You are on page 1of 6

DEMOKRATISASI vis a vis MASYARAKAT MADANI Oleh : Majid al-Hamdiyyah Mukadimah Discourse mengenai demokrasi sebenarnya tidaklah terlalu

penting untuk dikedepankan di tengah-tengah kita karena bagaimanapun wacana ini telah kita kenal dan terpatri dalam sejarah Indonesia. Kita, tentu mengenal jargon Demokrasi Terpimpin, Demokrasi Pancasila, sampai Demokrasi Kerakyatan dan embel-embel demokrasi lainnya. Sistem pemerintahan kita telah mengenal begitu lama apa yang dinamakan dengan sistem terbaik di belahan bumi ini. Tetapi mereka lupa bahwa hanya dengan membangun lembaga demokrasi itu tidaklah cukup untuk mengangkat harkat dan martabat negara beserta isinya. Reformasi total yang bergulir pada tahun 1998an adalah peristiwa besar bangsa ini yang bisa dijadikan contoh untuk kita analisa untuk kepentingan di masa mendatang. Bahwa signifikansi antara prodemokrasi dan antidemokrasi makin penting dan menemukan makna baru dalam membangun sistem pemerintahan yang harus bermanfaat oleh masyarakat banyak. Demokratisasi Adam Seligman (Azizi, 2000: 88-89) mengemukakan dua penggunaan istilah civil society dari sudut konsep sosiologi, yaitu dalam tingkatan kelembagaan (organisasi) sebagai tipe sosiologi politik dan membuat civil society sebagai suatu fenomena dalam dunia nilai dan kepercayaan. Dalam pengertian yang pertama, civil society dijadikan sebagai perwujudan suatu tipe keteraturan kelembagaan dan dijadikan jargon untuk memperkuat ide demokrasi yang mempunyai delapan karakteristik, yaitu: (1) the freedom to form and join organizations, (2) freedom of expression, (3) the right to vote, (4) eligibility for public office, (5) the right of political leaders to compare for support and votes, (6) alternative sources of information (what we would call a free press, (7) free and fair elections, and (8) institutions for making government policies 1

depend on votes and other expressions of preference. Kedelapan poin inilah yang menjadi acuan sistem demokrasi di seluruh dunia Demokrasi yang tumbuh-subur di negeri Barat dan memang lahir di sana karena memang masyarakat Barat tercipta dengan relatif homogen dan ingin terlepas dari dogma dan kungkungan agama (Kristen). Walaupun telah terjadi perbedaan dalam ranah konteks yang terjadi khususnya dalam kasus negara kita. Indonesia, dengan masyarakat yang heterogen, baik dalam agama maupun etnik. Ini mengharuskan kita mencarikan formulasi yang dan pandangan atas realitas dan historitas dari potensi dan proses demokratisasi atas masyarakat kita. Karena heterogenitas itu tidak hanya terjadi dalam kelompok politik, melainkan juga terjadi dalam budaya, dalam penghayatan agama sangatlah beragam, berbeda dari daerah satu ke daerah lain. Di butuhkan pengakomodasian serta mempertimbangkan tradisi dan budaya lokal yang sudah terpatri dalam kehidupan masyarakat kita. Demokrasi sebagai sebuah produk politik mempunyai dua wajah yang berbeda; wajah ideal-ideologis dan wajah real-pragmatis. Jargon demokrasi government of the people, by the people, and for the people adalah kurang lebih makna wajah pertama. Demokrasi yang memperjuangkan hak-hak asasi manusia, terjaminnya kebebasan, persamaan, dan keadilan bagi seluruh masyarakat. Demokrasi semakin menjadi penting dan relevan untuk menghindari pemerintahan despotik, tiran, dan otoritarian. Saat ini demokrasi semakin menunjukkan wajah keduanya, yaitu government of the wealthy, for the wealthy, atau yang biasa disebut demokrasi liberal atau pasar. Pertentangan diskursus tentang wacana demokrasi dalam sebuah sistem pemerintahan tidak akan ada habisnya karena memang demokrasi itu sendiri bukanlah sebuah sistem yang ideal tetapi kebutuhan akan sebuah demokratisasi di negeri kita adalah sebuah realitas yang tidak bisa kita elakkan ketika kita hidup di dunia global yang serba keterbukaan ini. Tetapi setidaknya kita tidak akan menerimanya sebagai sebuah taken for granted. Akhirnya fenomena itu terjadi dalam dunia perpolitikan di Indonesia, setidaknya dalam pandangan seorang Richard Robinson yang menyusun buku dan menjadi karya klasik dalam ranah ekonomi-politik dengan mengambil sampel 2

penelitian fraksi kapital di bawah Orba, perkembangan, dan perannya dalam dinamika pembentukan politik totaliterisme orde baru, yang berjudul Indonesia; The Rise of Capital (1986). Di dalam teks itu, Robinson menemukan fraksi kapital dominan yang membentuk struktur ekonomi-politik Indonesia tahun 1980an. Dalam era orba kita mengenal para tokoh konglomerat seperti Sudono Salim, Prayogo Pangestu, Bob Hasan, Samsul Nursalim, Mochtar Riyadi, dan seterusnya, selain keluarga dan anakanak Soeharto sendiri yang terjun ke dunia bisnis dengan kelimpahan fasilitas, proteksi, dan segala kemudahan dari negara. (M. Fadjroel Rahman, 2007 : 148-150). Selain itu fraksi sebenarnya antara lain, pertama, kapital internasional melalui utang (IGGI, IBRD, G to G Loans) dan foreign direct investment (Jepang, AS, Taiwan, Hongkong, Eropa). Kedua kapital BUMN. Ketiga kapital ABRI (TNI/Polri) dan terakhir kapital konglomerasi pribumi dan non pribumi. Yang terjadi di Indonesia sesungguhnya adalah plutokrasi yakni pemerintahan yang dikuasai oleh orang-orang kaya, kekuatan ekonomi politik yang dominan. Bahkan menurut Fadjroel, plutokrasi ini membentuk kelompok elite dengan menjadikan jabatan dan posisi sebagai status sosial untuk memperkaya diri dengan menggunakan legitimasi kekuasaan. Dengan kekayaan memudahkan untuk memperoleh pengaruh dan menentukan garis kebijakan yang menguntungkan posisi untuk berkorupsi dan berkolusi. Dan warisan itu sampai saat ini telah membudaya dalam sistem birokrasi kita dan bahkan terus bertambah besar hingga sekarang. Ilustrasi itu menggambarkan betapa kesenjangan ekonomi sangat sensitif dan tajam dalam era orde baru yang berlanjut ke era orde reformasi. Saat ini, ciri tabiat mereka antara lain selalu ingin dekat dengan kekuasaan, kolusi secara profesional sementara di lain pihak mengembangkan berbagai usaha pribadi menggunakan legitimasinya di pemerintahan. Kelompok kaya ini mempengaruhi opini publik karena memiliki berbagai industri media, baik cetak maupun elektronik, yang semuanya dapat mempengaruhi masyarakat luas untuk berpihak bagi kepentingannya. 3

Masyarakat Madani Perumusan konsep masyarakat madani menggunakan projecting back theory, yang berangkat dari sebuah hadits yang mengatakan Khayr al-Qurun qarni thumma al-ladhi yalunahu thumma al-ladhi yalunahu, yaitu dalam menetapkan ukuran baik atau buruknya perilaku harus dengan merujuk pada kejadian yang terdapat dalam khazanah sejarah masa awal Islam dan bila tidak ditemukan maka dicari pada sumber normatif al-Quran dan Hadits (Hamim, 2000: 115-127). Civil society yang lahir di Barat di Islamkan menjadi masyarakat madani, yaitu suatu masyarakat kota Madinah bentukan Nabi Muhammad SAW. Mereka mengambil contoh dari data historis Islam yang secara kualitatif dapat dibandingkan dengan masyarakat ideal dalam konsep civil society. Mereka melakukan penyetaraan itu untuk menunjukkan bahwa di satu sisi, Islam mempunyai kemampuan untuk di interpretasi ulang sesuai dengan perkembangan zaman, dan di sisi lain, masyarakat kota Madinah merupakan proto-type masyarakat ideal produk Islam yang bisa dipersandingkan dengan konsep civil society. Rasanya tidaklah berlebihan kalau kita menerjemahkan civil society dengan masyarakat madani, karena kehidupan masyarakat Madinah di bawah Nabi Muhammad SAW dan Khulafaur Rasyidin sangat menjunjung tinggi prinsip-prinsip dalam civil society yang lahir kembali di Barat. Dengan demikian, konsep masyarakat madani merupakan bentuk dialog Islam dengan modernitas (Barat). Reinterpretasi Islam terhadap perkembangan zaman bukan sesuatu yang tabu melainkan suatu keharusan dari hukum dialektika thesis-antithesis-synthesis dalam rangka menuju ke arah yang lebih baik. Tidak benar jika ingin mewujudkan masyarakat madani harus memperlemah posisi eksekutif seperti yang terjadi di Amerika. Selain bertentangan dengan prinsip keseimbangan juga mengingkari sejarah masyarakat madani ciptaan Nabi Muhammad SAW yang berbentuk negara. Kesan salah tersebut terjadi karena lahirnya civil society bersamaan dengan konsep negara modern, yang bertujuan: Pertama, untuk menghindari lahirnya negara absolut yang muncul sejak abad ke-16 di Eropa. 4 Kedua, untuk

mengontrol kekuasaan negara. Khatimah Nabi Muhammad SAW telah menampilkan peradaban Islam yang kosmopolitan dengan konsep umat yang menghilangkan batas etnis, pluralitas budaya, dan heteroginitas politik. Peradaban Islam yang ideal tercapai bila tercapai keseimbangan antara kecenderungan normatif kaum Muslimin dan kebebasan berpikir semua warga masyarakat (termasuk mereka yang non-Muslim). (Abdurrahman Wahid, 1999: 4). Saya percaya, peradaban tidaklah dihasilkan dalam waktu semalam karena konstruksi akhir peradaban adalah hasil akhir dari kesabaran panjang berbilang waktu. Tetapi, ia bukanlah kesabaran pasif yang diam dan menunggu turun dari langit, melainkan kesabaran untuk melakukan evaluasi dan menata ulang pembangunan yang sedang berjalan dan mendesakkannya ke trek yang sebenarnya. Ia adalah energi yang bergerak maju dari potensial menjadi kinetik. Terakhir, saya percaya, inilah jalan untuk merebut masa depan kesejahteraan masyarakat daerah kita dan membentuk sebuah peradaban daerah yang agung.

Taman Bacaan A Qodri Abdillah Azizi,. Masyarakat Madani Antara Cita dan Fakta: Kajian Historis-Normatif. Dalam Ismail SM dan Abdullah Mukti, Pendidikan Islam, Demokratisasi dan Masyarakat Madani. Yogyakarta: Pustaka Pelajar 2000 Wahid, Abdurrahman. 1999. Universalisme Islam dan Kosmopolitanisme Peradaban Hal. 1. Ahmad Suaedy., Islamisasi atawa Demokratisasi atawa Civil Society dalam Jurnal Tashwirul Afkar edisi No. 9 / 2000 Khalaf Muammar M.A., Politik Islam; antara Demokrasi dan Teokrasi dalam Jurnal Islamia September 2005. Murtadha Muttahari., Pengantar Pemikiran Shadra; Filsafat Hikmah., Mizan Bandung., Cet I 2002. Rumadi. Civil Society dan NU Pasca-Gus Dur. Kompas Online. 5 November 1999. Thoha Hamim,. Islam dan Civil society (Masyarakat madani): Tinjauan tentang Prinsip Human Rights, Pluralism dan Religious Tolerance. Dalam Ismail SM dan Abdullah Mukti, Pendidikan Islam, Demokratisasi dan Masyarakat Madani. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2000. Harian Kompas., 18 dan 25 September 2006 Islam <http:/artikel.isnet.org/Islam/Paramadina/Konteks/Universalisme.html> 1/9/99.

You might also like