You are on page 1of 3

Kembali ke Negara Hukum Oleh Paskalis da Cunha, SH Indonesia adalah Negara hokum, begitulah kata-kata alam Penjelasan Undang-Undang

Dasar (UUD) kita. Negara hokum berarti, segala tata aturan hidup berbangsa dan bernegara harus berlandaskan pada hokum, baik itu hokum adat maupun hukum positif. Dalam hal ini, segala persoalan hidup bernegara dan berbangsa, diselesaikan secara hukum, baik itu hokum adat maupun hokum positif itu. Hukumlah yang menjadi panduan bagi kehidupan masyarakat dan bangsa ini dalam mengarungi kehidupan yang sejahtera dan bahagia lahir batin. Tetapi, ironisnya, setelah lebih dari setengah abad, sejak bangsa ini memerdekakan diri dari penjajahan, alias pasca Negara ini didirikan oleh para bapa bangsa kita, hidup bangsa ini sebagai Negara dan bangsa yang taat dan tertib hokum, masih tampak jauh panggang dari api. Dengan kata lain, Negara hukum kita ini masih jauh dari menjadi rumah yang membahagiakan bagi segenap penghuni atau warga Negara. Akibat dari itu adalah kebobrokan bangsa terjadi di semua lini kehidupan. Suap dan korupsi merajalela di mana-mana, bahkan telah menjadi penyakit yang sangat berbahaya yang siap menggiring bangsa ini ke jurang kehancurannya. Itu diperparah lagi oleh kehidupan politik, terutama praktek politik yang penuh dengan bau amis politik uang dan para politisi terjebak kasus suap dan korupsi itu. Ujungnya, kehidupan masyarakat semakin tidka terurus, dan nasib bangsa menjadi tak menentu. Pertanyaan yang dapat diadopsi di sini, mengapa itu bisa terjadi? Apakah keadaan seperti itu tetap dibiarkan hingga Negara ini benar-enar jatuh ke juang kehancurannya? Lalu, apa solusinya? Ketimpangan hukum dan bobroknya pengadilan Jawaban atas pertanyaan di atas, yakni karena pngadilan atua dunia peradilan kita tidka mencerminkan keadilan public. Praktek penegakan hukum yang merupakan roh atau pilar utama dalam pencarian dan pemeteraian keadilan masih jauh dari harapan. Peradilan sebagai jantung hukum dalam rangka menciptakan keadilan yang membahagiakan warga Negara tidak menjalankan jungsinya engan baik. Lalu, apa yang kita lihat, pengadilan yang tidka berpihak pada kebenaran dan keadilan hukum itu, membuat pengkhianatan terhadap negara sebagai negara hukum tetus terjadi. Semua itu terjadi, tidak lain karena pengadilan di negeri ini umumnya berjalan secara tidak fair. Keadian yang diperoleh lebih karena hasil dari pertarungan anarkekuatan yang ada di sepuar pengadilan. Karen aitu, kerap dikatakan pedang hukum dan samurai keadilan selama ini identic dengan kaum berkuasa, atau seperti kata Tracymachus, hukum tidak lain adalah kepentingan orang-oang kuat, bukan milik orang-orang kecil yang tidak memiliki kekuatan dan kekuasaan, baik secara social, ekonomi dan politik. Orang-orang kecil yang tidak memiliki kekuatan dan kekuasaan selalu tidak berdaya di hadapan hukum. Ungkapan lama bahwa pedang hukum dan samurai keadilan selalu mau tak gentar membela yang punya kuasa dan uang, telah memiliki pembenaran yang tidak terbantahkan.

Akhirnya, tersembullah realitas yang menunjukkan bahwa prinsip dasar Negara yang lebih mengutamakan rechstaat (Negara hukum dah bukan machstaat (negate kekuasaan) tidak berjalan semestinya. Intrik-intrik politik, desakan kekuasaan dan iming-iming uang melalui tangan-tangan kekuasaan selalu lebih dominan dalam memengaruhi jalannya pengadilan hingga menentukan arahnya perolehan keadilan. Maka, rakyat kecilnya semakin terpinggirkan dari gelanggang pertarungan perebutan keadilan. Oleh karena itu, hukum bukan saja menjadi kurang produktif dan mandul dalam mencipakan keadilan dan kebenaran hukum, melainkan citra, derajat dan wibawa hukum sendiri pun jatuh ke titik nadir. Atau, dalam ungkapan sang punggawa hukum, Satjipto Rahardjo, tujuan hukum untuk memberikan keadilan (dispensing justice) telah mengalami kemerosotan menjadi permainan belaka. Artinya, upaya hukum itu sendiri sudah tidka lagi menjadi upaya memperjuangkan keaidlan, yangmenjadi landasan dan panduan yang memberi arah bagi tergapainya keadilan, kesejahteraan dan kebahagiaan, melainkan untuk mencari menang. Dan kalau yang dicari adalah kemenangan, maka segala cara tentunya juga akan ditempuh. Dengan demikian, perangkat hukum, proses huium,d an sekalian personel hukumnya; para yuris, hakim, jaksa, advokat dan polisi, justru dimobilisasi kecanggihannya untuk hanya melayani keingingan dan kepentingan diri sendiri dan kelompok. Bahkan, proses hukumd an pengadilan demi mendapatkan kemenangan ini dakui pula oleh seorang hakim senior di Amerika, Rothwax yang menuangkan kegunahannya dalam bukunya yang diberi judul sugestif, The Collapse of the Criminal Justice Syastem, bahwasanya, orang kerap menggunakan hukum dan pengadilan tidak untuk mencari keadilan, melainkan untuk memeperoleh kemenangan dan kepuasan dari suatu perkara. Jadi, hukum menjadi tidak ada bedanya dengan politik, yaitu memperjuangkan kepentingan diri dan kelompok. Hukum lalu menjdu tika ada bedanya dengan bisnis, yaitu diperdagangkan alias hukum dijadikan sebagai supermarket (jual-beli) keadilan. Maka, tujuan hukum untuk mendatangkan ketenteraman dan keadilan ang bermuara pada kesejahteraan, kemakmuran dan kebahagiaan hidup warga Negara menjadi melenceng jauh. Bahkan, kembali menurut Rahardjo, hukum menjadi bisnis merupakan tren baru di dunia yang juga dimotori oleh praktek Amerika Serikat. DI negeri ini muncul istilah megalawyering, di mana praktek hukum itu menjadi sedemikian rupa sehingga tidak murni menjalankan urusan hukum, melainkan sebagian hukum sebagian lagi bisnis. Dalam hal mana, yang diperjuangkan hukum bukan semata membela kebenaran dan keadilan, melainkan krap dipraktekkan demi mendapatkan keuntungan-keuntungan ekonomi, yang jauh dari idealisme hukum positif dengan undang-undang yang sudah digariskan. Sebuah situasi hukum yang dipengaruhi oleh perkembangan kapitalisme dan semangat hedonism yang merasuk masyarakat Amerika Serikat di semua tingkatan sosial. Karena hukum telah berkembang menjadi bisnis dalam mencari peruntunganekonomi, dan Karen aitu yang hendak diraih adalah keuntungan-keuntungan ekonomi, maka hukum dan praktik keadilan bukan hanya sekadar mempertontonkan sebuah pengadilan dagelan, melainkan juga dijadikan supermarket (jual-beli) keadilan, yangpelaku-pelakunya adalah para mafia peradilan, atau tidak

ubahnya sebuah arena penuh persekongkolan dari para Mafioso di meda laga yang bernama pengadilan. Celakanya, para Mafioso itu tidak lain merupakan aparatur hukum sendiri, seperti para yuris, jaksa, advokat dan polisi, yang tahu titik lemah hukum dan perundang-undangan, sehingga mereka pandai berkelit,d an karenanya sulit dikenai sanksi hukum. Lalu, bagaimana mengambil jalan solutif untuk mengakhiri jalan buruk pengadilan seperti itu? Sebagai seorang praktisi hukum dan pencari keadilan dan pejuang kebenaran hukum yang tiada hentinya, - sebagai seorang advokat, khususnya yang memiliki sebuah lembaga hukum atau lembaga keadvokatan, yakni , Law Office Paskalis Da Cunha, SA dan Partners Advocate Firm Legal Consultant, tentu dapat menjawab, TIDAK! Dan itu pulalah yang menjadi sikap dasar kami dalam menjalankan tugas di bawah payung lembaga itu. Bahwa, pencarian kebenaran dan penegakan keadilan menjadi landasan perjuangan kami dalam manjalan tugas kepengacaraan kami, yang ditempuh secara etis, dan berintegritas tinggi. Tentu saja banyak kelemahan yang ditemukan di jalan perjuangan kami dalam ikut menegakan keadilan di Republik ini. Tetapi, yang jelas itulah komitmen dalam perjuangan kami yang kami meteraikan sejak awal berdirinya lembaga di atas. Artinya, bahwa visi dan misi perjuangan kami sebagai advokat yang bernaung di bawah payung lembaga itu adalah memperjuangkan berdirinya supremasi hukum dengan terus mencari dan ikut terlibat secara intens untuk segera terciptanya keadilan dan kebenaran hukum di negeri ini. Segala kebobrokan hukum harus dibersihkan untuk ikut menempatkan Negara ini sebagai Negara hukum. Dalam hal mana, sebagai Negara hukum, hukum harus ditegakkan. Bendera supremasi hukum harus segera dipancangkan. Tetapi, apakah hal itu mudah di lakukan? Jawabannya, tentu tidak! Tetapi, yang namanya seorang pejuang, harusnya tetap berjuang tanpa henti.

You might also like