You are on page 1of 98

RINGKASAN ILAH LADAMAY, Aspek-Aspek Konservasi Dalam Tradisi Perladangan Berpindah Di Sulawesi Tenggara.

Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari strategi adaptasi peladang yaitu dengan membandingkan komponen biofisik dan komponen sosial ekonomi peladang dengan usaha-usaha pertanian menetap dalam satu siklus ladang (tiga tahun) . Komponen biofisik yang diteliti meliputi sifat fisik dan kimia tanah, pertumbuhan gulma dan tingkat serangan hama tanaman. Penilaian terhadap sifat fisik dan kimia tanah dilakukan dengan cara membandingkan antara kriteria sifat fisik kimia tanah yang dikeluarkan oleh Pusat Penelitian Tanah Bogor (1983) dengan hasil pengukuran di ladang dan plot percobaan. Pengumpulan data gulma menggunakan metoda garis (line intersept) kemudian menghitung indeks nilai penting (INP). Dasar penilaian tingkat serangan hama tanaman menggunakan kriteria yang dikeluarkan oleh Direktorat Perlindungan Tanaman Pangan (1981). Komponen Sosial Ekonomi yang diteliti adalah perbandingan manfaat dan biaya antara ladang dengan plot percobaan dengan menggunakan analisis net benefit cost ratio (net B/C) serta sikap dan persepsi peladang terhadap iklim, tanah dan hutan dengan menggunakan analisis Chi- kuadrat. Penelitian ini berlokasi di Desa Aoma Kecamatan Konda Kabupaten Kendari Sulawesi Tenggara. Hasil penelitian terhadap tanah menunjukkan bahwa baik pada ladang maupun plot percobaan terjadi penurunan semua parameter seperti pH tanah berubah dari agak masam menjadi masam sampai sangat masam, kandungan bahan organik menurun dari sedang menjadi rendah sampai sangat rendah, KTK berubah dari sedang menjadi rendah sampai sangat rendah, pori aerasi berubah dari rendah menjadi sangat rendah dan permeabilitas berubah dari buruk menjadi sangat buruk.

Perubahan sifat kimia dan fisik tanah di ladang diikuti dengan perubahan formasi gulma yang berada di atasnya. Walapun Euphatorium sp. tetap

memperlihatkan dominansi dari tanam pertama sampai tanam ketiga, tetapi INP-nya terns menurun yaitu dari 92,32 pada tanam, pertama menjadi 85,56 pada tanam kedua dan 68, 03 pada tanam ketiga. Di lain pihak Imperata cylindrica sebagai salah satu gulma yang berbahaya memperlihatkan peningkatan,INP yaitu dari 14,66 pada tanam pertama menjadi 27, 64 pada tanam kedua dan 42, 90 pada tanam ketiga. Pertumbuhan gulma pada tanam ketiga di plot percobaan didominasi oleh Ageratum sp. dengan INP 146,84 dan kemudian diikuti oleh Euphatorium sp., Cynodon sp. dan Paspalum sp. Tidak diketemukan Imperata cylindrica pada plot percobaan disebabkan oleh kegiatan penyiangan yang teratur. Hama tanaman yang ditemukan adalah penggerek batang, walang sangit dan ulat grayak. Pada tanam pertama dan kedua baik di ladang maupun di plot percobaan jenis-jenis hama yang ditemukan masih berada di bawah ambang batas ekonomi, sedang pada tanam ketiga semuanya telah berada di atas nilai ambang batas ekonomi. Berdasarkan hasil pengukuran di atas, maka dapat dikatakan bahwa komponen ekosistem merupakan pembatas yang kuat pada sistem pertanian di lingkungan perladangan. Usaha-usaha manipulasi ekosistem dengan pemberian input ternyata tidak memberikan perubahan yang baik pada kondisi biofisik. Hal ini tidak saja terjadi pada plot percobaan tetapi juga pada sistem pertanian yang lebih lugs dalam masyarakat tani di Sulawesi Tenggara, seperti pada pertanian lahan keying dan sawah. Pola tanam di ladang adalah --umpang sari padi dan jagung. Pada tanam pertama padi ditanam dengan kepadatan populasi lebih tinggi dibanding jagung, sedang tanam kedua populasi jagung lebih tinggi. Biaya yang dikeluarkan oleh peladang terns menurun dari tanam pertama hingga tanam ketiga yaitu Rp. 576.000,- pada tanam pertama, Rp. 422.000,- pada tanam kedua dan Rp. 351.000,- pada tanam ketiga. Penurunan biaya pada setiap musim tanam karena adanya beberapa kegiatan seperti pembukaan lahan dan

pembuatan pagar yang memerlukan tenaga kerja yang banyak tidak lagi dilaksanakan. Sedang biaya yang dikeluarkan pada plot percobaan adalah tetap yaitu Rp. 599.950,-. Rata-rata produksi padi pada ladang untuk tanam pertama adalah 2,684 ton/ha, 1,816 ton/ha pada tanam kedua atau turun 32,34% dan 1,160 ton/ha pada tanam ketiga turun 56,78% terhadap tanam pertama dan 36,12% terhadap tanam kedua. Sedang produksi jagung 2,693 ton/ha pada tanam pertama, 3,365 ton/ha pada tanam kedua atau naik 24,95% terhadap tanam pertama dan 1,441 ton/ha pada tanam ketiga, turun 46,49% dari produksi tanam pertama dan 133,5% dari tanam kedua. Sebagai perbandingan rata-rata hasil padi gogo di Sulawesi Tenggara adalah 1,690 ton/ha, padi sawah 3,922 ton/ha dan jagung 1,775 ton/ha. Apabila dikonversikan ke dalam nilai kalori, dengan angka konversi 359 kalori/100 gr beras dan 355 kalori/100 gr jagung maka pada tanam pertama jumlah kalori yang dihasilkan untuk padi dan jagung adalah 17.268.598 kal./ha pada tanam kedua 17.161.302 kal./ha dan pada tanam ketiga 8.447.070 kal./ha. Produksi plot percobaan pada tanam pertama hingga ketiga relatif tetap yaitu pada tanam pertama 9.477.600 kal./ha. tanam kedua 9.563.760 kal./ha dan pada tanam ketiga 8.630.360 kal./ha. Rata-rata lugs lahan yang dikerjakan adalah 0,7 ha per kepala keluarga per tahun maka rata-rata produksi nyata adalah pada tanam pertama 9.011.175,7 kalori, pada tanam kedua 12.012.911,4 kalori dan pada tanam ketiga 5.912.949,0 kalori. Sedang hasil bersih setelah bagi hasil adalah pada tanam pertama 6.307.822,9 kalori, pada tanam kedua 8.409.037,98 kalori dan pada tanam ketiga 3.895.675,8 kalori. Hasil bersih yang diperoleh pada tanam ketiga ini telah berada di bawah kebutuhan kalori untuk satu rumah tangga dengan 6 anggota keluarga yaitu 4.599.000 kalori. Kondisi seperti ini terjadi karena adanya kebiasaan beberapa rumah tangga tidak mengerjakan lahannya dan mereka hanya mengharapkan bagi hasil.

Analisis net B/C menunjukkan bahwa selama satu siklus ladang memiliki nilai net B/C = 2,77, lebih besar dibanding dengan plot percobaan yaitu nilai net B/C = 1,58. Hal ini menunjukkan bahwa pengalokasian sumberdaya pada ladang lebih baik. Atau dengan kata lain strategi yang dijalankan oleh peladang sudah tepat untuk kondisi lingkungan seperti yang dihadapi dalam satu siklus. Peladang lebih optimis dalam menghadapi musim kemarau karena menurut mereka dengan kemarau yang cukup panjang akan memberikan hasil yang baik pada produksi ladang pada tahun berikut dan juga hasil-hasil di luar ladangseperti hasil hutan, rawa dan buah-buahan akan meningkat. Hasil pengujian Chi-kuadrat antara persepsi dan sikap peladang terhadap tanah menunjukkan nilai X2 hltnng = 7, 7. > X2 tabel 0.05 db=l = 3,84, berdasarkan hipotesis berarti tidak ada hubungan antara persepsi dan sikap. Perbedaan ini disebabkan karena adanya kesenjangan antara pengetahuan teori yang dimiliki dengan keterampilannya, sehingga walaupun mereka mengetahui bahwa cara-cara lama yang dikerjakan tidak menguntungkan, tetapi karena terbatasnya keterampilan maka cara-cara seperti berpindah dan membakar di atas lahan terns dilakukan. Hasil pengujian Chi-kuadrat persepsi dan sikap peladang terhadap hutan menunjukkan nilai X',,,tu., = 0,386 < dari X2 tabel 0,05 db=1 = 3,84, berdasarkan hipotesis berarti ada hubungan antara persepsi dan sikap peladang terhadap tanah. Tetapi nilai koefisien kontingensi c = 0,08, berarti hubungan antara persepsi dan sikap sangat lemah. Hal ini dapat terjadi karena mereka menyadari hutan memberikan kontribusi energi yang besar bagi rumah tangga peladang, tetapi karena terbatasnya keterampilan untuk mempertahankan tingkat kesuburan ladang maka mereka akan tetap merombak hutan untuk dijadikan ladang. Perladangan ditinjau dari komponen biofisik lahan menunjukkan bahwa faktor-faktor ekologis merupakan pembatas yang kuat dalam pengembangannya. Kondisi ini juga terjadi pada sistem pertanian menetap. Aspek-aspek konservasi

yang berkaitan dengan pengelolaan komponen biofisik seperti cara penanaman dengankepadatan yang berbeda-beda cukup berhasil, hal ini ditandai dengan peningkatan produksi kalori pada tanam kedua perlu diikuti dengan usaha-usaha pengaturan jarak tanam dan cara menanam secara tandur jajar. Penanaman dengan cara menugal berkaitan dengan minimum tillage, untuk mengurangi erosi tetapi harus memenuhi persyaratan seperti penggunaan mulsa. Apabila penggunaan mulsa jerami padi dan jagung diterapkan akan dapat memberikan keuntungan ganda yaitu lahan tidak dibakar dan mulsa dapat memperkaya bahan organik dan memperbaiki sifat fisik dan kimia tanah. Dari aspek sosial ekonomi strategi peladang dapat dikatakan tepat, karena memiliki nilai net B/C yang lebih baik untuk satu siklus tanam selama tiga tahun. Tetapi adanya kebiasaan-kebiasaan bagi hasil akibat beberapa rumah tangga tidak membuka lahan mengakibatkan produksi yang seharusnya dapat memenuhi kebutuhan kalori satu rumah tangga menjadi berkurang. Penggunaan sumber-sumber energi yang berasal dari hutan, rawa, bunggu, sagu dan ternak menggambarkan diversifikasi sumber energi dan penggunaan secara lestari karena bersiklus. Tetapi sumber-sumber ini perlu ditingkatkan produktivitasnya melalui usaha-usaha budidaya untuk menjaga kesinambungannya. Keterampilan peladang perlu ditingkatkan untuk menghindari persepsi dan sikap yang berbeda terhadap sumberdaya, karena perbedaan pandangan dalam masyarakat dan kecenderungan perbuatannya akan sangat sulit menetapkan program yang tepat.

Berkenaan dengan beberapa kendala dalam mengembangkan perladangan yang bertumpu pada tradisi mereka maka subsidi pemerintah mutlak diperlukan untuk meningkatkan keterampilan peladang dan memajukan usahatani yang berkesinambungan yang berorientasi pada lingkungannya.

KATA PENGANTAR

Atas berkat Rahmat Allah Subhanawataala, tulisan ini dapat diselesaikan. Tulisan ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Ucapan terima kasih yang sedalam-dalamnya dan tulus penulis sampaikan dengan hormat kepada Bapak Ir. Syafii Manan M.Sc., Bapak Prof. Dr. S.M.P. Tjondronegoro dan Bapak Dr. H. Suwardjo, selaku Komisi Pembimbing, atas pembinaan dan fasilitas yang diberikan sejak persiapan penelitian sampai selesainya penulisan Tesis ini. Kepada Direktur Program Pascasarjana IPB, Pengelola TMPD, Ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan dan Staf, penulis mengucapkan terima kasih atas segala bantuan dan kerjasamanya. Terima kasih yang mendalam penulis sampaikan kepada Rektor Universitas Haluoleo Kendari, Bapak Dr. Ir. Soleh Solahuddin, M.Sc., Dekan Fakultas Pertanian Universitas Haluoleo Kendari Bapak Ir. Mahmud Hamundu M.Sc. atas bantuan dan kesempatan yang diberikan untuk mengikuti Program Magister Sains di IPB. Penulis panjatkan doa dan syukur kepada almarhum Ayah dan Bunda tercinta atas keberhasilan ini. Kepada Bapak Drs. Suleman sekeluarga dan juga seluruh keluarga penulis mengucapkan banyak terima kasih atas segala bantuannya. Khusus kepada Istri tercinta Masyhura Ladamay dan anakanakku tersayang Muhammad Rifai, Meryam Faradibah dan Mariana Filda Fadillah atas dorongan, pengertian dan doa restu, yang senantiasa mengiringi penulis. Akhirnya semoga tulisan ini dapat bermanfaat dan Allah swt. senantiasa melimpahkan rahmat kepada kita semua. Amin!

RIWAYAT HIDUP

Penulis adalah anak ketujuh dari tiga belas bersaudara, dari Ayah O.M.N. Ali Ladamay dan Ibu Rapidjah Laduani. Dilahirkan di Tanah-Merah (Digul) Irian Jaya pada tanggal 18 November 1958. Lulus Sekolah Dasar Khatolik Bambu Pemali Merauke tahun 1970, tahun 1973 lulus Sekolah Teknik Mesin di Merauke, Tahun 1979 lulus STM Pembangunan di Ujung Pandang dan tahun 1980 lulus SMA Muhammadyah di Kendari. Pada tahun 1980 melanjutkan pada Fakultas Pertanian Universitas Haluoleo jurusan Sosial Ekonomi dan lulus pada tahun 1986. Sejak tahun 1986 sampai sekarang menjadi dosen tetap pada Fakultas Pertanian Universitas Haluoleo Kendari. Pada tahun 1990 mendapat tugas belajar di Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor dan mengambil program studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan.

PENDAHULUAN Latar Belakang Perladangan berpindah memiliki sejarah yang panjang dalam peradaban manusia, karena bentuk ini diidentifikasikan sebagai peral iihan dari berburu dan meramu ke bentuk pertanian menetap yang telah berlangsung sejak ribuan tahun. Berbagai bukti arkeologis menunjukkan bahwa pusat-pusat peradaban manusia seperti di Asia Barat Daya dan Meksiko Timur Laut telah berkembang sejak ribuan tahun sebelum masehi, (Wolf, 1983). Dari pusat-pusat peradaban ini tata cara budidaya tanaman dan hewan menyebar dengan berbagai kecepatan yang berbeda-beda ke pelbagai arch sesuai dengan tuntutan iklim baru dan kebutuhan-kebutuhan sosial baru. Karena berbagai kondisi tuntutan itu menyebabkan bentuk-bentuk budidaya ini menyebar tidak merata dari satu tempat ke tempat lain juga dari satu sistem kemasyarakatan ke sistem kemasyarakatan lainnya. Perdebatan antara kendala ekologis yang menciptakan karakteristik sosial tertentu atau kendala ekologis hanya memberikan sumbangan yang kecil terhadap pembentukan karakteristik sosial, masing-masing memiliki alasan dan bukti-bukti yang sama baiknya. Proses adaptasi manusia dengan lingkungan, menciptakan berbagai ciri kebudayaan dan Sulawesi Tenggara merupakan salah satu daerah di Indonesia yang sebagian besar penduduknya terutama penduduk setempat mempraktekkan cara perladangan berpindah. Bentuk perladangan yang akan dibahas adalah perladangan yang dilakukan oleh suku Tolaki yaitu salah satu dari empat suku yang berdomisili di

Jazirah Sulawesi Tenggara. Perladangan di kalangan suku Tolaki disebut mondau, dalam prakteknya bentuk ini merupakan pertanian tebas bakar, seperti bentuk perladangan lazimnya. Pembukaan hutan dilakukan dengan menebas semak-semak kemudian pohonpohon yang berukuran besar dan setelah hasil tebasan mengering lalu dibakarPenanaman dilakukan dengan cara menugal, tindakan pemeliharaan hanya dengan membuat pagar untuk menghindari babi hutan dan setelah ditanam tiga sampai empat musim lahan tersebut ditinggalkan. Siklus ini berlangsung dalam suatu areal yang terbatas yang diistilahkan dengan areal subsisten yang luasnya dapat mencapai 15 - 20 ha, tetapi yang dimanfaatkan setiap tahun rata-rata 0,7 ha. Pertambahan penduduk berbarengan dengan kemajuan teknologi dewasa ini, menyebabkan bentuk perladangan dirasakan tidak sesuai lagi, karena penggunaan lahan yang boros. Tetapi masalahnya bukan hanya pada teknik agronomi saja, di dalamnya terkait berbagai masalah ekologi, social ekonomi dan kebudayaan. Pertanyaannya kini adalah apakah tradisi berpindah setelah tanam ketiga atau keempat merupakan strategi yang tepat dan apakah pada saat itu kondisi biofisik ekosistem sebagai faktor pembatas tidak menunjang lagi untuk berproduksi? Tujuan dan Manfaat Penelitian Penelitian ini akan mempelajari cara-cara peladang mengelola lahannya yaitu dengan cara membandingkan kondisi biofisik dan produksi ladang dengan usahausaha pertanian menetap, yang menerapkan teknologi pertanian. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang kondisi biofisik lahan bekas perladangan dan kondisi sosial ekonomi masyarakat ladang,

untuk usahausaha peningkatan kesejahteraannya. Hipotesis Penelitian 1. Pada tanam ke tiga kondisi biofisik ekosistem ladang berada dalam

keadaan yang rapuh (fragile). 2. Tradisi peladang yang berpindah setelah tanam ke tiga merupakan

strategi yang tepat ditinjau dari segi produktivitas untuk kurun waktu tersebut, sepanjang lahan masih cukup tersedia.

TINJAUAN PUSTAKA Sistem Perladangan Bentuk pertanian yang dilaksanakan di atas lahan kering dan umumnya tersebar di daerah tropic dikenal sebagai perladangan. Berdasarkan ciri aktivitas dalam sistem ini, maka Bering disebut sebagai perladangan berpindah atau pertanian tebas bakar. Suatu sebutan yang berkonotasi kurang baik dalam sistem pertanian. Berdasarkan lamanya daur penggunaan lahan bentuk pertanian dapat dibedakan atas (1) sistem usahatani menetap, (2) sistem usahatani bera dan (3) sistem perladangan (1-'.--syad, 1989). Klasifikasi ini didasarkan pada nilai indeks penggunaan lahan (R) yang dihitung berdasarkan lamanya lahan dimanfaatkan (N) dan lamanya lahan tidak ditanami (M). Rumus yang digunakan adalah:
R = N x 100 .......................... (1) N +M

Bila nilai R berkisar antara 66 - 300 disebut sistem usahatani menetap, R lebih kecil dari 66 dan lebih besar dari 33 disebut sistem usahatani bera, sedang bila R sama dengan atau kurang dari 33 disebut perladangan. Klasifikasi ini menarik bila dikaitkan dengan konsep regionalisms yang secara sosiologis ditemukan keterpaduan antara manusia dengan alamnya. Sistem kemasyarakatan yang manusia masih begitu tergantung pada alam, maka ruang yang dibutuhkan lebih lugs dari pada suatu kondisi kemasyarakatan yang ketergantungannya pada alam terbatas. semakin besar nilai R maka ketergantungan manusia kepada alam semakin kecil yang berarti tingkat pengelolaan ekosistem semakin intensif.

Kendala dalam perladangan adalah ketersediaan air yang dibutuhkan untuk pertumbuhan tanaman. Dengan demikian maka pengaturan waktu tanam sangat tergantung pada musim hujan. Di lain pihak diketahui bahwa pada daerah-daerah hutan hujan tropik-sebagian hara tersimpan dalam biomasa vegetasi (Manan, 1976), seperti ditunjukkan pada Gambar 1.

Keterangan : Serasah LJ Tanah [M. Da u n k',-I Y

Gambar 1. Diagram dstribusi karbon organik 250 ton/ha yang tertimbun dalam komponen biotik (kayu, dawn) dan abiotik (tanah, serasah di daerah sedang (northern coniferus forest) dan di daerah tropika (tropical rain forest). Sumber: Ovington, 1962 dalam Manan,.1976. Pembukaan hutan yang diikuti dengan pemanfaatan sebagai lahan pertanian tanpa diikuti dengan upaya konservasi mengakibatkan, dalam beberapa musim akan terjadi penurunan produksi dengan cepat. Penurunan produksi yang cepat tidak dapat diatasi hanya dengan subsidi energi (pemberian pupuk), tetapi juga harus

ditunjang dengan ketersediaan air yang cukup seperti melalui pembangunan irigasi. Hal ini berarti memerlukan investasi yang besar. Sistem yang telah dijalankan oleh masyarakat setempat mungkin sekali tepat untuk kondisi dengan kendala seperti itu. Karena terbentuknya tradisi suatu masyarakat adalah melalui suatu proses yang panjang, yang pada akhirnya dapat teradaptasi. Cara-cara penggunaan lahan yang bersifat ekstensif pada perladangan memang rasanya kurang sesuai lagi untuk kondisi dewasa ini, disebabkan lahan merupakan sumberdaya yang terbatas. Tetapi alasan ini perlu dihayati berkaitan dengan berbagai kondisi sosial ekonomi masyarakat perladangan dan juga kondisi elrologinya, yang pada akhirnya keputusan akan jatuh pada pengalokasian sumberdaya yang paling menguntungkan. Disamping mondau, suku Tolaki Di Sulawesi Tenggara membedakan sistem pertanian atas, mepombahora dan megalu. Mondau merupakan sistem yang paling sederhana dimana masyarakat masih bersifat sangat nomad sedang mepombahora adalah sistem pertanian yang pemukiman penduduk telah menetap, tetapi lahannya berpindah-pindah. Megalu, adalah bersawah, yang dilakukan pada daerah genangan atau sekitar rawa, atau yang lebih dikenal dengan sawah tadah hujan. Dengan sekali membuka lahan yang berukuran antara 0,4 - 1,1 ha atau ratarata 0,7 ha. Hasan (1987) menyatakan mereka dapat berproduksi dengan hanya mengandalkan input tenaga kerja. Input tenaga kerja itupun akan berkurang pada

setiap musim tanam karena kegiatan yang harus dilakukan tidak sebanyak pada saat membuka hutan dan memagar ladangnya. Walaupun produksi pada setiap musim tanam berkurang, tetapi penurunan produksi juga diikuti dengan penurunan input. Steggerda (1941) mendapatkan bahwa produksi tahun kedua hanya mencapai 80% dari tahun pertama. Penurunan produksi juga bersamaan dengan penurunan tingkat kesuburan tanah seperti yang dikemukakan oleh Cogwil (1962) yang mempelajari masalah tanah di Peten Tenggah. Ia mendapatkan bahwa terjadi penurunan pH 1,3%, bahan organik 6 - 8%, N total 5 - 9%, fospor 1,8%, potasium 19,6%, magnesium 30% dan kalsium 15%. Tetapi akibat pembakaran ternyata menaikkan kandungan potasium dan mangan. Penurunan unsur-unsur ini berimbang dengan penurunan produksi. Pengaruh terbesar dari pH terhadap pertumbuhan tanaman adalah pada ketersediaan unsur hara. Menurut Harjadi (1979) pH tanah yang cocok (6 - 7) untuk pertumbuhan sangatlah vital. Nilai pH yang terlalu tinggi ( >9 ) atau terlalu rendah (<4) sudah merupakan racun untuk akar-akar tanaman. Hubungan yang umum antara pH tanah dan ketersediaan unsur hara tanaman dikemukakan oleh Foth (1991) pada Gambar 2 berikut ini :

Keasaman tinggi

Keasa Kea- Kea- Keba- Keba- Keba- Kebasaan tinggi man saman saman saan saan saan sedang rendah sangat sangat rendah sedang rendah rendah

Gambar 2. Hubungan antara pH Tanah dan Ketersediaan Unsur Hara Tanaman (Sumber : Foth, 1991) Pada Gambar 2 terlihat bahwa ketersediaan unsur hara bervariasi menurut pH tanah. Unsur-'unsur seperti aluminium, besi dan mangan akan memberikan reaksi toksik pada tanaman untuk tanah-tanah masam. Oleh karena itu Foth (1991) memberikan dua alternatif pendekatan untuk menjamin tanaman akan tetap tumbuh tanpa hambatan pada tanah-tanah dengan kendala derajat kemasaman tertentu yaitu 1) tanaman dapat dipilih (diseleksi) yang akan tumbuh baik pada pH yang sudah ada atau 2) pH tanah dapat diubah sesuai dengan keinginan tanaman. Selanjutnya Steggerda (1941) juga melihat hubungan antara gulma dengan perladangan. Dari pengamatan terhadap 86 jenis gulma yang berkompetisi dengan jagung pada musim tanam kedua, ternyata bahwa perakaran jagung masih dapat

berkembang 10 - 15% dibanding dengan tanam tahun pertama. Walaupun terlihat perakaran jagung masih mampu berkembang, tetapi dengan bertambahnya populasi gulma akan menurunkan kesuburan tanah dan bersama itu juga terjadi penurunan produksi (Vine 1953) dalam Steggarda (1941). Secara keseluruhan Walters (1971) mengatakan bahwa sifat-sifat tanah di daerah tropik dan juga kendala iklim, terutama curah hujan menyebabkan tidak memungkinkan suatu lahan diusahakan secara terns menerus tanpa diikuti oleh pemberian input yang tinggi. Di samping itu masalahmasalah ekologi juga perlu dipertimbangkan seperti perubahan ekosistem dari tingkat keanekaragaman yang tinggi menjadi suatu lahan pertanian yang monokultur yang mana keseimbangannya sangat terganggu. Sehubungan dengan itu Greenland dan Nye (1959) dalam Jiriskoupy (1978), telah melakukan penyelidikan terhadap bahan-bahan organik yang ada dalam tanah pada lahan-lahan perladangan dan lahan bekas perladangan dan menemukan bahwa satu tahun tanam wajib mengistirahatkan tanah empat tahun, dua tahun tanam wajib mengistirahatkan tanah tujuh tahun dan tanah-tanah yang telah ditanam tiga tahun berturut-turut wajib diistirahatkan 10 tahun. Untuk kriteria yang terakhir yaitu bila lahan diistirahatkan selama 10 tahun, akan sejalan dengan mekanisme suksesi sebagaimana yang digambarkan oleh Whitten (1987). Suatu bagan suksesi hutan di Sulawesi dikemukakan oleh Steup (1931, 1933, 1939a,b), Bloembergen (1940), Wirawan (1981) dan Rerung (1983)dalam Whitten (1987) seperti pada Gambar 3.

BUMBU

Pertanian berpindah secara berulang dengan waktu istirahat singkat atau gangguan lain berulang-ulang

HUTAN PENDEWASAAN

HUTAN PENGEMBANGAN

Penebangan pohon secara selektif HUTAN TERGANGGU pembersihan pinggir jalan perusahaan kayu

Pertanian berpindah 2 tahun ditanami dan ditinggalkan 15-30 tahun pisang hutan jahe hutan dan Piper pisang hutan jahe hutan dan Piper anducus anducus Macaranga Anthocepphalus Homalanthus Nauclea

Penebangan pohon secara keseluruhan

PENGOLAHAN TINGKAT I

ditinggalkan setelah beberapa tahun

Melastoma Eupatorium Ficus

masa istirahat pendek dan pembakaran sering

PENGOLAHAN TINGKAT II

pembakaran tidak sering terjadi

Imperata Melastoma Morinda Fragrea

Pembakaran berulang-ulang

Rumput Arundinella Themeda Axonopus

Pembakaran sekali-sekali

Pakis Dicranopteris pteridium

Pembakaran tidak sering terjadi

Gambar 3.

Bagan Suksesi Hutan di Sulawesi Sumber : Steup (1931, 1933, 1939a, b) Bloembergen (1940), Wirawan (1981) dan Rerung (1983) dalam Whitten (1987).

Menurut Whitten (1987), yang terpenting dari suatu ekosistem pertanian adalah produktivitas, stabilitas dan pemulihan kembali (sustainabilitas).

Perladangan dari sudut pandang sosiologis dapat mencakup ketiganya. Dengan lugs areal subsisten yang memadai maka ketiga aspek di atas dapat terjamin. Bahkan mungkin secara ekonomi dan ekologi juga menguntungkan. Perladangan sebagai suatu depot logistik bagi masyarakat ladang dengan cara usaha yang tidak intensif memungkinkan mereka memiliki cukup kesempatan untuk memanfaatkan berbagai sumberdaya yang tersedia di sekitar mereka. KEPAS (1990), membuat suatu bagan alir input-output tentang sistem, perladangan di Irian Jaya dan system

berdasarkan model ini dimodifikasi untuk melihat bagan alir input-output perladangan di Sulawesi Tenggara, seperti pada Gambar 4.

Gambar 4. Diagram Input-Output Sistem Perladangan di Sulawesi Tenggara. (Sumber : KEPAS, 1990)

Model input-output perladangan juga dikemukakan oleh Deshmukh (1988), yang meneliti perladangan berpindah di daerah Tsembaga, Papua New Guinea. Ditinjau dari subsidi energi manusia, sistem perladangan berpindah menunjukkan tingkat efisiensi pemanfaatan energi dan nisbah output-input yang tinggi yaitu 15 : 1. Hal ini disebabkan karena di samping energi yang dihasilkan dalam bentuk produksi pertanian tanaman pangan, para peladang juga mendapatkan output energi berupa daging hewan (ternak babi), daging hewan buruan dan hasil hutan lainnya. Model input output yang dikemukakan seperti pada Gambar 5.

Gambar 5.

Arus Energi Dalam Sistem Perladangan Berpindah di Tsambaga, Daerah Pegunungan di Papua New Guinea. Angka-angka Menunjukkan Jumlah Unit Energi Dalam Kj /M2 /tahun (Sumter: Deshmukh 1988).

Ekosistem Manusia Konsep tentang produktivitas ekosistem dalam hubungannya dengan relevansi dari teori perkembangan ekosistem terhadap ekologi manusia, akan dipilih sebagai dasar dari kajian ekosistem manusia, sebagaimana yang dikemukakan oleh Clapham (1976). Perbedaan antara strategi manusia dan alam dalam perkembangan ekosistem sesuai konsep produktivitas adalah bahwa alam memaksimalkan produksi kotor sedang manusia memaksimumkan produksi bersih (Odum 1971). Peningkatan produksi bersih oleh manusia dilakukan dengan memberikan subsidi energy kedalam ekosistem yang dibudidayakan. Energi yang disubsidi dapat berupa bahan bakar fosil, binatang, energi kerja manusia ataupun energi kimia dalam bentuk pupuk buatan dan obat-obatan. Usaha-usaha ini ditunjukkan untuk mencapai suatu efisiensi perbandingan antara produksi dan biomas yang tinggi. Usaha-usaha subsidi energi, bila dipandang dari sudut ekologi manusia, maka tindakan itu tidak lain adalah merupakan suatu tindakan pengelolaan. Untuk mempertahankan keadaan minimal dalam suatu masyarakat, diperlukan input untuk mempertahankan kondisi ekosistem. Pemberian input terbatas sampai pada tingkat tertentu dimana input yang berlebihan akan memperlihatkan sifat kejenuhan (Watt, 1981). Untuk itu maka perlu tindakan pengawasan dalam mempertahankan suatu ekosistem manusia yang produktif. Dalam hubungannya dengan usaha-usaha mempertahankan suatu ekosistem manusia yang produktif maka perlu diidentifikasi dan interpretasi secara berurutan pada batas-batas perkiraan mana suatu ekosistem dapat menunjang pertumbuhan populasi manusia. Ciapham (1976), mengemukakan tiga karakteristik ekosistem

manusia yang secara kualitas membedakannya dengan ekosistem alam. Pertama, distribusi dan fungsi dari ekosistem manusia lebih dikontrol oleh ekonomi, social dan politik daripada oleh factor alam. Kedua, sumberdaya yang didasarkan atas stabilitas ekosistem alam merupakan pembatas dari ekosistem manusia. Ketiga laju inovasi dalam ekosistem alam dan ekosistem manusia adalah secara toal berbeda. Karakteristik pertama menunjukkan bahwa dalam pengelolaan ekosistem, ada prioritas-prioritas yang berbeda dalam setiap masyarakat. Perbedaan ini sangat tergantung kepada kemampuan masyarakat beradaptasi dengan lingkungannya dan intensitas hubungan dengan masyarakat lainnya. Oleh karena itu struktur dari dua ekosistem alam yang telah diidentifikasi iklim, tanah dan topografi dapat berbeda penggunaannya jika masyarakat yang memanfaatkan mempunyai prioritas-prioritas yang berbeda atau berbeda kemampuannya. Hal ini sejala dengan apa yang digambarkan oleh Rambo (1982) mengenai lahan-lahan pertanian orang Cina dan penduduk Melayu di Semananjung Malaysia. Penekanan dari karakteristik kedua, bahwa factor alam merupakan pembatas bagi usaha pengelolaan manusia. Keterbatasan itu terletak pada sumberdaya alam yang tersedia, tingkat ekonomi, biaya-biaya social dan kepentingan-kepentingan politik. Ini berarti berlaku prinsip penjenuhan yaitu untuk banyak fenomena sering terjadi penghancuran disebabkan oleh pengeksploitasian sumberdaya yang mendekati batas maksimum (Watt, 1973). Bila dikaitkan dengan karakteristik pertama, maka dapat dilihat bahwa kemampuan manusia dalam memanipulasi ekosistemnya dari satu tempat ke tempat yang lain akan berbeda. Seberapa jauh perbedaan itu, akan tetap dibatasi oleh

karakteristik kedua, yaitu kemampuan manusia akan tetap dibatasi oleh ketersediaan sumber daya alam. Sehingga seberapa jauh kemampuan manusia memanipulasi ekosistemnya akan sangat tergantung pada keputusan-keputusan yang berhubungan dengan pertimbangan biaya manfaat, keinginan-keinginan social dan kepentingan-kepentingan politiknya. Pertimbangan-pertimbangan ini biasanya mengalahkan pertimbangan ekologi. Oleh karena itu setiap usaha-usaha manusia itu ada batasnya, dimana pada tingkat tertentu masukan yang diberikan tidak lagi memberikan respon. Artinya ada suatu batas, dimana pada batas itu akan terjadi hokum kejenuhan atau kenaikan hasil yang berkurang. Dengan demikian batas kepentingan ekosistem dapat diperkirakan melalui tingkat masukan pengelolaan. Tetapi harus diikuti dengan pengujian komponen biofisik ekosistem seperti tanah, flora dan fauna yang berhubungan erat dengan usaha-usaha budidaya. Dengan memasukkan pertimbangan ekonomi dan ekologi pada suatu ekosistem maka ada dua fenomena yang terjadi yaitu suatu perkembangan ekosistem alami melalui mekanisme suksesi dan usaha pemanfaatan ekosistem yang bergerak invers mekanisme suksesi. Bila perkembangan ekosistem itu mengikuti pertumbuhan eksponensial maka usaha-usaha pemanfaatan akan bergerak mengikuti penurunan eksponensial. Secara grafis dapat digambarkan pada gambar 6 dan 7.

Gambar 6. Grafik pertumbuhan Eksponensial Ekosistem Alam. (Sumber : Clapham, 1976)

Gambar 7. Grafik Penurunan Eksponensial Ekosistem yang dibudidayakan. (Sumber : Ciapham, 1976) Bila kedua grafik di atas dipadukan maka dapat dimengerti bahwa tindakan pengelolaan identik dengan suksesi yang dimaksudkan disini adalah bahwa bila tidak ada input maka lahan itu dapat dibiarkan sehingga pulih kembali. Untuk pulih kembali ekosistem itu juga memerlukan energi. Persoalan disini adalah bagaimana cara menyetarakan energi untuk pemulihan secara suksesi dengan energi subsidi. Kondisi ini dapat ditunjukkan pada Gambar 8.

Gambar 8.

Grafik Tekanan Balik Dari Suatu Ekosistem Yang Dimanfaatkan. (Sumber : Clapham, 1976)

ta tA adalah periode ekosistem dimanfaatkan sedang tA ta adalah periode suksesi (bera). Jika ekosistem itu dimanfaatkan secara terus-menerus maka ta-tA adalah ekivalensi subsidi energi yang diperlukan sebagai tekanan balik dari t0-ta.

Menurut Odum (1936) dan Odum dan More (1938), sumbangan sosiologi terhadap keterpaduan antara manusia dengan alam harus ditemukan dalam konsep regionalisme. Sebagai suatu pendekatan untuk mengkaji suatu system

kemasyarakatan, perlu diperhatikan perbedaan-perbedaan nyata dalam dua cirri utama yaitu cirri alam dan budaya masyarakat setempat. Dengan demikian dapat dimengerti bagaimana suatu ciri dalam masyarakat dapat terbentuk dan sesuai ciri itu kegiatan masyarakat dilakukan. Adaptasi manusia terhadap lingkungannya tidak terbentuk begitu saja, tetapi banyak dipengaruhi oleh interaksi dengan lingkungannya. Ketimpangan ekologi akan muncul bila pertimbangan-pertimbangan ekologi didominasi oleh pertimbangan social, ekonomi dan politik yang berasal dari luar system yang ada. Konservasi Konservasi didefinisikan sebagai perlindungan perbaikan dan pemakaian

sumber daya alam menurut prinsip yang akan menjamin keuntungan ekonomi atau sosial yang tertinggi secara lestari (Siswomartono, 1989). Dalam hubungannya dengan pertanian, maka pengertian konservasi akan berkaitan erat dengan konservasi tanah dan air. Batasan yang diberikan untuk konservasi tanah adalah usaha-usaha yang ditunjukkan untuk mencegah kerusakan tanah karena erosi, memperbaiki tanah yang rusak dan memelihara serta meningkatkan produktivitas tanah agar dapat dipergunakan secara lestari sedang konservasi air pada prinsipnya adalah penggunaan air yang jatuh ke tanah untuk pertanian seefisien mungkin dan pengaturan waktu aliran, sehingga tidak terjadi banjir yang merusak dan terdapat cukup air pada musim kemarau (Arsyad, 1991).

Pemanfaatan secara lestari dengan memberikan keuntungan secara ekonomi dan social tidak lain adalah upaya-upaya pengalokasian sumberdaya secara maksimal. Prinsip-prinsip pengalokasian sumberdaya secara maksimal adalah pengalokasian intertemporal yaitu factor waktu ikut menentukan dalam melihat manfaat-manfaat yang diberikan oleh suatu kegiatan (Randall, 1981). Dalam pengalokasian dan pemanfaatan sumberdaya orang akan diperhadapkan dengan berbagai pilihan penggunaan dan pilihan cara-carea penerapan teknologi yang paling menguntungkan. Konsep ekonomi yang berguna untuk menyelesaikan masalah ini adalah analisis biaya-manfaat (benefit cost analysis) dan analisis cost effectiveness (Haeruman, 1979). Pemanfaatan lahan dengan cara berpindah-pindah, yaitu tanah-tanah yang telah menurun produktivitasnya dibiarkan untuk memulihkan kondisinya melalui mekanisme suksesi, mungkin sekali merupakan alternative dari pengalokasian sumberdaya yang sesuai dengan kondisi biofisik setempat. Atau mungkin dengan penerapan teknologi, sehingga tanah tidak perlu diistirahatkan tetapi ada penggantian unsur-unsur yang terpakai melalui subsidi energi. Pilihan-pilihan ini dapat ditetapkan berdasarkan kriteria dalam analisis biaya manfaat dengan menggunakan perhitungan analisis biaya manfaat bersih (net B/C). Pertimbangan ekologi yang perlu diperhatikan sehubungan dengan kegiatan pertanian adalah masalah gulma dan serangga penganggu. Hubungan yang terpenting adalah populasi ambang batas ekonomi yaitu suatu tingkat populasi dimana sudah perlu dilakukan tindakan pengendalian (Headley, 1972). Dalam system perladangan nilai-nilai ini dapat dijadikan suatu indicator yang

menggambarkan bagaimana kondisi gulma dan serangga pada saat ladang itu ditinggalkan.

METODE PENELITIAN Pendekatan Penelitian Suatu pandangan social ekonomi dan pandangan ekologi akan digunakan

untuk mengukur tradisi berpindah dalam system perladangan berpindah, baik secara kualitatif maupun kuantitatif. Analisis biaya manfaat dalam hal ini net benefit cost (net B/C) merupakan ukuran kuantitatif, sedang ukuran-ukuran kualitatif dilihat dari tata kerja, kontribusi tenaga kerja, cara-cara pembagian hasil dan kegiatan

seremonial yang kesemuanya merupakan pandangan social ekonomi. Sedang pandangan ekologi meliputi factor-faktor pembatas biofisik, yang meliputi komponen tanah dalam hal ini sifat fisik kimia tanah, flora dalam hal ini gulma dan fauna dalam hal ini serangga penganggu. Berdasarkan pendekatan di atas maka akan dilihat apakah keputusan berpindah yang dilakukan oleh peladang setelah tanam ketiga atau keempat merupakan keputusan yang beralasan. Obyek Penelitian Areal perladangan berpindah yang terdapat di Desa Aoma Kecamatan Konda Kabupaten Kendari Provinsi Sulawesi Tenggara merupakan obyek dari penelitian ini. Peta lokasi kawasan tersebut seperti pada lampiran 13. Konsep Penjabaran Hipotesis 1. Hipotesis Pertama Pada tanam ke tiga kondisi biofisik ekosistem ladang berada dalam keadaan yang rapuh (fragile). Sebagai tolok ukur dari kondisi ekosistem ladang pada saat tanam ketiga maka akan digunakan indicator dari kondisi fisik kimia tanah, populasi ambang ekonomi gulma dan populasi ambang ekonomi hama pengganggu. a. Tanah

Kondisi fisik kimia tanah sebelum lahan dibuka dan hingga tanam ketiga berturut-turut akan diteliti. Berkaitan dengan keputusan pindah yang dilakukan oleh para peladang, maka akan diperbandingkan kondisi fisik kimia tanah setelah tanam ketiga dengan kondisi fisik kimia tanah yang disyaratkan dalam TOR Survey Kapabilitas Tanah sebagai baku mutu tanah yang dikeluarkan oleh Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat Bogor, seperti pada tabel 1. Tabel 1a. Penilaian Sifat Kimia Tanah
Sifat Tanah Sangat rendah C (%) < 1,00 N (%) < 0,10 C/N <5 P205 HCl 25% (mg/100 g) < 10 P205 Bray I (ppm) < 10 K20 HCl 25% (me/100 g) < 10 Susunan Kation : K (me/100 g) < 0,1 Na (me/100 g) < 0,1 Mg (me/100 g) < 0,1 Ca ( me/100 g) < 0,1 Kejenuhan basah (%) < 0,1 Kejenuhan Aluminium < 0,1 Cadangan mineral (%) < 0,1 Daya hantar listrik BC x 1000 (mahos/cm) <1 Sangat Masam masam pH (H20) < 4,5 4,5-5,5 Tabel 1b. Penilaian Sifat Fisik Tanah Pori Aerasi Pori (%) Pemegang Air Tersedia (%) <5 <5 5 10 5 10 11 15 11 15 16 20 > 15 > 20 Permeabilitas (cm/jam) < 0,125 0,126 0, 50 lambat 0,51 2,00 agak lambat 2,01 6,35 Sedang 6,36 12,70 Agak cepat 12,71 25,40 Cepat > 25,40 Sangat cepat Rendah 1,00-2,00 0,10 -0,20 5-10 10-20 10-15 5-10 0,1-0,2 0,1-0,2 0,1-0,2 0,1-0,2 0,1-0,2 0,1-0,2 0,1-0,2 1-2 Agak masam 5,6-6,5 Erodibilitas (Nilai K) 0 0,1 0,11 0,2 0,21 0,32 0,33 0,42 0,56 0,64 Kelas Sangat lambat Sedang 2,01-3,00 0,21 0,50 11 15 21-40 16-25 21 40 0,3-0,5 0,3-0,5 0,3-0,5 0,3-0,5 0,3-0,5 0,3-0,5 0,3-0,5 2-3 Mineral 6,6-7,5 Kelas Sangat rendah Rendah Sedang Agak tinggi Tinggi Tinggi 3,01-5,00 0,51-0,75 16-25 41-60 26-35 25-60 0,6-0,1 0,6-0,1 0,6-0,1 0,6-0,1 0,6-0,1 0,6-0,1 0,6-0,1 3-4 Agak Alkalis 7,6-8,5 Sangat Tinggi > 5,0 > 0,75 > 25 > 60 > 35 > 35 > 1,0 > 1,0 > 1,0 > 1,0 > 1,0 > 1,0 > 1,0 >4 Alkalis > 8,5

b. Gulma Identifikasi dan analisis gulma ditunjukkan untuk mengetahui jenis gulma dan pertumbuhan populasi gulma. Metoda yang akan digunakan adalah metoda garis (line intercept). Selanjutnya dilanjutkan dengan menghitung indeks nilai (INP) gulma. c. Serangga Penganggu Inventarisasi dan identifikasi serangan pengganggu dimaksudkan untuk memberikan gambaran tentang jenis dan keadaan populasi serangga pada tanam ke tiga dan menetapkan populasi ambang ekonominya. Ukuran populasi ambang ekonomi ditentukan berdasarkan pedoman dari

Pengendalian Hama Tanaman Pangan, Direktorat Perlindungan Tanaman, Direktorat Jenderal Tanaman Pangan Departemen Pertanian seperti pada Tabel 2. Tabel 2. Daftar Ambang Ekonomi atau Ambang Toleransi Beberapa Hama Tanaman Padi di Indonesia Ambang Ekonomi /Toleransi Intensitas serangan sundep/beluk : 10% 1-2 kelompok telur/m2. Nima/imago 5 ekor/rumpun pada tanaman berumur 40 hari dan 20 ekor/rumpun pada tanaman berumur 40 hari setelah tanam. Nimfa/imagoes sebanyak 10 ekor per ayunan /jarring. Nimfa atau imago 2 ekor/m2 Intensitas serangan 5% pada tanaman berumur 40 hari setelah tanam. Satu ekor per rumpun

Jenis Hama 1. Penggerak batang padi (Tryporita incertulas) 2. Wereng coklat (Nilaparvata lugens)

3. 4. 5. 6.

Wereng hijau (Nephottetix : spp.) Walang sangit (Leptocorisa spp) Ganjur (Orsello oryzae)

7. Kepinding tanah (Scotinophora spp) 8. Hama putih palsu (Cnaphalacrasis

medinalis) Hama putih (Nyumphula depunctalis) 9. Ulat grayak (Spodoptera mauritia)

Intensitas serangan 10% Intensitas serangan 10%

Sumber :

Dua ekor ular per m2 Rekomendasi Pengendalian Hama Tanaman Pangan di Indonesia, Direktorat Perlindungan Tanaman Pangan (1981) Berdasarkan uraian diatas namakan kaidah pengujian hipotesis kedua

adalah sebagai berikut : Terima Ho jika : Ttext > Ttext, G1 > Gme, S1 > Sam Keterangan : Ttext Ttext G1 Gme S1 Sme = = = = = = kondisi sifat fisik dan Kimia tanah ladang kondisi sifat fisik dan kimia yang disyaratkan dalam TOR Populasi gulma ladang Populasi gulma ambang ekonomi Populasi serangga ladang Populasi serangga ambang ekonomi

2. Hipotesis Kedua Tradisi peladang yang berpindah setelah tanam ketiga merupakan strategi yang tepat Net B/C merupakan ukuran yang akan digunakan untuk mengukur secara kuantitatif keputusan mereka untuk berpindah setelah tanam yang ketiga. Ukuran ini dimaksudkan untuk melihat tingkat pengalokasian sumberdaya yang paling menguntungkan. Cara-cara membuka hutan untuk berproduksi mungkin merupakan cara yang menguntungkan untuk kondisi ekosistem dengan Pembatas biofisik seperti tanah, iklim, flora, dan fauna yang ada di lingkungan masyarakat peladang. Sebaliknya usaha-usaha pemberian input seperti pemupukkan dan lainnya secara keseluruhan usaha-usaha itu kurang mendatangkan hasil.

Sebagai suatu strategi adaptasi, masyarakat lokasi umum telah mengetahui berdasarkan pengalamannya bagaimana cara mereka untuk dapat

mempertahankan kelangsungan hidupnya. Strategi yang dilakukan harus dapat memberikan nilai tambah atau paling tidak harus dapat memberikan nilai tambah atau paling tidak harus seimbang dengan korbannya sehingga mereka dapat tetap bertahan. Hubungan antara komponen biotic dan antibiotic baik yang bersifat alami ataupun artificial seperti upaya pemupukkan dan introduksi jenis-jenis baru (eksotik), digambarkan oleh Clapham, (1976) sebagai hubungan timbale balik yang dipengaruhi perjalanan waktu. Hubungan-hubungan antara independen variable (IV) seperti iklim (temperature, curah hujan dan angin), variable dependen biotic seperti biomasa, populasi dan lainnya digambarkan dalam suatu diagram struktur umum dari ekosistem manusia. Hubungan-hubungan ini diperlihatkan pada gambar 9.

Gambar 9.

Diagram Mekanisme Gambaran Umum Causal Stratum dari Suatu Ekosistem dari Suatu Ekosistem Manusia = = = variabel-variabel ekosistem mekanisme hubungan antar variabel Independen variabel Iklim mikro - Temperature - Curah hujan - Angin - Kelembaban Topografi - Kemiringan Batuan induk Dependen Biotik Variabel Kelimpahan spesies dalam komunitas - Biomasa - Kelimpahan - Kepadatan - Populasi - Kepadatan ekologis Populasi Tingkat laku dan pertumbuhan populasi Dependen Abiotik Variabel Sifat tanah - Tekstur - Komposisi humus

Keterangan : Lingkaran oval Kotak persegi IV

DBA

DAV

- KTK - pH DAA, DBB dan DAB = Hubungan variabel dalam system RDAA, RDBB dan RDAB = Hubungan antar variabel DAM dan DBM = pengelolaan abiotik dan biotic. Hubungan-hubungan ini memperlihatkan upaya pengelolaan dalam bentuk berbagai usaha manipulasi seperti adanya berbagai penambahan langsung (subsidi) energi manusia. Secara ekonomi hubungan-hubungan ini dapat tergambar dalam formulasi net benefit-cost (net B/C) yang merupakan suatu kriteria penting dalam melihat pengalokasian sumberdaya. Disini makin jelas terlihat bahwa net B/C dapat merupakan ukuran yang baik untuk melihat strategi adaptasi manusia dalam ekosistem alam. Untuk melihat sampai sejauh mana hasil yang diberikan maka akan dilakukan suatu analisis net B/C dari system perladangan. Sedang sebagai pembanding akan dilakukan pula analisis net B/C pada plot-plot pertanaman yang diusahakan di lahan yang sama dengan menggunakan berbagai input berdasarkan rekomendasi dari hasil penelitian tanah. Berdasarkan uraian di atas maka pernyataan hipotesis pertama diuji dengan menggunakan kaidah sebagai berikut : Terima Ho jika : Net B/C ladang > Net B/Cplot Hipotesis pertama ini juga berfungsi untuk melihat sampai sejauhmana tingkat manfaat yang dapat diberikan atas kedua system tersebut. Pengumpulan Data Data yang diperlukan terdiri dari data primer yang dikumpulkan secara langsung melalui percobaan di lapangan dan wawancara serta data sekunder yang

bersumber dari instansi yang terkait. Parameter dan jenis data yang akan dikumpulkan dilakukan sebagai berikut. 1. Data Ekosistem a. Tanah Data mengenal sifat fisik dan kimia tanah bersumber dari Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat Bogor, yang saat ini sedang melakukan percobaan tentang pemanfaatan lahan alang-alang dan lahan bekas perladangan di lokasi yang sama. b. Gulma Data mengenai jenis dan populasi gulma diukur secara langsung dilapangan dengan menggunakan metoda garis (line intercept). c. Serangga Penganggu Data mengenai jenis dan populasi serangga penganggu diidentifikasi secara langsung di lapangan dengan berpatokan pada rekomendasi pengendalian hama tanaman pangan, yang dikeluarkan oleh Direktorat Perlindungan Tanaman. 2. Data Sosial Ekonomi a. Data yang diperlukan untuk menghitung net B/C ladang meliputi (1) data produksi yang dikumpulkan secara langsung dengan membuat ubinan berukuran 10 x 10 meter . Jumlah ubinan Sembilan buah, yang tersebar sebanyak tiga buah pada masing-masing kelas tanah yang ada, (2) data mengenal biaya-biaya yang dikeluarkan, dikumpulkan dengan cara wawancara, yang terdiri dari biaya tenaga kerja dan pengeluaran lainnya.

b.

Data yang diperlukan untuk menghitung net B/C plot pertanaman terdiri dari (1) data produksi yang diukur secara langsung dari plot yang berukuran 5 x 20 m, dengan berbagai perlakuan, seperti ditunjukkan pada denah percobaan di lapangan (Lampiran 14), dan (2) data mengenai biayabiaya yang dikeluarkan dihitung berdasarkan input yang direkomendasikan dan tenaga kerja yng diperlukan untuk itu.

c.

Data mengenai tradisi masyarakat perladangan meliputi tata kerja, kontribusi tenaga kerja, kontribusi tenaga kerja, persepsi dan sikap terhadap lingkungan serta kegiatan seremonial. Pengumpulan data

dilakukan dengan cara wawancara. Analisis Data Data yang terkumpul diolah dan dihitung dengan menggunakan rumus dan patokan yang berlaku. 1. Komponen Biofisik a. Tanah Analisis mengenal kondisi tanah yaitu sifat fisik dan kimia tanah dilakukan dengan cara membandingkan contoh tanah yang diambil pada ladang dan kriteria tanah yang dikeluarkan oleh Pusat Penelitian Tanah Bogor tahun 1983.

b. Gulma Data gulma yang terkumpul akan dihitung Indeks Nilai Pentingnya (INP), INP dihitung dengan menjumlahkan nilai kerapatan nisbih (KN),

frekuensi nisbih (FN) dan dominasi nisbih (DN) Tjitrosoedirjo (1984).


KN = Kerapa tan mutlak satu jenis x 100% Kepa tan mutlak semua jenis Frekuensi mutlak satu jenis x 100% Frekuensi mutlak semua jenis Do min ansi mutlak satu jenis x 100% Do min ansi mutlak semua jenis

FN =

DN =

c. Hama Analisis mengenai keadaan serangga pengganggu dilakukan dengan membandingkan antara data yang terkumpul dengan kriteria ambang ekonomi yang dikeluarkan oleh Direktorat Perlindungan Tanaman Pangan tahun 1981. 2. Komponen Sosial Ekonomi a. Benefit Cost Ratio (B/C) Formula yang dipergunakan untuk menghitung net B/C adalah :

Net B/C =

(1 + i)
t =1 n

Bt Ct
t

Bt Ct (1 + i)t t =1

.............................................. (3)

Keterangan : Bt = Ct = i =

benefit pada tahun t cost pada tahun t tingkat bunga yang berlaku

b. Persepsi dan Sikap Analisis mengenai sikap dan persepsi dilakukan dengan menghitung proporsi kedua parameter tersebut, kemudian

dilanjutkan

dengan

uji

Chi-kuadrat

dilakukan

dengan

menggunakan formula pengamatan 2 x 2.


N (ad bc) 2 ............................( 4) X = (a + b) (c + d )(a + c) (b + d )
2

Hipotesis :

Terima H0 bila X2 < X2, = 0,1 db=1 Tolak H0 bila X2 > X2, = 0,1 db=1

Uji korelasi dengan menggunakan koefisien contingensi (c), dengan formula :


C= X2 .......................................(5) X2 +N Konsep Operasional Beberapa pengertian yang perlu dijelaskan dalam hubungannya dengan penelitian ini adalah : 1. Konservasi yang dimaksud disini adalah dalam konteks ekonomi sumberdaya yaitu suatu pola distribusi waktu penggunaan yang menghasilkan nilai kini (present value) dari manfaat harapan yang maksimum 2. Ekosistem yang dibudidayakan adalah pemanfaatan ekosistem alam untuk keperluan produksi bagi manusia 3. Biofisik adalah istilah yang digunakan dalam konteks ekosistem yang dibudidaya. Untuk itu maka komponen yang dimaksudkan adalah tanah/lahan pertanian (dalam hal ini ladang), tanaman, gulma dan serangga penganggu atau hama. 4. Tradisi perladangan berpindah yaitu kebiasaan-kebiasaan masyarakat ladang

dalam membudidayakan tanaman, dimana pada kurun waktu tertentu, mereka meninggalkan lahannya dan berpindah untuk membuka lahan yang baru lagi. 5. Perladangan berpindah yang diteliti adalah system perlindungan yaitu usahataninya yang berpindah-pindah sedang pemukimannya menetap. 6. Tanam ketiga dalam perladangan sama dengan tahun ketiga, karena dalam perladangan dalam satu tahun hanya satu kali tanam 7. Yang dimaksud dengan tanah tidak diolah yaitu tanah tidak dicangkul atau dibajak, tetapi cukup dengan pembabatan rumput dan semak kemudian ditugal lain ditanami.

HASIL DAN PEMBAHASAN Ekosistem Perladangan

Kendala yang dihadapi system perladangan adalah keterbatasan air, penurunan kesuburan tanah, penurunan kesuburan tanah, gulma dan hama tanaman dan ketersediaan lahan untuk berpindah yang makin terbatas. Kendala-kendala itu merupakan factor pembatas, karena sifat dan proses kejadiannnya bersifat tetap. Hujan sebagai satu-satunya sumber air, merupakan suatu siklus iklim yang bersifat tetap. Begitu juga dengan tanah pada suatu tempat dapat dikatakan bersifat tetap. Gulma dan ham berkembang akibat suatu tindakan pengubahan ekosistem, yaitu perubahan dari ekosistem hutan (ekosistem alam) menjadi ekosistem yang dibudidayakan (lahan pertanian). 1. Iklim Klasifikasi iklim yang dikemukakan oleh Oldeman dan Darmiyati (1977) menunjukkan bahwa wilayah Sulawesi Tenggara secara keseluruhan termasuk pada tipe iklim C dan D dengan 5 6 bulan basah dan 3 5 bulan kering. Daerah penelitian termasuk pada iklim D, dengan bulan 3 4 bulan basah dan 3 5 bulan kering. Curah hujan bulan basah > 200 mm/bulan dan bulan kering < 100

mm/bulan. Curah hujan tertinggi terjadi pada akhir bulan Desember hingga awal Februari. Bulan-bulan berikutnya curah hujan terbatas. Keadaan neraca air di Sulawesi Tenggara disajikan gambar 10

Gambar 10. Grafik Neraca Air di Sulawesi Tenggara (sumber : PT. Andal Agrikarya Prima, 1991)

Gambar 10, menunjukkan bahwa air tersedia sangat terbatas pada bulan Agustus, September dan Oktober, dimana saat itu lahan diberakan oleh peladang hingga akhir bulan November sampai Desember akibat terjadi devisit air tanah. 2. Tanah Criteria yang dipakai menilai kondisi tanah adalah baku mutu penelitian tanah dikeluarkan oleh Pusat penelitian Tanah dan Agroklimat, tahun 1983. Pembahasan factor tanah sebagai media tumbuh pada ekosistem perladangan dibatasi pada parameter-parameter : 1) kimia meliputi : pH, KTK dan C/N rasio, 2) fisik tanah meliputi : pori aerasi dan permeabilitas. a. Sifat kimia tanah Hasil penelitian sifat kimia tanah baik pada ladang maupun pada plot percobaan menunjukkan bahwa semua parameter terukur termasuk dalam kategori sangat rendah hingga sedang pH tanah berkisar antara 5,0 6,5 N-total berkisar antara 0,04% - 0,1%, C-organik berkisar antara 0,4% - 1,37%, p-tersedia antara 0,2 ppm 3,6 ppm, C/N rasio berkisar antara 12 15 dan KTK berkisar antara 4,5 me/100 gr 8,2 me/100 gr. Hasil analisis sifat kimia tanah pada lading dan plot percobaan disajikan pada Lampiran 8 dan 9. Rendahnya tingkat kesuburan tanah pada kondisi awal merupakan ciri dari sebagian besar tanah-tanah di Sulawesi Tenggara khususnya dan kawasan hutan tropis pada umumnya. Ini merupakan kondisi lingkungan yang dapat dikatakan sebagai suatu factor pembatas dalam usaha-usaha pembangunan pertanian. Rendahnya pH tanah berkaitan erat dengan ketersediaan unsure hara dan juga kapasitas tukar kation (KTK) yang kesemuanya menunjukkan terbatasnya

produktivitas tanah dan perlunya berbagai perlakuan seperti pengapuran untuk menaikkan pH tanah. Secara ekologi kondisi seperti ini berkaitan juga dengan berbagai aktivitas sejumlah organisme tanah yang peka terhadap pH tanah, dimana organisme ini mempunyai peranan penting dalam penyediaan unsur hara bagi tanaman. Dalam memanfaatkan lahan peladang menggunakan beberapa indicator vegetasi untuk menentukan apakah suatu lahan yang akan dibuka cukup subur atau tidak. Euphatorium sp, yang dikenal dengan sebutan rumput Jepang dan Melastoma, sp yang disebut rumput Wollo (Button), merupakan jenis-jenis alangalang, paku-pakuan dan Lantana camara. Tingkat kesuburan tanah di bawah vegetasi Euphatorium dan Melastoma, memang lebih baik dari kesuburan tanah di bawah vegetasi alang-alang, atau dengan kata lain pada kesuburan tanah yang lebih tinggi Euphatorium sp, dan Melastoma sp, tumbuh lebih dominan disbanding alang-alang, (Sudharto, dkk.,1991). Hasil penelitian sifat kimia tanah di bawah vegetasi Euphatorium sp.. Melastoma sp, dan alang-alang, disajikan pada Tabel 11.

Tabel 11. Sifat Kimia Tanah di Bawah Vegetasi Euphatorium sp, Melastoma sp dan Alang-alang Vegetasi pH Bahan Ekstrak Kation Tukar Jumla Organik HCl 25% h

K C N C/ P2O K2 Ca Mg K Cl N 5 0 . . . % gr/100g me/100 gr Euphatori 7,7 6,8 2,7 0,1 17 34 68 48,2 1,5 0,6 um 7 6 6 3 4 Melastom 6,1 4,7 2,3 0,2 8,5 63, 46 9,4 1,9 0,2 a+ 6 8 5 0 Alang5,2 4,2 2,1 0,1 12 18, 12 1,0 0,3 0,2 alang 2 7 5 Sumber : Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat Bogor, 1991 Data Tahun 1979

H2 O

Na

Katio n

0,1 50,58 5 0,2 12,16 0,1 1,4

Penanaman kedua dilakukan setelah melewati masa bera yaitu 5 6 bulan setelah panen. Pembersihan lahan dilakukan dengan cara pembakaran. Hasil analisis pH tanah menunjukkan bahwa setelah pembakaran terjadi perubahan yaitu dari 5,5 menjadi 5,0 dan pada tanam ketiga pH tanah turun menjadi 4,5. Penurunan ini diikuti sejalan dengan penurunan unsur-unsur yang lain. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dikemukakan oleh Cogwil (1962), yang menunjukkan bahwa pembakaran pada tanah ladang mengakibatkan terjadinya penurunan 6 8% bahan organic, 5 9 % N total, fosfor 1,8%, kalsium 15% unsur ini berimbang dengan penurunan produksi. Pemberian pupuk nitrogen pada tanaman padi lahan kering ternyata mampu memberikan pertumbuhan vegetasi yang baik, tetapi tidak diikuti dengan produksi yang tinggi (Silvana, 1992). Hal ini diperkirakan berhubungan dengan terbatasnya keterampilan air. Vigor yang besar dan jumlah anakan yang banyak menyebabkan tingginya evapotranspirasi, suatu keadaan pada saat phase generatif (+ tiga bulan) setelah menanam, curah hujan saat itu terbatas. b. Sifat Fisik Tanah

Hasil analisis terhadap sifat fisik tanah disajikan pada beberapa tempat di sekitar lokasi perladangan yaitu pada daerah perbukitan, daerah lembah, sekitar hutan dan pada lahan yang bervegetasi alang-alang. Hasil analisis fisika tanah disajikan pada Tabel 12. Table 12. Hasil Analisis Sifat Fisika Tanah pada Beberapa Tempat di Lokasi Penelitian
Tempat Pengambilan contoh B.D (Gr/cc) Ruang pori total (%vol) 10 cm (pF1) Perbukitan 1 Perbukitan 2 Sekitar hutan 1 Sekitar hutan 2 Lembah 1 Lembah 2 1,10 1,33 1,39 1,32 1,36 1,57 58,5 49,8 47,5 50,2 48,7 40,8 36,4 41,8 47,1 37,7 48,0 40,2 Kadar air (% vol) Pori Drainase (% vol.) 15 atm (pF2,54) 12,2 14,5 30,5 12,5 21,8 19,0 Cepat 27,2 13,6 5,3 2,8 5,2 4,5 Lambat 4,4 4,8 4,2 9,8 3,6 4,4 14,8 16,9 7,6 18,1 18,1 12,9 4,27 0,40 1,91 1,77 0,37 0,68 Air tersedia (% vol.) Permea bilitas (cm/ja m)

100 cm (pF2) 31,4 36,2 42,2 34,9 43,5 36,3

1/3 atm (pF2,54) 27,0 31,4 38,1 25,1 39,9 31,9

Sumber : Hasil Analisis Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat Bogor, Tahun 1992. Berdasarkan Tabel 12 diketahui bahwa sifat fisik tanah pada lahan yang bervegetasi semak (sekit hutan 1 dan 2) dan pada lahan bervegetasi alang-alang, lebih buruk disbanding dengan lahan yang bervegetasi pohon (perbukitan 1 dan 2). Berarti perubahan formasi vegetasi dari hutan menjadi semak juga mempengaruhi sifat fisik tanah, hal yang sama terjadi pula pada sifat kimia tanah seperti telah diuraikan terdahulu. 3. Gulma Jenis-jenis gulma yang ditemukan di lokasi penelitian adalah Ageratum conyzoides (Wedusan), Paspalum conyugatum (Rumput pahit), Portulaca oleracea (Krokot), Cynodon dactylon (Griting), Euphatorium odoratum (Krinyuk), Imperata cylindrical (Alang-alang), Boreria alata, Mimosa pudica (Putri malu) dan Enchinochloa colonum (Tuton). Hasil analisis kerapatan nisbih (KN), frekuensi

nisbih (FN), dominasi nisbih (DN) dan indeks nilai penting (INP) gulma pada lokasi penelitian pada tiga tahun berturut-turut menunjukkan bahwa pada perbedaan formasi yang ditunjukkan dengan adanya perubahan INP. Jenis-jenis gulam penting pada lahan kering yang dapat dijadikan sebagai indicator biologi dari system perladangan seperti Euphaatorium dan Imperata cylindrical, menunjukkan perubahan indeks nilai penting yang cukup menyolok. INP Euphatorium odoratum berubah dari 92,32 pada tanam pertama, menjadi 85,56 pada tanam kedua dan 68,03 pada tanam ketiga. Sedang dilain pihak INP Imperata cylindrical memperlihatkan kenaikan yaitu 14,66 pada tanam pertama menjadi 21,78 pada tanam kedua dan 42,83 pada tanam ketiga. Secara biologi dari kedua jenis gulma ini dapat terlihat bahwa telah terjadi perubahan tingkat kesuburan tanah. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian tanah yang dikemukakan oleh Sudharto, dkk (1992), yang menunjukkan bahwa sifat kimia tanah di bawah vegetasi Euphatorium sp, dan Melastoma sp, lebih baik disbanding dengan tanah di bawah vegetasi alang-alang. Hasil analisis gulma untuk pertama, kedua dan ketiga, disajikan pada table 13,14 dan 15. Tabel 13. Kerapatan Nisbih, Frekuensi Nisbih, Dominasi Nisbih dan Indeks Nilai Penting Gulma di Ladang pada Tanam Pertama Jenis gulma KN FN DN INP Ageratum conyzoides 20,12 25,18 16,49 61,79 Euphatorium dactylon 30,03 25,18 37,11 92,32 Cynodon cylindrical 15,65 16,44 6,74 38,83 Imperata cylindrical 6,27 6,60 1,79 14,66 Paspalum conyugatum 6,27 6,60 6,07 18,94 Portulaca oleracea 21,83 20,00 31,80 73,63 Hasil analisis, tahun 1990 Kerapatan Nisbih, Frekuensi Nisbih, Dominasi Nisbih dan Indeks Nilai Penting Gulma di Lokasi Penelitian pada Tanam Kedua.

Sumber : Tabel 14.

Jenis gulma KN FN DN INP Ageratum conyzoides 9,14 13,37 5,93 28,44 Euphatorium odoratum 31,78 19,96 33,82 85,56 Cynodon cylindrical 13,64 19,96 6,39 39,99 Imperata cylindrical 4,78 14,35 8,51 27,64 Paspalum conyugatum 9,50 7,07 4,10 20,67 Portulaca oleracea 11,93 14,35 2,64 28,92 Boreria alata 19,23 10,94 38,97 69,14 Sumber : Hasil analisis, tahun 1991. Tabel 15 : Kerapatan Nisbih, Frekuensi Nisbih, Dominasi Nisbih dan Indeks Nilai Penting Gulma di Lokasi Penelitian pada Tanam Ketiga. Jenis gulma KN FN DN INP Ageratum conyzoides 23,17 25,18 16,49 64,84 Euphatorium odoratum 21,83 20,00 26,20 68,03 Cynodon cylindrical 9,90 12,41 10,30 32,83 Imperata cylindrical 20,12 12,41 10,30 42,90 Paspalum conyugatum 9,90 17,43 22,34 49,67 Boreria alata 15,08 12,59 14,37 42,04 Sumber : Hasil analisis, tahun 1992 Jenis gulma yang tumbuh pada plot percobaan, adalah Euphatorium sp, Ageratum conyzoides, Cynodon dactylon, dan Paspalum conyugatum. Jenis Euphatorium sp menunjukkan pertumbuhan yang cepat dan sangat dominan disbanding dengan jenis-jenis lainnya. Pertumbuhan gulma yang tinggi pada plot-plot percobaan dimungkinkan karena adanya pemberian pupuk yang cukup tinggi. Pada plot percobaan tidak terdapat alang-alang, hal ini mungkin terjadi karena adanya perlakuan yang intensif terhadap tanah seperti pengolahan tanah.

Tabel 16 : Kerapatan Nisbih, Frekuensi Nisbih, Dominasi Nisbih dan Indeks Nilai Penting Gulma pada Tanam Ketiga di Plot Percobaan

Jenis gulma Ageratum conyzoides Euphatorium odoratum Cynodon cylindrical Paspalum conyugatum Sumber : Hasil analisis, tahun 1992 2. Hama Tanaman

KN 49,17 31,83 10,90 8,10

FN 46,18 34,15 12,41 7,26

DN INP 51,49 146,84 30,20 96,18 10,30 33,61 8,01 23,37

Jenis-jenis hama tanaman yang ditemukan pada tanaman padi ladang pada tanam pertama sampai tanam ke tiga adalah Penggerek batang (Tryporyza sp.), Walang sangit (Leptocorisa sp) . Hama utama yang menyerang tanaman padi ladang adalah Rattus sp. (Tikus) dan Sus vitatus (Babi hutan). Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat serangan hama pada tanam pertama dan kedua masih berada di bawah nilai ambang ekonomi sedang pada tanam ketiga telah melampaui nilai ambang ekonomi sebagaimana disyaratkan dalam rekomendasi pengendalian hama tanaman pangan di Indonesia yang dikeluarkan oleh Direktorat Perlindungan Tanaman Pangan tahun 1981. Tabel 17. Rata-rata Pengamatan Jumlah Hama Tanaman pada Setiap Musim Tanam Pertanaman Jenis Hama Pertanaman Penggerek batang Walang sangit Ulat grayak (klp telur/m2) (imago/m2) (Ulat / m2) Pertama 0 1 0 Kedua 1 1 0 Ketiga 3 3 4 Sumber : Hasil Analisis, tahun 1992

Berdasarkan data yang terdapat pada Tabel 17 diketahui bahwa pada pertanaman pertama dan kedua keadaan hama tanaman masih berada di

bawah nilai ambang ekonomi, tetapi pada tanam ketiga telah berada di atas nilai ambang ekonomi. Jenis hama tanaman yang ditemukan pada plot percobaan adalah Penggerek batang (Tryporiza incertulas), Walang sangit (Leptocoriza sp.) dan Ulat grayak (Spodoptera sp.) serta hama tikus. Hasil penelitian terhadap hama tanaman yang digunakan sebagai indikator disajikan pada Tabel 18. Tabel 18. Rata-rata Jumlah Hama Tanaman yang Terjaring pada Setiap Musim Tanam Jenis Hama Pertanaman Penggerek batang Walang sangit Ulat grayak (klp telur/m2) (imago/m2) (Ulat / m2) Pertama 0 1 0 Kedua 1 1 1 Ketiga 3 3 2 Sumber : Hasil Analisis, tahun 1992

Sistem Sosial Ekonomi Perladangan Di Sulawesi Tenggara dikenal tiga istilah dalam perladangan yang menggambarkan tingkat kemajuan dari sistem perladangan yaitu mondau, mepombahora dan mengalu. Mondau adalah bentuk perladangan yang paling lama dikenal oleh masyarakat suku Tolaki. Pada tahap ini masyarakatnya sangat nomad, hidup berkelompok (4 - 5 KK) dan dapat berpindah setiap tahun. Keputusan untuk berpindah sangat tergantung pada pemuka adatnya yang disebut tono motuo. Bentuk kedua adalah mepombahora, merupakan bentuk yang dikenal kemudian setelah mondau. Mepombahora sifatnya lebih maju dibanding dengan mondau. Pada tahap ini jumlah anggota kelompok lebih besar (sampai 30 KK). Pemukimannya relatif menetap sedang ladangnya yang berpindah-pindah. Radius

perladangan 7,5 km di sekitar pemukiman, lebih dari radius tersebut, biasanya*pemukiman telah ikut berpindah. Bentuk ini telah dikelola lebih intensif. Ladang di pagar untuk dimanfaatkan hingga tiga kali tanam atau empat kali tanam. Dalam pemeliharaan tanaman, mereka juga telah mengenal kegiatan-kegiatan penyiangan (mosaira), metanggali dan penanggulangan hama tanaman dengan tumbuhan yang disebut sila. Bentuk ketiga yaitu megalu merupakan bentuk yang diperkenalkan kepada masyarakat tani di Sulawesi Tenggara, khususnya di jazirah Sulawesi Tenggara. Megalu atau bersawah yang dikenal adalah sawah tadah hujan. Padi ditanam pada lahan-lahan yang tergenang air pada musim hujan. Genangan-genangan air dimanfaatkan untuk menanam padi yang sebelumnya telah disemai. Bentuk megalu, lebih bersifat monokultur dibanding dengan dua bentuk terdahulu, tetapi iklim dalam hal ini curah hujan tetap sebagai pembatas dalam pengolahan tanah. Walaupun ada perbedaan di antara ketiga bentuk ini, tetapi ada ciri yang kuat sebagai suatu sistem pertanian yang dijalankan di atas lahan keying, yaitu bahwa ketiga bentuk ini hanya dapat dikerjakan satu tahun sekali karena dibatasi oleh ketersediaan air

. 1. Tradisi Dalam Bercocok Tanam Kegiatan perladangan dimulai dengan kegiatan pembukaan lahan, yang secara berturut-turut meliputi pekerjaan persiapan yang meliputi tahapan penjajakan terhadap lahan yang akan dibuka atau moala owuta atau monggikii owuta. Selang

beberapa hari barn memberikan tanda-tanda lahan akan dibuka atau mohoto owuta. Sampai pada kegiatan pemberian tanda, maka pekerjaan persiapan telah selesai. Pembukaan lahan diawali dengan mosalei yaitu merambas tumbuhan muda (anakan), liliana dan tanaman lainnya yang berada di bawah pohon-pohon besar. Bila semak-semak telah mengiring (1-2 hari) pekerjaan dilanjutkan dengan menebang pohon-pohon besar (diameter > 20 cm) yang disebut dengan mombodoi. Pohon-pohon akan dibiarkan hingga daun-daunnya menjadi keying (10 -14 hari) kemudian dilanjutkan dengan pembakaran atau humunu. Hasil pembakaran yang baik dapat dilakukan cukup sekali, hal ini bila selama 7 - 10 hari matahari bersinar secara penuh. Bila pembakaran berlangsung sempurna, maka cukup dilakukan sekali saja. Penanaman atau motasu, dilakukan setelah sisa-sisa bakaran dibersihkan, atau bila pembakaran tidak mungkin dilakukan karena hujan telah turun. Kondisi seperti ini menyebabkan tanaman utama padi dan jagung tumbuh di antara batang-batang kayu yang tumbang. Penanaman dilakukan setelah beberapa kali turun hujan. Menurut tradisi perladangan di Sulawesi Tenggara lahan yang baru dibakar tidak dapat langsung ditanam pada saat turun hujan. Lebih-lebih bila lahan dicangkul. Lahan harus dibiarkan beberapa waktu hingga dua, atau tiga kali turun hujan, baru ditanam. Penanaman yang dilakukan pada tanah-tanah yang baru sekali disirami hujan, mengakibatkan sebagian besar benih akan coati. Penyiangan dilakukan dua kali yaitu mosaira dan metanggali. Mosaira adalah penyiangan pertama yang dilakukan dengan alat yang disebut saira.

Penyiangan kedua disebut metanggali, dilakukan setelah penyiangan pertama, yaitu sebelum masa generatif (padi bunting). Setelah padi berumur 5 - 6 bulan, padi siap dipanen. Panen dilakukan secara bergotong-royong, tidak saja sesama peladang yang berada di lingkungannya, tetapi juga dengan penduduk pada desa-desa tetangga. Panen dilakukan satu sampai dua minggu dan selama itu warga setempat tidak dibenarkan untuk melakukan kegiatan lainnya. Ada kebiasaan dalam tradisi bercocok tanam peladang di Sulawesi Tenggara, khususnya di kalangan masyarakat ladang suku Tolaki, bahwa ada beberapa rumah tangga yang tidak mengusahakan ladangnya pada salah satu musim tanam. Untuk musim tanam saat mereka tidak membuka lahannya, maka sepenuhnya mereka akan tergantung pada bagi hasil dari panen peladang lainnya. Tradisi seperti ini pada dasarnya akan semakin memperkecil kontribusi hasil bagi peladang yang mengolah lahannya pada musim tanam tersebut. 2. Pola Tanam Pola tanam perladangan di Sulawesi Tenggara untuk tahun pertama sampai tahun ketiga sama yaitu padi + jagung kemudian lahan diberakan seperti pada Gambar 11.

Gambar 11. .Pola Tanam Perladangan di Sulawesi Tenggara. Tetapi bukan berarti pola tanam tersebut tidak bervariasi. Secara tradisional pada tahun pertama mereka akan menanam padi dengan jarak tanam yang lebih rapat (20 - 30 cm), sedang jagung ditanam dengan jarak lebih renggang (100 cm 120 cm) . Sedang pada tanam kedua jagung lebih diutamakan, yaitu dengan menanamnya lebih rapat (60 - 70 cm), sedang padi ditanam dengan jarak tanam 50 70 cm. Pengalaman secara turun-temurun mereka mengetahui bahwa menanam padi dengan kepadatan yang sama secara berturut-turut (tahun pertama dan kedua), tidak akan memberikan hasil yang baik. Tetapi bila padi ditanam lebih jarang dan jagung lebih rapat, maka jagung akan memberikan hasil lebih baik. Sedang pada tanaman ketiga padi dan jagung ditanam secara berimbang, dengan jarak tanam masingmasing antara 40 - 50 cm dan 60 - 80 cm. Secara teknis agronomi cara-cara demikian merupakan salah satu cara manajemen pertanaman untuk mengatur siklus hara dalam tanah. Penanaman padi secara berturut-turut akan menyebabkan defisiensi unsur tertentu. Berdasarkan pengalaman peladang mengetahui bahwa penanaman padi berturut-turut dengan

kepadatan yang sama tidak akan memberikan hasil yang baik. Di samping menanam padi dan jagung sebagai tanaman utama, peladang biasanya menanam tanaman lainnya seperti lombok, terung, pepaya, pisang, tomat, labu secara tersebar dalam ladangnya. Tanaman-tanaman ini tidak dipelihara dan dimanfaatkan sebagai subtitusi pada konsumsi keluarga. Di samping tanamantanaman yang ditanam seperti yang disebutkan di atas, pada saat bera terdapat beberapa tumbuhan yang tumbuh secara liar yang juga dikonsumsi oleh peladang. Dengan demikian maka di samping padi dan jagung sebagai tanaman utama yang diusahakan oleh peladang, terdapat juga tanaman dan tumbuhan lain yang merupakan sumber energi bagi peladang. Atau dengan kata lain pcAdi yang selama ini menjadi ukuran ketersediaan pangan bukanlah merupakan satu-satunya sumber energi bagi peladang, sebagaimana yang disajikan pada Gambar 5,_ 3. Biaya Biaya yang dikeluarkan oleh peladang terdiri atas biaya pembukaan lahan, pemagaran, penanaman, penyiangan, panen dan biaya untuk bibit. Perhitungan biaya untuk kegiatan tersebut di atas, dilakukan berdasarkan nilai konversi tenaga kerja ke dalam satuan hari kerja prig (HKP), kemudian dikonversikan ke dalam nilai uang berdasarkan upah setempat yang berlaku. Perhitungan biaya pada plot percobaan dilakukan dengan menghitung semua input yang diberikan yaitu bibit, pupuk, obat-obatan dan tenaga kerja, kemudian dikonversikan kedalam nilai uang. Perhitungan terhadap tenaga kerja yang dibutuhkan untuk pengolahan tanah menggunakan upah setempat yang berlaku. Hasil penelitian terhadap biaya-biaya yang dikeluarkan untuk pembukaan

satu hektar menunjukkan bahwa penggunaan tenaga kerja turun secara menyolok pada tanam kedua dan ketiga dibanding dengan tanam pertama, yaitu dari 162,5 HKP menjadi 110,6 HKP dan menjadi 86,2 HKP pada tanam ketiga. Ini berarti terjadi penurunan sebesar 31,94% tanam kedua terhadap tanam pertama dan turun 46,95% tanam ketiga terhadap tanam pertama. Apabila dikonversikan kedalam nilai uang dengan standar upah Rp. 3.000,-/HKP maka biaya tenaga kerja yang dikeluarkan untuk tanam pertama, kedua dan ketiga masing-masing Rp. 487.500,- , Rp. 331.800,- dan Rp. 258.600,-. Penggunaan bibit padi terns menurun dari tanam pertama sampai tanam ketiga, karena jarak tanam yang dilakukan semakin renggang. Sebaliknya penggunaan bibit jagung meningkat pada tanam kedua dibanding tanam pertama, karena pada tanam kedua jarak tanamnya lebih rapat dibanding dengan tanam pertama dan tanam ketiga. Biaya bibit padi dan jagung yang dikeluarkan pada tanam pertama, kedua dan ketiga adalah Rp.88.500,Rp.90.900,- dan Rp. 57.000,Penggunaan biaya pada plot percobaan baik pada tanam pertama, kedua dan ketiga adalah sama. Penggunaan biaya yang konstan juga terjadi pada usahatani lahan kering yang direkomendasi oleh Dinas Pertanian Tanaman Pangan Tk. I Sulawesi Tenggara. Biaya input yang terdiri dari pupuk, obat-obatan, bibit dan tenaga kerja dalam satu tahun adalah Rp. 599.950,-. Biaya yang dikeluarkan pada ladang dan plot percobaan disajikan pada Tabel 19. Tabel 19. Tanam Pertama Biaya-biaya yang Dikeluarkan untuk Perladangan dan Plot Percobaan Ladang (Rp) Plot Percobaan (Rp) 576.000,599.950,-

Kedua Ketiga

422,700,351.000,-

599.950,599.950,-

4. Produksi Pengukuran terhadap produksi padi dan jagung secara sendiri-sendiri memperlihatkan adanya fluktuasi. Hal ini sejalan dengan cara penanaman yang dilakukan. Pada tanam pertama rata-rata hasil padi 2,684 ton/ha dan pada tanaman kedua 1,816 ton/ha, turun 32,34% sedang pada tanam ketiga 1,16 ton/ha, turun 56,78% dari tanam pertama dan 36,12% dari tanam kedua. Pada tanam pertama rata-rata hasil jagung 2,693 ton/ha dan pada tanam kedua 3,365 ton/ha naik 24,95%, pada tanam ketiga 1,441 ton/ha yang berarti turun 46,49% dari produksi pertama dan turun 133,5% dari produksi kedua. Sebagai perbandingan dikemukakan ratarata hasil padi gogo yang dicapai di Sulawesi Tenggara yaitu 1,690 ton/ha dengan pemberian input tertentu dan rata-rata hasil jagung 1,775 ton/ha. Pengujian pada plot percontohan dilakukan di Kecamatan Lambuya suatu lahan dengan klasifikasi agroklimat dan jenis tanah yang sama. Percobaan dilakukan dengan beberapa perlakuan pemupukan N, P, K dan ZA, hasil pengukuran terlampir pada lampiran 8. Hasil pengukuran menunjukkan bahwa ratarata produksi gabah kering (kadar air 14%), 3,30 ton/ha hingga 3,33 ton/ha, dengan dosis pemupukan per hektar 740 kg kapur, 133 kg urea, 130 kg TSP dan 100 kg KC1 (Hadi 1991). Hasil yang relatif sama juga ditunjukkan oleh Silvana (1991) pada lokasi yang sama dengan menitik beratkan pada pemberian pupuk fosfat yang berasal dari TSP dan fosfat alam. Hasil rata-rata yang dicapai adalah 3,206 ton/ha. Hasil rata-rata yang dicapai oleh petani padi sawah di Propinsi Sulawesi Tenggara

adalah 3,992 ton/ha, dengan dosis pemupukan per hektar 200 kg urea, 150 kg TSP, 75 kg KC1 dan 50 kg ZA, (Dings Tanaman Pangan Tahun Sultra 1991). Untuk mendapatkan satuan pembanding yang sama, maka produksi ladang yang terdiri dari padi dan jagung dan produksi plot percobaan yang hanya terdiri dari padi akan dikonversikan ke dalam nilai kalori. Untuk itu produksi gabah akan dikonversi ke dalam besar dengan nilai konversi 0,8. Selanjutnya produksi bergs dikonversikan kedalam nilai kalori dengan angka konversi 359 kalori/100 gr beras. Angka konversi untuk jagung adalah 355 kalori/100 gr. Produksi yang diperoleh pada ladang dan plot percobaan, disajikan pada Tabel 20. Tabel 20. Tanam Pertama Kedua Ketiga Rata-rata Produktivitas pada Ladang dan Plot Percobaan (Kal/ha) Ladang Plot Percobaan 17.268.598 9.477.600 17.161.302 9.563.760 8.447.070 8.630.360

Hasil pengukuran pada Tabel 17 menunjukkan bahwa pada tanam pertama dan kedua produksi ladang lebih besar dibanding dengan pada plot percobaan. Tetapi pada tanam ketiga produksi ladang menurun dengan sangat besar. Penurunan ini sejalan dengan penurunan tingkat kesuburan tanah dan juga sejalan dengan meningkatnya populasi gulma serta serangan hama. Penurunan tingkat kesuburan tanah dan peningkatan populasi gulma serta serangan hama juga terjadi pada plot percobaan. Untuk mengatasi hal ini, peladang akan meninggalkan lahannya dan membuka ladang baru, sedang pada plot percobaan atau pertanian menetap akan menaikkan input, berupa penambahan dosis pemupukan dan obat-obatan serta kegiatan penyiangan. Suatu kenyataan yang perlu dikaji lebih mendalam

perimbangan energi yang dibutuhkan untuk kedua tindakan tersebut. Apabila dihubungkan dengan tradisi peladang, produksi peladang dapat dibedakan atas rata-rata produksi konversi, rata-rata produksi nyata dan rata- rata produksi bersih. Rata-rata produksi konversi adalah rata-rata produksi yang diukur dalam ton/ha yaitu nilai yang dapat menunjukkan produktivitas lahan. Rata-rata produksi nyata adalah produksi yang diperoleh peladang berdasarkan kemampuan mengelola lahannya. Ukuran yang digunakan adalah rata-rata luas lahan yang dimanfaatkan oleh peladang yaitu 0,7 ha. Rata-rata produksi bersih adalah produksi setelah bagi hasil, yaitu duapertiga bagi pemilik dan sepertiga bagi pekerja. Angka konversi gabah kering ke beras adalah 0,8. Rata-rata produktivitas lahan, rata-rata produksi nyata dan rata-rata produksi bersih disajikan pada Tabel 21 dan Tabel 22. Tabel 21. Rata-rata Produktivitas Ladang di Lokasi Penelitian Rata-rata produktivitas Pertanaman Kg Pertama Kedua Ketiga 2. 147,2 1.425,8 928,0 Beras Kalori 7.708.448 5.215.552 3.331.520 Kg 2.693 3.365 1.441 Jagung Kalori 9.560.150 11.945.750 5.115.550 Jumlah (Kalori) 17.268.598 17.161.302 8.447.070

Sumber : Hasil Analisis, tahun 1992

Tabel 22.

Rata-rata Hasil Nyata dan Hasil Bersih Ladang di Lokasi Penelitian Hasil Nyata (Kal.) Hasil Bersih (Kal Pertanaman) Hasil Nyata (Kal.) Beras Jagung Jumlah 5.395.913,6 6.692.105 9.011.175,7 3.650.886,4 8.362.025 12.012.911,4 Hasil Bersih (Kal.) Beras Jagung Jumlah 3.615.262,1 4.483.710,4 8.098.972,5 2.446.903,9 5.602.556,8 8.048.650,7

Pertanian Pertama Kedua

Ketiga 2.332.064,0 3.580.885 5.912.949,0 Sumber : Hasil Analisis, tahun 1992 Keterangan : Nilai beras 359 kalori/100 gr Nilai jagung 355 kalori/100 gr

1.562.482,9 2.399.192,9 3.895.675,8

Rata-rata kebutuhan kalori per orang per hari adalah 2.100 kalori. Satu rumah tangga peladang dengan enam anggota keluarga memerlukan 4.599.000 kalori/tahun. Produksi nyata pada tanam ke tiga masih berada di atas kebutuhan kalori per tahun, tetapi produksi bersih berada di bawah kebutuhan kalori per tahun. Berarti pada tanam ketiga produksi yang diperoleh masih cukup, tetapi karena adanya sistem bagi hasil maka Jumlah yang dapat disediakan untuk kebutuhan keluarga menjadi berkurang. 5. Analisis Perbandingan Manfaat dan Biaya Hasil analisis perbandingan manfaat dan biaya (analisis B/C) perladangan dihitung dengan menetapkan jangka waktu satu siklus tanam yaitu selama tiga tahun. Jangka waktu tersebut ditetapkan berdasarkan pertimbangan siklus perladangan yaitu selama tiga tahun kemudian berpindah. Sedang untuk percobaan plot, juga dihitung dengan menggunakan jangka waktu yang sama. Parameter biaya yang dimasukkan dalam perhitungan adalah (1) semua kebutuhan tenaga kerja yang dipergunakan dalam kegiatan perladangan, meliputi tenaga kerja untuk pembersihan lahan, pemagaran, penanaman, pemeliharaan dan panen dan (2) input produksi meliputi bibit. Demikian pula halnya dengan parameter biaya pada plot percobaan. Sedang manfaatnya adalah semua hasil berupa produksi padi dan jagung dan hasil-hasil lainnya yang dapat diperoleh dari ladang. Baik biaya maupun manfaat dikonversikan kedalam nilai uang dengan

perhitungan harga setempat. Tabel 23. Manfaat (Benefit) dan Biaya (Cost) Ladang di Desa Aoma Tahun keCost Benefit Disc. Rate (12%) Cost 576.000 422.700 351.600 Net B / C = Benefit 2.144.694 1.941.750 1.174.872 3.223.663,192 1.163.245,32 Disc. Rate (12%) 0,8929 0,7972 0,7118

Tahun ke 1 2 3

Tabel 24. Manfaat (Benefit) dan Biaya (Cost) Plot Percobaan. Tahun ke Cost Benefit 1 599.950 1.584.000 2 599.950 1.598.400 3 599.950 1.440.240 Net B / C = 3.272.741,007 1.440.978,669

Disc. Rate (12%) 0,8929 0,7972 0,7118

Walapun nilai net B/C sama-sama lebih besar dari satu, tetapi cara-cara yang ditempuh oleh peladang memperlihatkan adanya keunggulan-keunggulan ekonomi, karena nilai B/C ladang (2,77) lebih besar dari nilai net B/C plot (1,58). Penggunaan pupuk memberikan hasil yang lebih tinggi, tetapi kenaikan hasil tidak sebanding dengan pemberian input. 5. Persepsi Peladang Terhadap Iklim, Hutan dan Tanah Dalam sistem perladangan suku Tolaki, pemanfaatan tanah untuk dijadikan ladang melalui tahap-tahap moala tewuta atau monggikii wuta, yaitu suatu tahap persiapan yang dilakukan oleh seorang pemuka adat (tono motuo) untuk menentukan apakah tanah itu dapat dijadikan ladang atau tidak. Tanah adalah sumber penghidupan bagi mereka, yang akan menentukan keberhasilan dalam berusaha tani. Oleh karena itu dimana sebenarnya ladang harus dibuka dan berapa

lama lahan harus dibuka sangat tergantung dari tanda-tanda alam yang mereka dapatkan apakah melalui jenis pohon yang ada pada calon lokasi, satwa dan juga melalui mimpi seorang pemuka adat. Untuk tanah dan hutan di samping penelitian terhadap persepsi peladang, juga diteliti sikap mereka terhadap tanah dan hutan. a. Persepsi Terhadap Iklim Penelitian persepsi peladang terhadap iklim dilakukan dengan

mengajukan pertanyaan tentang kondisi iklim yang bagaimana yang sangat menguntungkan bagi peladang. Menurut pandangan peladang prakondisi iklim yang baik sebagai indikator akan keberhasilan pada tanam berikutnya adalah adanya kemarau yang panjang. Alasan yang dikemukakan adalah (1) bila kemarau panjang maka pembakaran akan berlangsung sempurna, lahan bersih dari sisa-sisa kayu dan ukuran yang dibuka lebih lugs. Pembakaran yang sempurna juga merupakan indikator akan melimpahnya hasil yang diperoleh dari ladang, hal ini diduga berhubungan dengan ketersediaan unsur hara akibat pembakaran yang sempurna. (2) Kemarau yang panjang juga merupakan indikator akan berlimpah buah-buahan dan hasil hujan lainnya seperti madu dan juga mereka dapat memanen ikan pada rawa-rawa yang mengering. Dengan demikian mereka mempunyai pandangan yang positif terhadap kemarau panjang untuk keberhasilan panen ditahun yang akan datang.

Dalam satu musim bercocok tanam, peladang mengklasifikasikan hujan sesuai dengan pertumbuhan tanaman yaitu (1) hujan penanaman adalah hujan yang urun pada awal musim tanam, berlangsung selama 4 - 7 hari. Setelah turun

hujan 3 - 4, baru mulai mereka mulai menugal dan menanam benih padi, (2) hujan saat padi mulai bunting, adalah hujan yang turun pada saat padi memasuki pertumbuhan generatif, berlangsung 3 - 4 hari. Pada prinsipnya peladang tidak menghendaki hujan yang turun terusmenerus sepanjang satu musim. Tetapi cukup pada saat tanaman padi betul-betul memerlukan air, yaitu pada awal penanaman dan pada saat memasuki pertumbuhan generatif. Untuk mendapatkan waktu-waktu hujan yang sesuai dengan kebutuhan tanaman mereka, maka penentuan waktu persiapan lahan dan waktu tanaman harus betulbetul tepat. Untuk itu mereka sangat peka dalam memperhatikan tanda-tanda alam. Persepsi peladang terhadap iklim pada dasarnya semuanya sama. b. Persepsi Terhadap Tanah Menurut pandangan peladang tanah merupakan media tumbuh bagi tanaman dan dipergunakan selama tanah masih dapat memberikan hasil yang baik. Bila tanah tidak lagi dapat memberikan hasil yang baik, maka harus ditinggalkan dan mencari lahan-lahan yang baru yang dapat menunjang kehidupan mereka. Dengan mengistirahatkan tanah beberapa waktu, biasanya lebih dari 15 tahun, maka lahan tersebut dapat dipergunakan kembali. Indikator yang digunakan untuk menentukan lahan telah dapat dibuka, bila telah ditumbuhi pohon-pohon dengan diameter + 15 cm. Penelitian terhadap persepsi dilakukan dengan mengajukan pertanyaan mengenai pandangan peladang terhadap ketersediaan tanah yang dapat dijadikan ladang, kemungkinan akan terus berpindah-pindah, kesuburan tanah dan pembakaran. Penelitian terhadap sikap dilakukan dengan mengajukan

pertanyaan tentang pembatasan luas lahan yang akan dibuka, pemupukan, kemungkinan terus berpindah-pindah, ukuran lahan yang dibagikan dan pembakaran. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 83,9s atau 47 responden dari 56 responden memiliki persepsi yang baik terhadap tanah sedang selebihnya tidak.. Di samping itu 28% responden menyatakan setuju dari pertanyaanpertanyaan yang diajukan dan 71,4% menyatakan tidak setuju. Hasil penelitian terhadap sikap dan persepsi peladang terhadap tanah disajikan pada Tabel 25. Tabel 25. Persepsi dan Sikap Peladang Terhadap Tanah Persepsi Baik Tidak baik Sikap Setuju 10 6 16 Tidak Setuju 37 3 40 Jumlah 47 9 56

Hubungan antara persepsi dan sikap peladang terhadap tanah diuji dengan menggunakan uji chikuadrat. Hasil uji Chi-kuadrat menunjukkan nilai X2 = 7,7 lebih besar dari X2 tabel,05 db.1 . Berdasarkan hipotesa maka tidak ada hubungan antara persepsi dan sikap peladang terhadap tanah. Sedang koefisien contingensi (c) = 0,34. Berarti antara persepsi dan sikap peladang tidak terjadi korelasi yang signifikan. Hasil perhitungan terlampirpada lampiran 12. Persepsi adalah cara pandang seseorang terhadap suatu obyek berdasarkan pengetahuan/ pengalaman yang dimilikinya. Oleh karena itu persepsi masih bersifat abstrak. Sedang sikap adalah kecenderungan kecenderungan yang menyatakan kesetujuan atau ketidaksetujuan, yang mengarah kepada tindakan. Melalui berbagai informasi, baik penyuluhan- penyuluhan secaralangsung atau yang berasal dari berbagai media massa, menyebabkan peladang dapat

mengetahui pentingnya arti tanah sebagai lahan dewasa ini. Tetapi pengetahuan yang dimiliki tidak ditunjang oleh keterampilan yang memadai, di samping itu juga masih kuatnya keterikatan terhadap kebiasaan- kebiasaan mereka yang lama. Dengan demikian maka walaupun pandangan-pandangan mereka cukup baik terhadap tanah, tetapi mereka belum mampu untuk mengubah cara-cara yang selam ini dilakukan. Oleh karena itu walaupun persepsi mereka cukup baik tetapi belum sampai terjadi perubahan sikap. c. Persepsi Terhadap Hutan Penelitian persepsi peladang terhadap hutan dilakukan dengan

mengajukan pertanyaan yang berhubungan dengan pandangan mereka terhadap hutan. Pertanyaan-pertanyaan tersebut meliputi pandangan terhadap cara-cara yang dilakukan yaitu merombak hutan untuk dijadikan ladang, apakah cara demikian tidak merusak hutan dan hubungan antara hutan dengan sumbersumber air. Penelitian sikap peladang terhadap hutan dilakukan dengan mengajukan pertanyaan- pertanyaan yang berhubungan dengan pendapat mereka terhadap batas-batas hutan dewasa ini seperti hak pengusahaan hutan (HPH), hutan tanaman industri (HTI), pelarangan terhadap perambahan hutan dan anjuran untuk bertani secara menetap. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 62,5% responden mempunyai persepsi yang baik terhadap hutan, sedang 37,5% kurang baik. di samping itu 48,2% ,menyatakan setuju atas pertanyaan yang diajukan atau bersikap setuju, sedang 51,8% menyatakan tidak setuju. Data penelitian mengenai persepsi dan

sikap responden terhadap hutan Tabel 26. Persepsi dan Sikap Peladang Terhadap Hutan Persepsi Baik Tidak baik Sikap Setuju 10 6 16 Tidak Setuju 37 3 40 Jumlah 47 9 56

Hubungan antara persepsi dan sikap peladang terhadap hutan diuji dengan menggunakan uji chikuadrat. Hasil uji Chi-kuadrat menunjukkan nilai X2 = 0,386lebih besardari X2 tabelo.05 lb=l . Berdasarkan hipotesismaka ada hubungan antara persepsi dan sikap peladang terhadap tanah. Sedang koefisien contingensi (c) = 0, 08. Berarti antara persepsi dan sikap peladang walaupun terdapat hubungan antara keduanya, tetapi tidak memiliki hubungan yang erat. Ketergantungan peladang terhadap hutan lebih besar dibanding dengan tanah. Hutan di samping merupakan cadangan lahan bagi peladang, juga merupakan cumber energi lainnya berupa hasil hutan. Walaupun

ketergantungan terhadap hutan cukup tinggi ditinjau dari sumbangan energi kepada rumah tangga peladang, namun mereka akan tetap membuka hutan untuk keperluan membuat ladang. Disinilah sebenarnya walaupun ada hubungan antara persepsi dan sikap peladang terhadap hutan tetapi hubungan itu kurang erat. Artinya walaupun menurut pandangan mereka bahwa hutan itu penting, tetapi mereka tidak berusaha untuk mempertahankannya. Seperti pembahasan pada persepsi dan sikap mereka terhadap tanah, maka faktor pembatasan yang kuat adalah terbatasnya keterampilan yang dimiliki

untuk mewujudkan pandangan-pandangan mereka.

Aspek-Aspek Konservasi Dalam Tradisi Perladangan 1. Kondisi Biofisik Ladang Hasil penelitian menunjukkan bahwa kondisi biofisik ladang sesudah tanam ketiga berada dalam keadaan yang tidak dimanfaatkan. Perbandingan antara hasil-hasil pengukuran di lapangan dengan nilai ambang batas disajikan pada Tabel 27. Angka-angka pada Tabel 27 memperlihatkan bahwa bukan saja kondisi biofisik ladang yang mengalami penurunan, tetapi juga pada plot percobaan. Pada komponen tanah dan hama tanaman perbandingan antara pengukuran dan kriteria ambang batas cukup jelas. Sedang gulma, walaupun Imperata cylindrica tidak menunjukkan pertumbuhan yang dominan, tetapi INPnya menunjukkan peningkatan yang berarti pada setiap tahun penanaman. Sesuai dengan bagan suksesi yang dikemukakan oleh Whitten (1987), pada pembakaran yang berulang-ulang atau setelah lahan ditinggalkan, maka alang-alang akan mendominasi vegetasi lainnya. Hal ini karena alang-alang memiliki daya adaptasi yang kuat dan juga mengeluarkan beberapa zat alelo kimia. Tabel 27. Kondisi Biofisik Ladang dan Plot Percobaan Setelah Tanam Ketiga Hasil Pengukuran Kriteria Parameter Nilai Keterangan Ladang Plot Ambang menguntungkan lagi untuk

Tanah : pH C/N KTK Pori drainase (% Vol.) Permeabilitas (cm/jam) Gulma (INP) : I. cylindrica Ageratum sp. Euphatorium sp Cynodon sp. Paspalum sp. Boreria sp. Hama Tanaman Penggerek batang (klp telur/m2) Walang sangit (ekor/m2) Ulat grayak (ekor/m2)

4,5 12 1,4 4,5 0,68 42,90 64,84 68,03 32,83 49,67 42,04 3 3 4

4,0 10 -

R/SR R SR SR SR

146,84 96,18 33,61 23,37 2 3 2 1-2 2 2 Melewati nilai ambang.

Keterangan : R = Rendah SR = Sangat Rendah Berdasarkan data di atas maka hipotesis untuk kondisi biofisik diterima, berarti pada tanam ketiga kondisi biofisik lahan berada dalam keadaan rapuh (fragile). Kondisi seperti ini menunjukkan bahwa faktor-

faktor ekologi merupakan pembatas yang kuat dari kosistem terhadap kegiatan budidaya yang dilakukan. Usaha-usaha pemberian input secara tetap setiap tahun

untuk mempertahankan tingkat kesuburan tanah juga ternyata memperlihatkan kondisi biofisik yang semakin enurun yang juga diikuti dengan penurunan produksi.

Atau

dengan

kata

lain

untuk

mempertahankan

kondisi

biofisik, maka input yang diberikan (pupuk dan obat-obatan) harus terns meningkat. Kondisi seperti ini ecara lugs juga terjadi pada pengembangan, pertanian anaman pangan di Sulawesi Tenggara yang dilakukan

melalui paket usahatani. Perubahan dari intensifikasi mum menjadi intensifikasi khusus dan kini supra insus, idak memperlihatkan peningkatan produski yang setara dengan input yang diberikan. Sedang di lain pihak

laporan dari sub Dinas Perlindungan Tanaman (1992) bahwa beberapa jenis serangga telah menunjukkan resistensi terhadap obat-obat yang dipergunakan untuk penanggulangan. Penggantian terhadap unsur hara yang

hilang seyogyanya sepadan dengan kondisi semula saat lahan berada pada phase hutan mencapai tahap klimaks (klimatik klimaks). Kellog (1963) dalam Foth (1991) meneliti tentang akumulasi hara lahan bekas perladangan

yang ditinggalkan di Kongo, mendapatkan bahwa vegetasi hutan yang ditinggalkan 18 - 19 tahun memiliki hara 4 kali lebih besar dari yang ditinggalka- Selama 4 tahun. Hubungan antara Akumulasi hara den-ca-lamanya hutan yang ditinggalkan disajikan pada Tabel 28.

Tabel 28.

Akumulasi Hara (atau immobolisasi) Dalam Hutan yang Ditinggalkan di Kongo N 188 566 578 701 Immobilisasi Hara Dalam Vegetasi (kg/ha) P S K Ca + Mg 22 37 185 160 33 103 455 420 35 101 839 677 108 196 600 820

Lamanya hutan yang ditinggalkan 2 tahun 5 tahun 8 tahun 18 19 tahun

Sumber : C.E. Kellog, "Shiffting cultivation' dalam Foth (1991). Untuk mengatasi masalah pembatas ekosistem peladang menempuhnya dengan cara berpindah-pindah, pengaturan waktu tanam dan pengaturan kepadatan tanaman pada setiap kali tanam secara berbeda-beda. Cara ini memang belum sempurna untuk itu perlu ditingkatkan misalnya dengan cara pengaturan kepadata;i tanaman masih perlu ditingkatkan dengan penentuan jarak tanam dan penanaman secara tandur jajar, untuk meningkatkan populasi tanaman dalam satu satuan luasan. Selain itu cara-cara penanaman dengan menugal, juga dapat menekan terjadinya erosi yang berlebihan. Cara-cara ini identik dengan pengolahan tanah minimum (minimum tillage) seperti yang dianjurkan dalam upaya-upaya konservasi, tetapi masih Perlu ditingkatkan. Suwardjo (1981) mengemukakan bahwa salah satu persyaratan penting dalam minimun tillage .-.arus diikuti dengan penggunaam mulsa. Perlakuan ini zidak terjadi pada peladang karena sisa-sisa tanaman -vaitu jerami padi dan jagung tidak dipergunakan sebagai mulsa tetapi dibakar. Di camping itu masih ada beberapa kegiatan peladang yang berkaitan dengan aspek-aspek -%onservasi seperti rotasi tanaman, menanami benih setelah tanah dalam keadaan lembab atau basah, merupakan tradisi yang adaptip dengan kondisi ekosistem setempat. 2. Strategi Adaptasi Hasil analisis net B/C menunjukkan bahwa nilai net B/C ladang (2,77) > nilai net B/C plot (1,58). Berdasarkan hipotesis ini berarti bahwa strategi yang dijalankan oleh peladang adalah tepat. Tetapi berdasarkan berbagai uraian

tentang kondisi ekologi dan social ekonomi, makes strategi yang ditempuh ini perlu ditingkatkan karena tidak sesuai lagi dengan pandangan-pandangan terhadap sumberdaya dewasa ini. Sebagaimana diketahui bahwa jumlah lahan terbatas, sedang kebutuhan akan lahan tidak terbatas. Oleh karena itu sepanjang lahan masih tersedia, untuk melakukan perpindahan (rotasi) cares-cares ini merupakan strategi yang tepat, tetapi bila lahan tidak cukup tersedia maka strategi yang dilakukan dengan cara berpindah perlu dirubah. Perubahan terhadap strategi peladang selama ini perlu

mempertimbangkan faktor-faktor ekologi. Karena faktor ekologi merupakan faktor pembatas yang kuat pada lingkungan biofisik peladang. Secara ekonomi strategi yang ditempuh peladang memberikan keuntungan untuk suatu periode tertentu. Keuntungan yang diperoleh dengan hanya mengandalkan faktor alam inilah yang perlu dikembangkan, karena usaha-usaha pertanian yang diterapkan pada sistem pertanian sawah, yaitu dengan pemupukan dan bersifat monokultur ternya--a tidak memberikan hasil yang memuaskan. Hal ini tidak raja terjadi pada plot percobaan, tetapi juga pada pertanian rakyat baik di lahan kering maupun persawahan. Sebagai perbandingan produksi pad_ yang dicapai pada irigasi teknis Wawotobi di Sulawesi Tenggara dengan program intensifikasi khusus adalah 4,629 ton/ha (ubinan), sedang rata-rata produksi Sulawesi Tenggara 3,922 ton/ha (Dinar Pertanian Tana-man Pangan Tk.I Sulawesi Tenggara 1992). Sedang pada lokasi-lokasi transmigrasi di Sulawesi Tenggara produksi padi yang dicapai lebih rendah lagi yaitu rata-rata 2,3 ton/ha, untuk tanam pertama.

Ini berarti lingkungan biofisik tetap merupakan pembatas yang kuat, dimana pemberian input yang terus meningkat akan diperhadapkan dengan hukum kenaikan hasil yang berkurang (The Law of Deminishing Return). Apabila sumber-sumber energi yang diserap oleh peladang selama ini dapat terus dipertahankan maka mereka mempunyai potensi produksi yang besar. Dalam masyarakat perladangan sebagaimana yang ditunjukkan dalam diagram input-output sistem perladangan (Gambar 5), ladang bukan satusatunya sumber energi yang dimanfaatkan oleh satu rumah tangga peladang. Di samping ladang juga terdapat sumber-sumber energi lainnya seperti yang berasal dari (1) hutan berupa madu, rotan, kayu dan binatang buruan, (2) rawa berupa ikan dan tanaman akuatik lainnya, (3) sagu berupa bahan makanan pokok, (4) peternakan berupa daging dan telur, bunggu (istilah suku Tolaki yang berarti kebun di belakang rumah) berupa kopi, lada, kelapa, kakao dan pasar berupa kebutuhan pokok lainnya. Sumber-sumber energi tersebut bersiklus dan dimanfaatkan dalam waktu yang berbeda-beda sesuai dengan perputaran musim. Berdasarkan Gambar 4, dapat disusun lingkaran bahan pangan dari suatu agrosistem peladang seperti pada Gambar 12. Ladang Hutan Rawa

Sagu Ternak Keterangan : ___________________ Siklus Alamiah /Primer ___________________ Siklus Sekunder PasaR

Bunggu

-------------Siklus Bebas Gambar 12. Lingkaran Bahan Pangan D-=--F- Agrosistem Peladang Di Sulawesi Tenggara Pada akhir musim kemarau yaitu pertengahan bulan November hingga awal bulan Desember peladang akan memanfaatkan ikan yang berasal dari rawa-rawa di sekitarnya yang telah menyusut airnya (mmengering). Di camping menangkap ikan di rawa-rawa, mereka juga mulai membuka/membersihkan lahan untuk bercocok tanam. Kegiatan.ini dilaksakan hingga akhir bulan Desember. Setelah penanaman yaitu awal musim hujan (akhir Desember hingga awal Januari) mereka akan mengambil hasil hutan seperti madu dan rotan. Pembuatan tepung sagu dilakukan pada pertengahan musim hujan, karena memerlukan banyak air, waktu yang diperlukan untuk ini 2 - 3 minggu. Pada.saat ini tanaman di ladang telah imbuh dan juga hasil hutan seperti madu telah selesai asa pengambilannya. Setelah itu peladang akan memanfaatkan hasil .anaman yang berada di belakang rumahnya atau yang Jisebut bunggu. Pengawasan terhadap ternak peliharaannya dilakukan setiap hari, sedang kegiatan pasar berlangsung pada hari Sabtu. Pada hari pasar peladang menjual hasil bumf atau hasil hutannya dan membeli keperluan pokok seperti gula, sabun, garam dan lain-lain dari pasar. Bila faktor-faktor ekologi merupakan pembatas yang kuat dalam usahausaha pengembangan social ekonomi suatu masyarakat, maka konsep pelestarian hendaknya berjalan diatas kaidah-kaidah clam yang ada. Pada pembahasan komponen biofisik, hasil-hasil penelitian sifat fisik dan kimia tanah, gulma dan tingkat serangan hama baik pada ladang maupun plot

percobaan memperlihatkan kondisi yang sama. Ini berarti dengan perlakuan apapun akan tetap diperhadapkan dengan masalah yang sama seperti produksi yang tidak sebanding dengan input karena baik secara ekologi maupun ekonomi memiliki titik jenuh, artinya secara ekologi ada batas kelentingan (resiliency) sedang secara ekonomi akan berkenaan dengan hukum kenaikan hasil yang berkurang. Dengan demikian faktor-faktor meneje-.;--n akan sangat berperan dalam memanfaatkan kondisi ekologi untuk peningkatan sistem sosial ekonomi yang ada. Pemanfaatan pengetahuan peladang terhadap faktor---"aktor alam seperti penentuan waktu tanam, cara-cara bercocok tanam, ada yang perlu dipertahankan di samping ditingkatkan untuk mendapatkan hasil yang optimal. Karena perlu disadari bahwa penggunaan teknologi pemupukan yang dilakukan baik pada pertanian lahan keying maupun pada persawahan yang lebih berorientasi pada pertumbuhan ekonomi ternyata tidak dapat memberikan hasil yang optimal Dilain pihak sistem sosial ekon----.-* masyarakat ladang perlu mendapat perhatian karena tradisi tidak membuka lahan pada waktu-waktu tertentu dan berlakunya sistem bagi hasil tidak dapat menunjang pembangunan sosial ekonomi masyarakat ladang. Tradisi ini tidak memberikan manfaat yang berarti, sebaliknya mengakibatkan berkurangnya jumlah yang sebenarnya dapat dikonsumsi atau disimpan oleh peladang yang mengusahakan lahan.

Walaupun Whitten (1987) menggambarkan tradisi ini sebagai suatu bentuk pemerataan dan keadilan, tetapi jelas tidak sesuai lagi dengan konsep

pembangunan dewasa ini, dimana pemerataan dan keadilan yang perlu diikuti dengan peningkatan kondisi sosial ekonomi. Adanya perbedaan persepsi dan sikap peladang terhadap tanah, merupakan indikator bahwa pengetahuan yang dimiliki oleh peladang tidak didukung oleh keterampilannya. Demikian pula persepsinya terhadap hutan, lebih banyak dipengaruhi oleh keterikatannya terhadap pemanfaatan hutan sumberdaya hutan dalam jangka pendek. Hutan akan tetap dirombak bila ladangnya tidak lagi memberikan hasil yang memadai.

KESIMPULAN DAN SARAN 1. Kesimpulan a. Kondisi Biofisik Pengujian sifat fisik dari kimia tanah menunjukkan bahwa pada tanam ketiga baik pada perladangan maupun pada plot percobaan menunjukkan penurunan kualitas. Tingkat kemasaman tanah (pH) pada ladang turun dari 6,5 menjadi 4,5 sedang pada plot percobaan turun dari 6,5 menjadi 4,G. Berarti kemasaman tanah berubah dari agak masam menjadi masam bahkan pada plot percobaa- :--:--jadi sangat masam. Bahan organik berubah menjatsangat rendah dari rendah, begitu juga dengan Ini berarti tanah pada ladang dan plot percobaan menurun tingkat kesuburannya. Gulma pada ladang menunjukkan perubahan formasi dari jenis-jenis yang termasuk dalam indikator kesuburan seperti Euphatorium sp menjadi formasi gulma berbahaya seperti. Cyperus sp dan Imperata cylindrica. Perubahan ini ditunjukkan oleh indeks nilai penting (INP). INP Euphatorium sp. berubah dari 92,32 pada tanam pertama menjadi 85,56 pada tanam kedua dan 68,03 pada tanam ketiga. Sebaliknya INP Imperata cylindrica sebagai salah satu gulma yang berbahaya meningkat dari 14,66 pada tanam pertama menjadi 27,67 pada tanam kedua dan 42,90 pada tanam ketiga. Walaupun Imperata cylindrica belum merupakan gulma yang dominan tetapi perubahan INP lebih cepat dibanding jenis gulma lainnya. Sedang pada plot percobaan walaupun tidak terdapat Imperata cylindrica, tetapi gulma penting lainnya seperti Cyperus sp. cukup dominan.

Populasi ketiga jenis hama tersebut pada ladang masing-masing penggerek batang ditemukan 3 kelompok telur/m2 dari nilai ambang batas 1 2 kelompok telur /M2 , walang sangit ditemukan 3 imago /M2 sedang nilai ambang batas 2 imago/m2 dan ulat grayak ditemukan 4 ulat /M2 sedang nilai ambang batas 2 ekor/m2. Pada plot percobaan ditemukan penggerek batang 2 kelompok telur/m2, walang sangit 3 imago /M2 dan ulat grayak 2 ekor/m2. Populasi hama tanaman yang ditemukan baik pada ladang semua di atas nilai ambang batas ekonomi sedang pada plot percobaan juga telah berada pada nilai ambang batas ekonomi. Perubahan populasi hama tanaman pada tanam ketiga ini, sejalan dengan perubahan gulma dan kondisi biofisik ladang dan plot percobaan pada umumnya. Perbandingan angka kriteria nilai ambang batas dan hasil pengukuran baik pada lad--= maupun plot percobaan menunjukkan bahwa faktor-faktor ekologi merupakan pembatas yang kuat pada usaha memanipulasi komponen ekosistem alarm. b. Komponen Sosial Ekonomi Secara ekonomi pengalokasian sumberdaya dalam satu siklus penggunaan lahan untuk ladang dalam tiga kali tanam menguntungkan. Nilai net B/C ladang untuk satu siklus adalah 2,77 lebih besar dibanding dengan net B/C plot percobaan yaitu sebesar 1,58. Nilai net B/C ladang lebih baik dibanding dengan plot percobaan karena penggunaan input yang besar pada ladang hanya terjadi pada tanam pertama yaitu Rp.576.000,- menurun menjadi Rp. 422.000,- pada tanam kedua dan Rp.351.000,- pada tanam ketiga, atau masing-masing penurunan sebesar 26,74% tanam kedua terhadap tanam

pertama, 16,82% tanam ketiga terhadap tanam tanam kedua dan 39,06% tanam ketiga terhadap tanam pertama. Presentase penurunan produksi adalah 9,46% tanam kedua terhadap tanam pertama, 39,49% tanam ketiga terhadap tanam kedua dan 45,22% tanam ketiga terhadap tanam pertama. Presentase penurunan produksi dalam satu siklus pada ladang tetap dapat diimbangi, karena prosentase penurunan produksi ladang dari tanam pertama ke tanam kedua sangat kecil dibanding dengan penurunan pengunaan input. Penggunaan input pada plot percobaan dan juga pertanian menetap secara umum tidak demikian adanya. Penggunaan input senantiasa tetap bahkan terns meningkat, tetapi kenaikan input tidak diikuti dengan kenaikan hasil yang berarti. Pada plot percobaan penggunaan input yang diberikan senantiasa tetap yaitu Rp. 599.950,- sedang hasil yang diperoleh adalah Rp. 1.584.000,- pada tanam pertama, Rp. 1.598.400,- pada tanam kedua dan Rp. 1.440,240 pada tanam ketiga. Apabi la dikaitkan dengan kebutuhan kalori, maka baik produksi nyata pada tanam pertama kedua dan ketiga masing-masing 9.011,175,7 kalori, 12.012.911,4 kalori dan 5.912.949 kalori masih berada di atas kebutuhan kalori bagi satu rumah tangga peladang. Tetapi tidak demikian halnya dengan produksi bersih. Pada tanam pertama dan kedua masing-masing 6.307.822,99 kalori dan 8.409.037,98 kalori masih berada diatas kebutuhan kalori bagi satu rumah tangga, tetapi pada tanam ketiga produksi bersih yang diperoleh 3.941.966 kalori berada di bawah kebutuhan bagi satu rumah tangga peladang. Kekurangan yang terjadi karena adanya tradisi dalam masyarakat

ladang, dimana dalam satu musim tanam ada keluarga peladang yang tidak membuka lahan, tetapi akan mendapatkan bagi hasil sebesar sepertiga dari produksi. Bagi hasil ini tidak secara dengan kontribusi kerja yang diberikan. Pemanfaatan sumber-sumber energi diluar ladang seperti dari hutan, rawa, sagu dan bunggu yang merupakan siklus primer memberikan kontribusi yang besar dalam usaha subtitusi terhadap hasil yang diperoleh ladang. Hasilhasil yang dipanen secara bergilir menggambarkan beragamnya sumber energi yang dapat dimanfaatkan oleh peladang, dan memungkinkan sumber-sumber energi ini dapat digunakan secara lestari. Pemanfaatan secara lestari berkaitan dengan konservasi dalam ekonomi sumberdaya yaitu pemanfaatanpemanfaatan secara intertemporal. Adanya perbedaan persepsi dan sikap masyarakat ladang terhadap tanah, menggambarkan bahwa ada kesenjangan yang besar antara pandanganpandangan dan keterampilan yang dimiliki. Peranan penyuluhan baik secara langsung maupun tidak langsung merupakan salah satu penyebab adanya kesenjangan ini. Secara teori melalui penyuluhan mereka dapat menambah pengetahuannya tetapi hal ini tidak diikuti dengan praktek sehingga pengetahuan ini tidak didukung oleh keterampilan. Akibatnya cara-cara lama terns dilakukan seperti pembakaran. Walaupun nilai x2 persepsi dan sikap berhubungan, tetapi hubungan yang ada tidak erat. Hal ini ditunjukkan dalam nilai koefisien kontingensinya. Nilai korelasi yang rendah terjadi karena walaupun persepsi dan sikap mereka terhadap hutan lebih baik, tetapi hutan tetap merupakan cadangan lahan untuk ladang.

Persepsi dan sikap yang baik juga terhadap hutan karena hutan memberikan kontribusi yang besar terhadap kebutuhan rumah tangga peladang. Tetapi karena terbatasnya keterampilan untuk pengembangan sumberdaya di luar ladang seperti budidaya lebah madu, rotan, dan jenis kayu tertentu menyebabkan sumberdaya ini tidak berkembang , malah sebaliknya walaupun hutan merupakan sumberdaya penting, tetapi mereka harus merusaknya untuk membuka ladang. c. Interaksi Kondisi Biofisik dan Sosial Ekonomi. Penurunan kondisi biofisik pada tanam ketiga terjadi baik di ladang maupun di plot percobaan yang menggunakan input. Hal ini menunjukkan bahwa faktor-faktor ekologi menjadi pembatas yang kuat dalam suatu ekosistem. Atau dengan kata lain pengubahan ekosistem alam memiliki

batas kePentingan (resiliency), dimana pengusahaan ekosistem yang melampaui batas-batas ini akan mengakibatkan hilangnya kemampuan untuk kembali ke keadaan semula. Kondisi demikian itu berarti ekosistem telah berada dalam keadaan rapuh (fragile). Penurunan kondisi biofisik berpengaruh pada penurunan produksi ladang dan juga plot percobaan pada tanam ketiga. Pemberian input pada plot percobaan ternyata tidak memberikan hasil yang lebih baik dibanding dengan cara- cara yang ditempuh oleh peladang selama satu siklus. Dengan demikian maka pada prinsip strategi yang dijalankan peladang dalam menghadapi kondisi lingkungannya cukup akurat. Artinya dalam kondisi yang serba terbatas mereka masih mampu memanfaatkan sumberdaya tersebut

semaksimal mungkin untuk menjaga kelangsungan hidupnya. 2. S a r a n 1. Upaya-upaya peningkatan kondisi biofisik 1 ingkungan perladangan perlu dilakukan melalui pendekatan ekologis. Untuk itu usaha-usaha konservasi tanah perlu memperhatikan faktor- faktor ekologi seperti mempertahankan tingkat keragaman hayati, menjaga siklus hara dan menekan laju erosi dengan cara-cara vegetatif. 2. Memanfaatkan dan mengembangkan pengetahuan peladang, karena

bagaimanapun pengetahuan yang ada pada mereka sangat adaptip dengan kondisi lingkungannya. Hal ini dapat dilakukan dengan cara mengurangi caracara yang meruaikan baik ditinjau dari aspek ekologi seperti pembakaran maupun dari aspek sosial ekonomi seperti bagi hasil yang tidak berimbang. 3. Subsidi kepada peladang mutlak diperlukan untuk mengembangkan potensi yang ada, karena pada prinsipnya cara-cara yang ditempuh memberikan hasil yang cukup untuk memenuhi kebutuhannya. Subsidi ini ditujukan untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan peladang dalam lingkungan teknik konservasi dan menejemen.

DAFTAR PUSTAKA Bennett, H. 1945. Soil conservation in Latin America. In Verdorn, F. et. al. Plant and plant science in Latin America. Waltham, Mass, Chronica Botanica. Clapham, W.B. Jr. 1976. An Approach to quantifying the exploitability of human ecosystem. Pleneum Publishing Corporation, New York. Cowgil, U.M. 1962. An agriculture study of the southern Malaya lowlands. American Anthropologist, 64 273- 286. Dove, M.R. 1988. Sistem perladangan di Indonesia, Suatu study kasus di Kalimantan Barat. Gajah Mada University Press. Foth, Henry, D. 1991 Dasar-Dasar Ilmu Tanah. Edisi ke 7. Diterjemahkan oleh Ir. Endang Pubayanti, MS. dkk. Editor Ir. Sri Andani B. Hudoyo, MS. Fakultas Peternakan Universitas Diponegoro, Gajah Mada University Press. Geertz, C. 1983. Involusi Pertanian, proses perubahan ekologi di Indonesia. Lembaga Penelitian Sosiologi Pedesaan Institut Pertanian Bogor dan Yayasan Obor. Bhratara Karya Aksara. Jakarta. Gittinger, W.P. 1973. Economic Analysis of Agriculture Project. Development Digest Vol. No. 3. Hasan, E. Djuhumria. 1988. Analisis Tenaga Kerja Petani Ladang Berpindah Di Kabupaten Kendari. Skripsi. Fakultas Pertanian Universitas Haluoleo. Hadi, Bambang. 1991. Pengaruh Pengapuran dan Cara Penempatan Pupuk P Terhadap Pertumbuhan dan Produksi Padi Gogo (Oryza sativa. L), Pada Tanah Podsolik Merah Kuning. Skripsi. Fakultas Pertanian Universitas Haluoleo Kendari. Headley, J.C. 1972. Defining The Economic Thershold, in Pest Control Strtegies for the Future, NAS Washington D.C., 100 - 108. rman Haeruman Js. 1979. Perencanaan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Sekolah Pascasarjana, Jurusan Pengelolaan Sumberdaya dan Lingkungan, IPB. --.-:fschmidt, M.M. at. al. 1987. Lingkungan, Sistem Alam dan Pembangunan. Pedoman Penilaian Ekonomis. Sugeng Martopo ed. Gajah Mada University Press. Yogyakarta. E,hemat Soerianegara. 1978. Pengelolaan Sumberdaya Alam Sekolah Pascasarjana, Jurusan Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan IPB.

--riskoupy. 1978. Shifting Cultivation With Special Regard to Southheast Asia. Silvaecultura Tropics Et Subtropics. 6. Science Institut, University Of Agriculture, Prague, Czechoslovakia. -alompok Peneliti Agro-ekosistem (KEPAS) . 1990. Analisis Agro-ekosistem untuk pembangunan masyarakat pedesaan Irian Jaya. Baden Penelitian dan Pengembangan Pertanian dan PSL. Universitas Cenderawasih Berta The Ford Foundation. .anan, S. 1976. Pengaruh Hutan dan Managemen Daerah Aliran Sungai. Proyek P3T IPB. 3dum, E.P. 1971. Fundamentals of Ecology, 3rd ed., Philadephia, Saunders. Rambo, A.T. 1983. Conceptual Approaches to Human Ecology Research Report No.14 Honolulu: Eas-West Center, Borneo of American Ethnology Bulletin 120. Randall. 1981. Resource Economics. An Economic Approach to Natural Resource and Environmental Policy. University of Kentucky. Grid Publishing, Inc., Columbus, Ohio. Schoorl, J.W. 1982. Moderenisasi, Pengantar Sosiologi Pembangunan NegaraNegara Sedang Berkembang. PT. Gramedia Jakarta. Silvana M. 1991. Pengaruh Pupuk TSP dan Pospat Alam Terhadap Pertumbuhan Hasil Tanaman Padi Gogo (Orysa sativa L.) Pada Tanah Podsolik Merah Kuning. Skripsi. Fakultas Pertanian Universitas Haluoleo Kendari. Sitanala Arsyad. 1991. Konservasi Tanah dan Air. IPB Press. Tato Sudharto, H. Suwardjo, D. Ervandi dan T. Budhyastoro. 1992. Permasalahan dan Penanggulangan Alang-Alang, Seminar Alang-Alang, Bogor. Tjitrosoedirdjo, Sukisman., Utomo, I.H., Wiroatmodjo, J. 1984. Pengelolaan Gulma Di Perkebunan. Pt. Gramedia, Jakarta. Tjondronegoro, SMP. 1983. Ekologi Manusia Beberapa Sendi Pokok. Training Analisis Dampak Lingkungan, KLH - PUSDI - PSL IPB Bogor. Steggerda, M. 1941. Maya Indians of Yukatan. Washington D.C. Carnegie Institute of Washington Publication No.351 Siswomartono, 1989. Ensiklopedia Konservasi, CV. Rajawali, Jakarta. Suwardjo. 1981. Peranan Sisa-sisa Tanaman dalam Konservasi Tanah dan Air pada Lahan Usahatani Tanaman Semusim. Desertasi. Fakultas Pascasarjana IPB. Suwardjo, H. dan Ai Dariah. 1992. Peluang dan Kendala Pengembangan Pertanian

Lahan Kering di Sulawesi Tenggara. Seminar Pengembangan Teknik-Teknik Pengelolaan Lahan Kering di Kendari. Waat, Kenneth, E.F. 1973. Principles of Environmental Science, Departement of Zoology and Institute of Ecology, University of California, Davis. Whitten, A.J. et. al. 1987. Ekologi Sulawesi. Gadjah Mada University Press. Wolf, E .R. 1983. Petani, Suatu Tinjauan Antropologi, CV. Rajawali, Jakarta.

LAMPIRAN

Foto 1. Tumpangsari di Ladang Padi dan Jagung

Foto 2. Kondisi Saat Padi Matang

Foto 3. Kondisi Pemukiman

Foto 4. Kondisi Ladang Saat Bera

Lampiran 2. I. A. 1.

INPUT PERLADANGAN Tenaga Kerja Tanam Pertama Jumlah Orang L P A 2 1 2 1 Hari Kerja Konservasi HKP

Kegiatan Pembersihan - Penebangan - Pembakaran 1 - Pengumpulan - Pembakaran 2 Pemagaran - Pengumpulan - Pembuatan Penanaman - Penugalan - Penanaman Penyiagaan Pemanenan - Panen - Penyimpanan Hasil

8 1 2 1

16 1 4 1

2 2

3 14

6 28

4 2 1 2 1 1 6 1 6 1 4

2 2 15 6 2 41

8 7,6 34,5 52,8 3,6 162,5

Sumber : Catatan :

1 HKP = 1 orang pria dewasa 1 orang wanita dewasa= 0,8 HKP 1 orang anak-anak (15 thn) = 0,5 HKP

2.

Tanam Kedua Kegiatan Jumlah Orang L P A 1 4 2 1 2 1 Hari Kerja Konservasi HKP

Pembersihan - Pembakaran Penanaman - Penugalan - Penanaman Pemeliharaan - Penyiangan Pemanenan - Panen - Penyimpanan hasil

1 2 2 2 4 12 5 2 24

1,0 8,0 10,8 43,2 44,0 3,6 110,6

6 2 6 1

3.

Tanam Ketiga Kegiatan Jumlah Orang L P A 1 2 1 1 2 1 2 4 1 4 2 4 Hari Kerja Konservasi HKP

Pembersihan - Pembakaran Penanaman - Penugalan - Penanaman Pemeliharaan - Penyiangan Pemanenan - Panen - Penyimpanan hasil

1 2 2 10 5 2 24

1,0 4,0 5,6 36,0 36,0 3,6 86,2

B.

Benih Untuk 1 Ha 1. Tanam Pertama Jenis Benih Satuan Jumlah Padi Ladang kg/ha 90 Jagung local kg/ha 102

Harga STN Jumlah Harga Rp. 500,- Rp. 52.500,Rp.450,- Rp. 36.000,Rp. 85.500,-

2. Tanam Kedua Jenis Benih Satuan Padi Ladang kg/ha Jagung local kg/ha

Jumlah 90 102

Harga STN Jumlah Harga Rp. 500,- Rp. 45.000,Rp.450,- Rp. 45.900,Rp. 90.900,-

3. Tanam Ketiga Jenis Benih Satuan Padi Ladang kg/ha Jagung local kg/ha

Jumlah 60 60

Harga STN Jumlah Harga Rp. 500,- Rp. 30.000,Rp.450,- Rp. 27.000,Rp. 90.900,-

Lampiran 3. II. PRODUKSI 1. Tanam Pertama Produksi (kg/100 m2) Hasil Ubinan Padi Ladang Jagung 1 24,5 27,3 2 22,6 24,2 3 26,3 28,5 4 28,2 30,6 5 30,8 29,7 6 29,7 28,1 7 29,8 26,2 8 24,6 23,2 9 25,1 24,6 Rata-rata 26,84 26,93 2. Tanam Kedua Hasil Ubinan 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Rata-rata Produksi (kg/100 m2) Padi Ladang Jagung 18,8 31,7 19,1 34,6 20,4 32,1 17,2 33,7 19,2 35,4 16,2 30,7 17,7 37,4 18,8 36,1 16,1 31,2 18,16 33,65 Konversi (ton/ha) Padi Ladang Jagung 1,88 3,17 1,91 3,46 2,04 3,21 1,72 3,31 1,92 3,54 1,62 3,07 1,77 3,74 1,88 3,61 1,61 3,12 1,816 3,365

Konversi (ton/ha) Padi Ladang Jagung 2,45 2,73 2,26 2,42 2,63 2,85 2,82 3,06 3,08 2,97 2,97 2,81 2,98 2,61 2,46 2,32 2,51 2,46 2,684 2,693

3. Tanam Ketiga

Hasil Ubinan 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Rata-rata

Produksi (kg/100 m2) Padi Ladang Jagung 13,4 15,7 11,2 16,3 10,4 14,4 12,8 12,1 11,7 14,2 10,7 15,1 10,2 13,7 9,8 14,5 10,2 13,7 11,16 14,41

Konversi (ton/ha) Padi Ladang Jagung 1,34 1,57 1,12 1,63 1,04 1,44 1,28 1,21 1,17 1,42 1,07 1,51 1,02 1,37 0,98 1,45 1,02 1,37 1, 16 1,441

Lampiran 4. REKAPITULASI

I. INPUT PERLADANGAN 1. Tenaga Kerja HKP x Rp. 3000,HKP x Rp. 3000,HKP x Rp. 3000,Total 359,3 HKP x Rp. 3000,2. Benih Padi Ladang - Tanam Pertama 105 HKP x Rp. 500,- Tanam Pertama 90 HKP x Rp. 500,- Tanam Pertama 60 HKP x Rp. 500,Total 255 HKP x Rp. 3000,-

Tanam Pertama 162,5 = 487.500,Tanam Pertama 110,6 = 331.800,Tanam Pertama 86,2 = 258.600,= 1.077.900,-

= 52.500,= 45.000,= 30.000,= 127.500,-

3. Jagung - Tanam Pertama 80 HKP x Rp. 450,- = 36.000,- Tanam Pertama 102 HKP x Rp. 450,- = 45.000,- Tanam Pertama 60 HKP x Rp. 450,- = 27.000,Total 242 HKP x Rp. 450,- = 1.314.300,II. PRODUKSI : Padi Ladang Tahun

I II III

Total Jagung Tahun I II III

= 2.684 X Rp. 480,= 1.816 x Rp. 480,= 1.493 x Rp. 480,= 5.993 x Rp. 480,= 2.693 x Rp. 318,= 1.816 x Rp. 318,= 1.493 x Rp. 318,= 7.499 x Rp. 318,-

= 1.288.320 = 871.680 = 716.640 = 2.876.640 = 856.374 = 1.070.070 = 458.232 = 2.384.682 5.261.322

Total

Lampiran 5. Data hasil Demplot Hasil Gabah Kering dengan Kadar Air 14% Kelompok Total Perlakuan AP I II III K0 P1 2,79 2,35 2,49 7,63 P2 3,03 3,13 3,54 9,70 P3 3,18 3,60 3,10 9,88 P4 2,88 3,68 3,47 10,03 P5 4,31 3,28 4,21 11,80 P6 3,57 3,63 3,36 10,56 Sub total 19,76 19,67 20,60 59,60 P1 2,30 2,36 2,50 7,16 P2 2,03 3,19 3,50 8,72 P3 3,67 3,16 3,25 10,08 P4 3,81 3,32 3,78 10,91 P5 4,12 3,97 3,88 11,97 P6 3,80 3,96 3,69 11,45 Sub total 19,73 19,96 20,60 60,29 Total 39,49 39,63 40,77 119,89 Sumber : Sub Balai Penelitian Tanaman Pangan Waotobi, Tahun 1991

Rata-rata 2,54 3,23 3,29 3,34 3,93 3,52 3,30 2,39 2,91 3,36 3,64 3,99 3,82 3,35 3,33

Lampiran 6 Perlakuan pada Demplot : Perlakuan Kapur Urea K0 P1 133 P2 133 P3 133

TSP 130 130 130

KCl 100 100 100

P4 P5 P6 K1 P1 P2 P3

740 740 740

133 133 133 133 133 133

130 130 130 130 130 130

100 100 100 100 100 100

P4 P5 P6

740 740 740

133 133 133

130 130 130

100 100 100

Cara Penempatan Pupuk P Disebar lalu diaduk sedalam 15 cm Diaduk dibarisan tanaman selebar 10 cm dan sedalam 15 cm Dalam alur 5 cm disamping barisan tanaman selebar 5 cm sedalam 10 cm cm kemudian ditutup dengan tanah Dalam alur selebar 5 cm di bawah barisan tanaman sedalam 10 cm Ditugal disamping benih sedalam 7 cm Ditugal disamping benih sedalam 15 cm. Disebar lalu diaduk sedalam 15 cm Diaduk dibarisan tanaman selebar 10 cm dan sedalam 15 cm Dalam alur 5 cm disamping barisan tanaman selebar 5 cm sedalam 10 cm kemudian ditutup dengan tanah. Dalam alur selebar 5 cm di bawah barisan tanaman sedalam 10 cm Ditunggal disamping benih sedalam 7 cm Ditunggal disamping benih sedalam 15 cm

Lampiran 7. Hasil Gabah Kering Kadar Air 14% (ton/ha) Perlakuan Kelompok Total Rata-rata I II III P0P 0,150 0,438 0,812 1,400 0,467 P1 1,843 2,881 2,148 6,872 2,291 P2 1,921 2,901 2,608 7,430 2,477 P3 2,250 2,288 1,781 6,319 2,106 P4 2,884 2,086 3,232 8,202 2,734 P5 2,940 2,423 3,268 8,631 2,877 P6 3,188 3,256 3,137 9,617 3,206 P7 2,156 3,027 2,388 7,571 2,524 P8 2,905 3,121 2,053 8,079 2,693 Sumber : Sub Balai Penelitian Tanaman Pangan Wawotobi, Tahun 1991 Keterangan : P0 = Tanpa perlakuan P1 = Dipupuk 90 kg/ha P2O5 dalam bentuk TSP diberi sekaligus pada pertanaman pertama P2 = Dipupuk 180 kg P2O5 dalam bentuk TSP diberikan sekaligus pada pertanaman pertama P3 = Dipupuk 90 kg/hau P2O5 dalam bentuk TSP diberi tiga kali pada masingmasing pertama, kedua, ketiga P4 = Dipupuk 180 kg/.ha P2O5 dalam bentuk TSP diberi tiga kali masingmasing 60 kg pada pertanaman pertama, kedua dan ketiga P5 = Dipupuk 90 kg/ha P2O5 dalam bentuk pospat alam reaksi lambat (RP-LR) diberikan sekaligus P6 = Dipupuk 180 kg/ha P2O5 dalam bentuk pospat alam reaksi lambat (RP-LR) diberikan sekaligus P7 = Dipupuk 90 kg/ha P2O5 dalam bentuk pospat alam reaksi cepat (RP-HR) diberikan sekaligus P8 = Dipupuk 180 kg/ha P2O5 dalam bentuk pospat alam reaksi cepat (RP-HR) diberikan sekaligus.

Lampiran 8 Tabel Hasil Analisis Tanah Sebelum Tanam Pertama Padi Gogo pada Demplot Parameter pH Nilai 4,5 4,3 5,59 0,16 4,96

H2O KCl

Bahan Organik (%) N total (%) P Bray I (ppm) Kation dapat ditukar (me/100 gr) : K Ca Mg Na KTK (me /100 gr)

0,21 1,09 0,88 0,04 14,00

Tekstur (%) : Liat 57,62 Pasir 23,36 Debu 19,02 Sumber : Laboratorium Tanah dan Tanaman, Balai Penelitian Tanaman Maros, tahun 1991

Lampiran 9. Hasil Analisis Tanah Setelah Tanam Ketiga Parameter PP0 P2 pH : H20 3,8 4,9 4,5 KCl 3,3 3,9 3,8 Bahan Organic (%) N total (%) P Bray I (ppm)

Petak Percobaan P3 P4 P5 3,2 2,8 4,4 3,7 4,4 3,6

P6 4,6 3,8

P7 4,7 3,0

P8 4,7 3,9

1,76 0,11

1,99 0,11

1,95 0,11

1,63 0,11

2,40 0,13

1,70 0,11

2,04 0,12

1,53 0,10

2,07 0,11

1,32

2,32

1,81

2,69

1,83

2,25

2,70

2,11

2,29

Kation dapat ditukar (me/100 gr) K 0,18 0,19 Ca 3,42 4,83 Mg 1,21 1,61 KTK (me/100 gr) 1,49 1,27 Sumber : Laboratorium Tanah dan Maros, tahun 1992

0,21 3,50 1,24

0,18 2,61 1,61

0,33 3,74 2,91

0,20 2,84 1,4

0,26 3,63 1,21

0,16 3,20 1,40

0,35 3,10 1,24

1,52 1,61 2,20 1,56 1,42 1,66 1,64 Tanaman, Balai Penelitian Tanaman Pangan

Lampiran 10.

Analisis Chi-kuadrat Persepsi dan sikap Terhadap Tanah Persepsi Baik Kurang baik Jumlah Ho Sikap Setuju 10 6 16 Jumlah Tidak Setuju 37 3 40 47 9 56

= Ada hubungan antara Persepsi dan Sikap Peladang terhadap Tanah

Hipotesis : Terima Ho bila X2 < X2 a = 0,1, db = 1 Tolak Ho bila X2 > X2 a = 0,1, db = 1 X2 a = 0,1, db = 2,706 X
2

N (ad bc) 2 (a + b)(c + d )(a + c)(b + d ) 56 {(10 x 3) (37 x6)}

= (10 + 37) (6 + 3)(10 + 6)(37 + 3) = 7,6 Hasil perhitungan menunjukkan bahwa : X2 > X2 a = 0,1 db = 1 berarti tolak Ho. Jadi tidak ada hubungan antara Persepsi dan Sikap Peladang terhadap tanah. Tingkat keeratan hubungan dihitung dengan menggunakan koefisien contingensi (c) C=
X2 7,6 = = 0,34 2 7,6 + 56 X +N

Berarti korelasi antara persepsi dan sikap peladang terhadap tanah kurang erat.

Lampiran 11. Analisis Chi-kuadrat Persepsi dan sikap Terhadap Tanah

Persepsi Baik Kurang baik Jumlah Ho

Sikap Setuju 18 9 27

Jumlah Tidak Setuju 17 12 29 35 21 56

= Ada hubungan antara Persepsi dan Sikap Peladang terhadap Tanah

Hipotesis : Terima Ho bila X2 < X2 a = 0,1, db = 1 Tolak Ho bila X2 > X2 a = 0,1, db = 1 X2 a = 0,1, db = 2,706 X2 = =
N (ad bc) 2 (a + b)(c + d )(a + c)(b + d ) 56 {(18 x 12) (17 x9)} 2 (18 + 17) (9 + 12)(18 + 9)(17 + 12)

= 0,386 Hasil perhitungan menunjukkan bahwa : X2 > X2 a = 0,1 db = 1 berarti tolak Ho. Jadi tidak ada hubungan antara Persepsi dan Sikap Peladang terhadap tanah. Tingkat keeratan hubungan dihitung dengan menggunakan koefisien contingensi (c) C=
X2 0,386 = = 0,08 X +N 0,386 + 56
2

Berarti korelasi antara persepsi dan sikap peladang terhadap tanah kurang erat.

You might also like