You are on page 1of 23

Makalah

CENTRAL SEROUS CHORIORETINOPATHY

Disusun oleh : ESTER A. J. PANGGABEAN 070100110

Supervisor dr. MARINA YUSNITA ALBAR Sp.M

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2012

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan karya tulis ini. Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada dr.Marina Yusnita Albar, Sp.M selaku pembimbing dan dr. Musda selaku PPDS pembimbing sehingga karya tulis ini dapat diselesaikan dengan baik. Karya tulis ini berjudul Central Serous Chorioretinopathy. Karya tulis ini disusun sebagai salah satu tugas dalam mengikuti Kepaniteraan Klinik Senior (KKS) di Departemen Ilmu Penyakit Mata Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara. Penulis menyadari bahwa dalam penulisan karya tulis ini masih terdapat banyak kekurangan. Oleh karena itu, kritik dan saran yang bersifat membangun sangat penulis harapkan demi kesempurnaan karya tulis ini. Akhir kata, besar harapan penulis semoga karya tulis ini bermanfaat bagi siapa saja yang membacanya.

Medan, Juni 2012

Penulis

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ........................................................................................................................ i DAFTAR ISI...................................................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN .................................................................................................................. 1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA....................................................................................................... 3

2. 1. Definisi ............................................................................................................................. 3 2.2. Anatomi dan Fisiologi Retina ....................................................................................... 4 2.3. Epidemiologi .......................................................................................................... 9 2.4. Etiologi ............................................................................................................................. 9 2.5. Patofisiologi .................................................................................................................... 9 2.6. Gejala Klinis.................................................................................................................. 11 2.7. Diagnosis ....................................................................................................................... 11 2.8. Diagnosis Banding ....................................................................................................... 13 2.9. Penatalaksanaan ............................................................................................................ 13 2.10. Komplikasi .................................................................................................................... 15 2.11. Prognosis ....................................................................................................................... 15

BAB III KESIMPULAN ................................................................................................................. 16

DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................................................... 17

ii

BAB I PENDAHULUAN

Central Serous Chorioretinopathy (CSCR) dapat didefinisikan sebagai suatu keadaan lepasnya retina dari lapis pigmen epitel di daerah makula akibat masuknya cairan melalui membrane Bruch dan pigmen epitel yang inkompeten (pelepasan bagian neurosensori dari retina terjadi sebagai akibat dari kebocoran cairan koriokapilaris setempat melalui suatu defek di epitel pigmen retina. )1,2

Biasanya, CSCR dialami pria berusia 20 sampai 50 tahun. Penyebab CSCR tidak diketahui. Riwayat sakit kepala migrain, penggunaan agen vasokonstriksi, hiperkortisol endogen, merokok, dan penggunaan kortikosteroid sistemik (oral, intranasal, dan inhalasi), agen psikofarmakologi alkohol, antibiotik (oral), dan antihistamin (oral) dapat dipikirkan sebagai faktor resiko CSCR. 2,12,13

Beberapa hipotesis yang dikemukakan untuk patofisiologi penyakit ini antara lain adalah transport ion yang abnormal di seluruh epitel pigmen retina (RPE/ retinal pigment epithelium) dan vaskulopati koroidal fokal.
2,4,13,15

Gejala

klinis dari CSCR, metamorfosia sepihak, penglihatan kabur unilateral, mikropsia, gangguan adaptasi gelap, desaturasi warna, penurunan kemampuan adaptasi terang, dan skotoma relatif.
2,13,15

Diagnosis dapat ditegakkan dari anamnesa

pemeriksaan fisik menggunakan oftalmoskop, dan pemeriksaan penunjang dengan menggunakan slitlamp, angiografi fluoresens, Optical Coherence Tomography (OCT), Multifocalelectroretinography (mfERG), dan ngiografi ICR
2,12,15,17,18

Diagnosis banding untuk CSCR antara lain adalah neovaskularisasi koroidal subretinal, vaskulopati koroidal polipoidal, membran neovaskular koroidal, age related macular degeneration,macular edema, dan macular hole.2,13 Pengobatan terkini dari CSCR adalah dengan aspirin dosis rendah21, injeksi bevacizumab intravitreal,
22,23

fotokoagulasi laser, terapi fotodinamik

13,25,

dan transpupillary thermotherapy (TTT).26

Komplikasi yang dapat timbul antara lain berupa neovaskularisasi subretina dan edema makula sistoid kronik.12,13 Prognosis penyakit ini baik; Sekitar 80% mata dengan CSCR mengalami resorpsi spontan cairan subretina dan pemulihan ketajaman penglihatan normal dalam 6 bulan setelah awitan gejala.Namun, walaupun ketajaman penglihatan normal, banyak pasien mengalami defek penglihatan permanen, misalnya penurunan ketajaman kepekaan terhadap warna, mikropsia, atau skotoma relatif; 20-30% akan mengalami kekambuhan penyakit baik sekali maupun lebih dari sekali. 12,13

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi Central Serous Chorioretinopathy (CSCR) dapat didefinisikan sebagai suatu keadaan lepasnya retina dari lapis pigmen epitel di daerah makula akibat masuknya cairan melalui membrane Bruch dan pigmen epitel yang inkompeten (pelepasan bagian neurosensori dari retina terjadi sebagai akibat dari kebocoran cairan koriokapilaris setempat melalui suatu defek di epitel pigmen retina. )1,2

Gambar 2.1

CSCR jika dilihat menggunakan fundus perimetry3

CSCR pertama kali dideskripsikan oleh von Graefe pada tahun 1866, yang memberi nama pada penyakit ini :relapsing central luetic retinitis. Pada tahun 1965 dan 1967, terminology CSCR dan Idiopathic Central Serous Choriodopathy (ICSC) diperkenalkan untuk pertama kalinya untuk menjelaskan penyakit yang sama.3

2.2. Anatomi dan Fisiologi Retina Retina atau selaput jala, merupakan bagian mata yang mengandung reseptor yang menerima rangsangan cahaya.1Retina terdiri atas sepuluh lapisan dan berisi sel batang dan kerucut, yang merupakan reseptor visual, ditambah empat jenis neuron: sel bipolar, sel ganglion, sel horizontal, dan sel amakrin.1

Gambar 2.2

Lapisan-lapisan retina4

Sel batang dan kerucut, yang diberi nama sesuai bentuknya, adalah neuron yang terpolarisasi;pada satu kutub terdapat satu dendrit fotosensitif, dan pada kutub yang lain terdapat sinaps dengan sel lapisan bipolar. Sel batang adalah sel tipis yang memanjang (50x3 m) dan terdiri atas 2 bagian. Cakram gepeng di sel batang mengandung pigmen yang disebut rhodopsin, yang memutih oleh cahaya dan menginisiasi rangsangan visual. Diperkirakan bahwa retina manusia memiliki sekitar 120 juta sel batang. Sel-sel ini sangat sensitif terhadap cahaya dan

dipandang sebagai reseptor yang terpakai bila intensitas cahaya rendah, seperti pada waktu senja atau pada malam hari.5,6,7

Sel kerucut juga merupakan neuron berukuran panjang (60x1,5 m). setiap retina manusia memiliki sekitar 6 juta sel kerucut. Strukturnya serupa dengan struktur sel batang, tetapi berbeda dalam hal bentuk dan struktur segmen 4

luarnya. Sekurang-kurangnya terdapat 3 jenis kerucut fungsional, yang tak dapat dibedakan dari morfologinya. Setiap jenis mengandung fotopigmen kerucut yang disebut iodopsin, dan sensitivitas maksimumnya terdapat di daerah merah, hijau, atau biru dari spektrum cahaya yang terlihat. Sel kerucut, yang hanya peka terhadap cahaya dengan intensitas yang lebih tinggi daripada intesitas yang diperlukan untuk menstimulasi sel batang, diyakini menimbulkan ketajaman penglihatan yang lebih baik daripada sel batang. 5,6,7

Lapisan pigmen retina terdiri dari melanin, yang mencegah pemantulan cahaya pada keseluruhan bola mata; pigmen ini sangat penting untuk ketajaman penglihatan. Lapisan ini memiliki fungsi yang sama dengan bagian yang

berwarna hitam di bawah sebuah kamera. Karena lapisan reseptor retina terletak pada epitel pigmen tepat di sebelah koroid, sinar cahaya harus melewati sel ganglion dan lapisan sel bipolar untuk mencapai batang dan kerucut. Epitel pigmen menyerap sinar cahaya, mencegah pantulan sinar kembali melalui retina. Refleksi seperti itu akan menghasilkan kekaburan dari gambar visual. Unsurunsur saraf retina terikat bersama oleh sel glial disebut sel Muller. Saraf optik meninggalkan mata dan pembuluh darah retina masuk ke mata pada titik 3 mm medial dan sedikit di atas kutub posterior bola mata. Wilayah ini dapat dilihat dengan optalmoskop sebagai diskus optikus. Tidak ada reseptor visual yang melapisi diskus, dan akibatnya tempat ini buta (blind spot). Bagian neural retina kadangkala lepas dari epitel pigmen. Dalam beberapa kasus, penyebab pelepasan tersebut adalah cedera pada bola mata yang memungkinkan cairan atau darah berkumpul antara neural retina dan epitel pigmen. 5,6,7

Di dekat kutub posterior mata, ada suatu titik

berpigmen kekuningan,

disebut makula lutea. Ini menandai lokasi fovea sentralis, suatu lekukan dangkal pada retina yang mana tidak terdapat sel batang pada tempat itu. Di dalamnya terdapat banyak sel kerucut, dan setiap sel bersinaps sebuah sel bipolar yang pada gilirannya bersinaps pada sebuah sel ganglion, dan membuat jalur langsung ke otak. Di daerah ini tidak ada pembuluh darah yang melintasi sel fotosensitif.

Akibatnya, fovea adalah titik di mana ketajaman visual terbesar. Ketika perhatian tertarik atau terfiksasi pada suatu objek, kedua bola mata biasanya berpindah sehingga sinar yang memantul dari objek tepat jatuh pada fovea. 5,6,7

Pembuluh darah yang memperdarahi lapisan internal retina berasal dari arteri retinal sentralis, yang memasuki bola mata melalui pusat nervus optikus dan kemudian terbagi untuk memperdarahi keseluruhan permukaan retina bagian dalam. Dengan demikian, lapisan dalam retina memiliki pembuluh darah sendiri yang terpisah dari struktur mata yang lain. Pembuluh retina memberi makan ke sel bipolar dan sel ganglion, tetapi sebagian besar reseptor dipelihara oleh pleksus kapiler di koroid. Inilah sebabnya mengapa ablasi retina sangat merusak sel-sel reseptor. Namun, lapisan terluar retina melekat pada koroid, yang juga adalah jaringan kaya pembuluh darah yang terdapat antara retina dan sklera. 5,6,7

Perubahan potensial yang memulai potensial aksi di retina dihasilkan oleh adanya cahaya pada senyawa fotosensitif dalam sel batang dan kerucut. Ketika cahaya diserap oleh zat ini, perubahan struktur, dan perubahan ini memicu urutan kejadian yang memulai aktivitas saraf.8,9,10,11 Saluran Na+ di segmen luar dari sel batang dan kerucut terbuka dalam gelap, sehingga Na+ mengalir dari segmen dalam ke segmen luar. Na+ juga mengalir ke akhir sinaptik dari fotoreseptor. Na+-K+ATPase pada segmen dalam

mempertahankan keseimbangan ion. Pelepasan neurotransmiter sinaptik stabil dalam gelap. Ketika cahaya menyerang segmen luar, reaksi yang diinisiasi menutup beberapa saluran Na2, dan hasilnya adalah potensial reseptor yang terhiperpolarisasi. Hiperpolarisasi ini mengurangi pelepasan neurotransmiter sinaptik, dan ini menghasilkan sinyal yang pada akhirnya menyebabkan potensial aksi pada sel ganglion. Potensial aksi ditransmisikan ke otak. 8,9,10,11

Dalam gelap, retinen1 di rhodopsin ada dalam konfigurasi 11-cis. Tugas dari cahaya adalah hanya untuk mengubah bentuk retinen, mengubahnya menjadi

semua isomer all-trans. Hal ini pada gilirannya mengubah konfigurasi opsin, dan perubahan opsin mengaktifkan protein G heterotrimerik terkait, yang dalam hal ini disebut transdusin atau Gt1. Protein G mengubah GDP menjadi GTP, dan subunit terpisah. Subunit ini tetap aktif hingga aktivitas GTPase menghidrolisis GTP. Pemutusan aktivitas transdusin juga dipercepat oleh ikatannya dari -arrestin. Subunit mengaktifkan cGMP fosfodiesterase, yang mengubah cGMP menjadi 5'-GMP. cGMP biasanya bekerja langsung pada saluran Na+ untuk

mempertahankannya dalam posisi terbuka, sehingga penurunan konsentrasi cGMP sitoplasma menyebabkan beberapa saluran Na+ menutup. Ini menghasilkan hiperpolarisasi potensial. 8,9,10,11

Gambar 2.3

Rhodopsin Cycle7

Setelah retinen1 dikonversi ke konfigurasi all-trans, retinen1 terpisah dari opsin (bleaching). Beberapa rhodopsin dibuat ulang secara langsung, sementara beberapa retinen1 berkurang oleh enzim alkohol dehidrogenase dengan adanya NADH menjadi vitamin A1, dan ini pada gilirannya bereaksi dengan scotopsin

untuk membentuk rhodopsin. Semua reaksi ini kecuali pembentukan isomer alltrans dari retinen1 independen terhadap intensitas cahaya, berjalan sama baiknya dalam cahaya atau gelap. Jumlah rhodopsin dalam reseptor karena itu berbanding terbalik dengan tingkat cahaya yang ada. 8,9,10,11

Gambar 2.4

Hiperpolarisasi Sel Batang7


+

Cahaya mengurangi konsentrasi Ca2+ seperti juga jumlah Na

dalam

fotoreseptor. Penurunan konsentrasi Ca2+ mengaktifkan guanilil siklase, yang menghasilkan lebih banyak cGMP. Hal ini juga menghambat fosfodiesterase yang teraktivasi cahaya. Kedua aksi pemulihan ini memulihkan saluran Na + ke posisi terbuka. 8,9,10,11

2.3. Epidemiologi Biasanya, CSCR dialami pria berusia 20 sampai 50 tahun. Tidak ada kasus dilaporkan terjadi pada orang yang lebih muda dari 20 tahun. Pada pasien yang lebih tua dari 50 tahun, CSCR dapat terjadi, tetapi bisa menjadi sulit dibedakan dengan usia degenerasi terkait makula.1,2 Meningkatnya frekuensi dialami oleh individu yang terlibat dalam pekerjaan yang menuntut kemampuan visual yang menampilkan ciri kepribadian tipe A atau yang sedang mengalami ketegangan fisik atau stres emosional.2,12,13,14

2.4. Etiologi Penyebab CSCR tidak diketahui; tidak terdapat bukti yang meyakinkan bahwa penyakit bersifat infeksiosa atau disebabkan oleh distrofi epitel pigmen retina.1 Pemahaman akan akumulasi patogenik dari cairan retina subneural di daerah makula masih sangat terbatas. Sudah diketahui bahwa cairan retina subneural berasal dari koroid. Kebocoran pewarna melalui defek fokal abnormal pada level RPE dan akumulasi dalam ruang retina subneural terlihat jelas pada angiografi floresens. 2,13,15

Riwayat sakit kepala migrain dapat dipikirkan sebagai faktor resiko CSCR. Selain itu, CSCR juga telah dikaitkan dengan agen vasokonstriksi,

hiperkortisol endogen, merokok, dan penggunaan kortikosteroid sistemik (oral, intranasal, dan inhalasi), agen psikofarmakologi alkohol, antibiotik (oral), dan antihistamin (oral).2,12,13 Sebuah penelitian menunjukkan terjadi CSCR setelah dilakukan Keratektomi Fotorefraktif dan LASIK, tapi angka kejadian sangat rendah sehingga dianggap tidak ada hubungannya dengan CSCR itu sendiri. 16

2.5. Patofisiologi Beberapa hipotesis yang dikemukakan untuk patofisiologi penyakit ini antara lain adalah transport ion yang abnormal di seluruh epitel pigmen retina (RPE/ retinal pigment epithelium) dan vaskulopati koroidal fokal. Penemuan 9

angiografi Indocyanine Green (ICG) telah menyoroti pentingnya sirkulasi koroid dalam patogenesis CSCR. Angiografi ICG telah menunjukkan hipermeabilitas multifokal dari koroid dan area-area hipofloresen yang diduga terjadi vaskulopati koroid fokal yang lebih besar. Beberapa studi yang menggunakan
2,4,13,15

elektroretinografi multifokal menunjukkan disfungsi retina bilateral difus bahkan ketika CSCR aktif hanya pada satu mata.

Semakin banyak bukti bahwa penyebab CSCR adalah sirkulasi koroidal yang abnormal. Dengan menggunakan angiografi ICG, terlihat bahwa terjadi penundaan pengisian kapiler lobular koroidal pada area hipermeabel. Kapiler dan venula yang berdilatasi pada satu atau lebih lobulus, mengikuti penundaan terlokalisir dari pengisian arteri, dapat menjelaskan hipermeabilitas koroidal pada daerah kerusakan RPE.Diduga bahwa kemacetan kapiler dan vena lokal pada lobulus yang terkena akan mengganggu sirkulasi, memproduksi iskemia, dan terjadi peningkatan eksudasi koroidal dan koroid yang hiperpermeabel secara fokal. Hal ini memungkinkan cairan koroidal yang berlebih untuk menumpuk dan menghasilkan pelepasan epitel pigmen retina. Sejalan dengan pelepasan itu, target junctions antar sel RPE rusak, dan defek fokal dari blood-retinal barrier berkembang. Cairan koroidal melewatinya dan menghasilkan ablasi saraf retina.
2,4,13,15

Kepribadian tipe A, hipertensi sistemik, dan obstructive sleep apnea dianggap memiliki hubungan dengan CSCR. Patogenesisnya keemungkinan adalah kortisol yang beredar dalam darah meningkat serta epinefrin, yang mempengaruhi autoregulasi dari sirkulasi koroid.Selain itu, pasien dengan CSCR menunjukkan respon otonom terganggu dengan penurunan aktivitas parasimpatis secara signifikan dan aktivitas simpatik yang juga meningkat secara signifikan. 8

Kortikosteroid memiliki pengaruh langsung terhadap ekspresi gen reseptor adrenergik dan, dengan demikian, memberikan kontribusi pada efek keseluruhan dari katekolamin pada patogenesis CSCR. Studi terbaru mengungkapkan bahwa

10

kortikosteroid dapat mempengaruhi produksi oksida nitrat, prostaglandin, dan radikal bebas dalam sirkulasi koroidal, yang mana ketiga produk itu berpartisipasi dalam autoregulasi dari aliran darah di koroid. 8 2.6. Gejala Klinis Meskipun metamorfosia sepihak adalah gejala klasik dari CSCR, pasien dapat datang dengan penglihatan kabur unilateral, mikropsia, gangguan adaptasi gelap, desaturasi warna, penurunan kemampuan adaptasi terang, dan skotoma relatif. Rentang ketajaman visual dari 20/15 (6/5) hingga 20/200 (6/60) tetapi ratarata 20/30 (6/9). Ketajaman visual dapat diperbaiki dengan koreksi hiperopik. Gejala biasanya sembuh setelah beberapa bulan tetapi dapat terjadi lebih lama bahkan setelah cairannya hilang, hanya jarang sekali gejala tersebut betul-betul hilang dan tidak kambuh lagi. Tetap ada gejala sisa yang sifatnya permanen termasuk metamorfosia, penurunan persepsi kecerahan, dan penglihatan warna yang berubah. 2,13,15 2.7. Diagnosis Dari anamnesa didapatkan bahwa pasien CSCR mengalami gejala akut berupa kehilangan daya penglihatan dan metamorfosia (khususnya mikropsia). Gejala-gejala lain termasuk penurunan visus sentral dan skotoma. Penurunan daya lihat biasanya dapat diperbaiki dcengan koreksi hiperopik. Keluhan lainnya berupa penurunan kemampuan adaptasi terang, kehilangan kemampuan membedakan warna dan kehilangan sensitivitas kontras.2

Dari pemeriksaan fisik menggunakan oftalmoskop dapat ditemukan pelepasan retina serosa tanpa ada perdarahan subretina. Pelepasan retina neurosensori tersebut bisa saja sangat kecil, dan membutuhkan pemeriksaan lensa kontak untuk mendeteksinya. Pelepasan epitel pigmen, bintik dan atrofi RPE, fibrin subretinal, dan lipid subretina atau bintik-bitik lipofusinod dapat juga ditemukan.2

11

Diagnosis ditegakkan dengan pemeriksaan fundus menggunakan slitlamp; dapat ditemukan adanya pelepasan serosa retina sensorik tanpa peradangan mata, neovaskularisasi retina, suatu lubang optik kecil, atau tumor koroid. Lesi epitel pigmen retina tampak sebagai bercak abu-abu kekuningan, bundar atau oval, kecil yang ukurannya bervariasi dan mungkin sulit dideteksi tanpa bantuan angiografi fluoresens. Zat warna fluoresens yang bocor dari koriokapilaris dapat tertimbun di bawah epitel pigmen atau retina sensorik, sehingga menimbulkan bermacam-macam pola termasuk konfigurasi cerobong asap. 2,13,17

Angiografi fluoresens dari epiteliopati pigmen yang difus memperlihatkan hiperfloresens granular fokal yang berhubungan dengan defek dan penyumbatan yang disebabkan atrofi dan gumpalan RPE dengan satu atau lebih area yang terus mengalami kebocoran halus17,18

Optical

Coherence

Tomography

(OCT)

dapat

digunakan

untuk

mengidentifikasi pelepasan makula bahkan yang sangat halus (subklinik). OCT menunjukkan akumulasi material lipofusinoid pada permukaan luar retina yang mengalami pelepasan neurosensori. Multifocalelectroretinography (mfERG) merupakan predictor yang lebih sensitif dibandingkan dengan OCT; mfERG dapat mendemonstrasikan perubahan fisiologis yang berhubungan dengan perbedaan jumlah makula serosa yang lepas.12,19,20

Gambar 2.5

Angiografi floresens pada fase resirkulasi awal dari pasien dengan pelepasan makula meurosensori terlokalisir2

12

Angiografi ICR menunjukkan area hiperfloresens lebih dini pada angiogram dengan adanya hiperfloresens dan kebocoran pada pembuluh darah koroidal. Sering, area kebocoran multipel dapat dilihat melalui angiografi ICG bahkan ketika belum terlihat apapun di angiografi floresens.12,15,17

2.8. Diagnosis Banding 1. Neovaskularisasi koroidal subretinal Angiografi ICR dari neovaskularisasi koroidal subretinal biasanya

mengungkapkan hanya satu bidang hiperfloresens yang semakin melebar. 2. vaskulopati koroidal polipoidal Angiografi ICG dari vaskulopati koroidal polipoidal menunjukkan kaliber kecil, lesi vaskular koroidal polipoidal dan tidak ada bidang hipermiabilitas; bijaksana untuk mengamati pasien dan mengulang angiografi 2 minggu kemudian. 3. Membran neovaskular koroidal Suatu area kebocoran CSCR harus tetap konstan atau berkurang seiring dengan waktu, sedangkan membran neovaskular koroidal kemungkinan akan bertambah. 4. 5. 6. 7. 8. 9. Age Related Macular Degeneration Macular Edema Macular Hole Retinal Detachment Exudative Retinal Detachment Rhegmatogenous Vogt-Koyanagi-Harada Disease2,13

2.9. Penatalaksanaan Kortikosteroid yang diberikan secara subkonjungtival dan sistemik adalah satu-satunya pengobatan yang ditawarkan untuk penyakit ini beberapa tahun yang lalu. Namun terapi ini tidak direkomendasikan lagi. Acetazolamide telah dicoba dan memberikan hasil, tetapi tidak ada bukti bahwa terapi ini membawa keuntungan jangka panjang.4 Sebuah penelitian menunjukkan hasil bahwa

13

pengobatan dengan aspirin dosis rendah dapat mempercepat rehabilitasi visual dengan angka kekambuhan yang lebih sedikit pada pasien CSCR dibandingkan dengan kelompok kontrol yang tidak mendapat pengobatan. Hal ini mendukung adanya hipotesis bahwa terjadi gangguan fibrinolisis dan peningkatan agregasi platelet di koriokapilaris pada penderita CSCR.21 Penelitian lain menunjukkan bahwa injeksi bevacizumab intravitreal diasosiasikan dengan peningkatan ketajaman visual dan penurunan pelepasan neurosensori.22,23

Pengobatan terkini dari CSCR adalah fotokoagulasi laser pada lokasi kebocoran floresens. Perubahan RPE permanen diinduksi pada tempat bekas luka laser. Sementara bekas luka memfasilitasi penyerapan cairan subretinal melalui koroid, hal ini juga menghancurkan area abnormal sel RPE yang hipersekresi. Komplikasi dari fotokoagulasi laser termasuk neovaskularisasi koroidal dan skotoma sentral. Komplikasi dapat dikurangi dengan menggunakan bintik-bintik ukuran yang lebih besar, menggunakan intensitas rendah, dan menghindari zona kapiler bebas . Karena sebagian episode CSCR sembuh secara spontan, perawatan laser diindikasikan untuk pasien yang gagal sembuh setelah 4-6 bulan, menunjukkan perubahan permanen dari CSCR di mata yang lain, beberapa kali kambuh, atau memerlukan peningkatan kemampuan visual dalam pekerjaan. Pengobatan harus dihindari jika kebocoran terjadi dalam jarak 200 m dari pusat zona foveal avaskular.13 Sebuah penelitian menunjukkan bahwa fotokoagulasi laser yang dilakukan sedini mungkin adalah pengobatan yang efektif untuk CSCR mengingat resorpsi yang cepat dari cairan subretinal, perbaikan visus, dan perbaikan dari metamorfosia.24

Mata dengan CSCR kronis dan tidak responsif terhadap perawatan laser dapat melakukan dari terapi fotodinamik.13 Terapi fotodinamik baru-baru ini dikatakan sebagai modalitas pengobatan dengan angka keberhasilan 8189.6 % dalam hal tercapanya resolusi CSCR. Namun, pengobatan ini dapat mengalami komplikasi termasuk atrofi RPE, iskemia dari koriokapilaris dan neovaskularisasi koroidal.25

14

Baru-baru ini, transpupillary thermotherapy (TTT) diusulkan sebagai terapi dari lesi-lesi macular. Energi rendah yang dikirim oleh alat ini ke tempat kerusakan dapat mencegah kerusakan sel fotoreseptor.26

2.10. Komplikasi Pernah dilaporkan adanya penyulit--termasuk neovaskularisasi subretina dan edema makula sistoid kronikpada pasien yang sering dan mengalami pelepasan serosa yang berkepanjangan.12,13

2.11. Prognosis Sekitar 80% mata dengan CSCR mengalami resorpsi spontan cairan subretina dan pemulihan ketajaman penglihatan normal dalam 6 bulan setelah awitan gejala. Jadi, penyakit ini termasuk self-limiting condition. Namun, walaupun ketajaman penglihatan normal, banyak pasien mengalami defek penglihatan permanen, misalnya penurunan ketajaman kepekaan terhadap warna, mikropsia, atau skotoma relatif; 20-30% akan mengalami kekambuhan penyakit baik sekali maupun lebih dari sekali. 12,13

15

BAB III KESIMPULAN

Central Serous Chorioretinopathy (CSCR) adalah penyakit yang menyerang pria muda ( usia 20-50 tahun) yang menampilkan ciri kepribadian tipe A atau yang sedang mengalami ketegangan fisik atau stres emosional. CSCR merupakan self-limiting condition yang biasanya sembuh spontan dalam 6 bulan setelah awitan gejala, walaupun banyak pasien mengalami defek penglihatan permanen, misalnya penurunan ketajaman kepekaan terhadap warna, mikropsia, atau skotoma relatif; 20-30% akan mengalami kekambuhan penyakit baik sekali maupun lebih dari sekali.

16

DAFTAR PUSTAKA

1. Ilyas, S. Ilmu Penyakit Mata. Edisi Ketiga. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta, 2008.

2. Oh, K. T., 2011. Central Serous Chorioretinopathy. Available from: http://emedicine.medscape.com/article/1227025 [Accessed: June 20th, 2012] 3. Rohrschneider, K. Micropertimetry in Macular Disease. Pada: Holz, F. G., Spaide, R. F. Essentials In Ophthalmology: Medical Retina. Springer Inc., Germany. 2007. 14-15.

4. Gemenetzi, M., De-Salvo, G., Lotery, A. J., 2010. Central Serous Chorioretinopathy: An Update On Pathogenesis And Treatment. Eye (2010) 24, 17431756, Macmillan Publishers Limited. Diperoleh dari:

http://search.proquest.com/docview/816559789/fulltextPDF/1378DD4689766 1A471/1?accountid=50257 [Diakses 20 Juni 2012]

5. Junqueira, L. C., Carneiro, J. Sistem Fotoreseptor dan Audioreseptor. Pada : Junqueira, L. C., Carneiro, J . Alih bahasa: Tambayong, J. Editor: Dany, F. Histologi Dasar: Teks dan Atlas. Edisi 10. Penerbit EGC. Jakarta, 2007: 458462.

6. Scanlon, V.C., Sanders, T. The Senses: The Eye. Pada: Scanlon, V.C., Sanders, T. Essentials of Anatomy and Physiology, 5th Ed. F. A. Davis Company, Philadelphia. 2007: 202-210

7. Seeley, T. H., et al. The Special Senses. Pada: Seeley, T. H., et al. (Eds). Gabbe: Seeley-Stephens-Tate: Anatomy and Physiology, 6th Ed. The McGrawHill Companies. New York, 2004: 511-522.

17

8. Ganong, W. F. Vision. Pada: Ganong, W. F., Review of Medical Physiology. 21st Ed. The McGraw-Hill Companies. New York, 2003.

9. Hansen, J.T., Koeppen, B.M. Neurophysiology: Visual System. Pada: Hansen, J.T., Koeppen, B.M. (Eds.). Netters Atlas of Human Physiology. Lippincott, Williams & Wilkins, New York. 2000: 43-44. 10. Guyton, A.C., Hall, J. E. The Eye: II. Receptor and Neural Function of the Retina. Pada: Guyton, A.C., Hall, J. E. Textbook of Medical Physiology, 11th Ed .Elsevier Inc. Pennsylvania. 2006: 626-639. 11. Sherwood, L. Mata: Penglihatan. Pada : Sherwood, L., Pendit, B. U. (Ed.). Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. Edisi kedua. Penerbit EGC. Jakarta, 2001: 160-175.

12. Hardy, R. A. Retina dan Tumor Intraokular. Pada: Vaughan, D. G., Asbury, T., Riordan-Eva, P., Suryono, Y. J. (Ed.). Oftalmologi Umum, Edisi 14. Penerbit Widya Medika. Jakarta, 2000: 197-219.

13. Wirostko, W. J., Pulido, J. S. Central Serous Chorioretinopathy. Pada: Yanoff, M., Duker, J. S., Augsburger, J. J. (Eds.). Ophthalmology Second Edition. Mosby, Inc, Spain. 2004: 2245-2254. 14. Wynn, P. A., 2001. Idiopathic central serous chorioretinopathya physical complication of stress?. Occupational Medicine, Vol. 51 No. 2. Diperoleh dari: http://occmed.oxfordjournals.org/content/51/2/139.full.pdf+html [Diakses 20 Juni 2012] 15. Lang, G. E., Lang, G. K. Central Serous Chorioretinopathy. Pada: Lang, G. K. Ophthalmology: a Short Textbook. Thieme, Inc, New York. 2000:335-337.

18

16. Moshirfar, M., et al., 2011. Clinical Study: The Incidence of Central Serous Chorioretinopathy after Photorefractive Keratectomy and Laser In Situ Keratomileusis. Hindawi Publishing Corporation Journal of Ophthalmology Volume 2012. Diperoleh dari:

http://www.hindawi.com/journals/jop/2012/904215/ [Diakses 20 Juni 2012]

17. Spaide R. F. Autofluorescence from the Outer Retina and Subretinal Space. Pada: Holz, F. G., Schmitz-Valckenberg, S., Spaide, R. F. , Bird, A. C. (Eds). Atlas of Fundus Autofluorescence Imaging. Springer Inc., Germany. 2007.: 241-247.

18. Staurenghi, G., Levi, G., Pedenovi, S., Veronese, C. New Developments in cSLO Fundus Imaging: Fundus Autofluorescence in Acute and Chronic Central Serous Chorioretinopathy. Pada: Holz, F. G., Spaide, R. F. Essentials In Ophthalmology: Medical Retina. Springer Inc., Germany. 2007. p27. 19. Moschos, M., et al., 2006. Assessment of Central Serous Chorioretinopathy by Optical Coherence Tomography and Multifocal Electroretinography. Ophthalmologica 2007 Vol.221 p292298. Diperoleh dari:

http://search.proquest.com/docview/224705088/fulltextPDF/1378D9E7B4C5 B3832FE/15?accountid=50257 [Diakses 20 Juni 2012] 20. Yip, Y. W. Y., et al., 2009. Correlation Between Functional And Anatomical Assessments By Multifocal Electroretinography And Optical Coherence Tomography In Central Serous Chorioretinopathy. Doc Ophthalmol (2010) Vol. 120:193200. Diperoleh dari:

http://search.proquest.com/docview/214496701/fulltextPDF/1378D8FD8AF2 CA1D99B/1?accountid=50257 [Diakses 20 Juni 2012]

21. Caccavale, A., et al., 2010. Low-Dose Aspirin As Treatment For Central Serous Chorioretinopathy. Dove Press Journal: Clinical Ophthalmology,

19

Vol.4.

Diperoleh

dari:

http://www.dovepress.com/low-dose-aspirin-as-

treatment-for-central-serous-chorioretinopathy-peer-reviewed-article-OPTHrecommendation [Diakses 20 Juni 2012] 22. Jamil, A. Z., et al., 2012. Intravitreal Bevacizumab in Central Serous Chorioretinopathy. Journal of the College of Physicians and Surgeons Pakistan 2012, Vol. 22 No. 6. Diperoleh dari:

www.jcpsp.pk/archive/2012/Jun2012/06.pdf [Diakses 20 Juni 2012]

23. Inoue, M., et al., 2010.Results of One-Year Follow-Up Examinations after Intravitreal Bevacizumab Administration for Chronic Central Serous Chorioretinopathy. Ophthalmologica 2011 Vol.225 p3740. Diperoleh dari: http://search.proquest.com/docview/821564964/fulltextPDF/1378D8FD8AF2 CA1D99B/3?accountid=50257 [Diakses 20 Juni 2012]

24. Sturm, V., 2008. Early Laser Photocoagulation Treatment as an Option in Central Serous Chorioretinopathy. Ophthalmic Surgery, Lasers & Imaging , Vol 40, No 5. Diperoleh dari:

http://search.proquest.com/docview/215682205/fulltextPDF/1378D8FD8AF2 CA1D99B/14?accountid=50257 [Diakses 20 Juni 2012] 25. Gupta, B., Mohamed, M.D., 2010.Photodynamic Therapy for Variant Central Serous Chorioretinopathy: Efficacy and Side Effects. Ophthalmologica 2011 Vol. 225 p207210. Diperoleh dari:

http://search.proquest.com/docview/215682205/fulltextPDF/1378D8FD8AF2 CA1D99B/14?accountid=50257 [Diakses 20 Juni 2012] 26. Wei, S. T., Yang, C. M., 2004. Transpupillary Thermotherapy in the Treatment of Central Serous Chorioretinopathy Ophthalmic Surgery, Lasers & Imaging , Vol 36, No 5. Diperoleh dari:

http://search.proquest.com/docview/215686702/fulltextPDF/1378D8FD8AF2 CA1D99B/15?accountid=50257 [Diakses 20 Juni 2012] 20

You might also like