You are on page 1of 12

Modul 7 GAP ANALYSIS Konsep Gap Analysis Pemerintah Daerah berperan sebagai penyedia layanan publik b agi masyarakat

di daerahnya. Peningkatan kuantitas dan kualitas layanan publik t ersebut merupakan tuntutan dari semakin besarnya kewenangan dan desentralisasi f iskal dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah. Oleh karena itu, diperluka n pengukuran kinerja Pemerintah Daerah dalam penyediaan layanan publik tersebut. Gap analysis merupakan salah satu alat yang dapat digunakan untuk mengevaluasi kinerja Pemerintah Daerah, khususnya dalam upaya penyediaan pelayanan publik. Ha sil analisis tersebut dapat menjadi input yang berguna bagi perencanaan dan pene ntuan prioritas anggaran di masa yang akan datang. Selain itu, gap analysis atau analisis kesenjangan juga merupakan salah satu langkah yang sangat penting dala m tahapan perencanaan maupun tahapan evaluasi kinerja. Metode ini merupakan sala h satu metode yang umum digunakan dalam pengelolaan manajemen internal suatu lem baga. Secara harafiah kata gap mengindikasikan adanya suatu perbedaan (disparity) antara satu hal dengan hal lainnya. Gap analysis sering digunakan di bidang mana jemen dan menjadi salah satu alat yang digunakan untuk mengukur kualitas pelayan an (quality of services). Bahkan, pendekatan ini paling sering digunakan di Amer ika Serikat untuk memonitor kualitas pelayanan. Model yang dikembangkan oleh Par asuraman, Zeithaml dan Berry (1985) ini memiliki lima gap (kesenjangan), yaitu: 1. kesenjangan antara persepsi manajemen atas ekspektasi konsumen dan ekspektasi konsumen akan pelayanan yang seharusnya diberikan oleh perusahaan 2. kesenjanga n antara persepsi manajemen atas ekspektasi konsumen dan penjabaran persepsi ter sebut menjadi spesifikasi kualitas pelayanan atau standar pelayanan 3. kesenjang an antara standar pelayanan tersebut dan pelayanan yang diberikan 4. kesenjangan antara pelayanan yang diberikan dengan informasi eksternal yang diberikan kepad a konsumen atau pelayanan yang dijanjikan kepada konsumen 5. kesenjangan antara tingkat pelayanan yang diharapkan oleh konsumen dengan kinerja pelayanan aktual. Kesenjangan 1 sampai kesenjangan 4 merupakan potensi kegagalan di pihak penyedi a jasa, sementara kesenjangan 5 potensial terjadi di pihak konsumen. Di bidang b isnis dan manajemen, gap analysis diartikan sebagai suatu metode pengukuran bisn is yang memudahkan perusahaan untuk membandingkan kinerja aktual dengan kinerja potensialnya. Dengan demikian, perusahaan dapat mengetahui sektor, bidang, atau kinerja yang sebaiknya diperbaiki atau ditingkatkan. Gap analysis bermanfaat unt uk mengetahui kondisi terkini dan tindakan apa yang akan dilakukan di masa yang akan datang. Hubungan antara perusahaan sebagai supplier barang dan jasa dengan konsumen yang menggunakan barang dan jasa tersebut dapat membantu dalam memahami konsep gap analysis. Gap pada Gambar 1 didefinisikan sebagai perbedaan antara h arapan atau keinginan konsumen dengan pelayanan yang mereka terima. 84

Gambar 1 Model Expected dan Perceived Service Quality Sumber: Parasuraman Zeithaml dan Berry (1988). Boulding et al. (1993) menganalisis kualitas pelayanan dengan menggunakan gap an alysis. Kesenjangan kualitas pelayanan diartikan sebagai kesenjangan antara pela yanan yang seharusnya diberikan dan persepsi konsumen atas pelayanan aktual yang diberikan. Semakin kecil kesenjangan tersebut, semakin baik kualitas pelayanan. Gambar 2 Pengukuran Kinerja Level Kinerja Standar gap Kinerja Aktual Waktu Dari berbagai definisi mengenai gap analysis, dapat diambil kesimpulan bah wa secara umum, gap analysis dapat didefinisikan sebagai suatu metode atau alat yang digunakan untuk mengetahui tingkat kinerja suatu lembaga atau institusi. De ngan kata lain, gap analysis merupakan suatu metode yang digunakan untuk mengeta hui kinerja dari suatu sistem yang sedang berjalan dengan sistem standar. Dalam kondisi umum, kinerja suatu institusi dapat tercermin dalam sistem operational m aupun strategi yang digunakan oleh institusi tersebut. 85

Gap akan bernilai (+) positif bila nilai aktual lebih besar dari nilai target, s ebaliknya bernilai (-) negatif apabila nilai target lebih besar dari nilai aktua l. Apabila nilai target semakin besar dan nilai aktual semakin kecil maka akan d iperoleh gap yang semakin melebar. Secara sederhana pengukuran kinerja dengan me nggunakan pendekatan ini digambarkan pada Gambar 2. Secara singkat, gap analysis bermanfaat untuk: 1. menilai seberapa besar kesenjangan antara kinerja aktual d engan suatu standar kinerja yang diharapkan. 2. mengetahui peningkatan kinerja y ang diperlukan untuk menutup kesenjangan tersebut, dan 3. menjadi salah satu das ar pengambilan keputusan terkait prioritas waktu dan biaya yang dibutuhkan untuk memenuhi standar pelayanan yang telah ditetapkan. Gap Analysis dalam Perencanaan Pembangunan Daerah Gap analysis tidak hanya dapat diterapkan dalam manajemen internal suatu lembaga akan tetapi dapat juga ditera pkan dalam evaluasi kinerja pemerintah daerah. Gap Analysis merupakan pendekatan bottom-up yang dapat memberikan input berharga bagi Pemerintah Daerah terutama dalam perbaikan dan peningkatan kinerja pelayanan kepada masyarakat. Penerapan S PM sangat berkaitan dengan standar pelayanan publik yang diberikan pemerintah pa da Masyarakat. Dalam SPM, gap analysis berfungsi untuk melihat kesenjangan yang terjadi antara kinerja pelayanan Pemerintah Daerah dengan SPM yang telah ditetap kan. Berkaitan dengan hal tersebut maka gap analysis dapat digunakan untuk mengu kur tingkat kepuasan masyarakat terhadap pelayanan publik yang diberikan oleh pe merintah. Semakin kecil gap yang terjadi antara tingkat kepuasan masyarakat deng an pelayanan pemerintah maka dapat disimpulkan bahwa pemerintah telah memberikan pelayanan publik yang memenuhi standar. Apabila hasil yang diperoleh menunjukka n hal yang sebaliknya maka pemerintah harus menetapkan target waktu jangka waktu usaha peningkatkan kualitas pelayanan. Kualitas Pelayanan Publik Kualitas pelayanan pemerintah terhadap masyarakat menj adi isu yang penting untuk diperhatikan berkaitan dengan penerapan otonomi daera h. Pelaksanaan Otonomi Daerah yang telah digulirkan oleh pemerintah sejak tahun 2001 membawa perubahan dalam pelaksanaan pemerintahan di daerah. Salah satu peru bahan terdapatnya pemberian wewenang yang lebih luas dalam penyelenggaraan beber apa bidang pemerintahan. Seiring dengan bertambah luasnya kewenangan ini, maka a parat birokrasi pemerintahan di daerah dituntut dapat mengelola dan menyelenggar aan pelayanan publik dengan lebih baik sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Hingg a saat ini, banyak terdapat terdapat kekurangan dan kelemahan pelayanan publik y ang diberikan antara lain adalah pelayanan yang sulit untuk diakses, prosedur pe layanan yang berbelit-belit, biaya yang tidak jelas serta terjadinya praktik pun gutan liar. Hal tersebut yang merupakan indikator rendahnya kualitas pelayanan p ublik di Indonesia. Selain hal-hal tersebut, terdapat kecenderungan ketidakadila n dalam proses pelayanan publik terhadap masyarakat miskin. Masyarakat miskin ce nderung tidak mempunyai akses terhadap pelayanan publik meskipun pekayanan publi k yang diberikan tersebut tidak dipungut biaya atau gratis. Sebaliknya masyaraka t yang tergolong berada atau mampu mempunyai akses terhadap semua pelayanan publ ik. Kesenjangan yang lebar tersebut apabila tidak segera teratasi akan menimbulk an permasalahan dalam berbangsa dan bernegara. Terdapat permasalahan lain terkai t dengan penyerahan kewenangan kepada daerah. Terdapat kecenderungan di berbagai instansi pemerintah pusat yang enggan menyerahkan kewenangan yang lebih besar k epada daerah. Hal tersebut berakibat pada ketidakefektifan, ketidakefisienan pel ayanan publik, bahkan tidak menutup kemungkinan unit-unit pelayanan 86

masyarakat tidak memeiliki responsibilitas, responsivitas dan tidak representati f sesuai dengan keputusan masyarakat. Contoh yang nyata adalah kurang memuaskann ya pelayanan rumah sakit negeri di bandingkan pelayanan rumah sakit swasta. Flyn n (1990) mengemukakan bahwa pelayanan publik yang dikelola pemerintah secara her arkhis cenderung bercirikan over bureaucratic, bloated, wasteful, dan under perf orming.1 Banyaknya penyimpangan yang terjadi tersebut diakibatkan karena paradig ma aparatur negara yang masih menempatkan dirinya pada posisi dilayani bukan mel ayani. Padahal pemerintah seharusnya pada posisi melayani bukan dilayani. Untuk memperoleh pelayanan publik yang berkualitas, sepatutnyalah aparat pemerintah me rubah paradigma yang kurang tepat tersebut. Perubahan pola paradigma tersebut da pat dilakukan dengan menggunakan reformasi paradigma atau penggeseran pola penye lenggaraan pelayanan publik dari yang semula berorientasi pemerintah sebagai pen yedia menjadi pelayanan yang berorientasi kepada kebutuhan masyarakat sebagai pe ngguna. Dengan menggunakan pola tersebut maka perbaikan pelayan publik dapat dil akukan serta dapat menjamin partisipasi masyarakat dalam peningkatan kualitas pe layanan publik. Dalam era otonomi daerah saat ini,pelayanan publik harus menjadi lebih responsif terhadap kepentingan publik, yaitu pelayanan yang lebih memberi kan fokus pada pengelolaan yang berorientasi kepuasan pelanggan (customer-driven government). Pengelolaan customerdriven government mempunyai beberapa ciri-ciri khusus, antara lain: 1. terfokus pada fungsi pengaturan dengan berbagai kebijak an yang memfasilitasi berkembangnya kondisi kondusif bagi kegiatan pelayanan kep ada masyarakat, 2. terfokus pada pemberdayaan masyarakat sehingga masyarakat mem punyai rasa memiliki yang tinggi terhadap fasilitas-fasilitas pelayanan publik, 3. Adanya sistem kompetisi dalam hal penyediaan pelayanan publik tertentu sehing ga masyarakat memperoleh pelayanan yang berkualitas, 4. terfokus pada pencapaian visi, misi, tujuan dan sasaran yang mempunyai orientasi pada hasil (outcomes) s esuai dengan masukan, 5. mengutamakan keinginan masyarakat, 6. adanya akses kepa da masyarakat serta resposif terhadap pendapat masyarakat, 7. mengutamakan antis ipasi terhadap permasalahan pelayanan yang diberikan, 8. mengutamakan desentrali sasi pelayanan publik, 9. penerapan sistem pasar dalam memberikan pelayanan. Men urut hasil survai yang dilakukan UGM pada tahun 2002, secara umum terdapat penin gkatan kualitas pelayanan publik setelah diberlakukannya otonomi daerah namun, d ilihat dari sisi efisiensi dan efektivitas, responsivitas, kesamaan perlakuan (t idak diskriminatif) masih jauh dari yang diharapkan.2 Selain itu, pelayanan publ ik masih memiliki berbagai kelemahan, antara lain (Mohamad, 2003): 1. Kurang res ponsif. Kondisi ini terjadi pada hampir semua tingkatan unsur pelayanan, mulai p ada tingkatan petugas pelayanan (front line) sampai dengan tingkatan penanggungj awab instansi. Respon terhadap berbagai keluhan, aspirasi, maupun harapan masyar akat seringkali lambat atau bahkan diabaikan sama sekali. 2. Kurang informatif. Berbagai informasi yang seharusnya disampaikan kepada masyarakat, lambat atau ba hkan tidak sampai kepada masyarakat. 3. Kurang accessible. Berbagai unit pelaksa na pelayanan terletak jauh dari jangkauan masyarakat, sehingga menyulitkan bagi mereka yang memerlukan pelayanan tersebut. 4. Kurang koordinasi. Berbagai unit p elayanan yang terkait satu dengan lainnya sangat kurang berkoordinasi. Akibatnya , sering terjadi tumpang tindih ataupun pertentangan kebijakan antara satu insta nsi pelayanan dengan instansi pelayanan lain yang terkait. 1 2 http://www.goodgovernance-bappenas.go.id/konsep_files/makalah%20pelayanan%20publ ik.htm ibid. 87

5. Birokratis. Pelayanan (khususnya pelayanan perijinan) pada umumnya dilakukan dengan melalui proses yang terdiri dari berbagai level, sehingga menyebabkan pen yelesaian pelayanan yang terlalu lama. Dalam kaitan dengan penyelesaian masalah pelayanan, kemungkinan staf pelayanan (front line staff) untuk dapat menyelesaik an masalah sangat kecil, dan di lain pihak kemungkinan masyarakat untuk bertemu dengan penanggungjawab pelayanan, dalam rangka menyelesaikan masalah yang terjad i ketika pelayanan diberikan, juga sangat sulit. Akibatnya, berbagai masalah pel ayanan memerlukan waktu yang lama untuk diselesaikan. 6. Kurang mau mendengar ke luhan, saran, dan aspirasi masyarakat. Pada umumnya aparat pelayanan kurang memi liki kemauan untuk mendengar keluhan/saran/aspirasi dari masyarakat. Akibatnya, pelayanan dilaksanakan dengan apa adanya, tanpa ada perbaikan dari waktu ke wakt u. 7. Inefisien. Berbagai persyaratan yang diperlukan (khususnya dalam pelayanan perijinan) seringkali tidak relevan dengan pelayanan yang diberikan. Sementara itu, dari sisi kelembagaan, kelemahan utama sistem pelayanan publik adalah terle tak pada disain organisasi yang tidak dirancang khusus dalam rangka pemberian pe layanan kepada masyarakat. Hal tersebut mengakibatkan pelayanan yang diberikan p ehuh dengan birokrasi yang berbelit-belit serta tidak terkoordinasi. Terdapat be berapa kelemahan mendasar pelayan publik oleh pemerintah antara lain (Suprijadi, 2004): 1. Kesulitan pengukuran output maupun kualitas pelayanan yang diberikan oleh pemerintah. 2. Pelayanan pemerintah tidak mengenal bottom line. Bottom line m engandung maksud bahwa seburuk apapun kinerjanya, pelayanan pemerintah tidak men genal istilah bangkrut. 3. Organisasi pelayanan publik oleh pemerintah cenderung mengadapi permasalahan internalities. Hal ini beberbeda dengan permasalahan yan g mendera organisasi yang bergerak dengan mekanisme pasar yang cenderung mengala mi permasalahan eksternalities. Internalities. Mengandung arti bahwa organisasi pemerintah sangat sulit mencegah pengaruh nilai-nilai dan kepentingan para birok rat terhadap kepentingan umum masyarakat yang seharusnya dilayani. 4. Sebab lain yang mendasari kelemahan pelayanan publik adalah karena sebagian besar peleyana n yang diperikan oleh pemerintah bersifat monopoli yang tidak menghadapi permasa lahan persaingan pasar. Penerapan Gap Analysis dalam Mengukur Kualitas Layanan Publik Gap Analysis dapat digunakan untuk mengetahui seberapa jauh perkembangan yang telah dicapai pemeri ntah serta untuk mengidentifikasi sektor-sektor yang memerlukan perhatian pemeri ntah. Dengan demikian, Pemerintah Daerah dapat meningkatkan kualitas pelayanan p ublik, menentukan arah pembangunan di masa datang, dan mengestimasi kebutuhan bi aya yang diperlukan untuk mencapai standar pelayanan yang telah ditetapkan. Dala m melakukan gap analysis, terdapat beberapa definisi operasional atau indikator yang dapat menjadi ukuran yang perlu diperhatikan, yaitu: 1. Dimensi fisik (tang ibility) mengacu kepada performa petugas, keadaan sarana dan prasarana dan outpu t yang dihasilkan. Hal ini dapat dilihat dari kualitas pelayanan yang dilihat da ri sarana fisik yang kasat mata. Indikator-indikator yang digunakan biasanya ada lah sarana parkir, ruang tunggu, jumlah pegawai, media informasi pengurusan, med ia informasi keluhan, dan jarak ke tempat layanan. 2. Dimensi ketepatan (reliabi lity) yang mengacu pada aspek waktu, yang digunakan untuk mengukur ketepatan pro ses penyelesaian pekerjaan dengan waktu yang telah ditetapkan. Pelayanan dapat d ilihat dari kualitas pelayanan yang dilihat dari sisi kemampuan dan kehandalan d alam menyediakan layanan yang terpercaya, meliputi proses waktu penyelesaian lay anan dan proses waktu pelayanan keluhan. 88

3. Dimensi keterlibatan (responsiveness) yang mengacu kepada peran serta, dapat digunakan untuk mengukur tingkat keterlibatan petugas dalam proses pelayanan ter hadap masyarakat. 4. Dimensi keterjaminan (assurance) merupakan kualitas pelayan an dilihat dari sisi kemampuan petugas dalam meyakinkan kepercayaan masyarakat. Dimensi yang meliputi kecakapan, keramahan dan kepercayaan dan keamanan ini dapa t digunakan untuk mengukur performa petugas dalam memberikan rasa percaya dan ra sa aman serta kepuasan kepada masyarakat. Adapun indikator-indikatornya adalah d engan adanya kejelasan mengenai mekanisme layanan dan kejelasan mengenai tarif l ayanan. 5. Dimensi empati (empathy) yang meliputi kemampuan komunikasi dan ketan ggapan dapat digunakan untuk mengukur sikap dan motivasi petugas dalam memberika n pelayanan. Dimensi ini merupakan kualitas pelayanan yang diberikan berupa sika p tegas tetapi penuh perhatian terhadap masyarakat. Dalam konteks ini, indikator yang dilihat adalah adanya sopan santun petugas dan bantuan khusus dari petugas selama proses pelayanan berlangsung. Cara-cara tersebut di atas harus ditunjang dengan dengan lima aspek utama, yaitu prosedur, persyaratan pelayanan, sarana d an prasyarana yang dibutuhkan, waktu dan biaya, dan pengaduan keluhan (Parasurar man et al., 1985). Hal-hal tersebut perlu diperhatikan oleh penyedia pelayanan p ublik untuk memperoleh kualitas yang baik. Bentuk dan Perhitungan Gap Analysis Terdapat beberapa bentuk gap analysis yang d apat digunakan untuk mengukur perkembangan pembangunan khususnya pembangunan di daerah. Bentuk gap analysis tersebut berbeda-beda, tergantung dari penerapan dan fungsinya. Pemerintah Daerah dapat mengadopsi model lima kesenjangan yang dikem bangkan oleh Parasuraman, Zeithaml dan Berry (1985) dengan melakukan penyesuaian . Dalam konsteks peyediaan layanan publik, Pemerintah Daerah bertindak sebagai p erusahaan, sementara masyarakat adalah konsumen produk (layanan). Dengan demikia n, model kesenjangan Parasuraman, Zeithaml, dan Berry (1985) dimodifikasi menjad i: 1. kesenjangan antara persepsi Pemerintah Daerah atas ekspektasi masyarakat d aerah dan ekspektasi masyarakat akan pelayanan yang diberikan oleh Pemerintah Da erah 2. kesenjangan antara persepsi Pemerintah Daerah atas ekspektasi masyarakat daerah dan penjabaran persepsi tersebut menjadi spesifikasi kualitas pelayanan atau standar pelayanan (dalam hal ini, Standar Pelayanan Minimal merupakan stand ar yang paling relefan) 3. kesenjangan antara standar pelayanan tersebut dan pel ayanan yang diberikan oleh Pemerintah Daerah 4. kesenjangan antara pelayanan yan g diberikan dengan informasi eksternal atau pelayanan yang dijanjikan oleh Pemer intah Daerah kepada masyarakat daerah 5. kesenjangan antara tingkat pelayanan ya ng diharapkan oleh masyarakat daerah dengan kinerja pelayanan aktual yang diberi kan oleh Pemerintah Daerah. Dalam melakukan gap analysis, terdapat beberapa lang kah utama yang perlu dilakukan sebagai berikut. 1. Identifikasi komponen pelayan an yang akan dianalisis. Pelayanan yang akan dianalisis dapat berupa pelayanan s ecara umum ataupun pelayanan tertentu, misalnya pelayanan di bidang pendidikan a tau kesehatan, atau pelayanan yang lebih spesifik. 2. Penentuan standar pelayana n Standar pelayanan dapat berupa standar pelayanan formal maupun informal. Stand ar pelayanan formal adalah standar pelayanan yang tertulis, jelas, dan dikomunik asikan kepada seluruh staf pemberi layanan publik. Sementara itu, standar pelaya nan informal 89

adalah standar pelayanan tidak tertulis dan diasumsikan telah dimengerti oleh se luruh staf Pemerintah Daerah (Padmodimuljo, 2003a). Dalam kaitannya dengan forma litas penyusunan standar pelayanan, terdapat beberapa faktor yang dapat menyebab kan sulitnya menyusun standar pelayanan. Faktor-faktor tersebut adalah komitmen Pemerintah Daerah terhadap kualitas pelayanan (commitment to service quality), p enentuan tujuan (goal setting), standarisasi tugas (task standardization), dan p ersepsi terhadap kelayakan (perception of feasibility). Hasil studi Padmodimuljo (2003a) menunjukkan bahwa faktor yang paling mempengaruhi formalitas penyusunan standar pelayanan adalah goal setting. Oleh karena itu, perlu definisi tujuan p elayanan umum yang diberikan oleh Pemerintah Daerah secara terukur, jelas, dan s pesifik. Informasi dan sosialisasi kepada masyarakat juga penting untuk mencegah adanya persepsi mengenai tujuan ini sehingga hasil gap analysis tidak memberika n kesimpulan dan arah yang keliru (misleading). 3. Penyebaran kuesioner atau waw ancara terfokus terhadap masyarakat dan Pemerintah Daerah yang terkait dengan pe nyediaan pelayanan yang dimaksud. Isi kuesioner dan wawancara disesuaikan dengan desain gap analysis yang akan dilakukan. Pertanyaan kuesioner dan wawancara men cakup aspek dan dimensi yang akan diukur. Dimensi pelayanan yang telah dijelaska n di atas adalah dimensi fisik, dimensi keterlibatan, dimensi ketepatan, dimensi keterjaminan, dan dimensi empati. Untuk memudahkan pengukuran secara kuantitati f, maka setiap dimensi yang dinilai diberi skala atau skor. 4. Analisis Data den gan menggunakan statistik deskriptif a. Perhitungan rata-rata skor untuk setiap pasangan faktor yang sedang dikalkulasi kesenjangannya. Sebagai contoh, apabila sedang menghitung kesenjangan antara tingkat pelayanan yang diharapkan oleh masy arakat daerah dengan kinerja pelayanan aktual yang diberikan oleh Pemerintah Dae rah, maka dilakukan perhitungan rata-rata tingkat pelayanan yang diharapkan oleh masyarakat (expected service) dan perhitungan rata-rata untuk kinerja pelayanan aktual yang diberikan Pemerintah Daerah atau yang dirasakan oleh masyarakat (pe rceived service). Perhitungan rata-rata skor dilakukan dengan menggunakan formul a berikut. X= X 1 + X 2 + ..... + X n X = n n (1) keterangan X : Nilai rata-rata X : Variabel yang diukur n: Jumlah observasi Perhitungan tersebut dilakukan untuk masing-masing dimensi y ang telah disebut di atas. b. Perhitungan Kesenjangan untuk Masing-masing Dimens i Untuk contoh kasus di atas, kesenjangan untuk setiap dimensi dihitung sebagai: Kesenjangani (Gi) = Rata-rata expected servicei Rata-rata perceived servicei c. Perhitungan Rata-rata Kesenjangan Untuk mengetahui kesenjangan pelayanan secara umum, maka dilakukan perhitungan rata-rata kesenjangan G sebagai berikut. Apabi la masing-masing dimensi memiliki tingkat kepentingan yang sama (bobot yang sama , maka rata-rata kesenjangan dihitung sesuai dengan Persamaan (1) di atas. (2) 90

Apabila masing-masing dimensi memiliki tingkat kepentingan yang bebeda (bobot ya ng berbeda), maka rata-rata kesenjangan dihitung berdasarkan formula ratarata te rtimbang (weighted average) sebagai berikut.3 G = (wi X i ) keterangan (3) wi : bobot dimensi i X i : rata-rata skor kesenjangan untuk dimensi i d. Analisis Kesenjangan Apabila G > 0, maka kualitas yang diharapkan masyarakat lebih tinggi daripada kualitas pelayanan yang dirasakan masyarakat. Dengan demik ian, Pemerintah Daerah perlu meningkatkan kinerja dan kualitas pelayanan publik. Apabila G < 0, maka kualitas yang diharapkan masyarakat lebih rendah daripada k ualitas pelayanan yang dirasakan masyarakat. Dengan demikian, Pemerintah Daerah dianggap telah memberikan pelayanan yang baik. Apabilia G = 0, maka kualitas yan g diharapkan masyarakat sama dengan kualitas pelayanan yang dirasakan masyarakat . Dengan demikian, Pemerintah Daerah dianggap telah memberikan pelayanan yang ba ik namun tetap perlu ditingkatkan 5. Follow Up Dengan berdasarkan hasil analisis tersebut, Pemerintah Daerah dapat mengetahui kinerja pelayanan publik di daerah nya. Selanjutnya Pemerintah Daerah dapat menyusun kebijakan yang diperlukan untu k menutupi kesenjangan tersebut. Pemerintah Daerah dapat pula menggunakan hasil Gap Analysis sebagai dasar dalam perumusan rencana pembangunan di masa mendatang . Sebagai contoh, apabila Pemerintah Daerah memiliki target untuk menutup kesenj angan tersebut dalam kurun waktu dua tahun, maka hasil analisis tersebut dapat m enjadi dasar alokasi anggaran dan target-target pencapaian jangka pendek, misaln ya penentuan target triwulan. Dengan demikian, secara bertahap Pemerintah Daerah dapat menghilangkan kesenjangan tersebut, memberikan pelayanan publik yang efek tif dan efisien, serta dapat menjalankan fungsi Pemerintah Daerah sebagaimana ya ng diamanatkan oleh Otonomi Daerah. Contoh Penerapan Gap Analysis PT. Pos Indonesia (Posindo) dan PT. TASPEN pada ta hun 2003 masing-masing menggunakan metode gap analysis untuk mengetahui kesenjan gan antara harapan (ekspektasi) konsumen terhadap kualitas pelayanan dan kualita s pelayanan yang diberikan oleh BUMN. Dalam studi tersebut didefinisikan bahwa a pabila kesenjangan bernilai positif maka kualitas pelayanan yang diharapkan oleh konsumen lebih tinggi daripada pelayanan yang dirasakan oleh konsumen. Sebalikn ya, apabila kesenjangan bernilai negatif, maka penyedia jasa dianggap telah mamp u menyediakan pelayanan seperti yang diharapkan oleh konsumen. Rata-rata kualita s pelayanan yang diharapkan konsumen PT. POSINDO pada tahun 2003 relatif tinggi tetapi kualitas pelayanan yang dirasakan ternyata lebih rendah daripada yang dih arapkan. Hal ini mengindikasikan adanya kesenjangan. Kesenjangan yang terbesar t erjadi pada dimensi tangible. Sementara kesenjangan terkecil terjadi pada dimens i empathy. Aspek fisik yang harus diperbaiki adalah kelengkapan informasi, seper ti brosur, papan petunjuk waktu pelayanan dan lain-lain. Kesenjangan yang cukup besar juga terjadi pada dimensi 3 Tingkat kepentingan setiap dimensi berguna untuk mengetahui aspek pelayanan yang paling penting bagi masyarakat. Hal ini juga dapat ditanyakan dalam kuesioner. Dengan demikian, pemberian bobot untuk setiap dimensi akan didasarkan pada ekspe ktasi konsumen. 91

reliability yaitu yang terkait dengan waktu pengiriman sampai di tujuan yang sul it diprediksi, khususnya paket (Padmodimuljo, 2003a). Sementara itu, kualitas pe layanan yang diberikan PT. TASPEN pada tahun 2003 tergolong baik. Hal ini terlih at dari skor kualitas pelayanan yang dirasakan konsumen rata-rata 6,2 dari skala 7,00. Sementara harapan konsumen akan kualitas pelayanan adalah 6,63 atau sedik it di atas pelayanan yang telah mereka rasakan (Padmodimuljo, 2003b). Penggunaan Gap Analysis dalam Pengambilan Keputusan di Bidang Pemerintahan Daerah Lainnya Pemerintah Daerah dapat menggunakan pendekatan Gap Analysis dalam berbagai bidan g pemerintahan di daerah. Dalam konteks penyediaan pelayanan publik, Pemerintah Daerah dapat menggunakan pendekatan gap analysis untuk: 1. membandingkan antara rencana dan realisasi, 2. membandingkan realisasi tahun sekarang dengan realisas i tahun lalu, 3. membandingkan dengan organisasi/daerah lain (benchmarking), Sec ara sederhana, benchmarking dengan menggunakan Gap Anaysis ini dapat dilakukan m isalnya untuk mengetahui kondisi daerah dibandingkan dengan kondisi daerah tetan gga atau rata-rata nasional. Sebagai contoh, Gap Analysis berguna untuk melihat ketertinggalan suatu daerah dibandingkan rata-rata nasional dalam hal tingkat pe rtumbuhan ekonomi, tingkat melek huruf, tingkat kesehatan, tingkat penyerapan te naga kerja, dan tingkat harapan hidup. Data Indeks Pembangunan Manusia (IPM) dap at pula digunakan dalam melakukan Gap Analysis. IPM merupakan suatu alat yang da pat dipergunakan untuk mengukur tingkat keberhasilan pembangunan yang menggunaka n paradigma "Human Centered Development." Terdapat tiga parameter yang digunakan untuk mengukur keberhasilan pembangunan manusia, yaitu: 1. derajat kesehatan da n panjangnya umur, yang ditunjukkan oleh angka harapan hidup (life expectation r ate) 2. pendidikan, yang diukur dari angka melek huruf rata-rata dan lamanya sek olah, dan 3. pendapatan, yang diukur dengan daya beli masyarakat. Badan Pusat St atistik (BPS), Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), dan United Nat ion Development Program (UNDP) telah menerbitkan Human Development Report (HDR) sebanyak dua kali, yaitu pada tahun 2002 dan 2004. Meskipun data IPM dalam kedua HDR tersebut kurang up to date, namun Pemerintah Daerah dapat menganalisis data tersebut dengan menggunakan Gap Analysis. Dengan demikian, daerah dapat mengeta hui posisi relatif daerah terhadap rata-rata nasional maupun terhadap rata-rata regional. Dengan demikian, upaya pelayanan publik pun dapat diarahkan untuk peni ngkatan kualitas kehidupan masyarakat di daerah. Pendekatan gap analysis juga da pat dimodifikasi untuk melihat kinerja anggaran Pemerintah Daerah. Dalam konteks ini, standar yang akan ditentukan dapat dikonstruksi dari indikator kinerja pen ganggaran Pemerintahan Daerah, yaitu input, output, efisiensi, kualitas, dan out come. Hasil gap analysis dapat memberikan rambu-rambu bagi Pemerintah Daerah men genai usaha yang harus dilakukan untuk memperbaiki kualitas pelayanan publik. Le bih jauh, berdasarkan alat ukur kuantitatif yang dilakukan, Pemerintah Daerah da pat membuat perencanaan yang memenuhi tenggat waktu yang ditentukan. Dalam hal i ni, Pemerintah Daerah dapat membuat kerangka realisasi kinerja yang didasarkan p ada skala tertentu. Contoh: Evaluasi Pelayanan Puskesmas Pemerintah Daerah Bekasi melakukan analisis pencapaian kinerja puskesmas dalam menangani pasien demam berdarah. Variabel ya ng diukur meliputi jumlah tenaga kesehatan, 92

jumlah tenaga penyuluh, dan jumlah penderita demam berdarah. Pada tahun 2008, Pe merintah Bekasi memiliki target untuk mengurangi jumlah penderita demam berdarah sebanyak 50 persen dari jumlah penderita di tahun 2003. Dengan demikian, Pemeri ntah Bekasi harus mampu menurunkan jumlah pasien 10 persen per tahun. Berdasarka n hasil analisis yang dilakukan pada tahun 2004 ternyata Bekasi hanya mampu menu runkan jumlah penderita sebanyak 5 persen dari total penderita di tahun 2003. In formasi menunjukkan bahwa jumlah penderita demam berdarah pada tahun 2003 sebany ak 100 orang, sedangkan pada tahun 2004 berkurang menjadi 95 orang. Apabila Peme rintah Bekasi ingin menurunkan penderita demam berdarah menjadi 50 orang pada ta hun 2007, maka gap antara realisasi kinerja puskesmas dengan target yang ditetap kan sebesar 45 persen untuk diselesaikan dalam jangka waktu empat tahun. Berdasa rkan perhitungan tersebut, Pemerintah Bekasi dapat melakukan persiapan mengenai realisasi program kesehatan yang akan dilakukan dalam empat tahun ke depan. Gap analysis ini akan mempermudah Pemerintah Bekasi dalam merencanakan tahapan progr am yang realistis. 93

Referensi Utama Boulding, W. et al., 1993, A Dynamic Process Model of Service Qua lity: From Expectations to Behavioral Intentions, Journal of Marketing Research, 30, 281-301. Flynn, N. 1999, Public Sector Management, Harvester Wheatsheaf, Lon don. Mohamad, Ismail, 2003, Aktualisasi Pelayanan Prima Dalam Kapasitas PNS seba gai Abdi Negara dan Abdi Masyarakat, Makalah, disampaikan dalam Diskusi Panel Op timalisasi Peran PNS pada Pelaksanaan Tugas Pokok sebagai Abdi Negara dan Abdi M asyarakat, yang diselenggarakan oleh Unit KORPRI POLRI Pusat, pada tanggal 23 Ok tober 2003, Jakarta. Padmodimuljo, 2003a, Kualitas Pelayanan PT Pos Indonesia, Lap oran Penelitian. Padmodimuljo, 2003a, Kualitas Pelayanan PT TASPEN, Laporan Peneli tian. Parasuraman, Zeithaml and Berry, 1985, "A Conceptual Model of Service Qual ity and Its Implications for Future Research," Journal of Marketing, Fall 1985, pp. 41-50. Purwanto, 2006, Performance-based Budgeting, Diskusi Intern DJAPK Sud rajat, Agus, Membangun Model Pelayanan Publik Yang Dapat Memenuhi Keinginan Masy arakat Suprijadi, Anwar 2004. Kebijakan Peningkatan Kompetensi Aparatur Dalam Pe layanan Publik, Disampaikan pada Peserta Diklatpim Tingkat II Angkatan XIII Kls. A dan B, Tanggal 19 Juli 2004. di Jakarta. www.ded.missouri.gov/research andplan ning/pdfs/wc_wia_na.pdf www.doleta.gov/Programs/2004Reportsand2005Plans/pdf/APR0 4-M0.pdf Zeithaml, Berry and Parasuraman, 1988, "Communication and Control Proce sses in the Delivery of Service Quality," Journal of Marketing, April 1988, pp. 35-48. http://msdisweb.missouri.edu/presentations/gap/GAP-Missouri.pdf http://ww w.geocities.com/bert_tons/boros.html http://www.goodgovernancebappenas.go.id/kon sep_files/makalah%20pelayanan%20publik.htm http://www.state.nd.us/ea/teams/dt/st /gap.html#gaa http://www.ttuhsc.edu/sop/continuingEd/hipaa/Gen_GapAnalysis_Remed iation.doc 94

You might also like