selang waktu yang cukup jauh yaitu pada tahun 1973 mulai dilakukan imunisasi BCG untuk tuberkulosis, disusul imunisasi tetanus toxoid pada ibu hamil pada tahun 1974; imunisasi DPT (difteri, pertusis, tetanus) pada bayi mulai diadakan pada tahun 1976. Pada tahun 1977 WHO mulai menetapkan program imunisasi sebagai upaya global dengan EPI (Expanded Program on Immunization) dan pada tahun 1981 mulai dilakukan imunisasi polio, tahun 1982 imunisasi campak mulai diberikan, dan tahun 1997 imunisasi hepatitis mulai dilaksanakan (Subdit Imunisasi, 2004). Imunisasi pada dasarnya merupakan suatu upaya untuk menimbulkan/meningkatkan kekebalan seseorang secara aktif terhadap suatu penyakit, sehingga bila kelak ia terpapar dengan penyakit tersebut tidak akan sakit atau sakit ringan (Matondang & Siregar, 2005). Kekebalan seseorang terhadap penyakit infeksi terbentuk akibat respons tubuhnya terhadap mikroorganisme penyebab penyakit. Sistem kekbalan kita mengenal mikroorganisme seperti bakteri, virus, jamur dan parasit yang disebut antigen. Terdapat dua jalur pertahanan dalam tubuh manusia yaitu adalah imunitas lahiriah (imunitas non spesifik) dan imunitas yang didapat setelah lahir (imunitas spesifik). (Satgas Imunisasi PP IDAI, 2011)

Respons imun spesifik dibagi dua yaitu respons antibodi dan respons imun seluler. Respons antibodi disebut juga respons humoral yang bereaksi secara spesifik terhadap antigen yang bebas di sirkulasi dan jaringan, seperti kuman difteri, tetanus, pneumokok, H. influenzae dan kuman pertusis. Jika limfosit yang pertama kali dirangsang oleh mikroorganisme patogen yang masuk ke dalam sel tubuh, maka mikroorganisme akan dikenali oleh sel T yang akan memperbanyak diri dan menghancurkan mikroorganisme tersebut. Selain itu sebagai sel T akan berubah menjadi sel memori yang akan dengan cepat bertambah banyak jika organism yang sama datang lagi. (Satgas Imunisasi PP IDAI, 2011) Selain itu, tubuh juga membentuk sel B memori yang perannya sangat penting dalam pertahanan tubuh. Sel B memori akan bersirkulasi dalam darah dan kelenjar getah bening selama ini bertahun-tahun dan siap melawan antigen yang sama di kemudian hari. Respons imun seluler akan mengenal antigen yang berada di dalam sel dan menghancurkannya. (Satgas Imunisasi PP IDAI, 2011) B. Penyakit Yang Dapat Dicegah Dengan Imunisasi (PD3I) 1. Difteri Penyakit yang disebabkan bakteri Corynebacterium diphteriae dengan gejala panas lebih kurang 38oC disertai adanya pseudo membran (selaput tipis) putih keabu-abuan pada tenggorokan (laring, faring, tonsil) yang tak mudah lepas dan mudah berdarah. Dapat disertai nyeri menelan, leher membengkak seperti leher sapi (bull neck) dan sesak nafas disertai bunyi (stridor) dan pada pemeriksaan apusan tenggorok atau hidung terdapat kuman difteri. 2. Pertusis Penyakit yang disebabkan oleh bakteri Bardetella pertusis dengan gejala batuk beruntun dan pada akhir batuk menarik nafas panjang terdengar suara hup (whoop) yang khas, biasanya disertai muntah. Serangan batuk lebih sering pada malam hari. Akibat batuk yang berat dapat terjadi pedarahan

selaput lendir mata (conjunctiva) atau pembengkakan di sekitar mata (oedema periorbital). Lamanya batuk bisa mencapai 1-3 bulan dan penyakit ini sering disebut penyakit 100 hari. Pemeriksaan lab pada apusan lendir tenggorokan dapat ditemukan kuman pertusis (Bordetella pertussis). 3. Tetanus Penyakit disebabkan oleh Clostridium tetani dengan terdiri dari tetanus neonatorum dan tetanus. Tetanus neonatorum adalah bayi lahir hidup normal dan dapat menangis dan menetek selama 2 hari kemudian timbul gejala sulit menetek disertai kejang rangsang pada umur 3-28 hari. Tetanus dengan gejala riwayat luka, demam, kejang rangsang, risus sardonicus (muka setan), kadang-kadang disertai perut papan dan opistotonus (badan melengkung) pada umur di atas 1 bulan. 4. Tuberkulosis Penyakit yang disebabkan Mycobacterium tuberculosa menyebar melalui pernapasan lewat bersin atau batuk, gejala awal adalah lemah badan, penurunan berat badan, demam dan keluar keringat pada malam hari. Gejala selanjutnya adalah batuk terus menerus, nyeri dada dan dapat terjadi batuk darah. 5. Campak Penyakit yang disebabkan oleh virus measles, disebarkan melalui droplet bersin atau batuk dari penderita, gejala awal penyakit adalah demam, bercak kemerahan, batuk, pilek, conjunctivitis (mata merah), selanjutnya timbul ruam pada muka dan leher, kemudian menyebar ke tubuh, tangan serta kaki. 6. Poliomielitis Penyakit pada susunan saraf pusat yang disebabkan oleh satu dari tiga virus yang berhubungan, yaitu virus polio type 1, 2, atau 3. Secara klinis penyakit polio adalah anak di bawah umur 15 tahun yang menderita lumpuh layu akut (acute flaccid paralysis/AFP). Penyebaran penyakit adalah melalui kotoran manusia (tinja) yang terkontaminasi. Kelumpuhan dimulai dengan gejala demam, nyeri otot dan kelumpuhan terjadi pada minggu pertama

sakit. Kematian bisa terjadi jika otot-otot pernapasan terinfeksi dan tidak segera ditangani. 7. Hepatitis B Penyakit yang disebabkan oleh virus hepatitis B yang merusak hati. Penyebaran penyakit terutama melalui suntikan yang tidak aman, dari ibu ke bayi selama proses persalinan, melalui hubungan seksual. Infeksi pada anak biasanya tidak menimbulkan gejala. Gejala yang ada adalah lemah, gangguan perut dan gejala lain seperti flu, urine menjadi kuning, kotoran menjadi pucat. Warna kuning bisa terlihat pula mata ataupun kulit. Penyakit ini bisa menjadi kronis dan menimbulkan Cirrhosis hepatis, kanker hati dan menimbulkan kematian. 8. Meningitis Meningokokus Penyakit akut radang selaput otak yang disebabkan oleh bakteri Neisseria meningitidis. Meningitis penyebab kematian dan kesakitan diseluruh dunia, CFR melebihi 50%, tetapi dengan diagnosis dini, terapi modern dan suportif CFR menjadi 5 - 15%. Pencegahan dapat dilakukan dengan imunisasi dan kemoprofilkasis untuk orang-orang yang kontak dengan meningitis dan karier (muchlastriningsih, 2005). Pemerintah sejak tahun 1977 telah mengembangkan program imunisasi untuk menangani PD3I diatas sesuai jadwal dan vaksin yang khusus (Kemenkes, 2004). C. Indikasi, Kontraindikasi, dan Efek Samping 1. Hepatitis B Indikasi: Hepatitis B Kontraindikasi: anak yang sakit berat Efek samping: selama 10 tahun belum dilaporkan ada efek samping yang berarti 2. BCG Indikasi: tuberculosis Kontraindikasi: tidak ada larangan, kecuali pada anak yang berpenyakit TBC atau uji mantoux positif dan adanya penyait kulit menahun

Efek samping: jarang dijumpai, bisa terjadi pembengkakan kelenjar getah bening setempat yang terbatas dan biasanya sembuh sendiri walaupun lambat. 3. DPT Indikasi: Difteri, pertusis, tetanus Kotraindikasi: anak yang sakit parah, anak yang menderita penyakit kejang, demam kompleks, anak yang menderita batuk rejan, anak yang menderita penyakit gangguan kekebalan. Efek samping: gejala-gejala yang bersifat sementara seperti lemas, demam, kemerahan pada tempat suntikan. Kadang-kadang terdapat efek samping yang lebih berat seperti demam tinggi atau kejang, yang biasanya disebabkan unsur pertusisnya. 4. Poliomielitis Indikasi: poliomielitis Kontraindikasi: diare berat, sakit parah, gangguan kekebalan. Efek samping: hampir tidak ada, bila ada berupa kelumpuhan anggota gerak, seperti polio sebenarnya. 5. Campak Indikasi : Campak Kontraindikasi : sakit parah, penderita TBC tanpa pengobatan, kurang gizi dalam derajat berat, gangguan kekebalan, penyakit keganasan. Dihindari pula pemberian pada ibu hamil. Efek Samping : Sangat jarang, mungkin dapat terjadi kejang dan tidak berbahaya pada hari ke-10-12 setelah penyuntikan. Dapat terjadi radang otak 30 hari setelah penyuntikan tapi angka kejadiannya sangat rendah.

C. Jadwal Imunisasi dan Vaksinasi

Vaksin hepatitis B harus segera diberikan setelah lahir, karena vaksinasi HepB merupakan upaya pencegahan yang sangat efektif untuk memutuskan rantai penularan dari ibu kepada bayinya segera setelah lahir. Jadi imunisasi HepB-1 diberikan dalam waktu 12 jam setelah lahir, mengingat sedikitnya 3,9% ibu hamil mengidap hepatitis B aktif dengan resiko penularan kepada bayi sebesar 45%. Sumber: Satgas IDAI Imunisasi hepatitis B-2 diberikan setelah 1 bulan setelah imunisasi HepB-1 yaitu saat bayi berumur 1 bulan. Imunisasi HepB-3 diberikan pada umur 6 bulan. (Satgas Imunisasi PP IDAI, 2011) Vaksinasi BCG optimal diberikan pada umur 2 sampai 3 bulan. Bila vaksin BCG akan diberikan sesudah umur 3 bulan, perlu dilakukan uji tuberkulin. Bila uji tuberkulin pra-BCG tidak dimungkinkan, BCG dapat diberikan, namun harus diobservasi dalam 7 hari. Bila ada reaksi lokal cepat di tempat suntikan (accelerated local reaction), perlu dievaluasi lebih lanjut (diagnostik TB). Vaksinasi BCG ulangan tidak dianjurkan. Imunisasi DTP dasar diberikan 3 kali sejak umur 2 bulan ( DTP tidak boleh diberikan sebelum umur 6 minggu) dengan jarak 4-8 minggu. Dapat diberikan vaksin DTwP atau DTaP atau kombinasi dengan Hepatitis B atau Hib. DTP-1 diberikan pada umur 2 bulan, DTP-2 pada umur 4 bulan dan DTP-3 pada umur 6 bulan. Ulangan DTP selanjutnya diberikan satu tahun setelah DTP-3 yaitu

10

pada umur 18-24 bulan dan DTP-5 pada saat mausk sekolah dasar umur 5 tahun. Vaksin polio diberikan 5 kali sejak bayi lahir. Polio-0 diberikan saat bayi meninggalkan rumah sakit /rumah bersalin agar tidak mencemari bayi lain karena virus polio vaksin dapat dikeluarkan melalui tinja. Untuk imunisasi polio dasar (polio-2, 3, 4) diberikan pada umur 2,4, dan 6 bulan, interval antara dua imunisasi tidak kurang dari 4 minggu. Vaksinasi polio ulangan diberikan satu tahun sejak imunisasi polio-4 dan imunisasi selanjutnya dilakukan saat masuk sekolah (5-6 tahun). Vaksin campak disuntikkan pada umur 9 bulan. Dari hasil studi Badan Penelitian dan pengembangan dan Dirjen PPM&PL Kementrian Kesehatan di 4 provinsi, 18,6-32,6% anak sekolah mempunyai kadar campak di bawah batas perlindungan, sehingga dijumpai kasus campak pada anak usia sekolah. Karena itu selain vaksinasi umur 9 bulan, vaknisasi campak dapat diberikan pada kesempatan kedua pada mur 6-59 bulan dan SD kelas 1-6. Vaksin Hib (Haemophillus influenza tipe b) disuntikkan pada umur 2, 4 dan 6 bulan, dapat diberikan dalam bentuk kombinasi, yang bertujuan untuk mempersingkat jadwal vaksinasi, mengurangi jumlah suntikkan dan mengurangi kunjungan. Vaksin Hib perlu diulang pada umur 15 bulan. Vaksin pneumokokus dapat diberikan pada umur 2, 4, 6, 12-15 bulan. Pada umur 7-12 bulan, diberikan 2 kali dengan interval 2 bulan; pada umur > 1 tahun diberikan 1 kali, namun keduanya perlu dosis ulangan 1 kali pada umur > 12 bulan atau minimal 2 bulan setelah dosis terakhir. Pada anak umur di atas 2 tahun PCV diberikan cukup satu kali. Vaksin influenza berisi dua virus influenza subtipa A dan subtype B.Vaksin influenza untuk mencegah flu berat yang disebabkan oleh virus influenza. Vaksin influenza disuntikkan pada anak umur 6-23 bulan, setiap tahun. Untuk vaksinasi primer anak diberikan pada umur 6 bulan - <9 tahun.diberikan 2 kali dengan interval minimal 4 minggu.

11

Vaksin MMR dapat diberikan pada umur 12 bulan jika anak belum mendapat vaksinasi campak pada umur 9 bulan. Selanjutnya vaksinasi ulangan diberikan pada umur 5-7 tahun. Vaksin rotavirus monovalen diberikan 2 kali, vaksin rotavirus pentavalen diberikan 3 kali. Vaksin rotavirus monovalen dosis I diberikan umur 6-14 minggu, dosis ke-2 diberikan dengan interval minimal 4 minggu. Sebaiknya vaksin rotavirus monovalen selesai diberikan sebelum umur 16 minggu dan tidak melampaui umur 24 minggu. Vaksin rotavirus pentavalen : dosis ke-1 diberikan umur 6-12 minggu, interval dosis ke-2, dan ke-3 4-10 minggu, dosis ke-3 diberikan pada umur < 32 minggu (interval minimal 4 minggu). Vaksin varisela dapat diberikan setelah umur 12 bulan, terbaik pada umur sebelum masuk sekolah dasar. Bila diberikan pada umur > 12 tahun, perlu 2 dosis dengan interval minimal 4 minggu.

D. KIPI (Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi) dan Penanganannya Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI) atau adverse events following immunization adalah semua kejadian sakit dan kematian yang terjadi dalam masa 1 bulan setelah imunisasi. Pada keadaan tertentu lama pengamatan KIPI dapat mencapai masa 42 hari (arthritis kronik pasca vaksinasi rubella), atau bahkan 42 hari (infeksi virus campak vaccine-strain pada pasien imunodefisiensi pasca vaksinasi campak, dan polio paralitik serta infeksi virus polio vaccine-strain pada resipien non imunodefisiensi atau resipien imunodefisiensi pasca vaksinasi polio). Pada umumnya reaksi terhadap obat dan vaksin dapat merupakan reaksi simpang (adverse events), atau kejadian lain yang bukan terjadi akibat efek langsung vaksin. Reaksi simpang vaksin antara lain dapat berupa efek farmakologi, efek samping (side-effects), interaksi obat, intoleransi, reaksi idoisinkrasi, dan reaksi alergi yang umumnya secara klinis sulit dibedakan. Efek farmakologi, efek samping, serta reaksi idiosinkrasi umumnya terjadi

12

karena potensi vaksin sendiri, sedangkan reaksi alergi merupakan kepekaan seseorang terhadap unsur vaksin dengan latar belakang genetik. Reaksi alergi dapat terjadi terhadap protein telur (vaksin campak, gondong, influenza, dan demam kuning), antibiotik, bahan preservatif (neomisin, merkuri), atau unsur lain yang terkandung dalam vaksin. Menurut Departemen Kesehatan (2005), KIPI adalah semua kejadian sakit dan kematian yang terjadi dalam masa satu bulan setelah imunisasi, yang diduga ada hubungannya dengan pemberian imunisasi. Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), KIPI dibagi menjadi 3 (tiga)kategori, yaitu: 1. Related programme atau hal hal berkaitan dengan kegiatan imunisasi, misalnya timbul bengkak bahkan abses pada bekas suntikan vaksin. Biasanya karena jarum tidak steril. Contoh lain adalah kelenjar limfe misalnya di daerah ketiak, atau lipat paha membengkak dan terasa sedikit nyeri. Ini akibat aktivitas sistem kekebalan tubuh yang menerima vaksin tersebut. 2. Reaction related to properties of vaccine atau reaksi terhadap sifat sifat yang dimiliki oleh vaksin yang bersangkutan. Misalnya saja reaksi terhadap bahan campuran vaksin. Reaksi ini biasanya berupa pembengkakan, kemerahan, demam (misalnya terhadap vaksin campak, biasanya akan normal kembali dalam satu hari). 3. Coincidental atau koinsidensi. Koinsidensi adalah dua kejadian secara bersama tanpa adanya hubungan satu sama lain. Ketika anak menerima imunisasi, sebenarnya dia sudah dalam keadaan masa perjalanan penyakit yang sama atau penyakit lain (masa tunas) yang tidak ada hubungannya dengan vaksin yang bersangkutan. Misalnya saja, anak sedang dalam perjalanan mau sakit batuk pilek atau diare bahkan seringkali penyakit akut yang lebih serius disertai demam.

13

Kejadian yang bukan disebabkan efek langsung vaksin dapat terjadi karena kesalahan teknik pembuatan, pengadaan dan distribusi serta penyimpanan vaksin, kesalahan prosedur dan teknik pelaksanaan imunisasi, atau semata-mata kejadian yang timbul secara kebetulan. Sesuai telaah laporan KIPI oleh Vaccine Safety Committee, Institute of Medicine (IOM) USA menyatakan bahwa sebagian besar KIPI terjadi karena kebetulan saja. Kejadian yang memang akibat imunisasi tersering adalah akibat kesalahan prosedur dan teknik pelaksanaan (pragmatic errors). Tidak semua kejadian KIPI disebabkan oleh imunisasi karena sebagian besar ternyata tidak ada hubungannya dengan imunisasi. Oleh karena itu unutk menentukan KIPI diperlukan keterangan mengenai: 1. besar frekuensi kejadian KIPI pada pemberian vaksin tertentu 2. sifat kelainan tersebut lokal atau sistemik 3. derajat sakit resipien 4. apakah penyebab dapat dipastikan, diduga, atau tidak terbukti 5. apakah dapat disimpulkan bahwa KIPI berhubungan dengan vaksin, kesalahan produksi, atau kesalahan prosedur Ada 5 (lima) kelompok faktor etologi yang dapat menyebabkan KIPI menurut klasifikasi lapangan WHO Western Pacific (1999), yaitu: Kesalahan program/teknik pelaksanaan (programmic errors) Sebagian kasus KIPI berhubungan dengan masalah program dan teknik pelaksanaan imunisasi yang meliputi kesalahan program penyimpanan, pengelolaan, dan tata laksana pemberian vaksin. Kesalahan tersebut dapat terjadi pada berbagai tingkatan prosedur imunisasi, misalnya: 1. Dosis antigen (terlalu banyak) 2. Lokasi dan cara menyuntik

14

3. Sterilisasi semprit dan jarum suntik 4. Jarum bekas pakai 5. Tindakan aseptik dan antiseptik 6. Kontaminasi vaksin dan perlatan suntik 7. Penyimpanan vaksin 8. Pemakaian sisa vaksin 9. Jenis dan jumlah pelarut vaksin 10. Tidak memperhatikan petunjuk produsen 11. Kecurigaan terhadap kesalahan tata laksana perlu diperhatikan apabila terdapat kecenderungan kasus KIPI berulang pada petugas yang sama. Reaksi suntikan Semua gejala klinis yang terjadi akibat trauma tusuk jarum suntik baik langsung maupun tidak langsung harus dicatat sebagai reaksi KIPI. Reaksi suntikan langsung misalnya rasa sakit, bengkak dan kemerahan pada tempat suntikan, sedangkan reaksi suntikan tidak langsung misalnya rasa takut, pusing, mual, sampai sinkope. Induksi vaksin (reaksi vaksin) Gejala KIPI yang disebabkan induksi vaksin umumnya sudah dapat diprediksi terlebih dahulu karena merupakan reaksi simpang vaksin dan secara klinis biasanya ringan. Walaupun demikian dapat saja terjadi gejala klinis hebat seperti reaksi anafilaksis sistemik dengan resiko kematian. Reaksi simpang ini sudah teridentifikasi dengan baik dan tercantum dalam petunjuk pemakaian tertulis oleh produsen sebagai indikasi kontra, indikasi khusus, perhatian khusus, atauberbagai tindakan dan perhatian spesifik lainnya termasuk kemungkinan interaksi obat atau vaksin lain. Petunjuk ini harus diperhatikan dan ditanggapi dengan baik oleh pelaksana imunisasi. Faktor kebetulan (koinsiden)

15

Seperti telah disebutkan di atas maka kejadian yang timbul ini terjadi secara kebetulan saja setelah diimunisasi. Indicator faktor kebetulan ini ditandai dengan ditemukannya kejadian yang sama disaat bersamaan pada kelompok populasi setempat dengan karakterisitik serupa tetapi tidak mendapatkan imunisasi. Penyebab tidak diketahui Bila kejadian atau masalah yang dilaporkan belum dapat dikelompokkan kedalam salah satu penyebab maka untuk sementara dimasukkan kedalam kelompok ini sambil menunggu informasi lebih lanjut. Biasanya denagn kelengkapan informasi tersebut akan dapat ditentukan kelompok penyebab KIPI. Gejala Klinis KIPI Gejala klinis KIPI dapat timbul secara cepat maupun lambat dan dapat dibagi menjadi gejala lokal, sistemik, reaksi susunan saraf pusat, serta reaksi lainnya. Pada umumnya makin cepat KIPI terjadi makin cepat gejalanya. Reaksi KIPI Lokal Gejala KIPI Abses pada tempat suntikan Limfadenitis Reaksi lokal lain yang berat, misalnya selulitis, BCG-itis SSP Kelumpuhan akut Ensefalopati Ensefalitis Meningitis Kejang Lain-lain Reaksi alergi: urtikaria, dermatitis, edema

16

Reaksi anafilaksis Syok anafilaksis Artralgia Demam tinggi >38,5C Episode hipotensif-hiporesponsif Osteomielitis Menangis menjerit yang terus menerus (3jam) Sindrom syok septik Sumber: RT Chen, 1999 Mengingat tidak ada satupun jenis vaksin yang aman tanpa efek samping, maka apabila seorang anak telah mendapatkan imunisasi perlu diobsevasi beberapa saat, sehingga dipastikan tidak terjadi KIPI (reaksi cepat). Berapa lama observasi sebenarnya sulit ditentukan, tetapi pada umumnya setelah pemberian setiap jenis imunisasi harus dilakukan observasi selama 15 menit.untuk menghindarkan kerancuan maka gejala klinis yang dianggap sebagai KIPI dibatasi dalam jangka waktu tertentu timbulnya gejala klinis. Jenis Vaksin Toksoid Tetanus Gejala Klinis KIPI Syok anafilaksis Neuritis brakhial Komplikasi akut termasuk Saat KIPI 4 jam 2-18 hari tidak tercatat 4 jam 72 jam timbul

(DPT, DT, TT)

kecacatan dan kematian Pertusis whole cell (DPwT) Syok anafilaksis Ensefalopati

17

Komplikasi

akut

termasuk

tidak tercatat 4 jam 5-15 hari

kecacatan dan kematian Campak Syok anafilaksis Ensefalopati Komplikasi akut termasuk

tidak tercatat 7-30 hari 6 bulan tidak

kecacatan dan kematian Trombositopenia Klinis campak pada resipien imunokompromais Komplikasi akut termasuk

tercatat

kecacatan dan kematian Polio hidup (OPV) Polio paralisis Polio paralisis pada resipien imunokompromais Komplikasi akut termasuk 30 hari 6 bulan

kecacatan dan kematian Hepatitis B Syok anafilaksis Komplikasi akut termasuk kecacatan dan kematian BCG BCG-itis Sumber: RT Chen, 1999 Angka Kejadian KIPI KIPI yang paling serius terjadi pada anak adalah reaksi anafilaksis. Angka kejadian reaksi anafilaktoid diperkirakan 2 dalam 100.000 dosis DPT, tetapi yang benar-benar reaksi anafilaksis hanya 1-3 kasus diantara 1 juta dosis. Anak yang lebih besar dan orang dewasa lebih banyak mengalami sinkope, segera atau lambat. Episode hipotonik/hiporesponsif juga tidak jarang terjadi, secara umum dapat terjadi 4-24 jam setelah imunisasi. 4 jam tidak tercatat 4-6 minggu

18

Imunisasi Pada Kelompok Resiko Untuk mengurangi resiko timbulnya KIPI maka harus diperhatikan apakah resipien termasuk dalam kelompok resiko. Yang dimaksud dengan kelompok resiko adalah: Anak yang mendapat reaksi simpang pada imunisasi terdahulu Hal ini harus segera dilaporkan kepada Pokja KIPI setempat dan KN PP KIPI dengan mempergunakan formulir pelaporan yang telah tersedia untuk penanganan segera Bayi berat lahir rendah Pada dasarnya jadwal imunisasi bayi kurang bulan sama dengan bayi cukup bulan. Hal-hal yang perlu diperhatikan pada bayi kurang bulan adalah:

Titer imunitas pasif melalui transmisi maternal lebih rendah dar pada bayi cukup bulan

Apabila berat badan bayi sangat kecil (<1000 gram) imunisasi ditunda dan diberikan setelah bayi mencapai berat 2000 gram atau berumur 2 bulan

imunisasi hepatitis B diberikan pada umur 2 bulan atau lebih kecuali bila ibu mengandung HbsAg

Apabila bayi masih dirawat setelah umur 2 bulan, maka vaksin polio yang diberikan adalah suntikan IPV bila vaksin tersedia, sehingga tidak menyebabkan penyebaaran virus polio melaui tinja

Pasien imunokompromais Keadaan imunokompromais dapat terjadi sebagai akibat penyakit dasar atau sebagai akibat pengobatan imunosupresan (kemoterapi, kortikosteroid jangka panjang). Jenis vaksin hidup merupakan indikasi kontra untuk pasien imunokompromais dapat diberikan IVP bila vaksin tersedia. Imunisasi tetap diberikan pada pengobatan kortikosteroid dosis kecil dan pemberian dalam waktu pendek. Tetapi imunisasi harus ditunda pada anak

19

dengan pengobatan kortikosteroid sistemik dosis 2 mg/kg berat badan/hari atau prednison 20 mg/ kg berat badan/hari selama 14 hari. Imunisasi dapat diberikan setelah 1 bulan pengobatan kortikosteroid dihentikan atau 3 bulan setelah pemberian kemoterapi selesai. Pada resipien yang mendapatkan human immunoglobulin Imunisasi virus hidup diberikan setelah 3 bulan pengobatan utnuk menghindarkan hambatan pembentukan respons imun. Indikasi Kontra dan Perhatian Khusus Untuk Imunisasi Pada umumnya tidak terdapat indikasi kontra imunisasi untuk individu sehat kecuali untuk kelompok resiko. Pada setiap sediaan vaksin selalu terdapat petunjuk dari produsen yang mencantumkan indikasi kontra serta perhatian khusus terhadap vaksin. Petunjuk ini harus dibaca oleh setiap pelaksana vaksinasi. Komite Petugas Pelaksana KIPI WHO sangat serius menanggapi isu KIPI, maka para ahli di setiap regional yang dikoordinir oleh kantor pusat WHO selalu mengadakan pertemuan dan pembahasan tentang KIPI. Indonesia merupakan salah satu negara yang tergabung dalam South East Asia Regional Officer (SEARO), dimana SEARO terhadap masalah KIPI. Di Indonesia, ada komite khusus yang berkaitan dengan KIPI, yaitu Komnas PP KIPI. Komnas PP KIPI adalah Komite Nasional Pengkajian dan Penanggulangan Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi yang sifatnya independen dalam mana anggotanya terdiri dari para dokter senior yang memiliki keahlian dalam bidang kesehatan anak dan imunisasi, serta pakar dalam bidang mikrobiologi khususnya virology (ahli virus). Di samping itu, anggota lain meliputi para ahli di bidang vaksin atau vaksionologi, ahli bidang obat obatan dan khasiatnya atau farmakologi, ahli kesehatan masyarakat dan epidemologi, ahli hukum kedokteran dan forensik,

20

pakar hukum, anggota profesi IDAI (Ikatan Dokter Anak Indonesia), POGI (ahli kebidanan dan penyakit kandungan), PAPDI (ahli penyakit dalam), ISFI (Ikatan profesi bidang farmasi), Balitbangkes (Penelitian dan Pengembangan Depkes) serta Ditjen P2MPL (Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan). Tugas dari Komite Nasional Independen ini adalah melakukan analisis setiap informasi dan menelaah kasus kasus KIPI atau dugaan KIPI serta meninjau keseluruhan pola dari laporan, pelacakan dan membuat analisa hubungan sebab akibat KIPI pada kasus yang belum dan sudah disimpulkan oleh Komite daerah KIPI. Di Indonesia setiap ditemukan kasus dugaan KIPI harus dicatat. Untuk itu, ada formulir pemantauan KIPI. Para dokter ataupun bidan yang memberikan imunisasi harus memahami hal ini. Pengisian formulir adalah tugas petugas kesehatan. Tentu saja penanggulangan KIPI itu sendiri yang harus diutamakan. Formulir isian dikirim ke tingkat provinsi dan tingkat pusat untuk dievaluasi. Bila perlu akan dikirim sebuah tim untuk melakukan penyelidikan. Setiap provinsi memilikik Komite daerah (Komda) Petugas Pelaksana KIPI (Komda PP KIPI) yang dilengkapi dengan komite ahli. Sedangkan di tingkat pusat Komite Nasional Petugas Pelaksana KIPI (Komnas PP KIPI) diketuai oleh seorang professor spesialis anak dan dokter dokter ahli dalam bidangnya untuk menentukan apakah kejadian ikutan tersebut disebabkan oleh imunisasi, koinsidens atau karena hubungan dengan vaksin. (BUMN, 2010)

BAB III KEGIATAN YANG DILAKSANAKAN Kelompok A7 mendapat kesempatan untuk melakukan kegiatan field lab di Puskesmas Wonogiri I yang terletak di desa Wonoboyo, Kecamatan Wonogiri,

21

Kabupaten Wonogiri. Kegiatan field lab keterampilan imunisasi dilaksanakan dalam 3 kali pertemuan. 1.A. Pertemuan I Selasa , 10 April 2012 Kegiatan yang kami lakukan pada minggu pertama field lab di Puskesmas Wonogiri I adalah mendapat bimbingan dari dr. Pitut Kristiyanta Nugraha, MM selaku kepala Puskesmas Wonogiri I. Kami mendapat pengarahan tentang keterampilan imunisasi. Setelah dijelaskan tentang materi imunisasi, kami dijelaskan oleh Bapak Tari Hutomo, AMG selaku ketua Pokja Gizi tentang 7 pokja, asupan gizi yang baik diberikan pada bayi dan balita, dan penanganan-penanganan dalam masalah gizi pada bayi dan balita. Kami mendapat pengarahan dari Ibu Marmi tentang pengenalan alat imunisasi, vaksin-vaksin yang digunakan untuk imunisasi, cara penyimpanan vaksin yang benar, dan perhitungan sasaran dan target cakupan. Kami mendapat pengarahan dari instruktur lapangan Ibu Idayu K. E, SKM selaku ketua Pokja Promosi Kesehatan dan instruktur lapangan, beliau menjelaskan tentang kegiatan yang akan dilakukan pada pertemuan ke 2 dan ke 3, pembagian kelompok kecil, dan pengarahan tentang sistem pembuatan laporan field lab. Kelompok kami terdiri dari 11 mahasiswa yang dibagi menjadi 3 kelompok yang ditentukan dengan cara diundi namanya secara acak untuk pelaksanaan observasi pada pertemuan kedua. Berikut ialah rincian pembagian kelompok kecil: 1. 2. 3. Kelompok 1 Kelompok 2 Kelompok 3 : : Rifqi Hadyan, Fitri Febrianti Ramadhan, Egtheastraqita Chitivema, R.A. Sitha Anisa Riyan Angga Putra, Ery Radiyanti, Rachmania Budiati, Ida Bagus Ananta : Arga Scorpianus, Siti Nurhidayah, Dhia Ramadhani Tiap kelompok tersebut melakukan kegiatan observasi imunisasi terhadap 20 bayi . 1.B. Pertemuan II Selasa, 1 Mei 2012

22

Pertemuan kedua, setiap kelompok kecil melakukan pengamatan terhadap pelaksanaan imunisasi di Puskesmas Wonogiri 1. 1. Kelompok 1 Kelompok 1 beranggotakan Rifqi Hadyan, Fitri Febrianty, Egtheastraqita C, dan R.A. Sitha Anisa. Kami adalah kelompok pertama yang melakukan pengamatan proses imunisasi terhadap 20 bayi pertama. Setelah itu kami melakukan pengamatan terhadap pendataan dan penimbangan. Selanjutnya, kami mendokumentasi proses imunisasi dan keadaan di puskesmas. Dalam hal pelaksanaan kami menemukan beberapa hal yang tidak sesuai dengan dasar teori, seperti: Bayi bernama Armeta berumur 9 bulan dengan berat badan 8.4 kg diimunisasi campak dan Polio 4 secara bersamaan, seharusnya imunisasi campak diberikan pada umur 9 bulan sedangkan Polio 4 diberikan pada umur 4 bulan. Bayi bernama Arya berumur 9 bulan dengan berat badan 6.5 kg diimunisasi campak. Kondisi Arya pada saat imunisai sedang demam namun tetap diimunisasi. Bayi bernama Arfo tidak jadi diimunisasi DPT/HB 1 dan Polio 2 karena belum tepat 2 bulan sehingga disarankan untuk datang imunisasi pada tanggal 15 Mei 2012. Bayi bernama Mifta berumur 9 bulan dengan berat badan 7.9 kg diimunisasi campak dan Polio 4 secara bersamaan, seharusnya imunisasi campak diberikan pada umur 9 bulan sedangkan Polio 4 diberikan pada umur 4 bulan. 2. Kelompok 2 Kelompok 2 beranggotakan Riyan Angga Putra, Ery Radiyanti, Rachmania Budiati, Ida Bagus Ananta. Kami mengamati pendataan dan penimbangan bayi. Setelah itu kami mengamati proses imunisasi terhadap 20 bayi. Selanjutnya, kami mendokumentasi proses imunisasi dan keadaan di puskesmas. Dalam hal pelaksanaan kami menemukan beberapa hal yang tidak sesuai dengan dasar teori, seperti:

23

Bayi bernama Sofia berumur 3.5 bulan dengan berat badan 5.5 kg diimunisasi DPT/HB 2 dan Polio 2, seharusnya Sofia diberikan DPT/HB 2 dan Polio 3. Bayi bernama Satrio berumur 9 bulan dengan berat badan 9.8 kg diimunisasi campak dan Polio 4 secara bersamaan, seharusnya imunisasi campak diberikan pada umur 9 bulan sedangkan Polio 4 diberikan pada umur 4 bulan. Bayi bernama Fasha berumur 9 bulan dengan berat badan 7.1 kg diimunisasi campak dan Polio 4 secara bersamaan, seharusnya imunisasi campak diberikan pada umur 9 bulan sedangkan Polio 4 diberikan pada umur 4 bulan. 3. Kelompok 3 Kelompok 3 beranggotakan Arga Scorpianus, Siti Nurhidayah, Dhia Ramadhani. Kami medokumentasikan keadaan di puskesmas. Setelah kami melakukan pengamatan terhadap pendataan dan penimbangan bayi. Selanjutnya, kami melakukan pengamatan proses imunisasi. Dalam hal pelaksanaan kami menemukan beberapa hal yang tidak sesuai dengan dasar teori, seperti: Bayi bernama Vransiska berumur 1 bulan dengan berat badan 2.9 kg menurut indeks BB/U termasuk status gizi kurang, tetapi tetap diberikan imunisasi BCG dan Polio 1. Bayi bernama Fandi berumur 9.5 bulan dengan berat badan 7.1 kg diimunisasi Campak dan Polio 4 secara bersamaan, seharusnya imunisasi campak diberikan pada umur 9 bulan sedangkan Polio 4 diberikan pada umur 4 bulan. 1.C. Pertemuan III Selasa, 15 Mei 2012 Pertemuan ketiga direncanakan untuk kegiatan seminar (presentasi hasil) kegiatan field lab Keterampilan Imunisasi di ruang aula Puskesmas Wonogiri I. Seminar ini akan dihadiri oleh kepala Puskesmas (dr. Pitut Kristianta Nugraha, MM) dan tujuh Pokja yaitu Pokja Admin (Suseno, HS), Pokja Yanmen (dr. Indri S), Pokja Kesga (Aslihatut T, AM.Keb), Pokja Gizi

24

(Tari Hutomo, AMG), Pokja P2 (H. Marsudi, S.Kep), Pokja Kesling (Bambang H, Am.KL), Pokja Promkes (Idayu KE, SKM), Bendahara (Dwi Rahmanti, SKM) dan Dokter Poli KIA (Tri Rahayu Sutanti, dr.).

25

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Perencanaan Imunisasi di Puskesmas Wonogiri 1 1. Menghitung Jumlah Sasaran Jumlah sasaran ini diperoleh dari Data Sasaran Program Kesga, Perbaikan Gizi, dan Imunisasi Tahun 2012 UPT Puskesmas Wonogiri 1 Kecamatan Wonogiri Kabupaten Wonogiri Jawa Tengah. Jumlah sasaran bayi usia 0-11 bulan adalah 655 bayi.

2. Menentukan Target Cakupan Berikut adalah penentuan target cakupan menurut WHO BCG Campak DPT/HB 1 DPT/HB 2 DPT/HB 3 Polio 1 Polio 2 Polio 3 Polio 4 HB(0) (0-7hari) : 95% : 90% : 95% : 93% : 90% : 95% : 93% : 92% : 95% : 80%

26

3. Menghitung Indeks Pemakaian (IP) Vaksin Berikut adalah IP vaksin nasional BCG DPT Campak Polio DT TT HB(0) : 3,5 : 3,5 : 3,6 :6 :8 :6 :1

4. Menghitung Pemakaian atau Kebutuhan Vaksin Vaksin yang diperlukan (ampul/vial) = [Jumlah Sasaran X Target (%)] / IP Vaksin Vaksin BCG Vaksin DPT/HB 1 Vaksin DPT/HB 2 Vaksin DPT/HB 3 Campak Polio 1 Polio 2 = (655 X 95%) / 3,5 = (655 X 95%) / 3,5 = (655 X 93%) / 3,5 = (655 X 90%) / 3,5 = (655 X 90%) / 3,6 = (655 X 95%) / 6 = (655 X 93%) / 6 = 104 = 104 = 175 = 169 = 164 = 104 = 102

27

Polio 3 Polio 4 HB(0)

= (655 X 92%) / 6 = (655 X 90%) / 6 = (655 X 80%) / 1

= 101 = 99 = 524

5. Menghitung Kebutuhan Alat Suntik dan Safety Box 1) Alat Suntik 0.05 ml untuk imunisasi BCG Kebutuhan = Sasaran X Target Cakupan BCG = 655 X 95% = 622 2) Alat Suntik 0.5 ml untuk imunisasi DPT, Campak, Hepatitis B Kebutuhan Alat suntik = Sasaran X Target Cakupan (DPT/HB 1, DPT/HB 2, DPT/HB 3, Campak, Hepatitis B) DPT/HB 1 DPT/HB 2 DPT/HB 3 Campak Hepatitis B (0) = 655 X 95% = 622 = 655 X 93% = 609 = 655 X 90% = 590 = 655 X 90% = 590 = 655 X 80% = 524

3) Alat Suntik 5 ml (oplos) Kebutuhan alat suntik untuk oplos= Jumlah vaksin yang dibutuhkan = Jumlah Vaksin BCG + Campak = 178 + 163 = 341 4) Safety Box (SB)

28

SB 5 liter menampung 100 alat suntik. Sehingga Kebutuhan safety box 5 liter adalah jumlah total alat suntik BCG, DPT, HB, campak dan alat suntik untuk oplos dibagi 100. SB 5 liter = BCG + DPT/HB 1 + DPT/HB 2 + DPT/HB 3 + Campak + HB (0) + alat suntik oplos = (622 + 622 + 609 + 590 + 590 + 524 + 341) = 3898/100 = 38,98 39 buah Tabel: Daftar Identitas Bayi beserta Jadwal Imunisasinya Tanggal 1 Mei 2012 No Nama Bayi Nama Orang Alamat Tua Umur (bulan) Berat Jenis yang Diberikan 1 M. Wildan Aprilia Dwi Pokok 3 5.6 DPT/HB Polio 3 2 Rahmad W. Suyoto Bulusulur 4 7.6 DPT/HB Polio 4 3 Armeta D. Didik S. A. 4 Satria Ardi Jati Bedug Triyanto 2 5.5 Semin W 9 8.4 Polio Campak DPT/HB Polio 2 5 6 Fina Joevita Davit Suparjo Sumberejo Lemah Ireng 10 3,7 7 5.2 Campak DPT/HB Polio 3 7 8 Arya Nabila Jihan 9 Arfo Setyo Kurang 2 bulan 10 Narendra Joko P. Geneng 5.2 Marsikin Kusmanto Sumberejo Pokok 9 2,5 6.5 4.5 Campak DPT/HB Polio 2 DPT/HB 2 , Polio DPT/HB 1, 1, 2, 1, 4, 3, 2,

Badan Imunisasi

29

Polio 2 11 Alya Deyvi Panji Semin W 4.5 4.9 DPT/HB Polio 4 12 M. Saka Sumadi Jati Bedug 4 7.1 DPT/HB Polio 4 13 Nikita Ribut Geneng 2 4.5 DPT/HB Polio 2 14 Devi Supriyadi Bulusulur 4.13 5.6 DPT/HB Polio 4 15 Mifta Tuqi Tri H. Geneng 9 7.9 Polio Campak 16 Naumi Beni Pokok 2 4.5 DPT/HB Polio 2 17 18 Qiana Zea Fathin Putri 19 20 21 Zivara Kurniawan Suranto Siswanto Groglon Ringinharjo Cubluk 19 hari 9 3.5 4.2 7.8 5.5 BCG, Polio 1 Campak DPT/HB Polio 2 Sutarmo Bonaran 2.8 5.5 DPT/HB Polio 2 23 Ananda gagah 24 Abimanyu Jumadi Bulusari 2 4.5 Suroso Jati Bedug 5 6.8 DPT/HB Polio 4 DPT/HB Polio 2 25 Yanuar Santana Bulusari 4 6.4 DPT/HB Polio 3 2, 1, 3, 1, 2, Sangga Suranto Pokok Pokok 19 hari 21 hari 3 3 BCG, Polio 1 BCG, Polio 1 1, 4, 3, 1, 3, 3,

Sofia Putri Heri Utami

22

Anugrah

30

26

Qunarsih

Marsono

Geneng

2.5

4.8

DPT/HB Polio 2

1,

27

Azhaka

Tarmin

Malangsari

5.9

DPT/HB Polio 3

2,

28

Nia Aulia

Barono

Sukorejo

5.7

DPT/HB Polio 4

3,

29 30 31

Navis Kemala Defa

Sugeng P. Ratno Slamet

Norogo Lemah Ireng Lemah Ireng

23 hari 9 3

3.3 6.4 5.5

BCG, Polio 1 Campak DPT/HB Polio 3 2,

32 33

Khanza Hanif

Wahyu Wardoyo

Mloko Weta Geneng

9 2

8.6 5.7

Campak DPT/HB Polio 2 1,

34

Satrio

Sunarto

Jatirejo

9.2

9.8

Polio Campak

4,

35 36 37 38

Iqbal Zaki Nabil Iyustisia Hanif

Domo Sandi Tukini Purwanto

Bulusari Pokok Manjung W Brubuh

1 29 hari 23 hari 4

3.6 3.7 3.7 6.8

BCG, Polio 1 BCG, Polio 1 BCG, Polio 1 DPT/HB Polio 4 3,

39

Fasha

Edi Suyitno

Jati Bedug

7.1

Polio Campak

4,

40

Daril

Erik

Kedungringin

2.5

5.8

DPT/HB Polio 2

1,

41

Asifa

Eri Nurjianto

Lemah Ireng

4.5

5.5

DPT/HB Polio 4

3,

42 43

Vransisca Mahardika

Petrus Tri

Kedungsono Trines

1 1

2.9 4.5

BCG, Polio 1 BCG, Polio 1

31

Mahardiyanto 44 Eka Yuliana 45 Dwi Suyanto 46 Hasan Slamet Suradi Pokok 3 7.5 Sulardi Kedungsono 4 5.5 DPT/HB Polio 4 DPT/HB Polio 3 47 48 49 Fara Reihan Syarif G. Umarwanto Tri Setyo N Parta Wonosari Samin W. Wiro Warurejo 50 Nadalia Edi Wonosari 4 6.5 DPT/HB Polio 4 51 Valintina Alex Bewresan 2.5 5.5 DPT/HB Polio 2 52 Vlavio Darmoade Geneng 4 6.9 DPT/HB Polio 4 53 Febriana Endra Jati Bedug 3 4.3 DPT/HB Polio 2 54 Bagus Supadi Bulusari 4 6.3 DPT/HB Polio 4 55 56 57 Panca Alivia Bella Edqina 58 Adiyasta Suratno Jatirejo 3 5.5 Edi Agung Beni Kerjo Lor Kebonarum Bulusari 9 10.5 2 9 7 4.7 Campak Campak DPT/HB Polio 2 DPT/HB Polio 3 59 Fandy Nur Sihmiadi Pokok 9.5 7.1 Polio 4, 2, 1, 3, 1, 3, 1, 3, 11 20 hari 9.5 7.7 3.9 9.2 Campak BCG, Polio 1 Campak 2, 3, Sriyono Kedungsono 9.5 6.4 Campak

32

Campak 60 Anugrah Andri Wibowo 61 Anaya Joko Tiyono Bulusari 2 3.8 Sanggrahan 2.5 5.1 DPT/HB Polio 2 DPT/HB Polio 2 62 Safira Eka Hermawan 63 Alsa Dedi Kristianto 64 65 Salfa Aufa Jausa Agus Suratman Pengkol Pelem 29 5.5 2.2 7 Ngerca 2 4.6 Bulusulur 4 5 DPT/HB Polio 4 DPT/HB Polio 2 BCG, Polio 1 DPT/HB Polio 4 Sumber: Bagian Imunisasi Puskesmas Wonogiri 1, Wonogiri 3, 1, 3, 1, 1,

33

B. Pembahasan Sebagian besar bayi telah mendapatkan imunisasi sesuai jadwal dan sejalan dengan teori yang ada. Namun ada beberapa permasalahan pada beberapa bayi, diantaranya: 1. Nama bayi Nama orang tua Alamat Umur Berat Badan Jenis Imunisasi : Armeta D. A. : Didik S. : Semin W : 9 bulan : 8.4 kg : Polio 4, Campak

2. Nama bayi Nama orang tua Alamat Umur Berat Badan Jenis Imunisasi

: Arya : Marsikin : Sumberejo : 9 bulan : 6.5 kg : Campak

3. Nama bayi

: Arfo Setyo

34

Nama orang tua Alamat Umur Berat Badan Jenis Imunisasi

:::::-

4. Nama bayi Nama orang tua Alamat Umur Berat Badan Jenis Imunisasi

: Mifta : Tuqi Tri H. : Geneng : 9 bulan : 7.9 kg : Polio 4, Campak

5. Nama bayi Nama orang tua Alamat Umur Berat Badan Jenis Imunisasi

: Sofia Putri Utami : Heri : Cubluk : 3.5 bulan : 5.5 kg : DPT/HB2, Polio 2

6. Nama bayi

: Satrio

35

Nama orang tua Alamat Umur Berat Badan Jenis Imunisasi

: Sunarto : Jatirejo : 9.2 bulan : 9.8 kg : Polio 4, Campak

7. Nama bayi Nama orang tua Alamat Umur Berat Badan Jenis Imunisasi

: Fasha : Edi Suyitno : Jati Bedug : 9 bulan : 7.1 kg : Polio 4, Campak

8. Nama bayi Nama orang tua Alamat Umur Berat Badan Jenis Imunisasi

: Vransisca : Petrus : Kedungsono : 1 bulan : 2.9 kg : BCG, Polio 1

36

9. Nama bayi Nama orang tua Alamat Umur Berat Badan Jenis Imunisasi

: Fandy Nur : Sihmiadi : Pokok : 9.5 bulan : 7.1 kg : Polio 4, Campak

Seperti yang kita ketahui imunisasi mempunyai jadwalnya masing-masing. Tetapi ada beberapa permasalahan yang kita dapatkan pada beberapa bayi yang disebuttkan di atas. 1. Pergeseran jadwal imunisasi 1) Bayi bernama Fandy Nur, Fasha, Satrio, Mifta, Armeta mendapatkan imunisasi Polio 4 dan Campak secara bersamaan. Imunisasi Polio 4 seharusnya diberikan pada umur 4 bulan dan Campak diberikan tersendiri pada umur 9 bulan. 2) Bayi bernama Sofia Putri medapatkan imunisasi DPT/HB1 dan Polio 2 di umur yang lebih dari 2 bulan. Imunisasi DPT/HB1 dan Polio 2 seharusnya dapat diberikan pada umur 2 bulan sesuai dengan jadwal imunisasi.

37

Pergeseran jadwal imunisasi ini bisa terjadi karena beberapa alasan salah satunya ketidakdisiplinan orang tua dalam membawa anaknya ke puskesmas untuk mendapatkan imunisasi. Tetapi pada kenyataannya beberapa imunisasi masih dapat diberikan kepada bayi sampai umur 1112 bulan (BCG dapat diberian sampai umur 11 bulan dan polio, campak, DPT dapat diberikan sampai umur 12 bulan). Walaupun pemberiannya harus lengkap sesuai dengan imunisasi dasar yang diberikan termasuk dosis yang tepat. 2. Sakit Bayi bernama Arya berumur 9 bulan datang ke puskesmas untuk mendapatkan imunisasi campak tetapi karena demam maka dilakukan penundaan imunisasi sampai Arya benar-benar sehat. Sebenarnya demam atau panas bukan merupakan kontra indikasi dari pemberian imunisasi tetapi untuk menghindari tingkat keparahan dari kejadian pasca imunisasi seperti vaksin DPT yang mempunyai efek samping menimbulkan panas selain itu untuk menghindari prasangka buruk dari masyarakat kepada petugas puskesmas akan demam yang terjadi imunisasi tersebut. 3. Kurang umur Bayi bernama Arfo umur kurang dari 2 bulan datang ke puskesmas untuk mendapatkan imunisasi DPT/HB 1 dan polio 2, tetapi imunisasi ini tidak dapat diberikan karena kurang umur. Hal ini dapat terjadi karena ketidaktahuan orang tua akan jadwal imunisasi yang tepat. 4. Kurang gizi Bayi bernama Vransiska umur 1 bulan dengan berat badan 2.9 kg di berikan imunisasi BCG dan Polio 1. Sebenarnya bayi kurang gizi bukan merupakan kontra indikasi oleh karena itu Vransiska tetap diberikan imunisasi. Pihak puskesmas seharusnya memberikan edukasi kepada orang tua tentang bagaimana pemberian makanan seimbang dan bergizi kepada anak tersebut.

38

Timbangan yang digunakan dalam penimbangan berat badan bayi sebelum imunisasi kurang layak digunakan terutama pada kalibrasi timbangan sehingga hasil penimbangan merupakan hasil yang kurang akurat dan hal ini akan berdampak pada penentuan status gizi bayi yang bersangkutan. Sehingga diperlukan penyediaan timbangan yang layak pakai dan tidak mengacaukan hasil penimbangan dan penentuan status gizi bayi. Bayi yang ditimbang berat badannya sebaiknya menggunakan pakaian seminimal mungkin agar hasil penimbangan yang didapatkan benar-benar merupakan hasil yang akurat. Namun pada kenyataan di lapangan, banyak bayi memakai pakaian yang berlebihan termasuk topi dan sepatu. Hal ini akan dapat menjadi faktor perancu hasil penimbangan berat badan bayi dan penentuan status gizinya. Sehingga hendaknya petugas puskesmas memberikan pengertian kepada orang tua tentang perlunya penggunaan pakaian seminimal mungkin pada anaknya sebelum ditimbang. Air yang digunakan untuk sterilisasi pada daerah yang akan disuntik tidak dijaga suhunya mulai dari awal pelaksanaan imunisasi yaitu pukul 7.30 WIB hingga pelaksanaan imunisasi berakhir pukul 10.10 WIB. Air berfungsi untuk mengilangkan hampir 98% bakteri yang berada di sekitar lokasi injeksi. Tidak digunakannya alkohol untuk sterilisasi dikarenakan sifat alkohol yang bisa merusak vaksin. Selain itu, menurut hasil studi yang dipresentasikan oleh Dr. Matthew Oughton, salah seorang peneliti dari tim Dr. Libman pada kongres 47th Interscience on Antimicrobial Agents and Chemotherapy (ICCAC 2007), September 2007 di Chicago mengatakan bahwa pencucian dengan air menghilangkan lebih dari 98% bakteri, pencucian dengan larutan alkohol hampir tidak menghilangkan sedikitpun, dan protokol dengan handuk desinfektan menghilangkan sekitar 95% bakteri, Dr. Oughton menjelaskan bahwa mereka mengira alkohol dapat menghilangkan bakteri hidup tapi tidak sporanya. Dari hasil studi yang dilakukan, air hangat lebih efektif digunakan sebagai pembersih bakteri jika dibandingkan dengan air biasa.

39

Beberapa orang tua tidak membawa buku KIA (Kesehatan Ibu Anak) dengan berbagai alasan mulai dari lupa sampai dengan hilang, akibatnya terjadi hambatan dalam pemantauan jadwal imunisasi sehingga petugas puskesmas kesulitan menentukan jenis vaksin. Penentuan jenis vaksin yang akan diberikan hanya mengandalkan keterangan dan pernyataan dari ibu tentang vaksin apa saja yang sudah diberikan sebelumnya. Sebaiknya, dibutuhkan persetujuan dari ibu mengenai kesanggupan pemberian imunisasi dan kebenaran informasi yang disampaikan guna menghindarkan dari kejadian yang tidak diinginkan pasca imunisasi dan hendaknya petugas puskesmas selalu mengingatkan untuk selalu membawa buku KIA setiap kali imunisasi dan memberikan pengertian kepada orang tua tentang pentingnya informasi yang terdapat pada buku KIA tersebut dalam menunjang pelaksanaan imunisasi dan pemantauan status gizi anak. Penyuntikan BCG dilakukan dua kali pada tempat yang sama tanpa sterilisasi ulang disebabkan injeksi pertama terlepas karena bayi menangis dan banyak bergerak. Kejadian ini memungkinkan adanya infeksi kuman yang terikut dalam jarum. Sehingga, dianjurkan untuk melakukan imunisasi ulang dengan spuit dan vaksin yang baru, serta dilakukan sterilisasi ulang. Sesekali didapati cairan vaksin masih tertinggal dalam alat suntik. Ini berarti dosis vaksin yang diberikan kurang yang dapat mengakibatkan tidak optimalnya proses perangsangan pembentukan antibodi, sehingga akan menimbulkan imunitas yang kurang. Sebaiknya petugas imunisasi benar-benar cermat dalam pemberian dosis vaksin yang bersangkutan termasuk keluarnya vaksin akibat pembuangan gelembung vaksin dan hendaknya memasukkan vaksin dengan melebihkannya sedikit dari dosis yang ditetapkan agar dosis vaksin tersebut tepat diberikan. Vaksin beku kering (BCG dan campak) sebelum digunakan hendaknya dioplos atau dilarutkan terlebih dahulu. Terdapat beberapa prosedur pelarutan vaksin beku kering. Salah satu diantaranya adalah dengan melilitkan plastik pada leher ampul vaksin maupun pelarut yang akan dipatahkan lehernya untuk

40

mencegah kontaminasi dari masuknya udara secara mendadak ke dalam ampul waktu dipatahkan dan agar vaksin tidak berhamburan keluar. Namun pada kenyataan di lapangan, pematahan ampul dilakukan tanpa melilitkannya dengan plastik namun dengan menggunakan baju petugas imunisasi yang dapat menyebabkan timbulnya kontaminasi baik pada vaksin maupun pelarut. Sebaiknya petugas imunisasi mematuhi dan melaksanakan prosedur pematahan leher ampul agar imunisasi yang diberikan tersebut benar-benar optimal. Agar sterilisasi tetap terjaga, dapat ditunjang melalui penggunaan handscone oleh petugas imunisasi pada pemberian imunisasi. Selain itu juga diperlukan asisten tambahan guna membantu kelancaran pemberian imunisasi dan pemberian sosialisasi kepada orang tua tentang imunisasi yang bersangkutan dan efek samping yang mungkin timbul akibat imunisasi tersebut. Pencampuran antara pelarut dan vaksin beku kering tidak boleh dilakukan dengan mengocok namun dilakukan dengan menghisap vaksin dan pelarut pelan-pelan dan meyuntikan kembali ke dalam ampul atau vial beberapa kali sampai vaksin tercampur. Namun, pada kenyataannya pencampuran pelarut dan vaksin dilakukan dengan cara mengocok. Pengocokan dapat menyebabkan vaksin berbuih dan penuh dengan udara,walaupun buih atau gelembung udara tersebut dapat dihilangkan dengan pengeluaran melalui spuit tetapi hal tersebut dapat mengurangi dosis vaksin yang seharusnya diberikan.

41

BAB V PENUTUP A. Simpulan 1. Imunisasi atau pemberian vaksin telah lama digunakan untuk mencegah penyakit. Imunisasi pada dasarnya merupakan suatu upaya untuk menimbulkan/meningkatkan kekebalan seseorang secara aktif terhadap suatu penyakit, sehingga bila kelak ia terpapar dengan penyakit tersebut tidak akan sakit atau sakit ringan. 2. Penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi (PD3I) antara lain difteri, pertusis, tetanus, tuberkolusis, poliomielitis, hepatitis B, serta meningitis meningokokus. Pemerintah sejak tahun 1977 telah mengembangkan program imunisasi untuk menangani PD3I diatas sesuai jadwal dan vaksin yang khusus. 3. Pada pelaksanaan imunisasi di puskesmas wonogiri 1 ditemukan beberapa permasalahan dari pihak peneriama pelayanan imunisasi seperti pergeseran jadwal imunisasi karena ketidakdisiplinan beberapa orang tua, bayi yang sakit, kurang umur serta kurang gizi. Selain itu, masih ditemukan kurangnya kesadaran orang tua akan pentingnya KIA yang dibuktikan dengan adanya beberapa orang tua yang tidak membawa ataupun kehilangan KIA. 4. Selain permasalahan di atas, terdapat juga permasalahan dari segi prosedural pelaksanaan imunisasi seperti penggunaan alat yang kurang layak, dibutkurangnya sterilitas pelaksanaan imunisasi serta kurangnya tenaga pelayanan imunisasi. 5. Secara umum pelaksanaan imunisasi di puskesmas wonogiri 1 sudah berjalan baik, tingkat kesadaran masyarakat akan imunisasi pun tinggi.

42

B. Saran 1. Perlunya sosialisasi kepada masyarakat akan pentingnya kedisiplinan dalam imunisasi,serta menjaga inventaris imunisasi seperti KIA sebagai bukti dari pelaksanaan imunisasi. 2. Dibutuhkannya pengetahuan tentang prosedur pelaksanaan imunisasi agar orang tua dapat ikut mendukung petugas dalam melakukan imunisasi sehingga imunisasi dapat dilaksanakan dengan optimal. 3. Perlunya peningkatan kualitas alat yang digunakan dalam pelayanan imunisasi agar hasil yang diperoleh akurat dan optimal. 4. Sebaiknya petugas puskesmas selalu diberikan pelatihan secara rutin guna terus meningkatkan kinerja dan pelayanan puskesmas dalam melaksanakan prosedur pelaksanaan imunisasi yang benar. 5. Perlunya tambahan petugas imunisasi untuk membantu pelaksanaan imunisasi serta memberikan sosialisasi kepada orang tua yang bayinya telah mendapat imunisasi mengenai imunisasi itu sendiri serta KIPI untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan.

DAFTAR PUSTAKA

43

Anonim. 2008. Melawan Kuman dengan Sabun dan Air Hangat. Available from: http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/160_19Melawankuman.pdf/160 _19Melawankuman.pdf Anonim. Mitos Cuci Tangan Air Hangat. Available from:

http://www.femaleradio.com/index.php? view=article&catid=49%3Ahealth&id=461%3Amitos-cuci-tanganairhangat&optio n=com_content Anonim. Vaksin dan vaksinasi. Available from: http://directory.umm.ac.id/Data%20 Elmu/pdf/minggu_3_Vaksin_dan_Vaksinasi.pdf Anonim. Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi. Available from:

http://www.bumn.go.id/biofarma/galeri/kejadian-ikutan-pascaimunisasi-kipi/. Diakses pada 16 Maret 2012. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2004. Pedoman Penyelenggaraan Imunisasi. Available from: http://dinkesman sulsel.go.id/new/images/pdf/Peraturan/kmk%20pedo %20penyelenggaraan%20imunisasi%201059-2004.pdf Departemen Kesehatan RI. 2009. Profil Kesehatan Indonesia 2008.

http://www.depkes.go.id/downloads/publikasi/Profil%20Kesehatan %20Indonesia%202008.pdf. Diakses 3 Mei 2012. Depkes RI. 2010. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor : 482/MENKES/SK/IV/2010 tentang Gerakan Akselarasi Imunisasi Nasional Universal Child Immunization 2010 - 2014 (GAIN UCI 2010 - 2014). Jakarta : Depkes RI http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/21582/4/Chapter%20II.pdf http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/28056/4/Chapter%20II.pdf http://idai.or.id/upload/jadwal_imunisasi_2011.pdf

44

Humas Kliping UI. 2006.Imunisasi Tambahan, Penting tetapi belum Diwajibkan. Jakarta: UI Matondang CS, Siregar SP. 2005. Profil kesehatan Indonesia 2003. Jakarta; Departemen Kesehatan RI. Muchlastriningsih, Enny. 2005. Penyakit-penyakit Menular yang Dapat Dicegah dengan Imunisasi di Indonesia. Jakarta: CDK. Parish HJ. A. 1965. History of Immunization. Edinburg, London: E&S Livingstone Ltd. Satgas Imunisasi PP IDAI. 2011. Panduan Imunisasi Anak. Jakarta: Balai Penerbitan Ikatan Dokter Anak Indonesia. Subdit Imunisasi, 2004. Program Imunisasi di Indonesia. Jakarta : Dit. Epim -Kesma. Dit Jen PPM-PL

45

You might also like