You are on page 1of 25

No.

Absensi: 11

ALIRAN FILSAFAT PENDIDIKAN REKONSTRUKSIONISME Disusun sebagai Ujian Akhir Semester Mata Kuliah Filsafat Pendidikan Dosen Pengampu Mata Kuliah: Dr. Zaimudin, M.Ag.

Oleh: AHMAD SUGIANTO NIM:109014000181 No. Absen: 11 Jurusan Pendidikan Bahasa Inggris Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Jl. Ir. H. Juanda No. 95 Ciputat, Jakarta Selatan 2012 M/ 1433 H

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah dengan rasa syukur ke hadirat Allah SWT, karena dengan rahmat dan inayahNya, sehingga penulis dapat menyelesaikan review ini yang bertopik tentang Aliran Filsafat Pendidikan Rekonstruksionisme. Sholawat teriring salam semoga senantiasa tercurahkan kepada junjungan kita, Nabi Muhammad SAW, yang telah membawa umatnya dari kegelapan dan ketidaktahuan menuju jalan cahaya dan ridhaNya dan juga kepada para sahabatnya dan pengikutnya yang senantiasa istiqomah mengikuti risalahnya hingga akhir zaman. Makalah ini dapat selesai berkat bimbingan dari orang-orang terdekat penulis dan dari berbagai pihak. Untuk itu, penulis hendak mengucapkan terima kasih terutama kepada: 1. Dr. Zaimudin, M.Ag., dosen pengampu mata kuliah Filsafat Pendidikan. 2. Segenap teman-teman mahasiswa/i jurusan Pendidikan Bahasa Inggris kelas VI E yang telah memberikan saran yang instruktif dalam penyusunan makalah ini. 3. Kedua orang tua yang telah memberikan dukungan dan doa guna penyelesaian makalah ini. 4. Kerabat-kerabat atau saudara-saudara yang telah memberikan banyak informasi. Penulis sadar dan yakin bahwa tiada gading yang tak retak, itulah yang ada dalam benak penulis, bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang instruktif dari pembaca sekalian sangat penulis harapkan.

Jakarta, 26 Juni 2012

Penulis

BAB II ALIRAN FILSAFAT PENDIDIKAN REKONSTRUKSIONISME

A.

Pengertian Aliran Filsafat Pendidikan Rekonstruksionisme Kata rekonstruksionisme dalam bahasa Inggris reconstruct yang

berarti membangun atau membuat sesuatu yang telah rusak atau sudah lama hilang kembali (to build or make something again that has been damanged or that has no longer exists).1 Dalam konteks filsafat pendidikan aliran rekonstruksionisme adalah suatu aliran yang berusaha merombak tata susunan lama dan membangun tata susunan hidup kebudayaan yang bercorak modern.2 Rekonstruksionisme berusaha mencari kesepakatan semua orang tentang tujuan utama yang dapat mengatur tata kehidupan manusia dalam suatu tata susunan baru seluruh lingkungannya. Reconstructionism is an approach to education in America which stressed the social roles of schools in any attempt to change society. It first appeared in the 1930s after the great depression but perhaps its fullest flowering was in the work of Theodore Brameld in the 1950s. (Rekonstruksionisme adalah suatu pendekatan terhadap pendidikan di Negara Amerika yang menitikberatkan peran sosial sekolah dalam berbagai usaha untuk mengubah kemasyarakatan. Aliran ini pertama muncul pada tahun 1930, tetapi dalam perkembangan pesatnya sudah ada sekitar tahun 1950, dalam karya Bremeld.). 3 Aliran rekonstruksionisme, pada prinsipnya, aliran ini sepaham dengan aliran perennialisme, yaitu hendak menyatakan krisis kebudayaan modern.4 Menurut Syam, kedua aliran tersebut yaitu aliran rekonstruksionisme dan
1

AS Hornby, Oxford Advanced Learners Dictionary of Current English Sixth Editioon, (New York: Oxford University Press, 2003), hal. 1105 2 Jalaluddin dan Abdullah Idi. Filsafat Pendidikan, manusia, filsafat, dan pendidikan, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1997), hal. 97 3 nd Christopher Winch and John Gingell, Philosophy of Education the Key Concepts, 2 edition, (New York: Routledge, 2008), hal. 178-179 4 Djunaidatul Munawwaroh, Filsafat Pendidikan, Perspektif Islam dan Umum, (Ciputat: UIN Jakarta Press, 2003), hal. 103

perennialisme, memandang bahwa keadaan sekarang merupakan zaman yang mempunyai kebudayaan yang terganggu oleh kehancuran, kebingungan dan kesimpangsiuran. Ada suatu kebutuhan amat mendesak untuk kejelasan dan kepastian bagi kebudayaan zaman modern sekarang, yang sekarang mengalami ketakutan, kebimbangan dan kebingungan. Tetapi aliran rekonstruksionisme tidak sependapat dengan cara dan jalan pemecahan yang ditempuh filsafat perenialisme. Berbeda dengan Perenialisme yang memilih jalan kembali ke alam kebudayaan abad pertengahan, maka Rekonstruksionisme berusaha membina suatu konsesus yang paling luas dan paling mungkin tentang tujuan utama dan tertinggi hidup manusia. Rekonstruksionisme mencoba ingin merombak tata susunan lama, dan membangun tata susunan hidup kebudayaan yang sama sekali baru, melalui lembaga dan proses pendidikan. Tujuan ini hanya mungkin diwujudkan melalui usaha kerjasama, kerjasama semua bangsa. Hari depan dari bangsa-bangsa, ialah suatu dunia yang diatur, diperintah oleh rakyat secara demokratis; bukan dunia yang 5dikuasai suatu golongan.

B.

Aliran

Filsafat

Pendidikan

Rekonstruksionisme

Ditinjau

dari

Pandangan Ontologi, Epistemologi, dan Aksiologi

Pandangan Ontologi Aliran rekonstruksionisme memandang bahwa realita itu bersifat universal, yang mana realita itu ada dimana dan sama di setiap tempat. Untuk mengerti suatu realita beranjak dari suatu yang konkret dan menuju kea rah yang khusus menampakkan diri dalam perwujudan sebagaimana yang kita lihat di hadapan kita dan ditangkap oleh panca indera manusia seperti hewan dan tumbuhan atau benda lain di sekeliling kita, dan realita yang kita ketahui dan kita

Mohammad Noor Syam, Filsafat Pendidikan dan Dasar Filsafat Kependidikan Pancasila, (Surabaya: Usaha Nasional, 1986), hal. 340-341..

hadapi tidak terlepas dari suatu system, sealain substansi yang dipunyai dan tiaptiap benda tersebut, dan dapat memilih melalui akal pikiran.6 Kemudian tiap realita sebagai substansi selalu cenderung bergerak dari potensialitas menuju aktualitas (teknologi). Dengan demikian gerakan tersebut mencakup tujuan dan terarah guna mencapai tujuan masing-masing dengan caranya sendiri dan diakui bahwa tiap realita memeiliki perspektif sendiri.7 Pada prinsipnya, aliran rekonstruksionisme memandang alam metafisika merujuk dualisme, aliran ini berpendirian bahwa alam nyata ini mengandung dua macam hakikat sebagai asal sumber yakni hakikat materi dan hakikat rohani. Kedua macam hakikat itu memiliki ciri yang bebas dan berdiri sendiri, sama azali dan abadi, dan hubungan keduanya menciptakan suatu kehidupan dalam alam. Descartes, seorang tokohnya pernah menyatakan bahwa umumnya manusia tidak sulit menerima atas prinsip dualisme ini, yang menunjukkan bahwa kenyataan lahir dapat segera ditangkap oleh panca indera manusia, sementara itu kenyataan batin segera di akui dengan adanya akal dan perasaan hidup. Menurut Syam, alam pikiran yang demikian bertolak dari gerakan intelektualitas pada abad pertengahan yang mencapai kristalisasi pada abad IXXIV, memberikan argumentasi rasio tentang eksistensi Tuhan. Alselpus, seorang tokoh utama skolastik, menyatakan bahwa secara kritis realita alam semesta dapat dipahami dan tidak ada di alam nyata ini di luar kekuasaan Tuhan karena semua itu sebagai perwujudan dari kesempurnaannya. Dalam perkembangan selanjutnya, pembicaraannya untuk mengetahui realita yang ada yang harus berdasarkan iman dan perkembangan rasional hanya dapat dijawab dan meski diikuti iman dengan iman.8

B.1.

Pandangan Epistemologi Berpijak dari pola pemikiran bahwa untuk memahami reslits alam nyata

memerlukan suatu asas tahu dalam arti bahwa tidak mungkin memahami realita

6 7

Jalaluddin dan Abdullah, op. cit., hal.98. Djunaidatul Munawarah dan Tanenji, op.cit., hal. 105. 8 Mohammad Noor Syam, op. cit., hal. 304.

ini tanpa melalui proses pengalaman dan hubungan dengan realita terlebih dahulu melalui penemuan suatu pintu gerbang ilmu pengetahuan. Karenanya, baik indra maupun rasio sama-sama berfungsi membentuk pengetahuan, dan akal di bawa oleh panca indra menjadi pengetahuan dalam yang sesungguhnya. Aliran ini juga berpendapat bahwa dasar dari suatu kebenaran dapat di buktikan dengan self evidence, yakni bukti yang ada pada diri sendiri, realita dan eksistensinya. Pemahamannya bahwa pengetahuan yang benar buktinya ada di dalam pengetahuan ilmu itu sendiri. Sebagai ilustrasi, adanya Tuhan tidak perlu di buktikan dengan bukti-bukti lain atas eksistensi Tuhan (self evidence). Kajian tentang kebenaran itu di perlukan suatu pemikiran, metode yang di perlukan guna menuntun agar sampai kepada pemikiran yang hakiki. Penalaran-penalaran memiliki hokum-hukum tersendiri agar di jadikan pegangan kea rah penemuan definisi atau pengertian yang logis. Ajaran yang di jadikan pedoman berasal dari Aristoteles yang membicarakan dua hal pokok, yakni pikiran (ratio) dan bukti (evidence), dengan jalan pemikirannya adalah silogisme. Silogisme menunjukkan hubungan logis antara premis mayor, premis minor dan kesimpulan (conclusion), dengan memakai cara pengambilan kesimpulan deduktif dan induktif. Pandangan ilmu dan filsafat tetap di akui urgensinya, di karenakan analisa empiris dan analisa ontologis, keduanya dapat di anggap komplementif, tetapi filsafat tetap dapat berdiri sendiri dan di tentukan oleh hokum-hukum dalam filsafat itu sendiri tanpa bergantung pada ilmu pengetahuan. Namun demikian, meskipun filsafat dan ilmu berkembang kea rah yang lebih sempurna, tetap di setujui bahwa kedudukan filsafat lebih tinggi dibandingkan ilmu pengetahuan.

B.2.

Pandangan Ontologis Dalam proses interaksi sesama manusia diperlukan nilai-nilai. Begitu juga

halnya dalam hubungan manusia dengan sesamanya dan alam semesta tidak mungkin melakukan sikap netral, akan tetapi manusia sadar ataupun tidak sadar telah melakukan proses penilaian, yang merupakan kecenderungan manusia.

Tetapi, secara umum ruang lingkup (scope) tentang pengertian nilai tidak terbatas. Aliran rekonstruksionisme memandang masalah nilai berdasarkan azasazas supernatural yakni menerima nilai natural yang universal, yang abadi berdasarkan prinsip nilai teologis. Hakikat manusia adalah emanasi (pancaran) yang potensial yang berasal dari dan dipimpin oleh Tuhan dan atas dasar inilah tinjauan tentang kebenaran dan keburukkan dapat diketahuinya. Kemudian, manusia sebagai subyek telah memiliki potensi-potensi kebaikan dan keburukkan sesuai dengan kodratnya. Kebaikan itu akan tetap tinggi nilainya bila tidak dikuasai oleh hawa nafsu belaka, karena itu akal mempunyai peran untuk memberi penentuan. Noe-Thomisme memandang bahwa etika, estetika, dan politik sebagai cabang dari filsafat praktis, dalam pengertian tetap berhubungan dan berdasarkan pada prinsip-prinsip dari praktek-praktek dalam tindakan-tindakan moral, kreasi estetika dan organisasi politik. Karenannya, dalam arti teologis manusia perlu mencapai kebaikan tertinggi, yakni bersatu dengan Tuhan, kemudian berpikir rasional. Dalam kaitannya dengan estetika (keindahan), hakikat sesungguhnya ialah Tuhan sendiri. Keindahan yang maujud itu hanyalah keindahan khusus, pancaran unsur keindahan universal yang abadi, maha indah dan Tuhan. Aristoteles memandang bahwa kebajikan dibedakkan menjadi dua macam, yakni kebajikkan intelektual dan moral. Kebajikkan moral merupakan suatu kebajikan berdasarkan pembiasaan dan merupakan dasar dari kebajikan intelektual.

C.

Aliran Rekonstruksionisme Theodore Brameld merupakan pendukung utama dari aliran

rekonstruksionisme dengan karyanya yang sangat termssyhur adalah Ends and Means of EducationA Mid Century Appraisal dan Patterns of Educational Philosophy, yang diterbitkan pada tahun 1950.9
9

John S. Brubacher, Modern Philosophies of Education 2 edition, (New York: McGraw Hill Company, Inc., 1950), hal. 303.

nd

Aliran Rekonstruksionisme, muncul pada tahun 1950, melalui suatu buku yang berjudul Patterns of Educational Philosophy, yang ditulis oleh Theodore brameld, seorang pelajar yang bergelut di bidang filsafat dan sejarah. Namun demikian, Brameld bukanlah seorang yang hanya mendalami kedua disiplin ilmu saja, namun juga meggeluti problema evolusi sosial, di samping juga ia mengungkapkan pandangannya mengenai pandangan radikal sosial. Dalam bukunya tersebut, Brameld menjajaki perkembangan para pelajar awal dan yang berakhir pada suatu dekalarasi terhadap suatu sistem radikal dalam pemikiran pendidikan, yang kemudian dikenal dengan Rekonstruksionisme.Aliran

Rekonstruksionisme mengungkapkan bahwa pendidikan merupakan suatu perantara yang fundamental terhadap budaya, dalam hal ini pendidikan dilihat dari perspektif antropologis. Para pendidik mempunyai tanggung jawab untuk membantu dalam proses merekonstruksi kebudayaan sebelum kebudayaan itu sendiri rusak dan hancur. Pendidikan haruslah merupakan suatu lembaga yang dinamis dalam kebudayaan dan memainkan peranan utama dalam menata kembali masyarakat. Pergerakan ini berbeda dengan ailran Progresivisme dimana Progresivisme sangat berorientasi pada permasalahan psikologis (psychollogically oriented), sementara aliran Rekonstruksionisme cenderung memusatkan pada antropologis (anthropologically centered).10 Selain Theodore Brameld, ada beberapa tokoh lain yang turut mendukung dan menjadi pelopor aliran filsafat pendidikan Rekonstruksionisme, yang di antaranya adalah Harold Rugg dan George Cunts. Seperti yang dikutip Kerry Freedman, Konsep rekonstruksi social bukanlah sesuatu yang baru dalam pendidikan. Terma ini menjadi popular selama Great Depression saat para pendidik seperti Harold Rugg dan George Counts mempertimbangkan peluang atas suatu pendidikan yang bersifat utopian (khayalan). Penerapan yang terkini

10

Bard Sobel, A Reconstructionist Perspective of the Teaching of Social Studies, (USA: University of North Carolina Press, The High School Journal, Vol. 60, No. 8, John Dewey and the Social Studies , May,1977), hal. 353-354

serta pertumbuhannya terhadap teori kritis kotemporer pendidikan didasarkan sebagian pada aliran sosial rekonstruksionisme sekitar tahun 1930an.11

Aliran

Rekonstruksionisme

disebut

juga

dengan

aliran

sosial

rekonstruksionisme, karena aliran ini cenderung melibatkan usaha terhadap perubahan tatanan kehidupan sosial atau masyarakat secara keseluruhan melalui pendidikan. Para pendukung aliran Rekonstruksionisme, yaitu seperti Harold Rugg, George Counts, dan Theodore Brameld, merasa tertarik dengan hubungan antara kurikulum sekolah dan perkembangan dan pertumbuhan politik, sosial, ekonomi masyarakat. Mereka menginginkan para peserta didik belajar mengidentifikasi masalah-masalah, metode-metode, kebutuhan, dan tujuan serta menerapkan strategi yang tepat untuk suatu perubahan yang berpengaruh. Contoh dari proses pendidikan yang mampu membawa perubahan sosial adalah gerakan

pemberantasan buta huruf (literacy campaign) yang telah menyumbangkan revolusi politik yang sukses.12 Theodore Brameld menyebut aliran rekonstruksionisme sebagai aliran filsafat pendidikan demokratis radikalis. Jantung atau inti dari aliran ini menurutnya adalah khayalan (Utopionism)bukan didasarkan dari kenyataan realita, namun suatu pencapaian jauh idealisasi manusia, terutama peluangpeluang sosial. Brameld mempertimbangkan suatu susunan kesatuan, umat manusia seluruhnya, terutama dalam hal sosial dan demokrasi. Dalam menggambarkan dasar filosofis terhadap suatu budaya yang direkonstruksi, seperti yang disebutkan di atas, dia menggambarkan realita sebagai proses sejarah, kebenaran sebagai konsensus sosial, nilai sebagai realisasi diri sosial (social selfrealization), dan demokrasi sebagai suatu kepercayaan persamaan (community of persuasion). Terutama yang paling mengagumkan dari pandangannya adalah

11

Kerry Freedman, The Social Reconstruction of Art Education, (USA: National Art Education Association, Studies in Art Education, Vol. 35, No. 3, Spring, 1994), hal. 131 12 Daisy Frye Reed and Michael D. Davis, Social Reconstructionism for Urban Students, (Taylor & Francis, Ltd.: The Clearing House, Vol. 72, No. 5, May - Jun., 1999), p. 292.

kombinasi dari visi dan keberanian imajinatif terhadap genggaman realistis keinginan manusia dan panduan atau rancangan khusus yang bersifat normatif.13 Aliran rekonstruksionisme menyatakan bahwa tujuan utama dalam pendidikan adalah merekonstruksi kembali masyarakat agar dapat memenuhi krisis budaya zaman kita. Sekolah harus mampu menginterpetasi kembali nilai dasar peradaban Barat dalam pengetahuan ilmiah sekarang yang dapat kita gunakan.14 Rekonstruksi dalam pendidikan dapat dipahami sebagai langkah awal untuk mengatasi kekurangan dari aliran progresivisme, dan dapat pula didefinisikan sebagai aliran progresivisme daenfan suatu tujuan. Tidak seperti aliran filsafat pendidikan lain, seperti Essensialisme (yang menggunakan pendekatan konservatif), dan perenialisme (pendekatan reaksi);

Rekonstruksionisme menentang terhadap gagasan realita absolute dan nilai-nilai absolute yang tidak berubah. Pendukung Rekonstruksionisme atau sering disebut dengan rekonstruskionis melaksanankan prinsip-prinsip tertentu, yang kemudian dianggap sebagai Keberpihakan yang dapat dipertahankan (defensible partiality); rekonstruksionis menentang akan indoktrinasi dan propaganda. Aliran Rekonstruksionisme dikatakan mencakup semua visi yang bersifat ideal dan khayalan (utopian), seperti kontrol demokrasi terhadap pendidikan terhadap mayoritas; pemerintah dunia (world government); reformasi radikal terhadap institusi sosial dan ekonomi dalam hal kebebasan maksimum sosial. Aliran Rekonstruksionisme pun dikatakan sebagai aliran yang melibatkan semua yang bagus dan bermanfaaat dari aliran filsafat pendidikan yang lain, ditambah dengan reformasi sosial radikal di masa mendatang.15 Aliran rekonstruksionisme berusaha menekankan paham vanguardisme yang tersembunyi dari aliran pendidikan progresif dengan konsepsi sekolah
13

Melvin Rader (Review), Patterns of Educational Philosophy by Theodore Brameld, (University of Washington, Journal of Philosophy Inc.:The Journal of Philosophy, Vol. 48, No. 15 , Jul. 19, 1951), hal. 483 14 George F. Kneller (ed.), Foundations of Education, (New York: John Wiley and Sons, Inc., 1968), hal. 113. 15 David Bidney (Review), Toward a Reconstructed Philosophy of Education by Theodore Brameld, (USA:Blackwell Publishing on behalf of the American Anthropological Association, American Anthropologist, New Series, Vol. 60, No. 1, Part 1 , Feb., 1958), p. 165.

10

sebagai barisan social terdepan (social vanguard). Konsepsi ini yang mana sekolah sebagai social vanguard dimaksudkan untuk menekankan bahwa sekolah seharusnya menjadikan masyarakat dalam perkembangan rancangan budaya yang hebat untuk masa depan.16 Singkatnya, dasar dari vanguardisme dari para pendukung aliran rekonstruksionisme atau rekonstruksionis adalah anggapan bahwa sekolah adalah semacam toko dimana mesin sosial seharusnya dikirim kesana setiap saat ketika mesin social tersebut rusak: atau, secara lebih luas, menyatakan bahwa proses edukatif identik dengan proses kelompok yang mana suatu kepercayaan komunitas dikembangkan untuk suatu rekonstruksi itu sendiri.17 John L. Childs menjelaskan makna dasar dalam interpretasi sosial terhadap pendidikan, yang menurutnya secara kultural manusia merupakan anggota dari sekian banyak kumpulan manusia (sosial) yang berbeda-beda (different human societies). Perkumpulan sosial atau masyarakat tersebut, yang menetap di berbagai macam belahan dunia, merupakan produk atau hasil dari suatu perkembangan yang lama. Produk-produk tersebut mempunyai fitur-fitur umum, namun juga memiliki ciri yang berbeda pula. Hal-hal yang membedakan antara kelompok manusia yang satu dengan daerah dan budaya lainnya tidak lain tidak bukan adalah unsur-unsur pegangan hidup (way of life) dan pemikiran masing-masing budaya atau daerah.18 Masyarakat itu pada dasarnya sama dengan semua gejala alam, dipengaruhi oleh kekuatan yang tidak dapat dihindari, yang menyebabkan masyarakat itu berubah. Masyarakat-masyarakat yang terdiri dari himpunan manusia berubah terus sepanjang masa. Teknologi meluas dan meningkat, peralatan material berubah, ideologi dan nilai-nilai mengambil komponenkomponen baru, dan fungsi-fungsi kelembagaan demikian pula strukturnya mengalami pembentukan kembali. Tidak ada satu masyarkat pun yang tinggal

16

Richard D. Mousier, The Educational Philosophy of Reconstructionism, (American Sociological Association: Journal of Educational Sociology, Vol. 25, No. 2, Oct. 1951 ), hal. 86-87. 17 Ibid, hal. 87. 18 Arthur Foff and Jean D. Grambs (eds), Readings in Education, (New York: Harper and Row, 1956), hal. 111.

11

statis secara sempurna, karena ia berada dalam suatu alam semesta yang penuh dengan pengaruh-pengaruh dinamis. Kecepatan dan keleluasaan perubahan itu sudah tentu bermacam-macam dan berbeda-beda dari satu masyarakat ke masyarakat lainnya. Sebagiannya mengalami perubahan yang cepat, sedangkan yang lain-lainnya dalam masa yang cukup lama hampir-hampir tidak mengalami perubahan apa-apa.19 Menurut Thomas O. Buford, setidaknya ada tiga langkah penting yang dapat ditempuh untuk meraih konsensus sosial terhadap nilai-nilai antar budaya (intercultural values) di antaranya adalah penyajian maksimum terhadap fakta (terutama terhadap ilmu pengetahuan, seni, sejarah, agama, dan semua bidang prestasi manusia) mengenai apa yang orang-orang inginkan; komunikasi maksimum terhadap faktasuatu proses luas yang meningkatkan ketepatan fakta itu sendiri; persetujuan maksimum antara rentangan yang mungkin terluas terhadap orang-orang, yang mana merupakan suatu keinginan yang paling kita ingin capai.20 H.B. Hamdani Ali menyebutkan bahwa kebudayaan itu kurang lebih meliputi:21 a. hasil yang terbentuk dan terbina oleh interaksi antar manusia dalam rangka penyesuaian mereka terhadap alam lingkungan b. kebudayaan itu meliputi semua hasil kreasi manusia yang bersifat material maupun non material c. dapat diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya d. kebudayaan merupakan warisan sosial dari suatu masyarakat. Setiap anak yang lahir di dalam suatu masyarakat, maka dia akan memiliki pola hidup yang ditentukan oleh warisan sosialnya. Warisan pusaka budaya itulah yang mengikat kita menjadi bagian dari masyarakat kita.

19 20

H.B. Hamdani Ali, Filsafat Pendidikan, (Yogyakarta: Kota Kembang, 1986), hal. 194 Thomas O. Buford Toward a Philosophy of Education, (USA: Holt, Rinnehart and Winston, Inc., 1969), hal. 465. 21 H.B. Hamdani Ali, op. cit., hal. 214.

12

Kumpulan manusia yang hidup bersama-sama haruslah berusaha menyesuaikan diri mereka dengan lingkungan hidup alamiah yang mengelilingi mereka. Penyesuaian diri dari orang-orang di dalam kelompok atau himpunan itu terhadap lingkungan hidupnya, menimbulkan usaha untuk membentuk dan membina lingkungan psikososial, biososial, dan institusional. Mereka membentuk atau bahkan memberikan tukuk dan tambahan kepada kebudayaan mereka itu, dan demikianlah cara kehidupan mereka menyesuaikan diri satu sama lain dan terhadap lingkungan hidup alamiah mereka, merekapun membentuk lingkungan hidup social mereka.22 Kebudayaan sebagai salah satu cara khusus dari kehidupan di dalam masyarakat, dibina dan dibangun dengan penemuan-penemuan, ciptaan-ciptaan, pengumpulan sedikit demi sedikit, pilih memilih, dan penyebaran dari segala sesuatu yang terdapat dan ditemukan dan dibentuk di dalam kebudayaan itu dari suatu generasi ke generasi penerusnya. Kebudayaan-kebudayaan itu berbeda dari satu masyarakat ke masyarakat lainnya, disebabkan oleh karena perbedaan dalam lingkungan hidup, terisolasi atau tidaknya, perlainan dalam dasar dan latar belakang kebudayaan serta dalam posisi teknologi dalam etnosentrisme masingmasing masyarakat tersebut. Hakekat pendidikan menurut aliran rekonstruksionisme adalah

menghendaki agar peserta didik dapat dibangkitkan kemampuannya untuk secara konstruktif menyesuaikan diri dengan tuntutan perubahan dan perkembangan masyarakat sebagai akibat adanya pengaruh dari ilmu pengethauan dan teknologi, sehingga peserta didik tetap berada dalam suasana aman dan bebas. Dan tujuan pendidikan menurut aliran ini adalah membangkitkan kesadaran para peserta didik tentang masalah sosial, ekonomi, dan politik yang dihadapi umat manusia dalam skala global dan mengajarkan kepada mereka keterampilan-keterampilan untuk mengatasi masalah tersebut, pun untuk membangun tatanan masyarakat baru.23

22 23

H.B. Hamdani Ali, op. cit., hal. 209. Basuki Asadi dan M. Miftahul UlumPengantar Filsafat Pendidikan, (Ponorogo: STAIN Po Press, 2010), hal. 49.

13

Menurut Takeo Taura et al., dalam mengkritisi Rekonstruksionisme, setidaknya ada empat hal yang perlu diperhatikan dalam aliran ini, yaitu: 1) filsafat pendidikan sebagai filsafat agama (educational philosophy as philosophy of religion); 2) peradaban dunia sebagai tujuan tertinggi dari pendidikan (world civilization as the supreme purpose of education); 3) pertemuan antara budaya dan pendidikan (the meeting of culture and education); dan 4) teori konsensus sosial sebagai pendidikan etis (the theory of social consensus as ethical education).24 1) Filsafat pendidikan sebagai filsafat agama (educational philosophy as philosophy of religion). Theodore Brameld merasa bahwa filsafat pendidikan sebagai filsafat agama merupakan suatu filsafat yang menhubungkan manusia dengan tujuan budaya yang baik. Hal ini

menyiratkan makna bahwa dedikasi manusia dan pencarian terhadap hal yang paling bermakna yang manusia dapat bayangkan. Hal ini juga memberikan keyakinan dan kemampuan untuk memperbarui hidup. Dedikasi yang pendidikan perlukan pada saat ini terkristalkan dalam semangat menjadi manusia walupun adanya ketidakpastian dalam eksistensi manusia. 2) Peradaban dunia sebagai tujuan tertinggi dari pendidikan (world civilization as the supreme purpose of education). Menurut pandangan Brameld, peradaban dunia kini telah menjadi suatu tuntutan terhadap kelangsungan manusia dan terjaminnya hak asasi manusia. Untuk memperolehnya, mitos didefinisikan sebagai suatu visi imajinatif terhadap dunia, menjadi suatu motivasi yang penting. Kebutuhan yang paling tinggi adalah menemukan suatu pandangan umum tanpa memperhatikan perbedaan ras, keyakinan, dan kebangsaan. Hal ini tidak dapat diraih tanpa adanya kemajuan peradaban teknologi, melalui interkasi antar budaya, tujuan-tujuan yang menyatukan manusia. Konsep mitos itu sendiri yang berkembang di sini terlihat lebih dekat dengan konsep utopia atau

24

Takeo Taura, et. al., A Japanese View: Recent Developments in Reconstructionist Theory, (Japan: The Phi Delta Kappa International: The Phi Delta Kappan, Vol. 47, No. 3, Nov., 1965), hal. 150.

14

khayalan dan visi yang Brameld telah sebutkan, namun mitos di sini lebih bermakna pada arti antropologis. 3) Pertemuan antara budaya dan pendidikan (the meeting of culture and education). Brameld menyatakan bahwa pendidikan selalu dikembangkan dalam konteks kebudayaan. Oleh karena itu, kebudayaan menyediakan pendidikan tidak hanya dengan peralatannya dan materinya namun juga dengan alas an sentral untuk keberadaannya. Menurutnya pendidikan

tidak terbatas hanya pada sekolah, tapi juga melibatkan keseluruhan dinamisasi manusia yang dapat membantu budaya untuk bertahan dan merubah susunan, fungsi dan tujuannya. 4) Teori konsensus sosial sebagai pendidikan etis (the theory of social consensus as ethical education). Rekonstruksionisme, merupakan suatu usaha untuk menemukan arah terhadap pendidikan dalam prinsip realisasi diri-sosial social-self realization sebagai nilai tertinggi pendidikan atau persatuan manusia dan pencapaian peradaban dunia. Melakukan demokrasi dalam suatu pendidikan adalah suatu ide yang lebih luas yang didasarkan atas kepercayaan bahwa di dalam diri pribadi setiap orang dalam segala strata sosial terdapat potensi-potensi yang belum dimanfaatkan untuk mengelola perkembangan yang tidak dapat dicapai dengan system pendidikan konvensional. Untuk memanfaatkan potensi-potensi tersebut

dibutuhkan wawasan baru dan lembaga-lembaga baru. Melaksanakan demokrasi, melibatkan usaha dalam lingkungan yang luas buat mencapai dan mengerti tekateki atau rahasia dari perbedaan-perbedaan individual ataupun grup, dan guna memastikan bahwa , disamping buat mendapatkan cara belajar yang biasa pada suatu masa tertentuyang merupakan suatu tugas yang setiap system pendidikan harus menerimanyayaitu semua siswa harus diizinkan, apabila mereka memilih buat mengembangkan kecakapan mereka dan mendapatkan kepribadian mereka sendiri. 25

25

H.B. Hamdani Ali, op. cit., hal. 180.

15

Respek terhadap kepribadian (personality) merupakan teori demokrasi pendidikan. Dalam menempatkan respek terhadap personality sebagai tema sentral pendidikan yang demokratis, penekanan utamanya ada pada kebebasan individu. Namun demikian, dimensi sosial yang pasti tidak diabaikan karena diturunkan ke posisi maksud dari pendidikan. Walaupun otoritas diletakkan pada keseimbangan terhadap kebebasan dalam pendidikan yang demokratis, hal ini tidak dianggap untuk menentangnya namun melengkapinya.26 Dalam pendidikan yang baik tentunya ada tujuan yang diusungnya, berikut adalah tujuan dari pendidikan. Menurut Thorndike dan Gates, ada beberapa tujuan dalam pendidikan yang di antaranya adalah: 27 a. kebahagiaan (happiness). Tujuan akhir dari pendidikan adalah

meningkatkan kebahagiaan manusia. Bila pernyataan tersebut merujuk pada kebahagiaan paling baik untuk kebanyakan orang, maka secara substansi hal demikian sama dengan pernyataan kita terhadap tujuan pendidikan dalam hal memuaskan keinginan manusia. Kebahagiaan merupakan hasil dari aktivitas pemenuhan kebutuhan dan keinginan manusia. b. persiapan untuk kehidupan (preparation for life). Menurut Dewey, pendidikan tidak sekedar usaha menyiapkan kehidupan dengan bahagia dan sukses, namun pendidikan adalah proses hidup secara bahagia dan sukses dari waktu lahir hingga meninggal. c. pertumbuhan dan peongorganisasian kembali pengalaman (growth and reorganization of experiences). Perumbuhan terdiri dari perubahanperubahan yang menyebabkan kepuasan lebih terhadap keinginan manusia. Ketika seorang anak hidup, pengalamannya seharusnya secara terus menerus dioragnisir dan dintegrisir kembali sehingga keinginannya

26

Nelson B. Henry (ed.), Philosophies of Education The Fourty First Year Book of the National Society for the Study of Education Part I, (Illinois: The National Society for the Study of Education, 1962), hal. 316. 27 John Martin Rich, Readings in the Philosophy of Education, (California: Wadsworth Publishing Company, Inc., 1969), hal. 26-32.

16

meningkat, dengan mningkatkan kesejahteraan hal lain, yang nantinya berafeksi kembali lagi pada pemuasan hasratnya. d. kesempurnaan (perfectionism). Salah satu pernyataan terpopuler dari pendidikan adalah kesempurnaan semua kekuatan manusia (The Perfection of All Ones Powers), atau menurut kata-kata Herbert Spencer hidup yang sempurna. Kesempurnaan harus diinterpretasikan sebagai pemenuhan fitur-fitur terpilih yang bekerja secara harmonis, yaitu tanpa mengorbankan keinginan yang bermanfaat. e. pembatasan budaya (limitations of culture). Terma kebudayaan bersifat ambigu. Istilah ini memiliki banyak makna untuk dijadikan sebagai tujuan utama dari pendidikan. Untuk menghargai nilai kebudayaan, kita harus menerapkan beberapa criteria seperti pengejewantahan definisi

sebelumnya dari tujuan pendidikan, yakni meningkatkan kepuasaan terhadap keinginan manusia secara keseluruhan. f. pengetahuan (knowledge). Tidak dapat diragukan lagi bahwa

meningkatkan dan menggabungkan pengetahuan merupakan tujuan penting utama pendidikan. Walaupun pengetahuan sendiri dapat disalah gunakan, namun hal ini ada dan bernilai seluruhnya. Bila ada seseorang tidak dapat menggunakan pengetahuan untuk kepentingan yang terbaik untuk masyarakt, kesalahan bukanlah pada pengetahuan tersebut. Menurut Schweitzer, adanya aliran filsafat modern yang baru akan menciptakan perubahan dalam tatanan kehidupan manusia, yaitu penghormatan terhadap kehidupan. Bila penghormatan terhadap kehidupan berhasil diarahkan pada pendidikan, maka hal ini akan memberikan perkembangan terhadap:28
1.)

Kewarganegaraan. Gagasan ini merujuk pada kewarganegaraaan nasional, namun yang lebih penting dapat memperbaiki kewaraganegaraan dunia.

2.)

Kebebasan. Ditunjukkan sebagaimana mestinya. Manusia tidak hanya bebas dari namun bebas untuk menjadi. Mempertimbangkan pada

28

Ronald L. Abrel, A New Philosophy of Education: Is It Possible?, (USA: Taylor & Francis, Ltd., Peabody Journal of Education, Vol. 45, No. 5, Mar., 1968), hal. 281.

17

kesejahteraan yang lai, manusia akan bertindak untuk meningkatkan kemerdekaan semua orang.
3.)

Demokrasi. Nilai dan maratabat setiap individu; persamaan kesempatan untuk semua oran; hak inti dan kebebasan untuk semua; dan banyak lagi gagasan yang primer

4.)

Pertumbuhan. Pandangan dan praktik kehidupan harus teridiri dari salh satu cara terbaik untuk membuat dunia menjadi aman untuk pertumbuhan.

5.)

Produktivitas. Mendorong setiap individu untuk kreatif menghasilkan yang akan berimplikasi pada kehidupan ke depanm dan melakukan pekerjaan yang secara global bermanfaat tidak hanya umat manusia tapi semua kehidupan.

6.)

Altruisme. Merujuk pada suatu prinsip hidupku sama berharganya sepertimu ; dan hidupmu sama berharganya seperti hidupku my life is as valuable as yours, and yours is as valuable as mine mengahsilkan pandangan kebaikan untuk semua

7.)

Indiviualisme. Pengharagaan dan maratabat pada individu yaitu sekaligus bergantung pada pandangan yang universal individualitas pada tiap orang

8.)

Intelijensi. Untuk dapat menangani dengan banyaknya problema yang kompleks, maka manusia harus dapat menggunakan intelijensinya dan nalarnya

9.)

Anak yang utuh. Merujuk pada setiap individu untuk mengembangkan kemampuan fisik, mental, emosi, aestetik, dan spiritualnya secara menyeluruh

10.) Aktualisasi

diri social secara universal. Hnya dengan cara pengormatan kehidupan kita mampu menciptakan dunia dimana semua

terhadap

manusia dapat meningkatkan prasdangka personal di atas dan perbedaan kebangsaaan untuk bekerjasama dalam pencarian terhadap pemenuhan kehidupan untuk semua. D. Prinsip-Prinsip Dasar Aliran Rekonstruksionisme

18

Menurut Kneller, prinsip-prinsip dasar aliran Rekonstruksionisme ada enam, yaitu:29 1. Tujuan utama pendidikan adalah mengangkat gagasan program reformasi sosial. Pendidikan harus menjadi makna (means) utama untuk

memberlakukan suatu program terhadap tindakan sosial yang jelas dan ringkas. 2. Para pendidik harus melaksanakan tugas ini tanpa penundaan. Pendidikan harus melaksanakan di sini dan sekarang untuk penciptaan tatanan social baru yang akan memenuhi nilai-nilai dasar terhadap kebudayaan dan di waktu yang sama berhamonisasi dengan kekuatan social dan ekonomi yang mendasari dunia modern. 3. Tatanan sosial baru harus menjamin demokrasi yang institusi dan sumber dayanya dikendalikan oleh orang-orang mereka sendiri. 4. Para guru harus membujuk para siswanya secara demokratis terhadap validitas dan kepentingan pandangan para rekonstruksionis, namun mereka harus melakukannya dengan pertimbangan seksama dengan cara yang demokratis. 5. Makna dan akhir dari pendidikan harus diperbaiki sesuai dengan penemuan ilmu perilaku (behavioral sciences) 6. Anak, sekolah dan pendidikan itu dibentuk secara luas oleh kekuatan sosial dan budaya E. Pandangan Rekonstruksionisme tentang Teori Pendidikan 1. Hakekat Pendidikan30 Aliran pendidikan Rekonstruksionisme menghendaki agar peserta didik dapat dibangkitkan kemampuannya untuk secara konstruktif menyesuaikan diri dengan tuntutan perubahan dan perkembangan masyarakat sebagai akibat

29 30

George F. Kneller, op. cit., hal. 114. Basuki Asadi, op. cit., hal. 49.

19

adanya pengaruh dari ilmu pengetahuan dan teknologi, sehingga peserta didik tetap berada dalam suasana aman dan bebas. 2. Tujuan Pendidikan31 Tujuan pendidikan aliran Rekonstruksionisme adalah membangkitkan kesadaran para peserta didik tentang masalah social, ekonomi, dan politik yang dihadapi umat manusia dalam skala global dan mengajarkan kepada mereka keterampilan-keterampilan yang diperlukan untuk mengatasi masalah tersebut. Selain itu, pendidikan menurut aliran Rekonstruksionisme bertujuan membangun tatanan masyarakat baru. 3. Kurikulum Kurikulum berisi mata-mata pelajaran yang berorientasi pada kebutuhan masyarakt masa depan. Kurikulum banyak berisi masalah sosial, ekonomi dan politik yang dihadapi umat manusia, yang termasuk di dalamnya masalahmasalah pribadi para peserta didik sendiri; dan program-program perbaikan yang ditentukan secara ilmiah untuk aksi kolektif. Struktur organisasi kurikulum terbentuk dari cabang-cabang ilmu social dan proses-proses penyelidikan ilmiah sebagai metode pemecahan masalah.32 Secara lebih signifikan Allan C. Ornstein and Francis P. Hunkins kurikulum yang didasarkan pada aliran Rekonstruksionisme, antara lain:33 -Tujuan intruksional (instructional objective): memperbaiki dan merekonstruk masyarakat; pendidikan untuk perubahan dan reformasi social. -pengetahuan (knowledge): keterampilan dan pelajaran diperlukan untuk mengidentidikasi dan memperbaiki masalah-masalah masyarakat,

pemebelajaran bersifat aktif dan focus pada masyarakat kotemporer dan masa akan datang
31 32 33

Ibid. Ibid, hal. 50.

Allan C. Ornstein dan Francis P. Hunkins, Curriculum: Foundations, Principles, and Issues (Englewood Cliffs, N.J.: Prentice-Hall, 1988), hal. 47

20

-peran guru (role of teachers): guru bertindak sebagai agen perubahan dan reformasi, bertindak sebagai direktur proyek dan pemimpin penelitian, membantu siswa sadar dengan masalah yang dihadapi manusia. -fokus kurikulum (curriculum focus): menekankan pada ilmu pengetahuan dan metode penelitian social; pengujian masalah social, ekonomi, politik, fokus pada gejala terkini dan masa mendatang, di samping juga isu-isu nasional dan internasional -trend yang berhubungan dengan kurikulum (related trend curriculum): persamaan terhadap pendidikan, pluralisme budaya, pendidikan internasional, dan futurism. 4. Metode34 Analisis kritis terhadap kerusakan-kerusakan masyarakat dan kebutuhankebutuhan programatik untuk perbaikan. Dengan demikian menggunakan metode pemecahan masalah, analisis kebutuhan dan penyusunan program aksi perbaikan masyarakat (scientific inquiry sebagai metode kerja problem solving) 5. Pelajar35 Siswa hendaknya dipandang sebagai bunga yang sedang mekar. Hal ini mengandung arti bahwa siswa adalah generasi muda yang sedang tumbuh menjadi manusia pembangun masyarakat masa depan, dan perlu berlatih keras untuk menjadi insinyur-insinyur social yang diperlukan untuk membangun masyarakat masa depan. 6. Peranan Guru36 Guru sebagai direktur proyek. Oleh karena guru harus membuat para peserta didik menyadari masalah-masalah yang dihadapi umat manusia, membantu
34 35

Basuki Asadi, op. cit., hal. 50. Ibid 36 Ibid, hal. 51.

21

mereka merasa mengenali masalah-masalah tersebut sehingga mereka merasa terikat untuk memecahkannya dan menjamin bahwa mereka memiliki keterampilan yang diperlukan untuk memecahkan masalah-masalah tersebut, maka tugas guru adalah sebagai direktur proyek. Apabila mereka tidak memilikinya, adalah tugas guru untuk mengajarkannya. Guru sebagai pemimpin penelitian. Guru harus terampil dalam membantu peserta didik menghadapi kontroversi dan perubahan, karena sebagian tersebar masalah-masalah yang dipecahkan adalah masalah controversial. Guru harus menumbuhkan berpikir berbeda-beda sebagai suatu cara untuk menciptakan alternative-alternatif pemecahan masalah yang menjanjikan keberhasilan. Guru harus mampu mengorganisasikan dengan baik berbagai macam kegiatan belajar serempak. 7. Impikasinya terhadap Peranan Sekolah37 a.) sekolah berfingsi sebagai lembaga utama untuk melakukan perubahan social, ekonomi, dan politik dalam masyarakat b.) mengembangkan insinyur-insinyur social, warga negara yang mempunyai tujuan mengubah secara radikal wajah masyarakat masa kini c.) sekolah haruslah merupakan gambaran kecil dari kehidupan social di masyarakat, dan pendidikan sebagai alat untuk membangun masyarakat masa depan d.) mendorong berkembangnya sekolah-sekolah masyarakat, atau community schools. Dengan lebih menekankan pada masyarakat merupakan sekolah yang berpusat pada masyarakat, atau social-centered school yang menggunakan sekolah untuk memperbaiki kehidupan masyarakat. Oleh karena itu, sekolah hendaknya berhubungan dengan masalah-masalah nyata dan praktis ditemukan dalam masyarakat kita.

37

Ibid, hal. 56-57.

22

BIBLIOGRAFI

Abrel, Ronald L. 1968. A New Philosophy of Education: Is It Possible?. USA: Taylor & Francis, Ltd., Peabody Journal of Education, Vol. 45, No. 5, Mar. Ali, H.B. Hamdani. 1986. Filsafat Pendidikan. Yogyakarta: Kota Kembang Asadi, Basuki dan M. Miftahul Ulum. 2010. Pengantar Filsafat Pendidikan. Ponorogo: STAIN Po Press Bidney, David (Review). 1958. Toward a Reconstructed Philosophy of Education by Theodore Brameld. USA: Blackwell Publishing on behalf of the American Anthropological Association, American Anthropologist, New Series, Vol. 60, No. 1, Part 1 , Feb. Brubacher, John S. 1950. Modern Philosophies of Education 2nd edition. New York: McGraw Hill Company, Inc. Buford Thomas O. 1969. Toward a Philosophy of Education. USA: Holt, Rinnehart and Winston, Inc. Foff, Arthur dan Jean D. Grambs (eds). 1956. Readings in Education. New York: Harper and Row. Freedman, Kerry. 1994. The Social Reconstruction of Art Education, (USA: National Art Education Association, Studies in Art Education, Vol. 35, No. 3, Spring, 1994

Henry, Nelson B. (ed.). 1962. Philosophies of Education The Fourty First Year Book of the National Society for the Study of Education Part I. Illinois: The National Society for the Study of Education Hornby, AS. 2003. Oxford Advanced Learners Dictionary of Current English Sixth Editioon. New York: Oxford University Press
23

Jalaluddin dan Abdullah Idi. 1997. Filsafat Pendidikan, manusia, filsafat, dan pendidikan. Jakarta: Gaya Media Pratama

Kneller, George F. (ed.). 1968. Foundations of Education. New York: John Wiley and Sons, Inc. Mousier, Richard D. 1951. The Educational Philosophy of Reconstructionism. American Sociological Association: Journal of Educational Sociology, Vol. 25, No. 2, Oct

Munawwaroh, Djunaidatul. 2003. Filsafat Pendidikan, Perspektif Islam dan Umum. Ciputat: UIN Jakarta Press Ornstein, Allan C. dan Francis P. Hunkins. 1988. Curriculum: Foundations, Principles, and Issues. Englewood Cliffs, NY: Prentice-Hall

Rader , Melvin (Review), 1951. Patterns of Educational Philosophy by Theodore Brameld. University of Washington, Journal of Philosophy Inc.:The Journal of Philosophy, Vol. 48, No. 15 , Jul. 19

Reed, Daisy Frye dan Michael D. Davis. 1999. Social Reconstructionism for Urban Students. Taylor & Francis, Ltd.: The Clearing House, Vol. 72, No. 5, May - Jun.

Rich, John Martin. 1969. Readings in the Philosophy of Education. California: Wadsworth Publishing Company, Inc.

Sobel, Bard. 1977. A Reconstructionist Perspective of the Teaching of Social Studies. USA: University of North Carolina Press, The High School Journal, Vol. 60, No. 8, John Dewey and the Social Studies , May

24

Syam, Mohammad Noor. 1986.

Filsafat Pendidikan dan Dasar Filsafat

Kependidikan Pancasila, Surabaya: Usaha Nasional

Taura, Takeo et al. 1965. A Japanese View: Recent Developments in Reconstructionist Theory. Japan: The Phi Delta Kappa International: The Phi Delta Kappan, Vol. 47, No. 3, Nov.

Winch, Christopher dan John Gingell. 2008. Philosophy of Education the Key Concepts, 2nd edition. New York: Routledge

25

You might also like