You are on page 1of 2

Para Pencari Makanan Babi

Oleh: Setiadi R. Saleh, S.Sos.,

ubuh sudah berlabuh. Pijar fajar baru berlalu. Matahari memerah. Awan membiru. Jaring-jaring putih menutupi sawah hijau yang mulai menguning. Bulir-bulir merunduk, jatuh merebah di hadapan tanah. Air sawah keruh, sat, surut. Kemarau parau datang sebelum masanya. Ikan gabus dan belut mengawasi katak yang melompat-lompat di atas lumpur kering. Pak tani belum hadir menggerakkan orang-orangan sawah atau berteriak lantang menghalau belalang, burung pipit mungil terbang berputar mengincar butir-butir padi. Pagi itu jam di hp saya menunjukkan pukul 06.30. Jalan Setia Luhur sepi. Jalan Bakti Luhur sunyi. Jalan-jalan terasa lempang dan lapang. Belum banyak orang lalu lalang. Karena harus mengantar Maula Mazin ke sekolah, saya bergegas pulang. Di saat perjalanan pulang dari jalan-jalan pagi dengan mengendarai sepeda mini merah. Saya melihat perempuan yang sedang menopang ember di kepala. Kemudian di bahunya memanggul goni [karung] lusuh. Lalu di tangan kanan memegang gancu. Bukan satu atau dua orang saja melainkan ada beberapa. Dan mereka tidak berjalan bersama-sama melainkan sendiri-sendiri. Sesekali jika berjumpa bak sampah. Ember diturunkan, lalu perempuan tersebut gesit mengais sampah apa saja yang bisa membawa berkah. Kertas, plastik, karton [dus], sayur busuk, nasi busuk, sampah rumahtangga. Sampah organik masuk di ember, sampah non organik masuk ke karung goni. Khusus sampah organik rumah tangga inilah yang kemudian akan digunakan sebagai pakan ternak babi peliharaan di rumah. Tipe para pencari makanan untuk babi bermacam-macam. Ada yang berjalan menyusuri dari bak sampah yang satu ke bak yang lain. Ada pula yang sudah seperti punya langganan. Orang dengan rela hati memberikan sisa nasi, sayur basi, ampas parut kelapa, insang ikan yang dipesiang, udang busuk, kulit pisang, kuah gulai basi, apa saja yang sudah dibuang. Kadang-kadang baunya terasa meletus di hidung. Busuk, menyengat, dan sungguh tidak enak apabila tercium. Kontras sekali dengan hawa pagi yang lembut, segar, dan sehat. Para pencari pakan babi yang lain adalah mereka menggunakan kereta roda tiga [sepeda motor yang dimodifikasi menyerupai becak rodak tiga]. Hal ini jauh kelihatan lebih mudah. Ember ditaruh berjajar. Sekali angkut bisa dua ember. Lengkap beserta rongsokan butut [botot] dan limbah rumah tangga untuk pakan babi. Sedangkan hasil memulung dijual ke Marbun di Jalan Asrama. Marbun dulunya miskin dan pencari butut dari rumah ke rumah dengan becak kayuh [becak dayung]. Berkat kegigihannya, kini ia menjadi toke [bandar besar] barang rongsokan, besi, kardus, kertas, plastik, semuanya yang sudah dianggap limbah sampah.

Dan para pencari makanan babi yang saya lihat adalah mereka yang tinggalnya dekat rel kereta api Jalan Asrama. Hampir dipastikan sebagian besar dari mereka adalah orang Batak. Ketahuilah, sekalipun di Medan. Ternyata mayoritas suku terbesarnya bukan berasal dari Melayu, Mandailing, Karo, Batak, Minang, Nias, Sunda, Tionghoa, Tamil-India, Singh melainkan dari suku Jawa. Jadi, jika ada yang mengatakan Medan identik dengan Batak, sudah pasti ia tidak pernah belajar budaya Sumatera Utara. Dan di Kota Medanlah dalam keseharian orang bisa menggunakan lingua franca [bahasa penghubung] untuk berkomunikasi dengan lebih dari satu bahasa. Khusus orang Batak yang hidup di bantaran pinggir, tepi-tepi rel kereta api. Mereka kadang dipandang remeh dan perlu diwaspadai. Sebab, selain mencari sampah sekaligus golbes [goldol besi-nelap besi]. Itu kata tetangga saya. Sedangkan, diri saya pribadi, tidak dapat serta-merta menyamaratakan mereka. Di mata saya, mereka orang giat, gigih, dan tangguh. Anak-anak Batak yang kecil sepulang sekolah tanpa terompah alas kaki. Dua atau tiga orang berjalan mencari besi, memungut biji-biji besi dengan batang besi sembrani [magnet], memulung kertas, plastik, mur. Mengais sisa apa saja yang sudah dianggap limbah sampah. Tidak sedikitpun terpancar wajah litak [lelah-capek]. Sementara yang dewasa khususnya ibu mereka [inang dan itho] pagi-pagi sekali sudah mencari makanan untuk babi. Ayah mereka ada yang menjadi kuli kasar, kernek [kernet] dan sopir. Semua mereka lakukan untuk bertahan hidup dan demi pendidikan anak. Luar biasa! Sudah pasti tidak semua orang Batak miskin. Malah yang kaya banyak. Juragan angkot, pemilik hotel, pengusaha retail, properti, pengusaha becak, armada ekspedisi pengiriman barang dan bongkar muat, dosen, politikus, punya media dan termat banyak untuk disebutkan. Apa yang dilakukan para pencari makanan babi tersebut mengingatkan saya akan 3 cara menjaga lingkungan: 3 R [reduce, reuse, recycle] yakni: Reduce: mengurangi dari sumbernya/memilah Reuse: menggunakan kembali Recycle: mendaur ulang sampah.

Tentu saja para pencari makanan babi tersebut baru melakukan R yang pertama [reduce]. Saya belum menyusuri lebih lanjut bagaimana sisa makanan-makanan busuk dan basi [limbah rumah tangga] diberikan kepada babi. Apakah langsung diberikan pada hari itu juga ataukah perlu dicampur makanan tambahan. Saya yakin, babi-babi merah muda, coklat muda yang kecil dan yang besar akan sangat senang bila diberikan makanan. Jika usianya cukup, babi-babi itu akan menjadi santapan lezat bagi orang yang menyukai babi. Mungkin direbus atau diguling. Saya tidak tau apaapa tentang kuliner babi. Di Kota Medan restoran babi jangan ditanya jumlahnya. Dari rating bawah seperti lapo [kedai] tuak tepi jalan hingga restoran mewah seperti Tesalonika.[]

You might also like