You are on page 1of 4

SEJARAH VIDEO

PARTISIPATORIS
A. AWAL MULA
Pada banyak literatur komunikasi partisipatif, Tahun 1967, di Pulau Fogo dianggap sebagai
kelahiran video partisipatoris (e. g. Riano 1994, Media Development 1989). Hal ini berawal
pada Tahun 1965, ketika Don Snowden dari Universitas Memorial Newfoundland, Kanada
membaca laporan the Economic Council of Canada tentang kemiskinan di Kanada. Dia tidak
setuju dengan laporan tersebut ketika mereka menggunakan ukuran kemiskinan dengan nilai-
nilai perkotaan. Snowden kemudian memiliki ide untuk memproduksi sejumlah film tentang
bagaimana masyarakat di Newfoundland melihat kemiskinan dan dan masalah lainnya.

Ia ingin menunjukkan bahwa kemiskinan tidak harus berarti penurunan kondisi ekonomi
belaka. Kemiskinan dapat juga berarti isolasi dan ketiadaan akses media informasi dan
komunikasi dan juga kelemahan organisasi. Dia kemudian bekerja dengan pembuat film
lainya Colin Low. Mereka berdua kemudian mendiskusikan 4 atau 5 area di Newfounland
yang potensial difilmkan. Akhirnya Pulau Fogo, sebuah pulau kecil di pesisir timur
Newfounland, Kanada, dipilih sebagai tempat potensial terbaik sebagai inisiasi awal, yang
akhirnya dikenal sebagai “Fogo Proses”

Tahun 1967 ada sedikitnya 5.000 orang tinggal di Pulau Fogo, mereka tinggal di 10
permukiman yang tersebar yang tidak banyak saling berkomunikasi. Pulau ini mewakili jenis
pulau yang terisolasi, kurang informasi, dan lemah organisasi yang ingon Snowden
tunjukkan sebagai alternatif indikator kemiskinan di provinsi. Pulau Fogo juga sedang
mengalami penurunan ekonomi. Ketergantungan pada industri perikanan selama 300 tahun,
menurun tajam, memaksa 60% laki-laki di bawah batas kesejahteraan. Hal ini memberi
kemungkinan untuk memindahkan pemukiman (pemerintah saat itu telah memutuskan
bahwa masyarakat tak akan dapat hidup melalui perikanan lebih lama lagi dan harus
direlokasi ke area Newfounland lain yang lebih bernilai secara ekonomi). Masyarakat tidak
ingin untuk pindah, tetapi dengan minimnya komunikasi antar warga, organisasi yang buruk,
kurangnya pemerintah lokal dalam masyarakat, kurangnya kerjasama ekonomi dan kurang
percaya diri, gambaran itu terlihat lebih suram.

Snowden percaya bahwa masyarakat dapat membentuk koperasi dan menjadi terorganisir
sehingga mereka dapat menjaga kehidupan mereka sendiri. Dia bersama dengan timnya
Menggunakan film untuk membantu masyarakat dalam melihat masalah mereka. Ini
membantu menolong masyarakat mengatasi masalahnya dengan membangun koperasi dan
melaksanakan pembangunan. Masyarakat tidak cukup nyaman mendiskusikan isu yang
berkembang dengan cara tatap muka, tapi mereka sangat nyaman menerangkan pandangan
individu melalui film. Dan film itu diputar lagi di masyarakat lain untuk mendapatkan opini
lain lagi dari masyarakat. Dengan melihat film, mereka mulai menyadari bahwa mereka
memiliki persoalan yang sama dan perlu untuk memecahkan secara bersama.

Hasil film itu kemudian dibawa ke pemerintah untuk diperlihatkan. Hasilnya sungguh
mengejutkan karena masyarakat diundang langsung oleh pemerintah untuk membicarakan
persoalannya. Film tersebut dapat dibuat untuk berbagi pengetahuan dan mencari keputusan
bersama antara anggota masyarakat dengan pembuat keputusan

Melalui video eksperiment tersebut, Snowden dengan koleganya dikenal dengan nama
Proses Fogo, yang mampu secara inovatif mengubah program pemerintah dan kemudian
berkembang ke Artic, Alaska, Afrika dan Asia.

B. BAGAIMANA BERKEMBANG
Tahun 1970-1980 video partisipatoris berkembang dengan banyak macamnya, tersebar dan
tidak terdokumentasi dengan baik. Ini menyebabkan sulit untuk mengidentifikasi
kecenderungan dalam pembangunan. Banyak proyek berjalan pada skala kecil dengan
anggaran terbatas, seringkali tidak saling diberitahukan dengan proyek lain yang serupa dan
sedang berjalan. Pertukaran pengalaman terjadi hanya di dalam konferensi, workshop dan
komunikasi informal. Satu impresi yang tertinggal adalah beberapa perancang proyek video
telah mengembangkan konsep pengalaman video partisipatoris dengan lengkap untuk
mereka sendiri. Mereka berpendapat bahwa pendekatan kultural yang sensitif dan fleksibel
seperti video partisipatoris tak bisa distandarisasi dan dibuat panduan performance dan
diturunkan pengalamannya dengan wilayah lain. (Media Development 1989).Namun di
beberapa proyek di Afrika, Asia dan Amerika Latin digambarkan ada sebuah usaha untuk
memberikan ide kasar tentang keragaman proyek video partisipatoris di negara berkembang.

a.Dekontruksi Identitas di
Kolombia
Di amerika latin, banyak proyek video partisipatoris dijalankan. Di inspirasi dari
pendidikan Freireian banyak media di masyarakat berinisiatif memunculkan
pernyataan tandingan pada media massa yang dikontrol pemerintah. Mereka
berposisi dengan menunjukkan sesuatu yang lain daripada sekedar telenovela sepanjang hari.
Rodriguez (1994), mengambil satu contoh dari sejumlah produksi cerita produksi video dari
wanita kolombia. Bagi perempuan colombia yang tinggal di daerah marginal bogota,
langkah pertama belajar membuat video bukan berarti meniru apa yang mereka lihat di
televisi tiap hari. Pernyataan yang diungkapkan oleh salah seorang perempuan itu
menggambarkan rasa ketidaknyamanan: “ kita tidak cukup cantik bagaimana dapat kita
menjadi aktris televisi?” hanya sebentar sesudah mereka mampu membuat produksi, mereka
memiliki peluang untuk mempresentasikan kenyataan sebenarnya dari rumah, keluarga,
teman, kota mereka, dan lainnya. Video membantu sebuah proses untuk menemukan
identitas individual dan kolektifnya, melalui berbagi pandangan mereka untuk melakukan
aksi bersama.

b.Preservasi Budaya di Brazil


Indian Kayapo dari Brazil telah menggunakan video untuk menjaga tradisi kultural untuk
generasi selanjutnya (Ogan 1989). Pertengahan 1980an beberapa antropologiwan tinggal di
kayapo untuk memproduks sebuag dokumentasi konvensional tentang kayapo. Orang
kayapo bagaimanapun dapat merealisasikan bahwa mereka dapat menggunakan video untuk
tujuan mereka sendiri juga. Mereka meminjam perlengkapan video dari antropologist
danmulai merekam apa yangmereka miliki. Mereka menemukan bahwa video adalah media
yang cukup mudah digunakan untuk menjaga tradisi dan pengetauan untuk generasi yang
akan datang. (orang tua kayapo takut kehilangan pengetahuan lokal sejak ornagmuda kayapo
tidak tertarik pada tradisi/ adat pada suatu ketika). Meski kekayaan pengetahuan mereka
kebanyakan tidak tertulis. Mereka dapat mengembangkan ketrampilan dengan kamera secara
mentakjubkan. Pada kasus ini menunjukkan bahwa video tidak terlalu rumit sebagai sebuah
teknologi untuk meminggirkan masyarakat pedesaan.

c.Video Letters di Nepal


Untuk mengembangkan komunikasi antara perempuan di pedesaan dan pemerintah di
perkotaan, perempuan di desa mencatat pertanyaan yang menjadi perhatian mereka yang
berhubungan dengan kekerasan dalam rumah tangga atau kasus perceraian dengan video dan
mengirimkan ke proyek pelayanan hukum untuk wanita di kota katmandu. Dari katmandu,
mereka menerima jawaban solusinya melalui rekaman video juga. Melalui itu video
membantu perempuan itu mendapatkan gambaran informasi tentang posisi hukumnya dan
memobilisasi mereka untuk memproteksi haknya. Dalam latihan untuk proyek berikutnya,
mereka menyatakan bahwa mereka perlu memperjuangkan tempat dalam pertemuan
masyarakat yang didominasi laki-laki, dimana banyak persoalan yang memerlukan
keputusan bersamanya. Diinspirasi dan diberdayakan lewat pengalaman video, mereka
berjuang mendapatkan tempat itu. (Ogan 1989).

d.Berkontribusi Pada Kebijakan


Pembangunan di Tanzania
Di tanzania utara, pendapat kaum penggembala dalam perencanaan
pengelolaan taman nasional ngorongoro direkam dalam video.ngoro-ngoro
adalah wilayan yang digunakan untuk berbagai macam tujuan. Taman nasional
ini memiliki keanekaragaman, daerah tujuan wisata safari, sumber pendapatan
yang penting untuk pemerintah dan juga didiami oleh 40.000 gembala (Taylor
and Johansson 1996). Perencanaan pengelolaan yang baru mendeklarasikan
komitmennya untuk melakukan secara partisipasi. Bagaimanapun, ketika
anggota FTPPmengunjungi permukiman di Maasai, tak ada yang mendengar
apa-apa tapi mengeluh tentang perencanaan pengelolaan. Anggota FTPP
merekam keluhan dan mengeditnya, yang mana akan ditunjukkan pada
perencana yang bertanggungjawab. Video itu mengekspose bahwa Masyarakat
di Maasai tidak seluruhnya merasa cukup terlibat dalam proses perencanaan.
Mereka mengkritik proses yang tidak partisipatif dan isi dokumen perencanaan.
Video ini menunjukkan jarak perbedaan antar kelompok dalam proses
perencanaan. Beberapa ahli konservasi, lembaga penyandang dana, ilmuwan
dan pemimpin lokal mengklaim bahwa proyek video tersebut bias dan tidak
dapat dipertanggungjawabkan. Yang lain melihat kesaksian yang kuat untuk
argumentasi masyarakan Maasais dan mendukung penulisan kembali
perencanaan tersebut. Dalam peninjauan, masyarakat Maasais tidak dapat
mencapai lebih banyak lagi, tetapi menurut Johansson, mereka akan bernasib
lebih jelek lagi jika proyek video ini tidak dilakukan.
e.Pemberdayaan Perempuan di
India
Pengalaman Video SEWA (Stuart 1989) adalah yang paling sering dijadikan contoh. Dari
video partisipatoris. SEWA (Self-Employed Women’s Association) berdiri tahun 1972 di
India dengan tujuan mengorganisir perempuan miskin di perkotaan. Sejak mendirikan
organisasi perempuan dalam bentuk koperasi yang bertujuan untuk mendukung proteksi
hukum bagi perempuan, mengembangkan akses perempuan ke pasar dll. Tahun 1984,
Martha Stuart, seorang pionir dalam video partisipatoris, menyelenggarakan workshop di
SEWA. Perempuan yang menghadiri workshop banyak yang tidak bisa membaca dan
menulis dan bahkan belum pernah melihat kamera video sebelumnya, sangat terkesan
dengan kemampuan video. Ini menginspirasi mereka untuk membentuk koperasi video
SEWA. Sejak itu video menjadi bagian dari kegiatan SEWA. Video digunakan untuk
menyebarkan informasi, meningkatkan kesadaran tentang masalah sosial atau ekonomi,
menjangkau pengambil keputusan dan sebagai media pelatihan. Contoh konkrit, video
digunakan untuk menyiapkan pekerja pelinting rokok melawan ketidakadilan terhadap kerja
dan pemotongan pembayaran dari kontraktor.

C. VIDEO PARTISIPATORIS DI
INDONESIA
Dimulai dari Tual
Di Indonesia, perkembangan video partisipatoris dimulai pada tahun 1990 an. Diawali dari
Tual, sebuah kota di Maluku Tenggara Mereka menggunakan video sebagai alat untuk
pendidikan masyarakat dan kampanye untuk menuntut hak-hak mereka terhadap sumber
daya alam. Proses yang mereka gunakan masih sangat sederhana, dan bahkan sering tanpa
proses editing. hasilnya…

Perkembangan video partisipatoris sangat lambat, karena harga peralatan sangat mahal saat
itu. Hanya LSM yang mendapat dana dari Lembaga Donor yang mampu membeli peralatan.
Beberapa mulai tumbuh di Kalimantan, Maluku Tengah, Jawa, Sumatera Utara. Tidak jelas
sudah berapa yang hasil produksinya, karena sulit sekali mendapatkannya.
….

Perkembangan video partisipatoris mulai berkembang akhir tahun 1990 an dan terus
berkembang hingga kini, seiring dengan semakin murahnya harga peralatan. Selain itu
semakin berkembang pula varian dari video partisipatoris ….

You might also like