You are on page 1of 127

BAHAN AJAR HUKUM KEUANGAN NEGARA

PROGRAM DIPLOMA III KEUANGAN SPESIALISASI AKUTANSI

TIM PENYUSUN

SEKOLAH TINGGI AKUNTANSI NEGARA TAHUN 2011

KATA PENGANTAR
Materi bahan ajar ini merupakan kutipan dari Buku HKN yang sedang dalam proses penyelesaian; yang diharapkan dapat menjadi acuan bagi bapak/ibu dosen yang mendapat tugas memberikan kuliah Hukum Keuangan Negara (HKN). Pada awalnya mata kuliah HKN ini bernama HAKN atau Hukum Administrasi Keuangan Negara. Seiring dengan berjalannya waktu materi mata kuliah HAKN nampak semakin menitik beratkan kearah permasalahan teknis Administrasi Keuangan, sementara bobot pembelajaran Hukum Keuangannya sendiri semakin jauh berkurang. Keadaan yang demikian tentu segera dicari jalan pemecahannya mengingat pula kebutuhan pemahaman masalah hukum keuangan bagi lulusan STAN semakin menjadi tuntutan para user; sehingga mulai tahun akademik 2010/2011 HAKN dipisahkan menjadi dua mata kuliah yakni HKN dan AKN atau Hukum Keuangan Negara dan Administrasi Keuangan Negara yang materi muatannya sangat jauh berbeda. Melihat latar belakang proses kelahiran mata kuliah HKN seperti tersebut diatas, maka bagi para Dosen sangat diharapkan pemahamannya terhadap ilmu hukum; khususnya HAN/HTUN, HTN maupun bidang hukum Pidana/Perdata. Hal ini agar memudahkan dalam proses pembelajarannya, misalnya seorang lawyer (yang kebetulan merelakan waktunya untuk kegiatan mengajar) tidak perlulah terlalu asyik menerangkan proses beracara di Pengadilan; seperti teknik membuat surat gugatan dan sebagainya tetapi bisa memanfaatkan pengetahuannya tentang teknik pembuatan kontrak yang benar dengan pihak III dalam kegiatan PBJ Pemerintah, maupun tentang kelemahan-kelemahan yang sering dilakukan aparat dalam menghadapi kasus-kasus di Pengadilan. Bahan ajar ini sengaja dibuat sangat singkat dan tidak pula disertai power point dengan maksud para dosen untuk lebih mudah berimprovisasi dalam proses

pembelajarannya, termasuk membuat ppt versi masing-masing; tentu saja setelah mencermati dengan baik setiap session materi bahan ajar ini. Sebagai contoh ketika pemberian materi kuliah Pengelolaan BMN angkatlah suatu kasus dimana dalam suatu DIPA SATKER tidak ditemukan kegiatan pembuatan Lapangan tennis, yang ada adalah pembuatan Lapangan Parkir, tetapi Kepala Satker berkeinginan kuat untuk membuat Lapangan Tenis; sementara untuk revisi DIPA diprediksi tidak memungkinkan. Bagaimana hal ini bisa terlaksana tanpa melanggar hukum dan lulus tehadap LHP dari APIP?. Tentu saja semua jawabannya ada pada materi kuliah Pengelolaan BMN tersebut. Sekali lagi

kejelian dan kecermatan dalam memahami materi bahan ajar serta disertai pengalaman para Dosen akan membuat perkuliahan menjadi menarik dan selalu ditunggu para mahasiswa.

i|P a g e

Materi kuliah HKN adalah suatu materi kuliah yang dinamis dalam arti apa yang menjadi topik di media atau di masyarakat harus bisa dijawab oleh HKN, begitu juga laju perkembangan tata pemerintahan harus bisa diantisipasi oleh HKN; menyikapi hal ini para dosen dituntut untuk selalu mengikuti perkembangan-perkembangan tersebut.

Jakarta,

Agustus 2011

Tim Penyusun HKN

ii | P a g e

DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL............................................................................................................. KATA PENGANTAR.......................................................................................................... DAFTAR ISI....................................................................................................................... PENDAHULUAN................................................................................................................ A B C D E BAB I A B C BAB II A B C D E Deskripsi Singkat.............................................................................................. Prasyarat Kompetensi...................................................................................... Standar Kompetensi......................................................................................... Kompetensi Dasar............................................................................................ Relevansi Dasar............................................................................................... KEUANGAN NEGARA Definisi Keuangan Negara............................................................................... Ruang Lingkup Keuangan Negara................................................................... Pengertian-Pengertian Lain....................................... KEKUASAAN PENGELOLAAN KEUANGAN NEGARA Presiden Sebagai Pemegang Kekuasaan Keuangan Negara......................... Pelaksanaan Keuangan Daerah...................................................................... Pelaksanaan Keuangan Negara...................................................................... Hubungan Kekuasaan Negara dengan Tujuan Bernegara.............................. Aktualisasi Fungsi Hukum Administrasi Negara dalam Mewujudkan Pemerintahan yang Baik.................................................................................. BAB III PENGERTIAN DAN SITILAH-ISTILAH KEUANGAN NEGARA DALAM UNDANG-UNDANG A B C D Pengertian Keuangan Negara.......................................................................... Pengertian Perusahaan Milik Negara/Daerah.................................................. Pengertian APBN............................................................................................. Pengertian Penerimaan, Pengeluaran, Pendapatan, Belanja, dan Pembiayaan. E F BAB IV A Pengertian Tahun Anggaran............................................................................ Pengertian Surplus Penerimaan ..................................................................... KEKUASAAN ATAS PENGELOLAAN KEUANGAN NEGARA Fungsi Presiden sebagai Pemegang Kekuasaan atas Pengelolaan i ii iii vii vii vii vii vii vii

1 1 4 5 7 7 9 11 16 18 21 21 22 22 23 23 24 25 25

iii | P a g e

Keuangan Negara........................................................................................... B C BAB V Pengertian Kekuasaan atas Pengelolaan Keuangan Negara.......................... Pengertian Kekuasaan atas Pengelolaan Keuangan Daerah.......................... KETENTUAN MENGENAI PIDANA, SANKSI ADMINISTRATIF DAN GANTI RUGI (1) A Aspek Pidana pada Pengelolaan Keuangan Negara....................................... Pengenaan Pidana berdasarkan Paket Undang-Undang Keuangan B C BAB VI Negara.............................................................................................................. Pengenaan Pidana berdasarkan KUHP........................................................... KETENTUAN MENGENAI PIDANA, SANKSI ADMINISTRATIF DAN GANTI RUGI (2) A B C Pengertian Sanksi Administratif....................................... Ketentuan Mengenai Sanksi Administratif........................................................ Prosedur Pemeriksaan, Penjatuhan, dan Penyampaian Keputusan Hukuman.......................................................................................................... D E F BAB VII A B C D E F BAB VIII A B C D E F G Pengertian Ganti Rugi dan Tuntutan Ganti Rugi berdasar UU No.1/2004..... Prosedur dan Ketentuan Ganti Rugi................................................................ Prosedur dan Ketentuan Ganti Rugi................................................................ Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum Pengertian Badan Layanan Umum.................................................................. Tujuan dan Asas.............................................................................................. Persyaratan, Penetapan, dan Pencabutan Status BLU................................... Standar dan Tarif Layanan............................................................................... Pengelolaan Keuangan BLU............................................................................ Tata Kelola, Pembinaan, dan Pengawasan..................................................... PENGELOLAAN BMN Pengertian Barang Milik Negara...................................................................... Dasar Hukum Pengelolaan BMN..................................................................... Asas dan Lingkup Pengelolaan BMN............................................................... Pejabat Pengelola BMN................................................................................... Perencanaan Kebutuhan dan Penganggaran.................................................. Pengadaan, Penggunaan, Pemanfaatan, Pengamanan dan Pemeliharaan Peniaian, Penghapusan, Pemindahtanganan, Penatausahaan.......................

26 26 29 29 30 31 36 36 37 38 39 39 40 42 43 44 45 48 49 57 68 68 68 62 62 62 63 73

iv | P a g e

H I BAB IX A B C D BAB X

Pengendalian dan Pengawasan serta Pembinaan.......................................... Ganti Rugi dan Sanksi...................................................................................... ASPEK LEGAL PENGADAAN BARANG DAN JASA (1) Penunjukkan kepada Pengguna Barang/Jasa................................................. Pembentukan Panitia/Pejabat Pengadaan....................................................... Pemaketan Pekerjaan...................................................................................... Penetapan Sistem Pengadaan yang dilaksanakan Penyedia Barang/Jasa. PEMERIKSAAN PENGELOLAAN DAN TANGGUNG JAWAB KEUANGAN NEGARA (1)

87 88 97 97 98 100 101 105 105 105 106 107 108 108 110 110 112 113 115 119

A B C D E F BAB XI

Pengertian Umum............................................................................................ Lingkup Pemeriksaan....................................................................................... Standar pemeriksaan Keuangan Negara......................................................... Pelaksanaan Pemeriksaan............................................................................... Pelaksanaan Tugas Pemeriksaan.................................................................... Investigasi dan Temuan Kasus Pidana............................................................ PEMERIKSAAN PENGELOLAAN DAN TANGGUNG JAWAB KEUANGAN NEGARA (2)

A B C D

Hasil Pemeriksaan dan Tindak Lanjut. Pengenaan Ganti Rugi.. Ketentuan Pengenaan Pidana. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK)

DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................................

v|P a g e

PENDAHULUAN
A. Diskripsi Singkat Hukum Keuangan Negara dalam modul ini membahas materi dari sisi aspek hukumnya APBN mulai dari pengertian keuangan Negara, perencanaan anggaran, penetapan anggaran, pelaksanaan anggaran, pelaporan sampai dengan

pertanggungjawabanya yang selama ini dikenal dengan perencanaan anggaran. B. Prasyarat Kompetensi Mahasiswa yang mengikuti Mata kuliah HKN terlebih dahulu harus telah menempuh dan lulus mata kuliah Pengantar Ilmu Hukum (PIH), Pengantar Ilmu Ekonomi (PIE), dan Keuagan Publik. C. Standar Kompetensi Mahasiswa yang megikuti mata kuliah HKN sudah memiliki pengetahuan tentang dasardasar filosofi pengertian tentang hukum, darimana hukum itu berasal, mengapa hukum itu harus ditaati, sumber-sumber hukum, mahzab-mahzab atau teori-teori tentang hukum, tata hukum, tata urutan perundang-undangan dsb., pengetahuan di bidang ekonomi mahasiswa sudah memiliki pengetahuan dasar-dasar filosofi pengantar ekonomi, da di bidang keuangan public mahasiswa sudah mengatuhi dan mengerti tentang peran Negara dalam kegiatan sekonomi untuk membiayai tugas-tugasnya melaksanakan tugas umum pemerintaha dan pembagunan. D. Kompetensi Dasar Kompetensi Dasar yang diperoleh mahasiswa setelah mengikuti kuliah HKN adalah mahasiswa memahami dan mengerti tentang aspek hukum pengelolaan keuangan Negara RI mulai dari perencanaan anggaran, penetapan anggaran, pelaksanaan anggaran, pencatatan dan pelaporan anggaran sampai dengan pertanggungjawaban anggaran. E. Relevansi Dasar Mata kuliah Pengantar Ilmu Hukum (PIH), Pengantar Ilmu Ekonomi, Keuangan Publik mempuyai relevansi dasar bagi mahasiswa yang akan mengikuti kuliah Hukum Keuangan NegaraMata kuliah ini membahas aspek hukum Negara sebagai badan hokum public bagaimana mencari pembiayaan melalui sumber-sumber yang diperkenankan oleh undangundang, bagaimana mengelolanya, dan akhirnya membelanjakaya serta

mempertaggungjawabkan kepada rakyat melalui DPR sebagai pemberi mandat.

vi | P a g e

BAB
KEUANGAN NEGARA

Tujuan Instruksional Khusus: Setelah mempelajari bab ini, mahasiswa diharapkan dapat mengerti dan memahami definisi keuangan negara, ruang lingkup keuangan negara, dan pengertian lain yang terkait.

A. Definisi Keuangan Negara Untuk memahami Hukum Keuangan Negara harus berangkat terlebih dahulu dari pengertian Keuangan Negara. Banyak para ahli memberikan terhadap

pengertian Keuangan Negara. Disini akan dikutip beberapa pendapat. 1. Menurut M. Ichwan K.N. Keuangan negara adalah rencana kegiatan secara kuantitatif dengan angkaangka yang antara lain diwujudkan dalam mata uang, yang akan dijalankan untuk masa mendatang, lazimnya satu tahun. 2. Menurut GEODHART, K.N. Keuangan negara adalah keseluruhan UU yang ditetapkan secara periodik yang memberikan kekuasan pemerintah untuk melaksanakan pengeluaran mengenai periode tertentu dan menunjukkan alat pembiayaan yang diperlukan untuk menutup pengeluaran tersebut. Jadi unsur-unsur keuangan menurutnya: Periodik Pemerintah sebagai pelaksana anggaran Pelaksanaan anggaran mencakup dua wewenang yaitu wewenang

penerimaan dan wewenang pengeluaran. Bentuk anggaran berupa suatu UU

3. Menurut John F. Due K.N. is A Budget is general sense of term, is a financial plan for specific period time a government budget, therefore is a statement of

1|P a g e

proposed expenditures and expected revenues for the coming period together with data of actual expenditures and revenues for current and past period. Government Budget Adalah suatu pernyataan mengenai pengeluaran atau

belanja yang diusulkan dan penerimaan untuk masa mendatang bersama dengan data pengeluaran dan penerimaan yang sebenarnya untuk periode mendatang dan periode yang telah lampau. Dengan demikian unsur-unsur KN menurut John F. Due adalah: Anggaran belanja memuat data keuangan mengenai pengeluaran dan penerimaan dari tahun2 yang sudah lalu. Jumlah yang diusulkan untuk tahun yang akan datang. Jumlah taksiran untuk tahun yang sedang berjalan. Untuk suatu periode tertentu.

4. M. Marsono Anggaran Negara adalah suatu rencana pekerjaan keuangan yang pada satu pihak mengandung jumlah pengeluaran yang setinggi-ingginya yang mungkin diperlukan untuk membiayai kepentingan Negara pada satu masa depan, dan pada pihak yang lain merupakan perkiraan pendapatan yang mungkin dapat diterima dalam masa tersebut. 5. M. Subagio Anggaran Negara adalah suatu rencana yang diperlukan untuk membiayai segala kegiatannya, begitu pula biaya yang diperlukan untuk menjalankan pemerintahan disertai taksiran besarnya penerimaan yang didapat dan digunakan membelanjakan pengeluaran tersebut. Unsur-unsur K.N. menurutnya: Kebijakan pemerintah tercermin dalam angka-angka. Rencana pemasukan untuk membiayai pengeluaran. Memuat data pelaksanaan anggaran satu tahun yang lalu. Menunjukkan sektor yang diprioritaskan. Menunjukkan maju mundurnya pencapaian sasaran. Merupakan petunjuk bagi pemerintah untuk melaksanakan kebijakannya untuk satu tahun mendatang.

2|P a g e

Dari beberapa defenisi tersebut dapat disimpulkanKeuangan Negara adalah: 1. Semua kekayaan atau harta Negara dan utang Negara begitupun segala hal yang menyangkut dengan harta atau utang tersebut baik yang berwujud atau tidak berwujud yang dapat dinilai dengan uang. 2. Keuangan Negara biasa juga disebut dengan Anggaran Negara

(Budget). Bahkan UU No. 17 tahun 2003 menyebutnya dengan istilah APBN/APBD. Dengan demikian Anggaran Negara dapat kita lihat dari tiga sudut pandang, yaitu: 1. Sudut Administratif, berarti ditinjau dari sudut Penatausahaan Penerimaan dan Pengeluaran Negara dengan memperhatikan keseimbangan yang logis diantara keduanya. 2. Sudut Konstitusi, berarti hak untuk turut menentukan anggaran Negara dari Badan Perwakilan Rakyat (Volksvertegenwoordiging) yang pada umumnya dicantumkan dalam suatu konstitusi Negara. (Pasal 23 UUD 1945). Hal ini sebagai konsekwensi pelaksanaan ajaran Trias Politika Montesque meskipun tiori tersebut tidak murni lagi dianut. 3. Dari Sudut Undang-Undang/Peraturan Pelaksanaan, berarti Keseluruhan

ketentuan UU yang ditetapkan secara priodik, yang memberikan kekuasaan eksekutif untuk melaksanakan pengeluaran mengenai priode tertentu. UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara memberikan sebutan dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). APBN adalah Rencana Keuangan tahunan pemerintahan Negara yang disetujui oleh dewan perwakilan rakyat. (berarti Anggaran) dipandang dari sudut konstitusi. Menurut UU No. 17 Tahun 2003, Keuangan Negara adalah Semua hak dan kewajiban negara yang dapat

dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut. Dengan demikian Keuangan Negara menurut penulis adalahSemua hal yang

kekayaan atau harta Negara

dan utang Negara begitupun segala

menyangkut dengan harta atau utang tersebut baik yang berwujud atau tidak berwujud yang dapat dinilai dengan uang termasuk didalamnya semua kekayaan atau harta daerah dan utang daerah karena daerah juga merupakan bagian dari negara (Pasal 18 UUD 1945)

3|P a g e

Dasar hukum Pengelolaan Keuangan Negara dapat ditemui dalam UUD 1945 Pasal 23, terutama ayat (1) yang berbunyi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara sebagai wujud dari pengelolaan keuangan Negara ditetapkan setiap tahun dengan undang-undang dan dilksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.Ayat (2) RancanganUU APBN diajukan oleh Presiden untuk dibahas bersama DPR dengan memperhatikan pertimbangan DPD.Ayat (3) Apabila DPR tidak menyetujui rancangan APBN yang diusulkan oleh Presiden, pemerintah menjalankan APBN tahun yang lalu. Beberapa Ketentuan di bidang pengelolaan keuangan Negara yang perlu diketahui: UU No. 17/2003 tentang Keuangan Negara UU No. 1/2004 tentang Perbendaharaan Negara UU No. 15/2004 tentang Pemeriksaan dan Pertanggungjawaban Pengelolaan Keuangan Negara UU APBN Keppres 80/2003 tentang Pengadaan Barang/Jasa InstansiPemerintah, Peraturan Pemerintah No. 8/2006 tentang Revisi Keppres 80/2003, terakhir Perpres No. 54 th 2010 PP 20/2004 tentang Rencana Kerja Pemerintah PP 21/2004 tentang RKA-KL

B. Ruang Lingkup Keuangan Negara Yang termasuk lingkup keuangan negara RI adalah: 1. Hak Negara untuk memungut pajak, mengeluarkan dan mengedarkan uang, dan melakukan pinjaman. 2. Kewajiban negara untuk menyelenggarakan tugas layanan umum, Pemerintahan Negara, dan melakukan pinjaman. 3. Penerimaan dan pengeluaran Negara 4. Penerimaan dan pengeluaran daerah 5. Kekayaan Negara dan kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau pihak lain berupa uang, surat berharga, piutang, barang serta hak-hak lain yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan Negara/daerah.

4|P a g e

6. Kekayaan pihak

lain yang

dikuasai oleh pemerintah dalam rangka

penyelenggaraan tugas pemerintahan dan/atau kepentingan umum 7. Kekayaan pemerintah. C. Pengertian-Pengertian Lain 1. Pengertian APBN adalah rencana kerja keuangan yang ditetapkan oleh pemerintah untuk jangka waktu tertentu biasanya dalam satu tahun anggaran. 2. APBN atau biasa juga disebut perbendaharaan Negara. Perbendaharaan itu sendiri dapat didekati dari beberapa sudut.: a. Dari segi obyek, seluruh hak dan kewajiban yang dapat dinilai dengan uang yang meliputi: uang, barang, utang-piutang dan investasi. b. Dari segi subyek, seluruh harta dan utang yang dimiliki dan/atau dikuasai oleh Pemerintah, termasuk yang dikelola oleh Badan Layanan Umum seperti rumah sakit dan perguruan tinggi negeri. c. Dari segi proses, seluruh rangkaian kegiatan pengelolaan harta dan utang sesudah APBN/APBD ditetapkan d. Dari segi tujuan, seluruh kegiatan pengelolaan harta dan utang dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan negara sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan dalam APBN/APBD. 3. Pengertian Perusahaan Milik Negara/Daerah adalah perusahaan yang didirikan dengan modalnya minimal 51% atau lebih dimiliki oleh negra atau daerah. Perusahaan tersebut merupakan Badan Usaha milik Negara/Daerah yang bersangkutan. 4. Pengertian tahun anggaran adalah tahun pelaksanaan dari suatu anggaran yang telah ditetapkan bersama antara pemerintah dan DPR. Saat ini tahun anggaran sama dengan tahun fiskal yaitu dimulai dario l Januari sampai dengan 31 Desember tahun yang berjalan. 5. Pengertian Penerimaan adalah semua pendapatan yang diterima negara dan yang akan dipergunakan untjuk membiayai pengeluaran negara. Sedang belanja adalah semua pengeluaran yang dilakukan oleh negara dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan. Sedang Pembiayaan adalah penerimaan yang akan dibayar kembali dan pengeluaran yang akan diterima kembali. yang diperoleh pihak lain dengan mempergunakan fasilitas

5|P a g e

6. Defisit Anggaran Defisit anggaran merupakan istilah yang digunakan untuk menggambarkan kondisi APBN di saat angka belanjanya melebihi jumlah pendapatan. Terdapat empat pilihan cara untuk mengukur defisit anggaran, yang masing-masing dikenal dengan sebutan (i) defisit konvensional; (ii) defisit moneter; (iii) defisit operasional; dan (iv) defisit primer. 7. Defisit Konvensional Defisit yang dihitung berdasarkan selisih antara total belanja dengan total pendapatan termasuk hibah. 8. Defisit Moneter Merupakan selisih antara total belanja pemerintah (di luar pembayaran pokok hutang) dengan total pendapatan (di luar penerimaan hutang). 9. Defisit Operasional Merupakan defisit moneter yang diukur dalam nilai riil dan bukan nilai nominal. 10. Defisit Primer Merupakan selisih antara belanja ( di luar pembayaran pokok dan bunga hutang) dengan total pendapatan. 11. Pembiayaan Dalam keadaan defisit tentunya diperlukan tambahan dana agar kegiatan yang telah direncanakan tetap dapat dilaksanakan. Dana tersebut bias berasal dari dalam negeri maupun luar negeri. Upaya untuk menutup defisit disebut sebagai pembiayaan defisit (deficit financing). Upaya ini dapat dilakukan dalam berbagai bentuk misalnya a. hutang; b. menjual asset milik negara; dan c. memperoleh hibah.

6|P a g e

BAB
KEKUASAAN PENGELOLAANKEUANGAN NEGARA

Tujuan Instruksional Khusus: Setelah mempelajari bab ini, mahasiswa diharapkan dapat mengerti dan memahami tentang pengelolaan keuangan negara baik di pusat maupun di daerah. A. Presiden Sebagai Pemegang Kekuasaan Keuangan Negara Presiden selaku Kepala Pemerintahan memegang kekuasaan pengelolaan keuangan negara sebagai bagian dari kekuasaan pemerintahan (Pasal 6 UU No. 17/2003). Kekuasaan ini meliputi kewenangan yang bersifat umum dan khusus. Kewenangan yang bersifat umum yaitu penetapan arah, kebijakan umum, strategi dan prioritas dalam pengelolaan APBN, antara lain penetapan pedoman pelaksanaan dan pertanggungjawaban APBN, penetapan susunan rencana kerja kementerian Negara/lembaga, penetapan gaji dan tunjangan serta pedoman

pengelolaan penerimaan Negara. Sedangkan yang termasuk kewenangan yang bersifat khusus yaitu keputusan/kebijakan teknis yang berkaitan dengan penelolaan APBN, keputusan rincian APBN, keputusan dana perimbangan, dan penghapusan asset dan piutang Negara. Sebagian kekuasaan itu diserahkan kepada Menteri Keuangan yang kemudian berperan sebagai pengelola fiskal dan wakil pemerintah dalam kepemilikan negara dalam kekayaan negara yang dipisahkan. Sebagian kekuasaan lainnya diberikan kepada menteri/pimpinan lembaga sebagai pengguna

anggaran/pengguna barang lembaga/kementrian yang dipimpinnya. Dari pernyataan tersebut, maka presiden dapat disebut sebagai Chief Executive Officer (CEO) dimana presiden memiliki kekuasaan paling sentral dan tertinggi dalam mengatur keuangan negara dengan fungsi: 1. Pembinaan dan koordinasi pembagian kekuasaan keuangan negara.

7|P a g e

2. Penelitian dan pengembangan tertentu dalam rangka mendukung kebijakan yang telah berlaku dalam UU. 3. Pelaksanaan pembuatan dan pengajuan RAPBN. Sedangkan, Menteri Keuangan berperan dan berfungsi sebagai Chief Financial Officer (CFO) sedangkan menteri teknis/pimpinan lembaga berperan sebagai Chief Operating Officers (COOs).

PRESIDEN SEBAGAI CEO

MENTERI TEKNIS SEBAGAI COO

MENTERI KEUANGAN SEBAGAI CFO

Dalam rangka mewujudkan asas desentrailsasi dalam penyelenggaraan Negara, Presiden dapat menyerahkan sebagian kekuasaan tersebut diserahkan kepada

gubernur/bupati/walikota selaku pengelola keuangan daerah. Adapun terkait dengan penetapan dan pelaksanaan kebijakan moneter sebagai bagian dari keuangan Negara dilaksanakan oleh bank sentral. Berikut adalah rincian pembagian kekuasaan keuangan negara lebih lanjut dari keterangan di atas: 1. Menteri Keuangan, selaku pengelola fiskal dan wakil pemerintah dalam kepemilikan kekayaan negara yang dipisahkan. 2. Menteri Teknis/Pimpinan lembaga selaku pengguna anggaran atau pengguna barang kementerian negara atau lembaga yang dipimpinnya. 3. Gubernur/Bupati/Walikota selaku kepala pemerintahan daerah untuk mengelola keuangan daerah dan mewakili pemerintah daerah untuk mengelola keuangan

8|P a g e

daerah dan mewakili pemerintah daerah dalam kepemilikan kekayaan daerah yang dipisahkan. Pemisahan fungsi seperti di atas dimaksudkan untuk membuat kejelasan dan kepastian dalam pembagian wewenang dan tanggung jawab. Sebelumnya fungsifungsi tersebut belum terbagi secara tegas sehingga seringkali terjadi tumpang tindih antar lembaga. Pemisahan ini juga dilakukan untuk menegaskan terlaksananya mekanisme checks and balances. Selain itu, dengan fokusnya fungsi masing-masing kementrian atau lembaga diharapkan dapat meningkatkan profesionalisme di dalam penyelenggaraan tugas-tugas pemerintah. B. Pelaksanaan Keuangan Daerah 1. Kekuasaan Atas Pengelolaan Keuangan Daerah Untuk mengakomodasi berbagai perkembangan dalam sistem kelembagaan Negara dan mewujudkan sistem pengelolaan fiskal yang berkesinambungan, pemerintai telah mengeluarkan Undang-undang nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Undang-Undang tersebut menetapkan prinsip-prinsip yang memperkokoh landasan pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah yang telah dimuat dalam UU tersendiri tentang Pemerintahan Daerah dan Keuangan. Presiden selaku kepala pemerintahan memegang kekuasaan pengelolaan keuangan Negara sebagai bagian dari kekuasaan pemerintahan. Kekuasaan Presiden tersebut diserahkan kepada Gubernur atau Bupati/Walikota selaku pengelola keuangan daerah. Kekuasaan atas keuangan daerah tersebut diatur dalam UU Keuangan Negara pasal 6 ayat (2) huruf c sebagai berikut: a) Dilaksanakan oleh kepala satuan kerja pengelola keuangan daerah selaku pejabat pengelola APBD b) Dilaksanakan oleh kepala satuan kerja perangkat daerah selaku pejabat pengguna anggaran/barang daerah Pejabat pengelola keuangan daerah mempunyai tugas sebagai berikut: a) b) c) Menyusun dan melaksanakan kebijakan pengelolaan APBD Menyusun Rancangan APBD dan Rancangan Perubahan APBD Melaksanakan pemungutan pendapatan daerah yang telah ditetapkan Peraturan Daerah Perimbangan

9|P a g e

d) e)

Melaksanakan fungsi Bendahara Umum Daerah Menyusun laporan keuangan yang merupakan pertanggung jawaban pelaksanaan APBD Sedangkan pejabat pengguna anggaran/barang daerah mempunyai tugas

sebagai berikut: a) Menyusun anggaran satuan kerja perangkat daerah yang dipimpinnya b) Menyusun dokumen pelaksanaan anggaran c) Melaksanakan anggaran satuan kerja perangkat daerah yang dipimpinnya d) Melaksanakan pemungutan penerimaan bukan pajak e) Mengelola utang piutang daerah yang menjadi tanggung jawab satuan kerja yang dipimpinnya f) Mengelola barang milik / kekayaan daerah yang menjadi tanggung jawab satuan kerja perangkat daerah yang dipimpinnya g) Menyusun dan menyampaikan laporan keuangan satuan kerja perangkat daerah yang dipimpinnya. Pemerintah pusat juga membagi keuangannya kepada daerah antara lain tercermin dalam APBN sebagai Belanja Daerah. Bentuk pembagian/transfer

pemerintah pusat ke daerahnya dapat dikategorikan sebagai berikut: a) Pendapatan yang ditunjuk/ diserahkan, meliputi pajak, royalti, pungutan yang semula dikenakan oleh pemerintah pusat, tetapi diserahkan sebagian atau seluruhnya kepada pemerintah daerah. b) Subsidi, yang dibayarkan pemerintah pusat ke pemerintah daerah tingkat Provinsi/Kabupaten/Kota c) Pembiayaan Sektoral, berupa pengeluaran pemerintah pusat untuk proyekproyek yang dilakukan pemerintah daerah d) Pinjaman 2. Makna Kekuasaan Atas Pengelolaan Keuangan Daerah Seluruh kegiatan yang berkenaan dengan pembagian kekuasaan keuangan Negara kepada daerah sesungguhnya merupakan cermin dari berjalannya Otonomi Daerah yang pada dasarnya tercantum pada UUD 1945 pasal 18 ayat 5 yang berbunyi, Pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali

10 | P a g e

urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan Pemerintah Pusat. Selain itu juga. Pemerintah pusat dalam hal ini berusaha mengadakan pemerataan di setiap daerah seperti halnya yang tercantum pada UU . yang berbunyi Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah adalah suatu sistem pembiayaan pemerintahan dalam kerangka negara kesatuan, yang mencakup pembagian keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah serta pemerataan antar-Daerah secara proporsional, demokratis, adil dan transparan dengan memperhatikan potensi, kondisi dan kebutuhan Daerah, sejalan dengan kewajiban dan pembagian kewenangan serta tata cara penyelenggaraan

kewenangan tersebut, termasuk pengelolaan dan pengawasan keuangannya Penyerahan kekuasaan keuangan Negara dari Presiden/Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah juga mempertimbangkan adanya keanekaragaman kondisi daerah. C. Pelaksanaan Kekuasan Keuangan Negara 1. Kekuasaan atas pengelolaan keuangan negara digunakan untuk mencapai tujuan bernegara. Sistem administrasi keuangan negara diatur dengan berbagai ketentuan, diantaranya UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, dan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara. Kebijakan dan kegiatan APBN diuraikan sejak dari perencanaan anggaran, penyusunan dan penetapan anggaran, pelaksanaan anggaran, pertanggungjawaban pelaksanaan anggaran. Peranan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) atau Anggaran Sektor Publik menjadi semakin signifikan. Dalam perkembangannya, APBN telah menjadi instrumen kebijakan multi fungsi yang digunakan sebagai alat untuk mencapai tujuan bernegara. Hal tersebut terutama terlihat dari komposisi dan besarnya anggaran yang secara langsung merefleksikan arah dan tujuan pelayanan kepada masyarakat. Oleh karena itu, agar fungsi APBN dapat berjalan secara anggaran, dan pemeriksaan pertanggungjawaban pelaksanaan

11 | P a g e

optimal, maka sistem anggaran dan pencatatan atas penerimaan dan pengeluaran harus dilakukan dengan cermat dan sistematis. Sebagai sebuah sistem, pengelolaan anggaran negara telah mengalami banyak perkembangan. Dengan keluarnya tiga paket perundang-undangan di

bidang keuangan negara, yaitu UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, dan UU No. 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara, sistem pengelolaan anggaran negara di Indonesia terus berubah dan berkembang sesuai dengan dinamika manajemen sektor publik. Pemerintah telah menerapkan pendekatan anggaran berbasis kinerja,

anggaran terpadu dan kerangka pengeluaran jangka menengah pada tahun anggaran 2005 dan 2006. Ternyata masih banyak kendala yang dihadapi, terutama karena belum tersedianya perangkat peraturan pelaksanaan yang memadai, sehingga masih banyak terjadi multi tafsir dalam implementasi di lapangan. Dalam periode itu pula telah dikeluarkan berbagai peraturan pemerintah, peraturan menteri keuangan, peraturan dirjen dan sebagainya guna menutup kelemahan-kelemahan tersebut. Dalam rangka merespon perubahan terhadap peraturan perundangundangan di bidang keuangan negara itu, makalah Sistem Administrasi Keuangan Negara perlu direvisi dan disempurnakan. Hal ini akan sangat membantu para peserta diklat untuk memahami secara lebih mudah materi peraturan yang baru. Fungsi perencanaan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional tidak dibahas secara rinci. Akan tetapi, pembahasan mengenai keuangan negara lebih difokuskan pada fungsi pengorganisasian, pengarahan, dan pengendalian sesuai dengan ketentuan undang-undang di bidang keuangan negara. Dalam pengelolaan keuangan negara, fungsi perencanaan,

pengorganisasian,

pengarahan, dan pengendalian di bidang keuangan harus

dilakukan secara sistematis dalam rangka mencapai tujuan pembangunan nasional. Pembangunan nasional adalah upaya yang dilaksanakan oleh semua komponen bangsa dalam rangka mencapai tujuan bernegara, sebagaimana tercantum dalam pembukaan UUD 1945, yaitu:

Melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia.

12 | P a g e

Memajukan kesejahteraan umum. Mencerdaskan kehidupan bangsa. Ikut serta mewujudkan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan,

perdamaian abadi, dan keadilan sosial 2. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, atau disingkat APBN, adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan negara Indonesia yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat. APBN berisi daftar sistematis dan terperinci yang memuat rencana penerimaan dan pengeluaran negara selama satu tahun anggaran (1 Januari - 31 Desember). APBN, Perubahan APBN, dan Pertanggungjawaban APBN setiap tahun ditetapkan dengan Undang-Undang. 3. Fungsi APBN APBN merupakan instrumen untuk mengatur pengeluaran dan pendapatan negara dalam rangka membiayai pelaksanaan kegiatan pemerintahan dan pembangunan, mencapai pertumbuhan ekonomi, meningkatkan pendapatan

nasional, mencapai stabitas perekonomian, dan menentukan arah serta prioritas pembangunan secara umum. APBN mempunyai fungsi otorisasi, perencanaan, pengawasan, alokasi, distribusi, dan stabilisasi. Semua penerimaan yang menjadi hak dan pengeluaran yang menjadi kewajiban negara dalam suatu tahun anggaran harus dimasukkan dalam APBN. Surplus penerimaan negara dapat digunakan untuk membiayai pengeluaran negara tahun anggaran berikutnya.

Fungsi otorisasi, mengandung arti bahwa anggaran negara menjadi dasar untuk melaksanakan pendapatan dan belanja pada tahun yang

bersangkutan. Dengan demikian, pembelanjaan atau pendapatan dapat dipertanggungjawabkan kepada rakyat.

Fungsi perencanaan, mengandung arti bahwa anggaran negara dapat menjadi pedoman bagi negara untuk merencanakan kegiatan pada tahun tersebut. Bila suatu pembelanjaan telah direncanakan sebelumnya, maka negara dapat membuat rencana-rencana untuk medukung pembelanjaan tersebut. Misalnya, telah direncanakan dan dianggarkan akan membangun proyek pembangunan jalan dengan nilai sekian miliar. Maka, pemerintah

13 | P a g e

dapat mengambil tindakan untuk mempersiapkan proyek tersebut agar bisa berjalan dengan lancar.

Fungsi pengawasan, berarti anggaran negara harus menjadi pedoman untuk menilai apakah kegiatan penyelenggaraan pemerintah negara sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan. Dengan demikian akan mudah bagi rakyat untuk menilai apakah tindakan pemerintah menggunakan uang negara untuk keperluan tertentu itu dibenarkan atau tidak.

Fungsi alokasi, berarti bahwa anggaran negara harus diarahkan untuk mengurangi pengangguran dan pemborosan sumber daya serta

meningkatkan efesiensi dan efektivitas perekonomian.

Fungsi

distribusi,

berarti

bahwa

kebijakan

anggaran

negara

harus

memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan

Fungsi stabilisasi, memiliki makna bahwa anggaran pemerintah menjadi alat untuk memelihara dan mengupayakan keseimbangan fundamental

perekonomian. 4. Prinsip penyusunan APBN Berdasarkan aspek pendapatan, prinsip penyusunan APBN ada tiga, yaitu:

Intensifikasi penerimaan anggaran dalam jumlah dan kecepatan penyetoran. Intensifikasi penagihan dan pemungutan piutang negara. Penuntutan ganti rugi atas kerugian yang diderita oleh negara dan penuntutan denda.

Sementara berdasarkan aspek pengeluaran, prinsip penyusunan APBN adalah:


Hemat, efesien, dan sesuai dengan kebutuhan. Terarah, terkendali, sesuai dengan rencana program atau kegiatan. Semaksimah mungkin menggunakan hasil produksi dalam negeri dengan memperhatikan kemampuan atau potensi nasional.

5. Azas penyusunan APBN APBN disusun dengan berdasarkan azas-azas:


Kemandirian, yaitu meningkatkan sumber penerimaan dalam negeri. Penghematan atau peningkatan efesiensi dan produktivitas. Penajaman prioritas pembangunan Menitik beratkan pada azas-azas dan undang-undang Negara

14 | P a g e

6. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), adalah rencana keuangan tahunan pemerintah daerah di Indonesia yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. APBD ditetapkan dengan Peraturan Daerah. Tahun anggaran APBD meliputi masa satu tahun, mulai dari tanggal 1 Januari sampai dengan tanggal 31 Desember. APBD terdiri atas:
a. Anggaran pendapatan, terdiri atas:

1) Pendapatan Asli Daerah (PAD), yang meliputi pajak daerah, retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah, dan penerimaan lain-lain 2) Bagian dana perimbangan, yang meliputi Dana Bagi Hasil, Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus 3) Lain-lain pendapatan yang sah seperti dana hibah atau dana darurat.
b. Anggaran belanja, yang digunakan untuk keperluan penyelenggaraan tugas

pemerintahan di daerah.
c.

Pembiayaan, yaitu setiap penerimaan yang perlu dibayar kembali dan/atau pengeluaran yang akan diterima kembali, baik pada tahun anggaran yang bersangkutan maupun tahun-tahun anggaran berikutnya.

7. Fungsi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara:


a. Fungsi otorisasi bermakna bahwa anggaran daerah menjadi dasar untuk

merealisasi pendapatan dan belanja pada tahun bersangkutan. Tanpa dianggarkan dalam APBD sebuah kegiatan tidak memiliki kekuatan untuk dilaksanakan.
b. Fungsi perencanaan bermakna bahwa anggaran daerah menjadi pedoman bagi

manajemen dalam merencanakan kegiatan pada tahun yang bersangkutan.


c.

Fungsi perencanaan bermakna bahwa anggaran daerah menjadi pedoman bagi manajemen dalam merencanakan kegiatan pada tahun yang bersangkutan.

d. Fungsi pengawasan mengandung makna bahwa anggaran daerah menjadi

pedoman

untuk

menilai

keberhasilan

atau

kegagalan

penyelenggaraan

pemerintah daerah.
e. Fungsi alokasi mengandung makna bahwa anggaran daerah harus diarahkan

untuk menciptakan lapangan kerja, mengurangi pengangguran, dan pemborosan sumberdaya, serta meningkatkan efisiensi dan efektifitas perekonomian daerah.

15 | P a g e

f.

Fungsi

distribusi

memiliki

makna

bahwa

kebijakan-kebijakan

dalam

penganggaran daerah harus memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan.


g. Fungsi stabilitasi memliki makna bahwa anggaran daerah menjadi alat untuk

memelihara dan mengupayakan keseimbangan fundamental perekono-mian daerah. D. Hubungan Kekuasaan Negara dengan Tujuan Bernegara 1. Pengertian Tujuan dan Fungsi Negara Secara Universal Antara tujuan dan fungsi negara merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Namun demikian keduanya memiliki arti yang berbeda yaitu: No. Tujuan Fungsi 1. Berisi sasaransasaran yang hendak Mencerminkan suasana gerak, dicapai yang telah ditetapkan. aktivitas nyata dalam mencapai sasaran. 2. Menunjukkan dunia cita yakni suasana ideal yang harus dijelmakan/diwujud kan. Bersifat abstrak ideal. Merupakan pelaksanaan atau penafsiran dari tujuan yang hendak dicapai. Bersifat riil dan konkrit.

3.

Apabila kita hubungkan dengan negara, maka: Tujuan menunjukkan apa yang secara ideal hendak dicapai oleh suatu negara, sedangkan Fungsi adalah pelaksanaan citacita itu dalam kenyataan. a. Tujuan Negara Rumusan tujuan sangat penting bagi suatu negara yaitu sebagai pedoman: Penyusunan negara dan pengendalian alat perlengkapan negara. Pengatur kehidupan rakyatnya. Pengarah segala aktivitasaktivitas negara.

Setiap negara pasti mempunyai tujuan yang hendak dicapai sesuai dengan UndangUndang Dasarnya. Tujuan masingmasing negara sangat dipengaruhi oleh tata nilai sosial, kondisi geografis, sejarah pembentukannya serta pengaruh politik dari penguasa negara. Secara umum negara mempunyai tujuan antara lain sebagai berikut: Memperluas kekuasaan semata

16 | P a g e

Menyelenggarakan ketertiban umum Mencapai kesejahteraan umum b. Fungsi Negara Secara umum terlepas dari ideologi yang dianutnya, setiap negara

menyelenggarakan beberapa tersebut adalah sebagai berikut:

fungsi minimum yang mutlak harus ada. Fungsi

Melaksanakan penertiban (Law and order): untuk mencapai tujuan bersama dan mencegah bentrokanbentrokan dalam masyarakat, maka negara harus melaksanakan penertiban. Dalam fungsi ini negara dapat dikatakan sebagai stabilisator. Mengusahakan kesejahteraan dan kemakmuran rakyatnya. Pertahanan: fungsi ini sangat diperlukan untuk menjamin tegaknya

kedaulatan negara dan mengantisipasi kemungkinan adanya serangan yang dapat mengancam kelangsungan hidup bangsa (negara). Untuk itu negara dilengkapi dengan alat pertahanan. Menegakkan keadilan: fungsi ini dilaksanakan melalui lembaga peradilan. Keseluruhan fungsi negara tersebut di atas diselenggarakan oleh pemerintah untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan bersama. Fungsi negaradapat juga diartikan sebagai tugas organisasi negara. Secara umum tugas negara meliputi: Tugas Essensial adalah mempertahankan negara sebagai organisasi politik yang berdaulat, meliputi: (a). Tugas internal negara yaitu memelihara ketertiban, ketentraman, keamanan, perdamaian dalam negara serta melindungi hak setiap orang; dan (b). Tugas eksternalyaitu mempertahankan kemerdekaan/kedaulatan negara. Tugas Fakultatif adalah menyelenggarakan dan memperbesar kesejahteraan umum. Beberapa pendapat para ahli tentang tujuan negara: Plato: tujuan negara adalah memajukan kesusilaan manusia. Roger H Soltau: tujuan negara adalah mengusahakan agar rakyat berkembang serta mengembangkan daya cipta sebebas mungkin. John Locke: tujuan negara adalah menjamin suasana hukum individu secara alamiah atau menjamin hakhak dasar setiap individu.

17 | P a g e

Harold J Laski: tujuan negara adalah menciptakan keadaan agar rakyat dapat memenuhi keinginannya secara maximal. Montesquieu: tujuan negara adalah melindungi diri manusia sehingga dapat tercipta kehidupan yang aman, tentram dan bahagia. Aristoteles: tujuan negara adalah menjamin kebaikan hidup warga negaranya. UUD 1945 Alinea ke IV dari Pembukaan Undangundang Dasar 1945, yang menyatakan Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintah negara Indonesia yang (i) melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, (ii) meningkatkan kesejahteraan umum, (ii) mencerdaskan kehidupan bangsa, dan (iv) ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian yang abadi, dan keadilan sosial. E. Aktualisasi fungsi hukum administrasi negara dalam mewujudkan

pemerintahan yang baik. 1. Mewujudkan Pemerintahan yang Baik Meskipun diketahui bahwa penyelenggaraan negara dilakukan oleh beberapa lembaga negara, akan tetapi aspek penting penyelenggaraan negara terletak pada aspek pemerintahan. Dalam sistem pemerintahan Indonesia, Presiden memiliki dua kedudukan, sebagai salah satu organ negara yang bertindak untuk dan atas nama negara, dan sebagai penyelenggara pemerintahan atau sebagai administrasi negara. Sebagai administrasi negara, pemerintah diberi wewenang baik berdasarkan atribusi, delegasi, ataupun mandat untuk melakukan

pembangunan dalam rangka merealisir tujuan-tujuan negara yang telah ditetapkan. Dalam melaksanakan pembangunan, pemerintah berwenang untuk melakukan pengaturan dan memberikan pelayanan terhadap masyarakat. Agar tindakan pemerintah dalam menjalankan pembangunan dan melakukan

pengaturan serta pelayanan ini berjalan dengan baik, maka harus didasarkan pada aturan hukum. Di antara hukum yang ada ialah Hukum Administrasi Negara termasuk dalam pengelolaan keuangan negara, yang memiliki fungsi normatif, fungsi instrumental, dan fungsi jaminan. Adanya Hukum Keuangan Negara secara khusus memberikan kepastian adanya kepercayaan publik (public trust) bahwa para penyelenggara Negara melakasankan tugas dan fungsi bersumber hokum dan aturan. Disisi lain memberikan kepastian hukum bagi pengelenggara Negara

18 | P a g e

dalam melaksanakan tugas kedepan dipayungi oleh hukum. Seperti telah disebutkan di atas, fungsi normatif yang menyangkut penormaan kekuasaan memerintah berkaitan dengan fungsi instrumental yang menetapkan instrumen yang digunakan oleh pemerintah untuk menggunakan kekuasaan memerintah dan norma pemerintahan dan instrumen pemerintahan yang digunakan harus menjamin perlindungan hukum bagi rakyat. Ketika pemerintah akan menjalankan pemerintahan, maka kepada

pemerintah diberikan kekuasaan, yang dengan kekuasaan ini pemerintah melaksanakan pembangunan, pengaturan dan pelayanan. Agar kekuasaan ini digunakan sesuai dengan tujuan diberikannya, maka diperlukan norma-norma pengatur dan pengarah. Dalam Penyelenggaraan pembangunan, pengaturan, dan pelayanan, pemerintah menggunakan berbagai instrumen yuridis. Pembuatan dan pelaksanaan instrumen yuridis ini harus didasarkan pada legalitas dengan mengikuti dan mematuhi persyaratan formal dan metarial. Dengan didasarkan pada asas legalitas dan mengikuti persyaratan, maka perlindungan bagi administrasi negara dan warga masyarakat akan terjamin. Dengan demikian, pelaksanaan fungsi-fungsi Hukum Keuangan Negara adalah dengan membuat penormaan kekuasaan, mendasarkan pada asas legalitas dan persyaratan, sehingga memberikan jaminan perlindungan baik bagi administrasi negara maupun warga masyarakat. 2. Implementasi pemikiran tersebut antara lain: a. Tercermin dalam pasal 2 dan pasal 7 ayat 1 UU 17 Tahun 2003. Hal ini karena tujuan bernegara sebagaimana tercantum dalam Pembukaan UUD 1945, hanya dapat direalisasikan melalui tugas layanan umum pemerintahan (kewajiban negara, pasal 2 UU KN) yang dapat dijalankan melalui kekuasaan atas pengelolaan keuangan negara. b. Kekuasaan atas Pengelolaan Keuangan Negara oleh Presiden didelegasikan kepada: Menteri Keuangan, selaku pengelola fiskal dan Wakil Pemerintah dalam kepemilikan kekayaan negara yang dipisahkan; Menteri/pimpinan lembaga selaku Pengguna Anggaran/Pengguna Barang kementerian negara/lembaga yang dipimpinnya;

19 | P a g e

Diserahkan

kepada

Gubernur/Bupati/Walikota

selaku

kepala

pemerintahan daerah untuk mengelola keuangan daerah dan mewakili pemerintah daerah dalam kepemilikan kekayaan daerah yang dipisahkan.

20 | P a g e

BAB
PENGERTIAN DAN ISTILAH-ISTILAH KEUANGAN NEGARA DALAM UNDANG-UNDANG

Tujuan Instruksional Khusus: Setelah mempelajari bab ini, mahasiswa diharapkan dapat mengerti dan memahami mengenai pengertian keuangan negara, pengertian perusahaan miliki negara/daerah, pengertian APBN, pengertian tahun anggaran, dan pengertian surplus penerimaan.

A. Pengertian Keuangan Negara 1. Menurut UUD 1945 a. APBN sebagai wujud dari pengelolaan keuangan negara ditetapkan setiap tahun dengan undang-undang dan dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. (pasal 23: ayat 1) b. Hal-hal lain mengenai keuangan negara diatur dengan undang-undang. Catatan:Pengelolaan Keuangan Negara adalah keseluruhan kegiatan pejabat pengelola keuangan negara sesuai dengan kedudukan dan kewenangannya, yang meliputi perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan

pertanggungjawaban. (Pasal 1 ayat 8; UU 15 Tahun 2006 tentang BPK) 2. Menurut Undang-undang: a. Keuangan Negara adalah semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut. (UU 17/2003; Pasal 1 ayat 1) b. Keuangan Negara dikelola secara tertib, taat pada peraturan perundangundangan, efisien, ekonomis, efektif, transparan, dan bertanggung jawab dengan memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan.( UU 17/2003; pasal 3 ayat 1)

21 | P a g e

B. Pengertian Perusahaan Milik Negara/Daerah 1. Perusahaan Negara adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian modalnya dimiliki oleh Pemerintah Pusat. (Badan Usaha Milik Negara, yang selanjutnya disebut BUMN, adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan.<Pasal 1 ayat (1) UU No. 19 Tahun 2003>) 2. Perusahaan Daerah adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian modalnya dimiliki oleh Pemerintah Daerah. Catatan:Apakah asset PT. BUMN (Persero) adalah termasuk keuangan negara?Pasal 1 ayat (2) UU No. 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara menyatakan bahwa Perusahaan Persero, yang selanjutnya disebut Persero, adalah BUMN yang berbentuk perseroan terbatas yang modalnya terbagi dalam saham yang seluruh atau paling sedikit 51% (lima puluh satu persen) sahamnya dimiliki oleh Negara Republik Indonesia yang tujuan utamanya mengejar keuntungan. Selanjutnya Pasal 11 menyebutkan terhadap Persero berlaku segala ketentuan dan prinsip-prinsip yang berlaku bagi perseroan terbatas sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 40 Tahun 2000 tentang Perseroan Terbatas. 3. Kekayaan Negara yang dipisahkan adalah kekayaan negara yang berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk dijadikan penyertaan modal negara pada Persero dan/atau Perum serta perseroan terbatas lainnya. C. Pengertian APBN Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, selanjutnya disebut APBN, adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan negara yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat. 1. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, selanjutnya disebut APBD, adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan daerah yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. 2. APBN, perubahan APBN, dan pertanggungjawaban pelaksanaan APBN setiap tahun ditetapkan dengan undang-undang. 3. APBD, perubahan APBD, dan pertanggungjawaban pelaksanaan APBD setiap tahun ditetapkan dengan Peraturan Daerah.

22 | P a g e

4. APBN/APBD mempunyai fungsi-fungsi: otorisasi, perencanaan (lihat PP 20 dan 21 Th 2004 tentang RKP dan RKAKL), pengawasan (lihat UU N0. 15 Tahun 2004, UU No.15 Tahun 2006, Peraturan BPK No.1 Tahun 2007 dsb), alokasi, distribusi, dan stabilisasi. 5. Semua penerimaan yang menjadi hak dan pengeluaran yang menjadi kewajiban negara dalam tahun anggaran yang bersangkutan harus dimasukkan dalam APBN. (lihat PP 39 Th 2007 tentang Pengelolaan Uang Negara/Daerah) 6. Semua penerimaan yang menjadi hak dan pengeluaran yang menjadi kewajiban daerah dalam tahun anggaran yang bersangkutan harus dimasukkan dalam APBD. D. Pengertian Pembiayaan. 1. Penerimaan negara adalah uang yang masuk ke kas negara. 2. Pengeluaran negara adalah uang yang keluar dari kas negara. (lihat PP 39 Th 2007 tentang Pengelolaan Uang Negara/Daerah). 3. Penerimaan daerah adalah uang yang masuk ke kas daerah. 4. Pengeluaran daerah adalah uang yang keluar dari kas daerah. 5. Pendapatan negara adalah hak pemerintah pusat yang diakui sebagai penambah nilai kekayaan bersih. 6. Pendapatan daerah adalah hak pemerintah daerah yang diakui sebagai penambah nilai kekayaan bersih. 7. Belanja negara adalah kewajiban pemerintah pusat yang diakui sebagai pengurang nilai kekayaan bersih. 8. Belanja daerah adalah kewajiban pemerintah daerah yang diakui sebagai pengurang nilai kekayaan bersih. 9. Pembiayaan adalah setiap penerimaan yang perlu dibayar kembali dan/atau pengeluaran yang akan diterima kembali, baik pada tahun anggaran yang bersangkutan maupun tahun-tahun anggaran berikutnya. E. Pengertian Tahun Anggaran. Tahun Anggaran meliputi masa satu tahun, mulai dari tanggal 1 Januari sampai dengan tanggal 31 Desember. (pasal 4 UU 17/2003) Penerimaan, Pengeluaran, Pendapatan, Belanja, dan

23 | P a g e

Catatan: Tahun Anggaran (TA) yang berlaku dari tanggal 1 Januari sampai dengan tanggal 31 Desember diperkenalkan mulai Tahun Anggaran 2000 dimana sebelumnya TA adalah mulai tanggal 1 April sampai dengan tanggal 31 Maret tahun berikutnya. Pada masa peralihan yaitu pada tahun 2000, TA berlaku dari 1 April sd 31 Desember. F. Pengertian surplus penerimaan. 1. Surplus penerimaan negara/daerah dapat digunakan untuk membiayai

pengeluaran negara/daerah tahun anggaran berikutnya. 2. Penggunaan surplus penerimaan negara/daerah sebagaimana dimaksud dalam ayat (diatas) untuk membentuk dana cadangan atau penyertaan (modal/saham pemerintah) pada Perusahaan Negara/Daerah harus memperoleh persetujuan terlebih dahulu dari DPR/DPRD. Catatan: Surplus Penerimaan Negara tersebut dimungkinkan bilamana Pendapatan > Belanja

24 | P a g e

BAB
KEKUASAAN ATAS PENGELOLAAN KEUANGAN NEGARA

Tujuan Instruksional Khusus: Setelah mempelajari bab ini, mahasiswa diharapkan mampu mengerti dan memahami mengenai Fungsi Presiden sebagai Pemegang Kekuasaan atas Pengelolaan Keuangan Negara, Pengertian Kekuasaan atas Pengelolaan Keuangan Negara, dan Pengertian Kekuasaan atas Pengelolaan Keuangan Daerah.

A. Fungsi Presiden sebagai Pemegang Kekuasaan atas Pengelolaan Keuangan Negara 1. Presiden selaku Kepala Pemerintahan memegang kekuasaan pengelolaan keuangan negara sebagai bagian dari kekuasaan pemerintahan. (Pengertian Kekuasaan Pemerintahan adalah sebagaimana tertuang dalam: (i) pasal 4 ayat 1 UUD 1945: Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar[kewenangan atributif] dan (ii) pasal 5 ayat 2 UUD 1945 yakni Presiden menetapkan peraturan pemerintah untuk menjalankan undang-undang sebagaimana mestinya dan pasal-pasal tentang Kementerian Negara, Pemerintahan Daerah); [hal ini bermakna Presiden selaku pemegang kekuasaan Pemerintahan, maka berkewajiban menjalankan Undang-undang]. Catatan: Pernyataan bahwa kekuasaan pengelolaan keuangan negara sebagai bagian dari kekuasaan pemerintahan mengandung makna: siapapun yang menguasai Pemerintahan berarti mengusai Keuangan Negara. 2. Presiden secara otomatis karena perannya dalam Pemerintahan yang bila dikaitkan dengan Keuangan Negara haruslah sebagai penguasa atas Keuangan Negara tersebut, karena HAL KEUANGAN (pasal 23 UUD 1945) dipergunakan sebagai sarana untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia SERTA mencapai kesejahteraan umum dan

25 | P a g e

untukkemakmuran rakyat sebagaimana diamanatkan oleh Undang-undang Dasar disatu sisi dan keharusan seorang Presiden sebagai kepala pemerintahan yang mendapat tugas untuk melaksanakan hal tersebut. B. Pengertian Kekuasaan atas Pengelolaan Keuangan Negara. 1. Kekuasaan atas pengelolaan keuangan negara digunakan untuk mencapai tujuan bernegara. 2. Tujuan bernegara tertuang dalam Pembukaan UUD 1945:.melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa.. 3. Tujuan Negara (tujuan bernegara) yang tercermin dalam pembukaan UUD 1945 tersebut yakni melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa diperlukan adanya biaya atau dana yang memadai, karena wujud perlindungan bangsa tersebut bisa berupa peningkatan anggaran Hankam maupun Kepolisian; begitu juga wujud mencerdaskan kehidupan bangsa dapat berupa peningkatan anggaran pendidikan dsb. 4. Dalam rangka penyelenggaraan fungsi pemerintahan untuk mencapai tujuan bernegara sebagaimana dimaksud dalam ayat (diatas) setiap tahun disusun APBN dan APBD. C. Pengertian Kekuasaan atas Pengelolaan Keuangan Daerah. 1. Kekuasaan atas pengelolaan keuangan negara oleh Presiden sebagian diserahkan kepada gubernur/bupati/walikota selaku kepala pemerintahan daerah untuk mengelola keuangan daerah dan mewakili pemerintah daerah dalam kepemilikan kekayaan daerah yang dipisahkan. 2. Hubungan Kekuasaan atas Pengelolaan Keuangan Negara dan Tujuan bernegara a. Pokok-pokok pikiran: 1) Tujuan bernegara (pengertian, definisi dsb)..alinea IV Pembukaan UUD 1945.

26 | P a g e

2) Siapa

yang

harus

menjalankan/yang tujuan bernegara

mempunyai tersebut..

kewajiban

menjalankan/mencapai Pemerintah.

(benarkah)

3) Dengan cara bagaimana untuk mencapai tujuan bernegara tersebut Kewenangan dan Penyediaan Dana 4) Kekuasaan atas Pengelolaan Keuangan Negara(harus) dikuasai oleh Pemerintah. b. Aplikasinya bisa berupa: 1) Tercermin dalam pasal 2 dan pasal 7 ayat 1 UU 17 Tahun 2003. Hal ini karena tujuan bernegara sebagaimana tercantum dalam Pembukaan UUD 1945, hanya dapat direalisasikan melalui tugas layanan umum pemerintahan (kewajiban negara, pasal 2 UU KN) yang dapat dijalankan melalui kekuasaan atas pengelolaan keuangan negara. 2) Kekuasaan atas Pengelolaan Keuangan Negara oleh Presiden didelegasikan*) kepada: Menteri Keuangan, selaku pengelola fiskal dan Wakil Pemerintah dalam kepemilikan kekayaan negara yang dipisahkan; Menteri/pimpinan lembaga selaku Pengguna Anggaran/Pengguna Barang kementerian negara/lembaga yang dipimpinnya; Diserahkan**) kepada Gubernur/Bupati/Walikota selaku kepala

pemerintahan daerah untuk mengelola keuangan daerah dan mewakili pemerintah daerah dalam kepemilikan kekayaan daerah yang dipisahkan. CATATAN: *) didelegasikan merupakan konsep pelimpahan wewenang dalam HAN atau HTUN dimana si penerima delegasi mengambil alih seluruh tugas dan tanggung jawab dari si pemberi delegasi. Keika pendelegasian sedang berlangsung, si pemberi delegasi tidak berhak lagi turut campur terhadap apa yang sudah di delegasikannya sepanjang belum/tidak ada pencabutannya. **) Istilah diserahkan mengacu kepada kaidah OTONOMI DAERAH. [UUD 1945 pasal 18 ayat 5:.. Pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan Pemerintah Pusat.**) dan psl 18A ayat 2: Hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya antara

27 | P a g e

pemerintah pusat dan pemerintahan daerah diatur dan dilaksanakan secara adil dan selaras berdasarkan undang-undang. **.

Latihan Soal: 1. Presiden secara otomatis karena perannya dalam Pemerintahan haruslah sebagai penguasa atas Keuangan Negara tersebut. Jelaskan jawaban Saudara. 2. Buatlah analisa (secara) menyeluruh tentang pokok-pokok pikiran Hubungan Kekuasaan atas Pengelolaan Keuangan Negara dan Tujuan bernegara 3. Apapengertian didelegasikan dan diserahkan, dalam konteks kekuasaan Pengelolaan Keuangan Negara berada ditangan Presiden yang telah dalam kondisi kedua hal tersebut.

28 | P a g e

BAB
KETENTUAN MENGENAI PIDANA, SANKSI ADMINISTRATIF DAN GANTI RUGI (1)

Tujuan Instruksional Khusus: Setelah mempelajari bab ini, mahasiswa diharapkan mampu mengerti dan memahami mengenai Aspek Pidana pada Pengelolaan Keuangan Negara, Pengenaan Pidana berdasarkan Paket Undang-Undang Keuangan Negara, Pengenaan Pidana berdasarkan KUHP, Pengenaan Pidana berdasarkan Undang-Undang TIPIKOR

A. Aspek Pidana pada Pengelolaan Keuangan Negara


Undang-Undang tentang APBN/APBD merupakan pedoman pengelolaan keuangan dan ketentuan-ketentuan yang harus dipatuhi oleh setiap pejabat pengelola keuangan dan setiap penyimpangan akan dikaitkan dengan adanya sanksi hukum. Sanksi hukum yang pejabat dikenakan pengelola berupa pemidanaan yang maupun sanksi

administratif.Setiap

keuangan

terbukti

melakukan

penyimpangan kegiatan anggaran yang telah ditetapkan dalam undang-undang tentang APBN/Peraturan Daerah tentang APBD diancam dengan pidana penjara dan denda sesuai dengan ketentuan undang-undang.

29 | P a g e

Catatan:

PENYIMPANGAN ------------------------------------------------- SANKSI HUKUM

PEMIDANAAN

SANKSI ADMINISTRATIF

pejabat pengelola keuangan

KEGIATAN laks APBN

Penyimp> kegiatan ANGGARAN

pidana penjara

denda

B. Pengenaan Pidana berdasarkan Paket Undang-Undang Keuangan Negara


1. Menteri/Pimpinan lembaga/Gubernur/Bupati/Walikota yang terbukti melakukan penyimpangan kebijakan yang telah ditetapkan dalam undang-undang tentang APBN/Peraturan Daerah tentang APBD diancam dengan pidana penjara dan denda sesuai dengan ketentuan undang-undang.(Pasal 34 ayat 1 UU 17/2003) 2. Pimpinan Unit Organisasi Kementerian Negara/Lembaga/ Satuan Kerja

Perangkat Daerah yang terbukti melakukan penyimpangan kegiatan anggaran yang telah ditetapkan dalam undang-undang tentang APBN/Peraturan Daerah tentang APBD diancam dengan pidana penjara dan denda sesuai dengan ketentuan undang-undang. (Pasal 34 ayat 2 UU 17/2003) 3. Apabila dalam pemeriksaan kerugian negara/daerah sebagaimana dimaksud pada uraian: Pengenaan ganti kerugian negara/daerah terhadap bendahara ditetapkan oleh Badan Pemeriksa Keuangan, ditemukan unsur pidana, Badan

30 | P a g e

Pemeriksa

Keuangan

menindaklanjutinya

sesuai

dengan

peraturan

perundangundangan yang berlaku.Putusan pidana tidak membebaskan dari tuntutan ganti rugi. 4. Bendahara, pegawai negeri bukan bendahara, dan pejabat lain yang telah ditetapkan untuk mengganti kerugian negara/daerah dapat dikenai sanksi administratif dan/atau sanksi pidana.

C. Pengenaan Pidana berdasarkan KUHP


Pasal-pasal pemidanaan dalam KUHP adalah: 209, 210, 387, 388, 415, 416,417, 418, 419, 420, 423, dan 435 KUHP; dan tentang gratifikasi yakni pada pasal 418, 419 dan 420 K.U.H.P. Catatan: Pasal 209 (1) Diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah: 1. barang siapa memberi atau menjanjikan sesuatu kepada seorang pejabat dengan maksud menggerakkannya untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya; 2. barang siapa memberi sesuatu kepada seorang pejabat karena atau berhubung dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban, dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya. Pasal 210 (1) Diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun: 1. barang siapa memberi atau menjanjikan sesuatu kepada seorang hakim dengan maksud untuk mempengaruhi putusan tentang perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili; 2. barang siapa memberi atau menjanjikan sesuatu kepada seorang yang menurut ketentuan undang-undang ditentukan menjadi penasihat atau adviseur untuk menghadiri sidang atau pengadilan, dengan maksud untuk mempengaruhi nasihat atau pendapat yang akan diberikan berhubung dengan perkara yang diserahkan kepada pengadilan untuk diadili.

31 | P a g e

(2) Jika pemberian atau janji dilakukan dengan maksud supaya dalam perkara pidana dijatuhkan pemidanaan, maka yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun. Pasal 415 Seorang pejabat atau orang lain yang ditugaskan menjalankan suatu jabatan umum terus-menerus atau untuk sementara waktu,Yang dengan sengaja menggelapkan uang atau surat berharga yang disimpan karena jabatannya, atau membiarkan uang atau surat berharga itu diambil atau digelapkan oleh orang lain, atau menolong sebagai pembantu dalam melakukan perbuatan tersebut, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun. *)Selanjutnya Pasal-pasal dalam KUHP tersebut: Pasal 387 (1) Diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun seorang pemborong atau ahli bangunan atau penjual bahan-bahan bangunan, yang pada waktu membuat bangunan atau pada waktu menyerahkan bahan-bahan bangunan, melakukan sesuatu perhuatan curang yang dapat membahayakan amanan orang atau barang, atau keselamatan negara dalam keadaan perang. (2) Diancam dengan pidana yang sama, barang siapa yang bertugas mengawasi pemhangunan atau penyerahan barang-barang itu, sengaja membiarkan perbuatan yang curang itu. Pasal 388 (1) Barang siapa pada waktu menyerahkan barang keperluan Angkatan Laut atau Angkatan Darat melakukan perbuat.an curang yang dapat membahayakan kesempatan negara dalam keadaan perang diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun. (2) Diancam dengan pidana yang sama, barang siapa yang bertugas mengawasi penyerahan barang-barang itu, dengan sengaja membiarkan perbuatan yang curang itu. Pasal 416 Seorang pejabat atau orang lain yang diheri tugas menjalankan suatu jabatan umum terus-menerus atau untuk sementara waktu, yang sengaja membuat secara palsu atau memalsu buku buku-buku daftar-daftar yang khusus untuk pemeriksaan administrasi, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun.

32 | P a g e

Pasal 417 Seorang pejabat atau orang lain yang diberi tugas menjalankan suatu jabatan umum terus-menerus atau untuk sementara waktu yang sengaja menggelapkan,

menghancurkan. merusakkan atau membikin tak dapat dipakai barang-barang yang diperuntukkan guna meyakinkan atau membuktikan dimuka penguasa yang berwenang, akta-akta, surat-surat atau daftar-daftar yang dikuasai nya karena jabatannya, atau memhiarkan orang lain menghilangkan, menghancurkan,

merusakkan atau memhikin tak dapat di pakai barang-barang itu, atau menolong sebagai pembantu dalam melakukan perbuatan itu, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun enam bulan. Pasal 418 Seorang pejabat yang menerima hadiah atau janji padahal diketahui atau sepatutnya harus diduganya., hahwa hadiah atau janji itu diberikan karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya, atau yang menurut pikiran orang yang memberi hadiah atau janji itu ada hubungan dengan jabatannya diancam dengan pidana penjara paling lama enam tahun atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah. Pasal 419 Diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun seorang pejabat: 1. yang menerima hadiah atau janji padahal diketahuinya bahwa hadiah atau janji itu diberikan untuk menggerakkannya supaya melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya; 2. yang menerinia hadiah mengetahui bahwa hadiah itu diberikan sebagai akibat. Atau oleh karena si penerima telah melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya. Pasal 420 (1) Diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun: 1. seorang hakim yang menerima hadiah atau janji. padahal diketahui bahwa hadiah atau janji itu diberikan untuk mempengaruhi putusan perkara yang menjadi tugasnya; 2. barang siapa menurut ket.entuan undang-undang ditunjuk menjadi penasihat untuk menghadiri sidang pengadilan, menerima hadiah atau janji, padahal

33 | P a g e

diketahui bahwa hadiah atau janji itu diberikan untuk mempengaruhi nasihat tentang perkara yang harus diputus oleh pengadilan itu. (2) Jika hadiah atau janji itu diterima dengan sadar bahwa hadiah atau janji itu diberikan supaya dipidana dalam suatu perkara pidana, maka yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun. Pasal 421 Seorang pejabat yang menyalahgunakan kekuasaan memaksa seseorang untuk melakukan, tidak melakukan atau membiarkan sesuatu, diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan. Pasal 422 Seorang pejabat yang dalam suatu perkara pidana menggunakan barana paksaan, baik untuk memeras pengakuan, maupun untuk mendapatkan keterangan, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun. Pasal 423 Seorang pejabat dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan menyalahgunakan kekuasaannya, memaksa seseorang untuk memberikan sesuatu, untuk membayar atau menerima pembayaran dengan potongan, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri, diancam dengan pidana penjara paling lama enam tahun. Pasal 435 Seorang pejabat yang dengan langsung maupun tidak langsung sengaja turut serta dalam pemborongan, penyerahan atau persewaan, yang pada saat dilakukan perbuatan, untuk seluruh atau sebagian, dia ditugaskan mengurus atau

mengawasinya, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak delapan belas ribu rupiah.

D. Pengenaan Pidana berdasarkan Undang-Undang TIPIKOR( UU Tindak


Pidana Korupsi / UU No.31 Th 1999 diubah dengan UU No.20 Th 2001 )

1. barangsiapa dengan melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri


sendiri atau orang lain, atau suatu korporasi, yang secara langsung atau tidak langsung merugikan keuangan negara dan atau perekonomian negara, atau diketahui atau patut disangka olehnya bahwa perbuatan tersebut merugikan keuangan negara atau perekonomian negara; dipidana penjara dengan penjara

34 | P a g e

seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah) (Pasal 2 ayat 1 UU No.31/1999)

2. barang siapa dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau
suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan, yang secara langsung atau tidak langsung dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian Negara; dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah). (Pasal 3 UU No.31/1999)

3. Pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian negara tidak


menghapuskan dipidananya pelaku tindak pidana

Latihan Soal 1. Apa pengertian PENYIMPANGAN KEBIJAKAN, yang telah ditetapkan dalam undang-undang tentang APBN/Peraturan Daerah tentang APBD. Jelaskan bentuk dan jenis dari Penyimpangan Kebijakan tsb.disertai contoh. 2. Apa pengertian PENYIMPANGAN KEGIATAN ANGGARAN Jelaskan bentuk dan jenis dari Penyimpangan Kegiatan Anggaran tsb., disertai contoh. 3. Apa syarat seseorang dapat dipidana? 4. Bagaimana menarik seseorang untuk dapat dikenai sanksi pidana dengan dakwaan melakukan kegiatan penyimpangan anggaran?

35 | P a g e

BAB
KETENTUAN MENGENAI PIDANA, SANKSI ADMINISTRATIF DAN GANTI RUGI (2)

Tujuan Instruksional Khusus: Setelah mempelajari bab ini, mahasiswa diharapkan mengerti dan memahami menganai Pengertian Sanksi Administratif, Ketentuan mengenai Sanksi Administratif, Prosedur Pemeriksaan, Penjatuhan, dan Penyampaian Keputusan Hukuman, dan Ganti Rugi dan Tuntutan Ganti Rugi.

A. Pengertian Sanksi Administratif Hukuman yang dijatuhkan kepada Pegawai Negeri Sipil dan atau Calon Pegawai Negeri Sipil karena melanggar Peraturan perundangan, antara lain: 1. melakukan hal-hal yang dapat menurunkan kehormatan atau martabat Negara, Pemerintah, atau Pegawai Negeri Sipil; 2. menyalahgunakan wewenangnya; 3. tanpa izin Pemerintah menjadi Pegawai atau bekerja untuk negara asing; 4. menyalahgunakan barang-barang, uang atau surat-surat berharga milik negara; 5. memiliki, menjual, membeli, menggadaikan, menyewakan, atau meminjamkan barang-barang, dokumen, atau surat-surat berharga milik Negara secara tidak sah; 6. melakukan kegiatan bersama dengan atasan, teman sejawat, bawahan, atau orang lain di dalam maupun di luar lingkungan kerjanya dengan tujuan untuk keuntungan pribadi, golongan, atau pihak lain, yang secara langsung atau tidak langsung merugikan Negara; 7. melakukan tindakan yang bersifat negatif dengan maksud membalas dendam terhadapbawahannya atau orang lain di dalam maupun di luar lingkungan kerjanya; 8. menerima hadiah atau sesuatu pemberian berupa apa saja dari siapapun juga yang diketahui atau patut dapat diduga bahwa pemberian itu bersangkutan atau

36 | P a g e

mungkin bersangkutan dengan jabatan atau pekerjaan Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan; 9. memasuki tempat-tempat yang dapat mencemarkan kehormatan atau martabat Pegawai Negeri Sipil, kecuali untuk kepentingan jabatan; 10. bertindak sewenang-wenang terhadap bawahannya; 11. melakukan sesuatu tindakan atau sengaja tidak melakukan suatu tindakan yang dapat berakibat menghalangi atau mempersulit salah satu pihak yang dilayaninya sehingga mengakibatkan kerugian bagi pihak yang dilayani; 12. menghalangi berjalannya tugas kedinasan; 13. membocorkan dan atau memanfaatkan rahasia Negara yang diketahui karena kedudukan jabatan untuk kepentingan pribadi, golongan atau pihak lain; 14. bertindak selaku perantara bagi sesuatu pengusaha atau golongan untuk mendapatkan pekerjaan atau pesanan dari kantor/instansi Pemerintah; 15. memiliki saham/modal dalam perusahaan yang kegiatan usahanya berada dalam ruang lingkup kekuasaannya; 16. memiliki saham suatu perusahaan yang kegiatan usahanya tidak berada dalam ruang lingkup kekuasaannya tetapi yang jumlah dan sifat pemilikan itu sedemikian rupa sehingga melalui pemilikan saham tersebut dapat langsung atau tidak langsung menentukan penyelenggaraan atau jalannya perusahaan; 17. melakukan kegiatan usaha dagang baik secara resmi, maupun sambilan, menjadi direksi, pimpinan atau komisaris perusahaan swasta bagi yang berpangkat Pembina (golongan ruang IV/a) ke atas atau yang memangku jabatan eselon I; 18. melakukan pungutan tidak sah dalam bentuk apapun juga dalam melaksanakan tugasnya untuk kepentingan pribadi, golongan atau pihak lain; (Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 1980 Tentang Peraturan Disiplin Pegawai Negeri Sipil diubah dengan PP No.53 Th 2010) B. Ketentuan mengenai Sanksi Administratif Dengan tidak mengurangi ketentuan dalam peraturan perundangundangan pidana, Pegawai Negeri Sipil yang melakukan pelanggaran disiplin dijatuhi hukuman disiplin oleh pejabat yang berwenang menghukum.

37 | P a g e

1. Tingkat hukuman disiplin terdiri dari:

a. hukuman disiplin ringan; b. hukuman disiplin sedang; dan c. hukuman disiplin berat.
2. Jenis hukuman disiplin ringan terdiri dari: a. tegoran lisan; b. tegoran tertulis; dan c. pernyataan tidak puas secara tertulis. 3. Jenis hukuman disiplin sedang terdiri dari:

a. penundaan kenaikan gaji berkala untuk paling lama 1 (satu) tahun; b. penurunan gaji sebesar satu kali kenaikan gaji berkala untuk paling lama 1
(satu) tahun; dan

c. penundaan kenaikan pangkat untuk paling lama 1 (satu) tahun.


4. Jenis hukuman disiplin berat terdiri dari:

a. penurunan pangkat pada pangkat yang setingkat lebih rendah untuk paling
lama 1 (satu) tahun;

b. pembebasan dari jabatan; c. pemberhentian dengan hormat tidak atas permintaan sendiri sebagai
Pegawai Negeri Sipil; dan

d. pemberhentian tidak dengan hormat sebagai Pegawai Negeri Sipil.


C. Prosedur Pemeriksaan, Penjatuhan, dan Penyampaian Keputusan Hukuman 1. Sebelum menjatuhkan hukuman disiplin, pejabat yang berwenang menghukum wajib memeriksa lebih dahulu Pegawai Negeri Sipil yang disangka melakukan pelanggaran disiplin itu. 2. Pemeriksaan dilakukan:

a. secara

lisan,

apabila

atas

pertimbangan

pejabat

yang

berwenang

menghukum, pelanggaran disiplin yang dilakukan oleh Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan akan dapat mengakibatkan ia dijatuhi salah satu jenis hukuman disiplin, sebagaimana nomor B.3 diatas.

b. secara tertulis, apabila atas pertimbangan pejabat yang berwenang


menghukum, pelanggaran disiplin yang dilakukan oleh Pegawai Negeri Sipil

38 | P a g e

yang bersangkutan akan dapat mengakibatkan ia dijatuhi salah satu jenis hukuman disiplin, sebagaimana nomor B.4 diatas.

c. Pemeriksaan Pegawai Negeri Sipil yang disangka melakukan pelanggaran


disiplin, dilakukan secara tertutup. D. Pengertian Ganti Rugi dan Tuntutan Ganti Rugi berdasar UU No.1 /2004 Pasal 59: (1) Setiap kerugian negara/daerah yang disebabkan oleh tindakan melanggar hukum atau kelalaian seseorang harus segera diselesaikan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. (2) Bendahara, pegawai negeri bukan bendahara, atau pejabat lain yang karena perbuatannya melanggar hukum atau melalaikan kewajiban yang dibebankan kepadanya secara langsung merugikan keuangan negara, wajib mengganti kerugian tersebut. (3) Setiap pimpinan kementerian negara/lembaga/kepala satuan kerja perangkat daerah dapat segera melakukan tuntutan ganti rugi, setelah mengetahui bahwa dalam kementerian negara/lembaga/satuan kerja perangkat daerah yang bersangkutan terjadi kerugian akibat perbuatan dari pihak mana pun. E. Prosedur dan ketentuan Ganti Rugi (UU No. 5 Tahun 1986 tentang PTUN dan Peraturan Pelaksanaannya) Dalam sengketa Tata Usaha Negara, putusan Pengadilan yang mengabulkan permohonan tergugat yang berisi antara lain pencabutan atau pembatalan Keputusan TUN yang disengketakan, dan dalam hal segketa Kepegawaian ada juga pemberian Rehabilitasi dan Ganti Rugi, maka hal-hal mengenai Ganti Rugi diatur dalam: Pasal 120 (1) Salinan putusan Pengadilan yang berisi kewajiban membayar ganti rugi dikirimkan kepada penggugat dan tergugat dalam waktu tiga hari setelah putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. (2) Salinan putusan Pengadilan yang berisi kewajiban membayar ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dikirimkan pula oleh Pengadilan kepada Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang dibebani kewajiban membayar

39 | P a g e

ganti rugi tersebut dalam waktu tiga hari setelah putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. (3) Besarnya ganti rugi beserta tata cara pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 ayat (10) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. F. Prosedur dan ketentuan Tuntutan Ganti Rugi Pasal 60 (UU NO 1 Tahun 2004): (1) Setiap kerugian negara wajib dilaporkan oleh atasan langsung atau kepala kantor kepada menteri/pimpinan lembaga dan diberitahukan kepada Badan Pemeriksa Keuangan selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja setelah kerugian negara itu diketahui. (2) Segera setelah kerugian negara tersebut diketahui, kepada bendahara, pegawai negeri bukan bendahara, atau pejabat lain yang nyata-nyata melanggar hukum atau melalaikan kewajibannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (2) segera dimintakan surat pernyataan kesanggupan dan/atau pengakuan bahwa kerugian tersebut menjadi tanggung jawabnya dan bersedia mengganti kerugian negara dimaksud. (3) Jika surat keterangan tanggung jawab mutlak tidak mungkin diperoleh atau tidak dapat menjamin pengembalian kerugian negara, menteri/pimpinan lembaga yang bersangkutan segera mengeluarkan surat keputusan pembebanan penggantian kerugian sementara kepada yang bersangkutan.

Latihan Soal: 1. Mengapa pemeriksaan Pegawai Negeri Sipil yang disangka melakukan

pelanggaran disiplin, dilakukan secara tertutup. Jelaskan. 2. Mengapa pemeriksaan Pegawai Negeri Sipil yang berakibat akan mendapatkan Jenis hukuman disiplin berat harus dilakukan secara tertulis? Jelaskan dan uraikan bagaimana pelaksanaannya. 3. Adakah upaya Pegawai Negeri Sipil yang disangka melakukan pelanggaran disiplin untuk melakukan upaya pembelaan diri? Bandingkan upaya pembelaan diri tersebut bilamana Jenis hukuman disiplin berat telah dijatuhkan.

40 | P a g e

4. Pasal 60(1) Setiap kerugian negara wajib dilaporkan oleh atasan langsung atau kepala kantor kepada menteri/pimpinan lembaga dan diberitahukan kepada Badan Pemeriksa Keuangan selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja setelah kerugian negara itu diketahui. Ceriterakan dengan mengambil contoh kasus, sehingga pasal diatas menjadi jelas dalam pelaksanaannya. 5. Bandingkan dan telaah pasal tentang TGR antara paket UU Keuangan dengan ICW.

Referensi untuk Ganti Rugi dapat dipelajari pada: 1. UU No. 15 Tahun 2006 dan penggantinya tentang BPK 2. Peraturan BPK Nomor 1 Tahun 2007 3. Peraturan BPK Nomor 3 Tahun 2007 4. RPP tentang TGR (Rancangan Peraturan Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia Tentang Tata Cara Penyelesaian Ganti Kerugian Negara/Daerah Terhadap Bendahara)

41 | P a g e

BAB
PENGELOLAAN KEUANGAN BADAN LAYANAN UMUM

Tujuan Instruksional Khusus: Setelah mempelajari bab ini, mahasiswa diharapkan mengetahui dan memahami mengenai pengertian Badan Layanan Umum, tujuan dan asas, persyaratan, penetapan, dan pencabutan status blu, standar dan tarif layanan, pengelolaan keuangan blu, tata kelola, dan pembinaan dan pengawasan.

Dasar Hukum: UU NO.1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, Pasal 68 dan 69: Pasal 68 (1) Badan Layanan Umum dibentuk untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa. (2) Kekayaan Badan Layanan Umum merupakan kekayaan negara/daerah yang tidak dipisahkan serta dikelola dan dimanfaatkan sepenuhnya untuk

menyelenggarakan kegiatan Badan Layanan Umum yang bersangkutan (3) Pembinaan keuangan Badan Layanan Umum pemerintah pusat dilakukan oleh Menteri Keuangan dan pembinaan teknis dilakukan oleh menteri yang bertanggung jawab atas bidang pemerintahan yang bersangkutan. (4) Pembinaan keuangan Badan Layanan Umum pemerintah daerah dilakukan oleh pejabat pengelola keuangan daerah dan pembinaan teknis dilakukan oleh kepala satuan kerja Pasal 69 (1) Setiap Badan Layanan Umum wajib menyusun rencana kerja dan anggaran tahunan. perangkat daerah yang bertanggung jawab atas bidang

pemerintahan yang bersangkutan.

42 | P a g e

(2) Rencana kerja dan anggaran serta laporan keuangan dan kinerja Badan Layanan Umum disusun dan disajikan sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari rencana kerja dan anggaran serta laporan keuangan dan kinerja Kementerian Negara/Lembaga/pemerintah daerah. (3) Pendapatan dan belanja Badan Layanan Umum dalam rencana kerja dan anggaran tahunan sebagaimana dimaksud pada nomor (1) dan nomor (2) dikonsolidasikan dalam rencana kerja dan anggaran Kementerian

Negara/Lembaga/pemerintah daerah yang bersangkutan. (4) Pendapatan yang diperoleh Badan Layanan Umum sehubungan dengan jasa layanan yang diberikan merupakan Pendapatan Negara/Daerah. (5) Badan Layanan Umum dapat memperoleh hibah atau sumbangan dari masyarakat atau badan lain. (6) Pendapatan sebagaimana dimaksud pada nomor (4) dan nomor (5) dapat digunakan langsung untuk membiayai belanja Badan Layanan Umum yang bersangkutan. (7) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengelolaan keuangan Badan Layanan Umum diatur dalam peraturan pemerintah. A. Pengertian BADAN LAYANAN UMUM 1. Badan Layanan Umum, yang selanjutnya disebut BLU, adalah instansi di lingkungan Pemerintah yang dibentuk untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang dijual tanpa mengutamakan mencari keuntungan dan dalam melakukan kegiatannya didasarkan pada prinsip efisiensi dan produktivitas. 2. Pola Pengelolaan Keuangan <PPK> Badan Layanan Umum, yang selanjutnya disebut PPK-BLU, adalah pola pengelolaan keuangan yang memberikan fleksibilitas berupa keleluasaan untuk menerapkan praktek-praktek bisnis yang sehat untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa, sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 23 Tahun 2005, sebagai pengecualian dari ketentuan pengelolaan keuangan negara pada umumnya.

43 | P a g e

3. Rencana Bisnis dan Anggaran BLU, yang selanjutnya disebut RBA, adalah dokumen perencanaan bisnis dan penganggaran yang berisi program, kegiatan, target kinerja, dan anggaran suatu BLU. 4. Standar Pelayanan Minimum adalah spesifikasi teknis tentang tolok ukur layananminimum yang diberikan oleh BLU kepada masyarakat. 5. Praktek bisnis yang sehatadalah penyelenggaraan fungsi organisasi

berdasarkan kaidah-kaidah manajemen yang baik dalam rangka pemberian layanan yang bermutu dan berkesinambungan. B. Tujuan Dan Asas Tujuan: BLU bertujuan untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa dengan memberikan fleksibilitas dalam pengelolaan keuangan berdasarkan prinsip ekonomi dan produktivitas, dan penerapan praktek bisnis yang sehat. Asas: 1. BLU beroperasi sebagai unit kerja kementerian negara/lembaga/pemerintah daerah untuk tujuan pemberian layanan umum yang pengelolaannya

berdasarkan kewenangan yang didelegasikan oleh instansi induk yang bersangkutan. 2. BLU merupakan bagian perangkat pencapaian tujuan kementerian

negara/lembaga/pemerintah daerah dan karenanya status hukum BLU tidak terpisah dari kementerian negara/lembaga/pemerintah daerah sebagai instansi induk. 3. Menteri/pimpinan lembaga/gubernur/bupati/walikota bertanggung jawab atas pelaksanaan kebijakan penyelenggaraan pelayanan umum yang

didelegasikannya kepada BLU dari segi manfaat layanan yang dihasilkan. 4. Pejabat yang ditunjuk mengelola BLU bertanggung jawab atas pelaksanaan kegiatan pemberian layanan umum yang didelegasikan kepadanya oleh menteri/pimpinan lembaga/gubernur/bupati/ walikota. 5. BLU menyelenggarakan kegiatannya tanpa mengutamakan pencarian

keuntungan.

44 | P a g e

6. Rencana kerja dan anggaran(RKA-BLU) serta laporan keuangan dan kinerja BLU (LKK-BLU) disusun dan disajikan sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari rencana kerja dan anggaran (RKA-KLPD) serta laporan keuangan dan kinerja (LKK-KLPD) kementerian negara/lembaga/SKPD/pemerintah daerah. 7. BLU mengelola penyelenggaraan layanan umum sejalan dengan praktek bisnis yang sehat. C. PERSYARATAN, PENETAPAN, DAN PENCABUTAN STATUS BLU 1. Persyaratan: (1) Suatu satuan kerja instansi pemerintah dapat diizinkan mengelola keuangan dengan PPK-BLU apabila memenuhi persyaratan: substantif, teknis, dan administratif. (2) Persyaratan substantif sebagaimana dimaksud pada nomor (1) terpenuhi apabila instansi pemerintah yang bersangkutan menyelenggarakan layanan umum yang berhubungan dengan: Penyediaan barang dan/atau jasa layanan umum; Pengelolaan wilayah/kawasan tertentu untuk tujuan meningkatkan perekonomian masyarakat atau layanan umum; dan/atau Pengelolaan dana khusus dalam rangka meningkatkan ekonomi dan/atau pelayanan kepada masyarakat. (3) Persyaratan teknis sebagaimana dimaksud pada nomor (1) terpenuhi apabila: kinerja pelayanan di bidang tugas pokok dan fungsi(TUPOKSI)nyalayak dikelola dan ditingkatkan pencapaiannya melalui BLU sebagaimana direkomendasikan oleh menteri/pimpinan lembaga/kepala SKPD sesuai dengan kewenangannya; dan kinerja keuangan satuan kerja instansi yang bersangkutan adalah sehat sebagaimana ditunjukkan dalam dokumen usulan penetapan BLU. (4) Persyaratan administratif sebagaimana dimaksud pada nomor (1) terpenuhi apabila instansi pemerintah yang bersangkutan dapat menyajikan seluruh dokumen berikut: pernyataan kesanggupan untuk meningkatkan kinerja pelayanan,

keuangan, dan manfaat bagi masyarakat; pola tata kelola;

45 | P a g e

rencana strategis bisnis; laporan keuangan pokok; standar pelayanan minimum; dan laporan audit terakhir atau pernyataan bersedia untuk diaudit secara independen.

(5) Dokumen sebagaimana dimaksud pada nomor (4) disampaikan oleh unit instansi berkenaan kepada menteri/pimpinan lembaga/kepala SKPD untuk mendapatkan persetujuan (rekomendasi) sebelum disampaikan kepada Menteri Keuangan/Gubernur /Bupati /Walikota, sesuai dengan

kewenangannya. (6) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan administratif sebagaimana dimaksud pada nomor (4) diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan /gubernur /bupati /walikota sesuai dengan kewenangannya. (Lihat:Peraturan Menteri Keuangan Nomor 07/PMK.02/2006) 2. Penetapan: (1) Menteri/pimpinan lembaga/kepala SKPD mengusulkan instansi pemerintah yang memenuhi persyaratan substantif, teknis, dan administratif untuk menerapkan PPK-BLU kepada Menteri Keuangan/gubernur/bupati/walikota, sesuai dengan kewenangannya. (2) Menteri Keuangan/gubernur/bupati/walikota menetapkan instansi pemerintah yang telah memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada nomor (1) untuk menerapkan PPK-BLU. (3) Penetapan sebagaimana dimaksud pada nomor (2) dapat berupa pemberian status BLU secara penuh atau status BLU bertahap. (4) Status BLU secara penuh pada diberikan nomor apabila (3.1.) seluruh persyaratan dengan

sebagaimana memuaskan.

dimaksud

telah

dipenuhi

(5) Status BLU-Bertahap diberikan apabila persyaratan substantif dan teknis sebagaimana dimaksud dalam (3.1.) ketentuan Persyaratan nomor (2) dan nomor (3) telah terpenuhi, namun persyaratan administratif sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Persyaratan nomor (4) belum terpenuhi secara memuaskan.

46 | P a g e

(6) Status BLU-Bertahap sebagaimana dimaksud pada nomor (3) berlaku paling lama 3 (tiga) tahun. (7) Menteri Keuangan/gubernur/bupati/walikota, sesuai dengan kewenangannya, memberi keputusan penetapan atau surat penolakan terhadap usulan penetapan BLU paling lambat 3 (tiga) bulan sejak diterima dari

menteri/pimpinan lembaga/kepala SKPD. 3. Pencabutan: (1) Penerapan PPK-BLU berakhir apabila: a) dicabut oleh Menteri Keuangan/gubernur/bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya; b) dicabut oleh Menteri Keuangan/gubernur/bupati/walikota berdasarkan usul dari menteri/pimpinan lembaga/kepala SKPD, sesuai dengan kewenangannya; atau c) berubah statusnya menjadi badan hukum dengan kekayaan negara yang dipisahkan. (2) Pencabutan penerapan PPK-BLU sebagaimana dimaksud pada nomor (1) huruf a dan huruf b dilakukan apabila BLU yang bersangkutan sudah tidak memenuhi persyaratan substantif, teknis, dan/atau administratif sebagaimana ditentukan dalam ketentuan 3.1.Persyaratan. (3) Pencabutan status sebagaimana dimaksud pada nomor (1) huruf c dilakukan berdasarkan penetapan ketentuan peraturan perundang-undangan. (4) Menteri Keuangan/gubernur/bupati/walikota, sesuai dengan kewenangannya, membuat penetapan pencabutan penerapan PPK-BLU atau penolakannya paling lambat 3 (tiga) bulan sejak tanggal usul pencabutan sebagaimana dimaksud pada nomor (1) huruf b diterima. (5) Dalam hal jangka waktu 3 (tiga) bulan sebagaimana dimaksud pada nomor (4) terlampaui, usul pencabutan dianggap ditolak. (6) Instansi pemerintah yang pernah dicabut dari status PPK-BLU dapat diusulkan kembali untuk menerapkan PPK-BLU sesuai dengan ketentuan dalam ketentuan 3.1.Persyaratan.

47 | P a g e

D. STANDAR DAN TARIF LAYANAN 1. Standar Layanan: (1) Instansi pemerintah yang menerapkan PPK-BLU menggunakan standar pelayanan minimum yang ditetapkan oleh menteri /pimpinan lembara /gubernur/ bupati/ walikota sesuai dengan kewenangannya. (2) Standar pelayanan minimum sebagaimana dimaksud pada nomor (1) dapat diusulkan oleh instansi pemerintah yang menerapkan PPK-BLU. (3) Standar pelayanan minimum sebagaimana dimaksud pada nomor (1) dan nomor (2) harus mempertimbangkan kualitas layanan, pemerataan dan kesetaraan layanan, biaya serta kemudahan untuk mendapatkan layanan. 2. Tarif Layanan: (1) BLU dapat memungut biaya kepada masyarakat sebagai imbalan atas barang/jasa layanan yang diberikan. (2) Imbalan atas barang/jasa layanan yang diberikan sebagaimana dimaksud pada nomor (1) ditetapkan dalam bentuk tarif yang disusun atas dasar perhitungan biaya per unit layanan atau hasil per investasi dana. (3) Tarif layanan sebagaimana dimaksud pada nomor (2) diusulkan oleh BLU kepada menteri/pimpinan lembaga/kepala SKPD sesuai dengan

kewenangannya. (4) Usul tarif layanan dari menteri/pimpinan lembaga/kepala SKPD sebagaimana dimaksud pada nomor (3) selanjutnya ditetapkan oleh Menteri

Keuangan/gubernur/bupati/walikota, sesuai dengan kewenangannya. (5) Tarif layanan sebagaimana dimaksud pada nomor (3) dan nomor (4) harus mempertimbangkan: kontinuitas dan pengembangan layanan daya beli masyarakat; asas keadilan dan kepatutan; dan kompetisi yang sehat.

48 | P a g e

E. PENGELOLAAN KEUANGAN BLU 1. Perencanaan dan Penganggaran a. Perencanaan (1) BLU menyusun rencana strategis bisnis lima tahunan dengan mengacu kepada Rencana Strategis Kementerian Negara/Lembaga (Renstra-KL) atau Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD). (2) BLU menyusun RBA tahunan dengan mengacu kepada rencana strategis bisnis sebagaimana dimaksud pada nomor (1). (3) RBA sebagaimana dimaksud pada nomor (2) disusun berdasarkan basis kinerja dan perhitungan akuntansi biaya menurut jenis layanannya. (4) RBA BLU disusun berdasarkan kebutuhan dan kemampuan pendapatan yang diperkirakan akan diterima dari masyarakat, badan lain, dan APBN/APBD. b. Penganggaran (1) BLU mengajukan RBA kepada menteri/pimpinan lembaga/kepala SKPD untuk dibahas sebagai bagian dari RKA-KL, rencana kerja dan anggaran SKPD, atau Rancangan APBD. (2) RBA sebagaimana dimaksud pada nomor (1) disertai dengan usulan standar pelayanan minimum dan biaya dari keluaran yang akan dihasilkan. (3) RBA BLU yang telah disetujui oleh menteri/pimpinan lembaga/kepala SKPD diajukan kepada Menteri Keuangan/PPKD, sesuai dengan kewenangannya, sebagai bagian RKA-KL, rencana kerja dan anggaran SKPD, atau Rancangan APBD. (4) Menteri Keuangan/PPKD, sesuai dengan kewenangannya, mengkaji kembali standar biaya dan anggaran BLU dalam rangka pemrosesan RKA-KL, rencana kerja dan anggaran SKPD, atau Rancangan APBD sebagai bagian dari mekanisme pengajuan dan penetapan APBN/APBD. (5) BLU menggunakan APBN/APBD yang telah ditetapkan sebagai dasar penyesuaian terhadap RBA menjadi RBA definitif. 2. Dokumen Pelaksanaan Anggaran BLU (DIPA/DPA) (1) RBA BLU sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 nomor (5) PP No.23 Tahun 2005 digunakan sebagai acuan dalam menyusun dokumen

49 | P a g e

pelaksanaan

anggaran

BLU

untuk

diajukan

kepada

Menteri

Keuangan/PPKD sesuai dengan kewenangannya. (2) Dokumen pelaksanaan anggaran BLU sebagaimana dimaksud pada nomor (1) paling sedikit mencakup seluruh pendapatan dan belanja,

proyeksi arus kas, serta jumlah dan kualitas jasa dan/atau barang yang akan dihasilkan oleh BLU. (3) Menteri Keuangan/PPKD, sesuai dengan kewenangannya, mengesahkan dokumen pelaksanaan anggaran BLU paling lambat tanggal 31 Desember menjelang awal tahun anggaran. (4) Dalam hal dokumen pelaksanaan anggaran sebagaimana dimaksud pada nomor (3) belum disahkan oleh Menteri Keuangan/PPKD, sesuai dengan kewenangannya, BLU dapat melakukan pengeluaran paling tinggi sebesar angka dokumen pelaksanaan anggaran tahun lalu. (5) Dokumen pelaksanaan anggaran yang telah disahkan oleh Menteri Keuangan/PPKD sebagaimana dimaksud pada nomor (3) menjadi lampiran dari perjanjian kinerja (semacam Petunjuk Operasional/POBLU) yang ditandatangani sesuai oleh dengan menteri/pimpinan kewenangannya,

lembara/gubernur/bupati/walikota,

dengan pimpinan BLU yang bersangkutan. (6) Dokumen pelaksanaan anggaran yang telah disahkan oleh Menteri Keuangan/PPKD, sesuai dengan kewenangannya, sebagaimana

dimaksud pada nomor (3) menjadi dasar bagi penarikan dana yang bersumber dari APBN/APBD oleh BLU. (7) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyusunan, pengajuan, penetapan, perubahan RBA dan dokumen pelaksanaan anggaran BLU diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan/gubernur/bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya. 3. Pendapatan dan Belanja 1) Pendapatan (1) Penerimaan anggaran yang bersumber dari APBN/APBD diberlakukan sebagai pendapatan BLU.

50 | P a g e

(2) Pendapatan yang diperoleh dari jasa layanan yang diberikan kepada masyarakat dan hibah tidak terikat yang diperoleh dari masyarakat atau badan lain merupakan pendapatan operasional BLU. (3) Hibah terikat yang diperoleh dari masyarakat atau badan lain merupakan pendapatan yang harus diperlakukan sesuai dengan peruntukan. (4) Hasil kerjasama BLU dengan pihak lain dan/atau hasil usaha lainnya merupakan pendapatan bagi BLU. (5) Pendapatan sebagaimana dimaksud pada nomor (1), nomor (2), dan nomor (4) dapat dikelola langsung untuk membiayai belanja BLU sesuai RBA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 PP No. 23 Tahun 2005. (6) Pendapatan sebagaimana dimaksud pada nomor (2), nomor (3), dan nomor (4) dilaporkansebagai pendapatan negara bukan pajak(PNBP) kementerian/lembaga atau pendapatan bukan pajak pemerintah daerah. 2) Belanja (1) Belanja BLU terdiri dari unsur biaya yang sesuai dengan struktur biaya yang dituangkan dalam RBA definitif. (2) Pengelolaan belanja BLU diselenggarakan secara fleksibel berdasarkan kesetaraan antara volume kegiatan pelayanan dengan jumlah

pengeluaran, mengikuti praktek bisnis yang sehat. (3) Fleksibilitas pengelolaan belanja sebagaimana dimaksud pada nomor (2) berlaku dalam ambang batas sesuai dengan yang ditetapkan dalam RBA. (4) Belanja BLU yang melampaui ambang batas fleksibilitas sebagaimana dimaksud pada nomor (3) harus mendapat persetujuan Menteri Keuangan /gubernur /bupati/ walikota atas usulan menteri/pimpinan lembaga/kepala SKPD, sesuai dengan kewenangannya. (5) Dalam hal terjadi kekurangan anggaran, BLU dapat mengajukan usulan tambahan anggaran dari APBN/APBD kepada Menteri Keuangan/PPKD melalui menteri/pimpinan lembaga/kepala SKPD sesuai dengan

kewenangannya. (6) Belanja BLU dilaporkan sebagai belanja barang dan jasa kementerian negara/lembaga/SKPD/pemerintah daerah.

51 | P a g e

4. Pengelolaan Kas 1) Dalam rangka pengelolaan kas, BLU menyelenggarakan hal-hal sebagai berikut: a) merencanakan penerimaan dan pengeluaran kas; b) melakukan pemungutan pendapatan atau tagihan c) menyimpan kas dan mengelola rekening bank; d) melakukan pembayaran; e) mendapatkan sumber dana untuk menutup defisit jangka pendek; dan f) memanfaatkan surplus kas jangka pendek untuk memperoleh pendapatan tambahan. 2) Pengelolaan kas BLU dilaksanakan berdasarkan praktek bisnis yang sehat. 3) Penarikan dana yang bersumber dari APBN/APBD dilakukan dengan menerbitkan Surat Perintah Membayar (SPM) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 4) Rekening bank sebagaimana dimaksud pada nomor 1) huruf c dibuka oleh pimpinan BLU pada bank umum. 5) Pemanfaatan surplus kas sebagaimana dimaksud pada nomor (1) huruf f dilakukan sebagai investasi jangka pendek pada instrumen keuangan dengan risiko rendah. 5. Pengelolaan Piutang dan Utang 1) Pengelolaan Piutang (1) BLU dapat memberikan piutang sehubungan dengan penyerahan barang, jasa, dan/atau transaksi lainnya yang berhubungan langsung atau tidak langsung dengan kegiatan BLU. (2) Piutang BLU dikelola dan diselesaikan secara tertib, efisien, ekonomis, transparan, dan bertanggung jawab serta dapat memberikan nilai tambah, sesuai dengan praktek bisnis yang sehat dan berdasarkan ketentuan peraturan perundangundangan. (3) Piutang BLU dapat dihapus secara mutlak atau bersyarat oleh pejabat yang berwenang, yang nilainya ditetapkan secara berjenjang. (4) Kewenangan penghapusan piutang secara berjenjang sebagaimana dimaksud pada nomor (3) ditetapkan dengan Peraturan Menteri

52 | P a g e

Keuangan/gubernur/bupati/walikota,

sesuai

dengan

kewenangannya,

dengan memperhatikan ketentuan peraturan perundang-undangan. 2) Pengelolaan Utang (1) BLU dapat memiliki utang sehubungan dengan kegiatan operasional dan/atau perikatan peminjaman dengan pihak lain. (2) Utang BLU dikelola dan diselesaikan secara tertib, efisien, ekonomis, transparan, dan bertanggung jawab, sesuai dengan praktek bisnis yang sehat. (3) Pemanfaatan utang yang berasal dari perikatan peminjaman jangka pendek ditujukan hanya untuk belanja operasional. (4) Pemanfaatan utang yang berasal dari perikatan peminjaman jangka panjang ditujukan hanya untuk belanja modal. (5) Perikatan peminjaman dilakukan oleh pejabat yang berwenang secara berjenjang berdasarkan nilai pinjaman. (6) Kewenangan peminjaman sebagaimana dimaksud pada nomor (5) diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan/gubernur/bupati/walikota. (7) Pembayaran kembali utang sebagaimana dimaksud pada nomor (1) merupakan tanggung jawab BLU. (8) Hak tagih atas utang BLU menjadi kadaluarsa setelah 5 (lima) tahun sejak utang tersebut jatuh tempo, kecuali ditetapkan lain oleh undangundang. 6. Investasi (1) BLU tidak dapat melakukan investasi jangka panjang, kecuali atas persetujuan Menteri Keuangan/gubernur/bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya. (2) Keuntungan yang diperoleh dari investasi jangka panjang merupakan pendapatan BLU. 7. Pengelolaan Barang a. Pengadaan (1) Pengadaan barang/jasa oleh BLU dilakukan berdasarkan prinsip efisiensi dan ekonomis, sesuai dengan praktek bisnis yang sehat.

53 | P a g e

(2) Kewenangan pengadaaan barang/jasa sebagaimana dimaksud pada nomor (1) diselenggarakan berdasarkan jenjang nilai yang diatur dalam Peraturan MenteriKeuangan/gubernur/bupati/walikota. b. Pengelolaan (1) Barang inventaris milik BLU dapat dialihkan kepada pihak lain dan/atau dihapuskan berdasarkan pertimbangan ekonomis. (2) Pengalihan kepada pihak lain sebagaimana dimaksud pada nomor (1) dilakukan dengan cara dijual, dipertukarkan, atau dihibahkan. (3) Penerimaan hasil penjualan barang inventaris sebagai akibat dari pengalihan sebagaimana dimaksud pada nomor (2) merupakan

pendapatan BLU. (4) Pengalihan dan/atau penghapusan barang inventaris sebagaimana dimaksud pada nomor (1), nomor (2), dan nomor (3) dilaporkan kepada menteri/ pimpinan lembaga/kepala SKPD terkait. (5) BLU tidak dapat mengalihkan dan/atau menghapus aset tetap, kecuali atas persetujuan pejabat yang berwenang. (6) Kewenangan pengalihan dan/atau penghapusan aset tetap sebagaimana dimaksud pada nomor (1) diselenggarakan berdasarkan jenjang nilai dan jenis barang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (7) Penerimaan hasil penjualan aset tetap sebagai akibat dari pengalihan sebagaimana dimaksud pada nomor (2) merupakan pendapatan BLU. (8) Pengalihan dan/atau penghapusan aset tetap sebagaimana dimaksud pada nomor (2) dan nomor (3) dilaporkan kepada mnteri/pimpinan lembaga/kepala SKPD terkait. (9) Penggunaan aset tetap untuk kegiatan yang tidak terkait langsung dengan tugas pokok dan fungsi BLU harus mendapat persetujuan pejabat yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan. (10) Tanah dan bangunan BLU disertifikatkan atas nama Pemerintah Republik Indonesia/pemerintah daerah yang bersangkutan. (11) Tanah dan bangunan yang tidak digunakan BLU untuk penyelenggaraan tugas pokok dan fungsinya dapat dialihgunakan oleh menteri/pimpinan

54 | P a g e

lembaga/kepala SKPD terkait dengan persetujuan Menteri Keuangan /gubernur/bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya. 8. Penyelesaian Kerugian Setiap kerugian negara/daerah pada BLU yang disebabkan oleh tindakan melanggar hukum atau kelalaian seseorang diselesaikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai penyelesaian kerugian negara/daerah. 9. Akuntansi, Pelaporan, dan Pertanggungjawaban Keuangan a. Sistem Informasi BLU menerapkan sistem informasi manajemen keuangan sesuai dengan kebutuhan dan praktek bisnis yang sehat. b. Sistem Akuntansi (1) Setiap transaksi keuangan BLU harus diakuntansikan dan dokumen pendukungnya dikelola secara tertib. (2) Akuntansi dan laporan keuangan BLU diselenggarakan sesuai dengan Standar Akuntansi Keuangan Pemerintah yang diterbitkan oleh Asosiasi profesi akuntansi Indonesia. (3) Dalam hal tidak terdapat standar akuntansi sebagaimana dimaksud pada nomor (2), BLU dapat menerapkan standar akuntansi industri yang spesifik setelah mendapat persetujuan Menteri Keuangan. (4) BLU mengembangkan dan menerapkan sistem akuntansi dengan mengacu pada standar akuntansi yang berlaku sesuai dengan jenis layanannya dan ditetapkan sesuai oleh dengan

menteri/pimpinanlembara/gubernur/bupati/walikota kewenangannya. c. Pelaporan

(1) Laporan keuangan BLU sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 nomor (2) PP No. 23 Tahun 2005, setidak-tidaknya meliputi laporan realisasi anggaran/laporan operasional, neraca, laporan arus kas, dan catatan atas laporan keuangan, disertai laporan mengenai kinerja. (2) Laporan keuangan unit-unit usaha yang diselenggarakan oleh BLU dikonsolidasikan dalam laporan keuangan sebagaimana dimaksud pada nomor (1).

55 | P a g e

(3) Lembar muka laporan keuangan unit-unit usaha sebagaimana dimaksud pada nomor (2) dimuat sebagai lampiran laporan keuangan BLU. (4) Laporan keuangan BLU sebagaimana dimaksud pada nomor (1) disampaikan secara berkala kepada menteri/pimpinan

lembaga/gubernur/bupati/walikota, sesuai dengan kewenangannya, untuk dikonsolidasikan dengan laporan keuangan kementerian

negara/lembaga/SKPD/pemerintah daerah. (5) Laporan keuangan sebagaimana dimaksud pada nomor (1) disampaikan kepada menteri/pimpinan lembaga/kepala SKPD serta kepada Menteri Keuangan/gubernur/bupati/walikota, sesuai dengan kewenangannya,

paling lambat 1 (satu) bulan setelah periode pelaporan berakhir. (6) Laporan keuangan BLU merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari laporan pertanggungjawaban keuangan kementerian

negara/lembaga/SKPD/pemerintah daerah. (7) Penggabungan laporan keuangan BLU pada laporan keuangan

kementerian negara/lembaga/SKPD/pemerintah daerah dilakukan sesuai dengan Standar Akuntansi Pemerintahan. (8) Laporan pertanggungjawaban keuangan BLU diaudit oleh pemeriksa ekstern sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 10. Akuntabilitas Kinerja (1) Pimpinan BLU bertanggungjawab terhadap kinerja operasional BLU sesuai dengan tolok ukur yang ditetapkan dalam RBA. (2) Pimpinan BLU mengihktisarkan dan melaporkan kinerja operasional BLU secara terintegrasi dengan laporan keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 nomor (1)PP Nomor 23 Tahun 2005. 11. Surplus dan Defisit a. Surplus Surplus anggaran BLU dapat digunakan dalam tahun anggaran berikutnya kecuali atas perintah Menteri Keuangan/gubernur/bupati/walikota, sesuai dengan kewenangannya, disetorkan sebagian atau seluruhnya ke Kas Umum Negara/Daerah dengan mempertimbangkan posisi likuiditas BLU.

56 | P a g e

b. Defisit (1) Defisit anggaran BLU dapat diajukan pembiayaannya dalam tahun anggaran berikutnya kepada Menteri Keuangan/PPKD sesuai melalui dengan

menteri/pimpinan kewenangannya. (2) Menteri

lembaga/kepala

SKPD,

Keuangan/PPKD,

sesuai

dengan

kewenangannya

dapat

mengajukan anggaran untuk menutup defisit pelaksanaan anggaran BLU dalam APBN/APBD tahun anggaran berikutnya. F. Tata Kelola, Pembinaan Dan Pengawasan 1. Kelembagaan, Pejabat Pengelola, dan Kepegawaian a. Kelembagaan Dalam hal instansi pemerintah perlu mengubah status kelembagaannya untuk menerapkan PPK-BLU, perubahan struktur kelembagaan dari instansi pemerintah tersebut berpedoman pada ketentuan yang ditetapkan oleh menteri yang bertanggung jawab di bidang pendayagunaan aparatur negara. b. Pejabat Pengelola (1) Pejabat pengelola BLU terdiri atas: a) Pemimpin; b) Pejabat keuangan; dan c) Pejabat teknis. (2) Pemimpin sebagaimana dimaksud pada nomor (1) huruf a berfungsi sebagai penanggung jawab umum operasional dan keuangan BLU yang berkewajiban: a) menyiapkan rencana strategis bisnis BLU; b) menyiapkan RBA tahunan; c) mengusulkan calon pejabat keuangan dan pejabat teknis sesuai dengan ketentuan yang berlaku; dan d) menyampaikan keuangan BLU. (3) Pejabat keuangan BLU sebagaimana dimaksud pada nomor (1) huruf b) berfungsi sebagai penanggung jawab keuangan yang berkewajiban: pertanggungjawaban kinerja operasional dan

57 | P a g e

a) mengkoordinasikan penyusunan RBA; b) menyiapkan dokumen pelaksanaan anggaran BLU; c) melakukan pengelolaan pendapatan dan belanja; d) menyelenggarakan pengelolaan kas; e) melakukan pengelolaan utang-piutang; f) menyusun kebijakan pengelolaan barang, aset tetap, dan investasi BLU; g) menyelenggarakan sistem informasi manajemen keuangan; dan h) menyelenggarakan akuntansi dan penyusunan laporan keuangan. (4) Pejabat teknis BLU sebagaimana dimaksud pada nomor (1) huruf c) berfungsi sebagai penanggung jawab teknis di bidang masing-masing yang berkewajiban: a) menyusun perencanaan kegiatan teknis di bidangnya; b) melaksanakan kegiatan teknis sesuai menurut RBA; dan c) mempertanggungjawabkan kinerja operasional di bidangnya. c. Kepegawaian (1) Pejabat pengelola BLU dan pegawai BLU dapat terdiri dari pegawai negeri sipil dan/atau tenaga profesional non pegawai negeri sipil sesuai dengan kebutuhan BLU. (2) Syarat pengangkatan dan pemberhentian pejabat pengelola dan pegawai BLU yang berasal dari pegawai negeri sipil sebagaimana dimaksud pada nomor (1) disesuaikan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kepegawaian. 2. Pembinaan dan Pengawasan 1) Pembinaan teknis BLU dilakukan oleh menteri/pimpinan lembaga/kepala SKPD terkait. 2) Pembinaan keuangan BLU dilakukan oleh Menteri Keuangan/PPKD sesuai dengan kewenangannya. 3) Dalam pelaksanaan pembinaan sebagaimana dimaksud pada nomor (1) dan nomor (2) dapat dibentuk dewan pengawas. 4) Pembentukan dewan pengawas sebagaimana dimaksud pada nomor (3) berlaku hanya pada BLU yang memiliki realisasi nilai omzet tahunan menurut

58 | P a g e

laporan realisasi anggaran atau nilai aset menurut neraca yang memenuhi syarat minimum yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan. 5) Dewan pengawas BLU di lingkungan pemerintah pusat dibentuk dengan keputusan menteri/pimpinan lembaga atas persetujuan Menteri Keuangan. 6) Dewan pengawas BLU di lingkungan pemerintah daerah dibentuk dengan keputusan gubernur/bupati/walikota atas usulan kepala SKPD. 3. Pemeriksaan 1) Pemeriksaan intern BLU dilaksanakan oleh satuan pemeriksaan intern yang merupakan unit kerja yang berkedudukan langsung di bawah pemimpin BLU. 2) Pemeriksaan ekstern terhadap BLU dilaksanakan oleh pemeriksa ekstern sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 4. Remunerasi 1) Pejabat pengelola, dewan pengawas, dan pegawai BLU dapat diberikan remunerasi berdasarkan tingkat tanggung jawab dan tuntutan

profesionalisme yang diperlukan. 2) Remunerasi sebagaimana dimaksud pada nomor 1) ditetapkan berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan/gubernur/bupati/walikota atas usulan

menteri/pimpinan lembaga/kepala SKPD, sesuai dengan kewenangannya. 5. Ketentuan Lain (1) Investasi yang telah dimiliki atau dilakukan oleh instansi pemerintah pada badan usaha dan/atau badan hukum sebelum ditetapkan menjadi PPK-BLU dianggap telah mendapat persetujuan sesuai investasi dengan dari Menteri

Keuangan/gubernur/bupati/walikota,

kewenangannya,

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) PP No. 23 Tahun 2005 pada saat instansi pemerintah dimaksud ditetapkan menjadi PPK-BLU. (2) Dengan Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2005, status Badan Usaha Milik Negara yang berbentuk perusahaan jawatan (Perjan) beralih menjadi instansi pemerintah yang menerapkan PPK-BLU. 6. Ketentuan Peralihan (1) Perguruan tinggi berstatus Badan Hukum Milik Negara dengan kekayaan negara yang belum dipisahkan dapat menerapkan PPK-BLU setelah memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 dan Pasal 5 PP No. 23 Tahun 2005.

59 | P a g e

(2) Pada saat berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2005, Badan Usaha Milik Negara yang berbentuk perusahaan jawatan (Perjan) yang statusnya beralih menjadi PPK-BLU sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (2) PP No.23 Tahun 2005, wajib melakukan penyesuaian. (3) Ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan BLU berlaku paling lambat 31 Desember 2005.

Latihan Soal: 1. Dikatakan bahwa Dengan Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2005, status Badan Usaha Milik Negara yang berbentuk perusahaan jawatan (Perjan) beralih menjadi instansi pemerintah yang menerapkan PPK-BLU... Jelaskan ciri-ciri Perusahaan Jawatan (Perjan) tersebut, kelebihan dan kekurangannya. 2. Banyak Perguruan tinggi berupaya meraih status Badan Hukum Milik Negara tapi mengapa ITS 10 Nopember Surabaya lebih memilih menerapkan PPK-BLU? Jelaskan. 3. Pengelolaan Keuangan BADAN LAYANAN UMUM tertuang dalam UU NO.1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, Pasal 68 dan 69. Jelaskan apa yang menjadi idea dasar dari PPK-BLU tersebut. 4. Jelaskan korelasi antara Tarif Layanan dengan: a. kontinuitas dan pengembangan layanan; b. daya beli masyarakat; c. asas keadilan dan kepatutan; dan d. kompetisi yang sehat. 5. Dalam pelaksanaannya PPK-BLU ada kelebihan dan kekurangannya. Jelaskan.

60 | P a g e

BAB
PENGELOLAAN BMN

Tujuan Instruksional Khusus: Setelah mempelajari bab ini, mahasiswa diharapkan mampu mengerti dan memahami Pengertian Barang Milik Negara, Dasar Hukum Pengelolaan BMN, Azas dan Lingkup Pengelolaan BMN, Pejabat Pengelola BMN, Perencanaan Kebutuhan dan Penganggaran, Pengadaan, Penggunaan, Pemanfaatan, Pengamanan dan Pemeliharaan, Penilaian, Penghapusan, Pemindahtangan, Penatausahaan, Pengendalian dan Pengawasan serta Ganti Rugi dan Sanksi

A. Pengertian Barang Milik Negara 1. Barang milik Negara adalah semua barang yang dibeli atau diperoleh atas beban APBN atau berasal dari perolehan lainnya yang sah 2. Barang milik Daerah adalah semua barang yang dibeli atau diperoleh atas beban APBD atau berasal dari perolehan lainnya yang sah 3. Perolehan yang sah meliputi: a. barang yang diperoleh dari hibah/sumbangan atau yang sejenis; b. barang yang diperoleh sebagai pelaksanaan dari perjanjian/kontrak; c. barang yang diperoleh sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan; d. barang yang diperoleh berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. B. Dasar Hukum Pengelolaan BMN 1. Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 2. pasal 48 ayat (2) dan pasal 49 ayat (6) Undang- Undang Nomor 1 Tahun 2004 3. Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2006jo PP Nomor 38 Tahun 2008

61 | P a g e

C. Azas dan Lingkup Pengelolaan BMN 1. Pengelolaan barang milik negara/daerah dilaksanakan berdasarkan asas: fungsional, kepastian hukum, transparansi dan keterbukaan, efisiensi,

akuntabilitas, dan kepastian nilai. 2. Pengelolaanbarang milik negara/daerah meliputi: (disebut Siklus Barang) a. perencanaan kebutuhan dan penganggaran; b. pengadaan; c. penggunaan; d. pemanfaatan; e. pengamanan dan pemeliharaan; f. penilaian;

g. penghapusan; h. pemindahtanganan; i. j. penatausahaan; pembinaan, pengawasan dan pengendalian.

D. Pejabat Pengelola BMN 1. Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara adalah pengelola barang milik Negara 2. Gubernur/bupati/walikota adalah pemegang kekuasaan pengelolaan barang milik daerah. (istilah saya: Pemegang Kuasa Pengelola Barang Milik Daerah). 3. Menteri/pimpinan lembaga selaku pimpinan kementerian negara/lembaga adalah pengguna barang milik negara. 4. Kepala Kantor dalam lingkungan kementerian negara/lembaga adalah kuasa pengguna barang milik negara dalam lingkungan kantor yang dipimpinnya. 5. Kepala satuan kerja perangkat daerah adalah kuasa pengguna barang milik daerah dalam lingkungan kantor yang dipimpinnya. E. Perencanaan Kebutuhan dan Penganggaran 1. Perencanaan kebutuhan barang milik negara/daerah disusun dalam Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian negara/Lembaga/satuan kerja perangkat daerah (RKA-KL-SKPD) setelah memperhatikan ketersediaan barang milik negara/daerah yang ada.

62 | P a g e

2. Perencanaan kebutuhan barang milik negara/daerah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berpedoman pada standar barang, standar kebutuhan, dan standar harga. 3. Standar barang dan standar kebutuhan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) ditetapkan oleh pengelola barang setelah berkoordinasi dengan instansi atau dinas teknis terkait. 4. Pengguna barang menghimpun usul rencana kebutuhan barang yang diajukan oleh kuasa pengguna barang yang berada di bawah lingkungannya. 5. Pengguna barang menyampaikan usul rencana kebutuhan barang milik negara/daerah kepada pengelola barang. 6. Pengelola barang bersama pengguna barang membahas usultersebut dengan memperhatikan data barang pada pengguna barang dan/atau pengelola barang untuk ditetapkan sebagai Rencana Kebutuhan Barang Milik

Negara/Daerah(RKBMN/D). F. Pengadaan, Penggunaan, Pemanfaatan, Pengamanan dan Pemeliharaan 1. Pengadaan Pengadaan barang milik negara/daerah dilaksanakan berdasarkan prinsipprinsip: efisien, efektif, transparan dan terbuka, bersaing, adil/ tidak diskriminatif dan akuntabel. (catatan: Lihat Keppres 80 Th 2003 jo Perpres 54 Th 2010) Pengaturan mengenai pengadaan tanah dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.( catatan: Lihat PP No. 36 Tahun 2005 >Perpres 36/2005) Ketentuan lebih lanjut mengenai pedoman pelaksanaan pengadaan barang milik negara/daerah selain tanah diatur dengan Peraturan Presiden. 2. Penggunaan a. Status penggunaan barang ditetapkan dengan ketentuan sebagai berikut: 1) barang milik negara oleh pengelola barangdengan cara sebagai berikut: Pengguna barang melaporkan barang milik negara yang diterimanya kepada pengelola barang disertai dengan usul penggunaan Pengelola barang meneliti laporan tersebut dan menetapkan status penggunaan barang milik negara dimaksud.

63 | P a g e

2) barang milik daerah oleh gubernur/bupati/walikotadengan tata cara sebagai berikut: Pengguna barang melaporkan barang milik daerah yang diterimanya kepada pengelola barang disertai dengan usul penggunaan; Pengelola barang meneliti laporan tersebut dan mengajukan usul penggunaan dimaksud kepada gubernur/bupati/walikota untuk ditetapkan status penggunaannya. b. Barang milik negara/daerah dapat ditetapkan status penggunaannya untuk

penyelenggaraan tugas pokok dan fungsi kementerian negara/lembaga/satuan kerja perangkat daerah, dapat juga untuk dioperasikan oleh pihak lain dalam rangka menjalankan pelayanan umum sesuai tugas pokok dan fungsi kementerian negara/lembaga/satuan kerja perangkat daerah yang bersangkutan. c. Penetapan status penggunaan tanah dan/atau bangunan dilakukan dengan ketentuan bahwa tanah dan/atau bangunan tersebut diperlukan untuk

kepentingan penyelenggaraan tugas pokok dan fungsi pengguna barang dan/atau kuasa pengguna barang yang bersangkutan. d. Pengguna barang dan/atau kuasa pengguna barang wajib menyerahkan tanah dan/atau bangunan yang tidak digunakan kepada: 1) pengelola barang untuk barang milik negara; atau a) gubernur/bupati/walikota melalui pengelola barang untuk barang milik daerah.Pengelola barang menetapkan barang milik negara berupa tanah dan/atau bangunan yang harus diserahkan oleh pengguna barang karena sudah tidak digunakan untuk menyelenggarakan tugas pokok dan fungsi instansi bersangkutan. b) Gubernur/bupati/walikota menetapkan barang milik daerah berupa tanah dan/atau bangunan yang harus diserahkan oleh pengguna barang karena sudah tidak digunakan untuk menyelenggarakan tugas pokok dan fungsi instansi bersangkutan. 2) Dalam menetapkan penyerahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pengelola barang memperhatikan hal-hal sebagai berikut: a) standar kebutuhan tanah dan/atau bangunan untuk menyelenggarakan dan menunjang tugas pokok dan fungsi instansi bersangkutan; b) hasil audit atas penggunaan tanah dan/atau bangunan.

64 | P a g e

3) Tindak lanjut pengelolaan atas penyerahan tanah dan/atau bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi hal-hal sebagai berikut: ditetapkan status penggunaannya untuk penyelenggaraan tugas pokok dan fungsi instansi pemerintah lainnya; dimanfaatkan dalam rangka optimalisasi barang milik negara/daerah; dipindahtangankan Pengguna barang milik negara yang tidak menyerahkan tanah dan/atau bangunan yang tidak digunakan untuk menyelenggarakan tugas pokok dan fungsi instansi bersangkutan kepada pengelola barang dikenakan sanksi berupa pembekuan dana pemeliharaan tanah dan/atau bangunan dimaksud. Pengguna barang milik daerah yang tidak menyerahkan tanah dan/atau bangunan yang tidak digunakan untuk menyelenggarakan tugas pokok dan fungsi instansi yang bersangkutan kepada gubernur/bupati/walikota dikenakan sanksi berupa pembekuan dana pemeliharaan tanah dan/atau bangunan dimaksud. Tanah dan/atau bangunan yang tidak digunakan sesuai dengan Pasal 16 ayat (1) dicabut penetapan status penggunaannya. 3. Pemanfaatan a. Kriteria Pemanfaatan: 1) Pemanfaatan barang milik negara berupa tanah dan/atau bangunan sebagaimana dimaksud (dalam ayat: Pengelola barang menetapkan barang milik negara berupa tanah dan/atau bangunan yang harus diserahkan oleh pengguna barang karena sudah tidak digunakan untuk menyelenggarakan tugas pokok dan fungsi instansi bersangkutan ) dilaksanakan oleh pengelola barang. 2) Pemanfaatan barang milik daerah berupa tanah dan/atau bangunan sebagaimana dimaksud (dalam ayat: Gubernur/bupati/walikota menetapkan barang milik daerah berupa tanah dan/atau bangunan yang harus diserahkan oleh pengguna barang tugas karena pokok sudah fungsi setelah tidak digunakan untuk menyelenggarakan dilaksanakan oleh dan instansi bersangkutan) persetujuan

pengelola

barang

mendapat

gubernur/bupati/walikota.

65 | P a g e

3) Pemanfaatan barang milik negara/daerah berupa tanah dan/atau bangunan yang diperlukan untuk menunjang penyelenggaraan tugas pokok dan fungsi pengguna barang/kuasa pengguna barang dilakukan oleh pengguna barang dengan persetujuan pengelola barang. 4) Pemanfaatan barang milik negara/daerah selain tanah dan/atau bangunan dilaksanakan oleh pengguna barang dengan persetujuan pengelola barang. 5) Pemanfaatan barang milik negara/daerah dilaksanakan berdasarkan

pertimbangan teknis dengan memperhatikan kepentingan negara/daerah dan kepentingan umum b. Bentuk-bentuk Pemanfaatan 1) Sewa (1) Penyewaan barang milik negara/daerah dilaksanakan denganbentuk: a) penyewaan barang milik negara atas tanah dan/atau bangunan yang sudah diserahkan oleh pengguna barang kepada pengelola; b) penyewaan barang milik daerah atas tanah dan/atau bengunan yang sudah diserahkan oleh pengguna barang kepada

gubernur/bupati/walikota; c) penyewaan atas sebagian tanah dan/atau bangunan yang masih digunakan oleh pengguna barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (3) PP 6/2006; d) penyewaan atas barang milik negara/daerah selain tanah dan/atau bangunan. (2) Penyewaan atas barang milik negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilaksanakan oleh pengelola barang. (3) Penyewaan atas barang milik daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilaksanakan oleh pengelola barang setelah mendapat persetujuan gubernur/bupati/walikota. (4) Penyewaan atas barang milik negara/daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dan d, dilaksanakan oleh pengguna barang setelah mendapat persetujuan pengelola barang. (5) Barang milik negara/daerah dapat disewakan kepada pihak lain sepanjang menguntungkan negara/daerah.

66 | P a g e

(6) Jangka waktu penyewaan barang milik negara/daerah paling lama lima tahun dan dapat diperpanjang. (7) Penetapan formula besaran tarif sewa dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut, ditetapkan pada: a) barang milik negara oleh pengelola barang; b) barang milik daerah oleh gubernur/bupati/walikota. (8) Penyewaan dilaksanakan berdasarkan surat perjanjian sewa-

menyewa,yang sekurang-kurangnya memuat: a) pihak-pihak yang terikat dalam perjanjian; b) jenis, luas atau jumlah barang, besaran sewa, dan jangka waktu; c) tanggung jawab penyewa atas biaya operasional dan pemeliharaan selama jangka waktu penyewaan; d) persyaratan lain yang dianggap perlu. (9) Hasil penyewaan merupakan penerimaan negara/daerah dan seluruhnya wajib disetorkan ke rekening kas umum negara/daerah. 2) Pinjam Pakai (1) Pinjam pakai barang milik negara/daerah dilaksanakan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah atau antar pemerintah daerah. (2) Jangka waktu pinjam pakai barang milik negara/daerah paling lama dua tahun dan dapat diperpanjang. (3) Pinjam pakai dilaksanakan berdasarkan surat perjanjian yang sekurangkurangnya memuat: a) pihak-pihak yang terkait dalam perjanjian; b) jenis, luas atau jumlah barang yang dipinjamkan, dan jangka waktu; c) tanggung jawab peminjam atas biaya operasional dan pemeliharaan selama jangka waktu peminjaman; d) persyaratan lain yang dianggap perlu. 3) Kerjasama Pemanfaatan Kerjasama pemanfaatan barang milik negara/daerah dengan pihak lain dilaksanakan dalam rangka: a) mengoptimalkan daya guna dan hasil guna barang milik negara/daerah b) meningkatkan penerimaan negara/pendapatan daerah.

67 | P a g e

Bentuk Kerja Sama (1) Kerjasama pemanfaatan barang milik negara/daerah dilaksanakan dengan bentuk: a) kerjasama pemanfaatan barang milik negara atas tanah dan/atau bangunan yang sudah diserahkan oleh pengguna barang kepada pengelola barang; b) kerja sama pemanfaatan barang milik daerah atas tanah dan/atau bangunan yang sudah diserahkan oleh pengguna barang kepada gubernur/bupati/ walikota; c) kerja sama pemfaatan atas sebagian tanah dan /atau bangunan yang masih digunakan oleh pengguna barang; d) kerja sama pemanfaatan atas barang milik negara/daerah selain tanah dan/atau bangunan, (2) Kerjasama pemanfaatan atas barang milik negara sebagaimana

dimaksud dalam ayat (1) huruf a dilaksanakan oleh pengelola barang. (3) Kerjasama pemanfaatan atas barang milik daerah sebagaimana

dimaksud dalam ayat (1) huruf b dilaksanakan oleh pengelola barang setelah mendapat persetujuan gubernur/bupati/ walikota. (4) Kerjasama pemanfaatan atas barang milik negara/daerah sebagaimana dimaskud dalam ayat (1) huruf c dan d dilaksanakan oleh pengguna barang setelah mendapat persetujuan pengelola barang. Ketentuan Kerjasama (1) Kerjasama pemanfaatan atas barang milik negara/daerahdilaksanakan dengan ketentuan sebagai berikut: a) tidak tersedia atau tidak cukup tersedia dana dalamAnggaran Pendapatan dan Belanja Negara/Daerah untuk memenuhi biaya operasional/pemeliharaan/ perbaikan yang diperlukan terhadap

barang milik negara/daerah di maksud; b) mitra kerjasama pemanfaatan ditetapkan melalui tender dengan mengikutsertakan sekurang-kurangnya lima peserta/peminat, kecuali untuk barang milik negara/daerah yang bersifat khusus dapat dilakukan penunjukan langsung;

68 | P a g e

c) mitra kerjasama pemanfaatan harus membayar kontribusi tetap ke rekening kas umum negara/daerah setiap tahun selama jangka waktu pengoperasian yang telah ditetapkan dan pembagian keuntungan hasil kerjasama; d) besaran pembayaran kontribusi tetap dan pembagian keuntungan hasil kerjasama pemanfaatan ditetapkan dari hasil perhitungan tim yang dibentuk oleh pejabat yang berwenang; e) besaran pembayaran kontribusi tetap dan pembagian keuntungan hasil kerjasama pemanfaatan harus mendapat persetujuan pengelola barang; f) selama jangka waktu pengoperasian, mitra kerjasama pemafaatan dilarang menjaminkan atau menggadaikan barang milik

negara/daerah yang menjadi obyek kerjasama pemanfaatn; g) jangka waktu kerjasama pemanfaatan paling lama tiga puluh tahun sejak perjanjian ditandatangani dan dapat diperpanjang. (2) Semua biaya berkenaan dengan persiapan dan pelaksanaan kerjasama pemanfaatan tidak dapat dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara/Daerah. 4) Bangun Guna Serah Dan Bangun Serah Guna ( BGS dan BSG ) (1) Bangun guna serah dan bangun serah guna barang milik negara/daerah dapat dilaksanakan dengan persyaratan sebagai berikut: a) Pengguna barang memerlukan bangunan dan fasilitas bagi

penyelenggaraan pemerintahan negara/daerah untuk kepentingan pelayanan umum dalam rangka penyelenggaraan tugas pokok dan fungsi; dan b) Tidak tersedia dana dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara/Daerah untk penyediaan bangunan dan fasilitas dimaksud. (2) Bangun guna serah dan bangun serah guna barang milik Negara sebagaimana di maksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh pengelola barang. (3) Bangun guna serah dan bangun serah guna barang milik daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh pengelola barang setelah mendapat pesetujuan gubernur/bupati/walikota.

69 | P a g e

(4) Tanah yang status penggunaanya ada pada pengguna barang dan telah dapat direncanakan untuk penyelenggaraan tugas pokok dan fungsi pengguna barang yang bersangkutan dapat dilakukan bangun guna serah dan bangun serah guna setelah terlebih dahulu diserahkan kepada: a) pengelola barang untuk barang milik negara; b) gubernur /bupati /walikota untuk barang milik daerah. (5) Bangun guna serah dan bangun serah guna sebagaimaa dimaksud pada ayat (4) dilaksanakan oleh pengelola barang dengan mengikutsertakan pengguna barang dan/atau kuasa pengguna barang sesuai tugas pokok dan fungsinya. Penetapan Penetapan status penggunaan barang milik negara/ daerah sebagai hasil dari pelaksanaan bangun guna serah dan bangun serah guna dilaksanakan oleh: (1) pengelola barang untuk barang milik negara, dalam rangka

penyelenggaraan tugas pokok dan fungsi kementerian negara/lembaga terkait; (2) gubernur/ bupati/ walikota untuk barang milik daerah, dalam rangka penyelenggaraan tugas pokok dan fungsi satuan kerja perangkat daerah tekait. Jangka Waktu (1) Jangka waktu bangun guna serah dan bangun serah guna paling lama tiga puluh tahun sejak perjanjian ditandatangani. (2) Penetapan mitra bangun guna serah dan mitra bangun serah guna dilaksanaka melalui tender dengan mengikutsertakan sekurang-

kurangnya lima peserta/ peminat. (3) Mitra bangun guna serah dan mitra bangun serah guna yang telah ditetapkan, selama jangka waktu pengoperasian harus memenuhi kewajiban sebagai berikut: a) membayar kontribusi ke rekening kas umum negara/ daerah setiap tahun, yang besarannya ditetapkan berdasarkan hasil perhitungan tim yang dibentuk oleh pejabat yang berwenang; b) tidak menjaminkan, menggadaikan atau memindahkantangankan objek bangun guna serah dan bangun serah guna;

70 | P a g e

c) memelihara objek bangun guna serah dan bangun serah guna. (4) Dalam jangka waktu pengoperasian, sebagai barang milik negara/daerah hasil bangun guna serah dan bangun serah guna harus dapat digunakan langsung untuk penyelenggaraan tugas pokok dan fungsi pemerintah. (5) Bangun guna serah dan bangun serah guna dilaksanakan berdasarkan surat perjanjian yang sekurang-kurangnya memuat: a) pihak-pihak yang terikat dalam perjanjian; b) objek bangun guna serah dan bangun serah guna; c) jangka waktu bangun guna serah dan bangun serah guna; d) hak dan kewajiban para pihak yang terikat dalam perjanjian; e) persyaratan lain yang dianggap perlu. (6) Izin mendirikan bangunan hasil bangun guna serah dan bangun serah guna harus diatasnamakan Pemerintah Republik Indonesia/ Pemerintah daerah. (7) Semua biaya berkenaan dengan persiapan dan pelaksanaan bangun guna serah dan bangun serah guna tidak dapat dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Penyerahan (1) Mitra bangun guna serah barang milik negara harus menyerahkan objek bangun guna serah kepada pengelola barang pada akhir jangka waktu pegoperasian, setelah dilakukan audit oleh aparat pegawasan fungsional pemerintah. (2) Mitra bangun guna serah barang milik daerah harus menyerahkan objek bangun guna serah kepada gubernur/bupati/ walikota pada akhir jangka waktu pegoperasian, setelahdilakukan audit oleh aparat pegawasan fungsional pemerintah. (3) Bangun serah guna barang milik kekayaan negara dilaksanakan dengan ketentuan sebagai berikut: a) mitra bangun serah guna harus menyerahkan objek bangunan serah guna kepada pengelola barang segera setelah selesainya

pembangunan; b) mitra bangun serah guna dapat mendayagunakan barang milik negara tersebut sesuai jangka waktu yang ditetapkan dalam perjanjian;

71 | P a g e

c) setelah jangka waktu pendayagunaan berakhir, objek bangun serah guna terlebih dahulu diaudit oleh aparat pengawasan fungsional pemerintah sebelum penggunaannnya ditetapkan oleh pegguna barang. (4) Bangun serah guna barang milik kekayaan daerah dilaksanakan dengan ketentuan sebagai berikut: a) mitra bangunan serah guna harus menyerahkan objek bangunan serah guna kepada gubernur/ bupati/ walikota segera setelah selesainya pembangunan; b) mitra bangun serah guna dapat mendayagunakan barang milik negara tersebut sesuai jangka waktu yang ditetapkan dalam perjanjian; c) setelah jangka waktu pendayagunaan berakhir, objek bangun serah guna terlebih dahulu diaudit oleh aparat pengawasan fungsional pemerintah sebelum penggunaannnya ditetapkan oleh gubernur/ bupati/walikota; Lain-Lain Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan sewa, pinjam pakai, kerjasama pemanfaatan, bangun guna serah dan bangun serah guna barang milik negara diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan. 4. Pengamanan a. Pengelola barang, pengguna barang dan/atau kuasa pengguna barang wajib melakukan pengamanan barang milik negara/daerah yang berada dalam penguasaannya. b. Pengamanan barang milik negara/daerah sebagaimana dimaksud pada huruf a meliputi pengamanan administrasi, pengamanan fisik, pengamanan hukum. Sertifikasi/Bukti Kepemilikan (1) Barang milik negara/ daerah berupa tanah harus disertifikatkan atas nama Pemerintah Republik Indonesia/ pemerintah daerah yang bersangkutan. (2) Barang milik negara/daerah berupa bangunan harus dilengkapi dengan bukti kepemilkan atas nama Pemerintah Republik Indonesia/ pemerintah daerah yang bersangkutan. (3) Barang milik negara selain tanah dan/atau bangunan harus dilengkapi dengan bukit kepemilikan atas nama pengguna barang

72 | P a g e

(4) Barang milik daerah selain tanah dan/atau bangunan harus dilengkapi dengan bukit kepemilikan atas nama pemerintah daerah yang bersangkutan. Filling/Penyimpanan (1) bukti kepemilikan barang milik negara/ daerah wajib disimpan dengan tertib dan aman. (2) Penyimpanan bukti kepemilikan barang milik negara berupa tanah dan/ atau bangunan dilakukan oleh pengelola barang. (3) Penyimpanan bukti kepemilikan barang milik negara selain tanah dan/ atau bangunan dilakukan oleh pengguna barang/kuasa pengguna barang. (4) Penyimpanan bukti kepemilikan barang milik daerah dilakukan oleh pengelola barang. 5. Pemeliharaan a. Pengguna barang dan/atau kuasa pengguna barang bertanggung jawab atas pemeliharaan barang milik negara/daerah yang ada di bawah penguasaannya. b. Pemeliharaan sebagaimana dimaksud pada huruf a berpedoman pada Daftar Kebutuhan Pemeliharaan Barang (DKPB). c. Biaya pemeliharaan barang milik negara/daerah dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara/ Daerah. Evaluasi (1) Kuasa pengguna anggaran wajib membuat daftar hasil pemeliharaan barang yang berada dalam kewenangannya dan melaporkan/ menyampakan daftar hasil pemeliharaan barang tersebut kepada pengguna barang secara berkala. (2) Pengguna barangatau pejabat yang ditunjuk ,meneliti laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan menyusun daftar hasil pemeliharaan barang yang dilakukan dalam satu tahun anggaran sebagai bahan untuk melakukan evaluasi mengenai efisiensi pemeliharaan barang milik negara/ daerah. G. Penilaian, Penghapusan, Pemindahtanganan, Penatausahaan. 1. Penilaian Penilaian barang milik negara/daerah dilakukan dalam rangka penyusunan neraca pemerintah pusat/daerah, pemanfaatan, dan pemindahtanganan barang milik negara/ daerah.

73 | P a g e

Penetapan nilai barang milik negara/daerah dalam rangka penyusunan neraca pemerintah pusat/ daerah dilakukan dengan berpedoman pada Standar Akuntansi Pemerintah (SAP): a. Penilaian barang milik negara berupa tanah dan/ atau bangunan dalam rangka pemanfaatan dan pemindahtanganan dilakukan oleh tim yang ditetapkan oleh pengelola barang, dan dapat melibatkan penilai independen yang ditetapkan oleh pengelola barang. b. Penilaian barang milik negara/ daerah berupa tanah dan/ atau bangunan dalam rangka pemanfaatan dan pemindahtanganan dilakukan oleh tim yang ditetapkan oleh gubernur/ bupati/walikota, dan dapat melibatkan penilai independen yang ditetapkan oleh gubernur/ bupati/ walikota. c. Penilaian barang milik negara/daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan untuk mendapatkan nilai wajar, dengan estimasi terendah menggunakan NJOP. d. Hasil penilaian barang milik negara/daerah sebagaimana dimaksud pada huruf a dan bditetapkan oleh: pengelola barang untuk barang milik negara; gubernur /bupati /walikota untuk barang milik daerah

2. Pelaksanaan a. Penilaian barang milik negara selain tanah dan/ atau bangunan dalam rangka pemanfaatan dan pemindahtanganan dilakukan oleh tim yang ditetapkan oleh pengguna barang, dan dapat melibatkan penilai independen yang ditetapkan oleh pengguna barang. b. Penilaian barang milik daerah selain tanah dan/atau bangunan dalam rangka pemanfaatan atau pemindahtanganan dilakukan oleh tim yang ditetapkan oleh pengelola barang, dan dapat melibatkan penilai independen yang ditetapkan oleh pengelola barang. c. Penilaian barang milik negara/daerah sebagaimana dimaksud pada huruf a dan b dilaksanakan untuk mendapatkan nilai wajar. d. Hasil penilaian barang milik negara/daerah sebagaimana dimaksud pada huruf a dan bditetapkan oleh: pengguna barang untuk barang milik negara; pengelola barang untuk barang milik daerah.

74 | P a g e

3. Penghapusan Penghapusan barang milik negara/daerah meliputi: a. penghapusan dari daftar barang pengguna dan/atau kuasa pengguna; b. penghapusan dari daftar barang milik negara/daerah. (1) Penghapusan barang milik negara/daerah sebagaimana dimaksud dalam pasal 41 huruf (a), dilakukan dalam hal barang milik negara/daerah dimaksud sudah tidak berada dalam penguasaan pengguna barang dan/atau kuasa pengguna barang; (2) Penghapusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan penerbitan surat keutusan penghapusan dari: pengguna barang setelah mendapat persetujuan dari pengelola barang untuk barang milik negara; pengguna barang setelah mendapat persetujuan gubernur/bupati/ walikota atas usul pengelola barang untuk barang milik daerah. (3) Pelaksanaan atas penghapusan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) selanjutnya dilaporkan kepada pengelola barang. Penghapusan diikuti dengan pemusnahan: (1) Penghapusan barang milik negara/daerah dari daftar barang milik negara/daerah sebagaimana dimaksud dalam pasal 41 huruf b dilakukan dalam hal barang milik negara/daerah di maksud sudah beralih kepemilikannya, terjadi pemusnahan atau karena sebab-sebab lain. (2) Penghapusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan penerbitan surat keputusan penghapusan dari: pengelola barang untuk barang milik negara; pengelola barang setelah mendapat persetujuan gubernur/bupati/ walikota untuk barang milik daerah. Persyaratan Penghapusan diikuti dengan pemusnahan: (1) Penghapusan barang milik negara/daerah dengan tindak lanjut pemusnahan dilakukan apabila barang milik negara/ daerah dimaksud: tidak dapat digunakan, tidak dapat dimanfaatkan, dan tidak dapat dipindahtangankan; atau alasan lain sesuai ketentuan perundang-undangan.

75 | P a g e

(2) Pemusnahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh: pengguna barang setelah mendapat persetujuan pengelola barang untuk barang miliki negara; pengguna barang dengan surat keputusan dari pengelola barang setelah mendapat persetujuan ubernur/ bupati/walikota untuk barang milik daerah. (3) Pelaksanaan pemusnahan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dituangkan dalam berita acara dan dilaporkan kepada pengelola barang. 4. Pemindahtanganan Bentuk-bentuk pemindahtanganan sebagai tidak lanjut atas penghapusan barang milik negara/daerah meliputi: a) penjualan; b) tukar-menukar; c) hibah; d) penyertaan modal pemerintah pusat/daerah. (1) Pemindahtanganan barang milik negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 untuk: a) tanah dan/atau bangunan; b) selain tanah dan/atau bangunan yang bernilai lebih dari

Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah), dilakukan setelah mendapat persetujuan DPR. (2) Pemindahtanganan barang milik daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 untuk: a) tanah dan/atau bangunan; b) selain tanah dan/atau bangunan yang bernilai lebih dari Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah), dilakukan setelah mendapat persetujuan DPRD. (3) Pemindahtanganan barang milik negara/daerah berupa tanah dan/atau

bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan ayat (2) huruf a tidak memerlukan persetujuan DPR/DPRD, apabila: a) sudah tidak sesuai dengan tata ruang wilayah atau penataan kota; b) harus dihapuskan karena anggaran untuk bangunan pengganti sudah disediakan dalam dokumen penganggaran; c) diperuntukkan bagi pegawai negeri; d) diperuntukkan bagi kepentingan umum;

76 | P a g e

e) dikuasai negara berdasarkan keputusan pengadilan, yang telah memiliki kekuatan hukum tetap dan/atau berdasarkan ketentuan perundang-

undangan, yang jika statuskepemilikannya dipertahankan tidak layak secara ekonomis. Proses Perolehan Persetujuan: (1) Usul untuk memperoleh persetujuan DPR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 ayat (1) diajukan oleh pengelola barang. (2) Usul untuk memperoleh persetujuan DPRD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 ayat (2) diajukan oleh gubernur/bupati/walikota. Pelaksanaan Pemindahtanganan: (1) Pemindahtanganan barang milik negara berupa tanah dan/atau bangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 ayat (3) dilaksanakan dengan ketentuan sebagai berikut: a) untuk tanah dan/atau bangunan yang bernilai di atas Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) dilakukan oleh pengelola barang setelah mendapat persetujuan Presiden; b) untuk tanah dan/atau bangunan yang bernilai sampai dengan

Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) dilakukan oleh pengelola barang; (2) Pemindahtanganan barang milik daerah berupa tanah dan/atau bangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 ayat (3) dilakukan oleh pengelola barang setelah mendapat persetujuan gubernur/bupati/walikota. Pemindahtanganan untuk selain tanah dan bangunan: (1) Pemindahtanganan barang milik negara selain tanah dan/atau bangunan yang bernilai sampai dengan Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) dilakukan oleh pengguna barang setelah mendapat persetujuan pengelola

barang.Pemindahtanganan barang milik negara selain tanah dan/atau bangunan yang bernilai di atas Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) sampai dengan Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah) dilakukan oleh pengguna barang setelahmendapat persetujuan Presiden; (2) Usul untuk memperoleh persetujuan Presiden sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diajukan oleh pengelola barang.Pemindahtanganan barang milik daerah selain tanah dan/atau bangunan yang bernilai sampai dengan

77 | P a g e

Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dilakukan oleh pengelola barang setelah mendapat persetujuan gubernur/bupati/walikota. e. Penjualan 1) Barang (1) Penjualan barang milik negara/daerah dilaksanakan dengan

pertimbangan: untuk optimalisasi barang milik negara yang berlebih atau idle; secara ekonomis lebih menguntungkan bagi negara apabila dijual; sebagai pelaksanaan ketentuan perundang-udangan yang berlaku.

(2) Penjualan barang milik negara/daerah dilakukan secara lelang,kecuali dalam hal-hal tertentu. (3) Pengecualian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: barang milik negara/daerah yang bersifat khusus; barang milik negara/daerah lainnya yang ditetapkan lebih lanjut oleh pengelola barang. 2) Tanah dan Bangunan (1) Penjualan barang milik negara/daerah berupa tanah dan/atau bangunan dilaksanakan oleh: pengelola barang untuk barang milik negara; pengelola barang setelah mendapat persetujuan gubernur/bupati/walikota untuk barang milik daerah.

(2) Penjualan barang milik negara/daerah selain tanah dan/atau bangunan dilaksanakan oleh: pengguna barang setelah mendapat persetujuan pengelola barang untuk barang milik negara; pengelola barang setelah mendapat persetujuan gubernur/bupati/walikota untuk barang milik daerah.

3) Selain Barang, Tanah dan Bangunan (1) Penjualan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (2) huruf(a) dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut: a) kuasa pengguna barang mengajukan usul kepada pengguna barang untuk diteliti dan dikaji;

78 | P a g e

b) pengguna barang mengajukan usul penjualan kepada pengelola barang; c) pengelola barang meneliti dan mengkaji usul penjualan yang diajukan oleh pengguna barang sesuai dengan kewenangannya; d) pengelola barang mengeluarkan keputusan untuk menyetujui atau tidak menyetujui usulan penjualan yang diajukan oleh pengguna barang dalam bataskewenangannya; e) untuk penjualan yang memerlukan persetujuan Presiden atau DPR, pengelola barang mengajukan usul penjualan disertai dengan pertimbangan atas usulan dimaksud; f) penerbitan persetujuan pelaksanaan oleh pengelola barang untuk penjualan sebagaimana dimaksud pada butir e dilakukan setelah mendapat persetujuan Presiden atau DPR. (2) Penjualan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (2) huruf b dilakukan denagn ketentuan sebagai berikut: a) pengguna barang mengajukan usul penjualan kepada pengelola barang; b) pengelola barang meneliti dan mengkaji usul penjualan yang diajukan oleh pengguna barang sesuai dengan kewenangannya; c) pengelola barang mengeluarkan keputusan untuk menyetujui atau tidak menyetujui usulan penjualan yang diajukan oleh pengguna barang dalam batas kewenangannya; d) untuk penjualan yang memerlukan persetujuan

gubernur/bupati/walikota atau DPRD, pengelola barang mengajukan usul penjualan disertai dengan pertimbangan atas usulan dimaksud. (3) Penerbitan persetujuan pelaksanaan oleh pengelola barang untuk penjualan sebagaimana dimaksud pada huruf d dilakukan setelah mendapat persetujuan gubernur/bupati/walikota atau DPRD. (4) Hasil penjualan barang milik negara/daerah wajib disetor seluruhnya ke rekening kas umum negara/daerah sebagai penerimaan negara/daerah. f. Tukar Menukar (Ruistlaag) (1) Tukar menukar barang milik negara/daerah dilaksanakan dengan

pertimbangan:

79 | P a g e

a) untuk memenuhi kebutuhan operasional penyelenggaraan pemerintahan; b) untuk optimalisasi barang milik negara/daerah; dan c) tidak tersedia dana dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja

Negara/Daerah. (2) Tukar menukar barang milik negara dapat dilakukan dengan pihak: a) pemerintah daerah; b) badan usaha milik negara/daerah atau badan hukum milik pemerintah lainnya; c) swasta.

(3) Tukar menukar barang milik daerah dapat dilakukan dengan pihak: a) pemerintah pusat; b) badan usaha milik negara/daerah atau badan hukum milik pemerintah lainnya; c) swasta. Wujud Tukar Menukar (1) Tukar menukar barang milik negara/daerah dapat berupa: a) tanah dan/atau bangunan yang telah diserahkan kepada pengelola barang untuk barang milik negara dan gubernur/bupati/walikota untuk barang milik daerah; b) tanah dan/atau bangunan yang masih dipergunakan untuk

penyelenggaraan tugas pokok dan fungsi pengguna barang tetapi tidak sesuai dengan tata ruang wilayah atau penataan kota; c) barang milik negara/daerah selain tanah dan/atau bangunan. (2) Penetapan barang milik negara berupa tanah dan/atau bangunan yang akan dipertukarkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilakukan oleh: a) pengelola barang untuk barang milik negara; b) gubernur/bupati/walikota untuk barang milik daerah, sesuai batas kewenangannya. (3) Tukar menukar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilaksanakan oleh: a) pengelola barang untuk barang milik negara; b) pengelola barang setelah mendapat persetujuan gubernur/bupati/walikota untuk barang milik daerah.

80 | P a g e

(4) Tukar menukar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilaksanakan oleh: a) pengguna barang setelah mendapat persetujuan pengelola barang untuk barang milik negara; b) pengelola barang setelah mendapat persetujuan gubernur/bupati/walikota untuk barang milik daerah. (5) Tukar menukar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dilaksanakan oleh pengguna barang setelah mendapat persetujuan pengelola barang. Tukar menukar barang milik negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1) huruf a dilaksanakan dengan ketentuan sebagai berikut: a) pengelola barang mengkaji perlunya tukar menukar tanah dan/atau bangunan dari aspek teknis, ekonomis, dan yuridis; b) pengelola barang menetapkan tanah dan/atau bangunan yang akan dipertukarkan sesuai batas kewenangannya; c) tukar menukar tanah dan/atau bangunan dilaksanakan melalui proses persetujuan dengan berpedomam pada ketentuan pada Pasal 46 ayat (1) dan Pasal 48 ayat (1); d) pelaksanaan serah terima barang yang dilepas dan barang pengganti harus dituangkan dalam berita acara serah terima barang. Tukar menukar barang milik negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1) huruf b dan c dilaksanakan dengan ketentuan sebagai berikut: a) pengguna barang mengajukan usulan kepada pengelola barang disertai alasan/pertimbangan, kelengkapan data, data hasil pengkajian tim intern instansi pengguna barang; b) penegelola barang meneliti dan mengkaji alasan/pertimbangan tersebut dari aspek teknis, ekonomis, dan yuridis; c) apabila memenuhi syarat sesuai peraturan yang berlaku, pengelola barang dapat mempertimbangkan untuk menyetujui sesuai dengan batas kewenangannya; d) pengguna barang melaksanakan tukar menukar dengan berpedoman pada persetujuan pengelola barang; e) pelaksanaan serah terima barang yang dilepas dan barang pengganti harus dituangkan dalam berita acara serah terima barang.

81 | P a g e

Tukar menukar barang milik daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1) huruf a dan b dilaksanakan dengan ketentuan sebagaimana berikut: a) pengelola barang mengajukan usul tukar menukar tanah dan/atau bangunan kepada gubernur/bupati/walikota disertai alasan/pertimbangan, dan kelengkapan data; b) gubernur/bupati/walikota meneliti dan mengkaji alasan.pertimbangan perlunya tukar menukar tanah dan/atau bangunan dari aspek teknis, ekonomis, dan yuridis; c) apabila memenuhi syarat sesuai peraturan yang berlaku,

gubernur/bupati/walikota dapat mempertimbangkan untuk menyetujui dan menetapkan tanah dan/atau bangunan yang akan dipertukarkan; d) tukar menukar tanah dan/atau bangunan dilaksanakan melalui proses persetujuan dengan berpedoman pada kententuan pada Pasal 46 ayat (2) dan Pasal 48 ayat (2); e) pengelola barang melaksanakan tukar menukar dengan berpedoman pada persetujuan gubernur/bupati/walikota; f) pelaksanaan serah terima barang yang dilepas dan barang pengganti harus dituangkan dalam berita acara serah terima barang. Tukar menukar barang milik daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1) buruf c dilaksanakan dengan ketentuan sebagai berikut: a) pengguna barang mengajukan usulan kepada pengelola barang disertai alasan/pertimbangan, kelengkapan data, dan hasil pengkajian tim intern instansi pengguna barang; b) pengelola barang meneliti dan mengkaji alasan/pertimbangan tersebut dari aspek teknis, ekonomis, dan yuridis; c) apabila memenuhi syarat sesuai peraturan yang berlaku, pengelola barang dapat mempertimbangkan untuk menyetujui sesuai batas kewenangannya; d) pengguna barang melaksanakan tukar-menukar dengan berpedoman pada persetujuan pengelola barang; e) pelaksanaan serah terima barang yang dilepas dan barang pengganti harus dituangkan dalam berita acara serah terima barang.

82 | P a g e

g. Hibah (1) Hibah barang milik negara/daerah dilakukan dengan pertimbangan untuk kepentingan sosial, keagamaan, kemanusiaan, dan penyelenggaraan

pemerintahannegara/daerah. (2) Hibah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), harus memenuhi syarat sebagai berikut: a) bukan merupakan barang rahasia negara; b) c) bukan merupakan barang yang menguasai hajat hidup orang banyak; tidak digunakan lagi dalam penyelenggaraan tugas pokok dan fungsi dan penyelenggaraan pemerintahan negara/daerah. Wujud Hibah: (1) Hibah barang milk negara/daerah dapat berupa: a) tanah dan/atau bangunan yang telah diserahkan kepada pengelola barang untuk barang milik negara dan ubernur/bupati/walikota untuk barang milik daerah; b) tanah dan/atau bangunan yang dari awal pengadaannya direncanakan untuk dihibahkan sesuai yang tercantum dalam dokumen penganggaran; c) barang milik negara/daerah selain tanah dan/atau bangunan. (2) Penetapan barang milik negara/daerah berupa tanah dan/atau bangunan yang akan dihibahkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilakukan oleh: a) pengelola barang untuk barang milik negara; b) gubernur/bupati/walikota untuk barang milik daerah, sesuai batas kewenangannya. (3) Hibah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilaksanakan oleh: a) pengelola barang untuk barang milik negara; b) pengelola barang setelah mendapat persetujuan gubernur/bupati/walikota untuk barang milik daerah. (4) Hibah sebagaimana dimaksud pada ayat 91) huruf b dilaksanakan oleh: a) pengguna barang setelah mendapat persetujuan pengelolabarang untuk barang milik negara; b) pengelola barang setelah mendapat persetujuan gubernur/bupati/walikota untuk barang milik daerah.

83 | P a g e

(5) Hibah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dilaksanakan oleh pengguna barang setelah mendapat persetujuan pengelola barang. Pasal 60 (1) Hibah barang milik negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (1) huruf a dilaksanakan dengan ketentuan sebagai berikut: a) pengelola barang mengkaji perlunya hibah berdasarkanpertimbangan dan syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58; b) pengelola barang menetapkan tanah dan/atau bangunan yang akan dihibahkan sesuai batas kewenangannya; c) proses persetujuan hibah dilaksanakan dengan berpedoman pada ketentuan Pasal 46 ayat (1) dan Pasal 48 ayat (1); d) pelaksanaan serah terima barang yang dihibahkan harus dituangkan dalam berita acara serah terima barang. (2) Hibah barang milik negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (1) huruf b dan c dilaksanakan dengan ketentuan sebagai berikut: a) pengguna barang mengajukan usulan kepada pengelola barang disertai dengan alasan/pertimbangan, kelengkapan data, dan hasil pengkajian tim intern instansi pengguna barang; b) pengelola barang meneliti dan mengkaji berdasarkan pertimbangan dan syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58; c) apabila memenuhi syarat sesuai peraturan yang berlaku, pengelola barang dapat mempertimbangkan untuk menyetujui sesuai batas kewenangannya; d) pengguna barang melaksanakan hibah dengan berpedoman pada persetujuan pengelola barang; e) pelaksanaan serah terima barang yang dihibahkan harus dituangkan dalam berita acara serah terima barang. Pasal 61 (1) Hibah barang milik daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (1) huruf a dan b dilaksanakan dengan ketentuan sebagai berikut: a) pengelola barang mengajukan usul hibah tanah dan/atau bangunan kepada gubernur/bupati/walikota disertai dengan alasan/pertimbangan, dan kelengkapan data;

84 | P a g e

b) gubernur/bupati/walikota

meneliti

dan

mengkaji

berdasarkan

pertimbangan dan syarat sebagaimana dimaksud dalam pasal 58; c) apabila memenuhi syarat sesuai dapat peraturan yang untuk

berlaku,gubernur/bupati/walikota

mempertimbangkan

menetapkan dan/atau menyetujui tanah dan/atau bangunan yang akan dihibahkan; d) proses persetujuan hibah dilaksanakan dengan berpedoman pada ketentuan Pasal 46 ayat (2) dan Pasal 48 ayat (2); e) pengelola barang melaksanakan hibah dengan berpedoman persetujuan Gubernur/bupati/walikota; f) pelaksanaan serah terima barang yang dihibahkan harus dituangkan dalam berita acara serah terima barang. (2) Hibah barang milik daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (1) huruf c dilaksanakan dengan ketentuan sebagai berikut: a) pengguna barang mengajukan usulan kepada PengelolaBarang disertai alas an/pertimbangan, kelengkapan data,dan hasil pengkajian tim intern instansi pengguna barang; b) pengelola barang meneliti dan mengkaji berdasarkan pertimbangan dan syarat sebagaimana dimaksud dalam c) apabila memenuhi syarat sesuai peraturan yang berlak,pengelola barang dapat mempertimbangkan untukmenyetujui sesuai batas pada

kewenangannya; d) pengguna barang melaksanakan hibah dengan berpedomanpada

persetujuan pengelola barang; e) pelaksanaan serah terima barang yang dihibahkan harus dituangkan dalam acara serah terima barang. 5. Penatausahaan a. Pembukuan (1) Kuasa pengguna barang/pengguna barang harus melakukan pendaftaran dan pencatatan barang milik negara/daerah ke dalam Daftar Barang Kuasa Pengguna (DBKP)/Daftar Barang Pengguna (DBP) menurut penggolongan dan kodefikasi barang.

85 | P a g e

(2) Pengelola barang harus melakukan pendaftaran dan pencatatan barang milik negara/daerah berupa tanah dan/atau bangunan dalam Daftar Barang Milik Negara/Daerah (DBMN/D) menurut penggolongan barang dan kodefikasi barang. (3) Penggolongan dan kodefikasi barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan oleh Menteri Keuangan. (4) Penggolongan dan kodefikasi barang daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan oleh Menteri Dalam Negeri setelah mendapat pertimbangan Menteri Keuangan.(Pasal 67) b. Penyimpanan (1) Kuasa pengguna barang/pengguna barang harus menyimpan dokumen kepemilikan barang milik negara/daerah selain tanah dan/atau bangunan yang berada dalam penguasaannya. (2) Pengelola barang harus menyimpan dokumen kepemilikan tanah dan/atau bangunan yang berada dalam pengelolaannya. (Pasal 68) c. Inventarisasi (1) Pengguna barang melakukan inventarisasi barang milik negara/daerah sekurang-kurangnya sekali dalam lima tahun. (2) Dikecualikan dari ketentuan ayat (1), terhadap barang milik negara/daerah yang berupa persediaan dan konstruksi dalam pengerjaan, pengguna barang melakukan inventarisasi setiap tahun. (3) Pengguna barang menyampaikan laporan hasil inventarisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) kepada pengelola barang selambatlambatnyatiga bulan setelah selesainya inventarisasi.(Pasal 69) Ketentuan inventarisas: Pengelola barang melakukan inventarisasi barang milik negara/daerah berupa tanah dan/atau bangunan yang berada dalam penguasaannya sekurangkurangnya sekali dalam lima tahun. (Pasal 70) d. Pelaporan (1) Kuasa pengguna barang harus menyusun Laporan Barang Kuasa Pengguna Semesteran (LBKPS) dan Laporan Barang Kuasa Pengguna Tahunan (LBKPT)untuk disampaikan kepada pengguna barang.

86 | P a g e

(2) Pengguna barang harus menyusun Laporan Barang Pengguna Semesteran (LBPS) dan Laporan Barang Pengguna Tahunan (LBPT) untuk disampaikan kepada pengelola barang. (3) Pengelola barang harus menyusun Laporan Barang Milik Negara/Daerah (LBMN/D) berupa tanah dan/atau bangunan semesteran dan tahunan. (4) Pengelola barang harus menghimpun Laporan Barang Pengguna

Semesteran (LBPS) dan Laporan Barang Pengguna Tahunan (LBPT) sebagaimana dimaksud pada ayat (2) serta Laporan Barang Milik Negara/Daerah (LBMN/D) berupa tanah dan/atau bangunansebagaimana dimaksud pada ayat (3). (5) Pengelola barang harus menyusun Laporan Barang Milik Negara/Daerah (LBMN/D) berdasarkan hasil penghimpun-an laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (4).(Pasal 71). e. Bahan Pembuatan Neraca Laporan Barang Milik Negara/Daerah (LBMN/D) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 ayat (5) digunakan sebagai bahan untuk menyusun neraca pemerintah pusat/daerah. (Pasal 72). Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan pembukuan,

inventarisasi, dan pelaporan barang milik Negara diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan.(Pasal 73) H. Pengendalian dan Pengawasan serta Pembinaan 1. Pengendalian (1) Pengguna barang melakukan pemantauan dan penertiban terhadap

penggunaan,

pemanfaatan,

pemindahtanganan,

penatausahaan,

pemeliharaan, dan pengamanan barang milik negara/daerah yang berada di bawah penguasaannya. (2) Pelaksanaan pemantauan dan penertiban sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) untuk kantor/satuan kerja dilaksanakan oleh kuasa pengguna barang. (3) Kuasa pengguna barang dan pengguna barang dapat meminta aparat pengawas fungsional untuk melakukan audit tindak lanjut hasil pemantauan dan penertiban sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2).

87 | P a g e

(4) Kuasa pengguna barang dan pengguna barang menindaklanjuti hasil audit sebagaimana dimaksud pada ayat (3) sesuai ketentuan perundangundangan.(Pasal 75). 2. Pengawasan (1) Pengelola barang berwenang untuk melakukan pemantauan dan investigasi atas pelaksanaan penggunaan, pemanfaatan, dan pemindahtanganan barang milik negara/daerah, dalam rangka penertiban penggunaan,

pemanfaatan, dan pemindahtanganan barang milik negara/daerah sesuai ketentuan yang berlaku. (2) Sebagai tindak lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pengelola barang dapat meminta aparat pengawas fungsional untuk melakukan audit atas pelaksanaan penggunaan, pemanfaatan, dan pemindahtanganan barang milik negara/daerah. (3) Hasil audit sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan kepada pengelola barang untuk ditindaklanjuti sesuai ketentuan perundang-

undangan. (Pasal 76) 3. Pembinaan (1) Menteri Keuangan menetapkan kebijakan umum pengelolaan barang milik negara/daerah. (2) Menteri Keuangan menetapkan kebijakan teknis dan melakukan pembinaan pengelolaan barang milik negara. (3) Menteri Dalam Negeri menetapkan kebijakan teknis dan melakukan pembinaan pengelolaan barang milik daerah sesuai dengan kebijakan sebagaimana ayat (1). I. GANTI RUGI dan SANKSI (1) Setiap kerugian negara/daerah hukum atas akibat pengelolaan kelalaian, barang milik

penyalahgunaan/pelanggaran

negara/daerah diselesaikan melalui tuntutan ganti rugi sesuai dengan peraturan perundangundangan. (2) Setiap pihak yang mengakibatkan kerugian negara/daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikenakan sanksi administratif dan/atau sanksi pidana sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

88 | P a g e

REFERENSI: PENGELOLAAN BARANG MILIK NEGARA(STATE PROPERTY MANAGEMENT) Oleh: Pokja RPP Pengelolaan BMN/D pada KPMK A. PENGANTAR BMN/D memiliki fungsi yang sangat strategis dalam penyelenggaraan pemerintahan tetapi dalam pelaksanaan pengelolaannya sarat dengan potensi konflik kepentingan. Gambaran umum pengelolaan BMN/D selama ini adalah: 1. Belum lengkapnya data mengenai jumlah, nilai, kondisi dan status

kepemilikannya 2. Belum tersedianya database yang akurat dalam rangka penyusunan Neraca Pemerintah. 3. Pengaturan yang ada belum memadai dan terpisah-pisah. 4. Kurang adanya persamaan persepsi dalam hal pengelolaan BMN/D. Makalah ini dimaksudkan untuk menguraikan mengenai pokok-pokok pengaturan pengelolaan Barang Milik Negara sesuai UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, serta arah penyusunan pedoman pelaksanaan di bidang pengelolaan BMN, sebagai tindaklanjut dari UU No. 1 Tahun 2004. B. PENGATURAN PENGELOLAAN BMN SESUAI UU 1/2004 DAN UU 17/2003 Undang-undang No. 1 Tahun 2004 mengamanatkan pengelolaan BMN dituangkan dalam bentuk Peraturan Pemerintah. Adapun pokok-pokok pengaturan pengelolaan BMN sesuai Undang-undang dimaksud meliputi hal-hal sebagai berikut: 1. Adanya pemisahan peran antara pengelola dan pengguna (pasal 42, 43, dan 44 UU No. 1/2004), yang selanjutnya perlu pengaturan yang jelas mengenai hak dan kewajiban antara pengelola dan pengguna; 2. Barang Milik Negara yang diperlukan bagi penyelenggaraan tugas pemerintahan negara/daerah tidak dapat dipindahkan (Pasal 45 ayat (1) UU No. 1 Tahun 2004). Dengan demikian, pemanfaatan BMN oleh pengguna diarahkan untuk

penyelenggaraan Tupoksi masing-masing. 3. Pemindahtanganan barang milik negara/daerah dilakukan dengan cara dijual, dipertukarkan, dihibahkan, atau disertakan sebagai modal Pemerintah setelah mendapat persetujuan DPR (Pasal 45 ayat (2) UU No. 1 Tahun 2004).

89 | P a g e

4. Persetujuan DPR sebagaimana dimaksud pada butir 3 di atas adalah untuk pemindahtanganan BMN yang berupa tanah dan bangunan, dengan beberapa pengecualian. Persetujuan DPR juga diperlukan untuk pemindahtanganan BMN diluar tanah dan bangunan yang bernilai lebih dari Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah). Sedangkan pemindahtanganan BMN diluar tanah dan bangunan yang bernilai Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) sampai dengan Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar dan yang rupiah) dilakukan setelah

mendapatkan persetujuan Presiden,

bernilai sampai dengan

Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) dilakukan setelah mendapatkan persetujuan Menteri Keuangan (Pasal 46 UU No. 1 Tahun 2004). 5. Penjualan BMN prinsipnya dilakukan dengan cara lelang, kecuali dalam hal-hal tertentu yang pengaturan lebih lanjut diatur dalam peraturan pemerintah (Pasal 48 UU No. 1 Tahun 2004). 6. BMN yang berupa tanah yang dikuasai Pemerintah Pusat harus disertifikatkan atas nama pemerintah Republik Indonesia yang bersangkutan (Pasal 49 ayat (1) UU No. 1 Tahun 2004). Yang perlu diatur lebih lanjut adalah apakah sertifikasi tanah tersebut atas nama Pemerintah RI atau atas nama Pemerintah RI c.q Menteri Keuangan atau atas nama Pemerintah RI c.q. instansi/

kementerian/lembaga pengguna , karena masing-masing alternatif memiliki implikasi yang berbeda. Demikian juga untuk sertifikasi tanah-tanah pemerintah daerah. Dalam kaitannya dengan sertifikasi tanah dalam penjelasan pasal 49 ayat (1) UU No. 1/2004 diamanatkan perlunya pengaturan pelaksanaan oleh Menteri Keuangan selaku Bendaharawan Umum Negara berkoordinasi dengan lembaga yang bertanggungjawab di bidang pertanahan; 7. Bangunan Milik Negara harus dilengkapi dengan bukti status kepemilikan dan ditatausahakan dengan tertib (Pasal 49 ayat (2) UU No. 1/2004). 8. Khusus untuk tanah dan bangunan (pasal 49 ayat (3)) apabila tidak dimanfaatkan untuk menunjang Tupoksi wajib diserahkan kepada Menteri Keuangan. 9. BMN dilarang untuk diserahkan kepada pihak lain sebagai pembayaran atas tagihan kepada pemerintah pusat atau pemerintah daerah, dilarang digadaikan atau dijadikan jaminan untuk mendapatkan pinjaman, dan dilarang untuk dilakukan penyitaan (Pasal 49 ayat (4) dan (5) serta pasal 50 huruf c dan d UU No. 1 Tahun 2004).

90 | P a g e

10. Ketentuan mengenai pedoman teknis dan administrasi pengelolaan BMN diatur dengan peraturan pemerintah (Pasal 49 ayat (6) UU No. 1 Tahun 2004). C. BATASAN PENGATURAN DALAM RPP 1. Negara Pengertian atau batasan Negara dalam kata Barang Milik Negara (BMN) adalah Pemerintah RI, dalam arti kementerian negara/lembaga. Pengertian lembaga adalah sebagaimana dimaksud dalam penjelasan pasal 6 ayat (2) huruf b UU No. 17/2003, yaitu lembaga negara dan lembaga pemerintah nonkementerian negara. 2. Barang Milik Negara (BMN) Yang dimaksud BMN sesuai dengan pasal 1 butir 10 UU No 1 Tahun 2004 adalah semua barang yang dibeli atau diperoleh atas beban APBN atau berasal dari perolehan lainnya yang sah. BMN dimaksud dapat berada di semua tempat, tidak terbatas hanya yang ada pada kementerian/lembaga, namun juga yang berada pada Perusahaan Negara dan BHMN atau bentuk-bentuk kelembagaan lainnya yang belum ditetapkanstatusnya menjadi kekayaan negara yang dipisahkan. Sedangkan terhadap BMN yang statusnya sudah ditetapkan menjadi kekayaan Negara yang dipisahkan diatur secara terpisah dari ketentuan ini. Untuk barang-barang yang dibeli atau diperoleh atas beban APBN dapat lebih mudah identifikasinya sebagai bagian dari BMN. Sedangkan untuk barangbarang yang berasal dari perolehan yang sah perlu adanya batasan yang lebih jelas, mana yang termasuk sebagai BMN. Dalam hal ini, batasan pengertian barangbarang yang berasal dari perolehan yang sah adalah barang-barang yang menurut ketentuan perundang-undangan, ketetapan pengadilan, dan/atau perikatan yang sah ditetapkan sebagai Barang Milik Negara . 3. Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah Sesuai pasal 48 ayat (2) dan penjelasan atas pasal 49 ayat (6) UU No. 1 Tahun 2004, ruang lingkup pengaturan pengelolaan BMN dalam Peraturan Pemerintah meliputi penjualan barang melalui pelelangan dan pengecualiannya, perencanaan kebutuhan, tata cara penggunaan, pemanfaatan, pemeliharaan, penatausahaan, penilaian, penghapusan dan pemindahtanganan. Rumusan tersebut merupakan siklus minimal atas seluruh mata rantai siklus pengelolaan barang milik negara/daerah (asset management cycle).

91 | P a g e

D. LANDASAN PEMIKIRAN PENGELOLAAN BMN Landasan-landasan pengelolaan BMN meliputi: 1. Landasan Filosofi Hakekat BMN/D merupakan salah satu unsur penting penyelenggaraan pemerintahan dalam kerangka NKRI untuk mencapai cita-cita dan tujuan berbangsa dan bernegara sebagaimana diamanatkan dalam Pembukaan UUD 1945. Oleh karena itu, pengelolaan BMN/D perlu dilakukan dengan mendasarkan pada perturan perundang-undangan yang berlaku untuk menjamin tercapainya cita-cita dan tujuan dimaksud. 2. Landasan Operasional Landasan Operasional Pengelolaan BMN/D lebih berkaitan dengan pemikiran yang digunakan dalam pengaturan

kewenangan institusi atau Lembaga Pengelola/Pengguna Barang milik negara, yang dapat dikemukakan sebagai berikut:

Pengelolaan Kekayaan Negara yang bersumber pada pasal 33 ayat 3 UUD 1945 adalah Negara adalah badan penguasa atas barang negara dengan hak menguasai dan bertujuan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Instansi pengelolanya adalah instansi pemerintah departemen/LPND yang diberikan wewenang untuk itu. Tanah oleh Badan Pertanahan Nasional, Tambang oleh Departemen Sumber Daya Mineral dan Energi, laut dan kekayaannya oleh Departemen Kelautan dan sebagainya. Pengaturan atas pengelolaan barang milik negara dalam ruang lingkup ini telah diatur dalam berbagai undang-undang.

Pengelolaan Barang milik negara yang bersumber pada pasal 23 UUD 1945 adalah Negara sebagai Pemerintah Republik Indonesia yang dapat memiliki barang atau sesuatu sebagai aset kekayaan pemerintah dengan tujuan untuk menjalankan roda pemerintahan. Instansi pengelola adalah Presiden yang didelegasikan kepada Menteri Keuangan dan instansi pengguna adalah kementerian negara/lembaga.

3. Landasan Yuridis Acuan dasar dalam pengelolaan BMN/D tertuang dalam UU No. 17 Tahun 2003 dan UU No 1 Tahun 2004, khususnya Bab VII dan Bab VIII pasal 42 s/d pasal

92 | P a g e

50. Untuk itu seluruh Peraturan Perundang-undangan yang ada perlu dikaji kembali termasuk penerapannya untuk disesuaikan dengan acuan trsebut di atas. 4. Landasan Sosiologis Rasa ikut memiliki ( sense of bilonging ) masyarakat terhadap BMN/D merupakan wujud kepercayaan kepada pemerintah yang antara lain diwujudkan dalam bentuk keterlibatannya dalam merawat dan mengamankan BMN/D dengan baik. Namun, masih ditemui adanya pandangan sebagian anggota masyarakat bahwa BMN adalah milik rakyat secara bersama, yang diwujudkan adanya usahausaha untuk memanfaatkan dan memiliki BMN/D tanpa memperhatikan kaidahkaidah hukum yang berlaku, misalnya penguasaan, penyerobotan, atau penjarahan tanah-tanah negara. Pengaturan yang memadai mengenai pengelolaan BMN/D antara lain diharapkan dapat meningkatkan partisipasi masyarakat dalam

pengamanan dan optimalisasi pendayagunaan BMN/D dengan selalu mendasarkan pada kaidah-kaidah atau ketentuan yang berlaku. E. AZAS-AZAS PENGELOLAAN BMN Pengelolaan BMN dilaksanakan dengan memperhatikan azas-azas sebagai berikut: 1. Azas fungsional Pengambilan keputusan dan pemecahan masalah-masalah dibidang

pengelolaan BMN dilaksanakan oleh pengelola dan/atau pengguna BMN sesuai fungsi, wewenang, dan tangung jawab masing-masing. 2. Azas kepastian hukum Pengelolaan BMN harus dilaksanakan berdasarkan hukum dan peraturan perundang-undangan, serta azas kepatutan dan keadilan. 3. Azas transparansi (keterbukaan) Penyelenggaraan pengelolaan BMN harus transparan dan membuka diri terhadap hak dan peran serta masyarakat dalam memperoleh informasi yang benar dan keikutsertaannya dalam mengamankan BMN. 4. Efisiensi Penggunaan BMN diarahkan sesuai batasan-batasan standar kebutuhan yang diperlukan untuk menunjang penyelenggaraan Tupoksi pemerintahan secara optimal.

93 | P a g e

5. Akuntanbilitas publik Setiap kegiatan pengelolaan BMN harus dapat dipertaggungjawabkan kepada rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi negara. 6. Kepastian nilai Pendayagunaan BMN harus didukung adanya akurasi jumlah dan nominal BMN. Kepastian nilai merupakan salah satu dasar dalam Penyusunan Neraca Pemerintah dan pemindahtanganan BMN. F. LINGKUP PENGATURAN PENGELOLAAN DALAM RPP Untuk merumuskan siklus yang lebih lengkap, maka ruang lingkup Peraturan Pemerintah tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah yang sedang dalam proses pembahasan, yang khusus terkait dengan pengelolaan BMN meliputi: 1. Pengertian, maksud dan tujuan, asas-asas, lingkup BMN; 2. Pejabat pengelolaan BMN, yang berkedudukan sebagai pengelola, dan pengguna BMN beserta hak dan kewajibannya); 3. Perencanaan Kebutuhan dan Pengadaan, yang terkait dengan perencanaan kebutuhan BMN dan perolehan (kegiatan atau proses suatu kekayaan/barang menjadi BMN), terutama yang berasal dari pengadaan; 4. Penguasaan, penetapan Penetapan pihak Status yang dan Penggunaan, menggunakan mengenai dan ketentuan hak,

BMN

berhak

batasan

kewenangan dan kewajiban dalam penggunaan BMN. 5. Pemanfaatan, yang berisi tentang ketentuan pemanfaatan BMN, pihak yang berhak menentukan pemanfaatan BMN, dan batasan hak, kewenangan dan kewajiban dalam pemanfaatan BMN; 6. Pengamanan, yang berisi tentang pengaturan pengamanan dari segi

administrasi, hukum dan fisik; 7. Penilaian, tentang ketentuan mengenai penilaian BMN dalam rangka

pemanfaatan, pemindahtanganan, dan pelaporan BMN; 8. Penghapusan, mengenai pertimbangan penghapusan, tindak lanjut

penghapusan, dan prosedur penghapusan; 9. Pemindahtangan, mengenai ketentuan-ketentuan mengenai penjualan,

pertukaran, hibah, penyertaan pemerintah atas BMN;

94 | P a g e

10. Penatausahaan, pengaturan tentang pendataan atas seluruh kekayaan yang ada pada seluruh kementerian negara/lembaga baik di lingkungan Pemerintah Pusat dan kekayaan yang ada pada pihak lain, misalnya BUMN dan Badan Usaha lainnya; kegiatan pencatatan dan pembukuan; dan kegiatan pelaporan; 11. Pengawasan/Pengendalian, pengaturan tentang pengawasan atau pengendalian atas penggunaan, pemanfaatan dan pemindahtanganan BMN; 12. Sanksi/Tuntutan Ganti Rugi terkait dengan pengelolaan BMN G. TAHAP PENYELESAIAN PENYUSUNAN RPP Tahap-tahap yang telah dilaksanakan dalam penyusunan RPP dimaksud meliputi: 1. Seminar Naskah Akademis; 2. Menghimpun masukan-masukan dari nara sumber terkait; 3. Penyusunan pointers pengaturan di bidang pengelolaan BMN; 4. Drafting materi ke dalam RPP Tahapan-tahapan berikutnya dalam penyelesaian RPP meliputi: 1. Penyelesaian drafting RPP dan penyempurnaan legal draftingnya 2. Seminar draft RPP 3. Penyeahan RPP kepada KPMK sampai dengan penyelesaian menjadi PP pada Sekretariat Negara;

95 | P a g e

Rangkuman Yang dimaksud BMN sesuai dengan pasal 1 butir 10 UU No 1 Tahun 2004 adalah semua barang yang dibeli atau diperoleh atas beban APBN atau berasal dari perolehan lainnya yang sah. BMN dimaksud dapat berada di semua tempat, tidak terbatas hanya yang ada pada kementerian/lembaga, namun juga yang berada pada Perusahaan Negara dan BHMN atau bentuk-bentuk kelembagaan lainnya yang belum ditetapkanstatusnya menjadi kekayaan negara yang dipisahkan. Sedangkan terhadap BMN yang statusnya sudah ditetapkan menjadi kekayaan Negara yang dipisahkan diatur secara terpisah dari ketentuan ini. Sesuai pasal 48 ayat (2) dan penjelasan atas pasal 49 ayat (6) UU No. 1 Tahun 2004, ruang lingkup pengaturan pengelolaan BMN dalam Peraturan Pemerintah meliputi penjualan barang melalui pelelangan dan pengecualiannya, perencanaan kebutuhan, tata cara penggunaan, pemanfaatan, pemeliharaan, penatausahaan, penilaian, penghapusan dan pemindahtanganan. Rumusan tersebut merupakan siklus minimal atas seluruh mata rantai siklus pengelolaan barang milik negara/daerah (asset management cycle).

Latihan Soal 1. Apa yang dimaksud dengan BMN? 2. sebutkan dasar hukum pengelolaa BMN? 3. Sebutkan dan jelaskan azas-azas pengelolaan BMN?

96 | P a g e

BAB
ASPEK LEGAL PENGADAAN BARANG DAN JASA (1)

Tujuan Instruksional Khusus: Setelah mempelajari bab ini, mahasiswa diharapkan mengerti dan memahami berbagai aspek legal dalam pengadaan barang dan jasa.

A. Penunjukkan kepada Pengguna Barang/Jasa 1. Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa dilakukan melalui: a. Swakelola; dan/atau b. pemilihan Penyedia Barang/Jasa. 2. Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah dalam Peraturan Presiden ini meliputi: a. b. c. d. Barang; Pekerjaan Konstruksi; Jasa Konsultansi; dan Jasa Lainnya.

3. Pengadaan Barang/Jasa menerapkan prinsip-prinsip sebagai berikut: a. b. c. d. e. f. g. efisien; efektif; transparan; terbuka; bersaing; adil/tidak diskriminatif; dan akuntabel.

Ketika DIPA sudah di sahkanKegiatan yang harus dilakukan adalah penerbitan Surat Keputusan Penunjukan Pengguna Barang/Jasa 1) Setelah menerima SK Penunjukan pengguna barang/jasa, KPA (dalam hal ini sebagai pejabat pengadaan) yang ditujuk melalui kewenangan PA, segera

97 | P a g e

membuat persiapan-persiapan yang berhubungan dengan tugas dan fungsinya. 2) Pengguna barang/jasa (dalam hal ini KPA) diharuskan mengetahui pentingnya perencanaan 3) KPA mengetahui tugas pokok dan syarat-syarat sebagai pengguna barang/jasa 4) PA mengawasi pelaksanaan anggaran 5) Perencanaan pangadaan barang/jasa (termasuk PBJ secara swakelola) mulai dari spesifikasi teknis Barang/Jasa; Harga Perkiraan Sendiri (HPS); dan rancangan Kontrak dilaksanakan oleh PPK (Pejabat Pembuat Komitmen) B. Pembentukan Panitia/Pejabat Pengadaan 1. Kegiatan yang harus dilakukan adalah menyusun team kerja dengan memperhatikan syarat-syarat pembentukannya sesuai dengan Perpres no 54 tahun 2010. 2. Perencanaan pengadaan Lingkup perencanaan: a. PA/KPA membuat rencana umum dan pembiayaan pengadaan; b. PPK membuat rencana (teknis)termasuk spesifikasi, HPS, dan hal-hal yang bersifat teknis lainnya pengadaan; c. ULP membuat rencana pelaksanaan (pelelangan/seleksi) pengadaan. 3. Perpres 54/2010 mewajibkan pembentukan ULP dapat diselesaikan paling lambat pada tahun 2014 dan berbentuk struktural di seluruh K/L/D/I serta dibentuk berdasarkan keputusan Menteri/Pimpinan Lembaga/Kepala Daerah/Pimpinan Institusi. 4. Anggota Kelompok kerja ULP: a. Berjumlah gasal minimal 3(tiga) orang b. Dapat ditambah sesuai dengan kompleksitas pekerjaan. c. Dapat dibantu aanwijzer 5. Dalam penyusunan Panitia/Pejabat Pengadaanharus memperhatikan: a. Paket Pengadaan Barang/Pekerjaan Konstruksi/Jasa Lainnya yang bernilai paling tinggi Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dapat dilaksanakan oleh ULP atau 1 (satu) orang Pejabat Pengadaan.

98 | P a g e

b. Paket

Pengadaan

Jasa

Konsultansi

yang

bernilai

paling

tinggi

Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dapat dilaksanakan oleh ULP atau 1 (satu) orang Pejabat Pengadaan. c. Pengadaan Langsung dilaksanakan oleh 1 (satu) orang Pejabat Pengadaan. 6. Anggota Kelompok Kerja ULP/Pejabat Pengadaan memenuhipersyaratan sebagai berikut: a. memiliki integritas, disiplin dan tanggung jawab dalammelaksanakan tugas; b. memahami pekerjaan yang akan diadakan; c. memahami jenis pekerjaan tertentu yang menjadi tugasULP/Pejabat Pengadaan yang bersangkutan; d. memahami isi dokumen, metode dan prosedur Pengadaan; e. tidak mempunyai hubungan keluarga dengan Pejabatyang menetapkannya sebagai anggota ULP/PejabatPengadaan; f. memiliki Sertifikat Keahlian Pengadaan Barang/Jasa sesuaidengan

kompetensi yang dipersyaratkan; dan g. menandatangani Pakta Integritas. 7. Tugas pokok dan kewenangan ULP/Pejabat Pengadaan meliputi: a. b. c. d. menyusun rencana pemilihan Penyedia Barang/Jasa; menetapkan Dokumen Pengadaan; menetapkan besaran nominal Jaminan Penawaran; mengumumkan pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa di website K/L/D/I masing-masing dan papan pengumuman resmi untuk masyarakat serta menyampaikan ke LPSE untuk diumumkan dalam Portal Pengadaan Nasional; e. menilai kualifikasi Penyedia Barang/Jasa melalui prakualifikasi atau pascakualifikasi; f. melakukan evaluasi administrasi, teknis dan harga terhadap penawaran yang masuk; g. khusus untuk ULP: 1) menjawab sanggahan; 2) menetapkan Penyedia Barang/Jasa untuk:

99 | P a g e

a) Pelelangan atau Penunjukan Langsung untuk paket Pengadaan Barang/Pekerjaan Konstruksi/Jasa Lainnya yang bernilai paling tinggi Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah); atau b) Seleksi atau Penunjukan Langsung untuk paket Pengadaan Jasa Konsultansi yang bernilaipaling tinggi Rp10.000.000.000,00

(sepuluhmiliar rupiah); 3) menyerahkan salinan Dokumen Pemilihan PenyediaBarang/Jasa kepada PPK; 4) menyimpan dokumen asli pemilihan Penyedia Barang/Jasa; C. Pemaketan Pekerjaan Kegiatan yang harusdilakukanadalah:PejabatPenggunaBarang/Jasa bersama Panitia penggadaan barang/jasa wajib memaksimalkan penggunan produksi dalam negeri dan perluasan kesempatan bagi usaha kecil termasuk koperasi kecil 1. Pengguna barang/jasa diwajibkan: a. menetapkan sebanyak-banyaknyapaket usaha untuk Usaha Mikro dan Usaha Kecil serta koperasikecil tanpa mengabaikan prinsip efisiensi, persaingan sehat,kesatuan sistem dan kualitas kemampuan teknis. b. PA mengumumkan Rencana Umum Pengadaan Barang/Jasa di masingmasing K/L/D/I secara terbuka kepada masyarakat luas setelah rencana kerja dan anggaran K/L/D/I disetujui oleh DPR/DPRD. 2. Pengguna barang/jasa dilarang: a. menyatukan atau memusatkan beberapa kegiatan yangtersebar di beberapa lokasi/daerah yang menurut sifatpekerjaan dan tingkat efisiensinya

seharusnya dilakukandi beberapa lokasi/daerah masing-masing; b. menyatukan beberapa paket pengadaan yang menurut sifat dan jenis pekerjaannya bisa dipisahkan dan/atau besaran nilainya seharusnya dilakukan oleh Usaha Mikro dan Usaha Kecil serta koperasi kecil; c. memecah Pengadaan Barang/Jasa menjadi beberapa paket dengan maksud menghindari pelelangan; dan/atau d. menentukan kriteria, persyaratan atau prosedur pengadaan yang diskriminatif dan/atau dengan pertimbangan yang tidak obyektif.

100 | P a g e

3. Jadwal Pelaksanaan Pekerjaan a. Jadual pelaksanaan pekerjaan meliputi: pelaksanaan pemilihan penyedia barang/jasa, waktu mulai dan berakhirnya pelaksanaan pekerjaan, dan waktu serah terima akhir hasil pekerjaan; b. Pembuatan jadual pelaksanaan pekerjaan disusun sesuai dengan waktu yang diperlukan serta dengan memperhatikan batas akhir tahun

anggaran/batas akhir efektifnya anggaran. 4. Biaya Pengadaan: Pengguna barang/jasa wajib menyediakan biaya yang diperlukan untuk proses pengadaan. D. Penetapan sistem Pengadaan yang dilaksanakan Penyedia Barang/Jasa Kegiatan yang haru sdilakukan adalah sebagai berikut: 1. Penetapan Metoda Pemilihan Penyedia Barang Jasa Pemborongan/Jasa Lainnya:
a. Metoda pemilihan Penyedia barang/jasa pemborongan/Jasa lainnya:

1) Pelelangan a) Pelelangan Umum b) Pelelangan Sederhana Untuk pengadaan Barang/JasaLainnya yang: Tidak kompleks Bernilai Rp. 200 juta Pasca kualifikasi Pengumuman min 3 hari

2) Penunjukan Langsung 3) Pengadaan Langsung(Untuk pengadaan Rp.100 jt) 4) Sayembara/Kontes


b. Metoda pemilihan Penyedia Jasa Konsultasi:

1) Seleksi a) Seleksi Umum b) Seleksi Sederhana 2) Penunjukan Langsung 3) Pengadaan Langsung

101 | P a g e

4) Sayembara 2. PenetapanmetodaPenyampaianDokumenPenawaran:
a. Metoda Satu sampul

1) Untuk pelaksanaan Seleksi Sederhana 2) Untuk metode evaluasi pagu anggaran dan biaya terendah
b. Metoda dua sampul

1) Tidak dapat digunakan untuk pengadaan Pekerjaan Konstruksi.


c.

Metoda Dua 1) Tidak dapat digunakan utk pengadaan Jasa Konsultansi 2) Tidak ada penyetaraan teknis

3. Metode evaluasi penawaran a. Metode evaluasi penawaran dalam pemilihan Penyedia Barang / Pekerjaan Konstruksi / Jasa Lainnya terdiri atas: 1) sistem gugur; 2) sistem nilai; dan 3) sistem penilaian biaya selama umur ekonomis. b. Metode evaluasi penawaran untuk Pengadaan Barang/Pekerjaan Konstruksi/Jasa Lainnya pada prinsipnya menggunakan penilaian sistem gugur. c. Pengadaan Barang/Pekerjaan Konstruksi/Jasa Lainnya yang bersifat kompleks, dapat menggunakan metode evaluasi sistem nilai atau metode evaluasi penilaian biaya selama umur ekonomis. d. Metode evaluasi penawaran dalam pemilihan Penyedia Jasa Konsultansi dapat dilakukan dengan menggunakan: e. metode evaluasi berdasarkan kualitas; 1) mengutamakan kualitas penawaran teknis sebagai faktoryang menentukan terhadap hasil/manfaat (outcome) secara keseluruhan; dan/atau 2) lingkup pekerjaan yang sulit ditetapkan dalam KAK f. metode evaluasi berdasarkan kualitas dan biaya; 1) lingkup, keluaran (output), waktu penugasan dan hal-hal lain dapat diperkirakan dengan baik dalam KAK; dan/atau 2) besarnya biaya dapat ditentukan dengan mudah, jelas dan tepat.

102 | P a g e

g. metode evaluasi berdasarkan Pagu Anggaran; 1) sudah ada aturan yang mengatur (standar); 2) dapat dirinci dengan tepat; atau 3) anggarannya tidak melampaui pagu tertentu. h. metode evaluasi berdasarkan biaya terendah. digunakan untuk pekerjaan yang bersifat sederhana dan standar.

Rangkuman Pada prinsipnya PBJ dilakukan melalui pelangan umum. Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa dilakukan melalui: 1. Swakelola; dan/atau 2. pemilihan Penyedia Barang/Jasa. Pengadaan Barang/Jasa menerapkan prinsip-prinsip sebagai berikut: 1. efisien; 2. efektif; 3. transparan; 4. terbuka; 5. bersaing; 6. adil/tidak diskriminatif; dan 7. akuntabel Metoda pemilihan Penyedia barang/jasa Pemborongan/Jasa lainnya: 1. Pelelangan a. Pelelangan Umum b. Pelelangan Sederhana 2. Penunjukan Langsung 3. Pengadaan Langsung(Untuk pengadaan Rp.100 jt) 4. Sayembara/Kontes Metoda pemilihan Penyedia Jasa Konsultasi: 1. Seleksi a. Seleksi Umum b. Seleksi Sederhana 2. Penunjukan Langsung

103 | P a g e

3. Pengadaan Langsung 4. Sayembara Metode evaluasi penawaran Metode evaluasi penawaran dalam pemilihan Penyedia Barang / Pekerjaan Konstruksi / Jasa Lainnya terdiri atas: 1. sistem gugur; 2. sistem nilai; dan 3. sistem penilaian biaya selama umur ekonomis.

Latihan Soal 1. 2. 3. 4. Mengapa diperlukan PBJ? Sebutkan dasar hukum PBJ? Sebutka dan uraikan apa yang mejadi tanggungjawab panitia pengadaan? Sebutkan dan jelaskan metoda evaluasi penawaran pengadaan PBJ?

104 | P a g e

BAB
PEMERIKSAAN PENGELOLAAN DAN TANGGUNG JAWAB KEUANGAN NEGARA (1)

Tujuan Instruksional Khusus: Setelah mempelajari bab ini, mahasiswa diharapkan mengetahui dan menguasai pemeriksaan pengelolaan keuangan negara.
A. Pengertian Umum

10 0

1. Pemeriksaan:adalah proses identifikasi masalah, analisis, dan evaluasi yang dilakukan secara independen, obyektif, dan profesional berdasarkan standar pemeriksaan, untuk menilai kebenaran, kecermatan, kredibilitas, dan keandalan informasi mengenai pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara. 2. Pengelolaan Keuangan Negara: adalah keseluruhan kegiatan pejabat pengelola keuangan negara sesuai dengan kedudukan dan kewenangannya, yang meliputi perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan pertanggungjawaban. 3. Tanggung Jawab Keuangan Negara: adalah kewajiban Pemerintah untuk melaksanakan pengelolaan keuangan negara secara tertib, taat pada peraturan perundang-undangan, efisien, ekonomis, efektif, dan transparan, dengan memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan. B. Lingkup Pemeriksaan 1. Pemeriksaan keuangan negara meliputi pemeriksaan atas pengelolaan

keuangan negara dan pemeriksaan atas tanggung jawab keuangan negara. 2. BPK melaksanakan pemeriksaan atas pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara. 3. Pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara yang dilakukan oleh BPK meliputi seluruh unsur keuangan negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara( a. hak negara untuk memungut pajak, mengeluarkan dan mengedarkan uang, dan melakukan pinjaman; b. kewajiban negara untuk menyelenggarakan tugas layanan umum pemerintahan negara dan membayar tagihan pihak ketiga;

105 | P a g e

c. Penerimaan Negara; d. Pengeluaran Negara; e. Penerimaan Daerah; f. Pengeluaran Daerah; g. kekayaan negara/kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau oleh pihak lain berupa uang, surat berharga, piutang, barang, serta hak-hak lain yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan negara/ perusahaan daerah; h. kekayaan pihak lain yang dikuasai oleh pemerintah dalam rangka penyelenggaraan tugas pemerintahan dan/atau kepentingan umum; i. kekayaan pihak lain yang diperoleh dengan menggunakan fasilitas yang diberikan pemerintah). 4. Dalam hal pemeriksaan dilaksanakan oleh akuntan publik berdasarkan ketentuan undang-undang, laporan hasil pemeriksaan tersebut wajib disampaikan kepada BPK dan dipublikasikan. 5. Pemeriksaan sebagaimana dimaskud dalam nomor 1 dan 2 diatas terdiri atas pemeriksaan keuangan, pemeriksaan kinerja, dan pemeriksaan dengan tujuan tertentu. 6. Pemeriksaan Keuangan adalah pemeriksaan atas laporan keuangan. 7. Pemeriksaan Kinerja adalah pemeriksaan atas pengelolaan keuangan negara yang terdiri atas pemeriksaan aspek ekonomi dan efisiensi serta pemeriksaan aspek efektivitas. 8. Pemeriksaan dengan tujuan tertentu adalah pemeriksaan yang tidak termasuk dalam pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada nomor (6) dan (7). 9. Pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam nomor (3) dan (4) dilaksanakan berdasarkan standar pemeriksaan. 10. Standar pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada nomor (9) disusun oleh BPK, setelah berkonsultasi dengan Pemerintah. C. Standar Pemeriksaan Keuangan Negara (SPKN) 1. Standar pemeriksaan adalah patokan untuk melakukan pemeriksaan

pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara yang meliputi standar umum, standar pelaksanaan pemeriksaan, dan standar pelaporan yang wajib dipedomani oleh BPK dan/atau pemeriksa. 2. Standar pemeriksaan keuangan negara sebagaimana dimaksud sekurangkurangnya memuat (persyaratan) hal-hal sebagai berikut:

106 | P a g e

a. Pemeriksa tidak mempunyai hubungan pertalian darah ke atas, ke bawah, atau semenda sampai dengan derajat kedua dengan jajaran pimpinan objek pemeriksaan; b. Pemeriksa tidak mempunyai kepentingan keuangan baik secara langsung maupun tidak langsung dengan objek pemeriksaan; c. Pemeriksa tidak pernah bekerja atau memberikan jasa kepada objek pemeriksaan dalam kurun waktu 2 (dua) tahun terakhir; d. Pemeriksa tidak mempunyai hubungan kerja sama dengan objek

pemeriksaan; dan e. Pemeriksa tidak terlibat baik secara langsung maupun tidak langsung dalam kegiatan objek pemeriksaan, seperti memberikan asistensi, jasa konsultansi, pengembangan sistem, menyusun dan/atau mereview laporan keuangan objek pemeriksaan.(Pasal 31 ayat 4 UU 15 Tahun 2006 tentang BPK) D. Pelaksanaan Pemeriksaan 1. Penentuan obyek pemeriksaan, perencanaan dan pelaksanaan pemeriksaan, penentuan waktu dan metode pemeriksaan, serta penyusunan dan penyajian laporan pemeriksaan dilakukan secara bebas dan mandiri oleh BPK. 2. Dalam merencanakan tugas pemeriksaan, BPK memperhatikan permintaan, saran, dan pendapat lembaga perwakilan. 3. Dalam rangka membahas permintaan, saran, dan pendapat sebagaimana dimaksud pada nomor (4.2.), BPK atau lembaga perwakilan dapat mengadakan pertemuan konsultasi. 4. Dalam merencanakan tugas pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam nomor (4.1.), BPK dapat pula mempertimbangkan informasi dari pemerintah, bank sentral, dan masyarakat. 5. Pemanfaatan Kinerja Aparat Pemeriksa Intern a. Dalam menyelenggarakan pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara, BPK dapat memanfaatkan hasil pemeriksaan aparat pengawasan intern pemerintah. b. Untuk keperluan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), laporan hasil pemeriksaan intern pemerintah wajib disampaikan kepada BPK.

107 | P a g e

c. Dalam melaksanakan tugas pemeriksaan, BPK dapat menggunakan pemeriksa dan/atau tenaga ahli dari luar BPK yang bekerja untuk dan atas nama BPK E. Pelaksanaan Tugas Pemeriksaan 1. meminta dokumen yang wajib disampaikan oleh pejabat atau pihak lain yang berkaitan dengan pelaksanaan pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara; 2. mengakses semua data yang disimpan di berbagai media, aset, lokasi, dan segala jenis barang atau dokumen dalam penguasaan atau kendali dari entitas yang menjadi obyek pemeriksaan atau entitas lain yang dipandang perlu dalam pelaksanaan tugas pemeriksaannya; 3. melakukan penyegelan tempat penyimpanan uang, barang, dan dokumen pengelolaan keuangan negara; 4. meminta keterangan kepada seseorang;(dapat melakukan pemanggilan kepada seseorang). 5. memotret, merekam dan/atau mengambil sampel sebagai alat bantu

pemeriksaan; 6. Dalam rangka pemeriksaan keuangan dan/atau kinerja, pemeriksa melakukan pengujian pemerintah. F. Investigasi Dan Temuan Kasus Pidana Pemeriksa dapat melaksanakan pemeriksaan investigatif guna mengungkap adanya indikasi kerugian negara/daerah dan/atau unsur pidana. 1. Apabila dalam pemeriksaan ditemukan unsur pidana, BPK segera melaporkan hal tersebut kepada instansi yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 2. Tata cara penyampaian laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur bersama oleh BPK dan Pemerintah. dan penilaian atas pelaksanaan sistem pengendalian intern

108 | P a g e

Rangkuman Pengelolaan Keuangan Negara: adalah keseluruhan kegiatan pejabat pengelola keuangan negara sesuai dengan kedudukan dan kewenangannya, yang meliputi perencanaan, pelaksanaan, Tanggung Jawab Keuangan pengawasan, adalah dan pertanggungjawaban. Pemerintah untuk

Negara:

kewajiban

melaksanakan pengelolaan keuangan negara secara tertib, taat pada peraturan perundang-undangan, efisien, ekonomis, efektif, dan transparan, dengan

memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan. Pemeriksaan keuangan negara meliputi pemeriksaan atas pengelolaan keuangan negara dan pemeriksaan atas tanggung jawab keuangan negara. Patokan untuk melakukan pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara yang meliputi standar umum, standar pelaksanaan pemeriksaan, dan standar pelaporan yang wajib dipedomani oleh BPK dan/atau pemeriksa disebut dengan Standar Pemeriksaan. Penentuan obyek pemeriksaan, perencanaan dan

pelaksanaan pemeriksaan, penentuan waktu dan metode pemeriksaan, serta penyusunan dan penyajian laporan pemeriksaan dilakukan secara bebas dan mandiri oleh BPK. Apabila dalam pemeriksaan ditemukan unsur pidana, BPK segera melaporkan hal tersebut kepada instansi yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Latihan Soal 1. Jelaskan apa yang dimaksud dengan pemeriksaan pengelolaan tanggungjawab keuangan Negara? Sebutkan landasan hukumnya. 2. Bagaimana batas lingkup kewenangan pemeriksaan pengelolaan keuangan Negara? 3. Apabila dalam pemeriksaan ditemukan adanya dugaan tindak pidana, langkahlangkah apa yang harus dilakukan oleh pemeriksa?

109 | P a g e

BAB
PEMERIKSAAN PENGELOLAAN DAN TANGGUNG JAWAB KEUANGAN NEGARA (2)

11

Tujuan Instruksional Khusus: Setelah mempelajari bab ini, mahasiswa diharapkan mengetahui dan menguasai tentang hasil pemeriksaan dan tindak lanjut

A. Hasil Pemeriksaan dan Tindak Lanjut 1. Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP): a. Pemeriksa menyusun laporan hasil pemeriksaan setelah pemeriksaan selesai dilakukan. b. Dalam hal diperlukan, pemeriksa dapat menyusun laporan interim

pemeriksaan. c. Laporan hasil pemeriksaan atas laporan keuangan pemerintah memuat opini. d. Laporan hasil pemeriksaan atas kinerja memuat temuan, kesimpulan, dan rekomendasi. e. Laporan hasil pemeriksaan dengan tujuan tertentu memuat kesimpulan. f. Tanggapan pejabat pemerintah yang bertanggung jawab atas temuan, kesimpulan, dan rekomendasi pemeriksa, dimuat atau dilampirkan pada laporan hasil pemeriksaan. 2. Tindak Lanjut LHP (Penyampaian LHP): (1)Laporan hasil pemeriksaan atas laporan keuangan pemerintah pusat disampaikan oleh BPK kepada DPR dan DPD selambat-lambatnya 2 (dua) bulan setelah menerima laporan keuangan dari pemerintah pusat. (2) Laporan hasil pemeriksaan atas laporan keuangan pemerintah daerah disampaikan oleh BPK kepada DPRD selambat-lambatnya 2 (dua) bulan setelah menerima laporan keuangan dari pemerintah daerah.

110 | P a g e

(3) Laporan hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) disampaikan pula kepada Presiden/gubernur/bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya. (4) Laporan hasil pemeriksaan kinerja disampaikan kepada DPR/DPD/DPRD sesuai dengan kewenangannya. (5) Laporan hasil pemeriksaan dengan tujuan tertentu disampaikan kepada DPR/DPD/DPRD sesuai dengan kewenangannya. (6)Laporan hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5) disampaikan pula kepada Presiden/gubernur/bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya. (7) Tata cara penyampaian laporan hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5), dan ayat (6) diatur bersama oleh BPK dan lembaga perwakilan sesuai dengan kewenangannya. 3. Penyampaian LHP ke DPR: (1) Ikhtisar hasil pemeriksaan semester disampaikan kepada lembaga perwakilan selambat-lambatnya 3 (tiga) bulan sesudah berakhirnya semester yang bersangkutan. (2) Ikhtisar hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat pula kepada Presiden/gubernur/bupati/walikota (1),

disampaikan

selambat-

lambatnya 3 (tiga) bulan sesudah berakhirnya semester yang bersangkutan. (3) Laporan hasil pemeriksaan yang telah disampaikan kepada lembaga perwakilan, dinyatakan terbuka untuk umum. (4) Laporan hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak termasuk laporan yang memuat rahasia negara yang diatur dalam peraturan perundangundangan. 4. Tindak Lanjut LHP: (1) Pejabat wajib menindaklanjuti rekomendasi dalam laporan hasil pemeriksaan. (2) Pejabat wajib memberikan jawaban atau penjelasan kepada BPK tentang tindak lanjut atas rekomendasi dalam laporan hasil pemeriksaan. (3) Jawaban atau penjelasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan kepada BPK selambat-lambatnya 60 (enam puluh) hari setelah laporan hasil pemeriksaan diterima.

111 | P a g e

(4) BPK memantau pelaksanaan tindak lanjut hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (5)Pejabat yang diketahui tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikenai sanksi administratif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kepegawaian. (6) BPK memberitahukan hasil pemantauan tindak lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (4) kepada lembaga perwakilan dalam hasil pemeriksaan semester. 5. Tindak Lanjut DPR: (1) Lembaga perwakilan menindaklanjuti hasil pemeriksaan BPK dengan melakukan pembahasan sesuai dengan kewenangannya. (2) DPR/DPRD meminta penjelasan kepada BPK dalam rangka menindaklanjuti hasil pemeriksaan. (3) DPR/DPRD dapat meminta BPK untuk melakukan pemeriksaan lanjutan. (4) DPR/DPRD dapat meminta Pemerintah untuk melakukan tindak lanjut hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan/atau ayat (3). B. Pengenaan Ganti Rugi. 1. Prosedur Ganti Rugi: (1) BPK menerbitkan surat keputusan penetapan batas waktu

pertanggungjawaban bendahara atas kekurangan kas/barang yang terjadi, setelah mengetahui ada kekurangan kas/barang dalam persediaan yang merugikan keuangan negara/ daerah. (2) Bendahara dapat mengajukan keberatan atau pembelaan diri kepada BPK dalam waktu 14 (empat belas) hari kerja setelah menerima surat keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (3) Apabila bendahara tidak mengajukan keberatan atau pembelaan dirinya ditolak, BPK menetapkan surat keputusan pembebanan penggantian kerugian negara/daerah kepada bendahara bersangkutan. (4) Tata cara penyelesaian ganti kerugian negara/daerah terhadap bendahara ditetapkan oleh BPK setelah berkonsultasi dengan pemerintah. (5) Tata cara penyelesaian ganti kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (4) berlaku pula bagi pengelola perusahaan umum dan perusahaan

112 | P a g e

perseroanyang seluruh atau paling sedikit 51% (lima puluh satu persen) sahamnya dimiliki oleh Negara Republik Indonesia, sepanjang tidak diatur dalam undang-undang tersendiri. 2. Penyelesaian Ganti Rugi: (1) Menteri /pimpinan lembaga/gubernur/bupati/walikota/direksi perusahaan

negara dan badan-badan lain yang mengelola keuangan negara melaporkan penyelesaian kerugian negara/daerah kepada BPK selambat-lambatnya 60 (enam puluh) hari setelah diketahui terjadinya kerugian negara/daerah dimaksud. (2) BPK memantau penyelesaian pengenaan ganti kerugian negara/daerah terhadap pegawai negeri bukan bendahara dan/atau pejabat lain pada kementerian negara/lembaga/pemerintah daerah. C. Ketentuan Pengenaan Pidana. 1. Sanksi Pidana Bagi Pejabat Atau Aparat: a. Setiap orang yang dengan sengaja tidak menjalankan kewajiban menyerahkan dokumen dan/atau menolak memberikan keterangan yang diperlukan untuk kepentingan kelancaran pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab

keuangan negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 (yakni: a. meminta dokumen yang wajib disampaikan oleh pejabat atau pihak lain yang berkaitan dengan pelaksanaan pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara; b. mengakses semua data yang disimpan di berbagai media, aset, lokasi, dan segala jenis barang atau dokumen dalam penguasaan atau kendali dari entitas yang menjadi obyek pemeriksaan atau entitas lain yang dipandang perlu dalam pelaksanaan tugas pemeriksaannya; c. melakukan penyegelan tempat penyimpanan uang, barang, dan dokumen pengelolaan keuangan negara; d. meminta keterangan kepada seseorang; e. memotret, merekam dan/atau mengambil sampel sebagai alat bantu pemeriksaan) dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun 6 (enam) bulan dan/atau denda paling banyak Rp 500.000.000, 00 (lima ratus juta rupiah). b. Setiap orang yang dengan sengaja mencegah, menghalangi, dan/atau menggagalkan pelaksanaan pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal

113 | P a g e

10 dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun 6 (enam) bulan dan/atau denda paling banyak Rp 500.000.000, 00 (lima ratus juta rupiah). c. Setiap orang yang menolak pemanggilan yang dilakukan oleh BPK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 tanpa menyampaikan alasan penolakan secara tertulis dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun 6 (enam) bulan dan/atau denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). d. Setiap orang yang dengan sengaja memalsukan atau membuat palsu dokumen yang diserahkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). 2. Sanksi Pidana Bagi Pemeriksa(1): a. Setiap pemeriksa yang dengan sengaja mempergunakan dokumen yang diperoleh dalam pelaksanaan tugas pemeriksaan sebagaiamana dimaksud dalam Pasal 10 melampaui batas kewenangannya, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). b. Setiap pemeriksa yang menyalahgunakan kewenangannya sehubungan dengan kedudukan dan/atau tugas pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 dipidana dengan pidana penjara sekurang-kurangnya 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan /atau denda setinggi-tingginya Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). 3. Sanksi Pidana Bagi Pemeriksa <dan Terperiksa>(2): a. Setiap pemeriksa yang dengan sengaja tidak melaporkan temuan pemeriksaan yang mengandung unsur pidana yang diperolehnya pada waktu melakukan pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 dan Pasal 14 dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun 6 (enam ) bulan dan/atau denda paling banyak Rp 500.000.000, 00 (lima ratus juta rupiah). b. Setiap orang yang tidak memenuhi kewajiban untuk menindaklanjuti

rekomendasi yang disampaikan dalam laporan hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 ( satu) tahun 6 (enam) bulan dan/atau denda paling banyak Rp 500.000.000, 00 (lima ratus juta rupiah).

114 | P a g e

D. Badan Pemeriksa Keuangan ( BPK ). 1. Pengertian-pengertian: a. Badan Pemeriksa Keuangan,: yang selanjutnya disingkat BPK, adalah lembaga negara yang bertugas untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. b. BPK merupakan satu lembaga negara yang bebas dan mandiri dalam memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara. 2. Keanggotaan: a. BPK mempunyai 9 (sembilan) orang anggota, yang keanggotaannya diresmikan dengan Keputusan Presiden. b. Susunan BPK terdiri atas seorang Ketua merangkap anggota, seorang Wakil Ketua merangkap anggota, dan 7 (tujuh) orang anggota. c. Keputusan Presiden sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak anggota BPK terpilih diajukan oleh DPR. d. Anggota BPK memegang jabatan selama 5 (lima) tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan. e. BPK memberitahukan kepada DPR dengan tembusan kepada Presiden tentang akan berakhirnya masa jabatan anggota BPK paling lambat 6 (enam) bulan sebelum berakhirnya masa jabatan anggota tersebut. 3. Tugas-Tugas BPK: (1) BPK bertugas memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Lembaga Negara lainnya, Bank Indonesia, Badan Usaha Milik Negara, Badan Layanan Umum, Badan Usaha Milik Daerah, dan lembaga atau badan lain yang mengelola keuangan negara. (2) Pelaksanaan pemeriksaan BPK sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan berdasarkan undang-undang tentang pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara. (3) Pemeriksaan BPK mencakup pemeriksaan keuangan, pemeriksaan kinerja, dan pemeriksaan dengan tujuan tertentu.

115 | P a g e

(4) Dalam hal pemeriksaan dilaksanakan oleh akuntan publik berdasarkan ketentuan undang-undang, laporan hasil pemeriksaan tersebut wajib disampaikan kepada BPK dan dipublikasikan. (5) Dalam melaksanakan pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1), BPK melakukan pembahasan atas temuan pemeriksaan dengan objek yang diperiksa sesuai dengan standar pemeriksaan keuangan negara. (6) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan tugas BPK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan BPK. 4. Wewenang BPK: a. menentukan objek pemeriksaan, merencanakan dan melaksanakan

pemeriksaan, menentukan waktu dan metode pemeriksaan serta menyusun dan menyajikan laporan pemeriksaan; b. meminta keterangan dan/atau dokumen yang wajib diberikan oleh setiap orang, unit organisasi Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Lembaga Negara lainnya, Bank Indonesia, Badan Usaha Milik Negara, Badan Layanan Umum, Badan Usaha Milik Daerah, dan lembaga atau badan lain yang mengelola keuangan negara; c. melakukan pemeriksaan di tempat penyimpanan uang dan barang milik negara, di tempat pelaksanaan kegiatan, pembukuan dan tata usaha keuangan negara, serta pemeriksaan terhadap perhitungan-perhitungan, surat-surat, bukti-bukti, rekening koran, pertanggungjawaban, dan daftar lainnya yang berkaitan dengan pengelolaan keuangan negara; d. menetapkan jenis dokumen, data, serta informasi mengenai pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara yang wajib disampaikan kepada BPK; e. menetapkan standar pemeriksaan keuangan Negara (SPKN) setelah konsultasi dengan Pemerintah Pusat/Pemerintah Daerah yang wajib digunakan dalam pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara; f. menetapkan kode etik pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara; g. menggunakan tenaga ahli dan/atau tenaga pemeriksa di luar BPK yang bekerja untuk dan atas nama BPK;

116 | P a g e

h. membina jabatan fungsional Pemeriksa; i. j. memberi pertimbangan atas Standar Akuntansi Pemerintahan; dan memberi pertimbangan atas rancangan sistem pengendalian intern

Pemerintah Pusat/Pemerintah Daerah sebelum ditetapkan oleh Pemerintah Pusat/Pemerintah Daerah. 5. Tindak Lanjut LHP BPK: (1) BPK menyerahkan hasil pemeriksaan atas pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara kepada DPR, DPD, dan DPRD sesuai dengan

kewenangannya. (2) DPR, DPD, dan DPRD menindaklanjuti hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan peraturan tata tertib masing-masing lembaga perwakilan. (3) Penyerahan hasil pemeriksaan BPK kepada DPRD dilakukan oleh Anggota BPK atau pejabat yang ditunjuk. (4) Tata cara penyerahan hasil pemeriksaan BPK kepada DPR, DPD, dan DPRD diatur bersama oleh BPK dengan masing-masing lembaga perwakilan sesuai dengan kewenangannya. (5) Hasil pemeriksaan atas pengelolaan dan tanggung jawab keuangan Negara yang telah diserahkan kepada DPR, DPD, dan DPRD dinyatakan terbuka untuk umum. 6. Ketentuan Pidana: (1) Anggota BPK yang memperlambat atau tidak melaporkan hasil pemeriksaan yang mengandung unsur pidana kepada instansi yang berwenang

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 UU 15-2006 tentang BPK huruf a (yakni: Anggota BPK dilarang: a. memperlambat atau tidak melaporkan hasil pemeriksaan yang mengandung unsur pidana kepada instansi yang berwenang), dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) (tiga tahun miliar dan/atau rupiah) denda dan paling paling sedikit banyak

Rp3.000.000.000,00

Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah). (2) Anggota BPK yang mempergunakan keterangan, bahan, data, informasi dan/atau dokumen lainnya yang diperolehnya pada waktu melaksanakan tugas BPK dengan melampaui batas wewenangnya sebagaimana dimaksud

117 | P a g e

dalam Pasal 28 UU 15-2006 tentang BPK huruf b (yakni: Anggota BPK dilarang: b. mempergunakan keterangan, bahan, data, informasi, atau dokumen lainnya yang diperolehnya pada waktu melaksanakan tugas yang melampaui batas kewenangannya kecuali untuk kepentingan penyidikan yang terkait dengan dugaan adanya tindak pidana), dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). Rangkuman Badan Pemeriksa Keuangan adalah lembaga negara yang bertugas untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Tindak Lanjut LHP (Penyampaian LHP): (1) Laporan hasil pemeriksaan atas laporan keuangan pemerintah pusat

disampaikan oleh BPK kepada DPR dan DPD selambat-lambatnya 2 (dua) bulan setelah menerima laporan keuangan dari pemerintah pusat. (2) Laporan hasil pemeriksaan atas laporan keuangan pemerintah daerah disampaikan oleh BPK kepada DPRD selambat-lambatnya 2 (dua) bulan setelah menerima laporan keuangan dari pemerintah daerah. Tindak Lanjut LHP: Pejabat wajib menindaklanjuti rekomendasi dalam laporan hasil pemeriksaan.

Latihan Soal 1. Bagaimana prosedur penetapan ganti rugi? Jelaskan! 2. Bagaimana penerapan sanksi bagi pemeriksa yang dalam pelaksanaan tugasnya melakukan perbuatan melawan hukum? 3. Bagaimana penanganan atas Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP)?

118 | P a g e

DAFTAR PUSTAKA

Bagian Pertama: Buku Teks Richard , A. Musgrave dan B. Musgrave Peggy. Keuangan Negara Dalam Teori Dan Praktik. Edisi Kelima . Jakarta: Erlangga. 1991. Suparmoko. Keuangan Negara. Edisi 5. Yogyakarta: BPFE, 2000. Bagian Kedua: Dokumen Publik Undang-Undang Dasar 1945 Amandemen ke Empat. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 Tentang Bangunan Gedung. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 Tentang Badan Usaha Milik Negara. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 Tentang Perbendaharaan Negara. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 Tentang Pemeriksaan Pengelolaan Dan Tanggung Jawab Keuangan Negara. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 Tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah. Undang-Undang Tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas. Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua Atas UndangUndang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara.

119 | P a g e

Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2004 Tentang Rencana Kerja Pemerintah. Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2004 Tentang Penyusunan Rencana Kerja Dan Anggaran Kementrian Negara/Lembaga. Perauturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2005 Tentang Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum. Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2006 Tentang Pengelolaan Barang Milik Negara. Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Uang Negara/Daerah. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2008 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2006 Tentang Pengelolaan Barang Milik Negara. Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 Tentang Peraturan Pelaksanaan UndangUndang Nomor 28 Tahun 2002 Tentang Bangunan Gedung. Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 Tentang Pengadaan Barang dan Jasa Instansi Pemerintah. Peraturan Presiden Nomor 53 Tahun 2010 Tentang Peraturan Disiplin Pegawai Negeri Sipil. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 7/PMK.02/2006 Tentang Persyaratan Administratif Dalam Rangka Pengusulan Dan Penetapan Satuan Kerja Instansi Pemerintah Untuk Menerapkan Pola Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum. Peraturan Badan Pemeriksa Keuangan Pemeriksaan Keuangan Negara. Nomor 1 Tahun 2007 Tentang Standar

Peraturan Badan Pemeriksa Keuangan omor 3 Tahun 2007 Tentang Tata Cara Penyelesaian Ganti Kerugian Negara Terhadap Bendahara. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

120 | P a g e

You might also like