You are on page 1of 5

KONFLIK PILKADA1)

Oleh:
Usman Yassin, Ir. M.Si*)

LATAR BELAKANG

Dinamika demokrasi di Indonesia mengalami perkembangan yang sangat


pesat. Hal ini terlihat dari beberapa indikator keberhasilan pemilu anggota DPR, DPD,
dan DPRD, serta pemilihan Presiden dan Wapres secara langsung. Hal ini
menggambarkan adanya loncatan besar dalam kehidupan demokrasi.
Perkembangaan terakhir yaitu pemilihan langsung pilkada sejak Juni 2005. Tidak
dipungkiri masih banyak masalah, namun tidak menafikan perkembangan demokrasi
saat ini dan ada harapan lebih baik di masa datang.
Keberhasilan pemilu tidak lepas dari organisasi penyelenggaranya.
Pelaksanaan pemilu secara langsung membutuhkan sebuah organisasi yang
profesional, kredibel dan akuntabel. Jika tidak dilakukan secara profesional, maka
akan sulit terwujud sebuah fair election.
Dengan disyahkanya UU No. 22/2007 tentang Penyelenggara Pemilu, yang
merupakan penyempurnaan dari aturan terdahulu sehingga ada UU tersendiri yang
lebih komprehensif, maka pemilu memiliki harapan lebih baik. Secara substantif
pemilu di Indonesia sudah mengarah pada proses demokrasi yang lebih berkualitas,
tetapi banyaknya kepentingan dan celah dalam peraturan perundangan, masih ada
keberpihakan penyelenggara pemilu bahkan keputusan pihak pengadilan yang
kadang dirasa tidak adil, kondisi ini masih berpotensi menimbulkan konflik.
Untuk mengatasi dan mengkaji adanya potensi konflik dalam pemilu terutama
pilkada, maka perlu dilakukan upaya-upaya untuk mereduksi konflik dengan
melakukan pengkajian, identifikasi, analisis dan solusi pemecahannya sedini mungkin.
Tulisan ini mencoba mengkaji beberapa kendala dalam penyelenggaraan
pemilu terutama sebagai solusi untuk mencegah terjadinya konflik dalam pelaksanaan
pemilu, terutama dalam pilkada secara langsung.

PENYELENGGARA PEMILU
Pemilu secara langsung adalah wujud kedaulatan rakyat guna menghasilkan
pemerintahan demokratis. Penyelenggaraan pemilu secara langsung, umum, bebas,
rahasia, jujur, dan adil dapat terwujud jika dilaksanakan oleh penyelenggara pemilu
yang mempunyai integritas, profesionalitas, dan akuntabilitas.
Dalam Undang-Undang No 22/2007 diatur mengenai penyelenggara pemilu
oleh KPU, yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri. Sifat nasional mencerminkan
bahwa wilayah kerja dan tanggung jawab KPU mencakup seluruh wilayah Republik
Indonesia. Sifat tetap menunjukkan KPU sebagai lembaga yang menjalankan tugas
secara berkesinambungan meski dibatasi masa jabatan tertentu. Sifat mandiri
menegaskan KPU dalam pemilu, bebas dari pengaruh pihak manapun.
KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota sebagai penyelenggara pemilu
yang permanen dalam menjalankan tugas bertanggung jawab sesuai dengan
peraturan perundang-undangan. KPU memberikan laporan pada DPR dan Presiden.
UU No. 22/2007 juga mengatur pembentukan panitia pemilihan yang meliputi PPK,
PPS, KPPS dan PPLN serta KPPSLN yang merupakan penyelenggara pemilu yang
bersifat ad hoc.

1)
Pesan Untuk Calon Anggota KPU Provinsi dan Kabupaten/Kota di Bengkulu
*)
Lektor Kepala pada Universitas Muhammadiyah Bengkulu

1
Dalam pemilu, diperlukan pengawasan untuk menjamin agar pemilu benar-
benar dilaksanakan berdasarkan asas pemilu dan peraturan perundang-undangan.
Untuk mengawasi KPU, UU No 22/2007 mengatur mengenai Badan Pengawas Pemilu
(Bawaslu) yang bersifat tetap. Fungsi pengawasan intern oleh KPU dilengkapi dengan
fungsi pengawasan ekstern yang dilakukan oleh Bawaslu serta Panwaslu Provinsi,
Panwaslu Kabupaten/Kota, Panwaslu Kecamatan, Panwaslu Lapangan, dan
Panwaslu Luar Negeri. Pembentukan Panwaslu tidak dimaksudkan mengurangi
kemandirian dan kewenangan KPU sebagai penyelenggara pemilu.
Adanya KPU yang profesional membutuhkan Sekjen di tingkat pusat dan
sekretariat KPU Provinsi dan sekretariat KPU Kabupaten/Kota di daerah sebagai
lembaga pendukung yang profesional dengan tugas utama membantu teknis
administratif, termasuk pengelolaan anggaran. Untuk membantu lancarnya tugas-
tugas KPU, juga dapat diangkat tenaga ahli yang sesuai dengan kebutuhan dan
berada di bawah koordinasi Sekjen KPU.
Untuk mewujudkan KPU dan Bawaslu yang punya integritas dan kredibilitas
sebagai Penyelenggara Pemilu, disusun dan ditetapkan Kode Etik Penyelenggara
Pemilu. Agar Kode Etik dapat diterapkan, maka dibentuk Dewan Kehormatan KPU,
KPU Provinsi, dan Bawaslu.
Untuk mendukung kelancaran penyelenggaraan pemilu, Undang-Undang No.
22 Tahun 2007 juga mengamanatkan agar Pemerintah dan pemerintah daerah
memberikan bantuan dan fasilitas yang diperlukan oleh KPU dan Bawaslu.

PERMASALAHAN
Dari pengalaman pemilu, baik pemilu anggota DPR, DPD, dan DPRD serta
Presiden dan Wapres, ditambah pilkada, teridentifikasi banyak timbul permasalahan
yang berpotensi konflik. Konflik yang paling tajam justru terjadi pada pilkada.
Munculnya konflik saat pilkada memang sudah diprediksi sebelumnya.
Rentang daerah pemilihan yang pendek dan terbatas memungkinkan lebih mudahnya
terjadi akumulasi perbedaan yang berujung pada intensitas konflik tajam. Di dalam
pilkada, jarak antara pasangan calon dengan pendukungnya sangat dekat. Demikian
juga jarak antara pendukung satu dengan lainnya. Konsekuensinya, emosi mereka
menjadi lebih kuat dan karenanya lebih sulit dikendalikan manakala masing-masing
berusaha memaksakan diri sebagai pemenang.
Selain itu, UU yang mengatur pilkada langsung juga memiliki cela bagi lahirnya
konflik politik yang menjurus ke arah kekerasan. Misalnya, pintu pencalonan di dalam
pilkada hanya melalui partai politik atau gabungan dari partai politik (alternatif calon
independen masih menunggu amandemen terbatas UU 32/2004 tentang Pemerintah
Daerah). Aturan demikian hanya memungkinkan tokoh-tokoh yang dekat dengan
partai politik saja yang bisa menjadi calon. Padahal, di banyak daerah ditemui tokoh-
tokoh lokal yang popular dan dipandang memiliki kualifikasi cukup baik tetapi tidak
berafiliasi kepada partai tertentu.
Jika dilihat dari sisi pendekatan kelembagaan semata, aturan seperti itu
memang tidak bermasalah dan memiliki argumen yang kuat. Partai politik, di dalam
pendekatan demikian, dipandang sebagai instrumen dari masyarakat untuk
memperjuangkan kepentingan-kepentingan dari para konstituennya. Masalahnya,
akhir-akhir ini, tingkat kepercayaan rakyat terhadap partai politik mengalami degradasi,
dan dipandang tidak cukup refresentatif berbuat untuk rakyat, malah melakukan
manipulasi. Partai politik, dalam situasi demikian, tidak bisa lagi mengklaim sebagai
satu-satunya lembaga yang memperjuangkan kepentingan-kepentingan rakyat.
Di sisi lain, dalam melakukan penyaringan terhadap pasangan calon yang akan
diajukan, partai politik tidak jarang melakukannya secara tidak transparan. Partai
politik di dalam situasi demikian, lalu tidak bisa menjalankan peran sebagaimana
dikehendaki para konstituennya.

2
Di dalam Pilkada, partai politik yang seharusnya berperan, acapkali dalam
menetapkan pasangan calon kadang tidak berbanding lurus dengan kehendak para
konstituennya. Dalam beberapa kasus, yang dicalonkan oleh partai bukan saja tokoh
yang selama ini dekat partai, melainkan orang-orang yang membangun patronase
dengan imbalan materi kepada pucuk-pucuk pimpinan partai. Di sini, mekanisme tidak
jalan. Implikasinya, pasangan calon yang diajukan partai politik tidak selalu selaras
dengan keinginan konstituen. Munculnya demonstrasi di sejumlah daerah yang
menolak pasangan calon dari partai tertentu merupakan refpleksi dari realitas ini.
Adanya otoritas partai politik yang besar di dalam memutuskan pasangan
calon sebagai salah satu potensi yang menyulut konflik, akan lebih tajam manakala di
dalam partai politik itu juga terdapat konflik internal berkepanjangan. Di dalam
menghadapi masalah seperti ini yang menjadi rujukan adalah kepengurusan partai
yang sudah terdaftar di KPU Provinsi atau Kabupaten/Kota. Hanya saja, masalahnya
konflik internal partai di daerah acapkali berkaitan dengan konflik internal di DPP.
Kadang, pengelola partai yang terlibat di dalam konflik itu, dalam banyak
kasus, sama-sama memiliki relasi kuat dengan akar rumput. Di dalam kondisi
demikian, masing-masing elite politik yang berkonflik berusaha menggeret massa
pendukungnya, sebagai upaya show of forces bahwa mereka memiliki pendukung
yang kuat. Implikasinya, konflik menjadi lebih terbuka lalu lebih sulit dihindarkan,
karena sama-sama memperalat massa akar rumput yang tidak kecil. Dalam hal ini
para elit justru menjadi penstimulasi konflik.
Di samping itu, kondisi masyarakat Indonesia, termasuk di daerah yang
majemuk, baik secara vertikal maupun horisontal. Sejarah mencatat bahwa konflik-
konflik sosial dan politik yang pernah terjadi, tidak lepas dari kemajemukan seperti ini.
Undang-undang nomor 22/ 2007 tentang penyelenggara pemilu telah berusaha
mereduksi semua kelemahan yang terdapat pada pelaksanaan pemilu, akan tetapi
potensi konflik-konflik masih tetap muncul. Hal ni menggambarkan betapa
sesungguhnya peluang konflik masih saja akan terjadi, untuk itu independensi,
kompetensi, integritas, dan profesionalisme penyelenggara pemilu menjadi kunci
utama berhasilnya pelaksanaan pemilihan umum secara demokratis.

PEMBAHASAN
Berangkat dari realitas diatas paling tidak terdapat lima sumber potensial yang
dapat memicu konflik di dalam Pilkada. Pertama adalah konflik yang bersumber dari
mobilisasi atas nama etnik, agama, daerah, dan darah. Kedua, konflik bersumber dari
black campaign antar pasangan calon. Ketiga, konflik bersumber dari premanisme
politik dan pemaksaan kehendak. Keempat, konflik bersumber pada manipulasi dan
kecurangan penghitungan suara hasil Pilkada. Terakhir adalah konflik bersumber dari
perbedaan penafsiran terhadap aturan main penyelenggaraan Pilkada.
Secara politik, munculnya konflik memang wajar saja terjadi. Di setiap usaha
memperebutkan dan mempertahankan kekuasaan tidak lepas dari konflik. Adanya
pilkada secara langsung merupakan mekanisme untuk mengelola konflik agar tidak
menjurus kepada aksi kekerasan. Karena itu, masih menguatnya intensitas konflik
yang disertai aksi kekerasan, memperlihatkan masih belum kuatnya kelembagaan di
dalam penyelenggaraan pemilu secara langsung. Terdapatnya konflik yang menjurus
pada munculnya aksi kekerasan itu juga tidak lepas dari adanya budaya politik
masyarakat yang masih bernuansa konfliktual daripada integratif. Dalam situasi
seperti ini, intensitas perilaku konflik itu cenderung meningkat bukan semata-mata
karena aspek kelembagaan, melainkan karena pilihan-pilihan yang berbeda.
Manakala pilihan itu didasarkan pada kutub ‘ kit
a’dan ‘ mereka’
, dan di sertai
ketidakpercayaan kepada lembaga-lembaga penengah, benturan-benturan antara
kelompok tidak bisa lagi dielakkan. Hanya saja, arus massa yang mengarah pada aksi
kekerasan itu juga tidak lepas dari elite politik yang memiliki kepentingan langsung di

3
dalam Pilkada. Di Kabupaten Kaur, misalnya, munculnya aksi kekerasan itu tidak
lepas dari sikap yang tidak mau menerima kekalahan serta ketidakkepercayaan pada
lembaga penengah (termasuk di dalamnya adalah MA atau PT) dari pasangan calon.
Sejak Juni 2005 hingga Juni 2007, telah dilaksanakan pilkada di 285 dari 440
kabupaten/kota dan di 15 dari 33 provinsi di Indonesia. Dari identifikasi empiris
penyelenggaraan pilkada, pemerintah menyimpulkan paling tidak ada tujuh potensi
penyebab konflik pilkada, yaitu: (1) tidak akuratnya data pemilih, (2) persyaratan
administratif pasangan calon yang tidak lengkap, (3) permasalahan internal parpol
terhadap penetapan pasangan calon, (4) adanya kecenderungan KPU daerah tertentu
tidak independen, tidak transparan dan memberikan perlakuan berbeda terhadap
pasangan calon, (5) adanya dugaan money politic, (6) pelanggaran terhadap rambu-
rampu penyelenggaraan Pilkada, dan (7) penghitungan suara yang tidak akurat.
Ketujuh hal ini perlu diantisipasi agar pilkada mampu menghasilkan pemimpin yang
dipilih secara demokratis. Terakhir pada kasus Sulawesi Selatan putusan lembaga
peradilan juga berpotensi menyebab timbulnya konflik.
Salah satu penyebab konflik politik dapat berkembang menjadi anarkis adalah
jabatan kepala daerah sebagai pimpinan birokrasi di daerah tersebut menjanjikan
keuntungan ekonomi dan politik yang besar bagi mereka yang memenangi kontes
pilkada. Institusi birokrasi selama ini dipandang sebagai tempat amat strategis bagi
para kepala daerah untuk membangun konsesi ekonomi-politik dan praktik-praktik
KKN bernilai uang cukup besar bagi para aparatus daerah. Maka, tidak mengherankan
apabila momentum pilkada disambut antusias para politisi, dengan para donatur di
belakangnya yang berani mempertaruhkan jumlah uang cukup besar untuk
memenangi ajang pilkada. Ketika tidak terpilih, tidak mengherankan mereka akan
mendorong massa pendukungnya melakukan protes yang menyulut konflik.
Antisipasi terhadap konflik pilkada juga harus memerhatikan reformasi birokrasi
sebagai salah satu langkah secara gradual dalam pengelolaan konflik. Jika
mekanisme hukum ditegakkan dan penindakan terhadap kasus-kasus KKN dilakukan
untuk melaksanakan good governance, secara perlahan ajang pilkada tidak lagi
diperebutkan sebagai sarana mendapatkan keuntungan materi dan politik bagi para
aktornya, namun sebagai sarana melayani publik serta mensejahterakan rakyat.
Maka, hanya kalangan yang berkomitmen tinggi yang akan memasuki arena pilkada.
Sementara kekalahan yang dialami, karena tidak menyertakan jumlah materi yang
besar, tidak akan menghasilkan konflik berkepanjangan.
Antisipasi terhadap konflik yang destruktif dalam pilkada harus
mempertimbangkan faktor penguatan masyarakat sipil dan modal sosial berupa
kepercayaan antara warga dan elemen-elemen masyarakat sebagai salah satu
dimensi pengelolaan konflik. Pada konteks ini, tersedianya modal sosial kultural
berupa kepercayaan dari setiap warga dan terbukanya ruang dialog akan berguna
untuk mentransformasikan konflik politik.
Kemampuan elemen masyarakat membuka saluran-saluran komunikasi untuk
melihat setiap persoalan yang muncul berguna untuk mengatalisasi konflik. Ketika
persoalan muncul, pertimbangan rasional dan jernih berbasis social trust akan
mereduksi cara-cara kekerasan. Social trust antara warga dan keterbukaan ruang
publik akan membuat warga semakin peka terhadap lingkungan sosial maupun
provokasi dari luar atau elite yang akan mengguncang stabilitas di wilayah tersebut.
Ketika pengelolaan konflik telah dipertimbangkan matang dengan melibatkan
komunikasi antara elemen masyarakat sipil, politisi, pemerintahan, dan pelaku
ekonomi, perhelatan pilkada akan berlangsung dengan damai dan dinamis tanpa
mengorbankan stabilitas politik di daerah.
Tujuan utama penyelenggara pemilu adalah mengantar pemilu yang bebas
dan adil kepada para pemilih. Untuk itu, KPU harus melakukan semua fungsinya
dengan dengan tidak berpihak dan secara efektif harus menyakinkan bahwa integritas

4
setiap proses atau tahapan pemilu terlindungi dari oknum-oknum yang tidak kompeten
dan yang ingin bertindak curang. Kegagalan memenuhi tugas yang paling sederhana
pun tidak hanya mempengaruhi kualitas pelayanan, tapi juga akan menimbulkan
persepsi publik tentang kompetensi dan ketidakberpihakan dari aministrator pemilu.
Penyelenggaraan pemilu yang bebas, adil, dan ideal untuk melaksanakan
pemilu harus memperhatikan hal berikut: Pertama, adanya kemandirian dan
ketidakberpihakan. KPU tidak boleh menjadi alat yang dikendalikan oleh seseorang,
penguasa atau partai politik tertentu. KPU harus berfungsi tanpa bias atau
kecenderungan politis. Adanya dugaan kebohongan menyebabkan persepsi publik
akan bias atau dugaan adanya intervensi akan berdampak langsung tidak hanya pada
kredibilitas lembaga yang berwenang, tetapi juga pada keseluruhan proses pemilu.
Kedua, Efisiensi. Efisiensi adalah bagian yang tidak dapat dipisahkan dari
keseluruhan kredibilitas proses pemilu. Pada saat dihadapkan dengan dugaan-
dugaan dan contoh-contoh ketidakmampuan, sulit bagi lembaga pemilu untuk
mempertahankan kredibilitasnya. Efisiensi menjadi sangat penting dalam proses
pemilu ketika terjadi masalah di tingkat teknis dan masalah-masalah yang dapat
menstimulasi kericuhan dan pelanggaran aturan. Berbagai faktor mempengaruhi
efisiensi, misalnya staf yang kompeten, profesionalisme, sumber daya, dan yang
terpenting adalah waktu yang cukup untuk mengorganisir pemilu.
Ketiga, Profesionalisme. Pemilihan umum juga memiliki arti penting dalam
fungsi demokrasi dimana anggota KPU harus memiliki pengetahuan yang mendalam
mengenai prosedur pemilihan umum dan filosofi pemilihan umum yang bebas dan adil,
diberi wewenang untuk melaksanakan dan mengatur proses tersebut.
Keempat, Kompeten, tidak berpihak dan penanganan yang cepat terhadap
pertikaian yang ada. Ketetapan undang-undang harus dijabarkan pada hal yang
sangat operasional sehingga setiap anggota KPU dapat mengatasi setiap
permasalahan yang muncul dalam memproses dan menengahi keluhan atas
pelaksanaan pemilu, seperti dugaan kecurangan ataupun konflik antar kelompok atau
dalam regulasi yang bersifat memaksa sekalipun. Partai-partai politik, dan masyarakat
pada umumnya berkeinginan agar keluhan mereka didengar dan ditindak lanjuti
dengan cepat dan efisien oleh KPU atau lembaga terkait. Kredibilitas administrasi
KPU, pada banyak kesempatan, tergantung pada kemampuan untuk mengurusi hal-
hal yang berkaitan dengan keluhan-keluhan dalam pemilu. Berhadapan dengan
kekhawatiran dan kecurigaan yang biasanya hadir pada masa transisi, KPU harus
memiliki sumber daya dan kompeten memahami aturan untuk dapat memenuhi
harapan masyarakat dalam memastikan terselenggaranya pemilu yang bebas dan
adil.
Kelima, Transparansi. Keseluruhan kredibilitas dari proses pemilihan umum
secara substansial tergantung pada semua yang berkepentingan, baik KPU,
Panwaslu, Partai Politik, pemerintah maupun masyarakat untuk ikut terlibat dalam
formasi dan fungsi dari struktur dan proses pemilu. Dalam hal ini, komunikasi dan
kerjasama semua stakeholder: KPU, panwaslu, partai politik dan institusi-institusi
dalam masyarakat harus dibangun atas dasar collective action untuk kepentingan
bersama.
KESIMPULAN
Dari pembahasan yang dilakukan diatas menunjukkan bahwa peraturan
perundang-undangan memang menjadi sebuah kebutuhan mendasar sebagai acuan
dan regulasi penyelenggara pemilu (KPU) melakukan tugas-tugasnya untuk mengawal
suara rakyat agar sesuai dengan tujuan pelaksanaan Pemilu itu sendiri. Hal ini sangat
diperlukan karena sebagai salah satu bentuk perwujudan kedaulatan rakyat. Tanpa
organisasi penyelenggara pemilu yang independen, kredibel, Akuntabel dan
profesional menjadi mustahil untuk mencapai cita-cita demokrasi mewujudkan
kedaulatan rakyat yang sesungguhnya, tetapi malah memicu terjadinya konflik.

You might also like