You are on page 1of 24

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1.

Pengertian Makanan Berdasarkan definisi dari WHO di dalam (Chandra, 2006), makanan adalah semua substansi yang dibutuhkan oleh tubuh tidak termasuk air, obat-obatan, dan substansi-substansi lain yang digunakan untuk pengobatan. Makanan merupakan salah satu bagian yang penting untuk kesehatan manusia mengingat setiap saat dapat saja terjadi penyakit-penyakit yang diakibatkan oleh makanan. Terdapat 2 faktor yang menyebabkan suatu makanan menjadi berbahaya bagi manusia, antara lain: 1. Kontaminasi Kontaminasi pada makanan dapat disebabkan oleh: a) Parasit, misalnya cacing dan amuba. b) Golongan mikroorganisme, misalnya Salmonella dan Shigella. c) Zat kimia, misalnya bahan pengawet dan pewarna. d) Bahan-bahan radioaktif, misalnya kobalt dan uranium. e) Toksin atau racun yang dihasilkan oleh mikroorganisme, seperti Staphilococcus dan Clostridium botulinum. 2. Makanan yang pada dasarnya telah mengandung zat berbahaya, tetapi tetap dikonsumsi manusia karena ketidaktahuan mereka dapat dibagi menjadi 3 golongan: a) Secara alami makanan itu memang telah mengandung zat kimia beracun, misalnya, singkong yang mengandung HCN, ikan dan kerang yang

Universitas Sumatera Utara

mengandung unsur toksik tertentu (logam berat, misalnya Hg dan Cd) yang dapat melumpuhkan sistem saraf dan napas. b) Makanan dijadikan sebagai media perkembangbiakan sehingga dapat menghasilkan toksin yang berbahaya bagi manusia, misalnya dalam kasus keracunan makanan akibat bakteri (bacterial food poisoning). c) Makanan sebagai perantara. Jika suatu makanan yang terkontaminasi dikonsumsi manusia, di dalam tubuh manusia agent penyakit pada makanan itu memerlukan masa inkubasi untuk berkembang biak dan setelah beberapa hari dapat mengakibatkan munculnya gejala penyakit. Contoh penyakitnya antara lain Typhoid abdominalis dan Disentri basiler. 2.2. Higiene dan Sanitasi Makanan Di samping aspek-aspek biologis, teknologis, komersial dan hukum, setiap produk pangan yang diproduksi dan diperdagangkan wajib pula memenuhi persyaratan higienis agar produk itu tidak mengandung bahan yang akan membahayakan kesehatan konsumen (Ilyas, 1993). Berdasarkan Kepmenkes RI No.942/Menkes/SK/VII/2003, higiene sanitasi adalah upaya untuk mengendalikan faktor makanan, orang, tempat dan perlengkapannya yang dapat atau mungkin dapat menimbulkan penyakit atau gangguan kesehatan. Menurut Chandra (2006), sanitasi makanan adalah upaya-upaya yang ditujukan untuk kebersihan dan keamanan makanan agar tidak menimbulkan bahaya keracunan dan penyakit pada manusia. Dengan demikian, tujuan sebenarnya dari upaya sanitasi makanan, antara lain:

Universitas Sumatera Utara

1. Menjamin keamanan dan kebersihan makanan. 2. Mencegah penularan wabah penyakit. 3. Mencegah beredarnya produk makanan yang merugikan masyarakat. 4. Mengurangi tingkat kerusakan atau pembusukan pada makanan. 2.3. Bahan Tambahan Pangan Menurut FAO bahan tambahan pangan adalah senyawa yang sengaja ditambahkan ke dalam makanan dengan jumlah dan ukuran tertentu dan terlibat dalam proses pengolahan, pengemasan, dan atau penyimpanan. Bahan ini berfungsi untuk memperbaiki warna, bentuk, citarasa, dan tekstur, serta memperpanjang masa simpan, dan bukan merupakan bahan utama (Saparinto, 2006). Bahan tambahan makanan yang digunakan diizinkan karena tidak berbahaya atau aman bagi kesehatan sesuai Undang-Undang RI No.7 Tahun 1996 tentang Pangan. Pemakaian bahan tambahan makanan memberikan keuntungan besar bagi industri makanan. Salah satunya adalah makanan menjadi tidak cepat rusak atau busuk karena makanan menjadi lebih awet (Widyaningsih, 2006). Namun, penggunaan bahan tambahan pangan dapat merugikan kesehatan. Penyalahgunaan bahan pewarna tekstil dan kertas untuk pangan, bahan pengawet yang berlebihan, penggunaan bungkus bekas pestisida, kesalahan penggunaan bahan karena kesalahan label seperti tertukarnya bikarbonat dengan nitrit merupakan kecerobohan yang sebenarnya dapat dihindarkan (Baliwati, 2004). Bahan tambahan makanan di dalam (Widyaningsih, 2006) adalah bahan yang ditambahkan dengan sengaja ke dalam makanan dalam jumlah kecil, dengan tujuan untuk memperbaiki penampakan, cita rasa, tekstur, flavor, dan memperpanjang daya

Universitas Sumatera Utara

simpan. Selain itu, juga dapat meningkatkan nilai gizi seperti protein, mineral, dan vitamin. Jenis-jenis bahan tambahan makanan yang sering digunakan adalah bahan pengawet, pewarna, pemanis, antioksidan, pengikat logam, pemutih, pengental, pengenyal, emulsifier, buffer (asam, alkali), zat besi, flavoring agent, dan sebagainya. 2.4. Bahan Pengawet 2.4.1. Pengertian Bahan Pengawet Makanan Menurut Permenkes RI No.722/Menkes/Per/IX/1988, salah satu bahan tambahan pangan yang diizinkan digunakan pada makanan diantaranya pengawet yaitu untuk memperpanjang masa simpan suatu makanan. Sebagian besar kerusakan bahan makanan, khususnya hasil olahan, disebabkan oleh aktivitas mikroba yang memanfaatkan bahan makanan untuk metabolismenya. Bahan pengawet bersifat menghambat atau mematikan pertumbuhan mikroba penyebab kerusakan ini sehingga sering juga disebut dengan senyawa antimikroba. Pengawetan dan pengolahan bertujuan mengurangi kerugian fisik, gizi, dan ekonomi, dengan mengurangi limbah dan memanfaatkannya, dan dengan

meningkatkan daya simpan dan nilai tambah (Ilyas, 1993). Jenis bahan pengawet diantaranya asam benzoat, asam propionat, asam sorbat dan garamnya, nitrat, nitrit, sulfur dioksida, nipagin, nipasol (Baliwati, 2004).

Universitas Sumatera Utara

2.4.2. Teknik Pengawetan Makanan Secara garis besar teknik pengawetan dapat dibagi dalam tiga golongan yaitu pengawetan secara alami, pengawetan secara biologis, dan pengawetan secara kimia (Pratiwi, 2008). 1. Pengawetan Secara Alami Proses pengawetan secara alami meliputi proses pemanasan dan pendinginan. Teknik liofilisasi atau teknik pengeringan beku yang diperkenalkan oleh Perlman dan Kikuchi (1977) dan Heckly(1978) merupakan teknik preservasi (pengawetan) yang sangat terkenal dan biasa digunakan untuk mikroorganisme dengan kisaran yang luas. 2. Pengawetan Secara Biologis Proses pengawetan secara biologis dapat dilakukan dengan fermentasi (peragian), yaitu proses perubahan karbohidrat menjadi alkohol. Zat-zat yang bekerja pada proses ini adalah enzim yang dibuat oleh sel-sel ragi. Lamanya proses peragian tergantung pada bahan yang akan diragikan. 3. Pengawetan Secara Kimia Pada proses pengawetan secara kimia, digunakan bahan-bahan kimia yang bersifat dapat mencegah pertumbuhan mikroorganisme. Sebagai contoh adalah penggunaan gula pasir, garam dapur, nitrat, nitrit, natrium benzoat, asam propionat, asam sitrat, garam sulfat, dan lain-lain. Proses pengasapan juga termasuk cara kimia, sebab bahan-bahan kimia dalam asap dimasukkan ke dalam bahan makanan yang akan diawetkan.

Universitas Sumatera Utara

2.4.3. Manfaat Pengawetan Makanan Menurut Chandra (2006), adapun manfaat yang dapat kita peroleh dalam upaya pengawetan makanan, antara lain: 1) Segi ekonomi Makanan yang diawetkan dapat dikonsumsi atau dijual ke tempat-tempat yang jauh kapan saja dan tanpa mengurangi kualitas makanan. Dengan begitu, kelebihan makanan di suatu daerah dapat diperluas pemasarannya, tanpa terikat oleh waktu. 2) Mempermudah transportasi Di Indonesia yang beriklim tropis, makanan mudah sekali membusuk. Dengan adanya pengawetan, makanan dapat dipertahankan atau diolah dengan cara lain sehingga dapat dibeli dengan mudah dan tidak berbahaya serta dapat menghemat biaya transpor. 3) Mudah dihidangkan Sebagian makanan yang telah diawetkan siap dihidangkan karena bagian yang tidak diperlukan telah dibuang. Dengan begitu, untuk pola kehidupan masyarakat yang telah maju, masalah kendala waktu dapat diatasi. 4) Bermanfaat dalam keadaan tertentu Misalnya dalam kejadian bencana alam, kelaparan, pengungsian, dan kondisi genting lainnya, bantuan makanan yang telah diawetkan dapat segera didatangkan dari daerah lain.

Universitas Sumatera Utara

2.5. Pemanfaatan Chitosan dari Cangkang Udang Sebagai Pengawet Makanan 2.5.1. Produksi Udang (Litopenaeus vannamei) Indonesia dikenal sebagai salah satu negara yang memiliki keanekaragaman hayati tertinggi di dunia. Namun, kekayaan keanekaragaman hayati yang kita miliki hingga saat ini belum dimanfaatkan secara optimal (Sugandhy, 2009). Saat ini budidaya dengan tambak telah berkembang dengan pesat karena udang merupakan komoditi ekspor yang dapat dihandalkan dalam meningkatkan ekspor non migas dan merupakan salah satu jenis biota laut yang bernilai ekonomis tinggi (Kaban, dkk., 2006). Dalam perkembangannya, Indonesia memasukkan udang vannamei

(Litopenaeus vannamei) sebagai salah satu jenis udang budidaya tambak, selain udang windu (Penaeus monodon) dan udang putih/udang jrebung (Penaeus merguiensis) yang sudah terkenal lebih dahulu (Amri, 2008). Udang windu saat ini tidak berkembang lagi karena terserang berbagai macam penyakit udang diantaranya yang ganas adalah white spot atau virus bintik putih. Petambak udang di Indonesia saat ini banyak memelihara udang putih (Pennaeus vannamei) (Anonimous, 2009). Setelah melalui serangkaian penelitian dan kajian akhirnya melalui SK Menteri Kelautan dan Perikanan RI No.41/2001 pemerintah secara resmi melepas udang vannamei sebagai varietas unggul untuk dibudidayakan petambak di tanah air pada tanggal 12 Juli 2001 (Amri, 2008).

Universitas Sumatera Utara

Berikut tata nama udang vannamei menurut ilmu taksonomi (Haliman, 2008). Kingdom : Animalia

Subkingdom : Metazoa Filum Subfilum Kelas Subkelas Superordo Ordo Subordo Famili Genus Spesies : Arthropoda : Crustacea : Malacostraca : Eumalacostraca : Eucarida : Decapoda : Dendrobrachiata : Penaeidae : Litopenaeus : Litopenaeus vannamei

2.5.2. Potensi Limbah Udang Dilihat dari luar, tubuh udang terdiri dari 2 bagian, yaitu bagian depan dan bagian belakang. Bagian depan disebut bagian kepala, yang sebenarnya terdiri dari bagian kepala dan dada yang menyatu. Oleh karena itu dinamakan kepala-dada (cepholothorax). Bagian perut (abdomen) terdapat ekor di bagian belakangnya. Seluruh tubuh tertutup oleh kerangka luar yang disebut eksoskeleton, yang terbuat dari bahan chitin (Suyanto, 2001). Bagian kepala beratnya kurang lebih 36-49%, bagian daging antara 24-41%, dan kulit 17-23% dari total berat badan (Purwaningsih, 2000). Limbah yang dihasilkan dari proses pembekuan udang, pengalengan udang dan pengolahan

Universitas Sumatera Utara

kerupuk udang berkisar antara 30-75% dari berat udang. Dengan demikian jumlah bagian yang terbuang dari usaha pengolahan udang cukup tinggi. Limbah kulit udang mengandung konstituen utama yang terdiri dari protein, kalsium karbonat, chitin, pigmen, abu dan lain-lain. Meningkatnya jumlah limbah udang masih merupakan masalah yang perlu dicarikan upaya pemanfaatannya. Hal ini bukan saja memberikan nilai tambah pada usaha pengolahan udang akan tetapi juga dapat menanggulangi masalah pencemaran lingkungan yang ditimbulkan (Kaban, dkk., 2008). Perkembangan teknologi dan industri yang pesat dewasa ini ternyata membawa dampak bagi kehidupan manusia, baik dampak yang bersifat positif maupun dampak yang bersifat negatif. Dampak yang bersifat positif memang diharapkan oleh manusia dalam rangka meningkatkan kualitas dan kenyamanan hidup. Dalam usahanya untuk meningkatkan kualitas hidup, manusia berupaya dengan segala daya untuk mengolah dan memanfaatkan kekayaan alam yang ada demi tercapainya kualitas hidup yang diinginkan. Segala macam organisme yang ada di alam ini selalu menghasilkan limbah atau bahan buangan. Mengingat akan hal ini maka perlu pemikiran lebih lanjut bagaimana mengurangi jumlah limbah dengan memanfaatkan kembali limbah tersebut untuk kepentingan manusia melalui proses daur ulang limbah (bahan buangan), sekaligus sebagai usaha untuk mengurangi pencemaran daratan. Pemanfaatan kembali limbah ternyata banyak memberikan keuntungan bagi kehidupan manusia. Limbah (bahan buangan) yang semula tidak berharga, setelah dimanfaatkan kembali melalui proses daur ulang, menjadi bernilai ekonomis (Wardhana, 2004).

Universitas Sumatera Utara

Dalam industri pembekuan udang ada dua jenis limbah. Pertama adalah limbah cair yang berupa suspensi air dan kotoran udang serta yang kedua limbah padat yang berupa kepala udang. Limbah cair jika didiamkan akan menimbulkan bau tidak sedap dan akan mencemari sungai atau areal persawahan yang ada di dekatnya. Begitu juga limbah padat yang sarat akan bakteri jika didiamkan akan merupakan sumber kontaminan yang akan mengganggu lingkungan. Limbah yang berbentuk cair sudah tidak bisa dimanfaatkan lagi. Lain halnya dengan limbah padat. Limbah ini masih bisa dimanfaatkan menjadi produk lanjut yang mempunyai nilai ekonomis tinggi, misalnya chitin, tepung ikan untuk pakan ternak, dan flavor udang. Limbah udang merupakan sumber yang kaya akan chitin, yaitu kurang lebih 30% dari berat kering. Chitin dapat diproses lebih lanjut menjadi chitosan. (Purwaningsih, 2000). 2.5.3. Chitin dan Chitosan Chitin merupakan poli (2-asetamido-2-deoksi--(14)-D-glukopiranosa) yang paling melimpah di alam setelah selulosa. Chitin tidak beracun dan bahkan mudah terurai secara hayati (biodegradable). Bentuk fisiknya merupakan padatan amorf yang berwarna putih. Keberadaan chitin di alam umumnya terikat dengan protein, mineral, dan berbagai macam pigmen (Sugita, 2009). Chitin banyak

dijumpai pada jamur, crustaceae, insecta, mollusca dan arthropoda. Dalam cangkang udang, chitin terdapat sebagai mukopoli sakarida yang berikatan dengan garamgaram anorganik, terutama kalsium karbonat (CaCO3), protein dan lipida termasuk pigmen-pigmen (Wardaniati, 2009).

Universitas Sumatera Utara

Chitosan adalah poli-(2-amino-2-deoksi--(1-4)-D-glukopiranosa) yang dapat diperoleh dari deasetilasi chitin. Bentuk fisiknya merupakan padatan amorf yang berwarna putih kekuningan (Sugita, 2009). Untuk memperoleh chitin dari cangkang udang melibatkan proses deproteinasi (penghilangan protein) dan demineralisasi (penghilangan mineral). Sedangkan untuk mendapatkan chitosan dilanjutkan dengan proses deasetilasi (penghilangan gugus asetil) (Wardaniati, 2009). Deproteinasi chitin merupakan reaksi hidrolisis dalam suasana asam dan basa. Umumnya hidrolisis dilakukan dalam suasana basa dengan menggunakan larutan NaOH. Demineralisasi secara umum dilakukan dengan larutan HCl atau asam lain seperti H2SO4 pada kondisi tertentu. Keefektifan HCl dalam melarutkan kalsium 10% lebih tinggi daripada H2SO4. Hal yang terpenting dalam tahap penghilangan mineral adalah jumlah asam yang digunakan. Secara stoikiometri, perbandingan antara padatan dan palarut dapat dibuat sama atau dibuat berlebih pelarutnya agar reaksinya berjalan sempurna. Urutan deproteinasi dan demineralisasi juga berperan penting. Deproteinasi sebaiknya dilakukan lebih dahulu jika protein yang terlarut akan dimanfaatkan lebih lanjut. Deproteinasi pada tahap awal dapat memaksimumkan hasil dan mutu protein serta mencegah kontaminasi protein pada proses demineralisasi. Kandungan gugus asetil pada chitin secara teoritis ialah sebesar 21,2%. Deasetilasi secara kimiawi dapat dilakukan dengan menggunakan basa kuat NaOH atau KOH (Sugita, 2009).

Universitas Sumatera Utara

Cara pembuatan chitin dan chitosan dari cangkang udang sebagai bahan pengawet alami pada makanan dapat dilihat melalui tahapan deproteinasi, demineralisasi dan deasetilasi pada skema di bawah ini (Pratiwi, dkk., 2008). a. Deproteinasi Cangkang udang

Cuci air dingin

Cuci air panas

Dikeringkan

Diblender sampai halus

Deproteinasi Direndam dalam larutan NaOH 1M perbandingan 1:5 (gr serbuk/ml NaOH) diaduk 1 jam

Dipanaskan 900C selama 1 jam

Didinginkan

Dicuci dengan air sampai pH netral

dikeringkan

Universitas Sumatera Utara

b. Demineralisasi Cangkang udang berupa serbuk hasil deproteinasi

Demineralisasi Direndam dalam larutan HCl 1M perbandingan 1:10 (gr serbuk/ml HCl) diaduk 1 jam

Dipanaskan 900C selama 1 jam

Didinginkan dan disaring

Dicuci dengan air sampai pH netral

dikeringkan

Chitin

Universitas Sumatera Utara

c. Deasetilasi chitin

Deasetilasi Direndam dalam larutan NaOH 1M perbandingan 1:20 (gr serbuk/ml NaOH) diaduk 1 jam

Dipanaskan 1400C selama 90 menit

Didinginkan dan disaring

Dicuci dengan air sampai pH netral

dikeringkan

Chitosan 2.5.4. Kegunaan Chitin dan Chitosan Saat ini aplikasi chitin dan chitosan sangat banyak dan meluas. Chitin dan chitosan dapat dimanfaatkan di berbagai bidang biokimia, obat-obatan atau farmakologi, pangan dan gizi, pertanian, mikrobiologi, penanganan air limbah, industri-industri kertas, tekstil membran atau film, kosmetik dan lain sebagainya (Wardaniati, 2009). Di bidang industri, chitin dan chitosan berperan antara lain sebagai koagulan polielektrolit pengolahan limbah cair, pengikat dan penjerap ion logam,

Universitas Sumatera Utara

mikroorganisme,

mikroalga,

pewarna,

residu

pestisida,

lemak

tanin,

PCB

(poliklorinasi bifenil), mineral dan asam organik, media kromatografi afinitas, gel dan pertukaran ion, penyalut berbagai serat alami dan sintetik, pembentukan film dan membran mudah terurai, meningkatkan kualitas kertas, pulp, dan produk tekstil (Sugita, 2009). Sementara di bidang pertanian dan pangan, chitin dan chitosan digunakan antara lain untuk pencampur ransum pakan ternak, antimikroba, antijamur, serat bahan pangan, penstabil, pembentuk gel, pembentuk tekstur, pengental dan pengemulsi produk olahan pangan, pembawa zat aditif makanan, flavor, zat gizi, pestisida, herbisida, virusida tanaman, dan deasidifikasi buah-buahan, sayuran dan penjernih sari buah (Sugita, 2009). Di dalam pangan chitosan dapat dijadikan sebagai bahan antimikroba untuk memperpanjang waktu penyimpanan makanan karena chitosan mengandung enzim lysosim dan gugus aminopolysacharida yang dapat menghambat pertumbuhan mikroba (Wardaniati, 2009). Fungsinya sebagai antimikroba dan antijamur juga diterapkan dibidang kedokteran. Chitin dan chitosan dapat mencegah pertumbuhan Candida albicans dan Staphvcoccus aureus. Selain itu, biopolimer tersebut juga berguna sebagai antikoagulan, antitumor, antivirus, pembuluh darah-kulit dan ginjal sintetik, bahan pembuat lensa kontak, aditif kosmetik, membran dialisis, bahan shampoo dan kondisioner rambut, zat hemostatik, penstabil liposom, bahan ortopedik, pembalut luka dan benang bedah yang mudah diserap, serta mempertinggi daya kekebalan, antiinfeksi (Sugita, 2009).

Universitas Sumatera Utara

2.6. Pengawetan Pada Tahu 2.6.1. Asal Usul Tahu Tahu merupakan bahan makanan sumber protein nabati yang sangat populer setelah tempe (Widyaningsih, 2006). Tahu mengandung 7-8 gram zat protein dan 124 mg zat kalsium per 100 gram tahu. Tahu berasal dari negara Cina, yang disebut taufu. Tahu dibuat dari kacang kedelai kuning atau dari kacang hijau (Tarwotjo, 1998). Kacang kedelai dikenal sebagai makanan terbaik kadar proteinnya, dapat mencapai 35% daripada beratnya (Liwijaya, 2001). Tahu merupakan bahan makanan yang sudah sejak lama dikenal masyarakat. Namun, dengan meningkatnya kasus formalin pada makanan, ternyata formalin juga ditemukan pada tahu yang beredar di pasaran (Widyaningsih, 2006). Menurut Widyaningsih (2006), tahu adalah bahan pangan yang tinggi protein dengan kadar air yang tinggi (85%) karena itu tahu tidak tahan lama. Satu hari setelah diproduksi tahu akan mulai rusak yang ditandai dengan berbau asam dan berlendir. Dengan merendam tahu pada air yang diberi formalin tahu akan awet sampai 7 hari. Jadi penggunaan formalin dapat dilakukan pada proses penggumpalan dan perendaman setelah jadi tahu. Mungkin pada proses penggumpalan di pabrik tahu tidak menggunakan formalin seperti yang dibantah oleh produsen tahu. Namun, pedagang juga tidak mau berisiko dagangannya rusak sebelum laku terjual. Oleh karena itu tahu direndam pada air yang dicampuri formalin agar tahu tetap awet tidak rusak. Perendaman tahu dengan formalin jelas tidak dapat diterima, walaupun untuk alasan mencegah kerusakan tahu.

Universitas Sumatera Utara

2.6.2. Macam-Macam Tahu Menurut Tarwotjo (1998), macam-macam tahu sebagi berikut. 1. Tahu putih, tebal dan halus sehingga disebut tahu sutera (silk) dan cocok untuk dimasak sup tahu. 2. Tahu putih, tebal dan agak keras, tidak selembut jenis tahu silk sehingga cocok untuk masakan, seperti tahu isi dan perkedel tahu. 3. Tahu yang sangat padat, tipis, dan diberi warna kuning disebut tahu cina. Banyak digunakan dalam masakan Cina. 4. Tahu pong, bila digoreng sampai kering, bagian dalamnya kosong, rasanya gurih dan ringan. 5. Tahu jepang, halus sekali dan lunak (silk), dibuat dari kacang hijau. 2.6.3. Proses Pembuatan Tahu Dasar pembuatan tahu adalah melarutkan protein yang terkandung dalam kedelai menggunakan air sebagai pelarutnya. Setelah protein tersebut larut, diusahakan untuk diendapkan kembali dengan penambahan bahan pengendap sampai terbentuk gumpalan-gumpalan protein yang akan menjadi tahu (Anonimous, 2000). Kadang-kadang ada tahu yang terasa agak asam atau pahit. Hal ini disebabkan pemberian batu tahu atau cuka yang kurang baik perbandingannya (Tarwotjo, 1998).

Universitas Sumatera Utara

Secara garis besar, pembuatan tahu adalah sebagai berikut. 1) Pilih kedelai yang bersih, kemudian dicuci. 2) Rendam dalam air bersih selama 8 jam (paling sedikit 3 liter air untuk 1 kg kedelai). Kedelai akan mengembang jika direndam. 3) Cuci berkali-kali kedelai yang telah direndam. Apabila kurang bersih maka tahu yang dihasilkan akan cepat menjadi asam. 4) Tumbuk kedelai dan tambahkan air hangat sedikit demi sedikit hingga berbentuk bubur. 5) Masak bubur tersebut, jangan sampai mengental pada suhu 700-800C (ditandai dengan adanya gelembung-gelembung kecil). 6) Saring bubur kedelai dan endapkan airnya dengan menggunakan batu tahu (Kalsium Sulfat = CaSO4) sebanyak 1 gram atau 3 ml asam cuka untuk 1 liter sari kedelai, sedikit demi sedikit sambil diaduk perlahan-lahan. 7) Cetak dan pres endapan tersebut.

Universitas Sumatera Utara

Diagram Alir Pembuatan Tahu Kedelai

Dicuci

Air untuk rendaman (3:1)

Direndam (8 jam)

Dicuci

Ditiriskan

Air hangat

Ditumbuk

Dimasak sampai mengental

Disaring

Ampas tahu

Diendapkan dengan batu tahu atau asam cuka

Dicetak

Tahu

Sumber: Kantor Deputi Menegristek Bidang Pendayagunaan dan Pemasyarakatan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi dalam Anonimous, 2000.

Universitas Sumatera Utara

2.6.4. Ciri-Ciri Tahu yang Baik Tahu yang baik adalah tahu yang berkualitas baik, bergizi dan tahan terhadap penyimpanan. Tahu yang baik tidak cepat mengalami kerusakan yang dapat menurunkan nilai gizi yang rendah bahkan sampai tahu tidak memenuhi syarat sebagai makanan. Misalnya tahu cepat menjadi basi, tahu cepat menjadi bau yang tidak disenangi, tahu cepat ditumbuhi jamur yang menghasilkan toksin/racun yang dapat mengganggu kesehatan tubuh bagi yang memakan tahu tersebut. Faktor-faktor yang menentukan mutu tahu adalah, kualitas kedelai yang digunakan, proses pembuatan tahu, dan pemakaian bahan-bahan pembantu lainnya (Anonimous, 1981). Ciri-ciri tahu yang baik adalah: 1. Berbau khas tahu dan tidak berbau asam. 2. Teksturnya padat dan tidak lunak sehingga bila diolah tidak mudah hancur. 3. Pori-porinya halus yang menandakan bahwa kualitas tahu bagus. 4. Tidak berlendir (Anonimous, 2010). 2.6.5. Ciri-Ciri Tahu yang Rusak Umumnya tahu bersifat mudah rusak (busuk). Disimpan pada kondisi biasa (suhu ruang) daya tahannya rata-rata 1 2 hari saja. Setelah lebih dari batas tersebut rasanya menjadi asam lalu berangsur-angsur busuk, sehingga tidak layak dikonsumsi lagi. Akibatnya banyak usaha yang dilakukan produsen tahu untuk mengawetkannya, termasuk menggunakan bahan pengawet yang dilarang, misalnya formalin. Ciri-ciri tahu yang mengandung formalin: 1. Tahu tidak rusak sampai 3 hari pada suhu kamar (25 derajat Celsius) dan bertahan lebih dari 15 hari pada suhu lemari es (10 derajat Celsius).

Universitas Sumatera Utara

2. Tahu terlampau keras, namun tidak padat, permukaan menjadi lebih kering. 3. Bau khas agak menyengat, bau formalin. Dengan meningkatnya penggunaan formalin sebagai pengawet tahu, maka dirasakan perlu untuk mencari alternatif lain yang aman untuk mengawetkan tahu (Kusuma, 2010). 2.6.6. Pengawetan Tahu dengan Bahan Alami Pengawetan merupakan cara untuk menghambat pertumbuhan atau

membunuh mikroorganisme. Makanan yang dimasak akan membunuh organisme tetapi tidak dijamin menjadi awet (Mukono, 2000). Makanan yang mengandung formalin umumnya awet dan dapat bertahan lebih lama, tetapi dapat membahayakan dan merugikan kesehatan masyarakat. Sejak meningkatnya penggunaan formalin pada bahan makanan sebagai pengawet maka banyak pihak yang mencari alternatif pengganti formalin. Pengawetan tahu tanpa formalin dapat dilakukan dengan cara: 1. Tahu direndam dalam air yang diberi garam dapur 3% atau cuka 0,1% atau campuran keduanya. Tahu akan awet sampai 3-4 hari. 2. Tahu dikukus atau direbus dan direndam dengan air perebusannya juga dapat memperpanjang daya awetnya. Tabel 2.1 Hasil Pengawetan Tahu Tanpa Formalin Perlakuan Tahu pada suhu kamar tanpa perendaman Perendaman dengan air tidak diganti Perendaman dengan air dan air perendam diganti-ganti 1 hari Mulai berbau Perendaman 2 hari Rusak Berbau Normal

3 hari Rusak Rusak Rusak

Normal, air keruh Normal

Universitas Sumatera Utara

Perendaman air dan garam 3% Perendaman air garam 3% dan cuka 0,1% Pengukusan 20 menit dan direndam air panas Perebusan 20 menit dan direndam air rebusan Sumber: Widyaningsih, 2006

Normal, air keruh Normal Normal Normal

Normal Normal Normal Normal

Mulai berbau Normal Mulai berbau Mulai berbau

Salah satu pengawetan tahu tanpa formalin, tetapi dengan bahan alami juga dapat dilakukan dengan cara perendaman tahu pada larutan chitosan. Aplikasi chitosan juga sudah dilakukan peneliti dari Departemen Teknologi Hasil Perairan (THP) Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor (FPIK-IPB) yang telah berhasil memanfaatkan limbah dari udang dan rajungan sebagai bahan pengawet makanan. Keunggulan penggunaan chitosan sebagai bahan pengawet ikan berdasarkan indikator parameter daya awet hasil pengujian antara lain : (1) Pada keefektifan dalam mengurangi jumlah lalat yang hinggap, di mana pada konsentrasi chitosan 1,5 persen, dapat mengurangi jumlah lalat secara signifikan, (2) Pada keunggulan dalam uji mutu hedonik penampakan dan rasa, di mana hasil riset menunjukkan penampakan ikan asin dengan coating atau pelapisan chitosan lebih baik bila dibandingkan dengan ikan asin tanpa formalin dan ikan asin dengan formalin. Coating chitosan pada ikan cucut asin memberikan rasa yang lebih baik dibanding dengan tanpa formalin dan pelakuan formalin pada penyimpanan minggu ke delapan, (3) Pada keefektifan dalam menghambat pertumbuhan bakteri, di mana nilai TPC (bakteri) sampai pada minggu kedelapan perlakuan, pelapisan chitosan masih sesuai dengan SNI (Standar Nasional Indonesia) ikan asin (Anonimous, 2006).

Universitas Sumatera Utara

Swastawati, dkk. (2008) telah mengawetkan ikan pindang layang dengan larutan chitosan 0,25% sehingga masih dapat dikonsumsi sampai hari kedua. Demikian juga Wardaniati dan Setyaningsih (2009) menggunakan larutan chitosan untuk mengawetkan bakso dengan konsentrasi 1,5% sehingga dapat disimpan sampai hari ketiga. Chitosan dapat digunakan sebagai pengawet karena sifat-sifat yang dimilikinya yaitu dapat menghambat pertumbuhan mikroorganisme perusak dan sekaligus melapisi produk yang diawetkan sehingga terjadi interaksi yang minimal antara produk dan lingkungannya. Mekanisme kerja chitosan lewat dua cara. Pertama, chitosan bisa membunuh bakteri, dengan cara mengikat organisme patogen dengan polikation bermuatan positif. Organisme pun tidak bisa tumbuh atau bergerak. Kedua, chitosan akan melapisi kulit luar produk yang diawetkan, sehingga rasa dari dalam tidak bisa keluar dan kontaminan dari luar tidak bisa masuk (Swastawati, dkk., 2008). 2.7. Chitosan Tidak Berbahaya Untuk Dikonsumsi Chitosan adalah serbuk yang dihasilkan dari deasetilasi chitin, senyawa yang banyak diperoleh di kerangka luar (eksoskeleton) hewan Crustacea seperti udang, kerang, dan kepiting (Rhamnosa, 2006). Serbuk yang telah dilepaskan asetilnya merupakan zat murni, tinggi sifat basanya, serta mengandung banyak molekul glukosa. Dalam chitosan terdapat unsur butylosar yang bermanfaat bagi tubuh manusia. Butylosar yang telah didapatkan itu hanya larut dalam asam encer dan cairan tubuh manusia. Dengan demikian, butylosar dapat diserap oleh tubuh. Zat itu merupakan satu-satunya selulosa yang dapat dimakan. Zat ini mempunyai muatan

Universitas Sumatera Utara

positif yang kuat, dan dapat mengikat muatan negatif dari senyawa lain. Selain itu, zat ini mudah mengalami degradasi secara biologis dan tidak beracun (Nasir, 2008). Selain telah memenuhi standard secara mikrobiologi ditinjau dari segi kimiawi juga aman karena dalam prosesnya chitosan cukup dilarutkan dengan asam asetat encer (1%) hingga membentuk larutan chitosan homogen yang relatif lebih aman (Wardaniati, 2009). Masalah utama yang dihadapi dalam memproduksi chitin dan chitosan di Indonesia adalah kualitas produk masih rendah, kontinuitas suplainya belum pasti dan belum bisa diakses oleh semua kalangan. Selain itu banyak masyarakat yang belum mengetahui fungsi dari chitin-chitosan (Swastawati, dkk., 2008). Jurnal Jonathan Rhodes dan Bob Rastall menyebutkan tentang paten produk di Rusia yang menggunakan chitosan sebagai pengawet untuk kaviar, yang dinyatakan efektif dengan kombinasi masing-masing 0,1% chitosan dan asam sorbat (Rhamnosa, 2006). Di Indonesia produksi chitosan dalam skala relatif besar mulai diujicobakan CV Dinar yang berlokasi di sebuah kawasan nelayan di Jl.Raya Dadap, Tangerang Banten (Anonimous, 2006). 2.8. Kerangka Konsep Chitosan dari cangkang udang

Larutan chitosan 0 %, 0,5%, 1%, 1,5%, 2%

Tahu putih

Waktu simpan, dilihat ciri fisik: tekstur, bau, warna

Universitas Sumatera Utara

You might also like