You are on page 1of 10

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Pembangunan pada saat ini lebih banyak menempatkan masyarakat sebagai subjek sekaligus objek pada pembangunan tersebut. Hal ini tercermin dalam sasaran pembangunan Indonesia yakni terciptanya kualitas hidup dengan mewujudkan masyarakat Indonesia yang seutuhnya melalui upaya pembangunan menuju sumber daya manusia yang berkualitas, sehat, cerdas, dan produktif. Keterangan ini juga dijelaskan dalam indikator yang digunakan untuk mengukur kualitas sumber daya manusia yaitu Indeks Pembangunan Manusia atau Human Development Indeks (HDI). Pada Tahun 2005 United Nations Development Population menempatkan Indonesia pada urutan ke 110 dari 174 negara di Dunia. Hal ini menunjukkan bahwa pembangunan di Indonesia belum sepenuhnya mampu meningkatkan kualitas hidup sumber daya manusia (United Nations Development Population, 2008). Azwar (2004) menjelaskan rendahnya HDI diantaranya disebabkan oleh karena rendahnya status gizi dan status kesehatan masyarakat. Termasuk didalamnya kondisi gizi yang buruk pada bayi dan Balita yang mengakibatkan lebih separuh kematian pada anak dan bayi. Masalah gizi masih merupakan masalah kesehatan masyarakat utama di Indonesia. Kekurangan gizi belum dapat diselesaikan, prevalensi masalah gizi lebih dan obesitas mulai meningkat khususnya pada kelompok sosial ekonomi menengah ke atas di perkotaan. Dengan kata lain, saat ini Indonesia tengah menghadapi

Universitas Sumatera Utara

masalah gizi ganda. Hal ini sangat merisaukan karena mengancam kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) yang sangat diperlukan di masa mendatang. Diperkirakan masih terdapat sekitar 1,7 juta balita terancam gizi buruk yang keberadaannya tersebar di pelosok-pelosok Indonesia. Jumlah balita di Indonesia menurut data Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Tahun 2007 mencapai 17,2% dengan laju pertumbuhan penduduk 2,7% per tahun. United Nations Childrens Fund (UNICEF) melaporkan Indonesia berada di peringkat kelima dunia untuk negara dengan jumlah anak yang terhambat pertumbuhannya paling besar dengan perkiraan sebanyak 7,7 juta balita (Depkes RI, 2007). Data Susenas tahun 2005, angka prevalensi gizi kurang anak balita 28%, dan di antara angka tersebut 8,8 % menderita gizi buruk. Pada tahun 2008 angka tersebut berkurang menjadi 13,0 %. Walau prevalensi gizi kurang menurun namun anak yang stunting (pendek) masih cukup tinggi 36,8% yang berarti pernah menderita kekurangan gizi. Sedangkan Prevalensi gizi buruk 5,4 % (Depkes, 2010). Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas ) 2007, secara nasional prevalensi kekurangan gizi pada anak balita adalah sebesar 18,4% terdiri dari gizi kurang 13,0 % dan gizi buruk 5,4 %. Sementara itu Riskesdas 2010, gizi kurang tidak mengalami perubahan dan gizi buruk mengalami peningkatan dengan prevalensi gizi kurang balita sebesar 13% dan gizi buruk 5,9%. Untuk Provinsi Nanggro Aceh Darussalam (NAD) sendiri prevalensi gizi buruk 7,1% dan gizi kurang 16,6%. Selanjutnya data Departemen Kesehatan RI tahun 2010 menunjukkan penurunan dari tahun 2007 dengan prevalensi gizi buruk 5,4% menjadi 4,9% pada

Universitas Sumatera Utara

tahun 2010, sementara prevalensi gizi kurang tidak mengalami perubahan, masih 13%. Sementara untuk Provinsi Nanggro Aceh Darussalam, prevalensi gizi kurang 24% (Depkes, 2010). Masyarakat harus mengerti bahwa anak mereka membutuhkan makanan dengan cukup zat gizi demi masa depan mereka sehingga anak tersebut tidak terkena penyakit-penyakit yang berhubungan dengan gizi. Kelompok anak balita merupakan kelompok yang menunjukkan pertumbuhan badan yang pesat. Anak balita merupakan kelompok umur yang paling sering menderita akibat kekurangan gizi (Sediaoetama, 2006). Kondisi gizi salah di Indonesia yang terbanyak termasuk berat badan di bawah garis merah kebanyakan disebabkan oleh konsumsi pangan yang tidak mencukupi kebutuhan badan. Kondisi gizi salah terutama diderita oleh anak-anak yang sedang tumbuh dengan pesat yaitu kelompok balita (bawah lima tahun) dimana prevalensinya pada anak balita masing tinggi + 30-40%. Kebanyakan penyakit gizi ditandai dengan berat badan di bawah garis merah pada masa bayi dan anak ditandai 2 sindrom yaitu kwashiorkor dan marasmus (Hardjoprakoso, 1986). Menurut Suhardjo (1986), klasifikasi keadaan berat badan balita di bawah garis merah yang paling sederhana dan umum dipakai adalah ukuran berat menurut umur yang kemudian dibandingkan terhadap ukuran baku, karena berat badan anak merupakan indikator yang baik bagi penentuan status gizinya. Khususnya untuk mereka yang berumur di bawah lima tahun, dimana keadaan seperti ini disebabkan oleh faktor-faktor tertentu seperti: tingkat pendidikan ibu, tingkat ekonomi keluarga,

Universitas Sumatera Utara

latar belakang sosial budaya keluarga dilihat dari pantangan makanan, distribusi makanan, keadaan fisiologi, sehingga faktor-faktor tersebut ikut menentukan besarnya presentase balita dengan berat badan di bawah garis merah. Kartu Menuju Sehat (KMS) dapat digunakan untuk memantau pertumbuhan balita. Pada KMS terdapat garis yang berwarna merah. Apabila balita tersebut berada di bawah garis merah menunujukkan bahwa anak tersebut memiliki masalah gizi dan perlu mendapatkan perhatian yang lebih. Seorang balita yang berada di bawah garis merah (BGM) pada KMS belum tentu menderita gizi buruk. KMS tidak dapat dipakai untuk mengukur status gizi balita. Pola asuh berperan penting dalam menentukan status gizi balita. Apabila pola asuh anak kurang, dapat memengaruhi tumbuh kembang anak terutama pola asuh makan. Begitu juga terhadap balita BGM. Bila balita BGM tidak mendapatkan perhatian khusus dari keluarga,asupan makanannya tidak mencukupi maka dapat mengakibatkan status gizi balita tersebut semakin menurun (Soekirman, 2000). Notoatmodjo (2003), menjelaskan bahwa gizi masyarakat bukan hanya menyangkut aspek kesehatan saja, melainkan aspek-aspek terkait yang lain, seperti ekonomi, sosial-budaya, pendidikan, kependudukan, dan sebagainya. Oleh sebab itu, penanganan atau perbaikan gizi sebagai upaya terapi tidak hanya diarahkan kepada gangguan gizi atau kesehatan saja, melainkan juga ke arah bidang-bidang yang lain. Pola makan merupakan praktek-praktek pengasuhan yang diterapkan oleh ibu/pengasuh kepada anak yang berkaitan dengan pemberian makanan. Pemberian makanan pada anak diperlukan untuk memperoleh kebutuhan zat gizi yang cukup

Universitas Sumatera Utara

untuk kelangsungan hidup, pemulihan kesehatan sesudah sakit, aktivitas, pertumbuhan dan perkembangan. Secara fisiologik, makan merupakan suatu bentuk pemenuhan atau pemuasan rasa lapar. Untuk seorang anak, makan dapat dijadikan media untuk mendidik anak supaya dapat menerima, menyukai dan memilih makanan yang baik (Santoso Ranti, 1995). Di Indonesia pola makan terhadap anak sangat dipengaruhi oleh budaya, unsur-unsur budaya mampu menciptakan suatu kebiasaan makan dalam masyarakat yang diajarkan secara turun temurun kepada seluruh anggota keluarganya padahal kadang-kadang unsur budaya tersebut bertentangan dengan prinsip-prinsip ilmu gizi. Aspek budaya dalam kehidupan masyarakat Indonesia berkembang sesuai dengan keadaan lingkungan,agama, adat dan kebiasaan masyarakat. Sampai saat ini aspek budaya sangat memengaruhi perilaku kehidupan sehari-hari masyarakat Indonesia (Suhardjo, 2003). Kegiatan budaya suatu keluarga pada kelompok masyarakat mempunyai pengaruh yang kuat dan lestari terhadap apa, kapan, dan bagaimana penduduk makan. Kebanyakan tidak hanya menentukan jenis pangan saja, tetapi untuk siapa dan dalam keadaan bagaimana pangan tersebut dimakan (suhardjo, 2005). Setiap budaya mempunyai nilai-nilai tertentu terhadap pangan yang ada. Misalnya bahan-bahan makanan tertentu oleh suatu budaya masyarakat dapat dianggap tabu untuk dikonsumsi karena alasan-alasan tertentu, sementara itu ada pangan yang dinilai sangat tinggi baik dari segi sosial karena mempunyai peranan yang penting dalam hidangan makanan pada suatu perayaan yang berkaitan dengan

Universitas Sumatera Utara

agama atau kepercayaan. Pada masyarakat jawa barat masih terdapat pantangan bahan makanan, yang sebenarnya bahan makanan tersebut mengandung nilai gizi yang tinggi. Seperti contohnya anak balita dilarang makan ikan dengan anggapan akan cacingan, dan juga dilarang makan telur karena akan timbul bisulan. Tabu yang demikian tidak rasional, namun anggapan demikian diwariskan dari generasigenerasi secara turun temurun. Di Aceh, air susu ibu dianggap kurang memadai sebagai makanan bayi sehingga biasanya bayi diberi makan pisang wak yang telah dilumatkan kemudian disulang ke mulut bayi. Setelah berumur tiga bulan, bayi diberi pisang ditambah dengan nasi yang telah digiling halus diatas piring yang terbuat dari tanah liat kemudian disulangkan kepada bayi sambil bayi dibaringkan diatas lonjoran kaki pengasuh. Setelah umur delapan bulan bayi diberi makanan yang sama jenisnya dengan makanan orang dewasa (Alfian, 1997). Banyak budaya yang kadang kala merugikan kesehatan masyarakat, contohnya pada beberapa kasus yang terjadi yang pernah dijumpai. Sebagai salah satu akibat serius dari kepercayaan yaitu penyakit mata karena defisiensi vitamin A yang prevalensinya cukup tinggi, keadaan ini timbul akibat larangan anak-anak untuk mengkonsumsi papaya dan sayuran hijau karena pangan tersebut dianggap bersifat dingin, padahal bahan makanan tersebut tersedia cukup banyak dan murah harganya. Kepercayaan seseorang terhadap hal tersebut tergantung dari kuatnya kepercayaan yang diturunkan oleh nenek moyangnya dan pengalaman yang dimiliki. Berbagai aspek budaya yang berlaku pada kelompok masyarakat

sebagaimana dijelaskan diatas, ada yang memberikan dampak positif dan ada juga

Universitas Sumatera Utara

yang negatif. Dampak negatif berupa masukan zat gizi yang tidak sesuai dengan kebutuhan tubuh serta kualitas konsumsi yang juga masih tergolong rendah (Suhardjo, 1989). Notoatmodjo (2005), juga menjelaskan keadaan sosial ekonomi merupakan aspek sosial budaya yang sangat memengaruhi status kesehatan dan juga berpengaruh pada pola penyakit bahkan juga berpengaruh pada kematian, misalnya obesitas lebih banyak ditemukan pada golongan masyarakat yang berstatus ekonomi tinggi dan sebaliknya kasus malnutrisi lebih banyak ditemukan di kalangan masyarakat yang berstatus ekonomi rendah. Distribusi pangan banyak ditentukan oleh masyarakat-masyarakat menurut taraf ekonominya. Golongan masyarakat dengan ekonomi kuat mempunyai kebiasaan makan yang cenderung dengan konsumsi rata-rata melebihi angka kecukupannya. Sebaliknya masyarakat dengan ekonomi lemah, justru pada umumnya produsen pangan mereka mempunyai kebiasaan makan yang memberikan nilai gizi di bawah kecukupan jumlah maupun mutunya (Khumaidi, 1994). Beberapa penemuan peneliti menyatakan bahwa faktor budaya sangat berperan dalam proses terjadinya masalah gizi di berbagai masyarakat dan negara. Unsur-unsur budaya mampu menciptakan suatu kebiasaan penduduk yang terkadang bertentangan dengan prinsip-prinsip ilmu gizi (Suhardjo, 1989). Penelitian Taruna (2002) di Kabupaten Kampar Propinsi Riau menyebutkan ada hubungan yang signifikan antara status ekonomi keluarga dengan terjadinya kasus gizi buruk pada anak Balita. Selanjutnya penelitian Orisinal (2001) di Propinsi

Universitas Sumatera Utara

Sumatera Barat menjelaskan ada hubungan yang bermakna antara pendapatan per kapita dengan status gizi Balita. Selanjutnya penelitian Astuti (2002) di Pedesaan Propinsi jawa Tengah menyebutkan faktor pendidikan Ibu dan Bapak berpengaruh terhadap status gizi Balita. Penelitian Hidayat (2005) tentang faktor-faktor yang mempengaruhi status gizi Balita di Indonesia pada tahun 2005 juga menyebutkan pendidikan ibu berpengaruh signifikan terhadap status gizi Balita terutama di perkotaan. Kemudian penelitian Yusrizal (2008) di wilayah pesisir Kabupaten Bireuen Nanggroe Aceh Darussalam menyebutkan bahwa tingkat pengetahuan orang tua berpengaruh terhadap status gizi Balita. Penelitian Sri Murni (2007) menyatakan bahwa pola makan anak balita pada keluarga dengan ekonomi tinggi lebih baik dibandingkan dengan keluarga miskin (ekonomi rendah) terutama dalam hal jenis, jumlah dan frekuensi makanan. Dari beberapa penelitian tersebut dapat dilihat faktor sosial budaya dan ekonomi berpengaruh terhadap status gizi Balita. Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) sebagai salah satu Propinsi Indonesia sampai saat ini juga masih menghadapi permasalahan terkait status gizi Balita. Berdasarkan profil kesehatan Propinsi NAD tahun 2009 diketahui bahwa dari 23 kabupaten di NAD dengan jumlah balita sebanyak 185.698 orang, terdapat 20.717 balita dengan prevalensi 11,6% yang mengalami gizi kurang (Profil Kesehatan Nanggroe Aceh Darussalam, 2009). Sementara itu, data yang ada di Aceh Besar menyebutkan dari 23 kecamatan terdapat 897 balita dengan timbangan di bawah garis merah (BGM) dan 35 balita dengan gizi buruk (Profil Kesehatan Kabupaten Aceh Besar, 2009).

Universitas Sumatera Utara

Kecamatan Montasik merupakan salah satu daerah administratif kecamatan yang dimiliki Pemerintah Kabupaten Aceh Besar. Sampai saat ini Kecamatan Montasik masih memiliki permasalahan terkait status gizi Balita yaitu dari 1.661 Balita yang ada ternyata terdapat 43 keluarga yang memiliki Balita dengan berat badan di Bawah Garis Merah (BGM) (Laporan Puskesmas Montasik, 2011). Beranjak dari uraian diatas maka dianggap perlu dilakukan penelitian mengenai pengaruh sosial budaya dan ekonomi keluarga terhadap pola makan balita Bawah Garis Merah (BGM) di Kecamatan Montasik Kabupaten Aceh Besar.

1.2. Permasalahan Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, maka permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimana pengaruh sosial budaya dan ekonomi keluarga terhadap pola makan balita Bawah Garis Merah (BGM) di Kecamatan Montasik Kabupaten Aceh Besar.

1.3. Tujuan Penelitian Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis pengaruh sosial budaya dan ekonomi keluarga terhadap pola makan balita Bawah Garis Merah (BGM) di Kecamatan Montasik Kabupaten Aceh Besar.

1.4. Hipotesis Ada pengaruh sosial budaya dan ekonomi keluarga terhadap pola makan balita Bawah Garis Merah (BGM) di Kecamatan Montasik Kabupaten Aceh Besar.

Universitas Sumatera Utara

1.5. Manfaat Penelitian 1. Sebagai bahan masukan dan informasi kepada Pemerintah Kabupaten Aceh Besar terkait dengan program penanggulangan masalah gizi Balita di Aceh Besar. 2. Sebagai referensi untuk dapat memberikan informasi, tentang program pendidikan gizi kepada masyarakat khususnya ibu-ibu untuk memperhatikan status gizi balitanya. 3. Diharapkan dapat menambah khasanah ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan pengaruh sosial budaya dan ekonomi keluarga terhadap pola makan balita Bawah Garis Merah (BGM).

Universitas Sumatera Utara

You might also like