You are on page 1of 37

BAB I PENDAHULUAN A.

Latar belakang Manusia memiliki 2 proses pernafasan dalam tubuh, yaitu pernafasan luar (eksterna), suatu penyerapan oksigen dan pengeluaran karbondioksida dari tubuh secara keseluruhan serta pernafasan dalam (interna), penggunaan oksigen dan pembentukan karbondioksida oleh sel-sel serta pertukaran gas antara sel-sel tubuh. Secara garis besar terdapat empat tahapan proses pernapasan diantaranya yaitu, 1) ventilasi paru, 2) difusi O2 dan CO2 pengaturan ventilasi oleh saraf.(1) Gawat paru adalah suatu keadaan pertukaran gas dalam paru terganggu, yang bila tidak segera diatasi akan menyebabkan suatu keadaan yang disebut gagal nafas akut yang ditandai dengan menurunnya kadar oksigen dalam arteri (hipoksemia) atau naiknya kadar karbondioksida (hiperkarbia) atau kombinasi keduannya. Kedaruratan paru atau pernafasan merupakan faktor yang diperhitungkan dalam gawat darurat pasien, banyak kasus yang gagal bukan akibat penyakit primernya, tetapi karena kegagalan fungsi pernafasan baik karena gangguan sentral maupun akibat infeksi. Berbagai keadaan dapat menimbulkan gangguan respirasi yang serius dan membahayakan jiwa. Keadaan ini berkisar antara: 1) Penyakit primer yang mengenai sistem bronkopulmoner seperti hemoptisis masif, pneumotorak ventil, status asmatikus, Edema paru dan pneumonia berat.(2) 2) Gangguan fungsi paru yang sekunder terhadap gangguan organ lain seperti keracunan obat yang menimbulkan depresi pusat pernafasan. Pada semua keadaan, perhatian utama harus lebih ditujukan kepada tindakan penyelamatan
1

melalui

membran respirasi, 3) transportasi O2 dan CO2 dari & kedalam sel, 4)

dari pada penyelidikan diagnostik. Bila tindakan penyelamatan telah berjalan, selanjutnya dilaksanakan evaluasi dan pengelolaan penyakit dasar pasien. B. Tujuan Tujuan penulisan ini adalah untuk memberikan gambaran secara singkat mengenai kegawatdaruratan paru, agar dapat mendiagnosis dan menangani kegawatdaruratan paru secara cepat dan tepat.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Kegawatdaruratan paru Gawat paru adalah suatu keadaan pertukaran gas dalam paru terganggu, atau suatu kegagalan paru memperoleh O2 dari udara luar, yang bila tidak segera diatasi akan menyebabkan suatu keadaan yang disebut gagal nafas akut yang ditandai dengan menurunnya kadar oksigen dalam arteri (hipoksemia) atau naiknya kadar karbondioksida (hiperkarbia) atau kombinasi keduannya. Penyebab gawat paru diantaranya yaitu hemoptisis masif, pneumotorak ventil, status asmatikus, edema paru dan pneumonia berat.(2) Pada pasien sakit berat perlu segera dilakukan koreksi gangguan oksigenisasi, ventilasi dan keseimbangan asam basa. 1. Oksigenisasi Segera berikan O2 pada pasien dengan tanda hipoksemi (misalnya sianosis). Perlu diingat bahwa O2 tidak akan memperbaiki hipoksi yang disebabkan oleh Cardiac output yang rendah, anemi berat, right to left A-V shunt. Pada pasien penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) dan retensi CO2 pemberian O2 yang berlebihan dapat menimbulkan gangguan rasio ventilasi/perfusi (V/Q) lebih lanjut atau menghilangkan rangsang pusat respirasi, meningkatkan CO2 dan asidosis respirasi dan pemburukan ke-adaan pasien. Pada pasien PPOK berikan O2 terbatas dengan Venturi mask (FIO2 24% 28%). 2. Bantuan ventilator Indikasi intubasi dan pemakaian alat bantu pernafasan yaitu bila :
Keadaan

memburuk

walaupun

telah

mendapatkan

O2

secukupnya Tidak mampu bernafas spontan

Pada penyakit paru akut hal ini ditandai oleh adanya: Gambaran klinik adanya gangguan perfusi paru, kardiovaskuler dan neurologis yang serius
Dikonfirmasi dengan hasil analisis gas darah berupa hipoksemi

berat (pO2 <5560 mmHg), peningkatan CO2 akut dan pH yang rendah. 3. Asidosis Gangguan keseimbangan asam basa yang ringan sampai berat umum terjadi pada gangguan fungsi respirasi yang akut. Kelainan ini dikoreksi dengan mengingat pengaruh faktor metabolik, respirasi dan penyakit dasar pasien. 4. Komplikasi akut Komplikasi akut sering menyertai penyakit paru akut, diakibatkan oleh gangguan oksigenasi atau asam basa, penyakit dasar pasien, dan terapi yang tidak tepat dapat berupa gangguan respirasi: bronkospasme, pneumotorak, infeksi, aspirasi, atau obstruksi gangguan jalan nafas, tromboemboli, kardiovaskuler,

neurologik, dan metabolik. KEDARURATAN MEDIK PARU PRIMER A. Hemoptisis Hemoptisis atau batuk darah adalah ekspektorasi darah atau dahak yang mengandung darah, akibat perdarahan dari saluran nafas dibawah laring atau perdarahan yang keluar ke saluran nafas dibawah laring. Menurut Busroh (1978) yang disebut hemoptisis masif adalah : 1. 2. batuk darah >600 cc / 24 jam dan perdarahan tidak berhenti batuk darah <600 cc / 24 jam dan tetapi >250 cc / 24 jam jam dgn kadar Hb <10 g%, batuk darah tetap berlangsung

3.

batuk darah <600 cc / 24 jam dan tetapi >250 cc / 24 jam, Hb <10 g %, 48 jam dengan perawatan konservatif batuk darah tersebut tidak berhenti Klasifikasi menurut Pusel (2,3,4) : 1) + : batuk dengan perdarahan yang hanya dalam bentuk garisgaris dalam sputum 2) ++ : batuk dengan perdarahan 1 30 ml 3) +++ : batuk dengan perdarahan 30 150 ml
4) ++++ : batuk dengan perdarahan > 150 ml

Positif satu dan dua dikatakan masih ringan, positif tiga hemoptisis sedang, positif empat termasuk di dalam kriteria hemoptisis masif. 1. Etiologi Hemoptisis Infeksi Tuberculosis, Keganasan/tumor paru, Bronkiektasis, Abses paru, Pneumonia bakterial, Bronkitis kronik, Infeksi jamur, Trauma, Kelainan vaskuler, Autoimun, Gangguan sistem pembekuan darah.
(5)

2. Patofisiologi a. Infeksi / radang pada jaringan parenkim atau pembuluh darah sehingga menyebabkan mukosa jalan napas pecah. Perdarahan pada penderita TB dapat terjadi karena robekan pembuluh darah pada dinding kavitas (aneurisma rassmussen) b. Kongesti aliran darah vena pulmonalis kapiler pecah c. Kelainan d. Invasi auto imun alveolokapiler membran basalis dan

terganggu sehingga mudah pecah (Good pastures syndrome) tumor menyebabkan pembentukan jaringan pembuluh darah baru yang bersifat rapuh, sehingga membrana mukosa mudah terjadi pendarahan e. Trauma pada thorax sehingga terjadi transudasi darah ke dalam alveoli 3. Diagnostik
5

Diagnosis

dapat

ditegakkan

dengan

melakukan

urutan

pemeriksaan sebagai berikut :


1) Anamnesis teliti

Perlu

dipastikan

apakah

penderita

benar-benar

mengalami batuk darah bukan epitaksis atau muntah darah. Muntah darah karena varises esofagus atau ulkus peptikum dapat menyerupai batuk darah. Untuk membedakan antara batuk darah dengan muntah darah dapat dipergunakan petunjuk sebagai berikut : Keadaan Prodroma Onset Bentuk darah Warna darah Isi Reaksi Riwayat penyakit dahulu Anemi Tinja Hemoptisis Rasa tidak enak ditenggorokan, ingin batuk Darah dibatukkan, dapat disertai dengan muntah Berbuih Merah segar Leukosit, mikroorganisme, makrofag, hemosiderin Alkalis (pH tinggi) Menderita kelainan paru Kadang-kadang Warna tinja normal Hematemesis Mual, Stomach distress Darah dimuntahkan dapat disertai dengan batuk Tidak Berbuih Merah tua Sisa makanan Asam (pH rendah) Gangguan lambung, kelainan hepar Selalu Warna tinja bisa berwarna hitam

Hal-hal yang perlu ditanyakan:


a) Batuk dan ekspektorasi dahak bersifat mukopurulen atau

purulen. Batuk dengan dahak purulen atau mukopurulen menunjukkan adanya infeksi seperti bronkitis, pneumoni atau abses paru serta bronkiektasis, yang semuanya dapat menyebabkan batuk darah.
b) Riwayat kelainan katup jantung 6

Adanya

riwayat

kelainan

katup

jantung,

akan

mengarahkan kecurigaan terhadap kemungkinan adanya stenosis katup mitral. Dalam keadaan demikian darah yang
c)

dibatukkan

berasal

dari

anastomosis

vena

bronkopulmonal yang terdapat di dinding bronkus. Batuk darah yang menyertai cedera dada atau trauma thorax Adanya cedera dada atau trauma akan menyebabkan pecahnya pembuluh darah trakeobronkial atau pecahnya kista paru, akan menimbulkan batuk darah.
d) Perdarahan di tempat lain serempak dengan batuk darah

Keadaan

ini

akan

menunjukkan

adanya

diatesa

hemoragik (keadaaan kecenderungan terjadi perdarahan spontan) atau diskrasia darah (hiperkoagulabilitas)
e) Perokok berat yang telah berlangsung lama

Adanya batuk darah pada penderita yang merokok dan telah berlangsung lama serta berumur lebih dari 40 tahun, akan mengarahkan perhatian kita terhadap proses keganasan di paru. f) Sakit pada tungkai atau adanya pembengkakan serta sakit dada Adanya batuk darah disertai dengan keluhan sakit di tungkai atau adanya edema akan mengarahkan perhatian terhadap adanya infark paru; untuk keadaan demikian, batuk darah merupakan petunjuk adanya penyakit dengan risiko tinggi. g) Hematuri yang disertai dengan batuk darah Adanya batuk darah disertai hematuri akan menimbulkan kecurigaan kita adanya kelainan yang disebabkan oleh Wegener's granulomatosis, Goodpastures syndrome atau Lupus erythematosus.
7

2) Pemeriksan Fisik

Pada pemeriksaan fisik hendaklah dicari gejala/tanda lain diluar paru yang dapat mendasari terjadinya batuk darah, antara lain : a) Jari tabuh Tanda ini menunjukkan adanya karsinoma paru, bronkiekasis, abses paru yang bersifat kronis. b) Bising sistolik dan opening snap Tanda ini merupakan pertanda penyakit katup mitral. c) Pembesaran kelenjar limfe Pembesaran bronkus. d) Ulserasi septum nasalis Kerusakan septum nasalis merupakan pertanda adanya penyakit granulomatosis. e) Teleangiektasi Teleangiektasi di bibir dan mukosa merupakan pertanda adanya penyakit Rendu-Osler-Weber.
3) Pemeriksaan Laboratorium

kelenjar

servikal,

skalenus

dan

supraklavikula dapat terjadi akibat anal sebar karsinoma

Pada keadaan darurat, pemeriksaan laboratorium dapat dibatasi pada pemeriksaan Hb yang kemudian diikuti dengan pemeriksaan darah rutin, urine dan tinja. Pemeriksaan pembekuan darah meliputi protrombin dan partial thromboplastine time dilakukan bila memang diperlukan. Pemeriksaan sputum berupa pemeriksaan Gram, BTA, kultur bakteri, jamur perlu dilakukan untuk mendeteksi adanya infeksi yang mendasari terjadinya batuk darah tersebut. Pemeriksaan sitologi sputum dilakukanbila ada kecurigaan terhadap keganasan. Pemeriksaan ini ditujukan terutama pada penderita dengan risiko besar untuk mendapat
8

kanker paru, seperti pada laki-laki perokok berat usia di atas 40 tahun, meskipun foto toraks tampak normal. 4) Pemeriksaan Khusus a. Foto toraks dalam posisi PA dan lateral hendaklah dibuat pada setiap penderita hemoptisis masif, ditambah dengan dalam posisi lordotik dan oblik dengan tujuan untuk mendapatkan diagnosis lebih khusus. Gambaran opasitas dapat menunjukkan tempat dan kemungkinan penyebab.
b. Batuk darah masif merupakan indikasi kuat untuk

pemeriksaan bronkoskopi. Bronkoskopi dilakukan untuk mengevaluasi hemoptisis masif terutama pada orang tua di mana foto toraks tidak memperlihatkan kelainan, terlebih-lebih bila terdapat riwayat perokok berat. Hal ini sangat penting, mengingat pada stadium dini, kanker paru yang menyebabkan batuk darah masif dapat disembuhkan dengan tindakan bedah saja. Pemeriksaan bronkoskopi yang tidak memperlihatkan kelainan belum dapat menyingkirkan kemungkinan adanya tumor ganas paru.
c.

Sputum, untuk pemeriksaan bakteriologik dan patologik. gas darah, dapat membantu dalam hal aneurisma AV.

d. Analisis

e.

Lain-lain - pemeriksaan urine, Hb, hematokrit, lekosit, trombosit, pemeriksaan waktu perdarahan/pembekuan atau lainnya

4. Penatalaksanaan Pada prinsipnya, terapi yang dapat dilakukan adalah : - Terapi konservatif
9

- Terapi definitif atau pembedahan


a) Terapi konservatif
(6,7)

Pasien harus dalam keadaan posisi istirahat, yakni posisi

miring (lateral decubitus).

(6)

Kepala lebih rendah dan

miring ke sisi yang sakit untuk mencegah aspirasi darah ke paru yang sehat atau posisi trendelenburg. (4)

Melakukan

suction

dengan

kateter

setiap

terjadi

perdarahan. Batuk secara perlahan lahan untuk mengeluarkan darah di dalam saluran saluran napas untuk mencegah bahaya sufokasi (sumbatan jalan nafas). Dada dikompres dengan es kap, hal ini biasanya menenangkan penderita.
Pemberian obat obat penghenti perdarahan (obat obat

hemostasis), misalnya vit. K, ion kalsium, trombin, Carbazochrome Na sulfonate (Adona). Antibiotika untuk mencegah infeksi sekunder. Pemberian cairan atau darah sesuai dengan banyaknya perdarahan yang terjadi. Pemberian oksigen. Tindakan selanjutnya bila mungkin (4) :
10

o Menentukan asal perdarahan dengan bronkoskopi o Menentukan penyebab dan mengobatinya, misal aspirasi darah dengan bronkoskopi dan pemberian adrenalin pada sumber perdarahan. b) Terapi pembedahan Reseksi bedah segera pada tempat perdarahan merupakan pilihan. (8) Tindakan operasi ini dilakukan atas pertimbangan (6) : a. Terjadinya hemoptisis masif yang mengancam kehidupan pasien. b. Pengalaman berbagai penyelidik menunjukkan bahwa angka kematian pada perdarahan yang masif menurun dari 70% menjadi 18% dengan tindakan operasi. c. Etiologi dapat dihilangkan sehingga faktor penyebab terjadinya hemoptisis yang berulang dapat dicegah. Busron (1978) menggunakan pula indikasi pembedahan sebagai berikut (6) : 1. Apabila pasien mengalami batuk darah lebih dari 600 cc / 24 jam dan dalam pengamatannya perdarahan tidak berhenti. 2. Apabila pasien mengalami batuk darah kurang dari 600 cc / 24 jam dan tetapi lebih dari 250 cc / 24 jam jam dengan kadar Hb kurang dari 10 g%, sedangkan batuk darahnya masih terus berlangsung. 3. Apabila pasien mengalami batuk darah kurang dari 600 cc / 24 jam dan tetapi lebih dari 250 cc / 24 jam dengan kadar Hb kurang dari 10 g%, tetapi selama pengamatan 48 jam yang disertai dengan perawatan konservatif batuk darah tersebut tidak berhenti. Sebelum pembedahan dilakukan, sedapat mungkin diperiksa faal paru dan dipastikan asal perdarahannya, sedang jenis pembedahan berkisar dari segmentektomi,
11

lobektomi

dan

pneumonektomi juga dilakukan

dengan

atau

tanpa untuk

torakoplasti. (4) Penting adalah (6) : - Dengan memberikan cairan es garam yang dilakukan dengan bronkoskopi serat lentur dengan posisi pada lokasi bronkus yang berdarah. Masukkan larutan NaCl fisiologis pada suhu 4C sebanyak 50 cc, diberikan selama 30-60 detik. Cairan ini kemudian dihisap dengan suction. - Dengan menggunakan kateter balon yang panjangnya 20 cm penampang 8,5 mm 5. Komplikasi Komplikasi yang terjadi merupakan kegawatan dari hemoptisis, yaitu ditentukan oleh tiga faktor (6) : 1. Terjadinya asfiksia oleh karena terdapatnya bekuan darah dalam saluran pernapasan. 2. Jumlah darah yang dikeluarkan selama terjadinya hemoptisis dapat menimbulkan renjatan hipovolemik. 3. Aspirasi, yaitu keadaan masuknya bekuan darah maupun sisa makanan ke dalam jaringan paru yang sehat bersama inspirasi. 6. Prognosis Pada hemoptisis idiopatik prognosisnya baik kecuali bila penderita mengalami hemoptisis yang rekuren. Sedangkan pada hemoptisis sekunder ada beberapa faktor yang menentukan prognosis : 1. Tingkatan hemoptisis : hemoptisis yang terjadi pertama kali mempunyai prognosis yang lebih baik. 2. Macam penyakit dasar yang menyebabkan hemoptisis.
12

usaha-usaha

menghentikan perdarahan. Metode yang mungkin digunakan

3. Cepatnya kita bertindak, misalnya bronkoskopi yang segera dilakukan untuk menghisap darah yang beku di bronkus dapat menyelamatkan penderita.(9) B. Pneumotoraks 1. Definisi Pneumotoraks adalah suatu keadaan terdapatnya udara atau gas di dalam pleura yang menyebabkan kolapsnya paru yang terkena.
(11)

2. Klasifikasi Klasifikasi menurut penyebabnya, pneumotoraks dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu(11,12) : a. Pneumotoraks spontan yaitu setiap pneumotoraks yang terjadi secara tiba-tiba. Pneumotoraks tipe ini dapat diklasifikasikan lagi ke dalam dua jenis, yaitu : 1) Pneumotoraks spontan primer, yaitu pneumotoraks yang terjadi secara tiba-tiba tanpa diketahui sebabnya. 2) Pneumotoraks spontan sekunder, yaitu pneumotoraks yang terjadi dengan didasari oleh riwayat penyakit paru yang telah dimiliki sebelumnya, misalnya fibrosis kistik, penyakit paru obstruktik kronis (PPOK), kanker paru-paru, asma, dan infeksi paru.
b. Pneumotoraks traumatik, yaitu pneumotoraks yang terjadi akibat

adanya suatu trauma, baik trauma penetrasi maupun bukan, yang menyebabkan robeknya pleura, dinding dada maupun paru. Pneumotoraks tipe ini juga dapat diklasifikasikan lagi ke dalam dua jenis, yaitu : 1) Pneumotoraks traumatik non-iatrogenik, yaitu pneumotoraks yang terjadi karena jejas kecelakaan, misalnya jejas pada dinding dada, barotrauma.

13

2) Pneumotoraks traumatik iatrogenik, yaitu pneumotoraks yang terjadi akibat komplikasi dari tindakan medis. Pneumotoraks jenis ini pun masih dibedakan menjadi dua, yaitu :
a) Pneumotoraks traumatik iatrogenik aksidental adalah

suatu pneumotoraks yang terjadi akibat tindakan medis karena kesalahan atau komplikasi dari tindakan tersebut, misalnya pada parasentesis dada, biopsi pleura.
b) Pneumotoraks traumatik iatrogenik artifisial (deliberate)

adalah suatu pneumotoraks yang sengaja dilakukan dengan cara mengisikan udara ke dalam rongga pleura. Biasanya tindakan ini dilakukan untuk tujuan pengobatan, misalnya pada pengobatan tuberkulosis sebelum era antibiotik, maupun untuk menilai permukaan paru. Berdasarkan jenis fistulanya, maka pneumotoraks dapat

diklasifikasikan ke dalam tiga jenis, yaitu (13) : a. Pneumotoraks Tertutup (Simple Pneumothorax) Pada tipe ini, pleura dalam keadaan tertutup (tidak ada jejas terbuka pada dinding dada), sehingga tidak ada hubungan dengan dunia luar. Tekanan di dalam rongga pleura awalnya mungkin positif, namun lambat laun berubah menjadi negatif karena diserap oleh jaringan paru disekitarnya. Pada kondisi tersebut paru belum mengalami re-ekspansi, sehingga masih ada rongga pleura, meskipun tekanan di dalamnya sudah kembali negatif. Pada waktu terjadi gerakan pernapasan, tekanan udara di rongga pleura tetap negatif.
b. Pneumotoraks

Terbuka

(Open

Pneumothorax),

Yaitu

pneumotoraks dimana terdapat hubungan antara rongga pleura dengan bronkus yang merupakan bagian dari dunia luar (terdapat luka terbuka pada dada). Dalam keadaan ini tekanan
14

intrapleura

sama

dengan

tekanan

udara

luar. sekitar

Pada nol.

pneumotoraks

terbuka

tekanan

intrapleura

Perubahan tekanan ini sesuai dengan perubahan tekanan yang disebabkan oleh gerakan pernapasan. Pada saat inspirasi tekanan menjadi negatif dan pada waktu ekspirasi tekanan menjadi positif . Selain itu, pada saat inspirasi mediastinum dalam keadaan normal, tetapi pada saat ekspirasi mediastinum bergeser ke arah sisi dinding dada yang terluka (sucking wound).
(12)

c. Pneumotoraks

Ventil

(Tension

Pneumothorax)

Adalah

pneumotoraks dengan tekanan intrapleura yang positif dan makin lama makin bertambah besar karena ada fistel di pleura viseralis yang bersifat ventil. Pada waktu inspirasi udara masuk melalui trakea, bronkus serta percabangannya dan selanjutnya terus menuju pleura melalui fistel yang terbuka. Waktu ekspirasi udara di dalam rongga pleura tidak dapat keluar . Akibatnya tekanan di dalam rongga pleura makin lama makin tinggi dan melebihi tekanan atmosfer. Udara yang terkumpul dalam rongga pleura ini dapat menekan paru sehingga sering menimbulkan gagal napas. (12) Sedangkan menurut luasnya paru yang mengalami kolaps, maka pneumotoraks dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu (13) : a. Pneumotoraks parsialis, yaitu pneumotoraks yang menekan pada sebagian kecil paru (< 50% volume paru). b. Pneumotoraks totalis, yaitu pneumotoraks yang mengenai sebagian besar paru (> 50% volume paru).
3. Gejala klinis yang muncul berdasarkan anamnesis.
(12,13,14)

a. Sesak napas, didapatkan pada hampir 80-100% pasien. Seringkali sesak dirasakan mendadak dan makin lama makin
15

berat. Penderita bernapas tersengal, pendek-pendek, dengan mulut terbuka. b. Nyeri dada, yang didapatkan pada 75-90% pasien. Nyeri dirasakan tajam pada sisi yang sakit, terasa berat, tertekan dan terasa lebih nyeri pada gerak pernapasan. c. Batuk-batuk, yang didapatkan pada 25-35% pasien. d. Denyut jantung meningkat. e. Kulit mungkin tampak sianosis karena kadar oksigen darah yang kurang. f. Tidak menunjukkan gejala (silent) yang terdapat pada 5-10% pasien, biasanya pada jenis pneumotoraks spontan primer. 4. Diagnosis a. Pemeriksaan fisik Pada pemeriksaan fisik torak didapatkan (11,13): 1) Inspeksi : a) Dapat terjadi pencembungan pada sisi yang sakit (hiper ekspansi dinding dada) b) Pada waktu respirasi, bagian yang sakit gerakannya tertinggal c) Trakea dan jantung terdorong ke sisi yang sehat 2) Palpasi : a) Pada sisi yang sakit, ruang antar iga dapat normal atau melebar b) Iktus jantung terdorong ke sisi toraks yang sehat c) Fremitus suara melemah atau menghilang pada sisi yang sakit 3) Perkusi : a) Suara ketok pada sisi sakit, hipersonor sampai timpani dan tidak menggetar

16

b) Batas jantung terdorong ke arah toraks yang sehat, apabila tekanan intrapleura tinggi 4) Auskultasi : a) Pada bagian yang sakit, suara napas melemah sampai menghilang b) Suara vokal melemah dan tidak menggetar serta bronkofoni negatif b. Pemeriksaan Penunjang
1) Foto Rontgen Gambaran radiologis yang tampak pada foto

rontgen kasus pneumotoraks antara lain (15): a) Bagian pneumotoraks akan tampak lusen, rata dan paru yang kolaps akan tampak garis yang merupakan tepi paru. Kadang-kadang paru yang kolaps tidak membentuk garis, akan tetapi berbentuk lobuler sesuai dengan lobus paru. b) Paru yang mengalami kolaps hanya tampak seperti massa radio opaque yang berada di daerah hilus. Keadaan ini menunjukkan kolaps paru yang luas sekali. Besar kolaps paru tidak selalu berkaitan dengan berat ringan sesak napas yang dikeluhkan. c) Jantung dan trakea mungkin terdorong ke sisi yang sehat, spatium intercostals melebar, diafragma mendatar dan tertekan ke bawah. Apabila ada pendorongan jantung atau trakea ke arah paru yang sehat, kemungkinan besar telah terjadi pneumotoraks ventil dengan tekanan intra pleura yang tinggi. Pada pneumotoraks perlu diperhatikan kemungkinan terjadi keadaan sebagai berikut (11): a) Pneumomediastinum, terdapat ruang atau celah hitam pada tepi jantung, mulai dari basis sampai ke apeks. Hal ini terjadi

17

apabila pecahnya fistel mengarah mendekati hilus, sehingga udara yang dihasilkan akan terjebak di mediastinum. b) Emfisema subkutan, dapat diketahui bila ada rongga hitam dibawah kulit. Hal ini biasanya merupakan kelanjutan dari pneumomediastinum. Udara yang tadinya terjebak di mediastinum lambat laun akan bergerak menuju daerah yang lebih tinggi, yaitu daerah leher. Di sekitar leher terdapat banyak jaringan ikat yang mudah ditembus oleh udara, sehingga bila jumlah udara yang terjebak cukup banyak maka dapat mendesak jaringan ikat tersebut, c) Bila disertai adanya cairan di dalam rongga pleura, maka akan tampak permukaan cairan sebagai garis datar di atas diafragma Foto Rontgen pneumotoraks (PA), bagian yang ditunjukkan dengan anak panah merupakan bagian paru yang kolaps 2) Analisa Gas Darah Analisis gas darah arteri dapat memberikan gambaran hipoksemi meskipun pada kebanyakan pasien sering tidak diperlukan. Pada pasien dengan gagal napas yang berat secara signifikan meningkatkan mortalitas sebesar 10%. 3) CT-scan thorax CT-scan toraks lebih spesifik untuk membedakan antara emfisema bullosa dengan pneumotoraks, batas antara udara dengan sekunder. 5. Penatalaksanaan Tujuan utama penatalaksanaan pneumotoraks adalah untuk mengeluarkan udara dari rongga pleura dan menurunkan cairan intra dan ekstrapulmoner dan untuk membedakan antara pneumotoraks spontan primer dan

18

kecenderungan

untuk

kambuh

lagi.

Pada

prinsipnya,

penatalaksanaan pneumotoraks adalah sebagai berikut :


a. Observasi dan Pemberian O2

Apabila fistula yang menghubungkan alveoli dan rongga pleura telah menutup, maka udara yang berada didalam rongga pleura tersebut akan diresorbsi. Laju resorbsi tersebut akan meningkat apabila diberikan tambahan O2. Observasi dilakukan dalam beberapa hari dengan foto toraks serial tiap 12-24 jam pertama selama 2 hari. Tindakan ini terutama ditujukan untuk pneumotoraks tertutup dan terbuka.(13) b. Tindakan dekompresi Hal ini sebaiknya dilakukan seawal mungkin pada kasus pneumotoraks yang luasnya >15%. Pada intinya, tindakan ini bertujuan untuk mengurangi tekanan intra pleura dengan membuat hubungan antara rongga pleura dengan udara luar dengan cara (12):
1) Menusukkan jarum melalui dinding dada terus masuk rongga

pleura, dengan demikian tekanan udara yang positif di rongga pleura akan berubah menjadi negatif karena mengalir ke luar melalui jarum tersebut.(12,13) 2) Membuat hubungan dengan udara luar melalui kontra ventil :
a) Dapat memakai infus set Jarum ditusukkan ke dinding dada

sampai ke dalam rongga pleura, kemudian infus set yang telah dipotong pada pangkal saringan tetesan dimasukkan ke botol yang berisi air. Setelah klem penyumbat dibuka, akan tampak gelembung udara yang keluar dari ujung infus set yang berada di dalam botol. (13) b) Jarum abbocath Jarum abbocath merupakan alat yang terdiri dari gabungan jarum dan kanula. Setelah jarum ditusukkan pada posisi yang tetap di dinding toraks sampai menembus ke rongga
19

pleura, jarum dicabut dan kanula tetap ditinggal. Kanula ini kemudian dihubungkan dengan pipa plastik infus set. Pipa infuse ini selanjutnya dimasukkan ke botol yang berisi air. Setelah klem penyumbat dibuka, akan tampak gelembung udara yang keluar dari ujung infuse set yang berada di dalam botol. (13)
c) Pipa water sealed drainase (WSD)

Pipa khusus (toraks kateter) steril, dimasukkan ke rongga pleura dengan perantaraan troakar atau dengan bantuan klem penjepit. Pemasukan troakar dapat dilakukan melalui celah yang telah dibuat dengan bantuan insisi kulit di sela iga ke-4 pada linea mid aksilaris atau pada linea aksilaris posterior. Selain itu dapat pula melalui sela iga ke-2 di garis mid klavikula. Setelah troakar masuk, maka toraks kateter segera dimasukkan ke rongga pleura dan kemudian troakar dicabut, sehingga hanya kateter toraks yang masih tertinggal di rongga pleura. Selanjutnya ujung kateter toraks yang ada di dada dan pipa kaca WSD dihubungkan melalui pipa plastik lainnya. Posisi ujung pipa kaca yang berada di botol sebaiknya berada 2 cm di bawah permukaan air supaya gelembung udara dapat dengan mudah keluar melalui perbedaan tekanan tersebut. (11,13) Penghisapan dilakukan terus-menerus apabila tekanan intrapleura tetap positif. Penghisapan ini dilakukan dengan memberi tekanan negatif sebesar 10-20 cmH2O, dengan tujuan agar paru cepat mengembang. Apabila paru telah mengembang maksimal dan tekanan intra pleura sudah negatif kembali, maka sebelum dicabut dapat dilakukuan uji coba terlebih dahulu dengan cara pipa dijepit atau ditekuk selama 24 jam. Apabila tekanan dalam ronggapleura kembali menjadi positif maka pipa belum bisa dicabut.
20

Pencabutan WSD dilakukan pada saat pasien dalam keadaan ekspirasi maksimal. (12) d) Torakoskopi Suatu tindakan untuk melihat langsung ke dalam rongga toraks dengan alat bantu torakoskop. e) Torakotomi
f)

Tindakan bedah
Dengan pembukaan dinding toraks melalui operasi,

kemudian

dicari

lubang

yang

menyebabkan

pneumotoraks kemudian dijahit. Pada pembedahan, apabila ditemukan penebalan pleura yang menyebabkan paru tidak bias mengembang, maka dapat dilakukan dekortikasi.
Dilakukan resesksi bila terdapat bagian paru yang

mengalami robekan atau terdapat fistel dari paru yang rusak Pleurodesis Masing-masing lapisan pleura yang tebal dibuang, kemudian kedua pleura dilekatkan satu sama lain di tempat fistel. 6. Pengobatan Tambahan
a. Apabila

terdapat proses lain di paru, maka pengobatan

tambahan ditujukan terhadap penyebabnya. Misalnya : terhadap proses TB paru diberi OAT, terhadap bronkhitis dengan obstruksi saluran napas diberi antibiotik dan bronkodilator .(13)
b. Istirahat total untuk menghindari kerja paru yang berat. c. Pemberian antibiotik profilaksis setelah setelah tindakan bedah

dapat dipertimbangkan, untuk mengurangi insidensi komplikasi, seperti emfisema. (11)

21

7. Rehabilitasi
a. Penderita yang telah sembuh dari pneumotoraks harus dilakukan

pengobatan secara tepat untuk penyakit dasarnya. b. Untuk sementara waktu, penderita dilarang mengejan, batuk atau bersin terlalu keras.
c. Bila mengalami kesulitan defekasi karena pemberian antitusif,

berilah laksan ringan. d. Kontrol penderita pada waktu tertentu, terutama kalau ada keluhan batuk, sesak napas. C. Status asmatikus 1. Definisi Asma merupakan penyakit inflamasi kronik jalan napas yang disebabkan oleh berbagai jenis sel radang termasuk sel mast dan eosinofil. Menurut Varney (2003) Asma adalah radang kronis pada jalan nafas yang berkaitan dengan obstruksi reversible dari spasme, edema, dan produksi mucus dan respon yang berlebihan terhadap stimuli. Eksaserbasi asma (serangan asma) adalah episode progresif peningkatan gejala pendek napas, batuk, mengi, sesak dada atau kombinasi dari gejala-gejala tersebut. Hal ini adalah pertanda kegagalan pengelolaan asma jangka panjang atau adanya pencetus. Tingkat serangan asma berkisar antara ringan sampai berat, yang berkembang dalam beberapa hari atau jam namun kadang-kadang bisa dalam beberapa menit. Mortalitas paling sering berhubungan dengan salah menilai beratnya serangan, kurang cukupnya tindakan pada saat awal serangan dan kurangnya terapi yang diberikan. Asma akut yang berat/status asmatikus merupakan tingkat penyakit yang berat yang memerlukan penanganan segera.
(16)

22

Kriteria Sesak napas

Berat saat istirahat membungkuk kedepan Sepatah kata

Gawat -

Kemampuan

berbicara Kesadaran Agitasi Respirasi > 30/menit Otot respirasi Retraksi M.inter costalis tambahan Mengi Nadi/menit Pulsus paradoksus PaO2 PaCO2 Sat. O2 (Udara) Keras > 120 (+), > 25 mmHg < 60 mmHg > 45 mmHg < 90%

Mengantuk/bingung Gerakan torakoabdominal paradoksal Tidak ada Bradikardi (-), kelelahan otot -

2. Etiologi a. Mekanisme pemacu serangan akut terjadi dari beberapa hal, yaitu : alergen, kerja fisik, insfeksi virus pada jalan nafas, ketegangan emosional, perubahan iklim dan beberapa janis obat. b. Ketidak seimbangan modulasi adenergic dan kolinergic dari broncus. c. Sering terdapat riwayat penyakit dalam keluarga, anak laki-laki sering terkena dari pada anak perempuan. d. Biasanya mempunyai alergi dengan kadar IgE meninggi (asma atopic/aksentrik berkaitan dengan keadaan alergi lain sperti eksema fifer). e. Asma instrinsik terjadi pada penderita non atopic yang berusia lanjut. 3. Patofisiologi

23

4. Tanda dan Gejala

a. Objektif 1) Sesak napas yang berat dengan ekspirasi disertai wheezing 2) Dapat disertai batuk dengan sputum kental, sukar dikeluarkan 3) Bernapas dengan menggunakan otot - otot tambahan 4) Sianosis, takikardi, gelisah, pulsus paradoksus 5) Fase ekspirium memanjang disertai wheesing (di apeks dan hilus) b. Subyektif : 1) Klien merasa sukar bernapas, sesak, dan anoreksia
c. Psikososial :

1) Klien cemas, takut, dan mudah tersinggung 2) Kurangnya pengetahuan klien terhadap situasi penyakitnya
5. Penatalaksanaan

Tujuan terapi a. menghilangkan obstruksi secepat mungkin b. menghilangkan hipoksia c. mengembalikan fungsi paru normal secepatnya d. merencanakan usaha penghindaran relaps di masa depan Terapi awal :

24

a. O2 4-6 L/menit

b. Inhalasi/nebuliser B2 agonist tiap jam c. Dexamethason 3x2 amp.iv d. Aminofihin bolus/infus e. B2 agonis SC/IMIIV kalau perlu Terapi lain: a. Antibiotika dan rehidrasi bila diperlukan b. Catatan : hindari inhalasi mukolitik, sedativa dilarang, dan antihistamin tidak bermanfaat bermanfaat c. Bila hasil evaluasi setelah 1 jam tak terlihat perbaikan: Fisik: gejala berat, mengantuk, bingung Arus Puncak Ekspirasi (APE) < 30% PCO2 >45 mmHg PO2 < 60 mmHg Segera masukkan ke ICU untuk perawatan intensif dan kemungkin intubasi serta ventilasi mekanik.

25

26

D. Edema Paru 1. Definisi Edema paru terjadi oleh karena adanya aliran cairan dari darah ke ruang intersisial paru yang selanjutnya ke alveoli paru, melebihi aliran cairan kembali ke darah atau melalui saluran limfatik. Edema paru dibedakan oleh karena sebab Kardiogenik dan Non Kardiogenik.(17)

27

2. Etiologi
a. Ketidak-seimbangan Starling Forces

1) Peningkatan tekanan kapiler paru : Peningkatan tekanan vena paru tanpa adanya gangguan fungsi ventrikel kiri (stenosis mitral). Peningkatan tekanan vena paru sekunder oleh karena gangguan fungsi ventrikel kiri.

Peningkatan tekanan kapiler paru sekunder oleh karena peningkatan tekanan arteria pulmonalis (over perfusion pulmonary edema).

2) Penurunan tekanan onkotik plasma.

Hipoalbuminemia sekunder oleh karena penyakit ginjal, hati, protein-losing enteropaday, penyakit dermatologi atau penyakit nutrisi.

3) Peningkatan tekanan negatif intersisial :


28

Pengambilan terlalu cepat pneumotorak atau efusi pleura (unilateral).

Tekanan pleura yang sangat negatif oleh karena obstruksi saluran napas akut bersamaan dengan peningkatan end-expiratory volume (asma).

4) Peningkatan tekanan onkotik intersisial. Sampai sekarang belum ada contoh secara percobaan maupun klinik.
b. Perubahan

permeabilitas

membran

alveolar-kapiler

(Adult

Respiratory Distress Syndrome) 1) Pneumonia (bakteri, virus, parasit). 2) Bahan toksik inhalan (phosgene, ozone, chlorine, asap Teflon, NO2, dsb). 3) Bahan asing dalam sirkulasi (bisa ular, endotoksin bakteri, alloxan, alpha-naphthyl thiourea). 4) Aspirasi asam lambung. 5) Pneumonitis radiasi akut. 6) Bahan vasoaktif endogen (histamin, kinin). 7) Disseminated Intravascular Coagulation. 8) Imunologi : pneumonitis hipersensitif, obat nitrofurantoin, leukoagglutinin. 9) Shock Lung oleh karena trauma di luar toraks. 10) Pankreatitis Perdarahan Akut.
c. Insufisiensi Limfatik :

1) Post Lung Transplant. 2) Lymphangitic Carcinomatosis. 3) Fibrosing Lymphangitis (silicosis).


d. Tak diketahui/tak jelas (Idiopatik)

1) High Altitude Pulmonary Edema. 2) Neurogenic Pulmonary Edema.


29

3) Narcotic overdose. 4) Pulmonary embolism. 5) Eclampsia 6) Post Cardioversion. 7) Post Anesthesia. 8) Post Cardiopulmonary Bypass.

3. Manifestasi Klinik Gejala yang paling umum dari pulmonary edema adalah sesak napas. Ini mungkin adalah penimbulan yang berangsur-angsur jika prosesnya berkembang secara perlahan, atau ia dapat mempunyai penimbulan yang tiba-tiba pada kasus dari pulmonary edema akut. Gejala-gejala umum lain mungkin termasuk mudah lelah, lebih cepat mengembangkan sesak napas daripada normal dengan aktivitas yang biasa (dyspnea on exertion), napas yang cepat (tachypnea), kepeningan, atau kelemahan. Tingkat oksigen darah yang rendah (hypoxia) mungkin terdeteksi pada pasien-pasien dengan pulmonary edema. Lebih jauh, atas pemeriksaan paru-paru dengan stethoscope, dokter mungkin mendengar suara-suara paru yang abnormal, sepeti rales atau crackles (suara-suara mendidih pendek yang terputus-putus yang berkoresponden pada muncratan cairan dalam alveoli selama bernapas).

4. Diagnosis Untuk mengidentifikasi penyebab dari pulmonary edema, penilaian keseluruhan dari gambar klinis pasien adalah penting. Sejarah medis dan pemeriksaan fisik yang saksama seringkali menyediakan informasi yang tidak ternilai mengenai penyebab. a. Pemeriksaan Fisik
30

1) Sianosis sentral. Sesak napas dengan bunyi napas seperti mukus berbuih. 2) Ronchi basah nyaring di basal paru kemudian memenuhi hampir seluruh lapangan paru, kadang disertai ronchi kering dan ekspirasi yang memanjang akibat bronkospasme sehingga disebut sebagai asma kardiale. Takikardia dengan S3 gallop. Murmur bila ada kelainan katup. b. Elektrokardiografi Bisa sinus takikardia dengan hipertrofi atrium kiri atau fibrilasi atrium, tergantung penyebab gagal jantung. Gambaran infark, hipertrofi ventrikel kiri atau aritmia bisa ditemukan. c. Laboratorium 1) Analisa gas darah pO2 rendah, pCO2 mula-mula rendah dan kemudian hiperkapnia. 2) Enzim kardiospesifik meningkat jika penyebabnya infark miokard. 3) Darah rutin, ureum, kreatinin, , elektrolit, urinalisis, foto thoraks, EKG, enzim jantung (CK-MB, Troponin T), angiografi koroner.
d. Foto thoraks

Pulmonary edema secara khas didiagnosa dengan X-ray dada. Radiograph (X-ray) dada yang normal terdiri dari area putih terpusat yang menyinggung jantung dan pembuluh-pembuluh darah utamanya plus tulang-tulang dari vertebral column, dengan bidang-bidang paru yang menunjukan sebagai bidang-bidang yang lebih gelap pada setiap sisi, yang dilingkungi oleh strukturstruktur tulang dari dinding dada. X-ray dada yang khas dengan pulmonary edema mungkin menunjukan lebih banyak tampakan putih pada kedua bidang-bidang paru daripada biasanya. Kasuskasus yang lebih parah dari pulmonary edema dapat menunjukan opacification (pemutihan) yang signifikan pada paru31

paru dengan visualisasi yang minimal dari bidang-bidang paru yang normal. Pemutihan ini mewakili pengisian dari alveoli sebagai akibat dari pulmonary edema, namun ia mungkin memberikan informasi yang minimal tentang penyebab yang mungkin mendasarinya. Gambaran Radiologi yang ditemukan : 1. Pelebaran atau penebalan hilus (dilatasi vaskular di hilus) 2. Corakan paru meningkat (lebih dari 1/3 lateral) 3. Kranialisasi vaskuler 4. Hilus suram (batas tidak jelas) 5. Interstitial fibrosis (gambaran seperti granuloma-granuloma kecil atau nodul milier) e. Ekokardiografi Gambaran penyebab gagal jantung : kelainan katup, hipertrofi ventrikel (hipertensi), Segmental wall motion abnormally (Penyakit Jantung Koroner), dan umumnya ditemukan dilatasi ventrikel kiri dan atrium kiri. 5. Diagnosis Banding Emboli paru, asma bronkiale 6. Penatalaksanaan a. Posisi duduk.
b. Oksigen (40 50%) sampai 8 liter/menit bila perlu dengan

masker. Jika memburuk (pasien makin sesak, takipneu, ronchi bertambah, PaO2 tidak bisa dipertahankan 60 mmHg dengan O2 konsentrasi dan aliran tinggi, retensi CO2, hipoventilasi, atau tidak mampu mengurangi cairan edema secara adekuat), maka dilakukan intubasi endotrakeal, suction, dan ventilator.

32

c. Infus emergensi. Monitor tekanan darah, monitor EKG, oksimetri

bila ada. d. Nitrogliserin sublingual atau intravena. Nitrogliserin peroral 0,4 0,6 mg tiap 5 10 menit. Jika tekanan darah sistolik > 95 mmHg bisa diberikan Nitrogliserin intravena mulai dosis 3 5 ug/kgBB. Jika tidak memberi hasil memuaskan maka dapat diberikan Nitroprusid IV dimulai dosis 0,1 ug/kgBB/menit bila tidak memberi respon dengan nitrat, dosis dinaikkan sampai didapatkan perbaikan klinis atau sampai tekanan darah sistolik 85 90 mmHg pada pasien yang tadinya mempunyai tekanan darah normal atau selama dapat dipertahankan perfusi yang adekuat ke organ-organ vital. e. Diuretik Furosemid 40 80 mg IV bolus dapat diulangi atau dosis ditingkatkan tiap 4 jam atau dilanjutkan drip continue sampai dicapai produksi urine 1 ml/kgBB/jam. f. Bila perlu (tekanan darah turun / tanda hipoperfusi) : Dopamin 2 5 ug/kgBB/menit atau Dobutamin 2 10 ug/kgBB/menit untuk menstabilkan hemodinamik. Dosis dapat ditingkatkan sesuai respon klinis atau keduanya.
g. Aminophylline

:Berguna

apabila

edema

paru

disertai

bronkhokonstriksi atau pada penderita yang belum jelas edema paru oleh karena Asma Bronkhiale atau Asma Kardiale, karena selain bersifat bronkhodilator juga mempunyai efek inotropik positif, venodi-latasi ringan dan diuretik ringan. Dosis biasanya 5 mg/kg BB intravena dalam 10 menit, dilanjutkan drip intravena 0,5 mg/kg BB/jam. Dosis dikurangi pada orang tua, penyakit hati dan gangguan fungsi ginjal. Setelah 12 jam dosis dikurangi menjadi 0,1 mg/kg BB/jam. Kadar dalam darah yang optimal ialah 10-20 mg/liter. Efek samping yang dapat terjadi sakit kepala, muka merah, palpitasi nyeri dada, hipotensi dan sangat jarang kejang-kejang. Efek samping yang paling berbahaya ialah
33

kematian mendadak oleh karena aritmia ventrikel dan hipotensi.


(17)

h. Trombolitik atau revaskularisasi pada pasien infark miokard. i. Intubasi dan ventilator pada pasien dengan hipoksia berat, asidosis/tidak berhasil dengan oksigen. j. Atasi aritmia atau gangguan konduksi. k. Operasi pada komplikasi akut infark miokard, seperti regurgitasi, VSD dan ruptur dinding ventrikel / corda tendinae. 7. Komplikasi Kebanyakan komplikasi-komplikasi dari pulmonary edema mungkin timbul dari komplikasi-komplikasi yang berhubungan dengan penyebab yang mendasarinya. Lebih spesifik, pulmonary edema dapat menyebabkan pengoksigenan darah yang dikompromikan secara parah oleh paru-paru. Pengoksigenan yang buruk (hypoxia) dapat secara potensial menjurus pada pengantaran oksigen yang berkurang ke organ-organ tubuh yang berbeda, seperti otak.

34

BAB III KESIMPULAN Tujuan semua tindakan untuk mengatasi penyakit gawat paru adalah mencegah agar penderita tidak jatuh ke dalam keadaan yang lebih buruk berupa gagal nafas akut dan multipleorgan failure. Gagal nafas akut dapat terjadi oleh karena gangguan nafas diotak, gangguan neuromuskuler dan medulla spinalis, obstruksijalan nafas, gangguan ventilasi, perfusi dan karena kerusakan organ-organ lain seperti infark miokard, iskemi usus atau luka bakar yang luas. Diagnosis pasti didapatkan dari pemeriksaan analisis gas darah. Tetapi seringkali pemeriksaan klinis sangat membantu menentukan tindakan pertama yang harus dilakukan dengan cepat dan tepat. Kadangkadang tindakan pertama harus dilakukan secepatnya di tempat kejadian atau di unit gawat darurat tergantung etiologinya yang dikenal sebagai penatalaksanaan spesifik. Penatalaksanaan non spesifik meliputi upaya perbaikan oksigenisasi, ventilasi dan sirkulasi. Upaya-upaya ini kadangkadang memerlukan alat-alat yang lebih kompleks dan memerlukan Monitoring dan perawatan khusus. Hal lain yang juga penting adalah evaluasi terhadap keberhasilan terapi dilakukan dari saat ke saat sehingga terapi dapat diberikan sesuai dengan kebutuhan.

35

Daftar Pustaka
1.

Sherwood Lauralee. 2001. HUMAN PHYSIOLOGY : FROM CELL TO SYSTEM, E/2. Jakarta: Penerbit buku Kedokteran EGC. Djojodibroto Darmanto. 2009. Respirologi (Respiratory medicine). Jakarta: Penerbit buku Kedokteran EGC. Abal AT, Nair PC & Cherian J. 2001. Haemoptysis: aetiology, evaluation and outcome--a prospective study in a third-world country. http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/11453310/

2.

3.

4.

Purwandianto A. Sampurna B. Kedaruratan Medik. ed. 3. Bina Rupa Aksara. Jakarta. p.19 20 Reechaipichitkul W, Latong S. 2005. Etiology and treatment outcomes of massive hemoptysis. http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/15916059

5.

6. 7.

Rab T. Prinsip Gawat Paru. ed.2. EGC. Jakarta. 1996. p. 185 201 Yusuf I. Manifestasi Klinis Penyakit Paru. dalam Ilmu Penyakit Dalam. Soeparman. Waspadji, editor. BP-FKUI Jakarta. 1987. p. 688

8.

Woodley M. Whelan A. Pedoman Pengobatan. (Manual of Medical Therapeutics). Andi offset. Yogyakarta. 1995. p. 326 327 American Thoracic society. The Management of hemoptysis. A Statement by the committee on Therapy, Am rev Respir Dis. 1996. (93) : 471 474

9.

10.

David R. Sopko and Tony P. Smith. 2011. Bronchial Artery Embolization tool=pmcentrez for Hemoptysis. http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3140255/?

11.

Bowman, Jeffrey, Glenn. Pneumothorax, Tension and Traumatic. Updated: 2010 May 27; cited 2011 January 10. Available from http://emedicine.medscape.com/article/827551

12. Sudoyo, Aru, W. Setiyohadi, Bambang. Alwi, Idrus. K, Marcellus, Simadibrata. Setiati, Siti. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid
36

II. Edisi IV. Jakarta : Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2006. p. 1063. 13. Alsagaff, Hood. Mukty, H. Abdul. Dasar-Dasar Ilmu Penyakit Paru. Surabaya : Airlangga University Press; 2009. p. 162-179
14.

Schiffman, George. Stoppler, Melissa, Conrad. Pneumothorax (Collapsed Lung). Cited : 2011 January 10. Available from : http://www.medicinenet.com/pneumothorax/article.htm

15. Malueka, Rusdy, Ghazali. Radiologi Diagnostik. Yogyakarta : Pustaka Cendekia Press; 2007. p. 56
16.

Dahlan Jul. 1997. Pengelolaan pasien dengan kedaruratan paru. Cermin Dunia Kedokteran. Ingram RH Jr., Braunwald E. Pulmonary edema : cardiogenic and non-cardiogenic. In: Han Disease. Textbook pf Cardiovascular Medicine. Braunwald E. (Ed). 3rd ed. Philadelphia : WB Saunders Co. 1988, pp. 544-60.

17.

37

You might also like