You are on page 1of 22

SOCIAL INVESTMENT

OLEH : Erwiani Gita Apriyandhani (0910230066) (0910230075)

JURUSAN AKUNTANSI FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS UNIVERSITAS BRAWIJAYA 2011

Abstrak

Kemajuan teknologi, perubahan musim, dan berkembangnya volume penjualan menjadi semakin berfokus global, selama tahun- tahun terakhir ini, telah membawa dampak yang sangat besar bagi kondisi bisnis saat ini. Pertanyaan mengenai etika telah dilempar kepada perusahaan-perusahaan yang dituding sebagai penyebab terjadinya kerusakan global dan situasi mendesak ini menunggu secepatnya untuk mendapatkan penyelesainnya. Yang menarik karena adanya isu ini, terjadilah peningkatan pengertian yang secara jelas menyatakan bahwa bisnis, sosial, serta lingkungan adalah suatu kesatua yang tidak dapat dipisahkan. Inilah yang kemudian mendasari dibentuknya Corporate Social Responsibiliy. Corporate social responsibility merupakan suatu elemen penting dalam kerangka keberlanjutan usaha suatu industri yang mencakup aspek ekonomi, lingkungan dan sosial budaya. Dalam pembahasan kali ini, CSR ini akan berkaitan dengan Investasi Sosial. Investasi sosial mengkombinasikan hasil dari laporan kehidupan sosial atau lingkungan dengan hasil yang didapat dari keuangan. Banyak dari bisnis yang telah menerapkan investasi sosial ini mengalami perkembangan yang cukup signifikan, sekitar 2%-8% per tahunnya. Investasi Sosial juga menjadi salah satu cara untuk meningkatkan nilai usaha tersebut di mata masyarakat. Namun sebaliknya, investasi sosial tidak bisa diperlakukan secara sepele. Karena adanya investasi sosial yang dilakukan oleh perusahaan tersebut yang pada akhirnya akan menarik minat investor baru. Investor baru harus menyadari tentang profil risiko dari perusajaan tersebut dan meminta adanya pengembalian bila terjadi laba. Efek yang dibawa oleh investasi sosial ini akan sangat besar. Tidak hanya satu lingkungan namun juga area di sekitar perusahaan tersebut.

PENDAHULUAN Pada tahun 1990-an muncul isu internasional yang membuat perusahaan Shell dipaksa untuk menutup pabriknya dan keluar dari Nigeria. Hal ini terjadi karena perusahaan Shell mengeksploitasi ladang minyak di negara tersebut dengan keuntungan yang sangat berlimpah, keadaan ini sangat berbanding dengan keadaaan masyarakat sekitar yang menanggung kerusakan lingkungan yang sangat parah.

Apa yang terjadi pada perusahaan Shell bisa saja terjadi pada perusahaan lain. Setelah peristiwa tersebut, perhatian perusahaan terhadap masyarakat sekitar mulai meningkat. Isuisu tentang kurangnya kesejahteraan masyarakat sekitar, kerusakan lingkungan, perlakuan tidak adil bagi pekerja dan lain sebagainya menjadi hal yang hangat dibicarakan. Memang perlu untuk di akui bahwa industri atau perusahaan skala besar telah mampu memberikan kontribusi pada perekonomian nasional. Namun tidak dipungkiri eksploitasi sumber daya alam yang dilakukan oleh sektor industri seringkali menciptakan degradasi lingkungan yang cukup parah yang berdampak pada keberlangsungan hidup masyarakat sekitar. Terkait dengan hal tersebut muncullah konsep bahwa perusahaan harus turut serta menjaga dan peduli terhadap lingkungan sekitar baik itu masyarakat maupun lingkungan alam dimana perusahan tersebut beroperasi. Konsep ini kemudian berkembang dengan istilah Corporate Social Responsibility atau yang biasa di singkat dengan CSR. Di tengah keterpurukan negara miskin dalam berbagai bidang sebagai warisan paradigma pertumbuhan ekonomi, dan menafikan kesejahteraan sosial, dengan hanya alokasi berdasarkan tetesan ke bawah yang kemudian hari terbukti tetesannya sangat sedikit dan tidak memadai, kalangan pemikir yang mencemaskan kelangsungan hidup rakyat dunia ketiga, mulai merumuskan paradigma baru yang dapat mempertemukan dunia industri dengan rakyat, yaitu dengan mengajukan usulan orientasi industri dari semata profit menjadi profit, people dan planet keuntungan, kesejahteraan rakyat, dan kelestarian lingkungan. Ini juga menjadi salah satu cikal bakal di keluarkannya CSR. Dan keadaan ini semakin dipertegas dengan adanya penilaian masyarakat terhadap perusahaan yang tentunya akan sangat berpengaruh terhadap perkembangan perusahaan tersebut ke depannya. Bila kita telaah lebih dalam, CSR dapat dikatakan sebagai tabungan masa depan bagi perusahaan untuk mendapatkan keuntungan. Keuntungan yang diperoleh bukan sekedar bentuk finansial melainkan rasa kepercayaan dari masyarakat sekitar dan stakeholders lainnya terhadap perusahaan. Kepercayaan inilah yang sebenarnya menjadi modal dasar agar perusahaan dapat terus melakukan aktivitasnya. Penelitian dari Sandra Waddock dan Samuel Graves

(Ann, 1998) menemukan bahwa perusahaan yang memperlakukan stakeholders mereka dengan baik akan meningkatkan kelompok mereka sebagai suatu bentuk manajemen yang berkualitas. Stakeholders bukan hanya masyarakat dalam arti sempit yaitu masyarakat yang tinggal disekitar lokasi perusahaan melainkan masyarakat dalam arti luas, misalnya pemerintah, investor, elit politik dan lain sebagainya. Bentuk kerjasama yang dibentuk antara perusahaan dan stakeholders hendaknya juga merupakan kerjasama yang dapat saling memberikan kesempatan untuk sama-sama maju dan berkembang. Program-program CSR yang dibuat untuk kesejahteraan masyarakat pada akhirnya akan berbalik arah yaitu memberikan keuntungan kembali bagi perusahaan tersebut. Sebagai contoh hubungan dengan pekerja misalnya, dengan tidak menggunakan pekerja di bawah umur, memperhatikan kesejahteraan pekerja beserta keluarganya, mendukung serikat pekerja dan menghindari hal-hal yang dapat menimbulkan ketidakadilan pada pekerja dapat meningkatkan hubungan antara pekerja dan perusahaan. Dalam hal ini pekerja akan merasa lebih di hargai, nyaman dan hubungannya tidak sekedar dia bekerja menerima upah tetapi dapat menimbulkan loyalitas terhadap perusahaan. Hal ini akan meningkatkan kinerja dan produktivitas pekerja yang tentu saja akan meningkatkan produktivitas perusahaan.

PERKEMBANGAN IMPLEMENTASI CSR

Corporate Social Responsibility (CSR) sebetulnya sudah muncul sejak lama. Pada tahun 1933, A Berle dan G Means, meluncurkan bukunya berjudul The Modern Corporation and Private Property, yang mengemukakan bahwa korporasi modern seharusnya

mentransformasi diri menjadi institusi sosial, ketimbang institusi ekonomi yang semata memaksimalkan laba. Pemikiran ini dipertajam oleh Peter F Drucker pada tahun 1946, lewat bukunya, The Concept of Corporation. Di sini, Drucker menegaskan tentang peran manajemen:

"Management has become a major leadership group in industrial society and as such have great responsibilities to their own profession, to the enterprise and to the people they manage, and to their economy and society."

Hingga tahun 1980-1990 an, wacana CSR terus berkembang. Munculnya KTT Bumi di Rio pada 1992 menegaskan konsep sustainibility development (pembangunan berkelanjutan) sebagai hal yang harus diperhatikan, tak hanya oleh negara, tapi terlebih oleh kalangan

korporasi yang kekuatan kapitalnya semakin menggila. Tekanan KTT Rio, terasa bermakna sewaktu James Collins dan Jerry Porras meluncurkan Built To Last; Succesful Habits of Visionary Companies di tahun 1994. Lewat riset yang dilakukan, mereka menunjukkan bahwa perusahaan-perusahaan yang terus hidup bukanlah perusahaan yang hanya mencetak uang semata. Terobosan besar dalam konteks CSR, dilakukan John Elkington pada tahun 1997 dalam bukunya: Cannibals with Forks, the Tripple Bottom Line of Twentieth Century Bussiness. Elkington mengembangkan konsep triple bottom line dalam istilah economic prosperity, environmental quality, dan social justice. Melalui konsep ini Elkington mengemukakan bahwa perusahaan yang ingin terus menjalankan usahanya harus memperhatikan 3P yaitu profit, people dan plannet. Perusahaan yang menjalankan usahanya tidak dibenarkan hanya mengejar keuntungan semata (profit), tetapi mereka juga harus terlibat pada pemenuhan kesejahteraan masyarakat (people), dan berpartisipasi aktif dalam menjaga kelestarian lingkungan (planet).

MANFAAT CSR

Apapun alasan atau motif perusahaan melakukan CSR, yang pasti CSR penting dilakukan. Sebagaimana yang telah dikemukakan sebelumnya bahwa CSR merupakan tabungan masa depan bagi perusahaan untuk mendapatkan keuntungan. Keuntungan yang diperoleh bukan sekedar keuntungan ekonomi tapi, tetapi lebih dari itu yaitu keuntungan secara sosial dan lingkungan alam bagi keberlanjutan perusahaan. Perusahaan-perusahaan yang belum melakukan program CSR mungkin dapat mencontoh perusahaan lain yang telah lebih dulu melakukan program CSR dan menikmati manfaat yang ditimbulkan. Misalnya PT Unilever Indonesia telah melakukan program CSR melalui pendampingan petani kedelai. PT Unilever telah berhasil membina petani yang menggarap lebih dari 600 hektar kedelai hitam hingga mengkontribusikan sekitar 30 persen kebutuhan produksi Kecap Bango. Program semacam ini tentu saja bermanfaat bagi petani dan perusahaan. Bagi petani misalnya program ini bermanfaat untuk meningkatkan kualitas produksi dan juga menjamin kelancaran distribusi, sedangkan bagi perusahaan dapat menjamin kelancaran pasokan bahan baku untuk produk-produk yang menggunakan bahan dasar kedelai. Contoh lain perusahaan yang telah melakukan kegiatan CSR adalah Sinar Mas Group melalui Eka Tjipta Fondation. Organisasi ini merupakan organissi nirlaba yang didirikan untuk meningkatkan kualitas kehidupan, kesejahteraan dan kemandirian masyarakat dalam

aspek sosial, ekonomi dan lingkungan hidup. Kegiatan yang dilakukan meliputi Bidang Sosial Kemasyarakatan dan Budaya (melalui kegiatan pendidikan, seni budaya, olah raga, kesejahteraan sosial, keagamaan dan kesehatan), bidang Pemberdayaan dan Pembinaan Ekonomi Masyarakat (melalui kegiatan sosial kemitraan usaha kecil menengah serta pertanian terpadu), dan Bidang Pelestarian Lingkungan Hidup (melalui kegiatan sosial pemberdayaan lingkungan hidup dan konservasi). Kegiatan-kegiatan yang dilakukan CSR yang dilakukan oleh Eka Tjipta Foundation telah memberikan manfaat bagi perusahaan yaitu Sinar Mas sebagai berikut: Meningkatkan citra perusahaan dimata stakeholder Membina hubungan/interaksi yang positif dengan komunitas lokal, pemerintah, dan kelompok-kelompok lainnya Mendorong peningkatan reputasi dalam pengoperasian perusahaan dengan etika yang baik Menunjukkan komitmen perusahaan, sehingga tercipta kepercayaan dan respek dari pihak terkait Membangun pengertian bersama dan kesetiakawanan antara dunia usaha dengan masyarakat Mempermudah akses masuk ke pasar atau pelanggan Meningkatkan motivasi karyawan dalam bekerja, sehingga semangat loyalitas terhadap perusahaan akan berkembang Mengurangi resiko perusahaan yang mungkin dapat terjadi Meningkatkan keberlanjutan usaha secara konsisten

Manfaat-manfaat tersebut hendaknya dapat juga dirasakan oleh perusahaan lain yang telah melakukan program CSR. Melihat contoh diatas, dapat memberikan gambaran pada kita bahwa implementasi program CSR bukan hanya untuk mengejar keuntungan ekonomi tapi juga dapat menghindari terjadinya konflik dan menjaga keberlanjutan usaha secara konsisten. Apa yang telah dilakukan oleh PT Unilever dan Sinar Mas juga membuktikan bahwa sudah saatnya bagi setiap perusahaan maupun instansi untuk memperhatikan CSR karena banyak manfaat positif yang dapat diperoleh dalam pengaplikasiannya.

TANTANGAN CSR KE DEPAN

Banyak persepsi dan pendapat terkait terhadap konsep dan pelaksanaan CSR. Hal ini terkait dengan sebuah asumsi apakah CSR menjadi sebuah kewajiban atau berlandaskan pada

tanggungjawab. Dilihat dari perkembangannya, CSR muncul dari tekanan masyarakat yang menanggung dampak dari adanya perusahaan (industri) baik itu dampak sosial maupun lingkungan. Faktor itu pula yang mendorong pemerintah mengeluarkan

peraturan/undangundang mengenai pelaksanakan CSR. Persepsi-persepsi tentang CSR yang berbeda tersebut terkait dengan konsep CSR yang sebenarnya merupakan konsep yang akan terus berkembang. Perkembangan baik pendekatan, elemen, maupun penerapan CSR tentu saja disesuaikan dengan kondisi politik, sosial maupun kultural dari negara yang bersangkutan. Oleh karena itu, tantangan kedepan dalam pelaksanaan CSR adalah mengenai persaman pandangan dan pemahaman tentang konsep dan bentuk CSR yang akan dijalankan. Karena tanpa suatu pemahaman yang jelas, pelaksanaan CSR hanya akan menjadi suatu program yang hilang makna. Bagian yang harus dingat adalah bahwa pelaksanaan CSR harus mengedepankan prinsip partisipatif, sustainabilitas serta akuntabilitas sehingga dapat terjamin efektivitas dan optimalisasi program CSR dan keberlanjutannya.

SOCIAL INVESTMENT Investasi bertanggung jawab sosial atau investasi sosial (SRI - bahasa Inggris: social responsibility investment) adalah suatu bentuk strategi investasi yang menggabungkan antara perolehan keuntungan yang sebesar-besarnya dengan kebajikan sosial. Umumnya investor "tanggung jawab sosial" menghargai praktik tanggung jawab sosial perusahaan terhadap lingkungan hidup, mendukung suasana pembauran (tidak ada diskriminasi), serta peningkatan keamanan dan kualitas produk.

SEJARAH SOCIAL INVESTMENT Sejarah dimulainya investasi bertanggung jawab sosial ini mungkin saja berhubungan dengan banyak sekali orang maupun tempat, namun beberapa mempercayai bahwa investasi sosial ini dimulai dengan Religious Society of Friends suatu kelompok denominasi Kristen yang kini dikenal dengan nama Quakers. Pada tahun 1758, pada pertemuan tahunan kelompok "Quaker" di Philadelphia dikeluarkan larangan bagi anggotanya untuk terlibat dalam perdagangan perbudakan . Selama ini lembaga-lembaga keagamaan senantiasa menjadi pelopor atas investasi sosial, dimana salah satu penyebar pola pikir "investasi sosial" ini adalah John Wesley (1703-1791), yang merupakan pendiri gereja Methodis. Salah satu khotbah nya yang berjudul The Use of Money ( pemanfaatan uang anda) menggaris bawahi doktrinnya mengenai investasi sosial - misalnya dengan tidak merugikan tetangga dalam

menjalankan praktik bisnis dan menghindari industri seperti penyamakan kulit dengan menggunakan tanin dan bahan kimia yang dapat mencemari sungai dan kali. Investasi bertanggung jawab dalam dunia modern dimulai pada waktu perang Vietnam [1], [2]. Banyak orang pada masa itu yang masih teringat atas foto menghebohkan yang dibuat pada bulan Juni 1972 dimana terlihat pada foto tersebut seorang anak perempuan berusia sembilan tahun bernama Phan Th Kim Phc yang berlari dengan telanjang bulat kearah si fotografer sambil menjerit dimana punggungnya mengalami luka bakar hebat akibat bom napalm yang dijatuhkan ditengah kampungnya. Foto tersebut menggambarkan kekejaman dari Dow Chemical
[3]

, yang merupakan perusahaan pembuat napalm[4], dan hal ini menjadi pemicu

protes diberbagai negara terhadap Dow Chemical dan perusahaan lainnya yang mengambil keuntungan dari perang Vietnam. Pada periode 1970an, para aktivis investasi sosial ini mengalihkan perhatiannya pada tenaga nuklir dan emisi gas buang. Setelah terjadinya pembunuhan besar-besaran terhadap para demonstran berkulit hitam pada 21 Maret 1960 di Sharpeville, Afrika Selatan oleh polisi maka pada periode 1970an hingga awal 1990an[5], lembaga-lembaga besar menghindari berinvestasi pada perusahaanperusahaan yang berhubungan dengan pemerintahan dan pengambil kebijakan apartheid di Afrika. Setelah peristiwa pembunuhan besar-besaran di Sharpeville tersebut, kelompokkelompok internasional yang menentang apartheid makin menguat. Pada tahun 1976 Amerika melakukan embargo senjata terhadap Afrika Selatan. Pada tahun 1971, seorang pendeta yang pada saat itu menjadi anggota dewan pada General Motors menuliskan suatu "aturan perilaku" bagi para praktisi bisnis di Afrika Selatan yang dikenal sebagai Prinsip Sullivan. Dengan menggunakan prinsip ini maka dilakukan upaya untuk

mendokumentasikan praktik dari perusahaan-perusahaan Amerika di Afrika Selatan. Laporan yang dibuat berdasarkan penerapan prinsip Sullivan menemukan bahwa perusahaan-perusahaan Amerkia tidak berupaya melakukan perbaikan atas praktik diskriminasi yang mereka lakukan di Afrika Selatan. Disebabkan oleh laporan ini maka timbullah tekanan politik; kota-kota, negara-negara, universitas-universitas, kelompokkelompok keagamaan, dan dana pensiun dari seluruh negara bagian Amerika mulai melakukan divestasi investasi ataupun menarik investasi mereka dari perusahaan-perusahaan yang beroperasi di Afrika Selatan. Selanjutnya arus negatif investasi dollar ini memaksa suatu kelompok usaha yang mewakili 75% dari tenaga kerja Afrika Selatan untuk membuat suatu piagam yang menyerukan pengakhiran dari apartheid. Sewaktu upaya investor bertanggung jawab sosial secara sendirian tidak mampu mengakhiri apartheid maka mereka

memusatkan pendekatannya pada dunia internasional guna memberikan tekanan pada komunitas usaha di Afrika Selatan [6] PEMBANGUNAN SOSIAL SEBAGAI INVESTASI SOSIAL

Menurut Dr. Edi Suharto, setelah lama dipinggirkan oleh arus utama pembangunan ekonomi, pembangunan sosial akhir-akhir ini menjadi semakin populer dan diterima di berbagai negara. Hal ini ditandai oleh komitmen peserta World Summit on Social Development tahun 1995 di Kopenhagen untuk melaksanakan tiga agenda utama pembangunan sosial; pengentasan kemiskinan, perluasan kerja produktif dan pengurangan pengangguran, serta peningkatan integrasi sosial. Cox et al., menyatakan bahwa tujuan pembangunan sosial adalah meningkatkan kesejahteraan/kualitas hidup masyarakat dan memungkinkan masyarakat untuk memperoleh kebebasan dalam rangka memuaskan aspirasi dan merealisasikan potensi mereka. Agar tujuan tersebut dapat dicapai, ada tiga strategi yang perlu diterapkan secara terpadu. Pertama, strategi pengembangan pembangunan sosial melalui pendekatan individu, yang menganggap kesejahteraan masyarakat akan meningkat jika individu meningkatkan kesejahteraannya sendiri. Kemudian, strategi pembangunan sosial yang menekankan pada pentingnya masyarakat lokal, yang didasarkan pada asumsi bahwa mereka memiliki kemampuan dalam mengorganisir dirinya untuk memahami dan memecahkan masalah dalam memenuhi kebutuhannya, serta mampu menciptakan kesempatan untuk mengembangkan diri. Terakhir, strategi pembangunan yang lebih menekankan pada peranan pemerintah, karena ia memiliki tanggung jawab untuk memenuhi kesejahteraan sosial rakyatnya, serta memiliki kewenangan mobilisasi sumber. Dalam pembahasan pembangunan sosial, tidak dapat dilepaskan pembahasan tentang kesejahteraan sosial, karena kesejahteraan manusia sebagai pelaku dan penerima hasil pembangunan adalah tujuan akhir dari semua proses pembangunan. Konseptual, kesejahteraan sosial akan tercapai ketika keluarga, komuniti, seluruh masyarakat mencapai tingkatan social well being yang optimal. Praktikal, kesejahteraan sosial harus mencakup tiga elemen; (1) kemampuan mengelola dan menangani masalah sosial; (2) terpenuhinya berbagai kebutuhan; (3) adanya kesempatan untuk mencapai peningkatan yang diharapkan.

STRATEGI KOMUNIKASI

Dr. Ibnu Hamad, menjelaskan bahwa program investasi sosial hendaknya menjadi bagian dari perencanaan strategis korporat yang mendapat dukungan pada setiap level dan menjadi komitmen semua orang dalam organisasi. Pada level tertinggi, Direktur komunikasilah yang

bekerja bersama eksekutif korporat untuk menyusun rencana komunikasi strategis. Pada level menengah, manajer komunikasi, misalnya kepala bidang community development bekerjasama dengan perencana bisnis membuat rencana operasional dan rencana kerja dengan mengacu kepada kebijakan rencana strategis yang disusun sebelumnya. Selanjutnya pada level yang lebih bawah, sejumlah petugas hubungan masyarakat, periklanan dan komunikasi pemasaran membuat aktivitas komunikasi yang yang akan dilaksanakan untuk menyukseskan sosialisasi program investasi sosial kepada komuniti. Isi rencana strategis adalah garis besar rencana komunikasi yang mencakup latar belakang, tujuan, kebijakan, lingkungan eksternal dan internal organisasi, peluang keuntungan, tujuan komunikasi, tema dan pesan, prioritas komunikasi, pertimbangan strategis, pertimbangan konsultasi, kerjasama dan negosiasi, indikator kinerja, dan antisipasi sumber keuangan. Rencana operasional menekankan pada bagaimana organisasi akan mencapai tujuan strategis dan menyusun alokasi anggaran untuk bermacam kegiatan komunikasi. Rencana pada level ini berkonsentrasi pada usaha menentukan urutan prioritas komunikasi, menunjukkan

keterkaitan antara tujuan komunikasi dan rencana strategis organisasi, mengidentifikasi kelompok yang akan menjadi klien utama organisasi, menunjukkan kegiatan dan pelayanan yang bersifat mendukung, dan menentukan berapa banyak dana yang dianggarkan di antara prioritas yang ada. Rencana kerja merupakan perluasan, bersifat konkrit dan khusus. Tugasnya mengidentifikasi produk dan jasa yang akan ditawarkan pada khalayak, mendisain pesan, menentukan indikator kinerja, menentukan rencana penerapan, menyusun metode evaluasi, dan mengalokasikan sumber daya untuk setiap produk, jasa dan kegiatan. Rencana kerja tersebut secara lebih rinci diterjemahkan dalam rencana pendukung. Pada tahap ini sudah dirancang bagaimana mengelola sebuah kegiatan seperti melaksanakan konferensi pers, kampanye untuk mendorong agar orangorang terlibat dalam investasi sosial. Dalam strategi komunikasi, investasi sosial diperlakukan sebagai produk inovatif yang dipasarkan dengan menggunakan teori difusi inovasi Rogers yang akan menghasilkan efek (1) pengetahuan; (2) persuasi; (3) pengambilan keputusan; (4) penerapan; (5) pemastian.

PENINGKATAN CITRA MELALUI SOCIAL INVESTMENT

H. Bachtiar Chamsyah, SE melihat fenomena pada masyarakat yaitu keberingasan sosial (violent conflict) kemunculannya disebabkan oleh perbedaan kepemilikan terhadap aset ekonomi, dan memudarnya rasa kesetiakawanan sosial. Ia mengutip Boedhisantoso; Dixon; Paulus Wirutomo, bahwa keberingasan sosial ini terkait dengan kerusakan lingkungan sosial,

pertambahan penduduk yang semakin tinggi, sumber daya alam dan lingkungan yang semakin terbatas, dan kebencian yang tersembunyi. Keberingasan ini menyebabkan tidak terpenuhinya syarat stabilitas masyarakat yang memungkinkan dunia usaha dapat berproduksi secara menguntungkan. Dengan demikian fenomena ini harus ditarik ke belakang atau dihilangkan sama sekali, upayanya dapat dilakukan dengan investasi sosial melalui pemberdayaan masyarakat lokal di sekitar dunia usaha. Biayanya jangan dianggap beban bagi perusahaan, namun menjadi semacam penyertaan modal bagi keberlangsungan dunia usaha itu sendiri. Citra diri perusahaan tidak hanya dapat dibangun oleh iklan dan public relation, tetapi juga oleh pemberdayaan masyarakat, yang akhirnya justru merupakan iklan yang paling baik, sekaligus sebagai sabuk pengaman yang kuat bagi perusahaan. Citra diri ini dapat berkembang menjadi spiritual brand yaitu merek yang berhasil membangun

dirinya dengan penuh integritas, kejujuran dan kepatutan serta nilai-nilai spiritual lainnya yang dihayati oleh seluruh komponen perusahaan. Istilah lain dari merek tersebut adalah solidarity brand yaitu merek yang mampu merangsang simpati dan empati seseorang. Contohnya adalah Media Group yang sangat berinisiatif membantu korban bencana tsunami di Aceh, yang akhirnya merek itu begitu lekat di hati rakyat Aceh dalam suatu hubungan emosional yang saling menguntungkan. dunia usaha untuk memantapkan investasi sosial melalui pemberdayaan masyarakat. Caranya dengan ; (1)

menginventarisir pranata sosial lokal yang ada di sekitar dunia usaha ; (2) berdayakan pranata sosial itu ; (3) kuatkan jaringan antara pranata sosial, dunia usaha dan pemerintah dalam suatu jejaring kerja yang kondusif serta peran masyarakat yang mendukung.
PERKEMBANGAN IMPLEMENTASI CSR DI INDONESIA

Konsep mengenai CSR mulai hangat dibicarakan di Indonesia sejak tahun 2001 dimana banyak perusahaan maupun instansi-instansi sudah mulai melirik CSR sebagai suatu konsep pemberdayaan masyarakat. Sampai saat ini, perkembangan tentang konsep dan implementasi CSR pun semakin meningkat, baik dari segi kuantitas maupun kualitas. Hal ini terbukti dari banyaknya perusahaan yang berlomba-lomba untuk melakukan CSR. Pelaksanaannya pun semakin beranekaragam mulai dari bentuk program yang dilaksanakan, maupun dari sisi dana yang digulirkan untuk program tersebut. Contoh kegiatan untuk program CSR yang dilakukan oleh perusahaan antara lain pemberian

beasiswa, bantuan langsung bagi korban bencana, pemberian modal usaha, sampai pada pembangunan infrastruktur seperti pembangunan sarana olah raga, sarana ibadah maupun sarana umum lainnya yang dapat dimafaatkan oleh masyarakat. Model pelaksaan CSR juga bemacam-macam. Setidaknya terdapat empat model pelaksanaan CSR yang umum digunakan di Indonesia. Keempat model tersebut antara lain: 1. Terlibat langsung. Dalam melaksanakan program CSR, perusahaan melakukannya sendiri tanpa melalu perantara atau pihak lain. Pada model ini perusahaan memiliki satu bagian tersediri atau bisa juga digabung dengan yang lain yang bertanggung jawab dalam pelaksanaan kegiatan sosial perusahaan termasuk CSR. 2. Melalui Yayasan atau organisasi sosial perusahaan. Perusahaan mendirikan yayasan sendiri dibawah perusahaan atau groupnya. Pada model ini biasanya perusahaan sudah menyediakan dana khusus untuk digunakan secara teratur dalam kegiatan yayasan. Contoh yayasan yang didirikan oleh perusahaan sebagai perantara dalam melakukan CSR antara lain; Danamon peduli, Samporna Foundation, kemudian PT. Astra International yang mendirikan Politeknik Manufaktur Astra dan Unilever peduli Foundation (UPF). 3. Bermitra dengan pihak lain. Dalam menjalankan CSR perusahaan menjalin kerjasama dengan pihak lain seperti lembaga sosial non pemerintah, lembaga pemerintah, media massa dan organisasi lainnya. Seperti misalnya Bank Rakyat Indonesia yang memiliki program CSR yang terintegrasi dengan strategi perusahaan dan bekerjasama dengan pemerintah mengeluarkan produk pemberian kredit untuk rakyat atau yang di kenal dengan Kredit Usaha Rakyat (KUR). Contoh lain adalah kerjasama perusahan dengan lembaga-lembaga sosial seperti Dompet Dhuafa, Palang Merah Indonesia dan lain sebagainya. 4. Mendukung atau bergabung dengan suatu konsorsium. Perusahaan turut mendirikan, menjadi anggota atau mendukung lembaga sosial yang didirikan untuk tujuan sosial tertentu.

Dalam melakukan CSR, tentunya perusahaan memiliki alasan diantaranya adalah: 1. Alasan Sosial Perusahaan melakukan program CSR untuk memenuhi tanggung jawab sosial kepada masyarakat. Sebagai pihak luar yang beroperasi pada wilayah orang lain perusahaan harus memperhatikan masyarakat sekitarnya. Perusahaan harus ikut serta menjaga

kesejahteraan ekonomi masyarakat dan juga menjaga lingkungan dari kerusakan yang ditimbulkan. 2. Alasan Ekonomi Motif perusahaan dalam melakukan CSR tetap berujung pada keuntungan. Perusahaan melakukan program CSR untuk menarik simpati masyarakat dengan membangun image positif bagi perusahaan yang tujaan akhirnya tetap pada peningkatan profit. 3. Alasan Hukum

Alasan hukum membuat perusahaan melakukan program CSR hanya karena adanya peraturan pemerintah. CSR dilakukan perusahaan karena ada tuntutan yang jika tidak dilakukan akan dikenai sanksi atau denda dan bukan karena kesadaraan perusahan untuk ikut serta menjaga lingkungan.

MODAL SOSIAL MASYARAKAT DAN REGULASI: Bila CSR benar-benar dijalankan secara efektif maka dapat memperkuat atau meningkatkan akumulasi modal sosial dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Modal sosial, termasuk elemen-elemennya seperti kepercayaan, kohesifitas, altruisme, gotong royong, jaringan dan kolaborasi sosial memiliki pengaruh yang besar terhadap pertumbuhan ekonomi. Melalui beragam mekanismenya, modal sosial dapat meningkatkan rasa tanggung jawab terhadap kepentingan publik, meluasnya partisipasi dalam proses demokrasi, menguatnya keserasian masyarakat dan menurunnya tingkat kekerasan dan kejahatan. Tanggung jawab perusahaan terhadap kepentingan publik dapat diwujudkan melalui pelaksanaan program-program CSR yang berkelanjutan dan menyentuh langsung aspekaspek kehidupan masyarakat. Dengan demikian realisasi program-program CSR merupakan sumbangan perusahaan secara tidak langsung terhadap penguatan modal sosial secara keseluruhan. Berbeda halnya dengan modal finansial yang dapat dihitung nilainya kuantitatif, maka modal sosial tidak dapat dihitung nilainya secara pasti. Namun demikian, dapat ditegaskan bahwa pengeluaran biaya untuk program-program CSR merupakan investasi perusahaan untuk memupuk modal sosial. Dalam jangka panjang, pemupukan modal sosial tersebut akan memberikan manfaat positif bagi perusahaan maupun masyarakat secara umum. Harmonisasi hubungan

perusahaan dengan masyarakat akan terlihat dari keserasian kehidupan sosial di lingkungan sekitar aktivitas perusahaan. Selain itu akan terbangun kohesifitas yang sangat kuat antara perusahaan dengan masyarakat. Kohesifitas yang kuat akan memunculkan kolaborasi sosial yang erat antara perusahaan dengan masyarakat. Sehingga, masyarakat akan merasakan kepentingannya terusik apabila keberadaan perusahaan mendapatkan gangguan atau masalah. Pemupukan modal sosial tersebut juga dapat membantu mempercepat perbaikan tingkat kesejahteraan masyarakat. Harmonisasi hubungan sosial perusahaan dengan masyarakat dapat terwujud bila perusahaan dapat secara langsung maupun tidak langsung menikmati manfaat ekonomi dari keberadaan perusahaan. Dalam konteks ini, apabila program CSR dapat secara riel meningkatkan kualitas modal sosial, maka dapat diartikan pula bahwa telah terjadi perbaikan kondisi perekonomian masyarakat. Sebagai salah satu elemen yang dapat menjadi faktor utama pembentuk modal sosial, perusahaan dengan program-program CSR-nya jelas tidak berdiri sendiri.

Bagaimanapun, modal sosial tidak hanya dibentuk oleh faktor tunggal atau pelaku tunggal. Harus ada partisipasi aktif dari berbagai elemen lain yang keberadaannya mempengaruhi pembentukan dan pemupukan modal sosial tersebut. Kolaborasi sosial dari berbagai pihak yang terjadi secara simultan dan berkelanjutan akan memungkinkan terbentuknya modal sosial yang solid dan lestari. Agar peran CSR dalam membentuk modal sosial dapat berlangsung secara efektif, maka diperlukan peran pemerintah untuk mempengaruhi secara positif tumbuhnya kepercayaan, kohesifitas, altruisme, gotong royong, partisipasi, jaringan, kolaborasi sosial, dalam suatu komunitas. Modal sosial yang tumbuh dan berkembang dengan baik akan mempercepat keberhasilan pembangunan, khususnya pembangunan sosial dan kesejahteraan. Pengaruh dari pemerintah tersebut dapat berupa undang-undang, peraturan pemerintah maupun fasilitas atau insentif tertentu yang dapat mendorong perusahaan untuk meningkatkan perannya dalam memupuk modal sosial melalui CSR. Dengan demikian, ketika CSR diwajibkan dengan regulasi, maka regulasi itu menyatakan keberlakuan konsep pembangunan berkelanjutan. Karenanya, regulasi lain

yang diberlakukan terhadap perusahaan haruslah ditimbang ulang apakah sesuai dengan konsep pembangunan berkelanjutan atau tidak. Agar pembangunan di Indonesia dapat berjalan menuju pembangunan yang ramah ekonomi, sosial dan lingkungan sekaligus, maka regulasi yang berkenaan dengan pemerintah dan masyarakat sipil juga harus ditimbang dengan konsep yang sama. Kolaborasi dan harmonisasi peraturan pemerintah dengan program-program CSR yang saling mendukung dan dalam koridor konsep Pembangungan Berkelanjutan akan melahirkan sinergi yang kuat bila dilaksanakan secara konsisten disertai dengan ketegasan law enforcement. Hasil dari sinergi tersebut berupa tumbuhnya modal sosial yang semakin kuat dari hari ke hari. CSR tidak akan memberikan arti yang optimal tanpa dukungan pemerintah secara nyata dan peran serta aktif dari masyarakat lokal. Peran serta aktif masyarakat notabene merupakan komponen dalam modal sosial yang sangat penting dan menjadi kunci suksesnya pelaksanaan program-program CSR. Dengan demikian antara CSR dan modal sosial terdapat hubungan dua arah yang bersifat kausalitas dan saling mempengaruhi. Sedangkan pengaruh pemerintah yang antara lain dapat berupa peraturan/regulasi lebih bersifat sebagai katalisator yang berfungsi untuk mempercepat proses senyawa antara CSR dan modal sosial tersebut. Dalam prosesnya, sebenarnya juga terdapat akses pengaruh bagi perusahaan dan masyarakat dalam penyusunan regulasi berkaitan dengan CSR. Perusahaan sebagai agen pelaksana pembangunan berkelanjutan melalui program-program CSR dapat mempengaruhi penyusunan regulasi secara langsung maupun tidak langsung. Sedangkan masyarakat sebagai sumber modal sosial yang berkepentingan atas pelaksanaan program-program CSR juga dapat mempengaruhi penyusunan regulasi maupun menjalankan fungsi kontrol atas pelaksanaan regulasi tersebut. Keterlibatan perusahaan dan masyarakat dalam mempengaruhi penyusunan regulasi dapat dilakukan melalui konsultasi publik. Konsultasi publik ini lebih bersifat dua arah, sehingga memungkinkan terjadinya dialog interaktif antara perusahaan, masyarakat dan pemerintah. Sebab konsultasi publik merupakan proses yang berbasiskan kesetaraan pemangku kepentingan dan bersifat dua atau bahkan multi arah--, berbeda dengan sosialisasi yang timpang dan searah.

Sosialisasi merupakan bentuk komunikasi yang lebih bersifat satu arah, dan dilakukan setelah regulasi selesai dibuat dan ditetapkan berlakunya. Dalam sosialisasi pemerintah berharap para pemangku kepentingan memahami isi regulasi dan kemudian bersedia melaksanakan regulasi seperti yang dikehendaki pemerintah. Sedangkan konsultasi publik dilakukan sebelum suatu regulasi disusun apalagi ditetapkan berlakunya. Dengan konsultasi publik, perusahaan dan masyarakat telah terlibat sejak awal mempengaruhi penyusunan regulasi. Keterlibatan sejak awal proses ini sangat penting karena nantinya bila regulasi telah berlaku akan berpengaruh terhadap kehidupan dan masa depan perusahaan maupun masyarakat. Pengaruh dan keterlibatan perusahaan serta masyarakat ini merupakan wujud atau realisasi komponen modal sosial yaitu tanggung jawab terhadap kepentingan publik. Konsultasi publik lebih menjamin lahirnya regulasi CSR yang realistis dan memenuhi harapan semua pemangku kepentingan karena setiap pihak yang terlibat mempengaruhi proses penyusunannya berada pada posisi yang setara satu sama lain. Dan pada akhirnya program CSR yang disusun serta dilaksanakan perusahaan akan lebih terarah secara efektif untuk mendukung peningkatan kesejahteraan masyarakat. Dengan adanya proses saling terlibat dan mempengaruhi tersebut, maka pada dasarnya pemerintah dan masyarakat juga bertanggung jawab terhadap berlangsungnya aktivitas CSR. Dengan kata lain, CSR bukan semata-mata tanggung jawab perusahaan saja. Perusahaan tidak mungkin dan tidak bisa dibiarkan begitu saja menjalankan programprogram CSR meskipun inisiatif melaksanakan CSR tersebut datang dari perusahaan. Sebab dalam realitasnya di lapangan, implementasi program-program CSR tetap harus melibatkan pemerintah dan masyarakat setempat. Bagaimanapun dalam menjalankan aktivitas CSR-nya, perusahaan tetap menghadapi batas-batas kemampuan finansial dan sumber daya ekonomi lain. Tanggung jawab tersebut harus ditekankan pemahamannya kepada masyarakat dengan tujuan agar masyarakat tidak melupakan tanggung jawab hidupnya sendiri. Pada dasarnya masyarakat tetap bertanggung jawab atas kehidupannya masing-masing, kelestarian lingkungan dan alam tempatnya hidup, tanggung jawab sosial dan ekonomi, serta tanggung jawab sebagai warga negara. Di sini juga sangat perlu ditegaskan bahwa tanggung jawab untuk mewujudkan kesejahteraan hidup masyarakat tidak dapat dibebankan atau dipindahkan sepenuhnya kepada pundak perusahaan. Masyarakat tetap

harus bertanggung jawab untuk meraih serta mewujudkan kesejahteraan individualnya dengan cara belajar dan berkerja keras. Sedangkan pemerintah juga tidak bisa memindahkan tanggung jawabnya untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat umum kepada perusahaan, dengan menyerahkan pelaksanaan pembangunan berkelanjutan sepenuhnya kepada perusahaan. Penekanan dan penegasan ini perlu dipahami oleh masyarakat lokal dan pemerintah setempat agar CSR tidak berdampak pada terjadinya degradasi moral berupa kemalasan dan hilangnya rasa tanggung jawab hidup. Sebab CSR bukanlah aktivitas filantropi berdasar belas kasihan. CSR sama sekali tidak bertujuan untuk mendidik dan membiasakan masyarakat lokal hidup menjadi pemalas dengan menggantungkan hidupnya pada bantuan dan belas kasihan dari pihak lain. Sementara mereka pada saat yang sama tidak memiliki rasa tanggung jawab dan inisiatif sendiri untuk memperbaiki kehidupannya. CSR bukan pula bermaksud mengambil alih tanggung jawab individu masyarakat terhadap pencapain taraf hidup yang lebih baik. Melalui CSR justru diharapkan masyarakat terdidik dan terpacu untuk dapat lebih giat bekerja dan rajin belajar untuk memperbaiki kualitas dan kesejahteraan hidupnya. Dengan demikian CSR harus menghindari efek nina bobok yang memanjakan masyarakat dan pemerintah. Karena itu, CSR yang berdampak pada pengambilalihan tanggung jawab masyarakat dan pemerintah, sebenarnya merupakan tindakan pembodohan yang secara tidak langsung telah menjerumuskan masyarakat pada jurang kebodohan dan kemalasan. Akibat dari CSR yang merupakan pembodohan ini adalah lemahnya modal sosial dalam masyarakat bersangkutan. Faktor-faktor pembentuk modal sosial berupa kohesifitas, gotong royong, partisipasi, saling percaya, kolaborasi sosial, serta tanggung jawab atas kepentingan publik akan terkikis sedikit demi sedikit tanpa disadari oleh masyarakat itu sendiri. Dampak negatif tersebut harus dapat dihindari, dan karenanya penerapan CSR yang salah kaprah menjadi pembodohan juga harus dicegah. Harapan akhirnya adalah, masyarakat dapat menikmati taraf hidup yang lebih baik dengan tingkat kesejahteraan yang tinggi sebagai buah nyata dari kerja keras dan ketekunan belajar mereka sendiri. Sementara program-program CSR yang dijalankan oleh perusahaan lebih merupakan suplemen tambahan untuk membantu masyarakat

memperbaiki kehidupan sosial ekonomi serta menjaga kelestarian lingkungan dan alam.(Sumber: Jurnal Elcendikia Edisi 7 Vol.III No.1 Juni 2008)
POLA CSR YANG DIGUNAKAN PERUSAHAAN-PERUSAHAAN INDONESIA

Saidi dan Abidin (2004:64-65) menyatakan ada empat model atau pola CSR yang umumnya diterapkan oleh perusahaan di Indonesia, yaitu: 1. Keterlibatan langsung, dimana perusahaan menjalankan program CSR secara langsung dengan menyelenggarakan sendiri kegiatan sosial atau menyerahkan sumbangan ke masyarakat tanpa perantara. Untuk menjalankan tugas ini, sebuah perusahaan biasanya menugaskan salah satu pejabat senoirnya, seperti corporate secretary atau public affair manager atau menjadi bagian dari tugas pejabat public relation. 2. Melalui yayasan atau organisasi sosial perusahaan, dimana perusahaan mendirikan yayasan sendiri di bawah perusahaan atau groupnya. Model ini merupakan adopsi dari model yang lazim diterapkan diperusahaanperusahaan dinegara maju. Biasanya, perusahaan menyediakan dana awal, dana rutin atau dana abadi yang dapat digunakan secara teratur bagi kegiatan yayasan. 3. Bermitra dengan pihak lain, dimana perusahaan menyelenggarakan CSR melalui kerjasama dengan lembaga sosial/organisasi non-pemerintah (ornop), instansi pemerintah universitas atau media massa, baik dalam mengelola dana maupun dalam melaksanakan kegiatan sosialnya. 4. Mendukung atau bergabung dalam suatu konsorsium. Perusahaan turut mendirikan, menjadi anggota atau mendukung suatu lembaga sosial yang didirikan untuk tujuan sosial tertentu. Dibandingkan dengan model lainnya, pola ini lebih berorientasi pada pemberian hibah perusahaan yang bersifat hibah pembangunan. Pihak konsorsium atau lembaga semacam itu yang dipercayai oleh perusahaan-perusahaan yang mendukungnya secara pro aktif mencari mitra kerjasama dari kalangan lembaga operasional dan kemudian mengembangkan program yang disepakati bersama.

Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa program CSR yang dilaksanakan perusahaan ini dilakukan agar terjalin hubungan baik antara masyarakat dengan perusahaan. Ini bisa dikatakan sebagai modal sosial yang dimiliki perusahaan agar tetap beroperasi. Selain itu, masyarakat juga mendapatkan keuntungan dari program CSR ini. Dengan demikian, bisa dikatakan bahwa kedua belah pihak saling menguntungkan satu sama lain dan saling mendapatkan manfaat dari hubungan yang mereka jalani dengan baik. Dalam CSR, perusahaan tidak dihadapkan pada tanggung jawab yang hanya berpijak pada single bottom line, yaitu nilai perusahaan (corporate value) yang direfleksikan dalam kondisi keuangannya saja. Tanggung jawab perusahaan harus berpijak pada triple bottom lines, selain aspek financial juga sosial dan lingkungan. Kondisi keuangan saja tidak cukup menjamin nilai perusahaan tumbuh secara berkelanjutan (sustainable), tetapi juga harus memperhatikan dimensi sosial dan lingkungan hidup. Sudah menjadi fakta bagaimana resistensi masyarakat sekitar terhadap perusahaan yang dianggap tidak memperhatikan lingkungan hidup (Untung, 2008:25).
CSR : HUMAN CAPITAL DAN SOCIAL INVESTMENT

Menurut Princes of Wales Foundation ada lima hal penting yang dapat mempengaruhi implementasi CSR, pertama, menyangkut human capital atau pemberdayaan manusia. Kedua, environments yang berbicara tentang lingkungan. Ketiga adalah Good Corporate Governance. Keempat, social cohesion. Artinya, dalam melaksanakan CSR jangan sampai menimbulkan kecemburuan sosial. Kelima adalah economic strength atau memberdayakan lingkungan menuju kemandirian di bidang ekonomi (Untung, 2008:11-12). Jadi, keuntungan lain dari investasi sosial bernama CSR ini adalah apabila dilihat dari investor global yang memiliki idealisme tertentu, dengan aktivitas CSR saham perusahaan dapat lebih bernilai. Investor akan rela membayar mahal karena kita membicarakan tentang sustainability dan acceptability. Sebab itu terkait dengan resiko bagi investor. Investor menyumbangkan social responsibility dalam bentuk premium nilai saham. Itu sebabnya ada pembahasan tentang corporate social responsibility pada annual report, karena investor ingin bersosial dengan membayar saham perusahaan secara premium. Kalau perusahaan tergolong high-risk investor

akan menghindar. Jadi, dari uraian diatas terlihat jelas bahwa faktor yang mempengaruhi implementasi CSR adalah komitmen pimpinan perusahaan, ukuran dan kematangan perusahaan serta regulasi dan sistem perpajakan yang diatur pemerintah. Agar program Corporate Social Responsibility (CSR) berhasil, maka perlu adanya keterlibatan tanggung jawab kemitraan antara pemerintah, lembaga sumberdaya komunitas, juga komunitas setempat (lokal). Kemitraan ini, tidaklah bersifat pasif dan statis. Kemitraan ini merupakan tanggung jawab bersama secara sosial antar stakeholders. Konsep kedermawanan perusahaan (corporate philanthropy) dalam tanggung jawab sosial tidak lagi memadai, karena konsep tersebut tidak melibatkan kemitraan tanggung jawab perusahaan secara sosial dengan stakeholders lainnya (Rudito, 2007:210).

KESIMPULAN

Isu pelaksanaan CSR makin mendapat perhatian, khususnya di Indonesia akibat munculnya berbagai permasalahan yang diakibatkan oleh keteledoran komunitas bisnis dalam menjaga tanggung jawab perusahaan terhadap lingkungan dan komunitas sekitar. Kesuksesan implementasi CSR sangat ditentukan oleh kesediaan dan kesadaran perusahaan bahwa permasalahan yang timbul dalam masyarakat ada permasalahan dan tanggung jawab perusahaan juga. Hal ini dikarenakan hanya perusahaan yang bertanggung jawab sosial-lah yang akan memenangkan pertarungan memperebutkan SDM paling berkualitas dimasa yang akan datang dengan memahami konsekuensi dari cara berbisnis yang bertanggung jawab sosial terhadap cara mereka merekrut dan mempertahankan para pekerja. Mengabaikan isu kompetensi pekerja menunjukkan bahwa perusahaan yang melakukannya tidaklah memahami CSR dengan benar karena CSR haruslah bersifat inside out dimulai dari dalam perusahaan sendiri baru kemudian tanggung jawab sosial perusahaan dilakukan. Sangat tidak mungkin jika perusahaan yang mengabaikan kepentingan dan permasalahan internal bisa menghasilkan kinerja tanggung jawab eksternal yang baik. keuntungan lain dari investasi sosial bernama CSR ini adalah apabila dilihat dari investor global yang memiliki idealisme tertentu, dengan aktivitas CSR saham perusahaan dapat lebih bernilai. Investor akan rela membayar mahal karena kita membicarakan tentang sustainability dan acceptability. Sebab itu terkait dengan resiko bagi investor. Investor menyumbangkan social responsibility dalam bentuk premium nilai saham. Itu sebabnya ada pembahasan tentang corporate social responsibility pada annual report, karena investor ingin bersosial dengan membayar saham perusahaan secara premium.

DAFTAR PUSTAKA http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/19085/4/Chapter%20II.pdf http://www.cgdev.org/files/5853_file_WP_77.pdf http://en.wikipedia.org/wiki/Social_Return_on_Investment http://eprints.undip.ac.id/22572/1/SKRIPSI_Rimba_Kusumadilaga.PDF

You might also like