You are on page 1of 27

Riwayat Hidup Ali Syariati

Diposkan oleh DR. HAMZAH HARUN AL-RASYID, M.A. di 12:13 Kamis, 09 Februari 2012

Ali Syariati adalah anak pertama dari Muhammad Taqi dan Zahra, ia lahir di daerah Mazinan yang terletak di pinggiran kota Mashad Iran pada tanggal 24 November 1933, bertepatan dengan peristiwa penting yang dialami oleh ayahnya, yakni berhasil menyelesaikan studi keagamaan dasarnya dan diamanahkan sebagai pengajar di Sekolah Dasar Syerafat. Keluarga Ali Syariati tergolong sebagai keluarga terhormat dan bahkan taat terhadap agama, ritual keagamaan merupakan kegemaran secara seksama dalam rumah tangganya. Islam dipandang oleh ayah keluarga ini lebih sebagai doktrin dan filsafat yang relevan dengan zaman moderen, dari pada sebagai keyakinan masa lalu yang bersifat pribadi dan untuk memikirkan diri sendiri.[1] Syariati tergolong sebagai salah satu tokoh yang turut aktif membantu perjuangan Imam Khomeni dalam menjatuhkan rezim Syah yang lalim di Iran. Terkait dengan perjuangan menegakkan kebenaran dan keadilan menurut ajaran Islam, Doktor Sastra lulusan Universitas Sorbone Prancis ini berjuang tak kenal lelah, bahkan bisa dikata bahwa selama hidupnya Ia terus mengabdikan dirinya membangun masyarakat Islam Iran

dari belenggu kezaliman. Gagasan-gagasannya yang dituangkan dalam setiap ceramah-ceramahnya, menggiring para pemuda dan mahasiswa Iran tergugah semangatnya untuk memperjuangkan kebenaran dan keadilan. Sejarah telah melukiskan bahwa pada masa kanak-kanak (masa dimana bermain jadi hobi/kegemaran bagi teman-teman sebayanya), Syariati justru memperlihatkan fakta lain, Ia malah asyik membaca berbagai macam literatur. Kegemaran ini terus berlanjut hingga masa remajanya. Sejak tahun pertama di Sekolah menengah atas, Syariati gemar membaca buku-buku filsafat, sastra, syair, ilmu Sosisial, dan studi keagamaan diperpustakaan peribadi ayahnya yang memiliki koleksi kurang lebih 2000 buku. Tahun 1959, Syariati masuk Fakultas Sastra di Universitas Masyhad dan berhasil menunjukkan peringkat terbaiknya dikelas meski dililit oleh kesibukan resminya sebagai guru fulltime. Berkat hobi dan kegemarannya di bidang sastra mengantarkan Syariati popular dikalangan mahasiswa. Di Universitas tersebut, Syariati bertemu dengan Puran-e Syariat Razavi yang kelak menjadi istertinya. Pada April 1959, prestasi akademis Syariati mengantarkannya mendapat beasiswa untuk

melanjutkan studi ke luar negeri (Paris), sedangkan istri dan puterinya Ehsan menyusul setahun kemudian. Keberadaan gagasan baru Syariati yang di Paris, dijadikan yang sebagai momentum untuk berkenalan dengan karya-karya dan gagasanmencerahkan, mempengaruhi pandangan hidup dan wawasannya mengenai dunia. Ia mengikuti kuliah-kuliah akademisi, filsuf, penyair, militant, dan membaca karya-karya mereka, dan tidak jarang Ia bertukar pikiran dengan mereka.[2] Disinilah Syariati berkenalan dengan banyak tokoh intelektual Barat, antara lain Louis Massigon yang begitu dihormatinya, Frantz Fanon, Jacques Berque dan lainlain. Semangat perjuangan Syariati tidak pernah surut, meski Ia berada di Perancis Ia tetap berjuang melawan rezim Sah Pahlevi di Iran. Antara tahun 1962 dan 1963, waktu Syariati habis tersita untuk aktivitas politik dan jurnalistik. Dan setelah meraih gelar doktornya pada tahun 1963, setahun kemudian Syariati dan keluarganya kembali ke Masyhad Iran. Pada tahun 1965 Syariati bekerja di Pusat penelitian kementerian pendidikan di Teheran. Kemudian pada 1967, mulai mengajar di Universitas Masyhad. Inilah awal kontaknya dengan mahasiswa-mahasiswa Iran.

Universitas Masyhad yang relatif tenang dan teduh, segera semarak oleh kedatangannya. Kelas Syariati tak lama kemudian menjadi kelas favorit. Gaya orator yang dimilikinya memikat audiens, memperkuat isi kuliahnya yang membangkitkan orang untuk berpikir.[3] Kemampuan syariati dalam mempersatukan unsur-unsur modernisme dan revivalisme Islam dalam sebuah sintetis yang orisinil, dalam hal ini mencelah kapitalisme dan imperialisme Barat dengan budaya komsumerismenya yang telah menghegemoni dunia. Misi sejati Islam menurutnya ialah membebaskan golongan tertindas (mustadafin). Ia melihat Islam dengan humanismenya dapat menyelamatkan rakyat.[4] Juni 1971, syariati meninggalkan pekerjaan mengajarnya di Unviersitas Masyhad, lalu dikirim ke Teheran. Ia bekerja keras untuk menjadikan Hosseniyyah Ersyad menjadi sebuah Universitas Islam radikal yang modernis. Berbagai peristiwa politik di Iran pada 1971 memainkan peranan penting dalam membentuk dan mengarahkan orientasi serta aktivitas Hosseniyah yang semakin terkenal di kalangan kaum muda. Namun pada tanggal 19 November 1972, Hosseniyah Ersyad

ditutup dan Syariati dipenjara karena berbagai aktivitas politiknya mengecam rezim Syah. Pada tanggal 16 Mei 1977, Syariati meninggalkan Iran. Tentara Syah (SAVAK) akhirnya mengetahui kepergian Ali Syariati. Mereka mengontak agen mereka di luar negeri. Di London, inggris pada 19 Juni 1977, jenazah Ali Syariati terbujur dilantai tempat ia menginap.[5] Kematian yang tragis seorang pejuang Islam yang teguh memperjuangkan keyakinannya. Ia syahid dalam meperjuangkan apa yang dianggapnya benar. Ali Syariati telah mengikuti jejak sahabat nabi, dalam hal ini Ali bin Abi Thalib dan Abu Dzar AlGifari.

[1] Ali Syariati, Islam: Mazhab Pemikiran dan Aksi. Terj. Afif Muhammad, (Mizan: Bandung, 1995), h. viii. [2]Ali Syariati, Martyrdom: Arise and Bear Witness. terj. Dede Azwar Nurmansyah, Kemuliaan Mati Syahid. (Cet. I : Jakarta : Pustaka Zahra, 2003), h. 16. [3] Ibid., h. 17. [4] Antony Black, The History of Political Thought: From the Prophet to the Present, terj. Abdullah Ali, Pemikiran Politik Islam: Dari Masa Nabi Hingga Masa Kini (Jakarta: Serambi, 2006), h. 584-585. [5] Ali Syariati, Martyrdom. Op.cit., h. 18.

Karya-Karya Ali Syariati

Salah satu bukti kehebatan Syariati ialah karya-karya orisinil yang dihasilkan selama hidupnya, dan berikut ialah karya-karyanya yang penulis maksudkan : The Pilgrimage (Hajj), Where Shall We Begin? (Di Mana Kita Harus Mulai?), Mission of a Free Thinker (Misi Seorang Pemikir Bebas), The Free Man and Freedom of the Man (Manusia Bebas dan Kebebasan Manusia), Extracton and Refrinement of Cultural Resources (Penggalian dan Peningkatan Sumber-sumber Budaya), Martyrdom (Mati Syahid), Arise and Bear Witness (Bangkit dan Bersaksilah), An approach to Understanding Islam (Suatu Pendekatan untuk Memahami Islam), A Visage of Prophet Muhammad (Gambaran tentang Nabi Muhammad), A Glance of Tomorrow's History (Sekilas tentang Sejarah Masa Depan), Reflections of Humanity (Refleksi tentang Umat Manusia), A Manifestation of Self-Reconstruction and Reformation (Manifestasi tentang Rekonstruksi dan Pembaruan Diri), Selection and/or Election (Seleksi dan/atau Pemilihan), Norouz, Declaration of Iranian's Livelihood, Eternity (Norouz, Deklarasi tentang Kehidupan Iran, Kekekalan),

Expectations from the Muslim Woman (Tuntutan-tuntutan terhadap Perempuan Muslim), Horr (Pertempuran Karbala), Islamology (Islamologi), Red Shi'ism vs. Black Shi'ism (Syiah Merah vs. Syiah Hitam), Jihad and Shahadat (Jihad dan Syahadat), Reflections of a Concerned Muslim on the Plight of Oppressed People (Refleksi Seorang Muslim yang Prihatin terhadap Penderitaan Rakyat Tertindas), A Message to the Enlightened Thinkers (Pesan kepada Para Pemikir yang Tercerahkan), Art Awaiting the Saviour (Seni Sedang Menantikan Juru Selamat), Fatemeh is Fatemeh (Fatemeh adalah Fatemeh), The Philosophy of Supplication (Filsafat Syafaat).[1]

[1] http://id.wikipedia.org/wiki/Ali_Syari%27ati diakses tanggal 15 April 2011


Ali Syariati

Kehidupan dunia yang begitu kompleks, menggiring beberapa tokoh pemikir (baik Barat maupun Timur) untuk tampil memberikan konstribusi paradigma berdasrakan alur kajian dan disiplin keilmuan

mereka masing-masing. Wacana sebagai efek dari perenunganperenungan epistemik, tergulir kepermukaan menjadi sekumpulan diskursus, dan perbedaan cara pandang/kerangka keilmuan berujung pada pertentangan-pertentangan intelektual. Ali Syariati sebagai salah satu tokoh pemikir Timur, turut ambil andil dalam pergumulan tersebut. Meski Ia banyak bersentuhan dengan pemikiran tokoh-tokoh Barat, namun Ia tetap konsisten mempertahankan kaidah-kaidah keilmuan Islam sebagai basis epistemologis, ontologis serta aksiologis dalam keilmuannya. Kenyataan ini kemudian dibuktikan dari keterlibatannya dalam memberikan countre hegemonik terhadap pemikiran-pemikiran Barat yang cenderung materialistis dan empiris, lalu menjadikan wacana Islam sebagai solusi alternatif. Syariati terus bergoliat dalam perjuangan dan pertarungan, termasuk dalam mengusung perlwanan terhadap Syah Fahlevi di Iran pada saat itu, yang diyakini sebagai antek-antek Barat (khususnya Amerika Serikat), dan membantu ulama-ulama Islam Iran untuk mengadakan revolusi Islam. Kenyataan inilah yang mengantar Ali Syariati menjadi tokoh intelektual Islam kenamaan, yang pengaruhnya tidak hanya terbatas pada pelajarpelajar Iran, melainkan menembus hingga keseantero dunia.

Berdasarkan pernyataan diatas, maka penulis mengambil sebuah tema sentrum dalam bahasan ini yaitu bagaimana biografi, karya dan corak pemikiran Ali Syariati?.
Diposkan oleh DR. HAMZAH HARUN AL-RASYID,

CORAK PEMIKIRAN ALI SYARIATI

Memahami pemikiran Ali Syariati terkait dengan berbagai macam hal dan diskursus keilmuan, tentu bukan merupakan hal yang mudah, mengingat posisinya yang begitu getol dalam menanggapi segala hal yang dihadapi, bisa dikata bahwa Syariati adalah salah satu tokoh yang melahirkan berbagai macam diskurus kewacanaan terkait dengan kompleksnya kehidupan. Tulisan ini hanya fokus mengurai secara singkat nuansa keilmuan Syariati terkait dengan tiga hal, yaitu : 1. Pandangan Dunia Hampir semua peradaban umat manusia dipastikan mempunyai worldview. Bangsa Jerman misalnya, mempunyai konsep worldview dengan istilah weltanschauung. Kata welt berarti dunia, sedangkan kata anschauung berarti persepsi. Jadi weltanschauung adalah persepsi tentang dunia. Sedangkan bangsa Rusia menggambarkan pandangan tentang dunia dengan istilah mirovozzenie.

Worldview pada umumnya diikat dengan predikat kultural, religius atau saintifik. Dari sini kemudian muncul istilah Christian worldview, medieval worldview, scientific worldview, modern worldview dan the worldview of Islam. Yang terpenting dari worldview adalah dari mana bermula?. Thomas Kuhn (1922-1996) menggunakan worldview sebagai paradigma yang menjadikan nilai sebagai tolok ukur (standard) dan metode tertentu yang mengikat kerja-kerja saintifik. Dan menurut Syariati bahwa Alquran adalah sumber inspirasi untuk membangun worldview yang darinya semestinya berbagai disiplin ilmu lahir.[1] Gagasan apapun yang lahir dari seseorang pasti dipengaruhi oleh mazhab pemikiran yang ia anut. Jika seseorang percaya pada mazhab pemikiran tertentu, maka kepercayaan, emosi, jalan hidup, aliran politik, pandangan-pandangan sosial, konsep-konsep intelektual, keagamaan dan etikanya tidaklah terpisah dengan pandangan dunianya, dan karenanya pula maka mazhab pemikiran pada akhirnya dapat menciptakan gerakan, membangun dan melahirkan kekuatan sosial.[2] Mazhab pemikiran pada intinya harus memiliki sistem penopang dasar, dimana darinya semua gagasan dapat

berkembang, penopang dasar tersebutlah yang disebut dengan pandangan tentang dunia (world view); entah itu berorientasi ketuhanan, bercorak materialistik, naturalistis, idealistis, fasis, Marxis, dan sebagainya. Seseorang yang tidak memiliki pandangan tentang dunia ibarat seseorang yang mempunyai banyak perabot rumah tangga; ia terus-menerus memindahkannya dari satu rumah ke rumah lain tanpa tertata dengan baik. Bagi Ali Syariati, lebih baik seseorang tidak mempunyai bahan ketimbang tidak mempunyai rancangan. Pandangan tentang dunia kata Syariati adalah pemahaman yang dimiliki seseorang tentang wujud atau eksistensi. Misalnya, seseorang yang menyakini bahwa dunia ini mempunyai Pencipta Yang Sadar dan mempunyai kekuatan atau kehendak, dan bahwa dari catatan dan rekaman akurat yang disimpan, ia akan menerima ganjaran atas amal perbuatannya atau dia akan dihukum lantaran amal perbuatannya itu, maka ia adalah orang yang mempunyai pandangan tentang dunia religius. Berdasarkan pandangan tentang dunia inilah seseorang lalu mengatakan: Jalan hidupku mesti begini dan begitu dan aku mesti mengerjakan ini dan itu, inilah makna memiliki ideologi agama. Dengan demikian, idealism Hegel, materialisme

dialektik Marx, eksistensialisme Heiddeger, Taoisme Lao Tsu, wihdatul wujud al-Hallaj, semuanya adalah pandangan tentang dunia. Setiap pandangan tentang dunia ataupun mazhab pemikiran pasti akan memperbincangkan konsep manusia sebagai konsep sentral.[3] Pandangan tentang dunia seseorang dipengaruhi oleh aspek-aspek spiritual dan material yang khas dari masyarakatnya. Menurut Henry Bergson, dunia yang dipandang oleh seorang individu yang hidup dalam suatu masyarakat tertutup merupakan suatu dunia yang terkungkung. Begitu juga sebaliknya, seorang individu yang hidup dalam masyarakat yang terbuka memandang dunia luar sebagai sesuatu yang tidak terbatas, ekspansif dan senantiasa bergerak. Masyarakat dan agama selalu menentukan visi manusia tentang dunia yang kemudian mempengaruhi tindakan-tindakannya. Oleh karena itu, membahas pandangan tentang dunia pada hakikatnya membahas tentang manusia sebagai subjek. Karena pandangan tentang dunia mempengaruhi seseorang dalam mengambil pilihan tindakannya, maka mempelajari pandangan hidup suatu komunitas sosial atau bangsa berarti mempelajari tipe-tipe dari

bentuk-bentuk dan pola kebudayaan serta berbagai karakteristik yang dikembangkan oleh komunitas atau bangsa tersebut.[4] Salah satu pandangan tentang dunia yang berkembang adalah paham materialisme yang menyatakan bahwa hanya ada satu realitas fundamental di alam semesta ini yaitu materi. Dalam pandangan materialisme, semua elemen, fenomena, aksi serta reaksi di alam ini dapat diterangkan sebagai manifestasi materi. Materialisme juga menyatakan bahwa alam semesta ini tidak diciptakan oleh suatu kemauan atau kekuatan yang cerdas, demikian juga tidak ada alasan yang mendasari penciptaan sejak awal mulanya. Dengan demikian, pandangan materialisme telah melahirkan manusia dalam posisi teraleniasi dari dunia yang melingkupinya.[5] Gerakan Renaissance di Barat pada hakikatnya telah melahirkan, bahkan memperkuat, pandangan materialistik yang berujung pada pencarian kenikmatan hidup (hedonisme) yang muara akhirnya adalah menciptakan absurdisme yang merasuki seluruh bidang ilmu seperti seni, sastra dan filsafat. Kalau pandangan tentang dunia religius ortodoks akan melahirkan cara pandang yang serba keakhiratan dan pengkerdilan peran manusia, maka pandangan materialistik hanya mendasarkan

semata-mata pada ilmu. Pandangan tentang dunia materialistik menemukan alam semesta sebagai absurd, tanpa pemilik dan tanpa makna, sedangkan pandangan hidup religius ekstrim memerosotkan manusia menjadi makhluk yang sepele.[6] Di tengah dominasi pandangan tentang dunia yang materialistik sekarang ini, Ali Syariati menegaskan dirinya pada pilihan pandangan dunia religius. Jenis pandangan dunia ini yakin bahwa jagat raya adalah sesuatu yang datang dari Tuhan, sadar dan responsif terhadap tuntutan-tuntutan spiritual serta aspirasi manusia. Hanya saja, kerangka dasar pandangan dunia yang bersifat religius yang dimaksud adalah cara pandang yang berbasis pada hasil riset ilmiah yang bersifat saintifik bukan bentuk yang ortodoks atau ekstrim. Ali Syariati mengambil pilihan pandangan hidup sintetik di antara kutub ekstrim di atas yaitu pandangan hidup religius humanistik yang mensublimasi unsur manusia sebagai makhluk yang progresif, selalu mencari kesempurnaan dan sangat manusiawi.[7] Kritik Ali Syariati terhadap Barat adalah karena cara pandang mereka yang positivistik dimana melalui proyek sekularisasi ilmu pengetahuan dipisahkan dari konteks kemanusiaan.[8] Oleh karena itu, tidak mengherankan jika

tingginya ilmu pengetahuan dan teknologi justru melahirkan alienasi manusia dari nilai kemanusiaannya sendiri. Peranan kesejarahan manusia dalam menjalani hidup di dunia ini kata Syariati adalah bergerak pada dua kutub yang saling berhadapan. Kutub pertama merupakan kutub negatif yang diwakili oleh mereka yang menghambat kemajuan dengan melakukan kejahatan-kejahatan, dekadensi, penindasan, memperbudak, menegakkan tirani atas rakyat, dan sebagainya. Kutub kedua adalah kutub positif kemanusiaan yang menentang tirani dan ketidakadilan demi tegaknya perdamaian, keadilan dan persaudaraan. Kedua kutub tersebut selalu berebut ruang dominasi dalam mengisi ruang sejarah umat manusia.[9] Senjata dari kedua kutub tersebut adalah agama, dengan demikian yang terjadi adalah perang agama melawan agama[10] Ilustrasi yang menarik antara pertarungan dua kutub itu dapat dilihat dari narasi historis pertarungan antara Qabil dan Habil dalam al-Quran yang berakhir terbunuhnya Habil di tangan Qabil yang mengandung arti Simbolik tentang sejarah awal umat manusia. Dalam kitab-kitab suci dunia dijelaskan betapa kelas Qabil menjadi kelas dominan yang sifatnya kejam dan selalu berusaha menentukan nasib sejarah manusia sesuai dengan

keinginannya yang disimbolisasikan dengan tiga wajah, yaitu emas, kekuasaan dan agama. Di dalam al-Quran dan Taurat, tiga wajah tersebut masing-masing diwakili oleh Firaun yang mensimbolisasikan kekuasaan, Qarun yang mensimbolisasikan kekayaan dan kekuatan ekonomi, dan Balam Bauri yang mensimbolisasikan kelas pendeta penguasa. Mereka merupakan manifestasi tiga segi dari satu Qabil. Kelas Qabil melestarikan kekuasaannya atas massa sepanjang zaman. Kelas ini memonopoli kekayaan dengan memeras serta massa, memegang kekuasaan untuk dalam bentuk pemerintahan dan berbagai institusi untuk mendominasi massa, menyalahgunakan agama membenarkan legitimasinya sebagai penguasa. Dari narasi sejarah Qabil dan Habil telah lahir dualisme kelas, yaitu kelas penguasa dan kelas yang dikuasai meskipun mereka berawal dari unitas kemanusiaan Adam yang kemudian melahirkan dualisme sistem sosial yang berbeda. Dalam pertarungan antara dualisme kosmik ini, agama menjadi faktor determinan dalam menanamkan kekuatan yang suci, lestari untuk membangun sikap keberagamaan yang penuh harmoni. Cerita Habil dan Qabil yang melahirkan dualisme

kelas dijadikan oleh Ali Syariati sebagai cara baca dalam melihat kecenderungan manusia modern yang hakikatnya menjelma dalam pertarungan antara kelas feodal dengan kelas borjuis. Pada Abad Pertengahan, feodalisme merupakan kelas dominan yang merupakan infrastruktur masyarakat, sedangkan suprastrukturnya adalah agama yang berfungsi sebagai legitimasi. Namun kekuasaan kelas feodalisme tergeser dengan lahirnya kelas borjuis baru yang lahir sebagai akibat kontak hubungan perdagangan antara Timur dan Barat. Kontak ini telah meruntuhkan tatanan nilai pedesaan, monastik, mistik dan kepausan dan menggantinya dengan tradisi industrial, urban, sekuler, intelektual dan nasional. Borjuasi baru sebagai kelas penguasa telah meletakkan prinsip-prinsip dan keyakinan norma moral dan kultural di atas individualisme, materialisme dan liberalisasi ekonomi serta politik. Sampai sekarang ini spirit yang mendominasi kebudayaan dan peradaban adalah spirit borjuasi yang melahirkan semangat dehumanisasi.[11] Ali Syariati menawarkan gagasan pandangan tentang dunia religius humanistik untuk memerangi dualisme tersebut sehingga manusia akan menemukan keesaan yang orisinil dalam

rangka membangun kesadaran manusia pada misinya sebagai wakil atau khalifah Tuhan di muka bumi. Menurutnya, manusia adalah makhluk merdeka dan memiliki potensialitas tanpa batas untuk menentukan nasibnya sendiri dan bukan ditentukan oleh kekuatan eksternal dengan membangun semangat Tauhid.[12] Ali Syariati memahami agama bukan sebagai kumpulan doktrin yang lebih berdimensi ritual saja. Menurutnya, agama adalah sumber lahirnya kesadaran (awareness), landasan etik (morality), tanggungjawab (responsibility) dan kehendak bebas (free will) yang mampu menggerakkan pemeluknya menjadi kekuatan 2. pembebas dari determinasi ideologi-ideologi multitheism yang menindas. Filsafat Penciptaan Manusia Masalah manusia adalah hal yang paling penting dari segala masalah. Beberapa pertanyaan pokok diajukan untuk menjelaskan betapa pentingnya masalah seputar kemanusiaan dalam Islam. Apakah manusia makhluk yang lemah dan tidak mempunyai daya di hadapan Penciptanya? Benarkah Islam menginginkan lemahnya keluhuran martabat manusia? Benarkah yang keyakinan terhadap Islam itu sendiri akan menyebabkan manusia? Inilah pertanyaan-pertanyaan

berdimensi filosofis yang perlu diuraikan jawabannya. Ali Syariati menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas dengan menguraikan filsafat penciptaan manusia.[13] Sebelum Allah menciptakan Adam sebagai wakil-Nya di muka bumi, Allah memberitahu kepada para malaikat. Mendengar rencana Allah untuk menciptakan manusia tersebut para malaikat menanggapinya dengan sikap pesimistis, terutama tentang bayang-bayang kerusakan yang akan timbul di muka bumi. Namun pesimisme mereka dijawab langsung oleh Allah dengan mengatakan bahwa Ia lebih mengetahui apa saja yang mereka tidak ketahui. Menurut Ali Syariati Allah menciptakan manusia sebagai wakil-Nya (khalifah) dari bentuk yang paling rendah, yaitu tanah, dan kemudian ditiupkan ruh kepadanya maka lahirlah manusia. Dengan demikian manusia diciptakan oleh Allah dari dua hakikat yang berbeda, yaitu tanah bumi dan ruh yang suci. Dalam bahasa manusia, tanah (lumpur) adalah symbol dari kerendahan dan kenistaan, dan dalam bahasa manusia juga, Tuhan adalah Dzat Maha sempurna dan Maha suci. Dalam setiap makhluk, bagian yang paling suci adalah spirit atau ruhnya. Oleh karena itu, menurut Ali Syariati,

manusia adalah makhluk dua dimensional dengan dua arah kecenderungan, yang satu membawanya ke bawah kepada stagnasi sedimenter, ke dalam hakikatnya yang rendah, sementara dimensi lainnya (ruh) cenderung naik ke puncak spiritualnya yaitu ke Dzat yang Maha suci.[14] Dengan mendasarkan pada asal kejadiannya, manusia merupakan makhluk yang mempunyai dua kutub yang kontradiktif. Akan tetapi kebesaran dan kejayaannya yang unik justru berasal dari kenyataan bahwa ia adalah makhluk yang bersifat dua dimensional. Dua kecenderungan yang dimiliki oleh menusia berebut ruang dominasi pada dirinya karena manusia memiliki kebebasan untuk memilih dua pilihan di antara dua kutub yang kontradiktif tersebut. Setiap pilihan yang diambil manusia sebagai cermin kebebasan yang dimilikinya akan menentukan nasibnya. Setelah Allah menyelesaikan penciptaan atas manusia, Allah kemudian memberikan pengajaran tentang nama-nama, sebagai simbol gagasan tentang pengajaran dan pendidikan. Pada posisi demikian, Tuhan adalah guru pertama manusia, dan pendidikan pertama manusia bermula dengan menyebutkan nama-nama. Setelah itu Tuhan memerintahkan kepada seluruh

malaikat untuk bersujud kepadanya dan bersujudlah para malaikat itu. Fakta inilah yang menurut Ali Syariati merupakan arti sebenarnya dari humanisme.[15] Menurut Ali Syariati keutamaan paling menonjol dari manusia adalah kekuatan kemauannya. Ia adalah satu-satunya makhluk yang dapat bertindak melawan dorongan instingnya; sesuatu yang tidak dapat dilakukan oleh makhluk lain. Kemauan bebas yang dimiliki manusia itulah yang dapat menjadi penghubung kedekatannya dengan Tuhan. Pertemuan kedekatan manusia dengan Tuhan adalah karena manusia lahir dari bagian Ruh Tuhan. Dengan demikian apa yang sama dari manusia dengan Tuhan adalah dimensi ruhnya yang melahirkan konsep kemauan bebas berkehendak dalam keadaan demikian, manusia memerlukan kehadiran agama yang mampu menyeimbangkan dan menyelaraskan dimensi-dimensi yang saling bertentangan yang ada dalam dirinya dan masyarakatnya.[16] Dengan memperhatikan kerangka berfikir yang dikembangkannya nampak bahwa Ali Syariati adalah seorang intelektual dengan jiwa pemberontak yang anti kemapanan (status quo) yang cenderung tiran. Ia sendiri melakukan

pemberontakan dengan memberikan gagasan revolusioner untuk membangun kesadaran umat dalam mencapai kualitas hidupnya. 3. Pergerakan Sosial Yang dimaksud dengan program praksis adalah langkahlangkah penerapan (program aksi) dari ide, gagasan, pemikiranpemikiran yang telah dibangun oleh seseorang.[17] Setelah Ali Syariati merumuskan gagasannya tentang pandangan tentang dunianya, ia lalu mengajukan pertanyaan dari mana mesti kita mulai? Pertanyaan ini merupakan masalah strategi sosial dan bukan masalah ideologi. Untuk memulai menjawab pertanyaan di atas Ali Syariati melihat adanya kesenjangan dan tidak adanya komunikasi intensif antara pemikir-cendekiawan dengan rakyat jelata. Selama ini para cendekiawan menjadi komunitas eksklusif yang hidup di sangkar emas dan di menara gading tanpa bisa memahami keadaan rakyat mereka. Ali Syariati mengkritik para cendekiawan Muslim yang jauh dari komunitas rakyat.[18] Kaum intelektual yang dapat melakukan transformasi sosial adalah kaum intelektual yang tercerahkan (raushanfekr). Profil kaum intelektual yang tercerahkan tidaklah harus memperoleh gelar akademik. Kaum intelektual yang tercerahkan

adalah individu-individu yang mempunyai tanggungjawab sosial dan mempunyai misi sosial. Oleh karenanya tidak semua intelektual tercerahkan. Banyak intelektual justru hanya menjadi budak-budak kapitalisme yang hanya bekerja secara manual dan tidak mempunyai tanggungjawab sosial.[19] Konsepsi kaum intelektual yang tercerahkan sebagaimana digagas Ali Syariati, menyiratkan obsesinya agar para intelektual Muslim mempunyai basis intelektualitas yang memadai sekaligus mempunyai kepekaan sosial, profil manusia yang mampu menyeimbangkan kekuatan nalar kognitif dan nalar sosial, kesalehan individual dengan kesalehan sosial. Salah satu cara mengenali potensi umat Islam, menurut Ali Syariati, adalah memahami taxonomi budaya kita sendiri. Misalnya, Yunani mempunyai budaya filosofis, Romawi mempunyai budaya militer dan artistik, India mempunyai budaya spiritualistik dan masyarakat kita mempunyai budaya Islam dan religius. Adapun yang dimaksud dengan taxonomi budaya adalah semangat umum yang menentukan badan pengetahuan (body of knowledge), karakteristik-karakteristik, perasaan, tradisi, pandangan dan cita-cita rakyat dari suatu masyarakat. Dengan mengenal taxonomi budaya suatu masyarakat kita akan

mengenal kebenaran terdalamnya, kepekaan-kepekaan batinnya dan perasaan-perasaan yang tersembunyi.[20] Semangat dominan kebudayan Islam adalah keadilan dan kepemimpinan. Untuk menemukan kembali semangat tersebut, menurut Ali Syariati, kita perlu membangkitkan semangat protestanisme Islam Istilah Protestantisme yang dilekatkan pada Islam merupakan upaya Ali Shariati meminjam istilah Marx Weber yang menggambarkan gerakan kelompok Kristen Protestan untuk keluar dari kungkungan dogma dan mencari spirit agama yang sejati. Menurut tesis Max Weber, agama adalah ideologi yang menimbulkan perubahan, ketika ia membicarakan etika Protestan dan ruh kapitalisme.[21] Agar seorang Muslim yang tercerahkan dapat melakukan hal-hal sebagai berikut: 1. Menyaring dan menyuling sumbersumber daya masyarakat kita dan mengubah penyebab kebobrokan menjadi kekuatan atau gerakan; 2. Mengubah konflik antar kelas dan kelompok sosial menjadi suatu kesadaran akan tanggungjawab sosial melalui pemanfaatan kesenian, menulis, dan berbicara; 3. Menjembatani kelompok yang tercerahkan dengan kelompok yang tertindas; 4. Mencegah agar senjata agama tidak jatuh pada mereka yang tidak patut

memilikinya untuk tujuan-tujuan pribadi; 5. Mengusahakan kebangkitan kembali agama untuk memerangi ketakhayulan; 6. Menghilangkan semangat peniruan dan kepatuhan dalam beragama dengan menggantinya dengan semangat ijtihad yang kritis dan revolusioner.[22] Semua itu dilakukan agar umat Islam keluar dari jeratan tiga musuh Islam yang disimbolkan dengan Firaun (penguasa politik tiran), Qarun (penguasa ekonomi) dan Balam (kaum cerdik gadungan), sementara satu golongan dikorbankan yaitu rakyat.[23] Kepada Islamlah kita harus kembali, bukan hanya karena ia merupakan agama masyarakat kita, landasan moral dan spiritual kita, tetapi juga karena ia merupakan diri manusiawi dari rakyat kita. Kita harus keluar dari kolonialisme Barat dan melepaskan diri dari memuja yang lain untuk menjadi diri kita sendiri dan membangun kesadaran manusiawi serta membangun kesadaran sejarah dan keaslian kita dengan kembali pada Islam dengan semangat tauhid sebagai sumbu pembebasan manusia.[24] Dengan demikian konsep tauhid adalah mabda (tempat bermula) sebuah kesadaran diri dan gerakan pembebasan diri

untuk

menciptakan

tatanan

kehidupan

yang

adil

dan

bermartabat.

[1] Hamid Fahmi Zarkasyi, Worldview, http://insistnt.com. Diakses pada 12 September 2008. [2] Ali Syariati, Islam: Mazhab Pemikiran dan Aksi., Op.cit., h. 20. [3] Ibid., h. 24-25. [4] Ali Syariati, Man In Islam. terj. M. Amin Rais, Tugas Cendekiawan Muslim, (Cet.II; Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2001), h. 22-24. [5] Ibid., h. 25-26. [6] Ibid., h. 34. [7] Ibid., h. 35. [8] Robert Heck and Dawud Reznik, The Islamic Thought of Ali Shariati and Sayyid Qutb, Mod ern Islamic Thought (May, 2007): 2. [9] Ali Syariati, Tugas Cendekiawan Muslim, Op.cit., h. 37-44. Juga dapat dilihat Kritik Ali Shariati terkait dengan kegagalan humanisme Barat dalam memposisikan manusia dalam bukunya, Marxism and Other Western Fallacies , translated by. R. Campbell (Berkeley: Mizan Press, 1980), pp. 15-26. [10] Ali Syariati, Tugas Cendekiawan Muslim, Op.cit., h. 3738. [11] Ibid., 37-44. Juga dapat dilihat dalam, Marxism and Other Western Fallacies, Op.cit., h. 15-26. [12] Dalam pandangan Ali Shariati, Tauhid as the unity of nature with metanature, of man with nature, of man with man,

of God with the world and with man. Lihat Robert Heck and Dawud Reznik, The Islamic Thought of Ali Shariati, p. 9. [13] Ali Syariati, Tugas Cendekiawan Muslim. Op.cit., h. 1-2. [14] Ibid., h. 6-7. Lihat juga NS Suwito, Transformasi Sosial: Kajian Epistemologis Ali Syariati Tentang Pemikiran Islam Modern (Yogyakarta: Unggun Religi, 2004), h. 140-142. [15] Ali Syariati, Tugas Cendekiawan Muslim, Op.cit., h. 8-9. [16] Ibid., h. 17. [17] Program praksis Ali Syariati dituangkan dalam kurikulum lembaga pendidikan, tempat ia banyak menuangkan gagasangagasan revolusionernya, yaitu Husainiyah Irsyad. Program praksis Ali Shariati meliputi empat aspek pokok, yaitu bidang riset, pendidikan, dakwah dan logistik. Uraian lebih rinci tentang program aksi Ali Shariati, lihat NS Suwito, Tranformasi Sosial , h. 238-253. [18] Ali Syariati, What is To Be Done: The Enlightened Thinkers and Islamic Renaissance. terj. Rahmani Astuti, Membangun Masa Depan Islam (Bandung: Mizan, 1993), h. 2526. [19] Ibid., h. 29. [20] Ibid., h. 44 [21] Hamid Fahmi Zarkasyi, Worldview, http://insistnt.com. Diakses pada 12 September 2008. [22] Ali Syariati, What is To be Done, Op.cit., h. 52-53. [23] Ibid., h. 76. [24] Ibid., h. 82.
http://hamzah-harun.blogspot.com/2012/02/corak-pemikiran-ali-syariati.html#more

You might also like