You are on page 1of 18

TUGAS UJIAN BEDAH PLASTIK

SEORANG WANITA 70 TAHUN DENGAN SNAKE BITE DIGITI I REGIO PEDIS DEXTRA

oleh: Gabriel Arni. S G9911112071

Pembimbing: dr. Amru Sungkar, Sp. B, Sp. BP

KEPANITERAAN KLINIK SMF ILMU BEDAH FAKULTAS KEDOKTERAN UNS/RSUD DR. MOEWARDI SURAKARTA 2012

BAB I STATUS PASIEN

A. IDENTITAS PASIEN Nama Umur Jenis Kelamin Agama Pekerjaan Alamat Masuk RS Pemeriksaan : Ny. T : 70 tahun : Perempuan : Islam : Ibu Rumah Tangga : Buwun Mlati RT 3/RW 7 Arjosari : 18 Juni 2012 : 22 Juni 2012

B. ANAMNESIS 1. Keluhan utama : digigit ular di ibu jari kaki kanan

2. Riwayat Penyakit Sekarang + 1 hari SMRS ibu jari kaki kanan pasien digigit ular saat pasien hendak tidur malam. Pasien mengaku ular yang menggigitnya berwarna oranye bergaris hitam, namun pasien tidak mengetahui jenis ular yang menggigitnya. Setelah itu pasien merasa kaki kanan membengkak hingga ke betis dan kulit ibu jarinya berwarna hitam, pasien merasa panas di bekas gigitan dan nyeri. Tidak didapatkan sesak, mual, dan muntah pada pasien. Kemudian oleh keluarga, pasien dibawa ke RS Medical Mandiri, diinfus, diinjeksi obat-obatan dan di cek lab. Karena keterbatasan sarana, pasien dirujuk ke RSDM.

3. Riwayat Penyakit Dahulu Riwayat perdarahan sulit berhenti Riwayat alergi : disangkal : disangkal

Riwayat hipertensi Riwayat diabetes mellitus Riwayat penyakit jantung Riwayat trauma sebelumnya

: disangkal : disangkal : disangkal : disangkal

4. Riwayat Penyakit Keluarga Riwayat perdarahan sulit berhenti Riwayat alergi Riwayat hipertensi Riwayat diabetes mellitus Riwayat penyakit jantung : disangkal : disangkal : disangkal : disangkal : disangkal

C. PEMERIKSAAN FISIK 1. STATUS GENERALIS Keadaan umum Kesadaran Tanda vital : tampak sakit sedang : compos mentis : Tensi darah : 110/70 mmHg Nadi RR Suhu Kepala Mata : 70 x/menit : 20 x/menit : 36,5 0C

: bentuk mesocephal : konjungtiva pucat (-/-), sklera ikterik (-/-), pupil isokor (3mm/3mm), reflek cahaya (-/-), hematom periorbita (-/-)

Telinga

: sekret (-/-), darah (-/-), nyeri tekan mastoid (-/-), nyeri tragus (-/-)

Hidung

: bentuk simetris, napas cuping hidung (-/-), secret (-/-), keluar darah (-/-)

Mulut Leher

: gusi berdarah (-) : pembesaran limfonodi (-), nyeri tekan (-), JVP tidak meningkat

Thorak Jantung Inspeksi Palpasi Perkusi Auskultasi

: simetris saat statis dan dinamis, retraksi (-)

: ictus cordis tidak tampak. : ictus cordis tidak kuat angkat. : batas jantung kesan tidak melebar. : bunyi jantung I-II intensitas normal, regular, bising (-)

Pulmo Inspeksi Palpasi Perkusi Auskultasi : pengembangan dada kanan sama dengan kiri. : fremitus raba sama dengan kiri, nyeri tekan (-/-) : sonor/sonor. : suara dasar vesikuler (+/+) normal, suara tambahan (-/-). Abdomen Inspeksi Auskultasi Perkusi Palpasi Genitourinaria : distended (-) : bising usus (+) normal : timpani : supel, nyeri tekan (-), defense muscular (-) : BAK normal, BAK darah (-), BAK nanah (-), nyeri BAK (-) Ekstremitas atas Ekstremitas bawah 2. STATUS LOKALIS Regio pedis dextra digiti I Look : oedem (+), bulla (+), warna lebih gelap dari sekitarnya, fang marks (+) Feel : NT (+), suhu teraba hangat, pulsasi a.dorsalis pedis (+), pulsasi a.tibialis pedis (sulit dievaluasi) karena oedem Movement : ROM terbatas karena nyeri : akral dingin (-), oedema (-) : jejas (+) lihat status lokalis

Regio cruris dextra Look Feel : oedem (+) hingga fossa poplitea : NT (+), suhu teraba hangat, pulsasi a.inguinalis (+), pulsasi a.poplitea (+) Movement : ROM terbatas karena nyeri

D. DIAGNOSIS Snake bite digiti I regio pedis dextra

E. DIAGNOSIS BANDING Gigitan serangga laba-laba

F. PLANNING I 1. IVFD RL 20 tpm 2. Serum anti bisa ular 10 ml dalam 500 cc D5% 3. Injeksi ceftriaxon 1 gr/12 jam 4. Injeksi metamizole 1 gr/8 jam 5. Injeksi ATS 1500 IU 6. Injeksi ranitidin 50 mg/8 jam 7. Cek darah rutin, PT, APTT, golongan darah, GDS, OT/PT, Ur/Cr, elektrolit 8. Awasi tanda sindrom kompartemen

BAB II JAWABAN UJIAN

1. ANAMNESIS Anamnesis dapat dilakukan autoanamnesis maupun alloanamnesis kepada orang yang melihat kejadian. Anamnesis pada kasus gigitan ular dapat diperoleh riwayat terjadinya peristiwa (lokasi gigitan, berapa jumlah gigitan), waktu dan tempat kejadian (dihubungkan dengan insidensi ular yang hidup di area tersebut), jenis dan ukuran ular (dapat lebih digali mengenai kenampakan ular, bentuk, pupil atau mata ular, apakah terdapat garis-garis, pola kulit atau suara berderak yang khas, serta panjang ular), luka pada bekas gigitan ular.1,2,3 Selain itu juga perlu ditanyakan gejala-gejala yang muncul dalam 30 menit sampai 24 jam setelah kejadian. Apakah terdapat gejala lokal seperti bengkak dan nyeri pada luka. Apakah terdapat gejala sistemik seperti lemas, otot lemah, berkeringat, menggigil, hipotensi, mual, hipersalivasi, rasa metalik di mulut, muntah, nyeri kepala, dan pandangan kabur, perdarahan dan berkemih.1,2,3,4 Pada pasien dengan gigitan ular, ditanyakan pula riwayat penyakit sebelumnya (terutama riwayat alergi terhadap serum anti bisa ular) dan riwayat pengobatan yang telah didapat.1,5

2. PEMERIKSAAN FISIK Pemeriksaan fisik yang pertama kali dilakukan pada kasus snake bite adalah pemeriksaan kesadaran. Bisa ular yang bersifat neurotoksin dapat menyebabkan penurunan kesadaran sampai koma. Neurotoksin dapat menimbulkan gejala berupa ptosis, diplopia, disartria, kelumpuhan, distres pernapasan.3,4,5 Pemeriksaan selanjutnya adalah pemeriksaan tanda vital. Pemeriksaan ini bertujuan untuk mengetahui apakah terdapat gejala sistemik atau tidak. Daya toksik dari bisa ular yang masuk ke dalam tubuh dapat menyebar melalui peredaran darah sehingga terjadi gangguan pada sistem neurologis,

kardiovaskuler, serta pernafasan. Gangguan sistem neurologis dapat terjadi karena bisa ular mengenai saraf yang berhubungan dengan sistem pernafasan sehingga terjadi oedem pada saluran pernafasan sehingga pasien akan sulit bernafas. Toksik yang masuk ke pembuluh darah juga dapat menyebabkan gangguan pada sistem kardiovaskuler yaitu hipotensi. 6,7,8 Pemeriksaan tanda vital meliputi : a. Tekanan darah b. Nadi c. Respiration Rate d. Suhu Pemeriksaan suhu digunakan untuk menilai kondisi metabolisme di dalam tubuh. Salah satu penyebab produksi panas dalam tubuh adalah proses infeksi.6,7 Gambaran klinis atau gejala lokal yang timbul pada tempat gigitan dapat dinilai dengan inspeksi maupun palpasi. Gejala lokal tersebut antara lain adalah : bekas taring atau gigitan nyeri dan pendarahan lokal ekimosis inflamasi (bengkak, kemerahan, panas) bula infeksi lokal nekrosis limfangitis pembesaran limfonodi10,13,14 Pemeriksaan mengenai fungsi pembekuan juga perlu dilakukan dengan cara menilai perdarahan dari bekas gigitan. Efek snake bite adalah kerusakan otot. Jadi untuk pemeriksaannya perlu dinilai, kelenturan otot, nyeri, ROM, kelemahan, urine berwarna coklat atau merah yang mengindikasikan myogobinuria. Periksa juga tanda gejala sistemik dan gejala khusus yang muncul pada snake bite 7,15

3. DIAGNOSIS DAN DIFFERENTIAL DIAGNOSIS Diagnosis snake bite ditegakkann berdasarkan hasil anamnesis serta pemeriksaan fisik. Diagnosis gigitan ular berbisa tergantung pada keadaan bekas gigitan atau luka yang terjadi dan memberikan gejala lokal dan sistemik sebagai berikut : a. Gejala lokal : nyeri tekan pada luka gigitan, ekimosis (dalam 30 menit 24 jam), ditemukan fang marks, perdarahan lokal, memar, pembesaran limfonodi, tanda inflamasi (edema, kemerahan, panas), terdapat bulla, atau bisa ditemukan nekrosis. b. Gejala sistemik : hipotensi, kelemahan otot, berkeringat, mengigil, mual, hipersalivasi, muntah, nyeri kepala, abdominal pain, dan pandangan kabur29 c. Gejala khusus gigitan ular berbisa14,15 : o Hematotoksik: perdarahan di tempat gigitan, paru, jantung, ginjal, peritoneum, otak, gusi, hematemesis dan melena, perdarahan kulit (petekie, ekimosis), hemoptoe, hematuri, koagulasi intravaskular diseminata (KID) o Neurotoksik: hipertonik, fasikulasi, paresis, paralisis pernapasan, ptosis oftalmoplegi, paralisis otot laring, reflek abdominal, kejang dan koma28 o Kardiotoksik: hipotensi, henti jantung, koma, syok, aritmia, oedem pulmo, gangguan vaskular o Sindrom kompartemen: edema tungkai dengan tanda tanda 5P (pain, palor, paresthesia, paralysis, pulselesness).8,13 Kriteria WHO mengenai diagnosis snake bite menggunakan pendekatan sindromik. Dengan pendekatan ini dapat dikelompokan gejala yang muncul dengan perkiraan jenis ular.15,30 Sindrom 1 Gejala lokal (oedem, nyeri, dll) dengan perdarahan atau gangguan pembekuan : Viperidae (semua spesies)

Sindrom 2 Gejala lokal (oedem, nyeri, dll) dengan perdarahan atau gangguan pembekuan, syok atau gagal ginjal : Russells viper (mungkin juga spesies Echis) Jika ditambah dengan kemosis dan insufisiensi pituitari akut : Russells viper, Burma Jika ditambah dengan ptosis, optalmoplegia eksterna, paralisis wajah, urin coklat kehitaman : Russells viper, Sri Lanka dan India Selatan

Sindrom 3 Gejala lokal (oedem, nyeri, dll) dengan paralisis : cobra atau king cobra Sindrom 4 Paralisis dengan gejala lokal minimal atau tanpa gejala lokal Digigit di darat ketika tertidur, di luar Philipina : krait, di Philipina : cobra Digigit di laut : sea snake

Sindrom 5 Paralisis dengan urin coklat kehitaman dan gagal ginjal Digigit di darat (dengan perdarahan) : Russells viper, India Digigit di laut (tanpa perdarahan) : sea snake

Diagnosis banding untuk snake bite antara lain : Gigitan laba-laba atau sengatan kalajengking Pada gigitan laba-laba, ditemukan riwayat kontak dengan laba-laba pada anamnesis. Pada regio yang tergigit, ditemukan pembengkakan dengan onset lambat dan menyebabkan kekakuan otot. Gejala ini tidak ditemukan pada gigitan ular yang pembengkakannya terjadi progresif.8,11,12 Tusukan duri Pada tusukan duri tidak ditemukan gejala lokal berupa oedem dan gejala sistemik yang progresif seperti pada kasus snake bite.16

4. PEMERIKSAAN

PENUNJANG

DAN

PENILAIAN

HASIL

PEMERIKSAAN PENUNJANG Pemeriksaan laboratorium darah yang diperlukan pada snake bite adalah Hb, leukosit, trombosit, kreatinin, elektrolit, waktu perdarahan, waktu pembekuan, waktu protrombin, fibrinogen, APTT, uji faal hepar, dan golongan darah.13,17 Angka rujukan normal untuk hasil pemeriksaan di atas adalah: Hb AE AL AT Hct PT APTT : 12-15 g/dL : 4,2-6,2. 10 /L : 4-11.103/L : 150-350.103/L : 38-51% : 11-14 detik : 20-40 detik
3

Natrium Kalium Klorida Kreatinin GDS Albumin

: 135-145 mEq/L : 3,1-4,3 mEq/L : 95-105 mEq/L : 0,5-1,5 mg/dL : < 200 mg/dL : 3-5,5 g/dL

Gigitan ular dari spesies tertentu dapat menyebabkan perdarahan pada organ internal seperti organ-organ abdomen. Selain itu, dapat terjadi perdarahan pada tempat gigitan atau perdarahan spontan dari mulut atau luka yang lama. Perdarahan yang tidak terkontrol dapat menyebabkan syok. Adanya perdarahan massif ditunjukkan pada penurunan hemoglobin. Pemeriksaan trombosit, waktu perdarahan, waktu pembekuan darah, waktu protrombin juga perlu dilakukan. Hal ini dilakukan untuk mengetahui apakah terdapat gangguan faktor pembekuan darah yang menyebabkan perdarahan terus menerus maupun gangguan koagulopati. Pemeriksaan Analisis Gas Darah dan pH juga diperlukan pada pasien dengan gejala neurotoksis (gangguan sistem respirasi).13,15,18 Selain pemeriksaan darah, dapat juga dilakukakan pemeriksaan urine rutin untuk mengetahui apakah terdapat hematuria, haemoglobinuria, maupun proteiunria (mioglobinuria). Adanya hematuria, hemoglobinuria, maupun mioglobinuria menunjukkan bahwa gigitan ular sudah sampai menyerang organ ginjal.13,18,19 Pemeriksaan EKG dapat membantu menegakkan diagnosis. Pada gigitan ular family Viperidae dapat terjadi gangguan kardiovaskuler seperti aritmia.13,17 9

5. RENCANA PENATALAKSANAAN Berikut adalah langkah-langkah yang dilakukan dalam menangani gigitan ular :7,19,20,21 a. Pertolongan pertama Tujuan pertolongan pertama pada kasus snake bite: o memperlambat absorpsi sistemik dari racun o mencegah komplikasi sebelum pasien dibawa ke RS o mengawasi gejala keracunan awal yang berbahaya o mengatur pengiriman pasien secara cepat dan tepat ke RS yang mampu menangani dengan maksimal Pertolongan pertama yang dapat diberikan diantaranya adalah

menenangkan korban, imobilisasi ekstremitas yang tergigit dengan balutan atau bidai. Setiap gerakan atau kontraksi otot akan meningkatkan absorpsi racun ke pembuluh darah maupun limfe. Pada pertolongan pertama, hindari intervensi apapun pada bekas gigitan karena dapat menyebabkan infeksi , meningkatkan absorbs racun, serta meningkatkan perdarahan. Penderita juga diistirahatkan dalam posisi horizontal. Jika timbul gejala sistemik yang cepat sebelum pemberian antibisa, daerah proksimal dan distal dari gigitan diikat (tourniquet). Pemasangan tourniquet ini bertujuan untuk menahan aliran limfe. Pemasangan tourniquet kurang berguna jika dilakukan lebih dari 30 menit pasca gigitan. Pengawasan gejala keracunan awal yang berbahaya dapat dilakukan dengan observasi : Oedem yang bertambah dengan cepat pada tempat gigitan Pembesaran limfonodi lokal, yang menunjukkan bahwa racun telah menyebar melalui saluran limfe Gejala sistemik seperti syok, mual, muntah, nyeri kepala hebat, mudah mengantuk ataupun ptosis Urin yang berwarna coklat gelap

b. Segera kirim ke RS 10

c. Resusitasi dan penanganan klinis segera, meliputi : Penatalaksanaan jalan nafas Penatalaksanaan fungsi pernafasan Penatalaksanaan fungsi sirkulasi dengan pemberian infus cairan kristaloid Pada luka gigitan dapat diberikan verband ketat dan luas diatas luka serta imobilisasi dengan menggunakan bidai.

Gambar 1. Pemasangan verban dan imobilisasi pada snake bite

d. Penanganan klinis yang lebih mendalam dan diagnosis spesies ular e. Pemeriksaan laboratorium Pemeriksaan laboratorium darah yang diperlukan pada snake bite adalah Hb, leukosit, trombosit, kreatinin, elektrolit, waktu perdarahan, waktu pembekuan, waktu protobin, fibrinogen, APTT, uji faal hepar, dan golongan darah. f. Pemberian SABU (serum anti bisa ular) Serum anti bisa ular harus diberikan secepatnya setelah gejala dan tanda local maupun sistemik ditemukan. Serum anti bisa ular akan menetralkan efek bisa ular walaupun gigitan ular sudah terjadi beberapa hari yang lalu. Atau pada kasus kelainan hemostatik, anti bisa ular masih dapat diberikan

11

walaupun sudah terjadi lebih dari 2 minggu. Tetapi beberapa bukti klinis menyebutkan bahwa anti bisa ular efektif dalam beberapa jam setelah digigit ular. Dosis pertama sebanyak 2 vial @ 5 ml sebagai larutan 2% dalam garam faali dapat diberikan sebagai infus dengan kecepatan 40 - 80 tetes per menit, kemudian diulang setiap 6 jam. Apabila diperlukan (misalnya gejala-gejala tidak berkurang atau bertambah) anti serum dapat terus diberikan setiap 24 jam sampai maksimum (80 - 100 ml). Anti serum yang tidak diencerkan dapat diberikan langsung sebagai suntikan intravena dengan sangat perlahan-lahan. g. Observasi respon serum bisa ular Pedoman terapi serum anti bisa ular menurut Luck : Monitor keseimbangan cairan dan elektrolit Ulangi pemeriksaan darah pada 3 jam setelah pemberian antivenom Jika koagulopati tidak membaik (fibrinogen tidak meningkat, waktu pembekuan darah tetap memanjang), ulangi pemberian serum anti bisa ular. Ulangi pemeriksaan darah pada 1 dan 3 jam berikutnya. Gangguan koagulopati berat berikan antivenin spesifik, plasma fresh-frozen, cryoprecipitate (fibrinogen, faktor VIII), fresh whole blood. Jika koagulopati membaik (fibrinogen meningkat, waktu

pembekuan menurun) maka monitor ketat kerusakan dan ulangi pemeriksaan darah untuk memonitor perbaikannya. Monitor dilanjutkan 2x24 jam untuk mendeteksi kemungkinan koagulopati berulang. h. Pemberian terapi suportif Dopamin mungkin efektif untuk hipotensi dan adrenalin (epinefrin) untuk anafilaksis racun dalam penangan hipersensitivitas. Intubasi endotrakeal dan ventilasi diperlukan jika ditemukan gejala neurotoksisitas.

12

Semua pasien yang menerima pengobatan serum anti bisa ular dan menjalani debridement luka diberikan pengobatan antimikroba, sebagian besar pasien menerima antibiotik spektrum luas beta-laktam. Heparin, kortikosteroid, dan agen antifibrinolytic tidak boleh digunakan. Infeksi bakteri sekunder dari luka gigitan dapat terjadi dengan pembentukan abses, tapi antibiotik profilaksis tidak dibenarkan. Fasciotomy sangat jarang diindikasikan meskipun gejala klinis yang menunjukkan sindrom intracompartmental. Fasciotomi tidak dilakukan jika hemostatis tidak normal. Pemberian analgetik dapat dilakukan karena secara teknis dan logika diperlukan untuk mengurangi nyeri dan mempermudah pembersihan luka, dapat digunakan pada berbagai pasien karena spektrum umur yang luas, dapat menurunkan rasa nyeri dan tidak mempunyai efek samping yang signifikan. Analgetik dapat berupa opioid, NSAID, dan anestesi lokal. i. Penanganan bekas gigitan Bagian yang digigit harus dirawat dalam posisi paling nyaman, sebaiknya sedikit ditinnggikan untuk mendorong reabsorpsi edema cairan. Bula mungkin besar dan tegang, tetapi disedot jika tampak akan pecah. j. Rehabilitasi Pemulihan fungsi normal di bagian digigit harus diawasi. Fisioterapi konvensional dapat mempercepat proses ini.9,12,22,23,26

6. EDUKASI, PENYULUHAN, DAN PENCEGAHAN SEKUNDER Pembekalan kepada dokter dan tenaga kesehatan oleh menteri kesehatan dalam menanggulangi kasus-kasus snake bite. Meliputi identifikasi spesies jenis ular melalui klinis pasien, penegakan diagnosis, dan penggunaan terapi anti venom dengan benar Hendaknya pasien tidak menunda pengiriman pasien ke pusat kesehatan untuk mendapatkan penanganan. Selama ini pasien dan keluarga masih percaya kepada pengobatantradisonal/herbal. Semakin lama pengiriman pasien, semakin berat risiko yang akan dihadapi.

13

Dengan mengenali habitat dari ular, kita dapat mengetahui pencegahan apa saja untuk menghindari terjadinya snake bite Di dalam rumah : ular mungkin masuk ke dalam rumah untuk mencari makanan atau mencari tempat bersembunyi untuk beberapa waktu. Simpan ayam atau makanan hewani lainnya ke dalam kontainer tertutup. Jangan tidur di lantai. 24,25

Di hutan : perhatikan langkah saat berjalan, gunakan sepatu boot dan celana panjang terutama saat berjalan di dalam gelap. Jangan memasukkan tangan sembarangan ke dalam lubang di tanah, karena dicurigai sebagai sarang ular.

Di air : jika melihat ular laut, hindarilah. Dan apabila seorang nelayan menemukan ular laut di jala hendaknya jangan menyentuhnya. Jangan pernah menakut-nakuti atau menyerang ular. Jauhkan anak-anak dari area yang diketahui banyak ular. Jangan membunuh ular bila tidak terpaksa sebab banyak penderita yang tergigit akibat kejadian semacam itu

Ketersedian serum anti bisa ular untuk daerah di mana sering terjadi kasus gigitan ular 24,25,27

14

DAFTAR PUSTAKA
1. Harrison RA, et al. 2009. Snake envenoming: a disease of poverty. . Plos Neglected Tropical Disease. 3 (12): 1-6. 2. Addo V, Kokroe FA, Reindorf RL. 2009. Broad Ligament Haematoma Following Snake Bite. Ghana Medical Journal. 43 (4): 1-2. 3. Gilbert G, DSouza P, Pletz B. 2009. Snake Bite. San Mateo County EMS Agency; Adult Treatment Protocols of Snake Bite.

http://www.smchealth.org/sites/default/files/docs/ 250977396Snakebite_.pdf 4. Alirol E, et al. 2010. Snake bite in South Asia: a review. Plos Neglected Tropical Disease. 4 (1): 1-9. 5. White J. 2006. Snake bite and spider bite: management guidelines. Departement of Health Government of South Australia. Adelaide: Department of Health. pp:19-77. 6. Blaylock RS. 2005. The identification and syndromic management of snakebite in South Africa. SA Fam Pract. 47 (9): 48-53. 7. Mora J, et al. 2008. Effect of bothrops asper snake venom on lymphatic vessels: insight into a hidden aspect of envenomation. Plos Neglected Tropical Disease. 2(10): 1-10. 8. Theakston RGD, Warrel DA, Griffiths E. 2002. Report of WHO workshop on the standardization and control of antivenoms. Toxicon. 41 (2003): 541557. 9. Warrel DA. 2005. Treatment of bites by adders and exotic venomous snake. British Medical Journal. 331 : 1244-1247. 10. Evers LH, Bartscher T, Lange T, Mailander P. 2010. Adder bite : an uncommon cause of compartment syndrome in northern hemisphere. Scandinavian Journal of Trauma, Resuscitation and Emergency Medicine. 18 (50): 1-5. 11. Mohapatra B, et al. 2011. Snakebite mortality in India: a nationaly representative. Plos Neglected Tropical Disease. 5(4): 1-8.

15

12. Agarwal R, et al. 2005. Low dose of snake antivenom is as effective as high dose in patients with severe neurotoxic snake envenoming. Emerg Med Journal. 22: 397-399. 13. Kim JS, et al. 2008. Coagulopathy in patients who experience snakebite. The Korean Journal of Internal Medicine. 23 : 94-99. 14. Sharma N, Chauhan S, Faruqi S, Bhat P, Varma S. 2005. Snake envenomation in a north Indian hospital. Emerg Med Journal. 22: 118120. 15. WHO. 2005. Guidelines for the Clinical Management of Snake Bite in South-East Asia Region. New Delhi: WHO. 2: 13-47. 16. Baylock RS. 2005. The identification and syndromic management of snake bite in South Africa. SA Fam Pract. 47 (9): 48-53 17. Rahman R, et al. 2010. Annual incidence of snake bite in rural

Bangladesh. Plos Neglected Tropical Disease. 4(10): 1-6. 18. Kasturiratne A, et al. 2008. The global burden of snakebite: a literature analysis and modelling based on regional. Plos Neglected Tropical Disease. 5 (11): 1-14. 19. Lavonas EJ, et al. 2011. Unified treatment algorithm for the management of crotaline snakebite in the United States: results of an evidence-informed consensus workshop. BMC Emergency Medicine. 11 (2): 1-15. 20. Liu PY, et al. 2012. Shewanella infection of snake bites: a twelve-year retrospective study. Clinics. 67 (5): 431-435. 21. Malhotra P, Sharma N, Awasthi A, Vasistha RK. 2005. Fatal acute disseminated encephalomyelitis following treated snake bite in India. Emerg Med Journal. 22: 308-309. 22. Guetierrez JM, Theakston RDG, Warrel DA. 2006. Confronting the neglected problem of snake bite envenoming: the need for a global partnership. Plos Neglected Tropical Disease. 3(6): 727-731. 23. Arshad A, et al. 2011. Snake bite on scrotum a case report . Pan African Medical Journal. 10 (25): 1-5.

16

24. Vir D, et al. 2010. Neurological manifestations in speech after snake bite: a rare case. Pan African Medical Journal. 4 (13): 1-4. 25. Warrell DA. 2010. Guidelines for the Management of Snake Bites. WHO. pp:1-7 26. Nanton I. 2010. Primary medical care of snake bites. CPD Africa Health. 7(2010):30-32. 27. Fita DS, Neto EMC, Schiavetti A. 2010. Offensive snakes: cultural beliefs and practices related to snake bites in a Brazilian rural settlement. Journal of Ethnobiology and Ethnomedicine. (2010) 6:13 28. John J, Gane B D, Plakkal A, Aghoram R, Sampath S. 2008. Snake bite mimicjing brain death. Cases Journal 2008, I:16. 29. Ahn JH, Yoo DG, Choi SJ, Lee JH, Park MS, Kwak JH, Jung SM, Ryu DS. 2007. Hemoperitoneum caused by hepatic necrosis and rupture following a snake bite : a case report with rare CT findings and successful embolization. Korean J Radiol 2007. 8:556-560. 30. Warrel DA. 2010. Snake bite. Lancert 2010. 375:77-88.

17

You might also like