Professional Documents
Culture Documents
RED A NT
m i n g g u a n
Mpok Erih Tanjung Panjat Tebing Kapan lagi regenerasi pemanjat dilahirkan oleh organisasi. Panjat Tebing survive. Gaya Himalayan Ada dua gaya pemanjatan yang perlu diketahui: Himalayan Taktic dan Alpine Push.
[sumber: mapalaui.org]
Perlu Tahu Sejarah Bahaya sekali jika kita taktahu sejarah identitas organisasi yang kita geluti. Betapa sayang jika kita buta sejarah.
Sudah lama tidak terdengar, kemarin Mpok Erih kembali membuka tegur sapa.
Erih Dahana
Tanjung bergabung dengan Red Ant saat situasi mengalami transisi. Angkatan Cantigi yang masih aktif dipahami sebagai angkatan yang brutal dalam berkegiatan. terutama di mata guru dan pihak sekolah. Buah dari semua itu adalah PEMBEKUAN. Tanjung lahir kemudian.
RED A NT
menduga-duga. Bagi beberapa anggota yang belum mengenalnya perlu disampaikan pula bahwa Mpok Erih merupakan anggota Red Ant dari angkatan Tanjung. Ya benar, dia seangkatan dengan Bang Guntur dan Mpok Anisa Handayani. Sudah cukup lama saya tidak mendengar kabar dan kiprah Mpok Erih. Bahkan kalau ingatan saya masih bisa dipercaya, sepertinya dia terakhir terlibat dalam kegiatan organisasi pada tahun 2008 (?) saat Red Ant menggelar kegiatan Family Camp yang diikuti oleh banyak peserta; baik mereka yang masih bersekolah maupun para alumni yang di dalam organisasi ini didudukkan sebagai bagian dari Dewan Penasihat. Seandainya ingatanku masih bisa dipercaya, waktu itu
Panjat Tebing Alam olah raga panjat tebing secara umum terbagi dalam dua katagori: Tebing Alam dan Dinding buatan. Keduanya memiliki kekhasan yang sasling melengkapi. Keduanya layak untuk dipelajari dan secara khusus melahirkan kepuasan yang unik bagi penggiatnya.
Mpok Erih menjadi peserta dalam kegiatan tersebut; aktivitas segar dan menyenangkan yang banyak melibatkan anggota dari berbagai angkatan; dari senior sampai junior; bahkan Pembina pun ikut serta memeriahkan acara. Waktu itu kami memilih Camping Ground Gn Putri atau yang dinamai pula Buper Bobojong sebagai lokasi kegiatan. Praktis sejak kegiatan terakhir itulah Mpok Erih kembali tidak terdengar lagi rimbanya. Memang beberapa kali saya pun mendengar kabar menyangkut keberadaan dan aktivitasnya sebagai penggiat kerajinan tangan yang biasa
RED A NT
kita sebut rajutan. Lebih dari itu tidak, sehingga tentu bisa dibayangkan betapa pertanyaan gamblang dari Mpok Erih yang mempertanyakan jadwal latihan panjat dinding di GOR depan sekolah menjadi bermakna dan layak untuk mendapat perhatian. Masih mengenai Mpok Erih. Setelah lulus dari sekolah ia melanjutkan studi ke Universitas Indonesia. Di sana ia menekuni disiplin ilmu Sastra Inggris yang sekarang dimasukkan ke dalam Fakultas Ilmu Budaya meski dulunya disebut Sastra. Tidak hanya itu, selain berkuliah, Mpok Erih juga mendaftar untuk dapat menjadi anggota organisasi pecinta alam di UI atau yang lazim disebut Mapala UI. Organisasi tersebut merupakan salah sebuah pelopor yang perlu untuk diketahui jika kita membicarakan embrio lahirnya organisasi pecinta alam di Indonesia. Bahkan sebagian orang menyebut kelahiran Mapala UI di tahun 1964 sebagai cikal bakal organisasi sejenis di dunia kampus-kampus seluruh Indonesia. pendek karena memang untuk sport climbing. Salah satu perjalanan yang diikutinya (bahkan digagas pula olehnya) yaitu pemanjatan Tebing Sepikul dan Watu Limo di Jawa Timur, kalau tidak salah di kawasan Trenggalek. Jika Rupanya hobi memanjat kita tanyakan kepada para yang sudah mulai tumbuh pemanjat tebing dan para dan berkecambah semasa petualang, tentu mereka sekolah kembali tidak asing dengan nama mendapatkan momentum Tebing Sepikul dan Watu pengembangannya di dunia Limo. Jika ada yang masih kampus yang menjadi dunia merasa asing dengan nama pasca-SMA. Tidak tersebut boleh kita curigai ia sembarangan tentunya bukan petualang yang kemampuan memanjat banyak pengalaman yang dikuasai oleh Mpok tentunya. Tebing dengan Erih. Sebuah dongeng tinggi yang menjulang pernah kudengar. Selama di (lebih-kurang 450 m) ke Mapala UI, Mpok Erih langit itu menjadi symbol sempat melakukan tersendiri di dunia pemanjatan-pemanjatan ke petualangan. tebing-tebing tinggi dan besar. Tebing yang semacam Membaca sedikit itu juga lazim disebut pengalaman dan identitas sebagai tebing big-wall Mpok Erih dan yang lebih dari wall menghubungkannya dengan climbing buatan dari tripleks pertanyaan pertama setelah dan ber yang relative sekian aktif dalam aktivitas
RED A NT
hibernasinya, maka kita-kita bias memberi makna dan simpulan: waah apa jadinya saat para pemanjat Red Ant bisa kembali berlatih bersama apalagi dari berbagai angkatan yang berbeda-beda; hehehe, berbeda-beda tapi Red Ant juga. Wah tentu menjadi sesuatu yang seru dan bisa membuat aktivitas ekskul menjadi lebih berwarna. Mungkin saja. Maka wajar juga ketika pertanyaan Mpok Erih soal jadwal latihan panjat di GOR mendapat respon dari anggota aktif dan junior-juniornya yang sekarang sudah masuk kampus bahkan ada juga yang sudah selesai juga menuntut ilmu di kampus. Poin penting yang ingin saya sampaikan adalah harapan betapa kemajuan organisasi sangat bergantung pada aktivitas anggotanya; dan untuk kasus Red Ant, anggota yang dimaksud tidak hanya anggota yang masih berstatus siswa, mereka yang sudah lulus pun sebaiknya dipertimbangkan kontribusinya, dukungan semangat dan apalagi untuk gerakan-gerakan nyata. Untuk angkatan Tanjung, keberadaan Bang Guntur, Popo budiarjo, Irfan Estiono Saputro (irfan), Wijaya Kusuma (wijay), Ahmad Sanusi(uci), Patar Richard (patar), Indra Agustin (indra), Robin (robin), David Parakasi Relang (david), Krisna Kanigara (krisna), Titus Santoso (titus), Kedutella (kedut), Ridho Aldho (aldho), Aris Sunarto (ucup), Anisa Handayanie (anisa), Winda Ayu Juwita Karni (bebek), Claudi Giofany (odhie), Novan(Novan), Andika Kurniawan (gembor), Dicky (dicky), Ade Budi (ade),
Sumardi (ari), Simson (simson) sampai kapan pun masih akan terus bermanfaat dan penting untuk tujuan memajukan organisasi kita tercinta: Red Ant. Semoga seluruh anggota bisa mendedikasikan semua pengalamannya untuk bahan belajar generasi yang akan datang. Semoga. Salam Rimba!!!
Tebing Karst
Salah satu jenis batuan yang sering kita temui dalam pemanjatan tebing adalah tebing berbatuan karst. Karakteristik khas batuan karst adalah banyaknya cacat batuan. Selain itu ada pula jenis batu Andesit.
Di sana, kadar petualangan terasa lebih pekat dan dekat dengan pelaku. Pemanjatan big wall menyodorkan masalah lebih kompleks. Karenanya, segala kemungkinan mesti dikalkulasi dengan cermat dan hati-hati. Mulai dari latihan pada masa persiapan, perencanaan jalur, menyiapkan peralatan, logistik, menghitung waktu, serta menerapkan strategi paling sesuai dengan kemampuan tim yang ada dan ditunjang dengan riset mengenai obyek pemanjatan, misalnya,
RED A NT
jenis dan karakter batuan dan cuaca setempat. Bermain di big wall bisa berarti merintis jalur, mengamankan perintis jalur (belaying) atau tergantung-gantung pada seutas tali, sementara tanah di bawah berjarak sampai ratusan meter siap menanti pemanjat yang lalai. Dari bawah, sering para pemanjat hanya tampak bagai noktah kecil dibanding ukuran tebing tempat mereka beraktivitas. Pekerjaan itu ternyata sangat membutuhkan kesiapan mental dan keberanian tersendiri. Tapi, tidak asal berani. Pasalnya, di big wall, perbedaan antara
Buku Harian Pemanjat menjadi bacaan yang menarik untuk disimak sebetulnya banyak yang unik di dalamnya.
RED A NT
berani, nekat, dan bodoh cuma setipis kulit ari. Hanya si aktor sendiri yang betul-betul tahu apa yang sedang diperbuatnya. Salah sedikit, tubuh akan terempas dan membentur kerasnya batuan. Prosedur keamanan tak boleh diabaikan. Itulah sekelumit dari banyak pelajaran yang ditelan calon anggota baru Mapala UI dengan bidang minat panjat tebing selama tujuh hari melakukan pemanjatan di Watu Lingga, Trenggalek, Jawa Timur, 1-8 Agustus 1996. Sebelumnya, sudah banyak teori masuk kepala. Tapi, yang terpenting tentulah merasakan sendiri kondisi sesungguhnya. *** Dalam dunia pendakian gunung dan panjat tebing dikenal dua macam gaya: Himalayan dan Alpine. Dua gaya pendakian itu merupakan cara pendaki mencapai puncak tujuannya. Himalaya merupakan kawasan pegunungan yang memiliki puncakpuncak tinggi dengan kondisi ekstrim. Empat belas puncak tertinggi di atas 8.000 meter ada di sana. Para pendaki gunung di kawasan Himalaya menyiasati kesulitan itu dengan cara bertahap membangun kemah perantara dan menimbun logistik berupa perlengkapan, alat-alat pendakian, dan bahan makanan untuk membangun kemah perantara berikutnya sampai kemah akhir menjelang puncak. Mau tidak mau, pendaki dengan gaya Himalayan mesti turun-naik dari kemah induk menuju kemah-kemah perantara. Gaya pendakian berulangulang itu sering disebut Siege Tactic. Karena itu, butuh waktu pendakian yang lama, selain alat, biaya, dan personil lebih banyak. Kebalikannya adalah gaya Alpine yang berasal dari kawasan Pegunungan Alpen, Eropa, dengan puncakpuncak berketinggian hanya 4.000-an meter. Hal itu memungkinkan para pendaki mencapai puncak dengan sekali jalan tanpa perlu membuat kemah-kemah perantara atau bolakbalik ke kemah induk. Syaratnya, harus memiliki kemampuan yang baik. Alat dan perbekalan disusun seefisien mungkin agar ringan dan dapat langsung diangkut pendaki sampai puncak. Dengan gaya Alpine,
RED A NT
dibutuhkan alat pendakian, biaya, dan waktu lebih sedikit. Tim Mapala UI mencoba mengadopsi gaya Himalayan, kemudian menerapkannya dalam pemanjatan Tebing Watu Lingga. Salah satu pertimbangannya karena anggota tim cukup banyak dan masih dalam proses belajar. Aasan lain adalah berlatih penguasaan teknis pemasangan tali tetap yang menghubungkan tim pemanjat dengan tim pendukung di kemah induk. Secara bertahap, tim berusaha membentangkannya dari kaki tebing sampai puncak, dengan membuat beberapa pitch (perhentian sementara). Lewat tali tetap, yang menghubungkan kemah induk dengan jalur pemanjatan sampai puncak, sirkulasi tugas antara tim pemanjat dengan tim pendukung di bawah dapat dilakukan setiap hari. Dan, jika sewaktu-waktu terjadi keadaan darurat, dapat segera dilakukan pertolongan keselamatan. Hal itu akan jadi sukar dan lebih berisiko bila dilakukan dengan gaya Alpine karena hubungan dengan kemah induk terputus. memakai gaya Alpine secara solo ke Puncak Everest yang oleh tim lain harus dilakukan dengan gaya Himalayan dan menggunakan bantuan para sherpa sebagai pengangkut barang. Terlepas dari apakah gaya Himalayan atau Alpine yang digunakan, satu hal yang lebih penting untuk mencapai tujuan adalah apa yang disebut team work (kerja *** sama tim). Itu menyangkut, kerja sama Pemilihan gaya dan koordinasi pemanjatan perlu antarpemanjat (Alpine) disesuaikan dengan serta antara tim pemanjat kemampuan tim yang dan tim pendukung di ada, apakah akan kemah induk menggunakan gaya (Himalayan). Himalayan atau Alpine. Bagi para pendaki Pendaki besar seperti gunung atau pemanjat Reinhold Messner dengan kemampuan yang tebing profesional, kerja sama tim bukan lagi luar biasa telah masalah. Sebuah membuktikan hal itu. ekspedisi tim AS di Messner pernah Himalaya yang dipimpin
RED A NT
pendaki kenamaan Chris Bonington adalah sebuah contoh. Setiap pergantian tugas atau pekerjaan tiap pos di tim besar mereka dilakukan tanpa friksi sedikit pun. Bahkan, tanpa banyak bicara karena semua menyerti tugasnya masing-masing. Tapi, masalah lain bisa saja muncul begitu puncak sudah terasa dekat. Semua pendaki gunung itu egois, kata seorang
Mari Menulis
rekan suatu kali. Alasannya, mereka ingin dirinyalah yang sampai puncak. Padahal, kerap terjadi, tidak mungkin seluruh anggota tim berbondong-bondong tiba di sana. Mungkin lebih baik merefleksi kembali tujuan pemanjatan itu sendiri. Di sinilah makna kerja sama tim. Keberhasilan beberapa personil adalah keberhasilan seluruh anggota tim karena
semua menunjang tercapainya tujuan lewat pos tugasnya masingmasing. Jika sudah begitu, tak ada anggota yang perlu menaikkan ujung dagu karena merasa andilnya paling besar. *** Reynold
Sumayku/Agung Sutiastoro, Mapala UI
Panjat tebing menjadi olahraga keren yang tidak bisa dinikmati oleh sembarang orang. maka berbahagialah kita yang bisa mempelajarinya dengan serius dan enjoy. Jadi ayo manjat tebing lagi.
Ayo kita menulis agar semua yang bermakna bisa bermanfaat untuk yang lainnya. Jadi tunggu apa lagi, mari menulis dengan gembira,
berbagi pengetahuan untuk sesama untuk nama baik organisasi dan sekolah: untuk nusa dan bangsa. Untuk kemajuan organisasi kita tercita.
Aktif Penuh Semangat Jangan tiru mereka yang hanya bisa bicara-dan bicara dan bicara: mulut besar tanpa kebaikan apalagi bisa memajukan organisasi. Jangan!!!