You are on page 1of 22

Film Gie 1. Resensi film Gie GIe adalah sebuah film hasil karya sutradara Riri Riza.

Film ini menceritakan seorang tokoh bernama Soe Hok Gie yang merupakan mahasiswa Universitas Indonesia yang terkenal sebagai demonstran dan pecinta alam. Film ini diadaptasi dari buku Catatan Seorang Demonstran karya Gie dengan menambahkan beberapa tokoh fiktif agar cerita yang terbentuk terkesan dramatis. Soe Hok Gie besar dilingkungan keluarga Tionghoa yang tinggal di Jakarta. Hok Gie tertarik terhadap konsep idealis dari intelek-intelek kelas dunia mulai saat dia remaja. Nasionalisme yang melekat membentuknya menjadi pribadi yang tidak toleran terhadap ketidakadilan dan mengimpikan Indonesia menjadi Negara yang didasari keadilan dan kebenaran yang murni. Saat itu masa remaja dan perkuliahan Hok Gie dijalani dibawah rezim orde lama Bung Karno yang ditandai dengan konflik antara militer dengan PKI. Gie sangat membenci ide-ide dan pemerintahan Soekarno yang diktator dan menyebabkan hak rakyat miskin semakin terinjak-injak. Namun bukan berarti Gie disini tidak menghormati sosok Soekarno. Gie tahu betul tentang banyaknya ketidakadilan sosial, penyalahgunaan kedaulatan dan korupsi dibawah pimpinan Soekarno. Karena itu, Gie dengan tegasnya menulis kritikan-kritikan pedas di media sehingga didalam situasi ini banyak simpati yang didapatnya. Provokasi ini juga mendatangkannya banyak musuh yang siap mengambil setiap kesempatan untuk mengintimidasinya. Intinya, film ini menggambarkan petulangan Soe Hok Gie mencapai mencapai tujuannya untuk menggulingkan rezim Sukarno, dan perubahan-perubahan dalam hidupnya setelah tujuan ini tercapai. 2. Biodata Gie

Nama : Soe Hok Gie Tempat, tanggal lahir : Jakarta, 17 Desember 1942 Nama orang tua : Soe Lie Pit seorang novelis dengan Nio Hoe An Pendidikan : SMP Strada (daerah Gambir), SMA Kanisius Jakarta, S1 Fakultas Sastra Universitas Indonesia (1962-1969) Pengalaman Organisasi : anggota Gerakan Mahasiswa Sosialis (GMSOS), anggota MAPALA UI Pekerjaan : Dosen Fakultas Sastra Universitas Indonesia Meninggal : 16 Desember 1969, di Gunung Semeru

3. Latar belakang Negara

A. Orde lama (Demokrasi Terpimpin)

Kepemimpinan soekarno

Keadaan ekonomi keuangan pada masa awal kemerdekaan amat buruk, antara lain disebabkan oleh : - Inflasi yang sangat tinggi, disebabkan karena beredarnya lebih dari satu mata uang secara tidak terkendali. Pada waktu itu, untuk sementara waktu pemerintah RI menyatakan tiga mata uang yang berlaku di wilayah RI, yaitu mata uang De Javasche Bank, mata uang pemerintah Hindia Belanda, dan mata uang pendudukan Jepang. Kemudian pada tanggal 6 Maret 1946, Panglima AFNEI (Allied Forces for Netherlands East Indies/pasukan sekutu) mengumumkan berlakunya uang NICA di daerah-daerah yang dikuasai sekutu. Pada bulan Oktober 1946, pemerintah RI juga mengeluarkan uang kertas baru, yaitu ORI (Oeang Republik Indonesia) sebagai pengganti uang Jepang.Berdasarkan teori moneter, banyaknya jumlah uang yang beredar mempengaruhi kenaikan tingkat harga. - Adanya blokade ekonomi oleh Belanda sejak bulan November 1945 untuk menutup pintu perdagangan luar negeri RI. - Kas negara kosong. - Eksploitasi besar-besaran di masa penjajahan. Untuk mengatasi keadaan ekonomi yang sangat buruk tersebut, banyak usaha yang dilakukan antara lain : a.Program Pinjaman Nasional dilaksanakan oleh menteri keuangan Ir. Surachman dengan persetujuan BP-KNIP, dilakukan pada bulan Juli 1946. b.Upaya menembus blokade dengan diplomasi beras ke India, mangadakan kontak dengan perusahaan swasta Amerika, dan menembus blokade Belanda di Sumatera dengan tujuan ke Singapura dan Malaysia. c.Konferensi Ekonomi Februari 1946 dengan tujuan untuk memperoleh kesepakatan yang bulat dalam menanggulangi masalah-masalah ekonomi yang mendesak, yaitu : masalah produksi dan distribusi makanan, masalah sandang, serta status dan administrasi perkebunan-perkebunan. d.Pembentukan Planning Board (Badan Perancang Ekonomi) 19 Januari 1947. e. Kasimo Plan yang intinya mengenai usaha swasembada pangan dengan beberapa petunjuk pelaksanaan yang praktis. Dengan swasembada pangan, diharapkan perekonomian akan membaik (mengikuti Mazhab Fisiokrat : sektor pertanian merupakan sumber kekayaan). B. Masa Demokrasi Liberal (1950-1957) Masa ini disebut masa liberal, karena dalam politik maupun sistem ekonominya menggunakan prinsipprinsip liberal. Perekonomian diserahkan pada pasar sesuai teori-teori mazhab klasik yang menyatakan laissez faire laissez passer.Padahal pengusaha pribumi masih lemah dan belum bisa bersaing dengan pengusaha nonpribumi, terutama pengusaha Cina. Pada akhirnya sistem ini hanya memperburuk kondisi perekonomian Indonesia yang baru merdeka. Usaha-usaha yang dilakukan untuk mengatasi masalah ekonomi, antara lain :

a) Gunting Syarifuddin, yaitu pemotongan nilai uang (sanering) 20 Maret 1950, untuk mengurangi jumlah uang yang beredar agar tingkat harga turun. b) Program Benteng (Kabinet Natsir), yaitu upaya menumbuhkan wiraswastawan pribumi dan mendorong importir nasional agar bisa bersaing dengan perusahaan impor asing dengan membatasi impor barang tertentu dan memberikan lisensi impornya hanya pada importir pribumi serta memberikan kredit pada perusahaan-perusahaan pribumi agar nantinya dapat berpartisipasi dalam perkembangan ekonomi nasional. Namun usaha ini gagal, karena sifat pengusaha pribumi yang cenderung konsumtif dan tak bisa bersaing dengan pengusaha non-pribumi. c) Nasionalisasi De Javasche Bank menjadi Bank Indonesia pada 15 Desember 1951 lewat UU no.24 th 1951 dengan fungsi sebagai bank sentral dan bank sirkulasi. d) Sistem ekonomi Ali-Baba (kabinet Ali Sastroamijoyo I) yang diprakarsai Mr Iskak Cokrohadisuryo, yaitu penggalangan kerjasama antara pengusaha cina dan pengusaha pribumi. Pengusaha non-pribumi diwajibkan memberikan latihan-latihan pada pengusaha pribumi, dan pemerintah menyediakan kredit dan lisensi bagi usaha-usaha swasta nasional.Program ini tidak berjalan dengan baik, karena pengusaha pribumi kurang berpengalaman, sehingga hanya dijadikan alat untuk mendapatkan bantuan kredit dari pemerintah. e) Pembatalan sepihak atas hasil-hasil Konferensi Meja Bundar, termasuk pembubaran Uni IndonesiaBelanda. Akibatnya banyak pengusaha Belanda yang menjual perusahaannya sedangkan pengusahapengusaha pribumi belum bisa mengambil alih perusahaan-perusahaan tersebut. - Masa Demokrasi Terpimpin (1959-1967) Sebagai akibat dari dekrit presiden 5 Juli 1959, maka Indonesia menjalankan sistem demokrasi terpimpin dan struktur ekonomi Indonesia menjurus pada sistem etatisme (segala-galanya diatur oleh pemerintah). Dengan sistem ini, diharapkan akan membawa pada kemakmuran bersama dan persamaan dalam sosial, politik,dan ekonomi (mengikuti Mazhab Sosialisme). Akan tetapi, kebijakan-kebijakan ekonomi yang diambil pemerintah di masa ini belum mampu memperbaiki keadaan ekonomi Indonesia, antara lain : a) Devaluasi yang diumumkan pada 25 Agustus 1959 menurunkan nilai uang sebagai berikut :Uang kertas pecahan Rp 500 menjadi Rp 50, uang kertas pecahan Rp 1000 menjadi Rp 100, dan semua simpanan di bank yang melebihi 25.000 dibekukan. b) Pembentukan Deklarasi Ekonomi (Dekon) untuk mencapai tahap ekonomi sosialis Indonesia dengan cara terpimpin. Dalam pelaksanaannya justru mengakibatkan stagnasi bagi perekonomian Indonesia.Bahkan pada 1961-1962 harga barang-baranga naik 400%. c) Devaluasi yang dilakukan pada 13 Desember 1965 menjadikan uang senilai Rp 1000 menjadi Rp 1. Sehingga uang rupiah baru mestinya dihargai 1000 kali lipat uang rupiah lama, tapi di masyarakat uang rupiah baru hanya dihargai 10 kali lipat lebih tinggi.Maka tindakan pemerintah untuk menekan angka inflasi ini malah meningkatkan angka inflasi.

Kegagalan-kegagalan dalam berbagai tindakan moneter itu diperparah karena pemerintah tidak menghemat pengeluaran-pengeluarannya.Pada masa ini banyak proyek-proyek mercusuar yang dilaksanakan pemerintah, dan juga sebagai akibat politik konfrontasi dengan Malaysia dan negaranegara Barat. Sekali lagi, ini juga salah satu konsekuensi dari pilihan menggunakan sistem demokrasi terpimpin yang bisa diartikan bahwa Indonesia berkiblat ke Timur (sosialis) baik dalam politik, eonomi, maupun bidang-bidang lain. Soekarno turun jabatan MASA PKI PEMBANTAIAN PKI OLEH SOEHARTO 4. Perfilman saat itu Pada masa orde lama kebebasan pers cukup dijamin, karena masa itu adalah masa dimana pers merupakan sarana yang dipakai pemerintah maupun oposisi untuk menyiarkan kebijakannya dan pers itu sendiri menjadi lebih berkembang dengan hadirnya proyek televisi pemerintah yaitu TVRI.Sejak tahun 1962 inilah Televisi Republik Indonesia muncul dengan teknologi layar hitam putih.Namun, karena TVRI adalah stasiun televisi milik negara, maka pemerintah jugalah yang menguasainya. Berikut ini merupakan ciri-ciri pers pada masa orde lama: Terbagi atas beberapa jenis, yaitu umum dan politik. Pers berafiliasi ke partai politik amat banyak dan justru oplahnya tinggi. Contohnya: Suluh Marhaen ke PNI (Partai Nasional Indonesia) dan Bintang Timur berafiliasi ke PKI (Partai Komunis Indonesia) Penyerangan terhadap lawan politik amat lazim. Headline (kepala berita) dan karikatur yang sarkastis/kasar amat lazim digunakan. Bahkan tidak tabu menggambarkan lawan politik sebagai anjing misalnya, meski ia menjabat sebagai menteri sekalipun. Menjelang Orde Lama jatuh, muncul media massa yang anti Soekarno dan Orde Lama. Terbagi menjadi media kampus seperti Harian KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia) atau Gelora Mahasiswa UGM.Sementara media umum seperti Kompas. Radio swasta niaga nyaris tidak ada. Hanya ada RRI yang jangkauannya luas.Namun ada radio komunitas yg dibuat mahasiswa seperti Radio ARH (Arief Rahman Hakim) dari UI dgn jangkauan terbatas. Contoh pers umum yaitu Indonesia Raya, Merdeka

Bilamana kita berbicara tentang film Indonesia sampai tahun 1950, maka penamaan Indonesia hanyalah terbatas pada arti, bahwa produksi film sampai permulaan tahun 1950 di buat di Indonesia

dengan artis-artis yang makin banyak terdiri dari orang-orang Indonesia, mempergunakan yang resminya di sebut Bahasa Indonesia, tetapi masih lebih mirip pada Bahasa Melayu Pasar. Jika disimpulkan ciri-ciri produksi sejak film masuk di Indonesia sampai tahun 1950 yaitu: 1. Film sebagai lapangan baru dengan potensi/perspektif yang menguntungkan/komersial.

2. Daya tarik barang baru bagi yang berjiwa perintis, maupun sebagai alat objek spekulasi/petualangan. 3. 4. 5. 6. Tahap meniru : belum ada gagasan yang jelas mengenai fungsinya, kecuali sebagai alat hiburan. Tidak didorong idealisme seni dan corak khas Indonesia belum ada dan belum dipikirkan. Tenaga-tenaga belum terdidik non intelektual : belum menguasai dasar-dasar sinematografi. Mengarah ke industri barang dagang, bukan seni/penerangan/pendidikan.

7. Film-film cerita (features), belum memikirkan pembuatan film-film non-theatrical, kecuali film-film yang dibuat oleh sineas-sineas Belanda secara insidentil dalam kerjasama dengan atau atas pesanan/sponsorship Pemerintah Hindia Belanda. 8. Produksi di tangan Tionghoa, bersifat perusahaan keluarga sebagaimana lazim di kalangan Tionghoa atau di tangan orang Belanda. 9. Film-film yang dibuat oleh sineas-sineas Tionghoa berorientasi ke negeri leluhur Tionghoa dan yang dibuat oleh orang-orang Belanda berusaha melukiskan kehidupan Indonesia dan terutama memakai pemain-pemain Indonesia. 10. Orang-orang Indonesia sebagai pemain-pemain atau karyawan. Selama jaman Jepang dan pada masa peralihan, terutama sekitar tahun 1948 1949 telah ada beberapa tenaga Indonesia yang menguasai ABC pembuatan film, seperti yang telah dijelaskan dalam bagianbagian sebelumnya .Mereka inilah yang kemudian menjadi tenaga-tenaga teras dan pelopor pada permulaan kelahiran produksi Nasional. Dengan berdirinya PERUSAHAAN FILM NASIONAL INDONESIA, PERFINI, pada tanggal 30 Maret 1950, dibawah pimpinan Usmar Ismail yang memakai modal Nasional, pimpinan Nasional, tenaga-tenaga teknik Indonesia, cerita-cerita Indonesia, kiranya dapatlah kita berbicara tentang produksi film Nasional, sekalipun alat-alat studio dan laboratorium masih harus sewa. Maka tanggal 30 Maret 1950 merupakan milestone dalam sejarah film Indonesia dan memang adalah pada tempatnya hari itu dijadikan sebagai Hari Film Nasional dan dijadikan sebagai tradisi untuk mengadakan FESTIVAL FILM INDONESIA tiap tahun. Tak lama setelah PERFINI berdiri, menyusullah Perseroan Artis Republik Indonesia, PERSARI, dimana bernaung artis-artis film dan sandiwara yang telah mempunyai pengalaman, dibawah pimpinan Djamaluddin Malik, dengan pola dan policy yang pada dasarnya sama dan kemudian perusahaan-

perusahaan film Nasional lain, termasuk PERUSAHAAN FILM NEGARA, PFN, yang telah mengambil alih STUDIO REGERING VOORLICHTINGSDIENST RVD Belanda di Polonia, bekas Studio ANIF, kemudian NIPPON EIGA SHA. Usmar Ismail dan Djamaluddin Malik merupakan dua tokoh pelopor yang dalam perkembangan film Indonesia selanjutnya menuju suatu industri baru serta organisasi-organisasi dan kegiatan-kegiatan di bidang film, memegang peranan penting. Sayang sekali bahwa dua-duanya meninggal pada usia masih muda. Kematian mereka merupakan kerugian besar bagi dunia film Indonesia dan malapetaka bagi PERFINI dan PERSARI masing-masing. PERFINI mulai dengan produksinya yang pertama pada tanggal 30 Maret 1950, yaitu Darah dan Doa atau The Long March of Siliwangi, epos perjuangan Divisi Siliwangi berdasarkan skenario Sitor Situmorang, disutradarai oleh Usmar Ismail. Pemain-pemain adalah Del Jusar, Farida, Aedy Moward, Sutjipto dan Awaluddin, semuanya orang-orang yang belum berpengalaman. Pada tahun itu juga menyusul Enam Jam di Yogya, yang melukiskan penyerbuan tentara Indonesia ke kota Yogya di bawah pimpinan Letkol Soeharto, yang kemudian menjadi Presiden kedua dari Rep. Indonesia. Suatu epos berdasarkan skenario Gayus Siagian dan disutradarai oleh Usmar Ismail. Pemain-pemainnya antara lain Del Jusar, Aedy Moward, Sutjipto dibantu oleh Rd. Ismail, seorang pemain sandiwara kawakan.

Sekalipun pertama bukanlah suatu sukses dilihat dari segi seni film, maupun komersial, namun percobaan ini menunjukkan kesungguhan dan idealisme yang tidak terdapat pada produksi-produksi sebelumnya, yang hanya merupakan barang-barang dagangan saja, dengan kekecualian beberapa film yang dibuat oleh sineas-sineas Belanda.

Produksi kedua jelas menunjukkan kemajuan, setidak-tidaknya teknis dan seperti film pertama mempunyai nilai sejarah/dokumenter dalam perjuangan kemerdekaan umumnya dan khususnya TNI.

Untuk jujurnya, kiranya perlu juga dikemukakan, bahwa modal dari kebanyakan perusahaan film Nasional ini tidaklah dapat dikatakan besar di ukur dengan standar manapun dan kesempatan untuk mendapat kredit sangat kecil.

Pertama, karena hidup dunia perbankan masih kembang-kempis ;

Kedua, karena tidak pernah ada apa yang dinamakan middle classes ;

Ketiga, karena Pemerintah belum mampu mengulurkan tangan untuk membantu.

Keempat, karena belum ada kepercayaan terhadap usaha di bidang film, yang memang masih muda.

Modal kerja sebagian besar diperoleh dari panjar (voorschot) yang diberikan oleh bioskop-bioskop dengan film sebagai jaminan.Untuk selebihnya idealisme dan semangat kerjalah yang merupakan modal dan tenaga pendorong.Maka tidaklah mengherankan, bahwa banyak perusahaan film yang terpaksa gulung tikar sesudah beberapa produksi, bahkan ada yang memulai dan mengakhiri usahanya dengan peletakan batu pertama.Kesulitan-kesulitan semacam ini pada umumnya juga dialami oleh usahausaha dagang Indonesia lainnya, yang belum berpengalaman dan sukar juga mendapat kredit.

Dalam pada itu perusahaan-perusahaan film yang telah ada sebelum Indonesia Merdeka mulai lagi berproduksi ; demikian juga perusahaan-perusahaan film baru non-pribumi. Dalam hal ini Pemerintah Indonesia menjalankan politik liberal. Sekalipun perusahaan-perusahaan non-pribumi ini pada hakekatnya merupakan saingan bagi perusahaan-perusahaan itu turut membantu mengurangi jumlah film-film import, dan yang penting juga ialah, bahwa perusahaan-perusahaan ini membuka lapangan kerja bagi artis-artis dan karyawan-karyawan, baik yang berpengalaman maupun yang masih harus belajar di berbagai sektor produksi film.

Dari tahun 1950 kita catat produksi TAN & WONG BROS seperti Bantam, yang disutradarai oleh Wong dengan pemain-pemain Sofia, Moh. Mochtar dan Sukarsih ; Tirtonadi, disutradarai oleh Henry L. Duarte, dengan pemain-pemain Sofia, Moh. Mochtar, S. Waldy dan Wolly Sutinah.

BINTANG SURABAYA FILM tampil dengan Jembatan Merah, dibintangi oleh R. Sukarno, Netty Herawati dan Astaman; film drama Ratapan Ibu, disutradarai oleh Fred Young, dengan pemain-pemain R. Sukarno, Astaman, Fifi Young dan Komalasari.

SOUTH PACIFIC FILM COY membuat film patriotis Untuk Sang Merah Putih, dalam rangka hari ulang tahun V Kemerdekaan RI, berdasarkan cerita karangan Schilling, disutradarai oleh M. Said H.J. dengan Denninghoff-Stelling sebagai juru kamera. Setidaknya sumbangan kedua tangan asing yang disebut diatas mencerminkan sikap progresif atau pengertian dari golongan bekas kaum penjajah. Menanti Kasih, juga disutradarai oleh H. Said H.J. dan dibintangi oleh Hamid Arief, Nila Juwita dan Chatir Harro.

PERUSAHAAN FILM NEGARA-PFN, yang dalam pada itu telah berdiri dan bernaung dibawah Kementrian Penerangan, memprodusir film ceritanya yang pertama, Inspektur Rachman, dengan Kotot Sukardi sebagai produser dan Chatir Harro, Juriah, Nana Mayo dan Hamid Arief sebagai pemain-pemain.

GOLDEN ARROW FILM CO membuat Meratap Hati, dengan Rd. Arifin sebagai sutradara, dan Fifi Young dan Turino Djunaidi sebagai pemain. Sebagai produksi WARNASARI FILM COY dapat disebut Kembang Kacang; Roda Dunia dan Remong Batik, sedangkan BINTANG FILM COY tampil dengan Harum Manis.JAKARTA FILM COY membuat Damar Wulan dan Semeru Film Coy memproduseri Musim Melati.

Ada beberaoa hal penting yang perlu dicatat dari periode antara 1950 1955. Film-film yang dibuat sejak lahirnya produksi film Nasional, 1950 sampai dengan tahun 1959, melalui tahun 1955, Pemilihan Umum Pertama yang memperlihatkan pergeseran kekuatan-kekuatan sosial, pergolakan politik dalam negeri sampai kembalinya Indonesia ke UUD 1945, sedikit banyak juga mencerminkan keadaan pada masa itu.

Dapat dikatakan, bahwa mulai tahun 1950 grafik produksi film dalam negeri menunjukkan garis yang menanjak, dari 24 judul untuk mencapai puncaknya pada tahun 1955 dengan 59 judul film, tetapi untuk cepat juga menurun dan mencapai titik terendahnya pada tahun 1959 dengan hanya 17 judul.

Ada dua perusahaan film yang sejak semula sampai kira-kira tahun 1955 memperlihatkan kesungguhan untuk membuat film-film baik, hal mana setidaknya nampak dari tema dan isi ceritanya.Sebagai perusahaan yang bernaung dibawah Kementrian Penerangan dan mempunyai misi/tugas untuk memberi penerangan dan pendidikan pada rakyat.

PERUSAHAAN FILM NEGARA PFN, berusaha membuat film-film yang mengandung unsur-unsur penerangan dan pendidikan, atau setidak-tidaknya mencoba menampilkan film-film itu sebagai karya seni. Maksud dan tujuannya jelas tercermin dari judul-judulnya.Berhasil atau tidaknya adalah soal yang menyangkut kesanggupan.Teori dan praktek memang tidak selalu sejalan.Tapi setidak-tidaknya ada usaha.

Sebagai contoh kita ambil Jiwa Pemuda (1951), dengan Bachtiar Effendi sebagai sutradara dan R. Sukarno, Noorhasanah dan Djauhari Effendi sebagai pemain; Rakyat Memilih (1951), disutradarai oleh R. Arifin dengan Chatir Harro, Ida Prijatni sebagai pemain. Antara Tugas dan Cinta (1952), disutradarai

oleh Bachtiar Effendi dan Titin Sumarni sebagi salah seorang pemain; Si Pincang (1952) disutradarai oleh Kotot Sukardi dan Mardi and The Monkey, disutradarai oleh Key Mander menyangkut dunia anak-anak dengan segi-segi sosiologi; Kopral Jono (1954), disutradarai oleh Basuki Effendi dan dibintangi oleh Pranajaya, R. Sukarno dan Ariati. Jayaprana (1955) adalah sebuah cerita Rakyat Bali, disutradarai oleh Kotot Sukardi.

PERFINI, dimana berkumpul seniman-seniman idealis dan dipimpin oleh Usmar Ismail, sejak semula menunjukkan kesungguhan untuk membuat film-film yang baik dan mengambil cerita-cerita dengan latar belakang masyarakat Indonesia.

Sesudah produksi Darah dan Doa dan Enam Jam di Yogya, dan film yang erat hubungannya dengan perjuangan kemerdekaan dan karena itu mempunyai arti sejarah, pada tahun 1951 menyusul Dosa tak Berampun, disutradarai oleh Usmar Ismail, dengan pemain-pemain R. Ismail, Titi Savitri dan A.N. Alcaff; Terimalah Laguku (1952) disutradarai oleh Djaduk Djajakusuma dan Tovani, Titi Savitri dan R. Ismail sebagai pemain-pemain; Kafedo (1955) dengan Pulau Mentawai sebagai latar belakang cerita, disutradarai oleh Usmar Ismail dan Del Juzar, Aedy Moward, Ismail Saleh, Tina Melinda dan Wahid Chan sebagai pemain-pemain.

Krisis (1953) merupakan suatu kritik sosial, yang menggambarkan dengan baik kesulitan perumahan dengan segala sukaduka.Film ini, yang disutradarai oleh Usmar Ismail, merupakan suatu milestone dalam dunia film.

Pertama, karena dia merupakan film produksi Nasional pertama yang diputar di bioskop kelas satu, yang sampai waktu itu hanya tersedia untuk film-film impor.

Kedua, karena dia merupakan box office, yang dapat bertahan lebih dari satu bulan dalam satu bioskop, suatu prestasi yang belum pernah dicapai oleh film manapun di Indonesia. Sebagai pemain muncul Nurnaningsih, R. Sukarno, Aedy Moward, Ismail Saleh dan Sulastri.

Harimau Campa (1953), sebuah cerita Minangkabau, disutradarai oleh D. Djajakusuma dengan Bambang Hermanto, Titi Savitri, R. Ismail, Nurnaningsih dan Wahid Chan sebagai pemain-pemain. Pada Festival Film Asia Tenggara tahun 1955 di Singapura, film ini merebut hadiah Harimau Perunggu untuk ilustrasi musik, yang digubah oleh Tjok Sinsu.

Lewat Jam Malam (1954), yang disutradarai oleh Usmar Ismail berdasarkan skenario Asrul Sani dan dibintangi oleh A.N. Alcaff, Dhalia, Netty Herawati, Bambang Herwanto, Titin Sumarni dan Aedy Moward, berhasil merebut hadiah pertama pada Festival Film Indonesia pertama yang diadakan pada tahun 1955 di Jakarta.

Sebagai perusahaan film Nasional yang paling besar PERSARI juga merupakan perusahaan yang paling produktif selama periode 1950 1959 dengan 55 judul film. Perusahaan film ini terutama memakai pemain-pemain profesional dengan sistem kontrak ala SHAW BROS Hong Kong, dan membuat film-film hiburang yang ringan, sebagaimana jelas dicerminkan oleh judul-judulnya seperti Dunia Gila (1951), Main-main Jadi Sungguhan (1952); Gara-gara Janda Muda (1954); Pura-pura Tidak Mau (1955); Kasih dan Cinta (1956) dan lain-lain.

Dipimpin oleh seorang pedagang, bekas pegawai bank, Djamaluddin Malik (1917 1970), PERSARI terutama bersifat komersial dengan mabisi ekspansi menjadi MGM Indonesia.

Joint production pertama dengan Philipina, yang menghasilkan film berwarna Rodrigo de Villa (1952), harus dilihat dalam cahaya ini.Bertindak sebagai sutradara Rempo Urip dengan pemain-pemain R. Mochtar, Nana Mayo, Netty Herawati dan Juriah.Film ini bukanlah suatu sukses dilihat dari segi seni, melainkan lebih merupakan suatu ballyhoo yang menempatkan PERSARI dalam perhatian umum.

Sebagaia kekecualian dapat disebut Tarmina (1954), yang bersama-sama dengan Lewat Jam Malam merebut hadiah pertama pada Festival Indonesia pertama tahun 1955.Film ini disutradarai oleh Lilik Sudjio dengan Fifi Young, Abdul Hadi, A.N. Alcaff (ketiganya bersama Dhalia dari Lewat Jam Malam terpilih sebagai pemain-pemain terbaik festival tersebut).Astaman dan Endang Kusdiningsih.

Perlu juga dicatat usaha Dr. Huyung dari STICHTING HIBURAN MATARAM atau KINO DRAMA ATELIER, yang menunjukkan kesungguhan membuat film-film yang dinamakan Autorenfilm (Jerman) dengan memilih cerita-cerita berdasarkan karya-karya sastra seperti Antara Bumi dan Langit (1950), karangan Armyn Pane dan Bunga Rumah Makan (1951), karya Utuy Tatang Sontani.

Film pertama, yang dibintangi oleh S. Beno dan Grace menemui kegagalan karena adegan ciuman yang dilarang oleh Badan Sensor Film, dengan alasan, bahwa berciuman ala Barat bertentangan dengan adat-

istiadat dan susila Indonesia. Pada satu pihak sikap sensor ini dapat dipahami, pertama karena rasa Nasionalisme dari bangsa Indonesia yang baru melepaskan diri dari belenggu penjajahan bangsa Barat, menurut pertimbangan-pertimbangan Sensor, yang merupakan semacam parlemen kecil dengan anggota-anggota yang mewakili segala aliran masyarakat, belum dapat menerima adegan cium. Disamping itu unsur kebudayaan semacam ini dikhawatirkan dapat meracuni masyarakat.Dan, adalah tugas pemerintah untuk melindungi masyarakat terhadap bahaya infiltrasi kebudayaan luar yang tidak sehat dan menjadi momok di siang hari bagi golongan-golongan yang chauvinistis dan fanatik. Dan pendirian yang sempit ini pulalah yang menjadi alasan tokoh Grace dalam film tersebut sebagai orang Indo tidak dapat diterima.

Pada pihak lain sikap sensor ini menunjukkan dualisme karena film-film Barat dengan adegan-adegan cium bebas diputar di seluruh Indonesia dan tanpa ada reaksi atau protes dari publik. Politik burung onta yang memakai dua ukuran ini tentu tidak dapat dipertahankan secara konsekuen.

Alat-alat komunikasi dari teknologi modern pada suatu pihak membuat dunia makin kecil, tetapi pada pihak lain membuat dunia individu makin besar. Semangat jaman terus menerus mengalami proses.

Pendirian yang sempit dari sensor tahun 1950an selama bertahun-tahun menjadi momok bagi para produser yang merasa terkekang untuk kreatif mengadakan eksperimen-eksperimen di bidang film.Akibatnya ialah, bahwa mereka menempuh jalan yang lebih aman dan menuruti resep dan selera sensor yang mengakibatkan pendangkalan.

Sebagai kompromi umpamanya digantikan judul Antara Bumi dan Langit menjadi Frieda, yang sebenarnya lebih bernada Barat, namun penggantian nama ini tidak dapat menyelamatkan film yang telah dikebiri ini dan dia hanya mempunyai arti sejarah sebagai film Nasional pertama yang ditolak oleh sensor. Suatu bukti juga, betapa pentingnya peranan sensor dalam membantu atau merusak mutu film.

Jika tahun 1955 merupakan tahun yang relatif subur bagi perkembangan film Nasional, pada pihak lain dia merupakan titik balik dalam sejarahnya, karena sejak tahun itu juga jumlah produksi menurun terus untuk mencapai titik terendahnya pada tahun 1959 dengan produksi hanya 17 judul.

Ada beberapa faktor yang menyebabkan kemunduran ini.Antara lain masuknya film-film India, yang ternyata merupakan saingan berat bagi produksi film Nasional. Tari-tarian dan nyanyian sentimentil, yang mendekati melankolisme, yang merupakan ramuan pokok dari film-film India ini ternyata cocok

dengan selera dan jiwa lapisan bawah dari masyarakat Indonesia, yang merupakan mayoritas dari sasaran utama dari film India ini adalah bioskop-bioskop kelas dua, yang kebanyakan berada di pinggir kota, daerah rakyat biasa.

Munculnya film-film cinemascope di pasaran Indonesia juga merupakan saingan berat bagi film-film Indonesia, yang masih dibuat dalam ukuran standar black and white, karena film-film ini disukai oleh seluruh lapisan masyarakat. Baik teknis dan artistik, maupun finansial para produser Indonesia belum sanggup mengimbanginya, untuk tidak mengatakan melebihinya. Dan adalah logis, bahwa para pemilik bioskop yang tentu tidak mau rugi, menyesuaikan diri dengan permintaan atau selera publik, sehingga produksi Nasional hanya diputar apabila tidak ada film impor yang lebih baik. Dan karena proteksi terhadap produksi dalam negeri belum ada berupa wajib putar, kemunduran distribusi film Indonesia dengan sendirinya berarti kemunduran produksinya.

Sebelum tahun 1955, LEMBAGA KEBUDAYAAN RAKYAT, LEKRA, suatu organisasi kebudayaan yang bernaung dibawah panji palu arit Partai Komunis Indonesia PKI, telah menunjukkan kegiatan-kegiatan yang dinamis di semua cabang kebudayaan, termasuk bidang film. Tetapi terutama sesudah Pemilu 1955, yang menampilkan PKI sebagai salah satu partai terbesar, degnan potensi terbesar pula, yang menguntungkan bagi partai ini, LEKRA menunjukkan juga kemajuan yang sangat pesat dan sekaligus mengancam eksistensi organisasi-organisasi kebudayaan non-komunis yang terpecah-pecah. Terpecahpecah karena pertentangan intern atau karena cellenbouw, penyusupan dan rongrongan LEKRA dan kakitangan-kakitangannya.

Dengan segala macam cara, legal atau ilegal, dengan halus atau kasar, LEKRA merongrong organisasiorganisasi kebudayaan lainnya yang tidak mau turut mengibarkan bendera merah kaum komunis atau bergabung dalam nyanyian bersama LEKRA dan dalam pada itu harus berusaha keras merebut tempattempat yang dominan dan sesuai dengan tujuan monopoli di bidang kebudayaan, termasuk bidang film. Muncullah tokoh-tokoh seperti Bachtiar Siagian, Basuki Effendi, Kotot Sukardi, Tan Sing Hwat alias Tandu Honggonegoro dan lain-lain di bidang film yang sesuai dengan gagasan Lenin, ideologi dan praktek kaum Marxist, mempergunakan film sebagai alat propaganda dan arti propaganda dan agitasi untuk mempengaruhi massa dan menghancurkan lawan-lawan.

Usaha untuk monopoli bidang kebudayaan dengan segala macam cara tanpa menghiraukan kepentingan pihak lain dan sikap agitatif dan provokatif dari LEKRA tidak boleh tidak menimbulkan reaksi atau memancing konflik dengan organisasi-organisasi kebudayaan non-komunis, yang menjelang tahun 1955 konfrontatif menjurus ke konflik terbuka sampai pecahnya peristiwa G 30 S 1965 dengan akibat-akibat yang dunia telah tahu.

Dalam rangka apa yang dinamakan Prolekult dan usaha memikat hati rakyat dengan cara halus tersembunyi, para seniman dan sineas LEKRA dengan sadar memilih tema-tema, yang dengan penuh sentimentalitas dan kadang-kadang bombastis mendramatisir hidup dan suka-duka kaum gembel, yang menjadi pejoang-pejoang dan pahlawan-pahlawan kaum proletar/komunis sambil dengan bersemangat dan penuh emosi menyanyikan lagu Internasionale. Dan tiap aksi mereka disebarluaskan oleh pres kiri dan antek-anteknya.

Tetapi berbeda dengan seni sastra LEKRA umpamanya tidaklah ada hasil karya sineas-sineas mereka yang benar-benar mempunyai ciri-ciri khas atau dengan tegas berhasil menonjolkan ideologi Lenin-Marx melalui film. Contoh-contoh dari karya mereka di bidang film antara lain adalah Corak Dunia (1955) produksi GARUDA FILM STUDIO Ltd, yang disutradarai oleh Bachtiar Siagian, sineas LEKRA yang paling berbakat; Daerah Hilang(1956), juga produksi GARUDA FILM; Turang (1957), produksi REFIC / YAYASAN GEDUNG PEMUDA, dua-duanya disutradarai oleh Bachtiar Siagian.

Basuki Effendi membuat antara lain Pulang (1952), produksi SANG SAKA dan Ho Lo Pis untul Baris (1959), produksi SANGGABUANA, berdasarkan semboyan yang dipopulerkan Sukarno pada waktu itu untuk mengobarkan semangat gotong royong.

Tan Sing Hwat alias Tandu Honggonegoro membuat antara lain Rahasia Suku Domas (1954), produksi GARUDA FILM ; Taman Harapan (1957), produksi SANGGABUANA dan Kotot Sukardi, yang menjadi pegawai Kementrian Penerangan, membuat Si Pincang (1952), dengan PERUSAHAAN FILM NEGARA PFN sebagai produser.

Untuk dapat bertahan menghadapi saingan berat dari film-film impor para produser lebih cenderung membuat film-film ringan yang mudah dicernakan oleh publik.

Jalan yang paling mudah ditempuh ialah menirut cara orang India dengan tepat atau tidak tepat. Publik ingin mendengar nyanyian dan melihat tarian. Berilah apa yang dimintanyal mereka akan puas! Itulah yang menjadi semboyan pada masa itu.

Dengan beberapa kekecualian film-film PERFINI umpamanya jelas menunjukkan adanya percobaan haluan dalam kebijaksanaan produksinya dan perubahan ini jelas dipaksakan oleh keadaan. Tamu

Agung (1955), yang didasarkan pada The Government Inspector dari Nicholay Gogol adakah sebuah komedi yang dalam adaptasi/versi PERFINI memang sudah dicernakan. Tiga Dara (1956) dan Delapan Penjuru Angin (1957) merupakan musicals yang ringan dan bersifat menghibur.Juara 1960 (1956), Tiga Buronan (1957) dan Jendral Kancil (1957) dapat digolongkan dalam tema-tema ringan ini.

Contoh-contoh lain adalah Serampang 12 (1956) dari HADIAH FILM CORPORATION, Tanjung Mataran 91957) dari PERFINI MOVIESTONE PRODUCTION, Gending Sriwidjaja (1958) dari DHARMA IKATAN ARTIS NASIONAL, Juara Sepatu Roda (1958) dari STUPA FILM, Bing Slamet Tukang Becak (1959) dari GOLDEN ARROW, Gembira Ria (1959) dari ANOM PICTURE dan THE BABY DOLLS (1959).

Dengan perkecualian beberapa perusahaan yang disebut tadi, kebanyakan perusahaan film yang ada di Indonesia memang sejak semula bertitik tolak dari segi komersial tanpa prestasi mempunyai mission dengan sadar meningkatkan kualitas.Bilamana lambat laun terdapat juga kemajuan di bidang teknis, maka kemajuan itu adalah karena pengalaman dan kemajuan mutu alat-alat sebagai hasil teknologi modern, bukan hasil eksperimen atau kreasi artistik.

Kegairahan di bidang film sampai akhir tahun 1955 dicerminkan oleh beberapa film yang qua mutu dapat dikatakan lumayan dan setidak-tidaknya mendapat sambutan baik di kalangan ahli-ahli, maupun publik : Dosa Tak Berampun (1951) dari PERFINI, yang disutradari oleh Usmar Ismail; Si Pincang (1952) dari PFN, yang disutradarai oleh Kotot Sukardi, Krisis (1953), disutradarai oleh Usmar Ismail; Lewat Jam Malam (1954) produksi bersama PERFINI-PERSARI, disutradarai oleh Usmar Ismail, yang bersama-sama dengan Tarmina (1954), karya Lilik Sudjio merebut hadiah pertama pada Festival Film Indonesia 1955; Tamu Agung (1955), yang merebut hadiah sebagai komedi terbaik pada Festival Film Asia Tenggara tahun 1956 di Hong Kong. Corak Dunia (1955) dari GARUDA FILM, dan Kabut Desember (1955) dari MENARA FILM COY, dua-duanya disutradarai oleh Bachtiar Siagian.

Tahun 1956 1959 merupakan tahun-tahun depresi sekalipun ada dua film yang patut disebut, yakni turang (1957) dari REFIC, yang disutradarai oleh Bachtiar Siagian, dan Pejuang (1959) dari PERFINI, disutradarai oleh Usmar Ismail dan berhasil merebut hadiah untuk pemain terbaik, yakni Bambang Hermanto. (bersama-sama dengan Peter Finch dari Inggris) dalam Festival Film Internasional di Moskow tahun 1963.

Pertengahan tahun 1950an menunjukkan juga kemajuan dibidang organisasi. Pada tanggal 30 Juni 1954 berdirilah Persatuan Perusahaan Film Indonesia PPFI, yang memilih Usmar Ismail sebagai ketua. Setahun kemudian, tanggal 25 Oktober 1955, berdiri Persatuan Pers Film Indonesia PERPEFI, yang

menunjukkan kesadaran akan pentingnya publisitas sebagai salah satu alat penting bagi sales promotion, yang menjadi ketuanya adalah Boes Boestami, seorang wartawan dan pemain film freelance.

Juga dikalangan para artis film terasa perlu adanya organisasi sebagai alat perjuangan untuk membela kepentingan mereka menghadapi para produser dan untuk menggalang persatuan dan rasa solidaritas di kalangan mereka sendiri. Dan pada tanggal 13 Maret 1956 berdirilah Persatuan Artis Film Indonesia PERFI, yang sampai pertengahan tahun 1971 diketuai oleh Suryo Sumanto, salah seorang pendiri PERFINI dan penulis skenario. Dengan berdirinya PARFI maka organisasi artis film yang didirikan jaman Jepang dianggap tidak ada lagi.

Kemajuan film sebagai barang dagangan banyak tergantung dari keseimbangan antara tiga mata rantai, yang merupakan bagian integral dari film sebagai industri, yang mempunyai fungsinya sendiri-sendiri, yaitu produksi, distribusi dan eksbhisi. Bilamana salah satu dari mata rantai ini tidak berjalan baik, maka mata rantai yang lain juga akan macet.

Bila produksi film nasional menunjukkan potensi dan perspektif yang memberi harapan di masa depan, sampai sekarang bidang distribusi dan eksbhisi (bioskop) belum dapat dikuasai oleh perusahaanperusahaan nasional. Dan sejak lahirnya produksi Film Nasional sampai saat ini kepincangan ini merupakan penyakit kronis yang menghambat perkembangan yang sehat dari perfilman nasional.

Pada tanggal 10 April 1955 berdirilah Gabungan Pengusaha Bioskop Seluruh Indonesia GPBSI, yang dalam programnya antara lain mencantumkan : Membantu dan Turut melaksanakan kebijaksanaan Pemerintah dalam bidang perbioskopan khususnya dan perfilman umumnya.

Dari ayat ini jelaslah, bahwa setidak-tidaknya di atas kertas GPBSI tidak hanya membela kepentingankepentingan perbioskopan, melainkan juga perfilman secara umum. Yang penting ialah apa sebenarnya kebijaksanaan pemerintah, yang akan dibantu dan turut dilaksanakan oleh GPBSI? Memang Pemerintah mengambil kebijaksanaan, namun sampai sekarang kebijaksanaan ini ternyata belum bijaksana dan para produser masih mengeluh.

***

Partisipasi Indonesia dalam kegiatan Internasional merupakan juga cermin dari besarnya animo di bidang film pada tahun 1950an. Tanggal 14 Mei 1955 Indonesia ikut serta dalam Festival Film Asia Tenggara, di Singapura, yang kemudian dinamakan Festival Film Asia, yang beranggotakan Singapura, Filipina, Jepang, Hong Kong, Macao, Malaya (sekarang Malaysia) dan Indonesia dan berhasil merebut Harimau Perunggu untuk ilustrasi musik, yang digubah oleh Tjok Sinsu untuk Harimau Campa dari PERFINI.

Untuk lebih mempopulerkan film-film Indonesia di kalangan publik Indonesia sendiri, PERSARI mengadakan pekan film di bioskop Cathay dari tanggal 5 s/d 11 Maret 1956 dengan film-film Air Pasang (1954), Hadiah 10.000 (1955), Seniman Desa (1955), Gadis Sesat (1955) dan Berjumpa Kembali (1955). Pada tahun itu juga, dari tanggal 12 16 Juni 1956 Indonesia ikut serta dalam Festival Film Asia Tenggara di Hong Kong dan berhasil merebut (1) hadiah khusus untuk Manusia Suci (1955), produksi RELLEICON FILM yang disutradarai oleh Alam Surawijaya, (2) hadiah untuk Komedi Terbaik, Tamu Aung (1955) yang telah disebut tadi, (3) untuk pemain kanak-kanak terbaik, yaitu Malina, yang memegang peranan dalam Kekasih Ayah (1955) dari PERSARI dan disutradarai oleh Lilik Sudjio.

Sesudah masa yang relatif subur ini garis grafik produksi menurun terus dan mencapai titik terendahnya pada tahun 1959 untuk kemudian berangsur, angsur menaik.Tetapi masih dibutuhkan sepuluh tahun waktu untuk berangsur-angsur dapat kembali pada keadaan yang memberi harapan.

MASA PERGOLAKAN ORDE BARU

Sesudah Pemilu pertama, tahun 1955, sejak Republik Indonesia berdiri dan yang jelas memperlihatkan pergeseran-pergeseran dalam konstelasi politik dan kekuatan-kekuatan sosial, social forces, antara lain perkembangan pesat dari Partai Komunis Indonesia PKI dan organisasi-organisasinya, keadaan umum mulai memburuk dengan pesat pula. Situasi yang tidak menentu ini disusul oleh Peristiwa Cikini, yang memperlihatkan rasa tidak senang terhadap regime Soekarno, pergolakan di daerah-daerah luar Jawa, terutama Sumatra dan Sulawesi, yang mencerminkan rasa tidak senang terhadap sentralisme pemerintahan pusat (Jawa) dan tidak berhasil diatasi dengan Musyawarah Nasional dan berakhir dengan pemberontakan PRRI PERMESTA, yang didahului oleh peletakkan jabatan wakil presiden oleh Dr.

Hatta, perubahan Konstituante dan berlakunya kembali UUD 1945. persatuan dan kesatuan nasional menghadapi krisis yang mengancam eksistensi Republik Indonesia.

Hubungan dengan luar negeri sejak Konfrontasi Irian Barat dan terutama sejak keluarnya Indonesia dari PBB begitu memburuk, sehingga Indonesia praktis berada dalam isolasi yang mencekik. Pemberontakan PRRI PERMESTA yang disusul dengan Konfrontasi Irian Barat dan kemudian Konfrontasi Malaysia, menghentikan pembangunan di segala bidang dan menimbulkan krisis ekonomi keuangan yang mendekati kebangkrutan total dan ketegangan-ketegangan sosial.

Dalam keadaan kacau balau ini hanya PKI dan antek-anteknya yang beruntung dengan memancing dalam air keruh. Dengan segala macam cara PKI berusaha memperluas dan memperkokoh kedudukannya di bidang politik dan LEKRA, sebagai bangunan bawah dari PKI, di bidang kebudayaan, termasuk bidang film. Dalam hal ini kedua-duanya dibantu oleh pers kiri, yang juga berusaha keras menguasai seluruh mass media.

Dunia perfilman, yang sebelum Pemilu mulai berkembang sebagai industri, mulai goyah sebagai akibat situasi yang sangat buruk dan laksana batu dari puncak gunung bergelinding ke bawah dengan accellarated motion dan mencapai titik kemelut dan kelumpuhan pada tahun 1959 dengan hanya 30% jumlah produksi tahun 1959.

Keadaan yang mengejutkan dan membahayakan ini rupa-rupanya menggugah para produser nonkomunis untuk lebih giat berusaha atau setidak-tidaknya mencoba menyelamatkan apa yang dapat diselamakat dan pada tahun berikutnya grafik produksi menunjukkan garis menaik. Namun usaha ini nampaknya tidaklah lebih daripada gerak-gerak sawan dari pasien yang dengan sisa tenaganya pada saat terakhir mencoba melawan maut.Keadaannya sudah terlalu parah, produksi menurun pesat sampai tahun 1969.

Faktor-faktor lain yang merupakan penghalang bagi perkembangan produksi film nasional antara lain saingan berat dari film-film impor, terutama dari India, yang sejak tahun 1955 membanjiri pasaran Indonesia, dan munculnya film-film cinemascope dari negara-negara Barat, terutama Amerika, suatu novum, yang mempunyai daya tarik yang luar biasa. Disintegrasi politik dan dislokasi sosial ekonomi selama Orde Lama, yang antara lain menimbulkan hyper-inflation yang paling parah dalam sejarah Rep. Indonesia dan aksi-aksi PKI/LEKRA yang memuncak pada coup yang gagal dari G30S 1965, praktis melumpuhkan segala kegiatan di bidang produksi dan menimbulkan drainage dari sumber-sumber yang masih ada.

Sekalipun pemberontakan PKI dapat ditumpas dalam tempo yang relatif sangat singkat, namun rehabilitasi di segala bidang merupakan jalan penderitaan yang panjang. Orde Baru membutuhkan banyak waktu, dana dan tenaga untuk menyembuhkan luka-luka parah dan royan-royan penyakit Orde Lama, yang dimulainya dengan mengatasi hyper-inflation, antara lain dengan kredit-kredit luar negeri.

Bagaimanakah gambaran produksi film selama masa pergolakan ini, yakni dari tahun 1959 sampai tahun 1969?

Setelah tahun 1959 mencapai titik terendahnya dengan hanya 17 judul film, kita melihat kesegaran kembali pada tahun 1960 dengan 36 judul film yang terpenting dari tahun 1960 adalah Piso Surit dari PELANGI FILM, yang disutradarai oleh Bachtiar Siagian.

Produksi tahun 1961 menurun lagi dengan 33 judul film antara lain Pagar Kawat Berduri, produksi KEJORA FILM, yang disutradarai oleh Asrul Sani. Tahun 1962 lebih kering lagi dengan produksi 13 judul film, namun tahun ini menghasilkan beberapa film yang relatif baik, yakni Anak Perawan di Sarang Penyamun, yang didasarkan pada karya sastra Sutan Takdir Alisyahbana, dan Toha Pahlawan Bandung Selatan, suatu episode perjuangan dari permulaan revolusi, dua-duanya disutradarai oleh Usmar Ismail.

PERSARI mengadakan produksi bersama kedua dengan luar negeri, yakni dengan Sampaguita Film dari Philipina dan membuat Holiday in Bali, disutradarai oleh Tony Ceyado dan Misbach Jusa Biran.

Tahun 1963 menghasilkan 14 judul film, antara lain Daerah Tak Bertuan, produksi SANGGABUANA FILM STUDIO, berdasarkan novel dari Toha Mochtar dan disutradarai oleh Alam Surawijaya. Dari 18 judul produksi film 1964 dapat dicatat antara lain Anak-Anak Revolusi dari PERFINI, disutradarai oleh Usmar Ismail dan Tauhid, produksi bersama PERSARI-Departemen Penerangan dan Depdagri, sebuah film bernafaskan agama dan disutradarai oleh Asrul Sani.

***

Konfrontasi dan konflik terbuka antara PKI dan antek-anteknya pada satu pihak dan golongan-golongan non-komunis/ABRI/Pemuda pada pihak lain mencapai puncaknya dengan coup yang diadakan oleh PKI

pada tanggal 30 September / 1 Oktober 1965, yang menciptakan situasi yang lebih gawat lagi dan berlangsung sampai bulan Maret 1966. Namun tahun itu, 1965, masih menghasilkan 17 judul film. Yang terpenting diantaranya adalah Macan Kemayoran, produksi bersama ARIES / NUSANTARA dan GARUDA FILM, yang merupakan film widescreen pertama yang dibuat di Indonesia ; suatu percobaan yang berhasil dari sutradara Wim Umboh. Dilihat dari segi teknis dan artistik film ini merupakan suatu milestone dalam sejarah film Indonesia.

Kuantitatif periode tahun 1967 dengan 9 judul, tahun 1968 dengan hanya 5 judul dan tahun 1969 dengan 8 judul film merupakan tahun-tahun depresi bagi dunia film Indonesia. Namun tahun 1967 menghasilkan film widescreen berwarna pertama, yakni Sembilan, yang temanya mengingatkan kita pada film Jepang The Seven Samurai dan film Amerika The Magnificient Seven, produksi ARIES FILM ini disutradarai oleh Wim Umboh.

Dapat dikatakan, bahwa tahun 1967 merupakan tahun permulaan dari produksi film-film berwarna di Indonesia.Oleh karena belum ada laboratorium untuk film berwarna, prosesing dilakukan di luar negeri, terutama di Jepang dan Hong Kong.

Tahun 1968 merupakan tahun yang paling miskin, baik kuantitatif, maupun kualitatif dan film berwarna Jakarta-Hong Kong-Macao ktia sebut disini karena sebagai location di buat di Hong Kong dan Macao.

Dari tahun 1969 antara lain dapat disebut Si Jampang Mencari Naga Hitam produksi DEWAN PRODUKSI FILM NASIONAL, yang disutradarai oleh Lilik Sudjio, sebuah film action berwarna, yang mendapat sambutan baik dari publik.

Kualitatif Apa yang Kau Cari Palupi (1969), produksi DEWAN PRODUKSI FILM NASIONAL adalah yang paling baik dan berhasil merebut hadiah pertama pada Festival Film Asia tahun 1970 di Jakarta. Namun komersial film ini adalah suatu kegagalan.

Bila pada suatu pihak Palupi merupakan suatu kegagalan komersial, pada pihak lain teknis-artistik film ini merupakan suatu kemajuan dan merupakan bukti yang nyata dari kesanggupan artistik dari sineassineas Indonesia.Pengaruhnya positif bagi dunia film nasional.Para sineas mendapat kepercayaan pada diri sendiri, rangsangan untuk mencapai hasil yang lebih baik dan dorongan bagi pemerintah untuk membantu perkembangan dan pembinaan produksi film nasional, demikian juga bagi pemilik-pemilik modal.Terutama dari pemerintah daerah Jakarta Raya, dibawah Gubernur Ali Sadikin, nampak

pengertian dan kesungguhan untuk membantu dunia perfilman Indonesia dengan memberikan aneka ragam fasilitas.

***

Setelah situasi politik mulai mereda dan hyper-inflation dapat diatasi serta peraturan-peraturan penghambatan dari masa Orde Lama dihapuskan, pemakaian devisa dibebaskan, terbukalah kesempatan baik bagi para produser untuk berusaha secara bebas.

Departemen Penerangan membentuk DEWAN FILM NASIONAL, yang anggotanya terdiri dari unsurunsur perfilman dan merupakan dewan penasehat Departemen Penerangan / Direktorat Film dalam menentukan kebijakan di bidang film. Disamping itu juga dibentuk DEWAN PRODUKSI FILM NASIONAL yang bergerak dibidang produksi, dalam mana Dewan Produksi bertindak sebagai produser.

Untuk mengatasi kesulitan modal, yang sejak semula merupakan salah satu segi kelemahan perusahaanperusahaan pribumi, terutama dalam menghadapi modal non-pribumi, maka Menteri Penerangan mengeluarkan SK 71, yang mewajibkan para importir film membayar Rp 250.000,- untuk setiap film yang diimpor dan melalui Yayasan Film dana ini dipinjamkan kepada para produser yang membutuhkannya dengan syarat-syarat ringan dan tanpa bunga.

Sebagai catatan perlu kiranya dikemukakan, bahwa dalam praktek uluran tangan pemerintah ini sering disalahgunakan oleh produser-produser yang tidak mempunyai rasa tanggung jawab, sehingga ratusan juta rupiah pinjaman tidak kembali pada Yayasan Film.

Berbagai bank juga mengulurkan tangan kepada para produser dalam memperoleh modal untuk pembuatan film, dengan film sebagai jaminan. Namun sering film tidak dapat diselesaikan dan bank tidak tahu hendak berbuat apa dengan film setengah jadi itu. Bunga pinjaman tidak masuk, modalpun tidak kembali.Mismanagement dan petualangan juga merupakan penyakit yang masih sulit dihilangkan di kalangan pengusaha-pengusaha.

***

Tanpa perubahan-perubahan prinsipil Badan Sensor Film BSF, juga menunjukkan sikap yang lebih progresif dibanding dengan tahun-tahun sebelumnya, dan memberikan lebih banyak kebebasan gerak bagi para sineas untuk mengembangkan daya ciptanya, suatu conditio sine qua non untuk meningkatkan mutu. Disamping itu BSF menunjukkan sikap yang lebih berani untuk menganut freedom from moral restraints menuju new morality dengan pendirian bahwa sex would still sell tickets, but flagrant immorality would not.

Namun demikian umum berpendapat, bahwa susunan keanggotaan BSF masih jauh dari pada sempurna dan peraturan-peraturan perlu ditinjau kembali dan disesuaikan dengan perubahan dan semangat jaman karena nilai-nilai moral juga terus-menerus berubah.Keanekaragaman penduduk Indonesia, yang terdiri dari puluhan suku dengan adat-istiadatnya dan nilai-nilai moralnya masing-masing memang membuat peraturan-peraturan yang bisa berlaku untuk semua daerah dan mempersulit tugas BSF. Tetapi justru anggota-anggotanya harus terdiri dari kaum intelektual yang berpengalaman dan mengerti betul-betul tugas film sebagai seni, alat hiburan, alat pendidikan dan alat penerangan. PERIODE SESUDAH TAHUN 1969

Bilamana kita mengadakan semacam periodisasi dalam sejarah film Indonesia, maka tahun 1970 dapat dipandang sebagai titik permulaan dari kebangkitan kembali hidup perfilman di Indonesia. Kebangkitan ini dibantu oleh berbagai faktor yang menguntungkan : Pemerintah Orde Baru pada tahap pertama berusaha keras mengadakan rehabilitasi di berbagai bidang untuk kemudian dapat memulai pembangunan. Penghambat-penghambat yang diciptakan Orde Lama atau yang diakibatkan oleh situasi yang buruh secepat-cepatnya dan sedapat mungkin dilenyapkan, sehingga tercipta kondisi dan iklim yang lebih baik untuk berusaha. Tindakan moneter yang berhasil membendung hyper-inflation dalam waktu yang relatif singkat, penghapusan sistem nilai tukar yang berbelit-belit dan pengawasan valuta asing yang hanya menguntungkan segelintir petualang-petualang.

Sanering yang berhasil ini dengan sendirinya menimbulkan kepercayaan dan harapan aik di dalam maupun di luar negeri mengenai iktikad baik dari Pemerintah Orde Baru. Normalisasi hubungan dengan luar negeri, terutama dengan negara-negara yang sebelumnya dimusuhi oleh pemerintah Orde Lama membuka kembali lalu lintas internasional di segala bidang. Dengan penghapusan pengawasan valuta asing umpamanya pemasukan bahan baku film yang sangat dibutuhkan menjadi mudah, demikian juga prosesing film di luar negeri.

Kondisi dan iklim yang baik ini menimbulkan kembali kegairahan di bidang produksi film, bahkan lambat laun kegairahan ini mengambil bentuk goldrush.Perusahaan-perusahaan film baru muncul seperti jamur

di musim hujan, sekalipun terbatas pada daerah Jakarta, dimana tertanam hampir 70% kekayaan Indonesia.

Tetapi sebagaimana goldrush, disamping segi positifnya juga mempunyai segi negatifnya, kegairahan ini sering berubah menjadi nafsu yang tidak selalu didukung oleh ketrampilan, skill, maupun kemampuan finansial, kesungguhan dan bonafiditas dan timbullah ekses-ekses petualangan, yang bekerja seperti bumerang.

Disamping banyak terdapat produksi musiman dari petualang-petualang yang lekas-lekas ingin kaya dengan film-film rongsokan, yang hanya merangsang naluri-naluri rendah dan memenuhi selera buruk dari massa yang memang merupakan mayoritas penonton. Film-film yang kebetulan merupakan boxoffice tetapi tidak bermutu, menimbulkan kelatahan untuk membuat film-film klise.

Jika dengan film-film semacam itu, yang tidak lebih daripada mass production dari barang-barang dagang murah, kebutuhan hiburan masih terpenuhi, sekalipun hiburan murah vulgar, sebaliknya segi pendidikan dan penerangan, untuk tida bicara tentang segi seninya, sama sekali tidak mendapat perhatian, bahkan sengaja diabaikan. Dengan lain kata, fungsi film sebagai digariskan oleh MPRS tidak terpenuhi dan produser-produser / sineas-sineas yang bersangkutan melalaikan tanggung-jawab moralnya.

Disamping bahwa produksi-produksi murahan ini merusak selera dan tidak mempertinggi mutu film Indonesia dan moral tidak dapat dipertanggung-jawabkan, lama-lama publik tentu akan menjauhkan diri dari produksi nasional dan mencari film impor, yang berarti kehilangan pasaran bagi produksi nasional dan akhirnya kematian.

Bila pada suatu pihak para produser nasional menentang keras pemasukan film-film impor, pada pihak lain mereka berkewajiban untuk membuat film-film yang setidak-tidaknya dapat menyaingi film-film impor, bahkan melebihinya. Konsumen, publik akan selalu memilih barang yang lebih baik dan itu adalah haknya.

You might also like