You are on page 1of 3

 

Selasa, 30 Oktober 2007 WACANA

Obat Murah Bikin Gerah
n Oleh Sutopo Patria Jati 

PROGRAM Obat Rakyat Murah dan Berkualitas, atau sering disebut Obat Indo 
Serbu (Serba Seribu), diluncurkan Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari pada 
tanggal 8 Mei 2007. Hingga Juni lalu, penjualan di Jateng mencapai 670 ribu strip, 
atau senilai Rp 670 juta. Namun pendistribusiannya baru mencapai 80 persen dari 
900­an apotek. Bahkan untuk toko obat dan warung rombong hanya sekitar 40 
persen (Suara Merdeka, 18/6/2007).  
Tetapi belakangan, obat murah seharga Rp 1.000 / strip ini sulit dijumpai di 
pasaran. Kelangkaan obat murah, menurut salah seorang anggota Komisi E DPRD 
Jateng, akibat diborong produsen obat begitu diluncurkan Depkes. Dinkes Provinsi 
Jateng yang mestinya bertanggung jawab mengawasi peredaran obat murah malah 
terkejut mendengar kabar itu, dan berjanji menyelidikinya (SM, 26/10/2007).  
Kabar menghilangnya obat murah di pasaran memang membuat masyarakat 
kurang mampu menjadi gerah, meski kejadian ini sudah pernah dialami 
sebelumnya. Di Jakarta, misalnya, hal ini sudah terjadi sejak Juni lalu dan diakui 
Menkes. 
Bahkan, menurut dia, beberapa produsen obat yang takut bersaing telah 
memborong obat murah saat dalam proses distribusi. Meski mengaku telah 
memarahi beberapa perusahaan yang diduga berbuat nakal, sampai kini fenomena 
kelangkaan obat murah masih berlanjut dan menjalar ke daerah lain.
Ironisnya, dugaan kehabisan stok dan ketidaklancaran distribusi obat murah dari 
para pedagang obat dibantah keras oleh Direktur PT Indofarma Tbk, Sjamsul 
Arifin, selaku produsen tunggal obat murah. Dia mengklaim kapasitas obat yang 
dijual bebas, termasuk obat murah, ditambah dua kali lipat dari angka sekarang 
yang tercatat 20 persen.
Praktik Monopoli  
Total anggaran pemerintah untuk memproduksi obat murah tahun ini sebesar Rp 
1,8 triliun ­hampir enam kali lipat dari anggaran tahun sebelumnya. Obat yang 
ditujukan bagi 75 juta jiwa penduduk lapis bawah itu diproduksi dan didistribusikan
PT Indofarma. 
Saat ini ada 10 item obat yang diluncurkan, yaitu Indo Obat Batuk dan Flu, Obat 
Flu, Batuk Berdahak, Asma, Penurun Panas Anak, Penurun Panas, Tambah Darah, 
Maag, Sakit Kepala, dan Indo Obat Batuk Cair. Dalam waktu dekat akan menyusul 
dua lagi yang sudah terdaftar di BPOM. Nantinya ada sekitar 20 item obat murah. 
Obat­obat itu tak hanya dijual di apotek yang ada di rumah sakit dan apotek 
umum, tapi juga di pasar­pasar nonpanel seperti warung dan toko obat, atau via 
dokter yang melakukan praktik dispensing (pemberian obat langsung kepada pasien
saat berkonsultasi). 
Harganya diseragamkan Rp 1.000 per paket, sudah termasuk Pajak Pertambahan 
Nilai (PPN), yang merupakan harga eceran tertinggi di seluruh wilayah Indonesia. 
Indofarma memberi marjin sebesar 20 persen di tingkat pengecer, serta 10 persen 
di tingkat distributor dan subdistributor.
Kenyataannya, dari berbagai laporan, terdapat indikasi sebaliknya. Perusahaan itu 
malah menempuh kebijakan tidak melayani permintaan dalam partai kecil. 
Berdasarkan penelusuran, Indofarma hanya mendistribusikan untuk pasar 
Jabodetabek melalui 2.300 apotek / toko obat. Padahal di Jabodetabek ada 
sedikitnya 137.000 toko obat / apotek. Sebagai distributor, Indofarma tidak bisa 
menjangkau toko obat kecil dan warung­warung.  
Seharusnya, dengan berperan sebagai produsen sekaligus distributor (melalui anak 
perusahaan, PT Global Medika), proses distribusi relatif lebih mudah terkontrol dan 
efisien. Sehingga peredaran obat murah dapat berjalan lancar sampai ke pengecer. 
Umumnya peredaran obat dari pabrik dikirim ke distributor, kemudian dijual ke 
tingkat grosir dan ritel, hingga ke warung­warung. Praktik monopoli dalam 
produksi serta distribusi obat murah ini memaksa pemerintah mengeluarkan 
terobosan baru, dengan mendorong BUMN farmasi di luar Indofarma untuk aktif 
memproduksi obat murah. 
Menkes menegaskan, Indofarma bukan lagi satu­satunya produsen obat murah. 
Menurut rencana ada dua BUMN lain yang terlibat, yaitu PT Phapros dan PT Kimia 
Farma (Kompas, 13/62007). Ya, praktik monopoli dalam produksi/distribusi obat 
murah justru mengancam keberlangsungan program obat murah yang baru 
diluncurkan itu. 
Gengsi Tinggi 
Program obat murah juga menghadapi hambatan lain, yaitu lemahnya pengetahuan
dan kepercayaan masyarakat/konsumen. Dra Ida Marlinda MSi Apt, peneliti Yayasan
Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Pusat, menilai "obat rakyat" ini sulit 
dipercaya rakyat. "Sebab mirip obat generik yang sudah dikenal," ujarnya.
Kesalahpahaman masyarakat mengenai obat murah/obat generik selama ini sangat 
memprihatinkan. Obat murah dipersepsi sebagai obat yang tidak bermutu dan 
hanya layak dikonsumsi oleh kalangan miskin. Kendati harganya jauh lebih murah 
ketimbang obat paten dan bermerek lainnya, masyarakat Indonesia yang 
pendapatan perkapitanya tak terlalu tinggi punya "gengsi tinggi" untuk 
mengonsumsi obat murah/generik.
Berdasarkan kontribusinya, obat murah/generik hanya menyumbang 9,17 persen 
dari konsumsi obat tahun 2007. Ini menunjukkan penurunan cukup tajam 
dibandingkan tahun lalu (10,3 persen). Tahun lalu, penjualan obat murah/generik 
diperkirakan sekitar Rp 2,66 triliun, atau 11 persen dari total pasar farmasi 
nasional. 
Padahal tingkat konsumsi obat generik di sejumlah negara maju justru tinggi, 
misalnya Taiwan (70 %), AS dan Jerman (40 %), Hong Kong, Thailand, Singapura 
(25 %), Malaysia sebesar 20 %. Akibatnya, tingkat konsumsi obat di negara kita 
secara keseluruhan juga sangat rendah, yaitu 8,80 dolar AS per kapita. Bandingkan 
dengan Filipina (14 dolar), Malaysia (20 dolar), apalagi Singapura (90 dolar). 
Perlawanan 
Harapan masyarakat, terutama warga miskin, untuk memperoleh obat murah dan 
berkualitas melalui program obat seceng sebenarnya tidak bisa dipisahkan dari 
beberapa kebiajakan pro poor lain di bidang farmasi dari pemerintah.  
Sejak tahun 2005, Depkes berusaha meregulasi sektor farmasi. Misalnya dengan 
menerbitkan SK No 720/Menkes/ SK/IX/2006 tentang penurunan harga 480 item 
obat generik berlogo hingga 70 persen, ditambah Permenkes No 069/ Menkes/ 
SK/II/2006 tentang pencantuman harga eceran tertinggi obat generik. 
Namun beberapa upaya ini mendapat "perlawanan" dari berbagai pihak yang sekian
lama merasakan "kue" perdagangan farmasi di Tanah Air. Kondisi ini tidak terlepas 
dari kentalnya praktik oligopoli dan kartel dalam perdagangan dan industri farmasi 
di Indonesia. Sehingga harga obat selama ini dikuasai dan ditentukan oleh 
sejumlah kecil industri, yang mengambil keuntungan terlalu besar.
Ketua Umum Gabungan Perusahaan (GP) Farmasi Indonesia, Anthony Ch Sunarjo, 
sejak awal minta pemerintah tak usah mengintervensi harga obat generik 
bermerek, dan agar menyerahkannya kepada mekanisme pasar melalui asuransi 
kesehatan (Tempo Interaktif, 21/6/ 2005).  
Para pengusaha farmasi juga menginginkan mendapat insentif perpajakan. Faktor 
pajak menjadi salah satu alasan banyak perusahaan farmasi enggan memproduksi 
obat generik. Sebab, perusahaan akan merugi 20 persen kalau memproduksi obat 
ini. Untuk mengimpor bahan baku obat, perusahaan harus membayar bea masuk 
7,5 persen dan PPN 10 persen.
Ketika membuka Munas GP Farmasi Indonesia di Istana Negara, beberapa waktu 
lalu, Presiden SBY berharap ada keseragaman kebijakan harga obat di seluruh 
Tanah Air. Persoalan insentif pajak dapat dibicarakan, agar perusahaan farmasi bisa
terus memproduksi obat murah. 
Tetapi perlu diingatkan, kemungkinan pemberian insentif pajak ini hendaknya 
hanya diberikan kepada perusahaan farmasi yang mau dan mampu memproduksi 
obat murah yang berkualitas. Karena kalau tidak hati­hati, maka yang terjadi adalah
membanjirnya obat murah di pasaran dengan kualitas ecek­ecek. Pemerintah akan 
merugi, karena sumber pendapatan pajak berkurang. Dan yang lebih tragis lagi, 
masyarakat miskin untuk kali kesekian tetap menjadi korban. (68)
­ Sutopo Patria Jati, staf pengajar Fakultas Kesehatan Masyarakat 
Undip.  

Berita Utama | Ekonomi | Internasional | Olahraga 
Semarang | Sala | Pantura | Muria | Kedu & DIY | Banyumas 
Budaya | Wacana 
  Cybernews | Berita Kemarin  

Copyright© 1996­2004 SUARA MERDEKA

You might also like