You are on page 1of 2

Aquit et de charge Dalam etymology bahasa Inggris sebagaimana dikutip dari Wikipedia, kalimat ini ditafsirkan sebagai: "To

set free, release or discharge from an obligation, duty, liability, burden, or from an accusation or charge" atau dalam terjemahan bebasnya adalah pembebasan dari tanggung jawab, tugas atau kewajiban atas kegiatan yang telah dilaksanakan. Istilah ini mulanya banyak digunakan dalam pertanggungjawaban pengurusan suatu perseroan, dimana RUPS (Rapat Umum Pemegang Saham) sebagai pengejawantahan dari para pemilik suatu perseroan, memberikan pelunasan dan pembebasan tanggungjawab sepenuhnya (acquit et de charge) kepada segenap anggota Direksi dan Dewan Komisaris Perseroan atas tindakan pengurusan dan pengawasan yang telah mereka jalankan selama tahun buku yang telah diaudit atau telah dipertanggungjawabkan, sejauh tindakan pengurusan dan pengawasan tersebut tercermin dalam Laporan Tahunan dan Perhitungan Tahunan (Laporan Keuangan) yang disampaikan oleh pihak Direksi dan Komisaris. Penerapan acquit et de charge selama ini lebih banyak dikenal dalam ranah private sector, yaitu suatu hubungan antara pemilik modal dengan pihak yang ditunjuk untuk mewakili pemilik modal dalam mengelola dan mempertanggungjawabkan pengelolaan modal yang di-amanah-kan. Kondisi yang ditekankan dari penerapan acquit et de charge bahwa Direksi dan Komisaris telah melaksanakan prinsip pengungkapan informasi yang memadai, wajar, trasparan dan akuntabel. Pembebasan tanggung jawab tidak berlaku apabila terdapat kegiatan/transaksi yang bernilai material namun tidak tercermin dalam Laporan Tahunan sehingga laporan yang disampaikan menyesatkan ataupun merugikan pemilik modal. Batasan dari penerapan ini pada private sector boleh dikatakan lebih jelas, karena garis merahnya adalah profit dan kesinambungan usaha. Pada sektor perbankan (khususnya pada Bank Indonesia), aturan mengenai acquit et de charge tertera dalam UU BI no 23 tahun 1999 Pasal 45, yang menyebutkan Gubernur, Deputi Gubernur Senior, Deputi Gubernur, dan atau pejabat Bank Indonesia tidak dapat dihukum karena telah mengambil keputusan atau kebijakan yang sejalan dengan tugas dan wewenangnya sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang ini sepanjang dilakukan dengan itikad baik. Penjelasan lebih lanjut mengenai pasal ini menyebutkan bahwa ketentuan ini dimaksudkan untuk memberikan perlindungan hukum atas tanggung jawab pribadi bagi anggota Dewan Gubernur dan/atau pejabat Bank Indonesia yang dengan iktikad baik berdasarkan kewenangannya telah mengambil keputusan yang sulit tetapi sangat diperlukan dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya.

Pengambilan keputusan dapat dianggap telah memenuhi iktikad baik apabila: 1. dilakukan dengan maksud tidak mencari keuntungan bagi diri sendiri, keluarga, kelompoknya sendiri, dan/atau tindakan-tindakan lain yang berindikasikan korupsi, kolusi dan nepotisme; 2. dilakukan berdasarkan analisis yang mendalam dan berdampak positif; 3. diikuti dengan rencana tindakan preventif apabila keputusan yang diambil ternyata tidak tepat; 4. dilengkapi dengan sistem pemantauan. Aturan main mengenai acquit et de charge dalam aturan BI lebih jelas dengan kriteria-kriteria umum yang secara pribadi menurut saya cukup untuk memberikan kebebasan bertindak secara professional dan mempertanggungjawabkan tindakan tersebut di kemudian hari. Namun ternyata sektor perbankan pula yang telah mencederai makna acquit et de charge sehingga muncul persepsi negative masyarakat tentang istilah ini. Pada tahun 2002, diterbitkan Inpres No. 8/2002 tentang Pemberian Jaminan Kepastian Hukum Kepada Debitur yang telah Menyelesaikan Kewajibannya atau Tindakan Hukum Kepada Debitur yang tidak Menyelesaikan Kewajibannya Berdasarkan Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham.

Release and Discharge (R & D) yang diberikan dalam Inpres No. 8/2002 ini merupakan kebijakan yang diberikan oleh pemerintah sebelumnya kepada para obligor hitam untuk mengembalikan cicilan kerugian negara dengan potongan dari 16-36 persen, yang diatur dalam MSAA (Master of Acquisition and Agreement) dan merupakan perjanjian penyelesaian utang di luar pengadilan (settlement out of court). Namanya saja sudah perjanjian yang bersifat perdata, sehingga tidak dapat menghilangkan tuntutan pidana. Namun, sangat disayangkan karena kebijaksanaan yang berdasarkan MSAA ini yang dipakai oleh "Tim 35" menghentikan penyelidikan kasus BLBI tersebut (vide: penjelasan Jam Pidsus dalam Kompas, edisi Sabtu, 1 Maret 2008 ). Bahkan terakhir terungkap "permainan" pihak kejaksaan dengan tertangkap basahnya Jaksa Urip. Kondisi warisan dari kasus BLBI ini yang mengakibatkan ide acquit et de charge yang diusung oleh BPKP membawa pro-kontra. Pihak yang menolak atas hal ini masih phobia atas penyalahgunaan penerapan acquit et de charge oleh aparat pemerintah. Yang pada akhirnya menimbulkan lahan baru untuk berkorupsi. Lalu, bagaimana dengan penerapan acquit et de charge untuk sektor pemerintahan. Kepala BPKP telah menegaskan bahwa penerapan konsep ini pada sektor public dilakukan untuk memberikan kepastian hukum terhadap para pejabat yang telah mengakhiri tugasnya, sehingga tidak ada lagi kegamangan serta memberikan suatu kepastian hukum. Namun kiranya aturan atau rambu-rambu yang jelas mengenai penerapan konsep ini pun harus dilakukan. Kejelasan akan adanya bentuk dan jenis informasi yang harus dilaporkan dalam laporan pertanggungjawaban pejabat public sebagai bentuk adopsi Laporan Tahunan sebagaimana yang ada perseroan, rasanya perlu dikaji lebih lanjut. Apakah bentuk dan dan jenis informasi sebagaimana dilakukan pada Laporan Akuntabilitas Kinerja atau Laporan Akuntansi Instansi dianggap telah memadai. Kejelasan berikutnya adalah, lembaga/badan/dewan apakah yang diberikan kewenangan untuk menetapkan acquit et de charge kepada pejabat public dimaksud. Apakah kelembagaan DPR dapat mewakili RUPS? Jika ini kita tanyakan, maka sebagian besar mungkin masih akan meragukan bentuk keterwakilan. Apalagi dengan degradasi kepercayaan kepada wakil-wakil rakyat yang saat ini berkembang. Dan terakhir, konsep acquit et de charge akan lebih berhasil apabila kebijakan yang diambil dilakukan dengan itikad baik sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia yang pada akhirnya adalah: 1. Tidak untuk memperkaya diri sendiri dan keluarganya/kroninya; 2. Negara tidak dirugikan, aspek 3E atas pelaksanaan tugasnya sebagai pemimpin sektor public dapat tercapai; 3. Terlayaninya kepentingan public.

You might also like