You are on page 1of 50

Pedoman Implementasi

Health Technology Assessment (HTA) di Rumah Sakit 

Dr. Dody Firmanda, Sp.A, MA


Ketua Komite Medik
RSUP Fatmawati Jakarta.

1. Pendahuluan/Latar Belakang

Dalam pengelolaan suatu sarana kesehatan (rumah sakit maupun


klinik) seorang manajer maupun dokter akan (bahkan harus) membuat
suatu ‘keputusan’ dalam penyelenggaraan rumah sakit/klinik tersebut
maupun dalam penatalaksanaan pasien sebagai individu maupun
kelompok. Keputusan tersebut akan mempunyai dampak, terhadap
pasien itu sendiri dan lingkungannya (dalam hal ini keluarga,
masyarakat dan penyandang dana atau asuransi) serta lingkungan
dimana pelayanan kesehatan tersebut diberikan/diselenggarakan (dari
segi dimensi tempat: poliklinik rawat jalan, ruang gawat darurat, rawat
inap, ruang perawatan intensif, ruang operasi dan lain lain; sedangkan
dari segi dimensi fungsi: akan menggerakan/utilisasi mulai dari
registrasi unit rekam medis, penunjang laboratorium, farmasi, bank
darah, unit gizi, laundri, penyediaan air, penerangan listrik dan
sebagainya sampai proses pasien itu pulang sembuh dan kembali
kontrol atau kembali kepada perujuk asal atau keluar rumah sakit
melalui kamar jenazah) dan penyelesaian administrasi keuangan. Ini
adalah satu proses dalam satu sistem sarana pelayanan kesehatan yang
berlangsung secara simultan dan berurutan atas konsekuensi
‘keputusan’ diatas. Biaya atau dana untuk tenaga medis (dokter) hanya
sekitar 20% dari seluruh anggaran yang dikeluarkan oleh satu sarana
penyelenggara kesehatan (rumah sakit), sedangkan 80% lainnya sangat
berhubungan dengan ‘keputusan’ dokter tersebut.

‘Kesalahan’ diakibatkan oleh faktor manusia hanya sekitar 10-20%,


selebihnya (80%) dikarenakan oleh sistem, kebijakan (policy) dan
prosedur yang tidak jelas serta tidak konsisten. Oleh karena itu dalam
upaya mencapai hasil yang optima dalam penyelenggaraan pelayanan
kesehatan terhadap pasien baik secara individu maupun kelompok serta
efisien dan berazas manfaat, maka diperlukan suatu ‘keputusan’ yang
baik dan tepat didalam ‘sistem’ yang jelas dan konsisten. Hal ini akan
terwujud bila mempunyai jiwa kepemimpinan (leadership) yang visioner,
‘survivalist’ dan konsekuen. Sistem itu sendiri terdiri dari tiga komponen


Disampaikan pada Pertemuan Finalisasi Pedoman dan Draft Rekomendasi Hasil HTA 2008, diselenggarakan oleh
Direktorat Bina Pelayanan Medik Spesialistik, Dirjen Bina Pelayanan Medik Depkes RI di Hotel dan Apartemen
Majesty, Bandung 27 – 30 Agustus 2008.

1
yakni struktur, proses dan hasil (outcome) yang sama pentingnya serta
saling berhubungan dan saling mempengaruhi.

Menghadapi era globalisasi ini, dalam bidang kedokteran/kesehatan


memerlukan dokter yang mempunyai selain spesialisasi/sub spesialisasi
keahlian juga menguasai akan ‘medical management’, ‘medical
epidemiology’ dan ‘medical bioengineering’ (termasuk teknologi
kedokteran/kesehatan). Yang mana ketiga bidang tersebut nantinya
akan bermuara sebagai salah satu indikator hasil/outcome dari mutu
pelayanan dan atau pendidikan kesehatan/kedokteran yang baik dan
konsisten. Oleh karena itu, alangkah baiknya bila dalam kurikulum
Pendidikan Kedokteran Umum dan Spesialis pada tahap pengayaan
diperkenalkan akan ketiga bidang diatas sebagai ‘basic essential
elements’ dan diperdalam lagi pada saat tahap komprehensif akhir
sebelum selesai menjadi dokter umum maupun dokter spesialis dalam
rangka antisipasi dan untuk mempersiapkan dokter paripurna dan
handal, mempunyai wawasan ‘leadership’ yang baik serta diharapkan
nantinya akan mampu membuat ‘keputusan’ yang tepat tatkala
menghadapi tantangan globalisasi dan tekanan ‘multi-national company’
di masa mendatang. Bukankah sebagaimana diutarakan diatas,
meskipun dokter hanya mempunyai andil 20%, akan tetapi ‘keputusan’
yang akan diambil dokter tersebut akan mempengaruhi 80% lainnya.

Meskipun pelayanan kesehatan sangat bervariasi dari dan dalam satu


rumah sakit, wilayah ataupun di negara maju/industri dan dunia
ketiga. Akan tetapi ciri dan sifat masalah tersebut tidak jauh berbeda
satu sama lainnya dalam hal yang mendasar yakni semakin
meningkatnya jumlah populasi usia lanjut (perubahan demografi),
tuntutan dan harapan pasien akan pelayanan, pesatnya perkembangan
teknologi kedokteran dan semakin terbatasnya sumber dana.

Mutu/Kualitas dapat ditinjau dari berbagai perspektif baik itu dari


perspekstif pasien dan penyandang dana, manajer dan profesi dari
pemberi jasa rumah sakit maupun pembuat dan pelaksana kebijakan
layanan kesehatan di tingkat regional, nasional dan institusi. (Quality is
different things to different people based on their belief and norms). 1

Perkembangan evolusi mengenai bidang mutu (Quality), kaidah tehnik


mekanisme pengambilan keputusan untuk profesi seperti Evidence-
based (Medicine, Nursing, Healthcare, Health Technology Asssessment),
dan Sistem Layanan Kesehatan di rumah sakit sangat perlu dan penting
untuk diketahui terlebih dahulu sebelum menetapkan arah
pengembangan suatu sarana layanan kesehatan (rumah sakit) sehingga

1
Adams C, Neely A. The performance prism to boost success. Measuring Health Business Excellence 2000; 4(3):19-
23.

2
akan lebih mudah dalam menilai progresivitas dan kinerja (performance)
dalam bentuk indikator indikator yang mencerminkan keadaan yang
sesungguhnya.

Secara ringkasnya bagan dalam Gambar 1 berikut menunjukkan evolusi


mutu dari inspection, quality control, quality assurance hingga total
quality serta komponen komponennya; dan evolusi epidemiologi klinik,
evidence-based, health technology assessment sampai information
mastery. 2,3,4,5,6

Gambar 1. Evolusi bidang mutu dan epidemiologi klinik. 2-6

2
Firmanda D. Clinical Governance: Konsep, konstruksi dan implementasi manajemen medik. Disampaikan pada seminar
dan business meeting “Manajemen Medis: dari Kedokteran Berbasis Bukti (Evidence-b ased Medicine/EBM)
menuju Clinical Governance” dalam r angka HUT RSUP Fatmawati ke 40 di Gedung Bidakara Jakarta 30 Mei 2000.
3
Firmanda D. Professional continuous quality improvement in health care: standard of procedures, clinical
guidelines, pathways of care and evidence-based medicine. What are they? J Manajemen & Administrasi Rumah
Sakit Indonesia 1999; 1(3): 139-144.
4
Firmanda D. Dari penelitian ke praktik kedokteran. Dalam Sastroasmoro S dan Ismael S. Dasar dasar metodologi
penelitian klinis. Edisi ke-2. Jakarta: Sagung Seto, 2002.
5
Firmanda D. Clinical governance dan aplikasinya di rumah sakit. Disampaikan pada Pendalaman materi rapat kerja
RS Pertamina Jaya, Jakarta 29 Oktober 2001.
6
Firmanda D. Professional CQI: from Evidence-based Medicine (EBM) towards Clinical Governance. Presented at
rd
World IPA, Beijing 23 July 2001.

3
Sedangkan evolusi sistem layanan kesehatan di rumah sakit secara
prinsipnya mulai dari yang bercirikan ’doing things cheaper’ dalam hal
ini efficiency pada tahun 1970an pada waktu krisis keuangan dan
gejolak OPEC, kemudian ekonomi mulai pulih dan masyarakat
menuntut layanan kesehatan bercirikan ’doing things better’ dalam hal
ini quality improvement.

Selama dua dekade tersebut manajemen bercorak ’doing things right’


yang merupakan kombinasi ’doing things cheaper’ dan ’doing things
better’. Ternyata prinsip ’doing things right’ tidak memadai mengikuti
perkembangan kemajuan teknologi maupun tuntutan masyarakat yang
semakin kritis; dan prinsip manajemen ‘doing things right’ tersebut telah
ketinggalan zaman dan dianggap sebagai prinsip dan cara manajemen
kuno.

Pada abad 21 ini menjelang era globalisasi dibutuhkan tidak hanya


’doing things right’, akan tetapi juga diperlukan prinsip manajemen
‘doing the right things’ (dikenal sebagai increasing effectiveness) sehingga
kombinasi keduanya disebut sebagai prinsip manajemen layanan
modern ‘doing the right things right’. (Gambar 2). 7,8,9,

Gambar 2. Evolusi prinsip manajemen layanan kesehatan.7-9

7
Firmanda D. Key to success of quality care programs: empowering medical professional. Global Health Journal
2000; 1(1) http://www.interloq.com/a26.htm
8
Firmanda D. The pursuit of excellence in quality care: a review of its meaning, elements, and implementation.
Global Health Journal 2000;1(2) http://www.interloq.com/a39vlis2.htm
9
Firmanda D. Total quality management in health care (Part One). Indones J Cardiol Pediatr 1999; 1(1):43-9.

4
2. Penilaian Teknologi Kesehatan (PTK)/Health Technology
Assessment (HTA)

Sebagaimana disebutkan diatas bahwa ‘pengambilan keputusan’


sangat penting dan secara langsung akan mempengaruhi sistem
penyelenggaraan sarana kesehatan maupun penatalaksanaan pasien
secara individu dan ataupun maupun kelompok. Adapun pengambilan
keputusan akan dipengaruhi oleh berbagai faktor (Gambar 3).

Evidence Values
B
A

Resources

Gambar 3 Faktor yang mempengaruhi pengambilan keputusan

Selama ini banyak para pengambil keputusan hanya berdasarkan


kepada kombinasi faktor mempertimbangkan sumber (resources) dan
nilai/harapan dari konsumen/populasi. Tehnik ini dikenal sebagai
‘Opinian-based decision making’ (posisi A dalam Gambar 3).

Sangat sedikit yang memadukannya dengan menggunakan hasil


penelitian deskriptif maupun analtik (untuk pasien maupun populasi),
sehingga jerih payah dan biaya yang dikeluarkan untuk penelitian
tersebut mubazir dan tidak tampak manfaatnya kepada masyarakat
pengguna jasa kesehatan. Justru yang diharapkan adalah posisi B
yang mengkombinasikan ketiga faktor tersebut (‘Evidence-based decision
making/EBDM’).

Evidence-based decision making tersebut adalah cara pendekatan untuk


mengambil keputusan dalam penatalaksanaan pasien (dan atau
penyelenggaraan pelayanan kesehatan) secara eksplisit dan sistematis
berdasarkan bukti penelitian terakhir yang sahid (valid) dan
bermanfaat. Untuk profesi medis dikenal dengan nama evidence-based
medicine, untuk pihak manajerial disebut evidence-based healthcare,
untuk pembuat kebijakan dikenal sebagai evidence-based health policy
dan sebagainya.

5
Sedangkan yang dimaksud ‘bermanfaat’ (usefullness) adalah ketepatan
memanfaatkan berbagai sumber informasi yang relevan dalam
penulusuran bukti/eviden yang sahih dan mutakhir dalam waktu yang
relatif singkat untuk menegakkan diagnosis dan skrining, menentukan
prognosis dan memberikan terapi dalam penatalaksanaan pasien
sebagai individu maupun kelompok serta penyelenggaraan layanan
kesehatan. Secara ringkas komponen struktur tersebut dapat
diformulasikan sebagai berikut:

Usefullnes in clinical practice = Relevance X Valid


Easy to access

“Evidence-based Medicine (EBM)” dan “Evidence-based Health Care


(EBHC)” bukan hanya satu set tehnik semata, akan tetapi lebih dari itu
yakni sebagai satu paradigma (model) baru dalam meninjau dunia
kedokteran dengan cara yang berbeda dalam praktek kedokteran sehari
hari dengan memadukan pengalaman klinis, didukung dengan bukti
saintifik yang eksplisit serta menerapkan kaidah ilmu epidemiologi
klinis, disamping mempertimbangkan nilai etika dan upaya memenuhi
harapan pasien (patients expected values and preferences) dalam
penatalaksanaan penyakit pasien dan atau penyelenggaraan pelayanan
kesehatan. Keterpaduan tehnik pengambilan keputusan berdasarkan
evidence-based tersebut sesuai strata dan situasi kondisi rumah sakit
serta nilai norma norma yang berlaku (profesi dan masyarakat) dikenal
sebagai penilaian teknologi kesehatan (health technology assessment).

Definisi dan Ruang Lingkup Penilaian Teknologi Kesehatan (PTK)

Penilaian Teknologi Kesehatan (PTK) adalah suatu proses rangkuman


multidisplin yang dilakukan secara sistematik, transparan, tidak bias
dan mendalam ditinjau dari berbagai sudut (kedokteran, sosial,
ekonomi dan etika) terhadap teknologi kesehatan yang digunakan
ditempat layanan kesehatan (rumah sakit). 10,11,12

PTK terdiri dari 3 unsur utama yakni:10-12


1. Analisis efektivitas klinis (clinical effectiveness analysis),
2. Analisis ekonomi (economic analysis),
3. Analisis dampak terhadap sistem layanan kesehatan (analysis of
impact on health care system).

10
Bozic KJ, Pierce RG, Hendon JH. Current concept review of health technology assessment – basic principles and
clinical applications. Journal of Bone and Joint Surgery 2004; 86(6):1305-13.
11
Battista RN, Hodge MJ. The evolving paradigm of health technology assessment: reflections for the millennium.
CMAJ 1999; 160(60):1464-7.
12
European Network for Health Technology Assessment www.eunethta.net (accessed on August 26, 2008).

6
Profesi medis berperan penting dalam melaksanakan analisis efektivitas
klinis, sedangkan pihak manajerial dan direksi dalam bidang analisis
ekonomi dan pemerintah (dalam hal ini Departemen Kesehatan dan
Dinas Kesehatan) selaku pembuat kebijakan dan regulator berperan
dalam melakukan analisis dampak terhadap sistem layanan kesehatan
(Gambar 4 dan 5) termasuk sistem pembiayaan dan keamanan pasien
(patient safety).

Gambar 4. Strata pemanfaatan pendekatan HTA dari tingkat pembuat


kebijakan/regulator, pelaksana kebijakan dan instrumen aplikasinya
pada tingkat layanan kesehatan (rumah sakit) dalam rangka kendali
mutu dan biaya. 13

13
Firmanda D. Pedoman implementasi HTA di RS fatmawati. Disampaiakan pada Sidang Pleno Komite Medik RSUP
Fatmawati, Jakarta 2 Juni 2008.

7
Gambar 5. Kerangka konsep implementasi evidence-based dan HTA
dikaitkan dengan sistem pembiayaan dan Undang Undang Nomor 29
tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran.13

Pada saat seorang dokter lulus dari institusi pendidikan akan mendapat
ijasah dan sertifikat kompetensi sebagai tanda lulus dan pengakuan
kemampuan kompetensinya sebagai individu dokter dan berhak untuk
mendapatkan Surat Tanda Registrasi (STR) untuk waktu 5 tahun sesuai
dengan Undang Undang Sistem Pendidikan Nasional14 dan Undang
Undang Praktik Kedokteran 15. Pertanyaan akan timbul;

1. Apakah dokter tersebut dapat melaksanakan dan


mempertahankan serta bahkan meningkatkan kompetensi
profesinya selama waktu tersebut?
2. Apakah dokter tersebut dapat memberikan pelayanan kesehatan
sesuai dengan yang diharapkan berdasarkan Standar Profesi dan
Standar Pelayanan Medik dalam rangka memenuhi salah satu dari

14
Undang Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 61.
15
Undang Undang No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran Pasal 7 dan Pasal 8.

8
falsafah tujuan dasar Undang Undang Praktik Kedokteran yakni
melaksanakan praktik kedokteran yang memberikan perlindungan
dan keselamatan pasien?16,17
3. Apakah dokter tersebut telah dapat memberikan pelayanan
sesuai dengan Clinical Pathways dan kajian varians dari Sistem
Pembiayaan berdasarkan metode DRGs Casemix untuk
melaksanakan praktik kedokteran secara kendali mutu dan
biaya?18,19,20

Disini letak akan pentingnya dimensi tempat, waktu dan individu profesi
dalam meninjau kinerja (performance) keprofesiannya. Kinerja atau
performance tersebut tercermin dalam satu buku seperti log book
individu atau di negara luar dikenal sebagai PYA (Penultimate Year
Assessment) Form atau dalam bentuk portolio profesi dokter
tersebut.21,22

Mutu/Kualitas dapat ditinjau dari berbagai perspektif baik itu dari


perspekstif pasien dan penyandang dana, manajer dan profesi dari
pemberi jasa rumah sakit maupun pembuat dan pelaksana kebijakan
layanan kesehatan di tingkat regional, nasional dan institusi. (Quality is
different things to different people based on their belief and norms).23

Sesuai dengan Undang Undang Nomor 29 tahun 2004 tentang Praktik


Kedokteran bahwa setiap dokter dalam melaksanakan praktik
kedokterannya wajib menyelenggarakan kendali mutu24-25 dan kendali
biaya 19 melalui kegiatan audit medis26 yang dilaksanakan oleh

16
Undang Undang No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran Pasal 2 dan Pasal 3 ayat 1.
17
Firmanda D. Standar Fasilitas dalam penetapan kompetensi profesi di sarana pelayanan kesehatan. Disampaikan
dalam Semiloka Standar Fasilitas Rumah Sakit berkaitan dengan Undang Undang Praktik Kedokteran.
Diselenggarakan oleh Konsorsium Pelayanan Medik (KPM) Dirjen Bin Yan Medik Depkes RI di Hotel Mulia Jakarta
7 Februari 2006.
18
Undang Undang No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran Pasal 49 ayat 1.
19
Firmanda D. Integrated Clinical Pathways: Peran profesi medis dalam rangka menyusun Sistem DRGs Casemix di
rumah sakit. Disampakan pada kunjungan lapangan ke RSUP Adam Malik Medan 22 Desember 2005, RSUP Hasan
Sadikin Bandung 23 Desember 2005 dan Evaluasi Penyusunan Clinical Pathways dalam rangka penyempurnaan
Pedoman DRGs Casemix Depkes RI, Hotel Grand Cempaka Jakarta 29 Desember 2005.
20
Firmanda D, Pratiwi Andayani, Nuraini Irma Susanti, Srie Enggar KD dkk. Clinical Pathways Kesehatan Anak dalam
rangka implementasi Sistem DRGs Casemix di RS Fatmawati, Jakarta 2006.
21
Royal College of Paediatrics and Child Health. Guide to Penultimate Year Assessment. London, 2004.
22
Royal College of Medicine. Implementation of Penultimate Year Assessment. London 2004.
23
Adams C, Neely A. The performance prism to boost success. Measuring Health Business Excellence 2000;
4(3):19-23.
24
Undang Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran Pasal 49 Ayat 1 dan penjelasannya.
25
Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 131/Menkes/SK/II/2004 tentang Sistem Kesehatan Nasional. Bab IV
Subsistem Upaya Kesehatan.
26
Undang Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran Pasal 49 Ayat 2 dan penjelasannya.

9
organisasi profesi 27, untuk tingkat rumah sakit oleh kelompok seprofesi
(SMF) dan Komite Medik.28

Sedangkan yang dimaksud audit medis adalah upaya evaluasi secara


profesional terhadap mutu pelayanan medis yang diberikan kepada
pasien dengan menggunakan rekam medisnya yang dilaksanakan oleh
profesi medis.19 Rekam Medis adalah berkas yang berisikan catatan dan
dokumen tentang identitas pasien, pemeriksaan, pengobatan, tindakan
dan pelayanan lain yang diberikan kepada pasien29, yang harus dibuat 30
dan dilengkapi 31 serta dijaga kerahasiaannya.32,33,34

Peran dan fungsi Komite Medik di rumah sakit adalah menegakkan etik
dan mutu profesi medik.35 Yang dimaksud dengan etik profesi medik
disini adalah mencakup Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI)36,
Kode Etik Penelitian Kedokteran Indonesia (untuk saat ini dapat
diadopsi dan digunakan Kode Etik Penelitian yang dipakai oleh institusi
pendidikan) dan Kode Etik Pendidikan Kedokteran Indonesia (untuk
sementara ini bagi profesi medik dapat mengacu kepada KODEKI). 37

Sedangkan istilah mutu profesi medik itu sendiri dapat ditinjau dari
berbagai sudut yang berbeda tergantung dari nilai pandang (perspektif)
dan norma norma yang berlaku serta disepakati secara konsensus.
Dapat ditinjau dari segi profesi medis, perawat, manajer, birokrat
maupun konsumen pengguna jasa pelayanan sarana kesehatan (Quality
is different things to different people based on their belief and norms). 38

Peran Profesi Medis dalam HTA sebagaimana disebutkan diatas adalah


memberikan pelayanan keprofesiannya secara efektif (clinical
effectiveness) dalam hal menegakkan diagnosis dan memberikan terapi
berdasarkan pendekatan evidence-based medicine. Secara ringkasnya
langkah tersebut sebagaimana dapat dilihat pada Gambar 6 berikut.

27
Undang Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran Pasal 49 Ayat 3 dan penjelasannya.
28
Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor No. 496/Menkes/SK/IV/2005 tentang Pedoman Audit Medis di Rumah
Sakit.
29
Undang Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran Pasal 46 Ayat 1 dan penjelasannya.
30
Undang Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran Pasal 79 huruf b.
31
Undang Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran Pasal 46 Ayat 2 dan penjelasannya.
32
Undang Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran Pasal 47 Ayat 2.
33
Undang Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran Pasal 48.
34
Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI) Pasal 12.
35
Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 631/SK/Menkes/IV/2005 tentang Pedoman Peraturan Internal Staf
Medis (Medical Staff Bylaws) di rumah sakit.
36
Undang Undang RI Nomor 29 Tahun 2004 Pasal 8 huruf f dan penjelasannya.
37
Komunikasi pribadi dengan Prof. DR. Dr. FA. Moeloek, Sp.OG (Ketua Konsil Kedokteran) Rabu 16 Mei 2007.
38
Adams C, Neely A. The performance prism to boost success. Measuring Health Business Excellence 2000;
4(3):19-23.

10
Gambar 6. Langkah umum dalam kajian literatur melalui pendekatan
evidence-based, tingkat evidens dan rekomendasi dalam bentuk standar
pelayanan medis dan atau standar prosedur operasional.13

Untuk implementasi praktis kajian analisis di atas dapat merujuk buku


yang ditulis oleh Sudigdo S dan kawan kawan39 terutama pada bab 21
dan 22 mengenai telaah kritis makalah kedokteran.

39
Sudigdo S, Ismael S. Dasar dasar metodologi penelitian klinis. Edisi 2. Sagung Seto; Jakarta 2002.

11
Aplikasi EBM : Diagnosis

1. Rasio Kemungkinan Positif (RK+) Positive Likelihood Ratio (LR +)


2. Rasio Kemungkinan Negatif (RK-) Negative Likelihood Ratio (LR -)
3. Rasio Odds Positif (RO+) Positive Odds Ratio (OR+)
4. Rasio Odds Negatif (RO-) Negative Odds Ratio (OR-)

RK Interpretasi:
Prevalens (Pre-test probability) (LR)
> 10 Besar peningkatan
kemungkinan adanya
penyakit

5 - 10 Sedang peningkatan
kemungkinan adanya
penyakit
Rasio Odds (Pre-test Odds Ratio)
2-5 Kecil peningkatan
kemungkinan adanya
penyakit
X RK 1 Tidak ada perubahan
kemungkinan adanya
penyakit

0.5 - 1 Minimal penurunan


Rasio Odds (Post-test Odds Ratio) kemungkinan adanya
penyakit

0.2 Sedikit penurunan


– kemungkinan adanya
0.5 penyakit
Probability 0.1 Sedang penurunan
(Post-test probability) – kemungkinan adanya
0.2 penyakit

< 0.1 Desar dan konklusif


penurunan
Ingat: kemungkinan adanya
Probability x%, maka Odds x : (100 – x) penyakit
Odds a : b , maka Probability a / (a + b)

12
Contoh:

Pasien anak A, 10 tahun dengan keluhan sakit tenggorokan dan demam,


serta didapatkan eksudat dan pembesaran kelejar getah bening.
Prevalensi penyakit tersebut 40%. Hasil uji antigen terhadap strep:
positif. Dalam leaflet tertulis bahwa cara uji tersebut mempunyai
sensitifitas 90% dan spesifisitas 90%. Kemungkinan anak terebut
mengidap penyakit disebabkan Streptokokus?

Langkah Langkah:

1. Rasio Kemungkinan Positif (RK+) Positive Likelihood Ratio (LR +):


Sensitifitas /(1 – Spesifisitas) = 0.9/(1 - 0.9) = 0.9/0.1 = 9

2. Rasio Kemungkinan Negatif (RK-) Negative Likelihood Ratio (LR -):


(1-Sensitifitas)/ Spesifisitas = (1 – 0.9)/ 0.9 = 0.1/ 0.9 = 0.1

3. Kemungkinan anak tersebut mengidap disebabkan streptokokus


adalah:

Prevalens
40%
(Pre-test probability)

40% = 40/(100-60) =
Rasio Odds 40:60
(Pre-test Odds Ratio) 4:6

X RK X 9

Rasio Odds 36:6


(Post-test Odds Ratio)

36:6 = 36/(36+6) =
Probability 36/42
0.86
(Post-test probability)
86%

Ingat:
Probability x%, maka Odds x : (100 – x) dodyfirmanda1997®
Odds a : b , maka Probability a / (a + b)
13
Untuk memudahkan mengenai hubungan sensitifitas, spesifisitas dan
rasio kemungkinan positif (positive likelihood ratio) dalam memilih
penunjang pemeriksaan diagnostik (untuk profesi medis) dan pihak
manajerial dalam menentukan pemilihan dan pengadaan alat
penunjang dapat digunakan table sebagaimana dapat dilihat pada
Gambar 7 berikut.

Gambar 7. Hubungan sensitifitas, spesifisitas dan penghitungan rasio


kemungkinan positif (positive likelihood ratio) LR (+). Pada tabel di atas
sebaiknya dipilih alat penunjang yang mempunyai LR(+) > 5.

Selanjutnya untuk terapi dan prognosis diabjurkan untuk membaca


buku dari sudigdo dan kawan kawan.13

14
Peran Clinical Effectiveness (dari HTA) dalam Sistem Layanan
Kesehatan Rumah Sakit

Sebagaimana diutarakan sebelumnya clinical effectiveness merupakan


salah satu kunci utama dalam sistem manajemen layanan di rumah
sakit (Gambar 2)7-9 dan merupakan hasil analisis profesi dalam HTA10-12
dalam bentuk rekomendasi standar pelayanan medis, standar prosedur
operasional di rumah sakit (Gambar 5) 13 dan clinical pathways dalam
sistem pembiayaan DRG Casemix (Gambar 4)13, serta salah satu dari 5
komponen dalam clinical governance rumah sakit (Gambar 8)40 dan
salah satu dari 6 dimensi mutu dalam penilaian kinerja rumah sakit
(hospital performance assessment tools).41- 46

Gambar 8. Model implementasi HTA dalam Clinical Governance dan


sistem pembiayaan DRG Casemix rumah sakit.40

WHO Regional Eropa 41 sedang melakukan uji coba implementasi dalam


menilai kinerja rumah sakit melalui instrumen yang dinamakan PATH
(Performance Assessment Tool for Quality Improvement in Hospitals).
40
Firmanda D. Sistem Komite Medik RSUP Fatmawati Jakarta, 2003.
41
WHO Regional Office for Europe. Performance Assessment Tool for Quality Improvement in Hospitals.
Copenhagen, 2007.

15
Instrumen PATH tersebut terdiri 6 dimensi yang saling berkaitan yakni
clinical effectiveness, safety, patient centeredness, responsive governance,
staff orientation dan efficiency (Gambar 9).42,43,44,45,46

Definisi kinerja rumah sakit (hospital performance) sangat dipengaruhi


oleh nilai dan norma serta standar yang berlaku dari profesi, pasien dan
masyarakat - akan dikatakan memuaskan bila kinerja rumah sakit
tersebut dapat memberikan pelayanan sesuai dengan norma dan
standar dari ke tiga perspektif di atas.4,6

Gambar 9. Pendekatan multi dimensi dalam menilai kinerja rumah sakit


berdasarkan instrumen PATH (Performance Assessment Tools for Quality
Improvement in Hospitals) dari WHO Regional Eropa. 42-46

42
World Health Organization. Measuring hospital performance to improve the quality of care in Europe: a need for
clarifying the concepts and defining the main dimension. (2003) Copenhagen: WHO Regional Office for Europe.
Report on a WHO Workshop Barcelona, Spain, 10-11 January 2003.
43
Veillard J, Champagne F, Klazinga N, et al. A performance assessment framework for hospitals: the WHO
regional office for Europe PATH project. Int J Qual Health Care. 2005;17:487-96
44
Groene O. Pilot Test of the Performance Assessment Tool for Quality Improvement in Hospitals (PATH).
Copenhagen: WHO Regional Office for Europe. The Performance Assessment Tool for Quality Improvement
(PATH): preparing for the second wave of data collection. (2007) Copenhagen : WHO Regional Office for Europe.
Report on Indicator Descriptions (March 2007)
45
World Health Organization. Assessing health systems performance: first preparatory meeting for the WHO
European Ministerial Conference on Health Systems, 2008, Brussels. Copenhagen: WHO Regional Office for
Europe. 29-30.
46
Groene O, Klazinga N, Kazandjian V, Lombrail P, Bartels P. The World Health Organization Performance
Assessment Tool for Quality Improvement in Hospitals (PATH): An Analysis of the Pilot Implementation in 37
Hospitals. Int J Qual Health Care. 2008;20(3):155-161.

16
Groene dan kawan kawan 46 melaporkan hasil penelitian uji coba di 37
rumah sakit di Eropa bahwa implementasi PATH sebaiknya ditanamkan
(embedded) atau patch in dengan sistem yang telah ada dan sedang
berjalan di rumah sakit tersebut.

Penilaian kinerja rumah sakit tersebut berdasarkan kompetensi


kemampuan profesi mengamalkan praktek keprofesiannya berlandaskan
pengetahuan mutakhir dan tanggap akan kebutuhan pasien/
masyarakat dengan memberikan layanan secara terpadu terhadap
seluruh pasien tanpa membedakan latar belakangnya, memanfaatkan
sarana dan teknologi yang tersedia dengan seefisien dan risiko
seminimal mungkin untuk mencapai derajat kesehatan yang optima.42-46

(A satisfactory level of hospital performance is the


maintenance of a state of functioning that corresponds to
societal, patient and professional norms.
.
High hospital performance should be based on professional
competences in application of present knowledge, available
technologies and resources; Efficiency in the use of resources;
Minimal risk to the patient; Responsiveness to the patient;
Optimal contribution to health outcomes.

Within the health care environment, high hospital performance


should further address the responsiveness to community
needs and demands, the integration of services in the overall
delivery system, and commitment to health promotion.

High hospital performance should be assessed in relation to


the availability of hospitals’ services to all patients
irrespective of physical, cultural, social, demographic and
economic barriers). 10-15

Terlihat disini terjadi pergeseran titik fokus yang sebelumnya lebih


kepada hal administrasi dan manajerial ke arah profesionalisme dan
kompetensi profesi dalam mekanisme pengambilan keputusan untuk
memberikan layanan yang terpadu, efisien dan berefek risiko minimal.
Pergesaran tersebut merupakan suatu evolusi dari komponen ke tiga
dalam quality assurance yakni quality improvement – dari prinsip prinsip
doing things cheaper (efisiensi) ke doing things better (quality
improvement) dan doing the rights things (effectiveness) menjadi doing
the right things right. 47

47
Gary JAM. Evidence-based health care: how to make health policy and management decisions. Churchill
Livingstone, London 1999.

17
Secara ringkas sebagaimana telah ditulis di atas PATH terdiri 6 dimensi
yang saling berkaitan yakni clinical effectiveness, safety, patient
centeredness, responsive governance, staff orientation dan efficiency
(Gambar 10). Dari ke enam keterkaitan dimensi tersebut ada 17
indikator utama (core indicators) sebagaimana dalam Tabel 1 dan 24
indikator tambahan sesuai kondisi dan kemampuan rumah sakit
(tailored indicators). 48

Ke tujuh belas indikator utama terdiri dari:

A. Dimensi kombinasi Clinical effectiveness dan Safety:


1.Caesarean section
2.Prophylactic antibiotic use
3.Mortality
4.Readmission
5.Day surgery
6.Admission after day surgery
7.Return to Intensive Care Unit (ICU)

B. Dimensi Efisiensi:
8.Length of stay
9.Surgical theatre use

C. Dimensi kombinasi Staff orientation dan Safety:


10. Training expenditure
11. Absenteeism
12. Excessive working hours
13. Needle injuries
14. Staff smoking prevalence

D. Dimensi Responsive governance


15. Breastfeeding at discharge
16. Health care transitions

E. Dimensi Patient Centeredness


17. Patient expectations

48
WHO Regional Office for Europe. Performance Assessment Tool for Quality Improvement in Hospitals –
Indicator descriptions (core sets), Copenhagen, 2007.

18
Gambar 10. Hubungan yang berkaitan antar 6 komponen dimensi PATH
dengan 17 indikator utama (core indicators) yang telah di modifikasi. 48

Tabel 1. Tujuh belas indikator utama (core indicators) dari 6 dimensi


PATH (Performance Assessment Tool for Quality Improvement in
Hospitals). 48

Bila diperhatikan ke tujuh belas indikator utama di atas tidak semua


dimensi saling berkaitan (hanya dimensi kombinasi Clinical

19
effectiveness/ Safety dan imensi kombinasi Staff orientation/Safety).
Maka indikator lain dari kombinasi lainnya disesuaikan dengan situasi,
kondisi dan kemampuan rumah sakit setempat yang terdiri dari 24
indikator tambahan penyesuaian (tailored indicators).2-6,8

WHO Executive Board pada tanggal 18 Januari 2002 telah


mengeluarkan suatu resolusi untuk membentuk program manajemen
resiko untuk patient safety yang terdiri dari 4 aspek utama yakni: 49,50,51
1. “Determination of global norms, standards and guidelines for
definition, measurement and reporting in taking preventive action,
and implementing measures to reduce risks;
2. Framing of Evidence-based Policies in global standards that will
improve patient care with particular emphasis on such aspects as
product safety, safe clinical practice in compliance with appropriate
guidelines and safe use of medical products and medical devices
and creation of a culture of safety within healthcare and teaching
organisations;
3. Development of mechanism through accreditation and other means,
to recognise the characteristics of health care providers that over a
benchmark for excellence in patient safety internationally;
4. Encouragement of research into patient safety.”

Awal Mei 2007 WHO Collaborating Centre for Patient Safety Solutions
dengan Joint Commission dan Joint Commission International telah
meluncurkan suatu agenda mengenai patient safety yang dinamakan
Nine Patient Safety Solutions – Preamble May 2007 .52 Kesembilan unsur
dalam agenda tersebut terdiri dari:
1. Look-Alike, Sound-Alike Medication Names
2. Patient Identification
3. Communication During Patient Hand-Overs
4. Performance of Correct Procedure at Correct Body Site
5. Control of Concentrated Electrolyte Solutions
6. Assuring Medication Accuracy at Transitions in Care
7. Avoiding Catheter and Tubing Mis-Connections
8. Single Use of Injection Devices
9. Improved Hand Hygiene to Prevent Health Care-Associated Infection

49
US Department of Health and Human Services. US and UK sign agreements to collaborate on health
care quality. 10 October 2001.
50
World Health Organization. World Health Organization Executive Board Resolution EB109.R16, 18
January 2002.
51
Donaldson L. Championing patient safety: going global – a resolution by the World Health Assembly.
Qual Saf Health Care 2002; 11:112.
52
WHO Collaborating for Patient Safety, Joint Commission and Joint Commission International.
Patient Safety Solutions – Preamble May 2007

20
Pada tanggal 25 Juni 2008 lalu WHO World Alliance for Patient Safety
telah meluncurkan program Safe Surgery Save Lives53 dengan berbagai
format berupa check lists (Gambar 11).

Gambar 11. WHO World Alliance for Patient Safety- Safe Surgery Save
Lives

Komite Medik RS Fatmawati telah merancang strategi pendekatan untuk


mengimplementasikan Sistem Penataan Klinis (Clinical Governance)54,
55,56,57,58 – di Rumah Sakit Fatmawati dikenal sebagai Sistem Komite

Medik dan Sistem SMF 59 - telah berjalan sejak tahun 2003,


mengkombinasikannya dengan Sistem Pembiayaan Casemix60 melalui
pendekatan mutu profesi 61,62,63,64 yakni dengan memadukan sistem
53 th
WHO World Alliance for Patient Safety- Safe Surgery Save Lives , 25 June 2008.
54
Firmanda D. Clinical Governance: Konsep, konstruksi dan implementasi manajemen medik. Disampaikan pada
seminar dan business meeting “Manajemen Medis: dari Kedokteran Berbasis Bukti (Evidence- based
Medicine/EBM) menuju Clinical Governance” dalam rangka HUT RSUP Fatmawati ke 40 di Gedung Bidakara
Jakarta 30 Mei 2000.
55
Firmanda D. Professional continuous quality improvement in health care: standard of procedures, clinical
guidelines, pathways of care and evidence -based medicine. What are they? J Manajemen & Administrasi Rumah
Sakit Indonesia 1999; 1(3): 139-144.
56
Firmanda D. Dari penelitian ke praktik kedokteran. Dalam Sastroasmoro S dan Ismael S. Dasar dasar
metodologi penelitian klinis. Edisi ke-2. Jakarta: Sagung Seto, 2002.
57
Firmanda D. Clinical governance dan aplikasinya di rumah sakit. Disampaikan pada Pendalam-an materi rapat kerja
RS Pertamina Jaya, Jakarta 29 Oktober 2001.
58
Firmanda D. Professional CQI: from Evidence-based Medicine (EBM) towards Clinical Governance. Presented at
rd
World IPA, Beijing 23 July 2001.
59
Komite Medik RS Fatmawati. Sistem Komite dan Sistem SMF di RS Fatmawati Jakarta 2003.
60
Firmanda D. Pedoman Penyusunan Clinical Pathways dalam rangka implementasi Sistem DRGs Casemix di rumah
sakit. Disampaikan dalam Sidang Pleno Komite Medik RS Fatmawati, Jakarta 7 Oktober 2005.
61
Firmanda D. Key to success of quality care programs: empowering medical professional. Global Health Journal
2000; 1(1) http://www.interloq.com/a26.htm
62
Firmanda D. The pursuit of excellence in quality care: a review of its meaning, elements, and implementation.
Global Health Journal 2000;1(2) http://www.interloq.com/a39vlis2.htm

21
pelayanan berkesinambungan (continuing of care) – dikenal sebagai
dalam bentuk Alur Penerimaan Pasien65,66 dan Kebijakan Pelayanan
secara by names67,68 yang telah ada dengan Standar Pelayanan Medis
dari seluruh 20 SMF 69 melalui Clinical Pathways.6-70 (Lihat Gambar 12
dan 13) untuk mengantisipasi berbagai kegiatan program WHO dalam
patient safety di atas (Nine Patient Safety Solutions – Preamble May 2007
dan Safe Surgery Save Lives 2008).

Sedangkan deviasi dari isi komponen Clinical Pathways dicatat sebagai


dalam kolom varians dan ditindak lanjuti sebagai variance tracking
dengan menggunakan mekanisme audit medis tingkat pertama atau
kedua (1st and 2nd Party Medical Audit) sesuai dengan Pedoman Audit
Medis Komite Medik RS Fatmawati 71,72,73,74 dan Panduan Manajemen
Risiko Klinis dan Keamanan/ Keselamatan Pasien (Clinical Risks
Management and Patient Safety) Komite Medik RS Fatmawati75 dengan
cara Root Cause Analysis (RCA), Failure Mode of Effective Analysis
(FMEA) atau Probability Risks Assessment (PRA) serta Panduan Health
Impact Intervention Komite Medik RS Fatmawati.76

63
Firmanda D. Total quality management in health care (Part One). Indones J Cardiol Pediatr 1999; 1(1):43-9.
64
Firmanda D. Editorial: Profesionalisme. Medicinal 2000; 1(1):6.
65
Rumah Sakit Fatmawati. Kebijakan tentang Penerimaan Pasien Rawat Inap (Admission) Nomor Dokumen
HK.00.07.1.256 tanggal 15 September 2003 dengan Nomor Revisi HK.00.07.1.201 tanggal 10 Mei 2005.
66
Rumah Sakit Fatmawati. Prosedur tentang Penerimaan Pasien Rawat Inap (Admission) Nomor Dokumen
HK.00.07.1.257 tanggal 15 September 2003 dengan Nomor Revisi HK.00.07.1.202 tanggal 10 Mei 2005.
67
Rumah Sakit Fatmawati. Kebijakan tentang Program Pilih Dokter. Nomor Dokumen HK.00.07.1.49 tanggal
28 Februari 2003.
68
Rumah Sakit Fatmawati. Prosedur tentang Program Pilih Dokter. Nomor Dokumen HK.00.07.1.49 tanggal
28 Februari 2003.
69
Komite Medik RS Fatmawati. Standar Pelayanan Medis 20 SMF di RS Fatmawati Jakarta 2003.
70
Disampaikan pada First Indonesian-Malaysian Casemix Conference 2006. Diselenggarakan oleh Direktorat
Jenderal Bina Pelayanan Medik Depkes RI di Goodway Hotel Batam, 21-23 November 2006.
71
Firmanda D. Pedoman Audit Medis Komite Medik RS Fatmawati. Jakarta 1999.
72
Firmanda D. Pelaksanaan Audit Medik. Disampaikan dalam Semiloka Pelaksanaan Audit Medik di RSUD
Dr. Soetomo, Surabaya pada tanggal 11 Desember 2003.
73
Firmanda D. Pengalaman Komite Medis RS Fatmawati dalam melaksanakan Audit Medis. Disampaikan dalam Temu
Karya I: Implementasi Good Clinical Governance di bidang Pelayanan Medis, Jakarta 27 September 2004.
74
Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 496/Menkes/SK/IV/2005 tentang Pedoman Audit Medis di Rumah Sakit.
75
Firmanda D. Panduan Manajemen Risiko Klinis dan Keamanan/Keselamatan Pasien (Clinical Risks Management and
Patient Safety ) Komite Medik RS Fatmawati, Jakarta 2005.
76
Firmanda D. Panduan Health Impact Intervention Komite Medik RS Fatmawati, Jakarta 2006.

22
Gambar 12. Strategi Komite Medik RSUP Fatmawati dalam rangka
antipasi program WHO dalam patient safety

23
Gambar 13. Antisipasi Komite Medik RSUP Fatmawati dalam rangka
program WHO World Alliance for Patient Safety- Safe Surgery Save Lives
2008 untuk Instalasi Bedah Sentral.

Oleh karena itu diperlukan satu instrumen yang dapat merangkum


seluruh kegiatan yang diberikan kepada pasien selama dirawat di rumah
sakit melalui suatu sistem layanan yang jelas dan terukur serta dapat
memberikan kepastian jaminan mutu dan biaya serta hasil yang dapat

24
dipertanggung jawabkan secara profesi maupun administrasi keuangan.
Hasil dalam instrumen tersebut dapat dipergunakan sebagai dasar
perencanaan rumah sakit berikutnya.

HTA dalam Clinical Pathways

Defiinisi

Clinical Pathways (CP) adalah suatu konsep perencanaan pelayanan


terpadu yang merangkum setiap langkah yang diberikan kepada pasien
berdasarkan standar pelayanan medis dan asuhan keperawatan yang
berbasis bukti dengan hasil yang terukur dan dalam jangka waktu
tertentu selama di rumah sakit.77,78,79

Prinsip prinsip dalam menyusun Clinical Pathways

Dalam membuat Clinical Pathways penanganan kasus pasien rawat inap


di rumah sakit harus bersifat:

a. Seluruh kegiatan pelayanan yang diberikan harus secara


terpadu/integrasi dan berorientasi fokus terhadap pasien (Patient
Focused Care) serta berkesinambungan (continuous of care)
b. Melibatkan seluruh profesi (dokter, perawat/bidan, penata,
laboratoris dan farmasis)
c. Dalam batasan waktu yang telah ditentukan sesuai dengan
keadaan perjalanan penyakit pasien dan dicatat dalam bentuk
periode harian (untuk kasus rawat inap) atau jam (untuk kasus
gawat darurat di unit emergensi).
d. Pencatatan CP seluruh kegiatan pelayanan yang diberikan kepada
pasien secara terpadu dan berkesinambungan tersebut dalam
bentuk dokumen yang merupakan bagian dari Rekam Medis.
e. Setiap penyimpangan langkah dalam penerapan CP dicatat
sebagai varians dan dilakukan kajian analisis dalam bentuk audit.
f. Varians tersebut dapat karena kondisi perjalanan penyakit,
penyakit penyerta atau komplikasi maupun kesalahan medis
(medical errors).

77
Firmanda D. Pedoman Penyusunan Clinical Pathways dalam rangka implementasi Sistem DRGs Casemix di rumah
sakit. Disampaikan dalam Sidang Pleno Komite Medik RS Fatmawati, Jakarta 7 Oktober 2005.
78
Firmanda D. Clinical Pathways: Peran profesi medis dalam rangka menyusun Sistem DRGs Casemix di rumah sakit.
Disampakan pada kunjungan lapangan ke RSUP Adam Malik Medan 22 Desember 2005, RSUP Hasan Sadikin
Bandung 23 Desember 2005 dan Evaluasi Penyusunan Clinical Pathways dalam rangka penyempurnaan Pedoman
DRGs Casemix Depkes RI, Hotel Grand Cempaka Jakarta 29 Desember 2005.
79
Firmanda D, Pratiwi Andayani, Nuraini Irma Susanti, Srie Enggar KD dkk. Clinical Pathways Kesehatan Anak dalam
rangka implementasi Sistem DRGs Casemix di RS Fatmawati, Jakarta 2006.

25
g. Varians tersebut dipergunakan sebagai salah satu parameter
dalam rangka mempertahankan dan meningkatkan mutu
pelayanan.

Clinical Pathways tersebut dapat merupakan suatu Standar Prosedur


Operasional yang merangkum:
a. Profesi medis: Standar Pelayanan Medis yang berasal dari hasil
penilaian clinical effectiveness dalam evidence based dan HTA dari
setiap Kelompok Staf Medis/Staf Medis Fungsional (SMF) klinis
dan penunjang.
b. Profesi keperawatan: Asuhan Keperawatan
c. Profesi farmasi: Unit Dose Daily dan Stop Ordering
d. Alur Pelayanan Pasien Rawat Inap dan Operasi dari Sistem
Kelompok Staf Medis/Staf Medis Fungsional (SMF), Instalasi dan
Sistem Manajemen Rumah Sakit.

Langkah langkah penyusunan Clinical Pathways

Langkah langkah dalam menyusun Format Clinical Pathways yang


harus diperhatikan:
1. Komponen yang harus dicakup sebagaimana definisi dari Clinical
Pathways
2. Manfaatkan data yang telah ada di lapangan rumah sakit dan
kondisi setempat 80 seperti data Laporan RL2 (Data Keadaan
Morbiditas Pasien) yang dibuat setiap rumah sakit berdasarkan
Buku Petunjuk Pengisian, Pengolahan dan Penyajian Data Rumah
Sakit 81 dan sensus harian untuk:
a. Penetapan judul/topik Clinical Pathways yang akan dibuat.
b. Penetapan lama hari rawat.
3. Untuk variabel tindakan dan obat obatan mengacu kepada
Standar Pelayanan Medis, Standar Prosedur Operasional dan
Daftar Standar Formularium yang telah ada di rumah sakit
setempat. Bila perlu standar standar tersebut dapat dilakukan
revisi sesuai hasil analisis clinical effectiveness dari HTA terakhir
dan kesepakatan setempat.
4. Pergunakan Buku ICD 10 untuk hal kodefikasi diagnosis dan ICD
9 CM untuk hal tindakan prosedur sesuai dengan profesi/SMF
masing masing.80-81

80
Firmanda D. Kodefikasi ICD 10 dan ICD 9 CM: indikator mutu rekam medik dalam rangka meningkatkan mutu
pelayanan rumah sakit. Disampaikan pada Sosialisasi Pola Sistem Informasi Manajemen Rumah Sakit.
Diselenggarakan oleh Direktorat Jenderal Bina Pelayanan Medik Depkes RI di Hotel Panghegar Bandung 1-3 Juni
2006.
81
Departemen Kesehatan RI. Buku Petunjuk Pengisian, Pengolahan dan Penyajian Data Rumah Sakit. Direktorat
Jenderal Bina Pelayanan Medik Depkes RI, Jakarta 2005.

26
Persiapan dalam penyusunan Clinical Pathways

Agar dalam menyusun Clinical Pathways terarah dan mencapai sasaran


serta efisien waktu, maka diperlukan kerjasama dan koordinasi antar
profesi di SMF, Instalasi Rawat Inap (mulai dari gawat darurat, ruangan
rawat inap, ruangan tindakan, instalasi bedah, ICU/PICU/NICU) dan
sarana penunjang (instalasi gizi, farmasi, rekam medik, akuntasi
keuangan, radiologi dan sebagainya). Lihat Gambar 14 sampai dengan
Gambar 19.

1. Profesi Medis – mempersiapkan Standar Pelayanan Medis


(SPM/SPO) sesuai dengan bidang keahliannya. Profesi Medis dari
setiap divisi berdasarkan data dari rekam medis diatas -
mempersiapkan SPM/SPO, bila belum ada dapat menyusun dulu
SPM/SPOnya sesuai kesepakatan dan analisis clinical effectiveness
HTA.
2. Profesi Rekam Medis/Koder – mempersiapkan buku ICD 10 dan
ICD 9 CM, Laporan RL1 sampai dengan 6 (terutama RL2). Profesi
Rekam Medis membuat daftar 5 - 10 penyakit utama dan tersering
dari setiap divisi SMF/Instalasi dengan kode ICD 10 serta rerata
lama hari rawat berdasarkan data laporan morbiditas RL2.
3. Profesi Perawat – mempersiapkan Asuhan Keperawatan.
4. Profesi Farmasi – mempersiapkan Daftar Formularium, sistem unit
dose dan stop ordering.
5. Profesi Akuntasi/Keuangan – mempersiapkan Daftar Tarif rumah
sakit

27
Gmbar 14. Keterkaitan dan keterpaduan antar profesi dalam menyusun
Clinical Pathways.

28
Gambar 15. Peran profesi medis dalam menyusun Clinical Pathways
dengan memanfaatkan SPM/SPO hasil analisis HTA.

29
Gambar 16. Peran profesi rekam medis dalam menyusun Clinical
Pathways.

30
Gambar 17. Peran profesi keperawatan dalam menyusun Clinical
Pathways dengan memanfaatkan Asuhan Keperawatan.

31
Gambar 18. Peran profesi apoteker dalam menyusun Clinical
Pathways.dengan memanfaatkan hasil analiasis clinical effectiveness dan
economic analysis HTA.

32
Gambar 19. Peran profesi akutansi dalam menyusun Clinical Pathways.

33
Format Umum Clinical Pathways
Langkah selanjutnya adalah mengkaji dan mendesain Format Umum
Clinical Pathways sebagai ‘template’ untuk setiap profesi untuk
membuat clinical pathways masing masing sesuai dengan bidang
keahliannya dan melibatkan multidisiplin profesi medis, keperawatan
dan farmasis/apoteker sebagai contoh dapat dilihat pada Gambar 20
berikut.

Gambar 20. Contoh Format Umum Clinical Pathways salah satu rumah
sakit82

82
Firmanda D. Penyusunan Clinical Pathways. Disamapaikan pada Pelatihan dan Penyusunan Clinical Pathways di RSUP
Wahidin Sudirohusodo dan FK Universitas Hasanudin 7-8 Agustus 2008 di Makassar.

34
Hubungan Clinical Pathways dalam Sistem Casemix (INA-
DRG)

35
Tabel 2. Klasifikasi 23 Major Diagnostic Categories dalam INA-DRG

36
Gambar 21. Contoh Koding MDC dan kaitan dengan severity dan biaya.

37
Pada saat ini, sedang dilakukan uji coba suatu instrumen yang akan
digunakan untuk menilai kinerja mutu (performamce) rumah sakit oleh
WHO regional Eropa yang dinamakan Performance Assessment Tools for
Hospital (PATH).83,84,85,86

Instrumen PATH tersebut kemungkinan akan diterapkan oleh seluruh


rumah sakit di dunia sebagaimana halnya program WHO World Alliance
for Patient Safey – Move Program 52- 53 sebagai world class hospitals’
benchmarking.

Alangkah tepatnya bila kita bersiap untuk mengantisipasi hal tersebut


dengan situasi dan kondisi rumah sakit kita sekarang ke arah program
PATH tersebut dengan merangkum sistem yang telah ada dan berjalan
saat ini.

Komponen dari dimensi PATH tersebut terdiri dari 6 dimensi dengan 4


domain (clinical effectiveness, efficiency, staff orientation and responsive
governance) yang merangkum 2 perspektif transversal (safety, patient
centeredness)87,88,89 sebagaimana dalam Gambar 2 dan 3 di atas.

Sedangkan Clinical Pathways dapat dipergunakan sebagai alat untuk


implementasi PATH sebagaimana dapat dilihat hubungan antar
keduanya pada Gambar 22 berikut.

83
WHO Regional Office for Europe. Measuring hospital performance to improve the quality of care in Europe: a
need for clarifying the concepts and defining the dimensions. January 2003
84
WHO Regional Office for Europe. How can hospital performance can be measured and monitored. August 2003.
85
WHO Regional Office for Europe. PATH (Performance Assessment Tools for Quality Improvement in Hospitals).
2007.
86
WHO Regional Office for Europe. Assuring the quality of care in the European Union. 2008
87
WHO Regional Office for Europe. First Workshop on Pilot Implementation of the Performance Assessment Tool
for quality improvement in Hospitals. February 2004.
88
Oliver Groene O, Skau JKH, Frølich A. An international review of projects on hospital performance assessment.
International Journal for Quality in Health Care 2008 20(3):162-171
89
Groene O, Klazinga N, Kazandjian VB, Lombrail P, Bartels P. The World Health Organization Performance
Assessment Tool for Quality Improvement in Hospitals (PATH): An Analysis of the Pilot Implementation in 37
Hospitals. International Journal for Quality in Health Care 2008 20(3):155-161.

38
Gambar 22 Hubungan Clinical Pathways dengan Performance
Assessment Tools for Hospitals (PATH).76,90

Implementasi Model HTA dalam sistem layanan bersifat doing the right
things right (Gambar 2) melalui clinical governance dan pembiayaan DRG
casemix (Gambar 8) pada tingkat rumah sakit serta penilaian kinerjanya
PATH (Gambar 9 dan 10) dalam rangka menuju world class hospital
harus diikuti secara sinergis oleh seluruh departemen/bagian/SMF
sebagai satu kesatuan komponen yang tidak terpisahkan.
Untuk profesi medis yang bergabung dalam Departemen/Bagian/SMF
Kesehatan Anak – model implementasi HTA sebagaimana dalam Gambar
23 berikut, tinggal diperbanyak lagi topik/judul analisis clinical
effectiveness HTA dari berbagai penyakit yang sering dijumpai dan

90
Firmanda D. How to develop Safety and Patient Centredness for Clinical Effectiveness. Disampaikan pada
Hospital Management 3 yang diselenggarakan oleh Pusat Kajian Administrasi dan Kebijakan Kesehatan FKM UI di
Grand Angkasa Hotel International, Medan 11 Agustus 2008.

39
mempunyai dampak (impact) kepada masyarakat dan biaya. Opik/judul
tersebut sebaiknya tidak hanya bersifat tindakan kuratif, namun juga
promotif dan rehabilitatif dalam rangka meningkatkan kualitas hidup
(QALY).

Gambar 23. Model implementasi HTA untuk profesi kesehatan anak.

Sedangkan indikator PATH untuk Departemen/Bagian/SMF Kesehatan


Anak dan bahkan rumah sakit khusus ibu dan anak dapat dilihat pada
Gambar 24 sampai Gambar berikut dalam rangka menuju Pediatrics
World Class.

40
41
42
43
44
DAFTAR PUSTAKA

 Asch SM, Sloss EM, Hogan C, Brook RH, Kravitz RL. Measuring
underuse and necessary care among elderly Medicare beneficiaries
using inpatient and outpatient claims. JAMA. 2000, 284:2325-33.
 Banta D, Oortwijn W. Health technology assessment and health care
in the European Union. International Journal of Technology
Assessment in Health Care, 2000, 16(2):626-635.
 Banta D. The development of health technology assessment. Health
Policy, 2003, 63:121-132.
 Drummond M. The use of economic evidence by healthcare decision
makers. European Journal of Health Economics, 2001, 2:2-3.
 Drummond M. Making economic evaluations more accessible to health
care decision-makers. European Journal of Health Economics 2003;4:
246-247.
 Drummond M. Health technology assessment. Has the UK got it
right?, London School of Economics, 2006 (Merck Trust Lecture
2005/2006).
 Drummond M, Weatherly H. Implementing the findings of health
technology assessments: if the CAT got out of the bag, can the TAIL
wag the dog? International Journal of Technology Assessment in
Health Care, 2000, 16(1):1-12.
 Eisenberg JM. Ten lessons for evidence-based technology assessment.
JAMA, 1999, 17:1865-1869.
 Eisenberg JM, Zarin D. Health technology assessment in the United
States: past, present, and future. International Journal of Health
Technology Assessment in Health Care, 2002, 18:192-198.
 Goodman CS. Healthcare technology assessment: methods,
framework, and role in policy making. American Journal of Managed
Care, 1998, 4:SP200-214.
 McNeil BJ. Hidden barriers to improvement in the quality of care. New
England Journal of Medicine, 2001; 345: 1612-20.
 Velasco Garrido, M, Busse, R. Health Technology Assessment—An
Introduction on Objectives, Role of Evidence, and Structure in Europe.
Policy Brief. Brussels, European Observatory on Health Systems and
Policies, 2005.
 Zentner A, Valasco-Garrido M, Busse R. Methods for the comparative
evaluation of pharmaceuticals. GMS Health Technology Assessment,
2005, 1:Doc09.

Jakarta, 27 Agustus 2008


Dody Firmanda

45
LAMPIRAN

Ringkasan Laporan Penilaian Teknologi Kesehatan


A summary for HTA reports

Ringkasan tersebut sebagai alat bantu dalam menilai kelengkapan


berkas untuk proses penilaian – bukan sebagai alat menentukan tingkat
standar Laporan Penilaian Teknologi Kesehatan akan tetapi hanya
sebagai checklist.
Laporan tersebut masih dapat sahih dan bermanfaat, meskipun tidak
memenuhi seluruh 17 kriteria terlampir.

This summary form is intended as an aid for those who wish to make a
record of the extent to which a health technology assessment report meets
the 17 questions given in the checklist.
It is NOT intended as a scorecard to rate the standard of HTA reports —
reports may be valid and useful without meeting all the criteria that have
been listed.

46
Ringkasan Laporan Penilaian Teknologi Kesehatan
A summary for HTA reports

No Jenis Lengkap Tidak Tidak Ada


Lengkap
Data Awal
Preliminary

1 Ada nama, alamat dan nomor


telpon yang dapat dihubungi
untuk informasi lebih lanjut ?

Appropriate contact details for


further information?

2 Identitas lengkap penulis ?

Authors identified?

3 Ada pernyataan tidak ada


keterkaitan kepentingan pribadi?

Statement regarding conflict of


interest?

4 Ada pernyataan telah dilakukan


kajian eksternal terhadap
laporan tersebut ?

Statement on whether report


externally reviewed?

5 Ada daftar keterangan istilah


yang digunakan?

Short summary in non-technical


language?

47
No Jenis Lengkap Tidak Tidak Ada
Lengkap
Alasan ?
Why?
6 Ada bahan rujukan sebagai
dasar alasan untuk melakukan
penilaian?

Reference to the question that is


addressed and context of the
assessment?

7 Ada batasan jelas tuang lingkup


penilaian?

Scope of the assessment


specified?

8 Ada penjelasan tentang defnisi


teknologi kesehatan?

Description of the health


technology?

Cara?
How?

9 Ada keterangan sumber


informasi yang diperoleh?

Details on sources of information?

10 Ada penjelasan tentang cara


seleksi bahan rujukan untuk
penilaian?

Information on selection of
material for assessment ?
11 Ada penjelasan tentang
interpretasi data terpilih?

Information on basis for


interpretation of selected data?

48
No Jenis Lengkap Tidak Tidak Ada
Lengkap
Apa hasilnya?
What are the results?

12 Apakah hasil penilaian tersebut


disajikan dengan jelas?

Results of assessment clearly


presented?

13 Apakah ada interpretasi hasil


penilaian tersebut?

Interpretation of the assessment


results included?

Tindak Lanjut?
What then?

14 Apakah ada diskusi/


pembahasan hasil penilaian
tersebut?

Findings of the assessment


discussed?

15 Apakah ada pertimbangan aspek


mediko-legal ?

Medico-legal implications
considered?

16 Apakah kesimpulan penilaian


disajikan dengan jelas?

Conclusions from assessment


clearly stated?
17 Apakah ada saran untuk tidak
lanjut?

Suggestions for further action?

49
Penjelasan
Explainations

Tujuan

Objective
………………………………………………………………………………………
………………………………………………………………………………………
………………………………………………………………………………………
………………………………………………………………………………………
………………………………………………………………………………………
………………………………………………………………………………………
………………………………………………………………………………………
………………………………………………………………………………………
………………………………………………………………………………………
………………………………………………………………………………………
………………………………………………………………………………………
………………………………………………………………………………………
………………………………………………………………………………………

Ditujukan kepada

Intended audience
………………………………………………………………………………………
………………………………………………………………………………………
………………………………………………………………………………………
………………………………………………………………………………………
………………………………………………………………………………………
………………………………………………………………………………………
………………………………………………………………………………………
………………………………………………………………………………………
………………………………………………………………………………………
………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………….
Isi Checklist
………………………………………………………………………………………
………………………………………………………………………………………
………………………………………………………………………………………
………………………………………………………………………………………
………………………………………………………………………………………

50

You might also like