You are on page 1of 4

Menjadikan Entrepreneurship sebagai Lifestyle

Bulan juni sampai Agustus adalah bulan saat kompetisi akbar bagi berbagai pendidikan tinggi berlomba-lomba menjaring calon mahasiswa baru. Berbagai cara hingga model promosi digunakan. Mulai dari promosi di berbagai media hingga iming-iming bea siswa bagi mahasiswa baru. Di antara sekian model promosi, ada satu cara yang hingga saat ini masih dianggap sebagai salah satu jurus ampuh untuk memikat hati para calon mahasiswa, yakni janji jika lulus, langsung bekerja. Meski pun hampir tidak ada yang telah mengadakan MOU dengan dunia usaha atau dunia industri perihal penyaluran lulusan mereka, kecuali sekolah kedinasan, tetapi mereka berani dengan lantang menginformasikan bahwa lulusan mereka bisa langsung mendapat pekerjaan. Tulisan ini tak hendak mempersoalkan kebenaran janji-janji tersebut. Tetapi, ingin mengajak pembaca untuk merenungkan tepat tidaknya pemberian janji langsung bekerja dalam situasi kekikinian. Mari kita perhatikan data berikut yang dikutip dari Antara News edisi 5 Juli 2010. Tercatat angka pengangguran sarjana di Indonesia terus merangkak naik, pada 2006 sebanyak 375.000 orang, 2007 menjadi 400.000 orang, 2008 naik menjadi 626.000 meski sempat turun pada Agustus 2008, tetapi kembali naik pada 2009 menjadi 626.621 orang. Selanjutnya, pengangguran lulusan diplomasi/akademi sebanyak 486.399. Angka total pengangguran pada 2009 mencapai 8,96 juta. ( url : http://www.antaranews.com/berita/1278344249/indonesiabutuh-4-jutaan-wirausaha ).

Data di atas menggambarkan bahwa dunia usaha/industri di negeri ini tidak mampu menyediakan lapangan kerja bagi penduduk kita. Bila situasi seperti ini terus dibiarkan, tentu akan menjadi bom waktu bagi masa depan negeri ini. Kalau jumlah lulusan pendidikan tinggi yang menganggur telah mencapai puluhan juta, bukan tidak mungkin kalau mereka akan menjadi pelaku kejahatan di berbagai bidang. Oleh karena itu, paradigma kuliah supaya mudah memperoleh pekerjaan harus segera dihentikan. Seluruh elemen bangsa, khususnya lembagalembaga pendidikan tinggi, harus mampu mengarahkan generasi muda untuk memilih jalan hidup sebagai seorang entrepreneur. Bukan lagi sebagai karyawan atau pegawai.

Selain itu, pilihan sebagai entrepreneur juga akan menjadikan bangsa ini segera terlepas dari berbagai keterpurukan. Prof. Dr. Didik J. Rachbini, dalam buku Kiat Sukses Berwirausaha menyatakan : Masalah kewirausahaan (entrepreurship) merupakan persoalan paling penting di dalam perekonomian suatu bangsa yang sedang membangun. Kemajuan atau kemunduran ekonomi suatu bangsa sangat ditentukan oleh keberadaan dan peranan dari kelompok wirausahawan ini. Jika suatu bangsa tidak memiliki modal manusia ini, jangan berharap ada kemajuan yang berarti pada bangsa tersebut. Sebaliknya, kemajuan yang telah terjadi pada suatu bangsa dapat dilihat dari keberadaan dan peranan kelompok wirausahawan ini. (Sutrisno Iwantono, Kiat Sukses Berwirausaha, 2002 : xiv). Hal ini senada dengan pendapat sosiolog, David Mc Clelland yang mengemukakan bahwa suatu negara bisa menjadi makmur bila ada entrepreneur sedikitnya 2% dari jumlah penduduk. Negara-negara maju memiliki jumlah entrepreneur lebih dari angka itu. Sebagai contoh, jumlah wirausaha di Amerika Serikat sudah mencapai 11,5 hingga 12 persen dari seluruh jumlah penduduk, di Singapura tujuh persen, China dan Jepang 10 persen, India tujuh persen, dan Malaysia tiga persen. Berapa jumlah entrepreneur kita ? Menurut Deputi Bidang SDM Kementerian Koperasi dan UKM, Neddy Rafinaldi Halim, dari sekitar 231 juta penduduk Indonesia, atau 238 juta orang versi sementara BPS, dengan penduduk usia kerja 169,33 juta tercatat memiliki wirausaha sebanyak 564.240 unit (0,24 persen dari seluruh penduduk). Padahal, jika mengikut pendapat David Mc Clelland di atas, seharusnya kita punya 4,07 juta entrepreneur. Sekali lagi, untuk mencapai angka ideal tersebut, semua elemen harus turut serta mengambil tanggung-jawab. Dan, untuk lembaga pendidikan tinggi, harus mendorong generasi muda untuk memilih jalan hidup menjadi entrepreneur. Memang sudah banyak perguruan tinggi yang memasukkan mata kuliah entrepreneurship ke dalam kurikulum mereka. Namun sayangnya keberadaan mata kuliah ini seolah lip service semata. Artinya, pelaksanaan mata kuliah ini tidaklah dikelola dengan sepenuh hati. Selain jumlah sks nya yang minim, juga diampu oleh dosen-dosen yang tidak memiliki latar belakang

berwirausaha. Akibatnya, mata kuliah entrepreneur hanyalah menghasilkan pengetahuan teori untuk dihapal. Tidak mampu memotivasi mahasiswa untuk menjadi seorang entrepreneur sejati.

Melibatkan Pelaku UKM Untuk mengelola perkuliahan entrepreneur ini seharusnya kampus melibatkan pelaku-pelaku UKM yang sukses di daerah sekitarnya masingmasing. Pengalaman mereka dalam berjibaku dan sukses dalam dunia entrepreneur merupakan modal dahsyat untuk menyebarkan virus entrepreneur kepada para mahasiswa. Dengan pengalaman tersebut, mereka akan bisa menjadi mentor yang handal bagi calon-calon entrepreneur muda untuk mengikuti jejak sukses mereka. Memang terkadang ada kendala dalam melibatkan para pelaku UKM ini di dalam dunia pendidikan. Kendala pertama, mungkin saja mereka kurang bersedia memberikan ilmu suksesnya. Ini wajar karena perkuliahan ini sama artinya dengan meciptakan kompetitor-kompetitor baru bagi mereka. Kendala selanjutnya adalah bisa jadi mereka kurang mampu menyusun pengalamannya menjadi konsep yang teratur dan terstruktur. Dan, last but not least, kesibukan mereka sebagai pengusaha kadangkala sulit untuk ditinggalkan. Untuk meng-handle kendala-kendala di atas, yang pertama kali harus dilakukan kampus adalah membentuk tim kewira-usahaan. Tim ini bersama para pelaku UKM menyusun kurikulum yang bersifat general. Artinya, kuliah yang diberikan bukanlah tentang jenis-jenis usaha yang dilakukan para pelaku UKM itu. Tetapi, adalah tentang kiat-kiat sukses; sharing mengenai masalah apa saja yang muncul di sepanjang perjalanan bisnis mereka dan bagaimana mereka mengatasinya; seluk beluk perijinan; upaya-upaya mengembangkan pasar dan lain-lain. Di samping itu juga diberikan gambaran dunia bisnis diberbagai bidang. Misalnya, bisnis franchise, bisnis online, bisnis retail, bisnis makanan dan lain sebagainya. Dari berbagai materi dari para pengusaha tersebut, tim ini bertugas menyusun materi-materi yang mereka kemukakan sehingga menjadi sistematis. Dan bila perlu melengkapinya dengan sumber-sumber lain, tentunya dengan persetujuan mereka. Selanjutnya, mengatur jadwal mengajar mereka. Semakin banyak pelaku UKM yang dilibatkan, maka jadwal mengajar mereka juga

semakin longgar, sehingga tidak terlalu menyita waktu mereka. Dan, satu tugas penting lainnya dari tim ini adalah menyediakan waktu untuk sharing dengan mereka. Tujuannya adalah mendiskusikan kesulitan-kesulitan berkaitan dengan pemberian kuliah di kelas. Manfaat yang diperoleh dari model kelas entrepreneurship seperti itu bagi mahasiswa adalah, selain mendapatkan bimbingan berharga dari para pelaku UKM yang telah sukses, juga memiliki jaringan dengan kalangan pengusaha. Bukankah memiliki kenalan orang-orang sukses merupakan modal sosial yang mahal bagi mereka ketika mulai membuka usaha setelah lulus ? Dan, harapan paling penting dari program mendekatkan anak-anak muda dengan para entrepreneur adalah agar mental entrepreneur ship bisa menjadi lifestyle mereka.

You might also like