You are on page 1of 5

HUKUMAN MATI

Hukuman mati ialah suatu hukuman atau vonis yang dijatuhkan pengadilan (atau tanpa pengadilan) sebagai bentuk hukuman terberat yang dijatuhkan atas seseorang akibat perbuatannya. Pada tahun 2005, setidaknya 2.148 orang dieksekusi di 22 negara, termasuk Indonesia. Dari data tersebut 94% praktek hukuman mati hanya dilakukan di empat negara: Iran, Tiongkok, Arab Saudi, dan Amerika Serikat. Studi ilmiah secara konsisten gagal menunjukkan adanya bukti yang meyakinkan bahwa hukuman mati membuat efek jera dan efektif dibanding jenis hukuman lainnya. Survey yang dilakukan PBB pada 1998 dan 2002 tentang hubungan antara praktek hukuman mati dan angka kejahatan pembunuhan menunjukkan, praktek hukuman mati lebih buruk daripada penjara seumur hidup dalam memberikan efek jera pada pidana pembunuhan. Tingkat kriminalitas berhubungan erat dengan masalah kesejahteraan atau kemiskinan suatu masyarakat dan berfungsi atau tidaknya institusi penegakan hukum. Hingga Juni 2006 hanya 68 negara yang masih menerapkan praktek hukuman mati, termasuk Indonesia, dan lebih dari setengah negara-negara di dunia telah menghapuskan praktek hukuman mati. Ada 88 negara yang telah menghapuskan hukuman mati untuk seluruh kategori kejahatan, 11 negara menghapuskan hukuman mati untuk kategori kejahatan pidana biasa, 30 negara negara malakukan moratorium (de facto tidak menerapkan) hukuman mati, dan total 129 negara yang melakukan abolisi (penghapusan) terhadap hukuman mati. Dalam rangka menghindari kesalahan vonis mati terhadap terpidana mati, sedapat mungkin aparat hukum yang menangani kasus tersebut adalah aparat yang mempunyai pengetahuan luas dan sangat memadai, sehingga Sumber Daya manusia yang disiapkan dalam rangka penegakan hukum dan keadilan adalah sejalan dengan tujuan hukum yang akan menjadi pedoman didalam pelaksanaannya, dengan kata lain khusus dalam penerapan vonis mati terhadap pidana mati tidak

adalagi unsur politik yang dapat mempengaruhi dalam penegakan hukum dan keadilan dimaksud. Di Indonesia sudah puluhan orang dieksekusi mati mengikuti sistem KUHP peninggalan kolonial Belanda. Bahkan selama Orde Baru korban yang dieksekusi sebagian besar merupakan narapidana politik. Walaupun amandemen kedua konstitusi UUD '45, pasal 28 ayat 1, menyebutkan: "Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di depan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun", tapi peraturan perundang-undangan dibawahnya tetap mencantumkan ancaman hukuman mati. Kelompok pendukung hukuman mati beranggapan bahwa bukan hanya pembunuh saja yang punya hak untuk hidup dan tidak disiksa. Masyarakat luas juga punya hak untuk hidup dan tidak disiksa. Untuk menjaga hak hidup masyarakat, maka pelanggaran terhadap hak tersebut patut dihukum mati. Hingga 2006 tercatat ada 11 peraturan perundang-undangan yang masih memiliki ancaman hukuman mati, seperti: KUHP, UU Narkotika, UU Anti Korupsi, UU Anti terorisme, dan UU Pengadilan HAM. Daftar ini bisa bertambah panjang dengan adanya RUU Intelijen dan RUU Rahasia Negara. Vonis atau hukuman mati mendapat dukungan yang luas dari pemerintah dan masyarakat Indonesia. Pemungutan suara yang dilakukan media di Indonesia pada umumnya menunjukkan 75% dukungan untuk adanya vonis mati. Ada beberapa kelompok yang menginginkan penghapusan hukuman mati dengan alasan hukuman mati tidak manusiawi. Namun mereka lupa bahwa hukuman mati itu hanya dikenakan pada penjahat yang memang sadis seperti memperkosa dan membunuh korbannya. Jika mereka tidak membunuh orang yang tidak berdosa, niscaya tidak akan dijatuhkan hukuman mati.

Jika hukuman mati dihapuskan, maka para pembunuh sadis (dan juga pengacaranya) akan bergembira ria. Mereka tidak akan segan-segan untuk membunuh orang karena toh hukumannya juga ringan. Karena dipenjara beberapa tahun juga bebas. Akibatnya kejahatan yang sadis seperti pembunuhan, perampokan, perkosaan akan merajalela. Karena hukumannya sangat ringan. Oleh karena itu dalam Al Quran Allah memerintahkan hukum mati bagi para pembunuh sadis: Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash (hukum mati) berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh..[Al Baqarah:178] Jika hukuman mati diterapkan, masyarakat akan merasa aman. Karena para calon pembunuh akan berpikir 7 kali untuk membunuh korbannya. Jika mereka membunuh, mereka akan dihukum mati. Seandainya mereka nekat membunuh dan dihukum mati, niscaya itu adalah pembunuhan terakhir yang mereka lakukan. Mereka tidak akan bisa membunuh lagi. Tidak akan ada istilah penjahat kambuhan/residivis bagi pembunuh. Oleh karena itu Allah menyatakan hidup akan aman dengan adanya qishaash: Dan dalam qishaash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, hai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa [Al Baqarah:179] Dalam Alkitab sendiri sebenarnya diperintahkan hukuman mati untuk pembunuh:

Janganlah engkau merasa sayang kepadanya, sebab berlaku: nyawa ganti nyawa, mata ganti mata, gigi ganti gigi, tangan ganti tangan, kaki ganti kaki [Ulangan 19:21] Delapan pakar hukum dari tujuh perguruan tinggi ternama di Indonesia setuju pemberlakuan hukuman mati tanpa syarat bagi produsen dan pengedar narkotika. Atas nama keadilan, hakim berhak mencabut nyawa seseorang. Hal itu terungkap dalam sidang uji materi Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika di Mahkamah Konstitusi, Rabu (20/6). Dari sembilan pakar hukum pidana yang dimintai keterangan di Mahkamah Konstitusi, hanya Mardjono Reksodiputro dari Universitas Indonesia yang menyatakan pemberlakuan hukuman

mati harus disertai syarat. Menurut dia, penjelasan hukuman mati dalam UU tentang narkotika harus dibarengi dengan beberapa syarat, karena termasuk kategori pidana khusus. "Bisa digunakan pidana mati percobaan. Artinya, terpidana mati dihukum dulu 10 tahun penjara. Kalau dapat memperbaiki diri, diubah menjadi hukuman seumur hidup atau penjara 20 tahun," ujarnya. Mardjono mengatakan, apabila terpidana mati tidak dieksekusi selama 10 tahun, hak negara untuk melakukan eksekusi menjadi kedaluwarsa dan pidana mati harus diubah menjadi pidana seumur hidup. Syarat lain, keputusan hakim ketika menjatuhkan vonis juga harus bulat. "Kalau ada descending opinion (pendapat berbeda), maka tidak bisa dijatuhi pidana mati." Anggota Komisi Hukum Nasional itu berpendapat pemerintah saat ini masih ragu-ragu melakukan eksekusi mati. Banyak kasus yang membuktikan terpidana mati mendapatkan status yang tidak jelas ketika menunggu waktu eksekusi. Menurut dia, kalau pemerintah masih ingin memberlakukan hukuman mati, harus ada syarat pidana khusus atau penghapusan total. Salah satu pakar hukum yang mendukung hukuman mati tanpa syarat adalah Didik Endro Purnomo, ahli hukum pidana dari Universitas Airlangga Surabaya. Menurut dia, ketentuan hukuman mati tidak melanggar UUD 1945 karena hak hidup tidak berlaku bagi seseorang yang telah melakukan tindak pidana. Apalagi kehidupan bernegara akan terancam jika generasi muda dirusak oleh narkotika. "Undang-undang narkotika merupakan upaya untuk melindungi masyarakat." Sidang uji materi Undang-Undang tentang Narkotika yang mengundang pakar hukum dari Universitas Indonesia, Universitas Gadjah Mada, Universitas Sumatera Utara, Universitas Airlangga, Universitas Jember, Universitas Parahiyangan, dan Universitas Pattimura juga menyatakan setuju dengan pemberlakukan hukuman mati bagi produsen dan pengedar narkotika. Pengujian undang-undang tersebut diajukan oleh Scott Anthony Rush, salah satu dari 9 warga Australia (kasus Bali 9) yang dijatuhi hukuman mati karena menyelundupkan 5.121 gram heroin ke Bali. (E1)

You might also like