You are on page 1of 24

FISTULA OROANTRAL OLEH KARENA INFEKSI ODONTOGEN

disusun untuk melaksanakan tugas ujian profesi ilmu bedah mulut

Oleh Gunawan Putra Anggoro NIM. 051611101065

Pembimbing drg. Budi Sumarsetyo, Sp.BM.

KLINIK BEDAH MULUT RUMAH SAKIT GIGI DAN MULUT FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI UNIVERSITAS JEMBER 2012

DAFTAR ISI

Halaman HALAMAN JUDUL ........................................................................................ i DAFTAR ISI .................................................................................................... ii BAB 1. PENDAHULUAN ............................................................................ 1

BAB II. PEMBAHASAN ............................................................................... 3 2.1 Infeksi Odontogen yang Menyebar ke Arah Sinus Maksilaris..... 3 2.1.1 Etiologi................................................................... 3 2.1.2 Patofisiologi ........................................................... 3 2.2 Sinus Maksilaris ........................................................................ 3 2.2.1 Anatomi ................................................................. 5 a). Pneumatisasi dan gigi geligi............................... 5 c). Batas-batas ........................................................ 6 d). Persyarafan dan suplai darah ............................. 6 2.3 Sinusitis Maksilaris Odontogen .................................................. 6 2.3.1 Patofisiologi ........................................................... 7 2.3.2 Mikrobiologi .......................................................... 7 2.4 Fistula Oroantral ........................................................................ 8 2.4.1 Definisi................................................................... 8 2.4.2 Tanda dan gejala klinis ........................................... 8 2.4.3 Gambaran radiologis...............................................10 2.5 Penatalaksanaan Fistula Oroantral..............................................11 2.6 Rujukan .....................................................................................11 BAB III. PENUTUP ........................................................................................20 3.1 Kesimpulan ...............................................................................20

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN

ii

BAB I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Oroantral fistula adalah lubang antara prosesus alveolaris dan sinus maksilaris, yang tidak mengalami penutupan dan mengalami epitelisasi. Namun, tidak semua jalan masuk atau lubang ke arah antrum menyebabkan fistula. Fistula umumnya terjadi bila lubang yang terbentuk lebih besar dari 3- 4 mm, dan melibatkan dasar antrum, adanya sinusitis, serta bila perawatan tidak memadai. Pembukaan atau lubang ke arah rongga mulut umumnya mengalami keradangan dan terbentuk jaringan ikat atau jaringan granulasi (Pedersen, 1996: 273). Oroantral fistula terjadi karena adanya rongga patologis antara rongga mulut dengan antrum. Terbukanya antrum dapat disebabkan oleh beberapa faktor: a) pencabutan gigi posterior rahang atas terutama pada molar pertama, molar kedua, dan premolar kedua dimana akarnya dekat dengan antrum (Yilmaz, T., dkk. 2003). b) kecelakaan penggunaan alat seperti penggunaan elevator dengan tekanan yang berlebihan kearah superior dalam tindakan pengambilan fragmen atau (Sulastra, I.W., 2008: 8), c) pemasangan gigi tiruan implan yang tidak benar dan pengunaan kuret yang tidak benar sehingga menyebabkan terjadinya penembusan lapisan epitel yang tipis dari sinus maksilaris (Sulastra, I.W., 2008: 8), d) bentuk dinding dasar antrum yang berlekuk mengikuti kontur akar gigi sehingga tulang dasar antrum menjadi menipis (Sulastra, I.W., 2008: 8), e) adanya jaringan patologis pada ujung akar gigi seperti kista radikuler, granuloma periapikal, dan adanya suatu neoplasia. Keradangan pada daerah periapikal mengakibatkan terjadinya kerusakan pada struktur tulang di daerah infeksi sehingga tulang menjadi rapuh (Sulastra, I.W., 2008: 8). ujung akar molar atau premolar

f) enukleasi atau pengeluaran kista yang besar pada maksila dan fraktur pada segmen prosesus alveolaris rahang atas yang besar (Sulastra, I.W., 2008: 8). Secara umum, tulang dasar antrum mempunyai ukuran yang relatif tebal. Ketebalan yang dimaksud adalah jarak antara permukaan dasar antrum dengan ujung akar gigi posterior rahang atas. Pada beberapa kasus dijumpai dinding dasar antrum yang sangat tipis sehingga tidak ada batas dengan ujung akar gigi. Menipisnya tulang dasar antrum dapat disebabkan oleh beberapa sebab. Salah satunya dikarenakan terdapatnya jaringan patologis pada ujung akar gigi. Jaringan patologis tersebut antara lain kista radikuler atau granuloma periapikal. Proses perluasan dari jaringan patologis tersebut akan dapat merusak dan menipiskan tulang setempat. selain hal tersebut, neoplasia dapat juga menipiskan tulang dasar antrum (Sulastra, I.W., 2008: 7-8). Antrum maksila mempunyai hubungan yang sangat dekat dengan akar gigi premolar dan molar atas dan sering terlihat pada pemeriksaan radiologi oral dan fasial. Hubungan ini dapat menimbulkan problem klinis, seperti infeksi yang berasal dari gigi dan fistula oroantral dapat naik ke atas dan menimbulkan infeksi sinus (Farhat, 2007: 21). Menurut Farhat (2007: 26) penelitian yang dilakukan di departemen THTKL FK USU / RSUP H. Adam Malik Medan didapat insiden sinusitis yang disebabkan oleh infeksi gigi rahang atas (dentogen) sebanyak 35 penderita (13,67%). Dari rontgen foto polos sinus maksila dengan infeksi gigi rahang atas (dentogen) didapati yang terbanyak adalah sinusitis maksila pada satu sisi saja (unilateral) yaitu sebanyak 26 penderita (74,28%). Berdasarkan uraian tersebut diatas tentang macam-macam penyebab adanya fistula oroantral, dalam makalah ini penulis membahas lebih mendalam mengenai fistula oroantral oleh karena infeksi odontogen serta

penatalaksanaannya.

BAB II. PEMBAHASAN

2.1 Infeksi Odontogen yang Menyebar ke Arah Sinus Maksilaris 2.1.1 Etiologi Penyebabnya adalah bakteri yang merupakan flora normal dalam rongga mulut, yaitu bakteri dalam plak, dalam sulkus gingival, dan mukosa mulut, yang ditemukan pertama kali adalah kokus anaerob gram positif dan batang anerob gram negatif. Bakteri-bakteri tersebut dapat menyebabkan karies, gingivitis dan periodontitis. Jika mencapai jaringan yang lebih dalam melalui nekrosis pulpa dan poket periodontal dalam, maka akan terjadi infeksi odontogen (Mansjoer, A., dkk. 2008: 149). 2.1.2 Patofisiologi Nekrosis pulpa karena karies yang tidak dirawat dan pocket periodontal dalam merupakan jalan masuk bakteri untuk mencapai jaringan periapikal. Karena jumlah bakteri yang banyak maka infeksi yang terjadi akan menyebar ke tulang spongiosa sampai tulang kortikal. Infeksi odontogen dapat menyebar melalui jaringan ikat (perkontinuiatum), pembuluh darah (hematogen), dan pembuluh limfe (limfogen) (Mansjoer, A, dkk., 2008: 149). Sinus maksila disebut juga antrum highmore, merupakan sinus yang terinfeksi, oleh karena (1) merupakan sinus paranasal yang terbesar, (2) letak ostiumnya lebih tinggi dari dasar, sehingga aliran sekret (drainase) dari sinus maksila hanya tergantung dari gerakan silia, (3) dasar sinus maksila adalah dasar akar gigi (prosesus alveolaris), sehingga infeksi gigi dapat menyebabkan sinusitis maksila, (4) ostium sinus maksila terletak di meatus medius, disekitar hiatus seminularis yang sempit, sehingga mudah tersumbat (Mangunkusumo, E. dan Rifki N., 2000:121)

2.2 Sinus Maksilaris Sinus maksila adalah rongga udara yang terletak disamping rongga hidung, dibawah rongga mata diatas gigi molar (geraham) atas. Akar-akar dari geraham sangat dekat dengan dasar sinus maksila ini, terutama gigi geraham II 3 3

hanya setebal kertas. Oleh karena itu bila ada infeksi dari geraham mudah sekali meluas ke dalam sinus maksila. Saluran sinus maksila ada di bagian atas dinding medial dan bermuara dihidung pada meatus media (S., Bambang S., 1991:47). Berikut gambar satu di bawah ini adalah potongan frontal yang menunjukkan daerah sinus maksila

Gambar 1. Potongan frontal: 1. Sinus maksila, 2. Konka Inferior, 3. Konka Media, 4. Sinus Ethmoid, 5. Septum hidung. (Sumber: S., Bambang S., 1991:47).

Dalam hal ini infeksi gigi bersumber dari rahang atas P1, P2, serta M1, M2, M3 (dentogen). Antrum maksila mempunyai hubungan yang sangat dekat dengan akar gigi premolar dan molar rahang atas dan sering terlihat pada pemeriksaan radiologi oral dan fasial. Hubungan ini dapat menimbulkan problem klinis, seperti infeksi yang berasal dari gigi dan fistula oroantral dapat naik ke atas dan menimbulkan infeksi sinus (Farhat, 2007: 21). Daerah sinus merupakan pertemuan keadaan patologis pada gigi dan paranasal. Patologis pada rongga mulut dapat meluas ke sinus, dan patologis pada sinus dapat meluas mencapai prosesus alveolaris maksila (Pedersen, 1996: 265).

2.2.1 Anatomi: a) Pneumatisasi dan gigi geligi: Pneumatisasi dari sinus maksilaris berkaitan dengan erupsi gigi geligi tetap dan berlangsung paling cepat antara usia 7-12 tahun. Sebagian besar ruang pada corpus maksilla yang dulunya ditempati gigi geligi yang sedang berkembang akan diduduki oleh sinus sesudah gigi gigi tetap bererupsi. Bila gigi gigi posterior atas tanggal, sinus akan meluas lebih jauh sehingga menempati linggir yang tersisa. Resorbsi linggir selanjutnya dan hiperaerasi antrum akan menyisakan lereng tulang yang sangat tipis antara krista linggir dan dasar antrum (1-2mm) seperti pada gambar dua berikut:

Gambar 2. Jika hiperaerasi dan resorbsi tulang dikombinasikan, dasar sinus dan krista tulang akan diwakili dengan tulang kortikal setipis kulit telur (tanda panah putih) (Sumber: Pedersen, 2006: 266).

b) Batas-batas: Atap: dasar orbita Dinding medial: dinding nasal lateral cavum nasi Anterior: permukaan anterior maksila(fossa canina) Dinding tulang mempunyai ketebalan bervariasi, namun umumnya hanya selapis tipis kulit telur (1-3mm). Sinus berdrainase melaui ostium ke meatus nasimedius (Pedersen, 1996: 266).

c) Persyarafan dan suplai darah (Pedersen, 1996: 266).: Persyarafan/Inervasi: a) cabang kedua nervus trigeminus b) Nervus palatinus mayus c) Nervus nasalis posterolateral dan d) Semua nervus alveolaris superior cabang nervus infraorbitalis

Suplai darah/Vaskularisasi: a) Dinding atas: arteri/vena ethmoidalis anterior b) Dinding medial: arteri/vena sfenopalatinus c) Dinding anterolateral: arteri/vena infraorbitalis d) Dinding posterolateral: arteri/vena alveolaris superior posterior

2.3 Sinusitis Maksilaris Odontogen Sinusitis adalah radang mukosa sinus paranasal. Sesuai anatomi sinus yang terkena, dapat dibagi menjadi sinusitis maksila, sinusitis etmoid, sinusitis frontal, dan sinusitis sphenoid (Mangunkusumo, E. dan Rifki, N., 2000:121). Sinusitis merupakan penyakit dengan penyebab yang multifaktorial, serta mempunyai presentase yang signifikan di dalam populasi dan dapat menyebabkan morbiditas jangka panjang (Farhat, 2007: 21). Sinus maksila merupakan sinus paranasal yang terbesar. Saat lahir sinus maksila bervolume 6-8 ml, sinus kemudian berkembang dengan cepat dan akhirnya mencapai ukuran maksimal, yaitu 15 ml saat dewasa, berbentuk segitiga. Dasar dari anatomi sinus maksila sangat berdekatan dengan akar gigi rahang atas, yaitu premolar (P1 dan P2), molar (M1 dan M2), kadang kadang juga gigi taring (C) dan gigi molar M3, bahkan akar-akar gigi tersebut dapat menonjol ke dalam sinus, sehingga infeksi gigi lebih mudah naik ke atas menyebabkan sinusitis (Soetjipto, D. dan Mangunkusumo, E., 2000: 116) Secara klinis sinusitis dapat dikategorikan sebagai sinusitis akut bila gejalanya berlangsung dari beberapa hari samai 4 minggu; sinusitis subakut bila berlangsung dari 4 minggu sampai 3 bulan dan sinusitis kronis bila berlangsung

lebih dari 3 bulan. Tetapi apabila dilihat dari gejalanya, maka sinusitis dianggap sebagai sinusitis akut bila terdapat tanda-tanda radang akut. Dikatakan sinusitis subakut bial tanda akut sudah reda dan perubahan histologik mukosa sinus masih reversible dan disebut sinusitis kronik, bila perubahan histologik mukosa sinus suda irreversible, misalnya sudah berubah menjadi jaringan granulasi atau polipoid (Mangunkusumo, E. dan Rifki, N., 2000:121). Penyebab sinusitis akut ialah: 1. Rhinitis akut; 2. Infeksi faring (seperti faringitis, adenoiditis, tonsillitis akut); 3. Infeksi gigi rahang atas P1, P2, serta M1, M2, M3 (dentogen); 4. Berenang dan menyelam; 5. Trauma, dapat menyebabkan perdarahan mukosa sinus paranasal; 6. Barotraumas dapat menyebabkan nekrosis mukosa (Farhat, 2007: 21). 2.3.1 Patofisiologi Radang menimbulkan peningkatan jumlah sekresi dan edema pada mukosa sinonasal. Bila kondisi ini berlanjut, sekresi akan mengisi sinus karena terganggunya fungsi silia atau penyumbatan ostium sinus atau keduanya. Proses inflamasi ini akan menyebabkan gangguan aerasi dan drainase sinus. Kejadian sinusitis ini dipermudah oleh adanya faktor-faktor predisposisi baik lokal maupun sistemik. Karena letak ostium sinus maksilaris tidak dipengaruhi gravitasi maka drainase normal bukan cara perawatan yang ideal. Bila drainase terganggu maka akan terjadi penurunan tekanan oksigen sebagian dan proliferasi bakteri patogen. (Pedersen, 1996: 266). 2.3.2 Mikrobiologi Bakteri yang sering terlibat dalam infeksi sinus adalah Streptococcus pneumonia, S. pyrogenes, Staphylococcus aureus, Hemophilus influenza, dan Klebsiella. Perluasan infeksi gigi misalnya pada periodontal dan periapikal abses, mencapai 10-15% dari kasus sinusitis. Keterlibatan antrum unilateral seringkali merupakan indikasi dari keterlibatan gigi sebagai penyebab. Bila hal ini terjadi maka organisme yang bertanggung jawab kemungkinan adalah jenis gram negatif, yang merupakan organisme yang lebih banyak didapatkan pada infeksi gigi daripada bakteri gram positif yang merupakan bakteri khas pada sinus (Pedersen, 1996: 267).

2.4 Fistula Oroantral 2.4.1 Definisi Fistula oroantral adalah lubang antara prosesus alveolaris dan sinus maksilaris, yang tidak mengalami penutupan dan mengalami epitelisasi (Pedersen, 1996: 274). Seperti dapat terlihat pada gambar tiga berikut:

Gambar 3. Fistula oroantral dan sinusitis maksilaris supuratif kronik. Infeksi sinus maksilaris harus disembuhkan sebelum penutupan fistula dapat dilakukan. Perhatikan posisi ostium sinus maksilaris yang tinggi (Adams, G. L, dkk. 1997: 244).

Saluran akar yang terbentuk secara patologis, atau traumatik atau akibat prosedur pembedahan yang menuju ke arah sinus maksilaris. Keberadaan sinusitis kronis atau akut sebelumnya mendorong terjadinya saluran ini. Makin besar lubang oroantral, makin besar kemungkinan untuk terbentuknya suatu fistula (Pedersen, 1996: 274).

2.4.2 Tanda dan gelaja klinis Tanda dan gejala klinis yang tampak dari oroantral fistula adalah adanya pembukaan atau lubang antara rongga mulut dengan antrum. Lubang yang terbentuk sering mengalami infeksi, adanya pembentukan jaringan ikat atau jaringan granulasi dan sering terjadi drainase mukopurulen. Pasien tidak mengeluhkan adanya rasa sakit, kecuali terjadi infeksi akut pada sinus. Pasien mengeluhkan adanya perpindahan kandungan rongga mulut dan hidung,

misalnya: makanan, air, saliva, dan mucus. Saluran yang terbentuk bisa dilihat secara klinis melalui probing (Probe ductus lacrimalis) (Pedersen, 1996: 274). Pembentukkan dari OAC (Oroantral Communication) umumnya diikuti oleh pencabutan gigi rahang atas/maksila yang berhubungan dekat dengan dasar antral/lantai antral (khususnya molar pertama (terlihat pada gambar empat) yang terletak dekat dengan titik terendah dasar antral, meskipun beberapa gigi premolar dan molar dapat mempengaruhi)

Gambar 4. Molar rahang atas yang letaknya dekat sekali dengan antrum maksila (Sumber: Merry, A.J., 2004:215).

Pada OAC yang tidak dirawat, OAC dapat sembuh secara spontan atau dapat juga bertahan jadi OAF seperti yang terlihat pada gambar lima berikut ini:

Gambar 5. Oroantral fistula pada region gigi molar pertama dengan proloferasi pada jaringan lunak (Sumber: Merry, A.J., 2004:215).

Tanda-tanda yang menunjukkan pembentukkan OAC: Visible defect antara mulut dan antrum, fragmen tulang dengan smooth concave upper surface(fragmen lantai antral) pada akar dari gigi yang diekstraksi. (Merry, A.J., 2004:214-215).

2.4.3 Gambaran radiografis fistula oroantral Radiograf (misalnya occipitomental, OPG, dan periapical view) berguna untuk menentukkan diagnosa dari OAC/OAF dan untuk menilai seberapa besar defek terjadi, meskipun defek-defek kecil dapat tidak tampak. Pada pemeriksaan radiografi periapikal, oklusal dan panoramik dapat terlihat hubungan gigi dengan sinus, lokasi benda asing dalam sinus seperti gigi, akar gigi, atau fragmen tulang yang terdorong masuk karena trauma atau selama pencabutan gigi. (Sulastra, I.W., 2008: 8). Seperti terlihat pada gambar enam berikut:

Gambar 6. Radiografi panoramik yang menunjukkan ujung akar molar pertama maksila terdorong ke dalam sinus maksilaris (Fragiskos, 2007:115).

Adanya peningkatan

sinusitis

akut pada

mempelihatkan rongga sinus

adanya dan pada

pengkabutan sinusitis

dan kronis

kepadatan

memperlihatkan osifikasi penuh pada rongga sinus yang menandakan rongga sinus telah penuh terisi dengan jaringan hiperplastik, sekret, polip, atau kombinasi keduanya (Sulastra, I.W., 2008: 8). seperti dilihat pada gambar tujuh berikut:

10

Gambar 7. Berdasarkan proyeksi Waters, sinusitis maksilaris kronis ini merupakan akibat dari fistula oroantral yang terlihat berupa penebalan membran (tanda panah) (Sumber: Pedersen, 1996:275).

2.5 Penatalaksanaan Fistula Oroantral Pembuatan kultur, perawatan untuk mengatasi sinusitis, misalnya terapi antibiotik, dekongestan, tetes hidung atau semprot hidung (Pedersen, 1996: 274). Sinusitis maksilaris akut umumnya diteapi dengan antibiotik spektrum luas seperti amoksisilin, ampisilin, atau eritromisin plus sulfonimid, dengan alternative lain berupa amoksisilin/kalvulanat, sefaklor, sefuroksim dan trimetropim plus sulfonamid. Dekongestan seperti pseudoefedrin juga bermanfaat, dan tetes hidung poten seperti fenilefrin(neo-Synephrine) atau oksimetazolin dapat digunakan selama beberapa hari pertama infeksi namun kemudian harus dihentikan. Kompres hangat pada wajah dan pemberian analgetik seperti aspirin dan asetaminophen berguna untuk meringankan gejala (Adams, G. L, dkk. 1997: 242243).

2.6 Rujukan Terdapat beberapa metode yang dapat dilakukan untuk penutupan oroantral fistula. Pemilihan metode dibuat berdasarkan cara yang telah dilakukan dalam setiap kasus tertentu, dengan mengobservasi prinsip dasar pembedahan yang diperlukan. Daerah kerusakan dan adanya suatu oroantral fistula dapat dilakukan penutupan dengan pembuatan flap. Penutupan biasanya dengan eksisi

11

traktus dan pemidahan atau pergeseran flap bukal atau palatal bersamaan dengan prosedur Caldwell-luc. (Pedersen, 1996: 274 dan Sulastra, I.W., 2008: 9).

Syarat-syarat: a) Penentuan desain flap perlu dipertimbangkan agar suplai darah tetap memadai untuk menghindari terjadinya nekrosis dan hilangnya jaringan oleh karena hilangnya sirkulasi darah yang sempurna. b) Flap harus bebas dari semua perlekatan periosteal agar dapat berotasi atau berubah letak untuk menutupi kerusakan yang terjadi tanpa membuat tekanan pada jaringan. c) Flap harus di desain agar garis sutura tidak diletakkan di daerah perforasi dan semua margin yang diperlukan dapat diperoleh dan dipertahankan dengan cara penjahitan (Sulastra, I.W., 2008: 9).

Beberapa prosedur yang disarankan untuk menutup oroantral fistula yang terjadi diantaranya adalah kombinasi jaringan mukoperiostem bukal dan palatal, teknik flap bukal, dan teknik flap palatal. Penutupan lubang dilakukan dengan pemindahan flap mukoperiosteal bukal ke arah oklusal atau palatal melalui daerah operasi dan menjahitnya pada mukosa palatal yang mengalami deepitelisasi ataupun mukosa yang diangkat. Pada daerah tak bergigi, desain flap dimodifikasi untuk mengurangi hilangnya kedalaman vestibulum dengan cara mengeksisi perlekatan otot (Pedersen, 1996: 275 dan Sulastra, I.W., 2008: 9). Kombinasi jaringan mukoperiosteum bukal dan palatal merupakan prosedur sederhana yang dapat memberikan hasil yang baik bagi penutupan daerah oroantral fistula yang terbuka secara tidak sengaja setelah pencabutan.

12

Gambar 8. Tahapan penutupan oroantral fistula pada rahang bergigi (Sumber: Pedersen, 1996:276).

Terlihat dalam gambar 8 diatas, penutupan oroantral fistula yang terletak di antara gigi dilakukan dengan insisi melibatkan mukoperiosteum di daerah distal gigi di anterior kemudian melewati daerah oroantral fistula dilanjutkan ke daerah mesial gigi di posterior. Insisi juga di lakukan pada daerah palatal. Setelah itu dilakukan pengurangan tinggi tulang alveol daerah yang mengalami pembukaan kemudian tepi mukosa yang di insisi diangkat dan disatukan kemudian dilakukan penjahitan. Luka pada bagian palatal dibiarkan terbuka untuk mempercepat penyembuhan. Penderita diresepkan pula tetes hidung untuk mengerutkan mukosa hidung dan agar dapat terjadi drainase (Sulastra, I.W., 2008: 9). Oroantral fistula yang terjadi pada daerah yang tidak bergigi (kehilangan tuberositas maksilaris) yang tidak sengaja setelah pencabutan, dapat dilakukan dengan pengurangan pada dinding bukal dan palatal agar terjadi adaptasi flap jaringan lunak bukal dan palatal. Flap jaringan lunak dibentuk secara konservatif agar membentuk suatu garis kemudian flap dijahit (Sulastra, I.W., 2008: 9).

Flap Bukal Flap bukal merupakan prosedur yang sederhana, sehingga flap bukal dapat dikombinasikan dengan prosedur Caldwell-luc yang digunakan sebagai jalan masuk ke sinus maksilaris bila diperlukan. Kelebihan teknik ini adalah mudah di mobilisasi, keterampilan yang minimum dan waktu yang diperlukan lebih singkat. Sedangkan kekurangannya adalah penyatuan jaringan pada flap bukal tidak baik 13

sehingga disarankan untuk penutupan oroantral fistula yang ukurannya kecil (Yilmaz, T, dkk. 2003: 222 dan Sulastra, I.W., 2008: 9). Pemilihan metode tergantung pada ukuran posisi OAC tersebut. Ada beberapa macam-macam flap salah satunya adalah buccal advancement (Rehmanns) Flap yang dapat digambarkan seperti gambar sembilan berikut:

Gambar 9. Penutupan oroantral fistula dengan metode buccal flap advancement (Sumber: Merry, A.J., 2004:217). Ket: (a). Insisi outline dari aspek bukal dan oklusal (b). Insisi periosteum, yg dapat meninggikan sulkus (c). Perluasan dari flap diikuti pengenduran (d).Penutupan dengan penjahitan secara vertikal, yang nampak dari aspek oklusal.

14

Tahapan Flap bukal untuk fistula oroantral yang kecil dapat dilakukan seperti terlihat dalam gambar 10di bawah ini, jaringan yang membentuk lingkaran perifer dari fistula dieksisi dan sisa jaringan mukosa palatal di de-epitelisasi untuk memberikan vaskularisasi yang baik pada daerah yang mengalami kerusakan agar dapat memperlebar flap dan memudahkan penjahitan kemudian dilakukan insisi divergen atau melebar melalui mukoperiosteum dibuat pada pembukaan oroantral ke superior sampai pada mukobukal fold, Insisi dari flap ini diangkat untuk pembukaan alveolus lateral dibawahnya (Sulastra, I.W., 2008: 9-10).

Gambar 10. Flap bukal melewati mukosa palatal yang diepitelisasi (Sulastra, I.W., 2008: 10). Ket:A. eksisi lingkaran perifer jaringan lunak oroantral fistula B. de-epitelisasi mukosa palatal dan insisi divergen melalui daerah oroantral C. pembukaan flap mukoperiosteum D. pemanjangan dan penjahitan flap melewati mukosa palatal yang diepitelisasi.

Melalui insisi periosteal ini dilakukan pengurangan ketebalan untuk memperpanjang dan mengendorkan flap dan dilakukan penjahitan. Penggunaan antibiotik dan dekongestan diindikasikan setelah prosedur diatas untuk mempertahankan kesehatan antrum dengan mencegah infeksi dan memberikan drainase secara fisiologis (Sulastra, I.W., 2008: 10).

15

Flap Palatal Flap alternatif, alternatif lain untuk penanganan dari bukal adalah pembuatan flap palatal dengan dasar pada posterior sehingga menggandung a.palatina lebih banyak. Flap ini kemudian dibalik atau diputar ke arah bukal untuk menutup cacat. Pada teknik palatal ini vestibulum tidak dilibatkan, kecuali apabila memang dibutuhkan untuk melakukan prosedur Caldwell-luc pada saat yang bersamaan, dimana dalam prosedur ini dibutuhkan pembuatan flap bukal. Gambar 11 berikut merupakan modifikasi lain yang dapat dilakukan untuk daerah tidak bergigi adalah penutupan dengan cara membuat satu bridge flap
(Pedersen, 1996:276).

Gambar 11. Fistula oroantral yang mengenai lingir sisa dapat ditutup dengan flap mukoperiosteal pedikel ganda yang digeser ke posterior (Sumber: Pedersen, 1996: 276)

Palatal rotational flap merupakan flap palatal metode yang umum digunakan, dimulai dari eksisi pada epitel lining (apabila ada) dengan scalpel blade no.11 seperti yang nampak pada gambar 12 berikut ini:

16

Gambar 12. Insisi outline yang bertujuan menutup fistula oroantral (metode palatal rotational flap) (Sumber: Merry, A.J., 2004:218).

Gambar 13 di bawah ini merupakan tahap pemanjangan dari full thickness mucoperiosteal palatal flap yang mengikuti arteri palatine mayor yang diperpanjang untuk anterior yang berjarak dekat dengan defek oroantral, dipotong dan dinaikkan. Harus cukup panjang untuk dirotasi dan menutupi defek. Flap disandarkan pada arteri palatine mayor sebagai suplai darah nya, kehati-hatian harus dilakukan agar tidak memotong atau merusak pembuluh darah atau mengurangi aliran dengan melipat flap terlalu lemah.

Gambar 13. Flap dimobilisasi, dirotasi kearah defek dan kemudian dijahit (Metode palatal rotational flap) (Sumber: Merry, A.J., 2004:218).

17

Adapun tahapan yang dilakukan adalah melakukan eksisi lingkaran jaringan lunak pada oroantral fistula kemudian dibuat desain flap palatal dengan ketebalan penuh mengikutsertakan arteri palatine dalam flap sehingga dapat ikut terotasi selanjutnya dilakukan pemutaran dan penjahitan dari flap (Sulastra, I.W., 2008: 10). Perlu perhatian yang lebih terhadap desain flap agar dapat terjadi rotasi dan posisi yang benar. Flap palatal yang didesain dengan baik adalah tebal dan memiliki suplai darah yang sempurna yang diperlukan untuk penyembuhan. Prosedur tersebut mengakibatkan terbukanya tulang palatal dimana perlu dilakukan dressing sampai terbentuknya jaringan granulasi (Sulastra, I.W., 2008: 10). Palatal, bukal atau kombinasi flap mukoperiosteal itu digunakan untuk pendekatan bedah dari fistula oroantral. Tidak ada dari metode-metode ini yang lebih baik dari lainnya. Meskipun demikian kelebihan dan kekurangan memang ada. Kelebihan teknik palatal flap ini adalah: lebih mudah dibentuk untuk menutup kerusakan yang terjadi karena mukosapalatal lebih tebal dan lebih padat serta penyatuan dari flap palatal lebih baik sehingga flap palatal lebih dipilih untuk fistula yang kambuhan (recurrent fistulas) dan lebih besar. Struktur tulang dari hard palate ini nampak dan reepitelisasi memerlukan waktu 2-3 bulan. Kekurangannya teknik ini adalah: prosedur pembedahannya yang lebih sulit (Yilmaz, T, dkk. 2003: 222). Terlepas dari teknik penutupan yang digunakan, keberhasilan penutupan oroantral fistula tergantung pada pengontrolan infeksi sinus, pengambilan jaringan sinus yang berpenyakit dan drainase nasal yang memadai. Infeksi sinus harus dikontrol sebelum pembedahan melalui pemberian antibiotik spektrum luas, dekongestan dan tetes hidung. Jaringan sinus yang berpenyakit seperti adanya polip dihilangkan melalui prosedur Caldwell-Luc dan drainase melalui pembuatan jendela nasoantral pada meatus nasalis inferior (Pedersen, 1996: 276 dan Sulastra, I.W., 2008: 10). Pada semua metode penutupan fistula oroantral, pasien harus diingatkan untuk tidak meniup hidung selama 10 hari post operasi, karena ini dapat

18

menaikkan tekanan diantara antrum dan dapat mengganggu penyembuhan jaringan. Antibiotik propilaksis dan nasal dekongestan tetes diresepkan oleh beberapa ahli bedah untuk mencegah infeksi dan mendorong drainase antral (Merry, A.J., 2004:219).

19

BAB III. PENUTUP

3.1 Kesimpulan 1. Fistula oroantral dapat berkisar dari lubang yang baru terbentuk (lebih dari 48 jam) sampai saluran yang sudah lama dan terepitelisasi. Untuk keberhasilan penutupan sinus, infeksi yang ada harus diatasi terlebih dahulu dan dipastikan drainase dapat berjalan dengan baik (Pedersen, 1996: 273). 2. Prosedur penutupan oroantral fistula ada beberapa cara diantaranya: kombinasi jaringan mukoperiosteum bukal dan palatal, teknik flap bukal, teknik flap palatal (Sulastra, I.W., 2008: 9). 3. Terlepas dari teknik penutupan yang digunakan, keberhasilan penutupan oroantral fistula tergantung pada pengontrolan infeksi sinus, pengambilan jaringan sinus yang berpenyakit dan drainase nasal yang memadai. Infeksi sinus harus dikontrol sebelum pembedahan melalui pemberian antibiotik spektrum luas, dekongestan dan tetes hidung (Pedersen, 1996: 276 dan Sulastra, I.W., 2008: 10).

20

20

DAFTAR PUSTAKA

Adams, G. L., dkk. 1997. Boies: Buku Ajar Penyakit THT. Edisi 6. Jakarta: EGC.

Farhat. 2007. Majalah Kedokteran Nusantara: Peran Infeksi Gigi Rahang Atas pada Kejadian Sinusitis Maksila di Medan. Vol.40 No.1. Medan: FK USU. RSUP H. Adam Malik

Fragiskos, F.D. 2007. Oral Surgery. Germany: Springer.

Malueka, R.G., dkk. 2008. Radiologi Diagnostik. Cetakan II. Yogyakarta: Pustaka Cendikia Press Yogyakarta.

Mangunkusumo, E. dan Rifki, N. 2000.

Buku Ajar Ilmu Kesehatan

Telinga-Hidung-Tenggorok. Jakarta : FK UI.

Mansjoer, A., dkk. 2008. Kapita Selekta Kedokteran. Cetakan IX. Jakarta: Media Aesculapius.

Merry, A.J. 2004. Oral and Maxillofacial Surgery. Spain: Churcill Livingstone.

Pedersen. 1996. Buku Ajar Praktis Bedah Mulut. Alih Bahasa: Purwanto dan Basoeseno. Jakarta: EGC.

S., Bambang S., 1991. Pelajaran Ilmu Penyakit Telinga Hidung dan Tenggorok. Semarang: Balai Penerbit UNDIP. 21

21

Soetjipto, D. dan Mangunkusumo, E. 2000. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga-Hidung-Tenggorok. Jakarta : FK UI.

Sulastra, I.W., 2008. Oroantral Fistula Sebagai Salah Satu Komplikasi Pencabutan dan Perawatannya. Surabaya: FKG Unair.

Yilmaz, T, dkk. 2003. Treatment Of Oroantral Fistula: Experience With 27 Cases. Amer J of Otolaryngol.Vol.24 No.4. Philadelphia: Elsevier.

22

You might also like