You are on page 1of 45

PROGRAM NASIONAL BAGI ANAK INDONESIA KELOMPOK PENDIDIKAN

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia sebagai anggota Badan Organisasi Dunia (PBB) ikut serta dalam berbagai kegiatan untuk menyukseskan Pendidikan Untuk Semua. Diantaranya adalah pertemuan di Jomtien, Thailand pada tahun1990 yang menghasilkan Deklarasi Dunia tentang Pendidikan Untuk Semua (Education for All). Selanjutnya pada bulan September 1990 di New York diselenggarakan pertemuan World Summit for Children dan merumuskan Plan of Action of Implementing the World Declaration in the 1990s. Kemudian dalam Konvensi Hak-Hak Anak (Convention on the Rights of the Child), pasal 28 butir 1, menyebutkan bahwa: Para negara peserta mengakui hak anak atas pendidikan dan dengan tujuan mencapai hak ini secara bertahap dan berdasarkan kesempatan yang sama, khususnya mereka akan: 1. membuat wajib pendidikan dasar dan tersedia cuma-cuma untuk semua anak; 2. mendorong pengembangan bentuk-bentuk yang berbeda dari pendidikan menengah, termasuk pendidikan umum dan kejuruan, membuatnya tersedia dan bisa diperoleh oleh setiap anak, dan akan mengambil langkah-langkah yang layak seperti penerapan pendidikan cuma-cuma dan menawarkan bantuan keuangan bila diperlukan; 3. membuat pendidikan tinggi wajib bagi semua anak yang didasarkan pada kemampuan dari setiap sarana yang layak; 4. membuat informasi pendidikan dan kejuruan dan bimbingan tersedia dan dapat dicapai oleh semua anak; 5. mengambil langkah-langkah untuk mendorong kehadiran anak secara teratur di sekolah dan penurunan tingkat putus sekolah; Untuk memenuhi sasaran dan target tersebut, diselenggarakan pertemuan Internasional yang diikuti 189 negara dan berhasil memformulasikan apa yang disebut Millenium Development Goals yang meliputi 8 tujuan yaitu: 1. penghapusan kemiskinan dan kelaparan yang parah 2. penyelenggaraan pendidikan dasar semesta 3. peningkatan kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan 4. penurunan angka kematian anak 5. peningkatan kesehatan ibu 6. pemberantasan HIV/AIDS, malaria dan penyakit-penyakit lain 7. jaminan terhadap kesinambungan lingkungan 8. pengembangan kemitraan global untuk pembangunan. Atas prakarsa organisasi Internasional, pada bulan April 2000 di Dakar, Senegal diadakan pertemuan Forum Pendidikan Dunia yang menyepakati secara bersama tindakan pemerintah untuk menindaklanjuti Deklarasi Pendidikan Untuk Semua. Hasil 1

penilaian Pendidikan Untuk Semua pada tahun 2000 menunjukkan bahwa terdapat kemajuan yang berarti di banyak negara. Tanpa kemajuan yang dipercepat ke arah Pendidikan Untuk Semua, maka sasaran nasional dan internasional yang sudah disepakati terutama pengurangan kemiskinan tidak akan tercapai dan ketidaksamarataan antar negara dan antar masyarakat akan semakin melebar. Tujuan yang disepakati untuk memenuhi kebutuhan belajar dasar bagi semua orang yakni: 1. memperluas dan memperbaiki keseluruhan perawatan dan pendidikan anak usia dini, terutama bagi anak-anak yang sangat rawan dan tak beruntung. 2. menjamin bahwa tahun 2015 semua anak, khususnya anak perempuan, anakanak dalam keadaan yang sulit dan mereka yang termasuk minoritas etnik, mempunyai akses pada dan menyelesaikan pendidikan dasar yang bebas dan wajib dengan kualitas yang baik. 3. menjamin bahwa kebutuhan belajar semua manusia muda dan orang dewasa terpenuhi melalui akses yang ada pada program-program belajar dan keterampilan hidup yang sesuai. 4. mencapai perbaikan 50 persen pada tingkat keniraksarawan orang dewasa menjelang tahun 2015, terutama bagi kaum perempuan, dan akses yang adil pada pendidikan dasar dan berkelanjutan bagi semua orang dewasa. 5. menghapus disparitas gender di pendidikan dasar dan menengah menjelang tahun 2005, dan mencapai persamaan gender dalam pendidikan menjelang tahun 2015 dengan suatu fokus jaminan bagi perempuan atas akses penuh dan sama pada serta prestasi dalam pendidikan dasar dengan kualitas yang baik. 6. memperbaiki semua aspek kualitas pendidikan dan menjamin keunggulannya , sehingga hasil-hasil belajar yang diakui dan terukur dapat diraih oleh semua, terutama dalam keaksaraan, angka dan keterampilan hidup yang penting. Pada awal tahun 2001 dilaksanakan pertemuan A World Fit for Children, untuk mengevaluasi agar setiap negara bertekad untuk terus memperjuangkan kesejahteraan dan kemaslahatan anak. Kemudian menetapkan dan mendeklarasikan A World Fit for Children (WFFC) dengan 4 (empat) kegiatan pokok yaitu 1. peningkatan hidup sehat (promoting healthy), 2. penyediaan pendidikan yang berkualitas (providing quality education), 3. perlindungan terhadap abuse, eksploitasi dan kekerasan (protecting against abuse, exploitation and violence), 4. penanggulangan HIV/AIDS (combating HIV/AIDS. Salah satu kegiatan pokok yang tercantum dalam deklarasi tersebut yaitu penyediaan pendidikan yang berkualitas merupakan pengejawantahan hasil kesepakatan Forum Pendidikan Dunia tentang Pendidikan Untuk Semua pada tahun 2000 di Dakar, Senegal yang meliputi 6 (enam) tujuan sebagaimana disebutkan terdahulu. Dalam hubungan itu, Indonesia telah merumuskan tujuan tersebut sebagaimana tercantum dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara 1999-2004 dan Undang-Undang Nomor 25 tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional. Untuk mengkoordinasikan pelaksanaan program Pendidikan Untuk Semua baik yang dilaksanakan oleh pemerintah maupun masyarakat, telah dibentuk Forum Koordinasi Nasional Pendidikan Untuk Semua yang ditetapkan oleh Menteri Koordinator bidang Kesejahteraan Rakyat dengan Keputusan Nomor:15/KEP/MENKO/KESRA/VI/2002 2

B. Landasan 1. Undang - Undang Dasar 1945 beserta Amandemennya a. Pasal 28b ayat 2: Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi b. Pasal 28c ayat 2: Setiap anak berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapatkan pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia c. Pasal 31 ayat 1: Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan d. Pasal 31 ayat 2: Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya. e. Pasal 31 ayat 3: Pemerintah mengusahakan dan menye- lenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketaqwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur dengan Undang-undang f. Pasal 31 ayat 4: Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20 persen dari APBN serta APBD untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional. 2. 3. Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) tahun 1999-2004 Undang-undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak Pasal 2 ayat 2: Anak berhak atas pelayanan untuk mengembangkan kemampuan dan kehidupan sosialnya, sesuai dengan kebudayaan dan kepribadian bangsa, untuk menjadi warganegara yang baik dan berguna. Undang-undang Nomor 25 tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional (Propenas) Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, pasal 4, pasal 9 dan pasal 11. a. Pasal 4 Setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpatisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi b. Pasal 9 (1) Setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai dengan minat dan bakatnya; (2) Selain hak anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), khusus bagi anak yang menyandang cacat juga berhak memperoleh pendidikan luar biasa, sedangkan bagi anak yang memiliki keunggulan juga berhak mendapatkan pendidikan khusus. c. Pasal 11 Setiap anak berhak untuk beristirahat dan memanfaatkan waktu luang, bergaul dengan anak yang sebaya, bermain, berekreasi, dan berkreasi sesuai dengan minat, bakat dan tingkat kecerdasannya demi pengembangan diri. 3

4. 5.

6.

Undang-undang Nomor 2 tahun 1989 dan telah diubah dengan Undangundang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Pasal 5 ayat 1 Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu Pasal 6 ayat 1 Setiap warga negara yang berusia tujuh sampai dengan lima belas tahun wajib mengikuti pendidikan dasar Pasal 11 ayat 1 Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib memberikan layanan kemudahan, serta menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi Pasal 28 ayat 1 Pendidikan anak usia dini diselenggarakan sebelum jenjang pendidikan dasar Makna Wajar Dikdas 9 Tahun a. Merupakan hak dasar anak untuk memperoleh layanan pendidikan (fundamental right), b. Merupakan aspirasi dan tuntutan masyarakat luas untuk memberikan layanan pendidikan pada anak (public aspiration) c. Merupakan gerakan masyarakat untuk memberikan layanan pendidikan terbaik bagi anaknya (Social Mobility), d. Merupakan kegiatan belajar yang menyenangkan bagi anak (Joyfull of Learning), e. Merupakan kegiatan untuk meningkatkan kesejahteraan hidup seseorang (Individual Well-Being), f. Merupakan kegiatan untuk meningkatkan status sosial anak didik pada masa datang terutama dalam mengentaskan kemiskinan (Social Progress), g. Merupakan usaha meningkatkan partisipasi masyarakat dalam kehidupan politik (Political Participation), h. Merupakan usaha untuk memberikan rasa keadilan bagi masyarakat (Social Justice).

7.

BAB II ANALISIS SITUASI PENDIDIKAN A. Indeks Pembangunan Manusia di Indonesia

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh UNDP, Bappenas dan Badan Pusat Statistik bahwa rata-rata indeks pembangunan manusia di Indonesia pada tahun 1999 menunjukkan bahwa usia harapan hidup tertinggi adalah di Provinsi DKI Jakarta dan DI Yogyakarta (71 tahun). Sedangkan usia harapan hidup terendah di Propinsi Nusa Tenggara Barat (58 tahun). Tingkat buta huruf terkecil terdapat di Propinsi DKI Jakarta (2 persen) berikutnya di Propinsi Sulawesi Utara (3 persen), sedangkan yang tertinggi terdapat di Propinsi Papua (29 persen) berikutnya di Propinsi Nusa Tenggara Barat (27 persen). Proses belajar mengajar yang dilakukan untuk mensukseskan wajib belajar 9 tahun menunjukkan lama pendidikan yang tertinggi terdapat di DKI Jakarta (9,7 tahun) berikutnya di D.I. Yogyakarta (7.9 tahun), sedangkan yang terendah di Provinsi Nusa Tenggara Barat (5,2 tahun) berikutnya di Propinsi Papua dan Propinsi Kalimantan Barat (5,6 tahun). Tabel 1: Rata-rata indeks pembangunan manusia di beberapa propinsi di Indonesia (tahun 1999)
N o 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 Propinsi Jakarta Yogyakarta Kalimantan Timur Riau Maluku Sulawesi Utara Kalimantan Tengah Sumatera Utara Sumatera Barat Bali Jambi Aceh Bengkulu Jawa Tengah Jawa Barat Sumatera Selatan Sulawesi Selatan Lampung Sulawesi Tenggara Sulawesi Tengah Kalimantan Selatan Jawa Timur Kalimantan Barat Nusa Tenggara Timur Papua (Irian Jaya) Nusa Tenggara Barat Usia harapa n hidup (tahun) 71 71 69 68 67 68 69 67 66 70 67 68 65 68 64 66 68 66 65 63 61 66 64 64 65 58 Melek huruf dewasa (%) 98 85 94 96 96 97 95 96 95 83 94 93 93 85 92 93 83 92 87 93 93 81 83 81 71 73 Rata-rata lama pendidika n (tahun) 9.7 7.9 7.8 7.3 7.6 7.6 7.1 8.0 7.4 6.8 6.8 7.2 7.0 6.0 6.8 6.6 6.5 6.4 6.8 7.0 6.6 5.9 5.6 5.7 5.6 5.2 Pengeluara n per kapita (Rp.000,-) 593 598 578 580 577 578 565 569 577 588 574 563 577 584 584 564 571 567 572 569 577 579 571 577 580 566 IPM 72.5 68.7 67.8 67.3 67.2 67.1 66.7 66.6 65.8 65.7 65.4 65.3 64.8 64.6 64.6 63.9 63.6 63.0 62.9 62.8 62.2 61.8 60.6 60.4 58.8 54.2

Sumber: UNDP, Bappenas dan BPS 2001

Pada tingkat kabupaten/kota menunjukkan bahwa tingkat buta huruf terendah terdapat di Kota Jakarta Selatan (2,3 persen) berikutnya di Bengkalis (4,5 persen) dan yang tertinggi terdapat di Kab. Jaya Wijaya (64 persen) berikutnya di Sampang (45,1 persen). Tabel 1.1: Rata-rata indeks pembangunan manusia di beberapa kab/kota di Indonesia (tahun 1999) No. Kab/Kota Melek huruf Rata-rata lama HDI Rank dewasa (%) pendidikan (tahun) 1 Jakarta Selatan 97,7 10.0 1 2 Surakarta 92,9 8,8 22 3 Luwu 92,0 7,1 56 4 Bengkalis 95,5 7,0 74 5 Bekasi 87,6 6,8 131 6 Maluku Tenggara 96,3 6,7 132 7 Ogan Komering Ulu 91,5 6,2 134 8 Lombok Tengah 64,4 4,3 287 9 Jaya Wijaya 36,0 2,6 291 10 Sampang 54,9 2,5 292
Sumber: UNDP, Bappenas dan BPS 2001

B. 1.

Pendidikan Anak Usia Dini

Akses terhadap pendidikan anak usia dini Pendidikan bagi anak Indonesia yang dilaksanakan melalui Program perawatan dan pendidikan bagi anak usia dini (0-6 tahun) yaitu program Taman KanakKanak, Raudhatul Atfhal, Kelompok Bermain, Taman Penitipan Anak. Disamping program tersebut, juga terdapat beberapa kegiatan yang memberikan pelayanan pendidikan antara lain Bina Keluarga Balita (BKB)/ Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu). Berdasarkan data tahun 2001 mengungkapkan bahwa dari sekitar 26,172,763 anak usia 0-6 tahun, yang telah memperoleh layanan pendidikan usia dini melalui berbagai program baru sekitar 7,347,240 anak (28 persen). Dengan demikian masih ada 18,825,523 anak yang belum memperoleh layanan pendidikan usia dini dari berbagai layanan yang ada. Sedangkan khusus untuk kelompok anak usia 4-6 tahun, masih terdapat sekitar 10,2 juta (83,8 persen) anak yang belum terlayani oleh program pendidikan pra-sekolah. Jika dilihat potensi yang ada saat ini terdapat 244.567 BKB/Posyandu yang dapat mengintegrasikan pelaksanaan program pendidikan usia dini. Di antara program tersebut, hanya BKB yang tidak memberikan layanan langsung kepada anak melainkan kepada orang tua atau pengasuhnya sehingga sulit melacak berapa jumlah anak yang sudah terlayani. Berdasarkan data BKKBN tahun 2001, dari 244.567 kelompok BKB diperkirakan jumlah anak usia dini yang memperoleh layanan BKB sebanyak 2.526.204 anak, dengan asumsi di setiap 6

keluarga peserta BKB terdapat satu orang anak yang mendapat layanan BKB/Posyandu. Dilihat dari seluruh daerah, proporsi anak yang telah memperoleh layanan pendidikan antar propinsi cukup beragam. Proporsi layanan tertinggi berada di Propinsi D.I. Yogyakarta (55 persen) dan terendah di Propinsi NTT (12 persen), dengan rata-rata nasional 28 persen. Jika SD tidak diperhitungkan sebagai bentuk layanan pendidikan dini, maka angkanya akan lebih rendah dari pada angka tersebut. Belum lagi bila dilihat dari kualitas layanan, mengingat dari mereka yang sudah memperoleh akses, pada umumnya belum terlayani secara berkesinambungan. Idealnya setiap anak memperoleh layanan pendidikan secara berkesinambungan sejak anak itu dilahirkan, baik melalui pendidikan dalam keluarga maupun di luar lingkungan keluarga. Mengingat masih banyaknya keluarga yang belum memahami bagaimana cara mendidik anak yang dapat membantu tumbuh-kembang anak secara lebih optimal, maka diperlukan intervensi melalui orangtuanya dalam bentuk program BKB atau sejenisnya. Sedangkan program layanan pendidikan yang diselenggarakan di luar lingkungan keluarga sudah banyak tersedia di masyarakat, baik dalam bentuk TPA, KB, TK, RA maupun bentuk sejenis lainnya. Kontribusi layanan tertinggi justru melalui SD sebanyak 2.6 juta anak (10 persen), padahal SD tidak dirancang untuk pendidikan bagi anak dini usia. Kontribusi tertinggi berikutnya melalui BKB 2,5 juta (9,6 persen), disusul TK 1,7 juta (6,7 persen), dan RA 0,4 juta (1,4 persen). Sedangkan TPA dan KB kontribusinya masih sangat kecil, yaitu 0,1 persen dan 0,06 persen. Dengan demikian masih sekitar 18,8 juta atau sekitar 72 persen anak usia 0-6 tahun belum memperoleh layanan pendidikan dari berbagai bentuk layanan tersebut.

Tabel 2.1 Jumlah anak usia 0-6 tahun yang memperoleh layanan pendidikan (tahun 2001)
No. Propinsi Juml anak 0-6 th Jumlah anak yang memperoleh layanan pendidikan melalui SD BKB TK RA KB TPA Jml % Terla yani 23% 42% 35% 26% 42% 55% 18% 21% 30% 19% 31% 32% 31% 22% 25% 35% 29% 23% 20% 18% 29% 20% 20% 12% 15% 17% 28%

1Jabar + Banten 5,648,08 498,777 629,333159,682 15,798 480 1,704 1,305,7 0 74 2Jawa Timur 3,900,8 338,815 602,600560,668 123,89 19,453 2,584 1,648,0 14 1 11 3Jawa Tengah 3,634,84 420,648 408,183299,539 125,07 2,058 336 1,255,8 7 0 34 4Sumatra Utara 1,683,0 171,163 212,401 35,511 10,814 400 3,816 434,105 83 5Aceh 566,553 45,798 163,905 20,301 4,500 251 1,219 235,974 6Yogyakarta 273,825 33,744 47,484 62,722 7,051 264 324 151,589 7Sulawesi 1,064,5 91,562 28,633 52,011 12,359 2800 156 187,521 Selatan 17 8Sumatra Barat 618,885 57,322 22,539 43,679 8,174 336 132 132,182 9Jakarta 929,633 121,131 47,690 95,495 14,744 2,424 228 281,712 10Lampung 916,436 105,516 22,859 44,419 1,847 560 140 175,341 11Kalimantan 351,630 44,056 38,621 25,137 2,083 140 120 110.157 Timur 12Sulut+Gorontal 347,750 46,554 30,750 31,536 954 400 120 110,314 o 13B a l I 369,157 42,903 25,937 41,958 1,750 160 720 113,428 14R i a u 669,552 78,886 21,495 42,664 4,460 1,040 720 149,265 15J a m b i 322,608 35,881 26,278 14,167 2,775 130 59 79,290 16Bengkulu 201,598 25,411 35,306 8,383 1,880 144 65 71,189 17Kalimantan 388,438 45,047 11,197 42,971 12,640 1,160 100 113,115 Selatan 18Sulawesi 320,756 32,965 15,020 21,103 3,683 450 120 73,341 Tengah 19Sumsel & 982,503 120,718 32,351 31,536 11,937 1,672 1,091 199,305 Babel 20Irian 360,416 37,472 6,239 17,134 3,065 144 540 64,594 Jaya(Papua) 21Sulawesi 278,367 34,112 29,624 13,062 1,893 750 120 79,561 Tenggara 22Kalimantan 235,447 25,067 3,946 13,846 2,861 260 120 46,100 Tengah 23Kalimantan 527,733 64,095 22,941 14,353 1,823 313 444 103,969 Barat 24NTT 660,615 40,568 15,277 22,704 1,485 320 120 80,474 25N T B 564,943 45,578 12,271 27,611 *) 260 180 85,900 26Maluku & Malut 354,577 37,473 13,325 7,530 557 280 30 59,195 Jumlah/Total 26,172,7 2,641,2 2,526,2 1,749,7 378,09 36,64915,308 7,347,2 63 62 05 22 4 40 Sumber: SD (Depdiknas, 00/01), BKB (BKKBN, 00/01), TK (Depdiknas, 01/02), RA (Depag, 2000), Depdiknas 2001) *) belum ada data

Jika memperhatikan potensi yang ada, pada saat ini terdapat 244.567 BKB/Posyandu yang dapat mengintegrasikan pelaksanaan program pendidikan usia dini dan 148.516 SD yang dapat menyelenggarakan model pelayanan Pendidikann anak usia dini (PAUD). Jika semua BKB/Posyandu dan SD tersebut dapat difungsikan secara optimal di dalam memberikan pelayanan pendidikan anak usia dini, maka diharapkan akan mampu menjangkau sebanyak 13,2 juta anak (50,5 persen) memperoleh layanan pendidikan pada BKB/Posyandu. Masih rendahnya layanan pendidikan anak usia dini saat ini antara lain disebabkan terbatasnya jumlah lembaga yang memberikan layanan pendidikan anak usia dini, jika dibandingkan dengan jumlah anak usia 0-6 tahun yang seharusnya memperoleh layanan yang ada. Pada umumnya lembaga-lembaga tersebut terdapat di perkotaan, sedangkan sebagian besar anak usia dini yang membutuhkan pelayanan pendidikan dan perawatan berada di pedesaan. Berdasarkan Data (Susenas 2000) menunjukkan bahwa anak usia 0-6 tahun sebanyak 60 persen tinggal di pedesaan. Sedangkan program layanan yang ada khususnya untuk TK, Kelompok Bermain (KB), Taman Penitipan Anak (TPA) sebagian besar terdapat di daerah perkotaaan. Apabila ditinjau dari jumlah layanan program, proporsi terbesar adalah BKB/Posyandu 244,567 (80 persen). Proporsi menengah adalah TK 44,564 (14,6 persen) dan RA 11,560 (3,8 persen). Proporsi terkecil adalah TPA 1.789 (0,6 persen), dan KB 1.256 (0,3 persen). Sedangkan kalau ditinjau dari ketersedian lembaga layanan tersebut di masing-masing provinsi keragamannya cukup tinggi, dari yang terendah sebanyak 873 buah berada di Kalimantan Timur, sampai yang tertinggi 75.003 buah terdapat di Jawa Timur. Keberadaan berbagai program layanan ini sedemikian beragamnya sehingga sekitar 60 persen dari seluruh program layanan yang ada terkumpul di tiga provinsi yang memiliki penduduk terbesar, yaitu Jawa Timur, Jawa Barat dan Banten, Jawa Tengah dan Sumatera Utara. Hal ini sesuai dengan banyaknya populasi anak yang harus dilayani di provinsi tersebut (lihat tabel 2.2). Selanjutnya bila dilihat dari rasio jumlah lembaga layanan dengan jumlah anak yang harus dilayani, tingkat ketersediaan layanan tertinggi terdapat di Kalimantan Timur (1 : 402) dan yang terendah terdapat di Nanggroe Aceh Darussalam (1 : 33), sedangkan rerata nasional adalah 1 : 86. Hal ini berarti semua lembaga dapat memberikan layanan pendidikan kepada anak usia dini rata-rata sebanyak 86 anak untuk setiap lembaga dengan rentang perbedaan antar provinsi mulai 33 hingga 402 anak. Kenyataan tersebut menunjukkan terbatasnya lembaga yang melayani anak usia dini dan akan sangat menghambat kesempatan anak untuk dapat memperoleh layanan pendidikan.

Tabel 2.2. Jumlah lembaga layanan pendidikan anak usia 0-6 tahun (tahun 2001)
No. Propinsi Juml anak 0-6 th 5,648,080 3,900,814 3,634,847 1,683,083 566,553 273,825 1,064,517 618,885 929,633 916,436 351,630 347,750 369,157 669,552 322,608 201,598 388,438 320,756 Jumlah Lembaga layanan Jml BKB 60,927 TK RA KB TPA 4,288 1,221 20 142 RASIO LAYANA N

1Jabar + Banten 2Jawa Timur 3Jawa Tengah 4Sumatra Utara 5Aceh 6Yogyakarta 7Sulawesi Selatan 8Sumatera Barat 9Jakarta 10Lampung 11Kalimantan Timur 12Sulut+Gorontalo 13B a l I 14R i a u 15J a m b I 16Bengkulu 17Kalimantan Selatan 18Sulawesi Tengah

66.598 1 :85 75.003 53.813 21.248 16.874 7.332 4.755 3.603 6.686 3.466 873 4.246 3.317 3.953 2.976 3.697 5.148 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 :52 :67 :79 :33 :37 :223 :171 :139 :264 :402 :82 :111 :169 :109 :54 :75

58,339 12,151 3,924 546 43 39,517 10,810 3,447 18 21 20,563 433 121 65 66 15,868 740 221 15 30 4,597 1,841 854 26 14 2,868 1,274 242 102 269 2,182 1,175 221 14 11 4,617 1,574 375 101 19 2,213 1,105 135 7 6 382 417 30 41 3 2,977 2,511 2,081 2,544 3,418 3,739 1,454 1,236 752 836 354 229 1,035 704 20 43 45 61 33 245 * 12 1 8 3 24 967 14 3 13 4 29 100 17 1

2.176 1 :147 1 :247 1 :369 1 :87 1 :147 1 :196 1 :306 1 :307 1 :228 1 : 86

19Sumsel & Babel 982,503 3,132 645 132 39 14 3.962 20Irian Jaya(Papua) 360,416 604 317 * 29 26 976 21Sulawesi 278,367 2,772 384 23 22 1 3.202 Tenggara 22Kalimantan 235,447 1,084 456 54 7 4 1.605 Tengah 23Kalimantan Barat 527,733 2,221 350 59 26 37 2.693 24NTT 660,615 1,479 609 37 35 1 2.161 25N T B 564,943 1,188 639 * 9 3 1.839 26Maluku & Malut 354,577 1,290 230 17 17 * 1.554 Jumlah/Total 26,172,763 244,567 44,564 11,560 1,25 1,78 303.736 6 9 Sumber: BKB (BKKBN, 00/01), TK (Depdiknas, 01/02), RA (Depag, 2000), Depdiknas 2001. *) belum ada data

Dari sisi gender data yang tersedia tidak cukup untuk keperluan analisis. Mengingat data gender yang ada hanya dimiliki pada layanan TK dan RA, maka kedua jenis data tersebut digunakan untuk memprediksi program layanan yang lain. Berdasarkan data tersebut, menunjukkan proporsi anak perempuan yang telah memperoleh layanan pendidikan ternyata lebih besar dibanding dengan pria. Dengan demikian diduga tidak terdapat bias gender dalam pelayanan pendidikan bagi anak dini usia (lihat Tabel 2.3). Sedangkan perbedaan ketersediaan layanan antara kota dan desa baik untuk anak laki-laki maupun perempuan menunjukkan bahwa tingkat ketersediaan layanan di kota lebih baik daripada di desa. Tabel 2.3 Proporsi anak laki-laki dan perempuan di TK & RA 10

Jenis kelamin Laki-laki Perempuan L+P

Kota 14.1% 14.6% 14.4%

Desa 11.2% 11.9% 11.0%

Kota dan desa 11.7% 13.0% 12.4%

Sumber: Statistik Pendidikan/Susenas 2000

2.

Tantangan yang dihadapi dalam penyelenggaraan pendidikan anak usia dini Berdasarkan data tersebut diatas, dapat ditarik permasalahan bahwa masih rendahnya angka partisipasi anak usia 0-6 tahun yang memperoleh layanan pendidikan serta rendahnya mutu layanan yang diberikan selama ini, tidak terlepas karena adanya berbagai permasalahan dan tantangan yang dihadapi, antara lain: a. Masih terbatasnya jumlah lembaga layanan pendidikan dan perawatan bagi anak dini usia. Pada umumnya lembaga-lembaga layanan tersebut berada di kota besar, sedangkan sasaran layanan hampir 60 persen berada di daerah pedesaan. b. Masih rendahnya tingkat kesadaran orang tua dan masyarakat tentang pentingnya pemberian pendidikan dan perawatan kepada anak sejak dini. c. Rendahnya tingkat sosial-ekonomi masyarakat/orang tua, terlebih-lebih sejak terjadinya krisis ekonomi yang berkepanjangan hingga saat ini, menyebabkan orang tua tidak mampu membiayai pendidikan dan perawatan anaknya. d. Kurangnya sosialisasi kepada masyarakat tentang pentingnya pemberian perawatan dan pendidikan kepada anak sejak dini usia. e. Belum adanya program layanan yang terpadu yang dapat memberikan layanan seutuhnya bagi anak dini usia, yang mencakup layanan pendidikan, kesehatan, perawatan dan gizi. f. Terbatasnya dukungan yang diberikan pemerintah guna mendukung pemerataan layanan pendidikan dan perawatan bagi anak dini usia. g. Belum intensifnya kemitraan/jalinan kerjasama antara Pemerintah dengan berbagai lembaga, instansi dan organisasi yang terkait dalam pembinaan pendidikan dan perawatan bagi anak dini usia.

C.

Pendidikan Dasar

Pembangunan pendidikan dasar yang dilakukan dengan berbagai upaya telah mencapai tahap yang cukup berarti, namun masih jauh dari harapan. Hal itu dapat dilihat melalui berbagai indikator yang menggambarkan kondisi pendidikan dasar pada saat ini, antara lain pada aspek peningkatan akses dan perluasan kesempatan belajar, serta peningkatan mutu pendidikan di tingkat SD/MI dan SMP/MTs. 11

Peningkatan akses dan perluasan kesempatan belajar dapat digambarkan melalui indikator: (1) angka partisipasi; (2) angka mengulang kelas; (3) angka putus sekolah; (4) angka kelulusan; (5) angka melanjutkan; dan (6) angka penyelesaian. Peningkatan mutu pendidikan digambarkan melalui indikator (1) Nilai Ebtanas Murni/Ujian Akhir Nasional; (2) rasio siswa-guru; (3) rasio siswa-kelas; (4) rasio kelas-ruang kelas; (5) rasio laboratorium-sekolah; (6) tingkat kelayakan mengajar guru; dan (7) kondisi gedung sekolah. 1. Peningkatan Akses dan Perluasan Kesempatan Belajar a. Angka Partisipasi Tingkat Sekolah Dasar (SD/MI) Pada tingkat sekolah dasar, angka partisipasi kasar (APK) pada tahun 2001/2002 mencapai 113,52 persen sedangkan angka partisipasi murni (APM) mencapai 94,31 persen. Namun demikian, terdapat 4,36 persen siswa berusia 712 tahun yang bersekolah di tingkat SMP/MTs dan SLB/SDLB, yang berarti masih terdapat 1,33 persen atau sekitar 338.912 anak usia 7-12 tahun yang belum terlayani oleh pendidikan SD/MI. Perbedaan yang cukup tinggi antara APK dan APM merupakan indikator cukup banyaknya anak usia di bawah 7 tahun yang masuk SD/MI dan anak yang umurnya 8 tahun atau lebih baru masuk SD/MI, sehingga mereka yang berusia di atas 12 tahun masih bersekolah di SD/MI. Kemungkinan kedua, banyak siswa mengulang kelas, sehingga sejumlah anak berusia lebih dari 12 tahun masih duduk di SD/MI. Data Depdiknas menunjukkan adanya 3.433.220 siswa baru SD/MI yang berusia di atas 7 tahun. Mengingat jumlah SD/MI pada umumnya sudah mencukupi untuk menampung anak usia 7-12 tahun, maka masih adanya anak usia 7-12 tahun yang belum bersekolah diduga disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu: (1) mereka tinggal di daerah terpencil atau terisolasi, sehingga mereka tidak dapat menjangkau SD/MI yang terdekat, (2) mereka tidak bersekolah karena alasan ekonomi, (3) mereka tinggal di masyarakat yang secara budaya belum menganggap pendidikan sebagai sesuatu yang penting, (4) mereka sudah bekerja mencari nafkah untuk membantu orang tua, atau (5) mereka tinggal di daerah konflik. Oleh karena itu diperlukan usaha yang serius untuk memecahkan permasalahan ini dengan mempertimbangkan lima faktor tersebut dan bukan sekedar menambah Ruang Kelas Baru (RKB) atau mendirikan Unit Sekolah Baru (USB). b. Tingkat Sekolah Lanjutan Pertama (SMP/MTs) Akses pendidikan pada tingkat SMP/MTs belum sebaik tingkat SD/MI. Pada tahun 2001/2002 dari 12.775.026 orang anak umur 13-15 tahun, baru 57,44 persen yang memperoleh akses ke pendidikan SMP/MTs. Namun jika dihitung dengan mereka yang masih duduk di SD/MI dan SLTA, maka angka partisipasi murni sekolah (APS) anak usia 13-15 tahun sudah mencapai 74,34 persen. Data ini menunjukkan bahwa anak usia 13-15 tahun yang belum mendapatkan layanan pendidikan SMP/MTs masih cukup tinggi (25,66 persen). Sementara itu 12

APK SMP/MTs pada tahun 2002/2003 meningkat menjadi 77,44 persen, sehingga mengindikasikan banyak anak usia di luar 13-15 tahun yang masih bersekolah di SMP/MTs. Seperti halnya di SD/MI, terdapat sejumlah anak yang masuk SMP/MTs setelah umur di atas 12 tahun dan atau banyak anak mengulang kelas, sehingga masih duduk di SMP/MTs walaupun usianya melewati 15 tahun. Data selengkapnya tampak pada Tabel 2.1. Daya tampung untuk tingkat SMP/MTs memang masih kurang. Artinya, disamping anak-anak yang menghadapi 5 (lima) kendala sebagaimana pada tingkat SD/MI, masih banyak lulusan SD/MI yang belum dapat ditampung oleh SMP/MTs yang telah ada. Tabel-2. Angka Partisipasi Usia 7-15 Tahun dalam 5 Tahun Terakhir Angka Sekolah 1998 1999 2000 2001 2002 Partisipasi SD/MI APM 94,85 94,44 94,56 94,31 94,04 APK 114,52 111,97 112,87 113,52 113,95 APS 98,37 98,81 98,98 98,67 98,53 SMP/ APM 54,67 55,72 56,57 57,44 59,18 MTs APK 70,43 71,67 72,35 73,80 77,44 APS 74,08 71,45 74,49 74,34 77,78
Sumber: PDIP, Depdiknas 2003 dan BPS 2003.

c. Angka Mengulang Kelas Pada tahun 2001/2002 angka mengulang SD/MI sebesar 5,40 persen, sedikit berkurang dibanding keadaan tahun 1997/98 yang mencapai 6,13 persen. Sedangkan angka mengulang kelas SMP/MTs dapat dikatakan sangat rendah, yaitu 0,44 persen, 0,41 persen dan 0,05 persen untuk kelas I, II, dan III pada tahun yang sama. Tabel 2.2 menunjukkan data angka mengulang kelas SD/MI dan SMP/MTs untuk setiap propinsi. Tingginya angka mengulang kelas, khususnya di tingkat SD/MI perlu mendapatkan perhatian karena dua alasan. Pertama, angka mengulang kelas yang tinggi memberikan sumbangan yang cukup besar bagi tingkat penyelesaian sekolah. Kedua, angka mengulang kelas terutama pada kelas-kelas awal seringkali menjadi penyebab anak putus sekolah. Oleh karena itu, perlu upaya khusus untuk menurunkan angka mengulang kelas tersebut.

13

Tabel-2. Angka Mengulang SD/MI dan SMP/MTs antar Propinsi Tahun 2001/2002
Propinsi DKI Jakarta Jawa Barat Banten Jawa Tengah DI Yogyakarta Jawa Timur N Aceh Darussalam Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Jambi Sumatera Selatan Bangka Belitung Bengkulu Lampung Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Utara Gorontalo Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Maluku Maluku Utara Bali Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur Papua SD/MI > 5,40% <= 5,40% 2,51 1,53 2,79 4,95 6,68 7,92 6,12 6,62 6,35 10,57 8,25 10,13 5,62 8,52 8,52 6,61 7,36 14,19 12,04 6,80 10,38 10,04 3,42 4,79 4,95 0,51 0,36 1,02 0,46 0,65 0,34 0,55 0,88 0,46 0,52 0,25 0,07 0,19 0,24 0,17 0,03 0,03 0,01 0,78 0,35 0,49 SMP/MTs > 0,30% 0,88 <= 0,30% 0,04 0,01 0,21 0,14 0,21

6,77

5,32

5,21

0,33 0,33

0,27

Sumber: Statistik SD dan SLTP, 2002, PDIP Depdiknas.

Data pada Tabel 2.2 menunjukkan bahwa kecilnya angka mengulang kelas di tingkat nasional seakan menyembunyikan kenyataan tentang tingginya tingkat mengulang kelas di propinsi-propinsi tertentu. Artinya secara nasional sudah cukup baik, tetapi ternyata masih banyak daerah yang memiliki angka mengulang kelas cukup tinggi. Angka mengulang kelas di SD/MI ternyata bervariasi dari terendah 1,53 persen (Propinsi Jawa Barat) sampai tertinggi 14,19 persen (Propinsi Maluku). Terdapat 19 propinsi yang memiliki angka mengulang kelas lebih tinggi dari angka rata-rata nasional (5,40), sehingga memerlukan penanganan serius. Studi yang dilakukan IKIP Surabaya (1995) menyimpulkan bahwa siswa mengulang kelas disebabkan oleh ketidakmampuan mereka mengikuti irama belajar di kelasnya dan itu disebabkan antara lain oleh: (a) pola pembelajaran kurang menarik, (b) bekal awal mereka tidak memadai dan (c) sarana yang dimiliki siswa maupun sekolah sangat kurang, sehingga tidak mampu 14

memberikan kemudahan siswa belajar. Oleh karena itu ketiga faktor tersebut perlu diperhati-kan dalam upaya menurunkan angka mengulang kelas. d. Angka Putus Sekolah Di tingkat nasional, angka putus sekolah SD/MI pada tahun 2001/2002 sebesar 2,66 persen, sedikit berkurang dibanding keadaan tahun 1997/1998 sebesar 2,90 persen. Untuk tingkat SMP/MTs, angka putus sekolah pada tahun 2001/2002 sebesar 3,50 persen. Walaupun dalam bentuk persentase tampak kecil, angka absolut putus sekolah ternyata cukup besar, karena jumlah siswa SD/MI dan SMP/MTs sangat besar. Pada tahun 2001/2002 terdapat sekitar 926.843 orang siswa pendidikan dasar (SD/MI dan SMP/MTs) yang putus sekolah (Balitbang Depdiknas, 2002). Jumlah ini terdiri dari 638.056 siswa SD/MI dan 288.787 siswa SMP/MTs. Tabel 2.3 menunjukkan angka putus sekolah SD/MI per propinsi.

15

Tabel-2. Angka Putus Sekolah SD/MI dan SMP/MTs antar Propinsi Tahun 2001/2002
Propinsi SD/MI > 2,66% <= 2,66% 1,57 2,17 0,91 1,38 2,22 1,34 4,21 3,64 3,56 2,81 6,80 2,90 4,65 6,78 3,11 3,32 2,73 3,79 3,09 5,00 4,46 3,28 6,20 5,74 3,21 5,42 8,23 2,57 1,37 4,95 4,60 4,73 5,97 3,95 4,95 7,79 5,66 7,22 5,08 5,68 5,12 6,35 7,48 6,25 9,02 8,79 2,14 5,58 2,49 SMP/MTs > <= 3,50 3,50 1,45 2,79 3,66 1,99 3,34 3,33

DKI Jakarta Jawa Barat Banten Jawa Tengah DI Yogyakarta Jawa Timur N Aceh Darussalam Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Jambi Sumatera Selatan Bangka Belitung Bengkulu Lampung Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Utara Gorontalo Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Maluku Maluku Utara Bali Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur Papua

3,49

3,49

1,88 2,92 3,43

Sumber: Statistik SD dan SLTP, 2002, PDIP Depdiknas

Di tingkat propinsi, angka putus sekolah SD/MI sangat beragam, dari terendah 0,91 persen (Propinsi Banten) sampai tertinggi 8,23 persen (Propinsi Papua). Dari sisi lain, terdapat 9 propinsi yang memiliki angka putus sekolah di bawah angka nasional (2,66 persen) dan 21 propinsi lainnya di atas angka nasional. Angka putus sekolah SMP/MTs di tingkat propinsi juga sangat beragam. Ada 12 propinsi yang memiliki angka putus sekolah SMP/MTs di bawah angka nasional (3,50 persen). Di antara propinsi yang berada di bawah angka nasional adalah DKI Jakarta sebesar 1,45 persen dan Propinsi Jawa Tengah sebesar 1,99 persen. Sementara itu, terdapat 18 Propinsi yang mempunyai angka putus sekolah di atas angka nasional dengan angka tertinggi terjadi di Propinsi Maluku (9,02 persen) dan Propinsi Maluku Utara (8,79 persen). Untuk mempertahankan siswa SD/MI dan SMP/MTs agar tidak putus sekolah perlu diupayakan: (a) sosialisasi kepada masyarakat akan pentingnya 16

pendidikan bagi anak-anak, (b) memberikan motivasi kepada siswa bahwa mereka dapat menyelesaikan pendidikan dan tidak putus asa, (c) memberikan dukungan beasiswa untuk keperluan sekolahnya, dan (d) melakukan pendekatan budaya agar anak tidak terkendala budaya setempat dalam menyelesaikan pendidikannya. Empat faktor tersebut perlu diperhatikan dalam upaya menekan siswa putus sekolah. e. Angka Kelulusan Angka kelulusan ditunjukkan dengan perbandingan antara jumlah siswa yang lulus dengan siswa pada jenjang terakhir. Untuk SD angka kelulusan didapatkan dari perbandingan jumlah lulusan dengan jumlah siswa kelas 6, sedangkan untuk SMP/MTs dengan siswa kelas 3. Di tingkat nasional angka kelulusan untuk SD/MI pada tahun 2001/2002 sebesar 97,01 persen dan untuk SMP sebesar 95,00 persen. Angka kelulusan SD yang terendah terjadi di Propinsi Maluku sebesar 91,12 persen dan tertinggi di Propinsi Sulawesi Utara sebesar 99,08 persen. Angka kelulusan SMP/MTs terendah terjadi di Propinsi Maluku Utara sebesar 83,11 persen dan tertinggi di Propinsi Maluku sebesar 98,86 persen. Data selengkapnya tampak pada Tabel 2.4.

17

Tabel-2. Angka Kelulusan Sekolah SD/MI dan SMP/MTs tiap Propinsi Tahun 2001/2002
Propinsi SD/MI >= 97,01% < 97,01% SMP >= 95% 96,89 97,05 96,68 96,85 96,67 95,57 97,40 95,14 97,53 96,56 95,28 95,06 96,35 95,73 95,00 95,24 96,28 95,26 98,86 96,78 95,62 < 95%

DKI Jakarta 98,22 Jawa Barat 96,35 Banten 96,45 Jawa Tengah 98,48 DI Yogyakarta 96,02 Jawa Timur 98,24 Nanggroe Aceh Darussalam 92,35 Sumatera Utara 98,42 Sumatera Barat 98,37 Riau 98,26 Jambi 94,78 Sumatera Selatan 98,62 Bangka Belitung 97,93 Bengkulu 99,06 Lampung 98,88 Kalimantan Barat 97,55 Kalimantan Tengah 98,00 Kalimantan Selatan 95,58 Kalimantan Timur 98,12 Sulawesi Utara 99,08 Gorontalo 99,00 Sulawesi Tengah 93,67 Sulawesi Selatan 98,07 Sulawesi Tenggara 99,05 Maluku 91,12 Maluku Utara 94,36 Bali 98,60 Nusa Tenggara Barat 98,48 Nusa Tenggara Timur 92,10 Papua 97,22 Sumber : Statistik SD dan SLTP, Tahun 2002, PDIP Depdiknas

93,65 93,83 92,96 90,01 93,50

93,64 83,11 93,40 94,14

Kelulusan sebenarnya terkait erat dengan mutu pembelajaran, karena anak dapat lulus jika daya serap mereka cukup bagus, sehingga lulus ujian akhir yang diikuti. Oleh karena itu upaya meningkatkan angka kelulusan akan paralel dengan peningkatan mutu pembelajaran. f. Angka Melanjutkan Angka melanjutkan dari SD/MI ke SMP/MTs menunjukkan peningkatan yang cukup berarti. Pada tahun 1994/1995, angka melanjutkan ke SMP/MTs sebesar 66,84 persen dan pada tahun 2001/2002 meningkat menjadi 70,52 persen. Data rinci untuk setiap propinsi tampak pada Tabel 2.5. Data tersebut menunjukkan masih ada 29,48 persen lulusan SD/MI yang belum melanjutkan ke tingkat SMP/MTs. Jika mereka tidak ditampung pada lembaga pendidikan alternatif lainnya (SMP Terbuka, Pondok Pesantren atau Paket B), maka pada tahun 2001/2002 saja terdapat 1.063.874 orang lulusan SD/MI yang tidak melanjutkan ke SMP/MTs (Depdiknas, 2002). 18

Data pada Tabel 2.5 menunjukkan ada 15 propinsi (50 persen) yang memiliki angka melanjutkan lebih tinggi dari angka nasional (70,52 persen) dengan angka tertinggi 106.63 persen di Propinsi DKI Jakarta dan terdapat 15 propinsi (50 persen) yang mempunyai angka melanjutkan yang lebih rendah dari angka nasional, dengan angka terendah 52,17 persen di Propinsi Banten. Perlu dicermati angka melanjutkan Propinsi DKI Jakarta yang lebih dari 100 persen (106,63 persen). Hal ini terjadi karena adanya lulusan SD/MI dari propinsi lain khususnya Propinsi Jawa Barat dan Banten yang melanjutkan ke SMP/MTs di wilayah DKI. Data itu sekaligus menjelaskan mengapa angka melanjutkan pada propinsi Jawa Barat dan Banten rendah. Kasus yang sama juga terjadi antar kabupaten/kota dalam satu propinsi.

19

Tabel-2. Angka Melanjutkan ke SMP/MTs antar Propinsi Tahun 2001/2002


Propinsi DKI Jakarta Jawa Barat Banten Jawa Tengah DI Yogyakarta Jawa Timur Nanggroe Aceh Darussalam Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Jambi Sumatera Selatan Bangka Belitung Bengkulu Lampung Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Utara Gorontalo Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Maluku Maluku Utara Bali 89,18 Angka Melanjutkan >= 70,52% < 70,52% 106,63 61,31 52,17 72,28 95,97 75,07 75,28 76,44 69,39 61,40 64,11 66,73 72,41 71,54 68,62 63,80 63,86 53,76 74,28 93,06 63,00 64,00 71,16 76,64 69,08 61,08

Nusa Tenggara Barat 59,51 Nusa Tenggara Timur 76,17 Papua 87,68 Sumber : Statistik SMP, Tahun 2002, PDIP Depdiknas

Angka melanjutkan dari SD/MI ke SMP/MTs terkait dengan faktor: (a) apakah lulusan SD/MI dan orang tua mereka merasa pendidikan di SMP/MTs penting bagi mereka, (b) apakah di sekitarnya terdapat SMP/MTs yang dapat dijangkau dari tempat tinggalnya, (c) apakah mereka tidak kesulitan mendapatkan biaya sekolah, dan (d) apakah mereka tidak terkendala oleh budaya setempat untuk melanjutkan ke SMP/MTs. Empat faktor tersebut perlu mendapat perhatian, jika kita ingin mendorong lulusan SD/MI melanjutkan ke SMP/MTs. Angka Penyelesaian Tingkat penyelesaian (graduation rates) pendidikan dasar disajikan dalam bentuk arus siswa pada pendidikan dasar (Lihat Gambar-1). Dari arus siswa dapat diketahui proporsi siswa yang menyelesaikan satu siklus pendidikan tertentu. Proporsi siswa yang dapat menyelesaikan pendidikan dasar secara implisit mengindikasikan tingkat kesuksesan pelaksanaan wajib belajar. Selain itu, dengan menggunakan data dari dua 20

siklus sebagaimana disajikan pada Gambar-1, dapat diketahui kemajuan tingkat penyelesaian pendidikan dasar dalam kurun waktu yang berbeda. Analisis tentang tingkat penyelesaian pendidikan dasar dari dua sudut pandang tersebut disajikan sebagai berikut. Pertama, dari data arus siswa yang masuk SD tahun 1982/1983 dan yang masuk tahun 1992/1993, tampak adanya perbaikan tingkat penyelesaian pendidikan dasar pada kedua kurun waktu tersebut. Dalam kurun waktu 10 tahun telah terjadi peningkatan angka penyelesaian pendidikan dasar sebesar 13,5 persen. Untuk siklus 1982/1983 sampai 1990/1991 tingkat penyelesaian pendidikan dasar hanya sebesar 32,1 persen. Artinya, dari seluruh siswa kelas I SD tahun 1982/1983 hanya diperoleh 32,1 persen lulusan SMP, 9 tahun kemudian. Untuk siklus 1992/1993 sampai 2000/2001 tingkat penyelesaian pendidikan dasar meningkat menjadi 45,6 persen. RENTANG SD/MI WAKTU I VI Tahun 1982/83 1990/91 82/83 100% 87/88 88/89 68,8 SMP/MTs I II

Lulus

MB

Lulus

65,4 42,3 42,8 34,6 32,1

90/91 Tahun 1992/93 2000/01 92/93 100%

97/98 98/99

75,1

71,8 51,2 51,3 48,8 45,6

00/01 Gambar-2.1: Arus Siswa Pendidikan Dasar

Kedua, setiap siklus arus siswa, baik tahun 1982/1983 s.d. 1990/1991, maupun 1992/1993 s.d. 2000/2001, tampak adanya siswa yang tidak menyelesaikan pendidikan dasar dalam waktu 9 tahun. Dari seluruh siswa baru kelas I SD/MI pada tahun 1982/1983, hanya 32,1 persen yang berhasil menyelesaikan pendidikan (tamat) SMP/MTs pada tahun 1990/1991. Artinya, 67,9 persen lainnya tidak atau belum dapat menyelesaikannya pada kurun waktu 9 tahun. Fenomena serupa terjadi pada siklus 1992/1993 s.d. 2000/2001. Hanya 45,6 persen siswa yang masuk SD/MI pada tahun 1992/1993 berhasil menyelesaikan pendidikan (lulus) SMP/MTs tepat waktu. Sementara itu, 54,4 persen siswa lainnya tidak dapat menyelesaikan pendidikan dasar tepat 9 tahun. Adanya siswa yang tidak dapat menyelesaikan pendidikan dasar selama 9 tahun disebabkan oleh tiga kemungkinan. Pertama, adanya siswa yang mengulang kelas. 21

Siswa yang mengulang kelas memerlukan waktu yang lebih lama dari 9 tahun untuk menyelesaikan pendidikan dasar. Kedua, adanya siswa putus sekolah, baik di tingkat SD/MI maupun di SMP/MTs. Kalau siswa putus sekolah ini tidak ditampung pada lembaga pendidikan alternatif lainnya, maka mereka ini tidak akan menyelesaikan pendidikan dasar. Ketiga, adanya lulusan SD/MI atau yang setara yang tidak melanjutkan ke SMP/MTs atau yang setara. Kalau lulusan tersebut tidak ditampung di lembaga pendidikan apapun, termasuk pendidikan luar sekolah, maka mereka tidak akan dapat menyelesaikan pendidikan dasar. Mereka yang tidak mampu menyelesaikan pendidikan dasar, terutama yang terjadi di tingkat SD/MI merupakan faktor potensial untuk menjadi warga buta aksara, yang akan menjadi beban sosial di kemudian hari. Sementara itu, kalau kita cermati arus siswa dalam siklus 1982/1983 - 1990/1991 dan siklus 1992/1993 - 2000/2001 terdapat perbaikan tingkat penyelesaian pendidikan dasar, yang disebabkan adanya perbaikan angka mengulang kelas, angka putus sekolah, dan angka melanjutkan atau kombinasi dari ketiganya. Perbaikan-perbaikan tersebut antara lain merupakan dampak positif dari program Wajar 9 Tahun yang telah dilakukan selama ini. Namun demikian, harus disadari walaupun terdapat perbaikan yang cukup signifikan, angka mengulang dan angka putus sekolah, khususnya pada tingkat SD/MI masih tinggi, dan persentase lulusan SD/MI yang melanjutkan pendidikan ke tingkat SMP/MTs masih relatif rendah. 2. Peningkatan Mutu Pendidikan a. Nilai Ebtanas Murni/Ujian Akhir Nasional 1). Tingkat SD/MI Salah satu indikator yang digunakan untuk mengukur mutu pendidikan adalah hasil Ujian Akhir Sekolah (UAS) dan Ujian Akhir Nasional (UAN)/Nilai Ebtanas Murni (NEM). Rata-rata NEM SD/MI tahun 1998/1999 adalah 5,99. Secara sederhana hal tersebut menggambarkan bahwa rata-rata siswa SD/MI hanya mampu menyerap 59,9 persen bahan ajar yang dipelajari. Tingkat mutu pendidikan SD/MI beragam menurut propinsi. Dari 24 propinsi yang datanya lengkap (tabel-2.6), terdapat 12 propinsi (50%) yang memiliki NEM yang lebih tinggi dibanding dengan tingkat pencapaian nasional dan 12 propinsi (50 persen) lainnya di bawah rata-rata nasional. NEM tertinggi dicapai oleh DI Yogyakarta sebesar 6,74, sementara NEM terendah dimiliki oleh Kalimantar Barat sebesar 4,98.

22

Tabel-2. Nilai Ebtanas Murni SD/MI antar Propinsi Tahun 1998/1999


Propinsi DKI Jakarta Jawa Barat Banten Jawa Tengah DI Yogyakarta Jawa Timur Nanggroe Aceh Darussalam Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Jambi Sumatera Selatan Bangka Belitung Bengkulu Lampung Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Utara Gorontalo Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Maluku Maluku Utara Bali Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur Papua Sumber: Depdiknas, 1999 Nilai Ebtanas >= 5,99 6,65 6,49 6,56 6,74 6,25 6,71 6,59 5,95 6,36 6,09 6,06 6,50 Murni < 5,99

5,67 5,46 5,31 5,93 5,39 4,98 5,29 5,92 5,92 5,95 5,91 5,16

2). Tingkat SMP/MTs Berdasarkan data Nilai Ujian Akhir Nasional (NUAN) SMP Negeri/Swasta tahun 2002/2003 diketahui rerata NUAN untuk seluruh mata pelajaran secara nasional relatif cukup tinggi, yaitu 5,93. Tingkat pencapaian NUAN ini dapat ditafsirkan bahwa secara rerata, lulusan SMP menguasai 59,30 persen dari seluruh materi yang seharusnya dikuasai.

23

Tabel-2. Rata-rata NUAN SMP antar Propinsi Tahun 2002/2003


Propinsi DKI Jakarta Jawa Barat Banten Jawa Tengah DI Yogyakarta Jawa Timur Nanggroe Aceh Darussalam Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Jambi Sumatera Selatan Bangka Belitung Bengkulu Lampung Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Utara Gorontalo Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Maluku Maluku Utara Bali Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur Papua Sumber: Depdiknas, September 2003 NUAN >= 5,93 6,22 < 5,93 5,96 5,93 5,93 5,41 5,76 5,11 5,78 5,73 5,93 5,74 5,56 5,51 5,56 5,76 5,53 5,53 5,74 5,80 4,23 6,00 6,18 5,46 -

6,41 6,31 6,24

6,30

Tabel-2.7 menunjukkan dari 27 propinsi yang datanya tersedia, terdapat 7 propinsi (25,93 persen) yang memiliki rerata NUAN sama atau lebih tinggi dibanding dengan tingkat pencapaian nasional. Sementara itu, 20 propinsi lainnya mencapai rerata NUAN lebih rendah dari rerata nasional. Rerata NUAN tertinggi sebesar 6,41 di DI Yogyakarta dan terendah sebesar 4,23 di Propinsi Maluku. Rendahnya rerata NUAN secara nasional mengindikasikan perlunya peningkatan prioritas terhadap upaya-upaya peningkatan mutu pendidikan di tingkat SMP. Rendahnya tingkat pencapaian NUAN di 20 propinsi tersebut juga memerlukan pemusatan upaya peningkatan mutu pendidikan pada 18 propinsi yang rerata NUAN-nya di bawah angka nasional. Data di atas masih bersifat sementara, karena masih ada 3 propinsi yang belum melaporkan data NUAN-nya (Propinsi NTB, Propinsi Papua, dan Propinsi Bengkulu). Selain itu, data tersebut belum digabungkan dengan hasil NUAN MTs. Apabila semua data telah digabungkan, ada kemung-kinan rerata NUAN lebih rendah dari rerata NUAN yang telah diperoleh di atas. Rincian data NUAN per sekolah belum diperoleh, untuk dapat melihat berapa jumlah nominal sekolah yang berada di bawah rerata nasional. Namun demikian, gambaran tersebut dapat diperoleh dari hasil Ebtanas SMP pada tahun 2000/2001. 24

Berdasarkan hasil Ebtanas, SMP yang ada dapat dikelompokkan menjadi 5 kategori: (a) kelompok baik sekali dengan NUAN > 7,5, (b) kelompok baik dengan NUAN antara 6,5 - 7,5, (c) kelompok sedang, dengan NUAN antara 5,5 - <6,5, (d) kelompok kurang, dengan NUAN 4,5 - < 5,5, dan (e) kelompok kurang sekali, dengan NUAN di bawah 4,5. Data hasil ebtanas tahun 2000/2001 menunjukkan, bahwa dari sebagian besar SMP yang berhasil dihimpun datanya, terdapat sebanyak 0,03 persen yang masuk kategori baik sekali, 2,14 persen sekolah masuk kategori baik, 21,95 persen sekolah masuk kategori sedang. Sementara itu, sekolah dengan kategori kurang sebesar 68,37 persen. Sisanya, 7,48 persen dari seluruh sekolah yang ada masuk ke dalam kategori kurang sekali. Kalau NUAN dalam kategori sedang (5,51 sampai 6,50) ke atas dianggap mencerminkan hasil pendidikan yang bermutu, maka akses terhadap pendidikan yang bermutu pada tahun 2000/2001 masih sangat terbatas. Hanya 24,12 persen dari seluruh SMP yang ada masuk dalam kategori sedang ke atas. Artinya, upaya peningkatan mutu masih harus difokuskan kepada 75,88 persen dari sekolah yang ada. Jika pendidikan yang bermutu dicerminkan oleh kategori NUAN baik dan baik sekali, maka pada tahun 2000/2001, proporsi sekolah yang masuk dalam kelompok ini baru 2,17 persen. Data ini mengindikasikan bahwa akses terhadap pendidikan yang bermutu baru tersedia 2,17 persen dari sekolah yang ada. b. Rasio Siswa-Guru dan Siswa-Kelas Rasio siswa-guru merupakan indikator mutu input pendidikan, karena dengan rasio siswa-guru yang baik dapat diharapkan proses pendidikan berjalan baik pula. Idealnya perbandingan antara siswa dan guru tidak terlalu besar, sehingga jumlah siswa dalam setiap rombongan belajar tidak terlalu besar dan beban jam mengajar guru juga tidak terlalu banyak. Rasio siswa-guru dan siswa-kelas untuk tingkat SD dapat dilihat pada Tabel 2.8. Berdasarkan tabel tersebut, secara nasional rata-rata rasio siswa-guru adalah 22 dan rasio siswa-kelas adalah 26. Dengan berpedoman dalam satu kelas terdapat 40 orang siswa, guru SD merupakan guru kelas dan setiap SD memiliki seorang guru olahraga dan seorang guru agama, serta seorang kepala sekolah, maka secara ideal rasio siswa-guru di SD sebesar 1 : 26. Dengan demikian data pada Tabel 2.8 menunjukkan bahwa secara nasional dan propinsi, rasio siswa-guru sudah mencukupi, bahkan melebihi. Masalah yang terjadi di lapangan adalah ketidakmerataan guru. Di sebagian sekolah terjadi kelebihan guru, sementara di sekolah lain terjadi kekurangan guru. Kecenderungannya di daerah perkotaan terjadi kelebihan guru, sementara di daerah pedesaan dan terpencil seringkali kekurangan guru. Hal itu diduga akibat terjadinya mutasi guru dari pedesaan ke kota secara sistematik.

25

Tabel-2. Rasio Siswa-Guru dan Siswa-Kelas SD/MI Tiap Propinsi


Propinsi DKI Jakarta Jawa Barat Banten Jawa Tengah DI Yogyakarta Jawa Timur N Aceh Darussalam Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Jambi Sumatera Selatan Bangka Belitung Bengkulu Lampung Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Utara Gorontalo Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Maluku Maluku Utara Bali Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur Papua Siswa/Guru <= 22 > 22 24 29 33 22 16 20 22 21 20 21 20 21 22 15 17 20 12 21 21 21 22 17 20 20 23 21 24 23 23 26 23 26 26 19 21 25 17 23 24 24 18 21 21 25 22 29 Siswa/Kelas <= 26 > 26 33 30 32 27 27 27 27

23

30

23

27

23 23 26

Sumber: Statistik Sekolah Dasar, 2002, PDIP Depdiknas.

Rasio siswa-kelas juga sudah melebihi standar. Jika standarnya 1 : 40, Tabel 2.8 menunjukkan bahwa siswa-kelas di semua propinsi kurang dari standar tersebut. Bahkan untuk beberapa daerah tertentu rasio tersebut sudah demikian kecil akibat menurunnya populasi anak usia 7 12 tahun. Oleh karena itu sejak tahun-tahun terakhir telah terjadi penyatuan (merger) antara beberapa SD. Di tingkat SMP, rasio siswa-guru menunjukkan angka lebih kecil, yakni secara nasional sebesar 16. Hal ini dapat dipahami karena jumlah guru di SMP adalah guru mata pelajaran, sehingga penyediaan tenaga guru berdasarkan kepada kebutuhan mata pelajaran yang diberikan pada tingkat SMP. Namun apabila data SMP dan MTs digabung seluruh propinsi maka rasio siswa guru secara nasional menjadi 14,31. Sementara itu rasio siswa-kelas secara nasional sebesar 1 : 39. Data secara rinci untuk masing-masing propinsi tampak pada Tabel 2.9. Dilihat data secara nasional, rasio siswa-kelas memang masih cukup besar. Masih ada 6 propinsi yang rasio siswa-kelas di atas 40 orang. Mengingat ketidakmerataan distribusi siswa per sekolah, dapat dipastikan masih banyak SMP/MTs yang 26

mempunyai rasio siswa-kelas lebih besar dari 40, sehingga masih diperlukan penambahan ruang kelas baru. Tabel-2. Rasio Siswa-Guru dan Siswa-Kelas SMP Tiap Propinsi
Siswa/Guru <= 16 > 16 DKI Jakarta 15 Jawa Barat 19 Banten 18 Jawa Tengah 18 DI Yogyakarta 11 Jawa Timur 15 N Aceh Darussalam 14 Sumatera Utara 16 Sumatera Barat 14 Riau 15 Jambi 14 Sumatera Selatan 17 Bangka Belitung 16 Bengkulu 16 Lampung 14 Kalimantan Barat 15 Kalimantan Tengah 12 Kalimantan Selatan 12 Kalimantan Timur 15 Sulawesi Utara 12 Gorontalo 13 Sulawesi Tengah 13 Sulawesi Selatan 14 Sulawesi Tenggara 15 Maluku 13 Maluku Utara 14 Bali 14 Nusa Tenggara Barat 17 Nusa Tenggara Timur 15 Papua 14 Sumber: Statistik SLTP, 2002, PDIP Balitbangdiknas Propinsi Siswa/Kelas <= 39 > 39 38 43 42 41 43 41 36 41 38 38 39 39 35 35 40 38 35 33 37 30 37 37 37 34 30 36 39 40 38 35

Rasio ideal untuk siswa-guru di SMP/MTs tidak mudah dirumuskan. Namun jika digunakan pedoman siswa per kelas 40 orang, jumlah jam mengajar guru per minggu 24 jam pelajaran, jumlah jam pelajaran per minggu 40 jam pelajaran, maka secara umum rasio siswa-guru yang ideal sebesar 1 : 24. Dengan demikian data pada Tabel 2.9 menunjukkan rasio siswa-guru telah memenuhi batas ideal. Namun seperti halnya di SD masalah yang terjadi adalah ketidakmerataan distribusi guru. Di SMP/MTs perkotaan banyak terjadi kelebihan guru, sementara di SMP/MTs pedesaan terjadi kekurangan guru. Gambaran tersebut menunjukkan bahwa di samping penambahan guru, perlu upaya meratakan guru untuk mengurangi kelebihan di satu daerah dan kekurangan di daerah lainnya. c. Rasio Kelas-Ruang Kelas dan Laboratorium-Sekolah Rasio kelas atau rombongan belajar-ruang kelas dapat digunakan untuk melihat, seberapa banyak sekolah yang melaksanakan double shift (kelas pagi dan kelas siang/petang). Tabel 2.10 menunjukkan rasio rombongan belajar-ruang kelas pada 27

jenjang SD/MI. Secara nasional rasio rombongan belajar-ruang kelas sebesar 1,09. Artinya, rata-rata terdapat sekitar 9% SD/MI mempunyai pola double shift dalam penyelenggaraan pendidikannya. Tabel-2. Rasio Kelas-Ruang Kelas di SD/MI tiap Propinsi
Propinsi DKI Jakarta Jawa Barat Banten Jawa Tengah DI Yogyakarta Jawa Timur N Aceh Darussalam Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Jambi Sumatera Selatan Bangka Belitung Bengkulu Lampung Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Utara Gorontalo Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Maluku Maluku Utara Bali Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur Papua Kelas/Ruang Kelas <= 1,00 > 1,00 1,38 1,12 1,14 1,04 1,06 1,17 1,05 1,07 1,16 1,18 1,12 1,03 1,07 1,07 1,15 1,17 1,10 1,08 1,03 1,03 1,02 1,08 1,10 1,14 1,18 1,25 1,03 1,11

1,00

0,97

Sumber: Statistik Sekolah Dasar, 2002, PDIP Depdiknas.

Untuk tingkat SMP rasio kelas-ruang kelas secara nasional sebesar 1,04 dan rician untuk setiap propinsi tampak pada Tabel 2.11. Data tersebut menunjukkan masih terdapat rata-rata 4 persen sekolah yang melaksanakan double shift. Dari 30 propinsi hanya 10 propinsi yang rasionya lebih kecil atau sama dengan 1,0. Mengingat double shift tidak ideal dalam pembelajaran, maka di masa datang masih diperlukan penambahan ruang kelas, sehingga rasio rombongan belajar-ruang kelas sama dengan 1,0. Data pada Tabel 2.11 juga menunjukkan rasio laboratorium-sekolah di tingkat SMP secara nasional sebesar 68,31 persen. Artinya dari 100 sekolah, hanya 68 sekolah memiliki laboratorium, baik lab IPA, lab Bahasa, atau lab IPS. DI Yogyakarta memiliki persentase yang tertinggi, yakni hampir semua sekolah (98,41 persen) mempunyai laboratorium, sementara Propinsi Maluku Utara hanya 11,35 persen. Data selengkapnya 28

ditunjukkan pada Tabel 2.11. Data tersebut menunjuk-kan secara nasional bahwa SMP/MTs memang masih banyak yang belum memiliki laboratorium dan ada beberapa propinsi yang kekurangan sangat besar. Tabel-2. Rasio Kelas-Ruang Kelas dan Lab-Sekolah SMP tiap Propinsi
Propinsi Kelas/Ruang Kelas <= 1,00 > 1,00 1,12 1,22 1,21 1,02 1,01 1,09 1,06 1,04 1,02 1,03 1,01 1,01 1,01 Lab/Sekolah <= > 68,31% 68,31% 97,84 55,79 54,45 69,58 98,41 72,14 67,94 66,92 94,27 71,46 69,30 67,41 69,84 89,50 46,83 60,32 44,65 92,10 73,13 53,89 76,83 55,29 86,60 71,37 47,30 11,35 83,61 85,93 49,91 48,72

DKI Jakarta Jawa Barat Banten Jawa Tengah DI Yogyakarta 0,95 Jawa Timur N Aceh Darussalam 0,98 Sumatera Utara 0,98 Sumatera Barat Riau Jambi 0,96 Sumatera Selatan Bangka Belitung 0,99 Bengkulu Lampung Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan 0,99 Kalimantan Timur 1,00 Sulawesi Utara Gorontalo 1,00 Sulawesi Tengah 0,98 Sulawesi Selatan 1,00 Sulawesi Tenggara Maluku Maluku Utara Bali Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur Papua Sumber: Statistik SLTP, 2002, PDIP Depdiknas.

1,07 1,06 1,01 1,05 1,33 1,05 1,02

d. Kelayakan Mengajar Guru Guru mempunyai peran strategis dalam meningkatkan mutu pendidikan, sehingga diperlukan kelayakan untuk mengajar pada jenis dan jenjang pendidikan tertentu. Kelayakan mengajar guru, dapat dilihat berdasarkan kualifikasi pendidikan dan kesesuaian mengajar dengan latar belakang pendidikannya. Tabel 2.12 berikut menunjukkan kualifikasi pendidikan guru SD dan SMP tiap propinsi.

29

Tabel-2. Persentase Kualifikasi Guru SD dan SMP Tiap Propinsi


Propinsi Guru SD (%) < D2 >= D2 Guru SMP (%) < D3 >= D3 32.02 26.67 26.84 31.22 34.88 19.65 44.92 40.73 34.28 32.95 43.91 38.71 38.65 34.77 40.56 54.42 34.65 37.49 47.83 49.92 47.78 50.30 45.88 41.07 37.83 25.20 35.76 22.49 51.67 50.88 33,67 67.98 73.33 73.16 68.78 65.12 80.35 55.08 59.27 65.72 67.05 56.09 61.29 61.35 65.23 59.44 45.58 65.35 62.51 52.17 50.08 52.22 49.70 54.12 58.93 62.17 74.80 64.24 77.51 48.33 49.12 66,33

DKI Jakarta 22.49 77.51 Jawa Barat 29.73 70.27 Banten 32.35 67.65 Jawa Tengah 37.43 62.57 DI Yogyakarta 38.30 61.70 Jawa Timur 35.88 64.12 N Aceh Darussalam 69.76 30.24 Sumatera Utara 72.07 27.93 Sumatera Barat 51.31 48.69 Riau 61.66 38.34 Jambi 60.19 39.81 Sumatera Selatan 67.45 32.55 Bangka Belitung 57.75 42.25 Bengkulu 53.69 46.31 Lampung 67.73 32.27 Kalimantan Barat 73.96 26.04 Kalimantan Tengah 68.22 31.78 Kalimantan Selatan 55.86 44.14 Kalimantan Timur 64.79 35.21 Sulawesi Utara 77.94 22.06 Gorontalo 78.50 21.50 Sulawesi Tengah 72.77 27.23 Sulawesi Selatan 64.79 35.21 Sulawesi Tenggara 71.47 28.53 Maluku 65.63 34.37 Maluku Utara 83.50 16.50 Bali 46.53 53.47 Nusa Tenggara Barat 63.56 36.44 Nusa Tenggara Timur 74.39 25.61 Papua 76.26 23.74 Rata-rata Nasional 50,51 49,49 Sumber: Statistik SD dan SLTP, 2002, PDIP Depdiknas.

Dari Tabel 2.12 di atas, secara nasional terdapat 49,49 persen guru SD yang layak jika dilihat berdasarkan kualifikasi mengajar minimal D2, sedangkan terdapat 50,51 persen yang dinilai tidak layak. Pada tingkat SMP, terdapat 66,33 persen guru SMP yang dinilai layak berdasarkan kualifikasi mengajar pada tingkat SMP, yaitu minimal D3, sedangkan terdapat 33,67 persen yang dinilai tidak layak. Data tersebut menunjukkan masih perlu upaya sungguh-sungguh untuk meningkatkan kualifikasi guru, baik guru SD/MI maupun SMP/MTs. Namun demikian perlu diperhatikan bahwa pengirim-an guru mengikuti pendidikan kualifikasi ke kampus dapat menyebabkan sekolah kekurangan guru, sehingga proses belajar mengajar terganggu. Oleh karena itu perlu diupayakan cara agar guru dapat mengikuti program kualifikasi, tetapi proses belajar mengajar di sekolah dapat berjalan lancar. 5. Kondisi Gedung Sekolah

30

Kondisi gedung sekolah dan ruang kelas dapat mempengaruhi peningkatan mutu pendidikan, jika dilihat dari fungsi dan kegunaan gedung dan ruang kelas. Tabel 2.13 berikut menunjukkan kondisi ruang yang ada di tiap Propinsi. Tabel-2. Kondisi Ruang Kelas tiap Propinsi
Propinsi SD/MI Rusak Berat (%) Rusak Ringan (%) Baik (%) SMP/MTs Rusak Rusak Berat Ringan (%) (%) 2.26 5.20 4.93 1.49 2.38 1.96 4.21 3.74 4.47 0.92 3.48 1.90 1.95 6.61 2.86 2.87 1.83 3.40 3.42 7.23 7.54 3.53 4.08 3.74 9.57 9.46 4.79 1.68 7.40 9.47 4.28 9.76 10.92 10.59 7.76 8.40 6.37 10.93 9.65 10.99 4.20 9.14 6.50 6.56 14.08 8.83 9.67 3.48 11.01 9.29 17.40 12.87 6.85 11.08 9.01 13.74 18.72 10.33 9.63 11.94 8.38 9.94 Baik (%)

DKI Jakarta 4.48 14.64 80.88 Jawa Barat 32.40 36.45 31.15 Banten 25.74 28.25 46.00 Jawa Tengah 18.94 38.37 42.69 DI Yogyakarta 14.13 40.70 45.17 Jawa Timur 17.55 36.87 45.58 N Aceh Darussalam 23.25 34.91 41.84 Sumatera Utara 20.22 38.64 41.14 Sumatera Barat 18.24 38.88 42.89 Riau 30.54 28.62 40.84 Jambi 22.26 25.61 52.12 Sumatera Selatan 21.74 33.17 45.09 Bangka Belitung 13.26 29.93 56.81 Bengkulu 31.56 35.66 32.78 Lampung 28.70 45.60 25.70 Kalimantan Barat 28.39 33.32 38.29 Kalimantan Tengah 30.92 31.47 37.61 Kalimantan Selatan 27.52 33.18 39.30 Kalimantan Timur 22.31 36.00 41.70 Sulawesi Utara 17.16 33.04 49.79 Gorontalo 21.86 32.95 45.19 Sulawesi Tengah 34.03 33.00 32.97 Sulawesi Selatan 19.69 31.52 48.78 Sulawesi Tenggara 31.99 33.12 34.89 Maluku 36.24 30.98 32.78 Maluku Utara 38.07 29.50 32.43 Bali 20.08 35.33 44.59 NusaTenggara Barat 16.64 32.97 50.39 NusaTenggara Timur 36.68 29.37 33.96 Papua 23.42 25.49 51.09 Rata-rata 24.27 32.92 42.82 Nasional Sumber: Statistik SD dan SLTP, 2002, PDIP Depdiknas.

87.98 83.88 84.48 90.74 89.21 91.67 84.86 86.61 84.54 94.88 87.38 91.60 91.50 79.32 88.31 87.46 94.69 85.58 87.29 75.37 79.59 89.62 84.83 87.25 76.69 71.82 84.88 88.69 80.66 82.15 85.78

Data di atas menunjukkan bahwa kerusakan gedung sekolah sangat besar. Untuk SD/MI 24,27% gedung sekolah rusak berat dan 32,92% rusak ringan. Untuk tingkat SMP 4,28% gedungnya rusak berat dan 9,94% rusak ringan. Kerusakan gedung tersebut berpengaruh terhadap proses belajar mengajar dan akhirnya berpengaruh pada mutu pendidikan. Oleh karena itu, dalam rangka menuntaskan Wajar 9 Tahun, 31

kerusakan tersebut perlu diatasi, sehingga dapat memberikan kenyamanan pada siswa dalam kegiatan belajar mengajar. Pendidikan Bagi Anak Perempuan dan Berkelainan a. Akses Pendidikan bagi Anak Perempuan Secara nasional, akses terhadap pendidikan dasar pada umumnya menunjukkan adanya tingkat keseimbangan antara perempuan dan laki-laki. Pada tahun 1999/2000, APK siswa perempuan pada SD/MI sebesar 94,20 persen sedangkan pada SMP/MTs sebesar 70,88 persen. Angka ini hanya sedikit berbeda dengan siswa laki-laki yang mencapai angka 98,82 persen pada tingkat SD/MI dan 72,66 persen pada SMP/MTs. Tabel-2. APK Perempuan di SD/MI Tahun 1999/2000
<94.20 DKI Jakarta 88.00 Jawa barat 93.50 Jawa tengah 96.70 DI Yogyakarta 97.60 Jawa Timur 97.70 N Aceh Dar. 98.80 Sumatra utara 93.00 Sumatra Barat 92.70 Riau 99.70 Jambi 94.20 Sumatra Selatan 90.90 Bengkulu 95.00 Lampung 91.00 Kalimantan Barat 90.10 Kalimantan Tengah 97.30 Kalimantan Selatan 96.40 Kalimantan Timur 87.90 Sulawesi Utara 94.50 Sulawesi Tengah 91.10 Sulawesi Selatan 95.00 Sulawesi Tenggara 98.80 Maluku 93.60 BalI 96.60 NTB 99.20 NTT 83.80 Irian Jaya 73.90 Jumlah propinsi 14 12 Sumber: Internasionalisasi Informasi Pendidikan Nasional, PDIP Depdiknas, 2001. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 No Propinsi APK >94.20

Sedangkan bila dilihat dari jumlah siswa, terdapat 48,33 persen siswa perempuan pada tingkat SD/MI. Perkembangan antar-tahun menunjukkan angka yang stabil dengan kenaikan yang kurang berarti, yaitu sebesar 48,26 persen pada tahun 1993/1994 menjadi 48,33 persen pada tahun 1999/2000. Demikian pula dengan siswa SMP/MTs, persentase siswa perempuan menunjukkan kenaikan walaupun masih relatif kecil, yaitu dari 46,52 persen pada tahun 1993/1994 menjadi 48,22 persen pada tahun 1999/2000. Dengan demikian tidak terjadi kesenjangan yang tinggi antara anak laki-laki dan anak perempuan dalam memperoleh layanan pendidikan dasar. 32

Kalau dilakukan analisis pada tingkat propinsi, maka terdapat 12 propinsi yang tingkat partisipasi perempuan umur 7-12 tahun di bawah rerata nasional dan 14 propinsi lainnya lebih tinggi. Angka tertinggi sebesar 99,70 persen di Propinsi Riau dan terendah sebesar 73,90 persen di Propinsi Papua. Khusus di Propinsi Papua, akses bagi anak perempuan masih sangat jauh tertinggal dibandingkan dengan akses anak laki-laki yang sudah mencapai 91,40 persen, untuk itu perlu upaya khusus untuk mendorong anak perempuan di sana untuk masuk ke Pendidikan Dasar 9 Tahun. Kasus seperti Propinsi Papua sebenarnya masih terjadi di daerah tertentu dan itu banyak terkait dengan masalah budaya. Oleh karena itu pada daerah seperti itu masih diperlukan upaya mempercepat penyetaraan gender dalam pendidikan. b. Akses Pendidikan bagi Anak Berkelainan Pada tahun 2000/2001 terdapat 1.287 lembaga Pendidikan Luar Biasa (PLB) yang terdiri dari Sekolah luar Biasa (SLB), SD Luar Biasa (SD LB) dan Sekolah Terpadu. Dari jumlah itu, 32,56 persen adalah milik pemerintah. Hal itu menunjukkan bahwa sebagian besar lembaga pendidikan bagi anak berkelainan diselenggarakan oleh swasta. Adapun jumlah anak berkelainan yang mendapat pelayanan dari ketiga jenis lembaga pendidikan tersebut sebanyak 49.647 orang anak. Dari 875 buah SLB yang ada di Indonesia, 52 sekolah khusus bagi tuna netra, 106 sekolah khusus untuk tuna rungu, 15 sekolah khusus bagi tuna grahita, 12 sekolah khusus bagi tuna laras, 5 sekolah khusus bagi ganda, dan 517 sekolah melayani anak dengan berbagai kekurangan. Perkembangan jumlah siswa SLB dari tahun 1998/1999 hingga 2000/2001 menunjukkan peningkatan. Jumlah siswa pada tahun tersebut adalah 36.849 orang, 37.460 orang, dan 38.827 orang. Sedangkan perkembangan jumlah siswa SDLB dari tahun 1998/1999 hingga 2000/2001 sebesar 9.090 orang, 9.621 orang, dan 9.868 orang. Perkembangan jumlah siswa Sekolah Terpadu dari tahun 1998/1999 hingga 2000/2001 memiliki kecenderungan yang agak berbeda dengan dua jenis sekolah yang lain, dan lebih cenderung berfluktuasi, dengan jumlah 961 orang, 922 orang, dan 952 orang. Tabel-2. Sekolah dan Siswa Luar Biasa Negeri Swasta Jumlah Sekolah 419 868 1.287 SLB 38 837 875 SD LB 228 0 228 Sekolah Terpadu 153 31 184 Siswa 13.904 35.743 49.647 SLB 3.162 35.665 38.827 SD LB 9.868 0 9.868 Sekolah Terpadu 874 78 952 Sumber: Statistik Pendidikan Luar Biasa, Tahun 2001, PSP Depdiknas. Peningkatan jumlah siwa SLB, SD LB maupun Sekolah Terpadu menunjukkan indikator bahwa orangtua mau menyekolahkan anak-anak mereka yang menyandang 33

kelainan. Hal itu merupakan suatu kemajuan sehingga sekolah seperti itu perlu dikembangkan, sebagai bentuk layanan pendidikan bagi semua anak, sekaligus pemenuhan hak asasi bagi semua anak.

34

BAB III VISI, MISI, SASARAN DAN KEBIJAKAN Untuk memperkuat komitmen bangsa Indonesia dalam membangun pendidikan, perlu dirumuskan visi pendidikan nasional. A. VISI

Sesuai dengan amanat Undang Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional maka visi pendidikan adalah terwujudnya sistem pendidikan sebagai pranata sosial yang kuat dan berwibawa untuk memberdayakan semua warga negara Indonesia berkembang menjadi manusia yang berkualitas, sehingga mampu dan proaktif menjawab tantangan zaman yang selalu berubah. B. MISI

Selanjutnya dalam Undang Undang tersebut ditegaskan bahwa misi pendidikan nasional adalah a. mengupayakan perluasan dan pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan yang bermutu bagi seluruh rakyat Indonesia b. membantu dan memfasilitasi pengembangan potensi anak bangsa secara utuh sejak usia dini sampai akhir hayat dalam rangka mewujudkan masyarakat belajar c. meningkatkan kesiapan masukan dan kualitas proses pendidikan untuk mengoptimalkan pembentukan kepribadian yang bermoral d. meningkatkan keprofesionalan dan akuntabilitas lembaga pendidikan sebagai pusat pembudayaan ilmu pengetahuan, keterampilan, pengalaman, sikap, dan nilai berdasarkan standar nasional dan global e. memberdayakan peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan berdasdarkan prinsip otonomi dalam konteks negara kesatuan Republik Indonesia. SASARAN Program Nasional bagi Anak Indonesia diutamakan pada sasaran: 1. Jumlah anak usia 0 6 tahun (PADU), Pendidikan Anak Dini Usia (0 6 tahun) yang memperoleh layanan pendidikan di berbagai lembaga layanan dari 7,34 juta anak (28 persen) pada tahun 2001 menjadi 28.97 juta anak (85 persen) pada tahun 2015 dengan asumsi kenaikan jumlah penduduk usia 0-6 tahun rata-rata 2 persen pertahun. Jumlah lembaga layanan 303,736 pada tahun 2001 menjadi 12,7 juta lembaga pada tahun 2015 dengan asumsi kenaikan rata-rata 3 persen pertahun tahun. Jumlah anak usia 7 15 tahun (Wajib Belajar Pendidikan Dasar) Dengan jumlah peserta didik di SMP/MTs sebanyak 9.626.225 anak pada tahun 2001, berarti masih terdapat 3.221.275 anak yang harus ditampung di SMP, seandainya wajib belajar pendidikan dasar akan kita tuntaskan pada tahun 2008, berarti setiap tahun daya tampung harus bertanbah sekitar 4620.200 anak. 35

2.

Upaya untuk mencapai sasaran tidak seluruhnya dibebankan pada SMP dibawah pembinaan Departemen Pendidikan Nasional, melainkan juga pada MTs dibawah pembinaan Departemen Agama. Peranan pendidikan keagamaan memang sangat besar dan tidak boleh diabaikan dalam rangka wajib belajar pendidikan dasar. Pada akhir tahun 2000 terdapat 1.947.710 siswa SMP berada di MTs atau 20 persen dari jumlah siswa SMP, dan pada tahun 2008 jumlah siswa tersebut akan meningkat menjadi 2.115.662 siswa atau 18 persen dari total siswa SMP. Guna mendukung wajar Dikdas pada tingkat SMP diharapkan dapat didukung dengan program Kejar Paket B dengan target sasaran sebanyak 221.948 orang. Keadaan yang sama juga berlaku pada tingkat SD/MI, Dimana 2.947.627 siswa (10%) siswa di MI dan 25.807.613 siswa SD. Untuk menampung anak putus SD diharapkan dapat didukung dengan program Kejar Paket A dengan sasaran 256.000 orang. Mengingat peranannya yang signifikan ini, maka pendidikan keagamaan juga memerlukan perhatian sungguh-sungguh dalam rangka wajib belajar pendidikan dasar. Dengan asumsi bahwa daya tampung SMP bertambah 3.221.275 anak pada tahun 2008,dan setiap 40 anak memerlukan satu ruang kelas,maka diperlukan 80.532 ruang kelas baru, disamping yang sudah ada. Di samping sarana, wajib belajar pendidikan dasar juga memerlukan guru,bukubuku pelajaran, media pendidikan, dan fasilitas lainnya yang jumlahnya sangat besar. Dengan diberlakukannya Undang-undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah, maka kewenangan pendidikan khususnya pembangunan UGB/USB,RKB, dan pengadaan sarana lainnya untuk SD, SMP atau pendidikan yang sederajat termasuk pengadaan guru menjadi tanggung jawab Pemerintah, Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah Kabupaten/Kota sesuai dengan kebutuhan dan kondisi masing-masing daerah. 3. Sasaran antara: orang tua dan masyarakat Meningkatkan jumlah partisipasi orang tua yang memiliki anak dini usia untuk mengikuti program pendidikan anak dini usia. Kebijakan Meningkatkan perluasan pelayanan pendidikan bagi anak dini usia terutama di daerah pedesaan Meningkatkan kualitas pelayanan pendidikan anak dini usia Meningkatkan partisipasi masyarakat melalui pembentukan dan pemberdayaan Forum PADU Meningkatkan akses dan perluasan belajar bagi semua anak usia pendidikan dasar dengan target utama daerah dan masyarakat miskin, terpencil, dan terisolasi Meningkatkan kualitas pendidikan dasar, sehingga setiap tamatan mempunyai kompetensi dasar yang dapat digunakan untuk hidup dalam masyarakat atau melanjutkan pendidikan kejenjang yang lebih tinggi 36

D. a. b. c. d. e.

f. g.

Meningkatkan efisiensi manajemen pendayagunaan sumberdaya pendidikan dan mengupayakan agar semua lembaga pendidikan dasar dapat melaksanakan fungsinya secara lebih efisien dan efektif Meningkatkan akses pendidikan dasar yang dilakukan bersama-sama dengan perbaikan mutu pendidikan

37

BAB IV STRATEGI Untuk melaksanakan kebijakan tersebut, maka beberapa strategi pelaksanaan perlu ditetapkan, antara lain: 1. Memperluas layanan pendidikan anak dini usia dan pendidikan dasar terutama bagi anak yang sangat rawan dan kurang beruntung. 2. Memperbaiki sistem dan kualitas data dan informasi mengenai anak usia 0-6 tahun 3. meningkatkan mutu pendidikan anak usia dini melalui perbaikan kurikulum atau rencana kegiatan yang seimbang 4. memperbanyak kesempatan pelatihan dengan sertifikasi bagi guru dan fasilitator anak usia dini 5. mengembangkan dan meningkatkan sosialisasi dan monitoring 6. Meningkatkan dan memperkuat program esensial untuk meningkatkan jumlah anak mendapat layanan pendidikan (USB, RKB, Sekolah Alternatif, Pondok Pesantren) 7. Memberi peluang yang lebih besar kepada sekolah swasta (imbal swadaya, insentif guru, subsidi) 8. Target layanan pendidikan lebih diutamakan bagi masyarakat miskin dan tidak terjangkau 9. Wajib belajar ditangani secara lokal dengan focal point Pemerintah kabupaten/Kota 10. Meningkatkan partisipasi masyarakat (Dewan Sekolah, Komite Sekolah) 11. Peningkatan mutu, relevansi, efisiensi dan partisipasi masyarakat melalui manajemen berbasis sekolah

38

BAB V PROGRAM Secara umum program nasional bagi anak Indonesia di bidang adalah: a. Peningkatan Akses dan Perluasan Kesempatan Belajar b. Peningkatan Mutu dan Relevansi Pendidikan c. Peningkatan Efisiensi Manajenen Pendidikan Alur Program Pendidikan Bagi Anak Indonesia
andu TK RA KB TPA Posy
Kebutuhan Operasional

Pendidikan

Pendataan

Peningkatan Mutu Pelayanan

Pelatihan

PNBAI
Kebutuhan Operasional SD 6 Thn & yang Sederajat
DIKDAS

Pemetaan dan Pengelompokan Sekolah

Biaya Operasional Peningkatan Mutu

Kebutuhan Operasional SMP 3 Thn & yang Sederajat Peningkatan Mutu Ekspansi

39

BAB VI RENCANA KEGIATAN Untuk melaksanakan program tersebut, telah disusun rencana kegiatan sbb: 1. Melakukan pembangunan atau pemanfaatan berbagai fasilitas pelayanan pendidikan anak usia dini yang ada di masyarakat 2. Pengembangan model layanan pendidikan atau rintisan program TK Kecil, TK alternatif, Kelompok Bermain, Taman Penitipan Anak, Pendidikan terpadu Posyandu, Pusat PADU 3. Melakukan sosialisasi pentingnya PADU kepada masyarakat 4. Meningkatkan partisipasi masyarakat terhadap penyelenggaraan layanan pendidikan anak usia dini 5. Memberikan bantuan teknis, pendampingan dan/atau pembinaan secara berkesinambungan terhadap berbagai layanan pendidikan anak usia dini 6. Mengembangkan pedoman, kurikulum, dan bahan ajar bagi penyelenggaraan pendidikan anak usia dini 7. Meningkatkan kapasitas tenaga pendidik anak usia diniMelakukan pembentukan dan pemberdayaan Forum PADU dan Konsorsium PADU 8. Melakukan pembinaan monitoring dan evaluasi pelaksanaan pendidikan anak usia dini 9. Meningkatkan keterampilan manajemen penyelenggaraan anak usia dini 10. Melanjutkan pembangunan unit sekolah baru (USB) dan ruang kelas baru (RKB) bagi daerah yang membutuhkan, khususnya di daerah pedesaan, terpencil dan terisolasi 11. Melanjutkan usaha rehabilitasi gedung SD/MI maupun SMP/MTs yang rusak. 12. Melanjutkan program retrival untuk menarik kembali anak-anak yang putus sekolah, baik di tingkat SD/MI maupun SMP/MTs. 13. Memberdayakan dan meningkatkan mutu layanan pada SMP Terbuka yang telah dikembangkan pada tahun-tahun sebelumnya. 14. Meningkatkan program Pendidikan Luar Sekolah, seperti Kejar Paket A dan Paket B dalam menangani anak usia pendidikan dasar yang karena sesuatu sebab tidak dapat mengikuti pendidikan persekolahan. 15. Mengoptimalkan pelaksanaan pendidikan dasar melalui pondok pesantren salafiyah, baik Madrasah Diniyah Ula (setara SD) maupun Madrasah Diniyah Wustha (setara SMP), agar dapat setara dengan SD/MI dan SMP/MTs. 16. Meningkatkan mutu pelayanan pada SLB, SDLB, SMPLB maupun Sekolah Terpadu dan sekolah Inklusi. 17. Melakukan konsolidasi SD Kecil, SD Satu Guru dan SMP Kecil. 18. Meningkatkan pelayanan pendidikan bagi anak usia sekolah 7-15 tahun yang merupakan target-target khusus Pendidikan Dasar 9 Tahun, seperti: anak-anak yang berasal dari daerah terpencil, anak-anak daerah kumuh, anak-anak jalanan, dan kelompok anak-anak lain yang masih belum terjangkau pelayanan pendidikan dasar. 19. Melanjutkan pendekatan kultural untuk mendorong anak perempuan dan anakanak suku tertentu agar mengikuti Pendidikan Dasar 9 Tahun. 20. Memberikan penghargaan kepada Kabupaten/Kota yang dinilai berhasil melakukan upaya-upaya penuntasan wajib belajar 9 tahun. 21. Melanjutkan upaya peningkatan mutu belajar mengajar, sehingga mampu memberikan pembelajaran yang bermakna bagi siswa, menciptakan situasi belajar 40

22. 23.

24. 25. 26. 27. 28. 29. 30.

31. 32. 33. 34. 35.

36. 37. 38.

yang menyenangkan dan mampu menumbuhkan sikap kerja keras, mandiri, kreatif, inovatif dan demokratis kepada siswa. Melanjutkan penyempurnakan kurikulum pendidikan dasar dengan secara bertahap menerapkan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) dan Pendidikan Kecakapan Hidup (PKH), serta membenahi sistem evaluasi pendidikan. Melanjutkan inovasi program Bridging Course bagi siswa baru SMP/MTs, yang terbukti mampu memperkuat bekal awal mereka, sehingga dapat mengurangi angka mengulang kelas dan angka putus sekolah, akibat tidak mampu mengikuti pelajaran. Melanjutkan inovasi program Billingual untuk bidang MIPA, sebagai langkah meningkatkan mutu pendidikan, khususnya kemampuan berbahasa Inggris dan MIPA secara terintegrasi. Melanjutkan upaya untuk meningkatkan rasio siswa:guru, sehingga dicapai rasio yang ideal. Melanjutkan upaya peningkatan kualifikasi tenaga kependidikan, khususnya guru, sehingga memenuhi standar kualifikasi yang telah ditentukan. Melanjutkan upaya peningkatan kompetensi dan profesionalisme tenaga kependidikan, khususnya guru SD/MI dan SMP/MTs. Melanjutkan langkah-langkah untuk meningkatkan kelengkapan dan kualitas sarana dan prasarana pendidikan yang menjadi persyaratan bagi setiap lembaga pendidikan dasar. Melanjutkan pengadaan buku mata pelajaran yang berkualitas sehingga rasio buku dan murid mencapai 1:1 untuk setiap mata pelajaran, khususnya untuk sekolah yang sulit mendapatkan buku. Pola MPMBS yang ternyata berhasil baik akan diteruskan dan dikembangkan menyatu dengan pola school grant, khususnya untuk sekolah level menengah yang potensial, sehingga mereka mampu mengembangkan diri dengan mengoptimalkan potensi sekolah maupun lingkungan. Untuk sekolah yang masih baru atau sangat terbatas kemampuannya, pembinaan mutu akan diterapkan dengan pola Bantuan Khusus Sekolah Pengembangan sekolah memerlukan contoh atau rujukan. Dalam upaya mendorong tumbuhnya sekolah berstandar internasional, akan dikembangkan sekolah standar internasional minimal satu sekolah pada setiap propinsi. Menciptakan iklim dan suasana kompetitif dan kooperatif antar sekolah dalam memajukan dan meningkatkan kualitas siswa dan sekolah sesuai dengan standar yang telah ditetapkan. Melanjutkan program konsolidasi dan revitalisasi sekolah, khususnya sekolah dasar yang berdekatan dengan jumlah siswa yang relatif kecil Meningkatkan manajemen pendidikan di tingkat sekolah dan daerah dengan memperkuat dan meningkatkan kemampuan dan profesionalisme kepala sekolah dan pengelola pendidikan tingkat kabupaten/kota, melalui serangkaian pengembangan kapasitas. Mengadakan upaya pemberdayaan Dewan Pendidikan di tingkat kabupaten/kota dan Komite Sekolah di tingkat SD/MI dan SMP/MTs. Melanjutkan upaya pengembangan Sistem Informasi Manajemen Pendidikan (SIMP), sehingga setiap tingkat manajemen pendidikan mampu menjadikan sumber data/informasi sebagai dasar pengambilan keputusan. Pemberian bantuan biaya operasional program inklusi pada sekolah 41

39. Pemberian bantuan bea siswa bagi rekruitmen calon siswa yang belum bersesekolah 40. Mengingat Wajar 9 Tahun merupakan program nasional yang menyangkut berbagai pihak, maka akan dilakukan upaya menggalang partisipasi seluruh lapisan masyarakat. 41. Membangun komitmen melalui nota kesepahaman antara Pemerintah (Depdiknas) dengan Gubernur dan Bupati/Walikota yang siap dan bersedia untuk menuntaskan Wajar 9 tahun sebelum tahun 2008. 42. Pengembangan pola monitoring dan evaluasi yang komprehensif, cepat dan tepat.

42

BAB VII KELEMBAGAAN Organisasi dan mekanisme pelaksanaan PNBAI: 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. Pendidikan dilaksanakan melalui jalur, jenjang dan jenis pendidikan (umum dan khusus) Mengembangkan dan memperkuat lembaga pendidikan yang dikelola masyarakat/swasta Peningkatan peranserta masyarakat melalui lembaga Dewan Pendidikan, Komite Sekolah, dan Forum PADU Melibatkan berbagai pihak yang terkait pada tingkat nasional maupun daerah, termasuk masyarakat Pada tingkat nasional Depdiknas sebagai koordinator, instansi/ departemen terkait sebagai anggota Pada tingkat daerah (Provinsi dan Kabupaten/Kota), Kepala Dinas Pendidikan sebagai Koordinator, instansi dinas terkait sebagai anggota Memperkokoh peran pemerintah daerah terutama pemerintah Kab/Kota untuk melaksanakan Pendidikan Anak Dini Usia dan Wajib Belajar 9 tahun. Masing-masing organisasi (nasional maupun daerah) melaksanakan tugas perencanaan, pelaksanaan dan pengembangan program bagi anak secara terpadu. BAB VIII PEMBIAYAAN Berdasarkan program dan rencana kegiatan yang telah diuraikan diatas, maka proyeksi anggaran pendidikan anak usia dini sampai pada tahun 2015 diperkirakan sebesar Rp. 28 trilyun dengan sasaran anak usia 0-6 tahun dapat terlayani sebanyak 33,89 juta orang. Sedangkan untuk pendidikan dasar (usia 7-15 tahun) proyeksi anggaran diperkirakan sebesar Rp. 56,74 trilyun sampai pada tahun 2008 BAB IX MONITORING DAN EVALUASI Monitoring dan evaluasi dilaksanakan secara berkelanjutan dengan harapan agar pelaksanaan program tahun berikutnya lebih terarah sesuai dengan target sasaran yang telah ditentukan. Pola yang dikembangkan dalam melaksanakan monitoring dan evaluasi melalui Sistem Informasi Manajemen Pendidikan (EMIS) dengan menggunakan jaringan elektronik. Monitoring dan evaluasi dilaksanakan dengan melibatkan berbagai pihal, termasuk masyarakat sebagai stake holder dengan mengembangkan prinsip dasar monitoring dan evaluasi serta menyusun standar prosedur operasional (SPO) Provinsi mengembangkan pedoman pelaksanaan monitoring dan evaluasi dengan memperhatikan karakteristik daerah dan melakukan koordinasi dengan pusat untuk memantau program-program yang telah dilaksanakan di daerah. Demikian juga Kabupaten/Kota mengadakan koordinasi dengan dengan provinsi dalam pelaksanaan monitoring dan evaluasi, agar hasil yang diharapkan sesuai dengan kebutuhan/kepentingan dalam pengembangan program lebih lanjut. 43

BAB X PENUTUP Program nasional bagi anak Indonesia (PNBAI) merupakan program yang disepakati negara-negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk meningkatkan hidup sehat, penyediaan pendidikan yang berkualitas, perlindungan terhadap abuse, eksploitasi dan kekerasan, penanggulangan HIV/AIDS. Di bidang pendidikan, program nasional dirancang dalam suatu dokumen yang disebut Program Pembangunan Nasional (Propenas) yang pelaksanaannya dirumuskan dalam berbagai kegiatan. Program nasional pendidikan bagi anak mencakup program Pendidikan Anak Dini Usia dan program Pendidikan Dasar (Wajar 9 tahun). Program Pendidikan Anak Dini Usia merupakan program pelayanan perawatan dan pendidikan bagi anak usia 0 6 tahun yang dilaksanakan dalam bentuk Taman KanakKanak (TK), Raudhatul Atfal (RA), Kelompok Bermain (Play Group), Taman Penitipan Anak, Posyandu, Bina Keluarga Balita (BKB) dan yang sejenisnya. Program Wajib Belajar Pendidikan Dasar Sembilan Tahun merupakan program pemerataan pendidikan untuk melayani seluruh warganegara usia 7 15 tahun yaitu 6 (enam) tahun di Sekolah Dasar atau Kelompok Belajar Paket A setara SD dan 3 (tiga ) tahun di Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama atau Kelompok Belajar Paket B setara SMP, dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa dan meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Keberhasilan wajib belajar merupakan tanggungjawab bersama antara orang tua, masyarakat dan pemerintah. Penyelenggaraan program nasional pendidikan bagi anak, memerlukan koordinasi yang solid, baik lintas sektor maupun antara pusat dengan pemerintah propinsi dan kabupaten/kota

44

DAFTAR PUSTAKA

Undang-Undang Dasar 45 beserta amandemennya Garis-Garis Besar Haluan Negara tahun 1999 2004 Undang-Undang RI Nomor 4 tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak Undang-Undang RI Nomor 25 tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional (Propenas) Undang-Undang RI Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Undang-Undang RI Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Analisa Situasi dan Kondisi Pendidikan Untuk Semua, Forum Koordinasi Nasional Pendidikan Unruk Semua, Depdiknas 2002 Penuntasan Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 tahun, Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar Dan Menengah, Depdiknas, 2003 Human Development Report (HDR), UNDP, BAPPENAS dan BPS, 2001 A World Fit for Children, Millennium Development Goals, Special Session on Children Documents, The Convention on the Rights of the Child, UNICEF, New York 2002

45

You might also like